Anda di halaman 1dari 32

Edisi Rabu, 17 Mei 2023

PENGARUH MATREALISME
Pengkotbah 5 : 9 & Roma 12 : 2
Pengantar
Menjadi orang Kristen di zaman sekarang tentu punya pergumulan tersendiri. Coba
bayangkan kita jadi orang Kristen pada abad pertama, ketika mereka tetap memilih
beriman kepada Tuhan Yesus, akibat fatal mereka alami. Mereka mendapat serangan dari
ajaran-ajaran sesat yang menyusup ke dalam Gereja, penolakan-penolakan dari agama-
agama lain, perpecahan di dalam Gereja sendiri, dan tekanan serta penganiayaan dari
politik atau negara. Hidup kekristenan zaman sekarang khususnya di Indonesia, memang
ada beberapa tempat yang ekstrem, yang cukup radikal, yang membuat kekristenan sulit
bertumbuh. Tapi rasanya kita yang hidup di Sumbawa ini masih enak, masih sangat toleran.
Kita masih bisa pergi beribadah, seperti halnya sore hari ini.
Bapak, Ibu, Sdr/I terkasih … … …
Ada begitu banyak hambatan, halangan, pergumulan bagi kita untuk menjadi orang Kristen
tapi rasanya di abad yang sekarang ini, di era digital ini, ada satu pembunuh iman yang luar
biasa yang sedang menghantui kita, yang namanya materialisme. Apa itu materialisme?
Materialisme itu adalah menjadikan barang, menjadikan materi sebagai tujuan dan pusat
kebahagiaan. Jadi yang dimaksud dengan materialisme adalah menjadikan barang,
menjadikan materi sebagai tujuan hidup dan pusat kebahagiaan. Maka kalau kita bicara
soal materialisme, ini sesuatu yang digandrungi banyak orang, bukan hanya di kota-kota
besar, tapi juga di desa-desa. Menempatkan materi lebih daripada Tuhan sebagai pusat
kebahagiaan itu ternyata ada dimana-mana. Kalau kita bicara soal matrealisme, ada 3 tipe
dari matrealisme ini. Hal yang pertama adalah, materialism itu menilai kesuksesan
seseorang dari apa yang dia punya. Kalau dia sudah punya mobil, tanda dia sudah sukses.
Dulu masih jalan kaki, naik sepeda, sekarang sudah punya motor, sudah ada peningkatan,
sukses dia. Dulu masih ngontrak sekarang sudah punya rumah sendiri, sudah mulai sukses.
Ada hasil dari pekerjaannya. Maka orang melihat kesuksesan kita melalui apa yang kita
punya dan ternyata itu menjadi daya tarik tersendiri, termasuk bagi orang Kristen.
Kalau mau dipikir-pikir satu hari kita menghabiskan berapa banyak waktu untuk bekerja?
Bangun pagi anak masih tidur bapak sudah pergi kerja, pulang kerja anak sudah tidur.
Orang bekerja untuk apa? Kalau bekerja supaya bisa sukses. Maka materialisme punya
tipikal yang kedua, Kalau sudah punya barang tertentu itu jadi pusat kebahagiaan. Kalau
belum punya barang belum bahagia. Orang matrealisme itu meletakan kebahagiaannya
pada benda, pada barang. Tipikal yang ketiga dari matrealisme adalah punya sesuatu dan
itu jadi pusat kehidupan. Kita kerja untuk apa? Kalau kita lihat di Alkitab, Alkitab sangat
tegas bicara soal etos kerja. Allah kita itu pekerja maka kita sebagai umat Allah harus betul-
betul punya etos kerja yang tinggi. Mau ada pimpinan, tidak ada pimpinan, kita itu
bertanggungjawab kepada Tuhan. Karena segala sesuatu yang kita lakukan, yang kita
kerjakan bukan untuk manusia, tetapi pertanggungjawaban kita untuk Tuhan. Kerja
walaupun tidak ada orang, kita akan selesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kita harus
menjadi teladan. Kita harus membuktikan bahwa etos kerja kita adalah etos kerja
berdasarkan Alkitab. Mau ada orang, tidak ada orang di kantor, saya akan tetap kerja
karena Tuhan mengawasi. Itu etos kerja. Kita mau dapat hasil dari jerih lelah kita sendiri.
Makan dari jerih payah kita sendiri.
Akan tetapi kalau kerja itu menjadi pusat kehidupan dan kerja itu tidak menjadi kendaraan
bagi kita untuk melayani Tuhan, maka ada yang salah dalam pemahaman kita tentang
konsep kerja. Orang Kristen harus kerja. Paulus bilang kalau tidak kerja jangan dikasih
makan. Alkitab benci kemalasan. Apalagi usia produktif kaya kita mestinya kerja. Tapi
setelah kerja lalu apa? Apakah setelah kerja lalu kita bisa memuaskan hawa nafsu kita; beli
ini, beli itu, dst, supaya orang bisa melihat bahwa kita punya standar kehidupan naik dari
hari ke hari?
Bapak, Ibu, Sdr/i, anak-anak yang dikasihi Tuhan Yesus … … …
Kalau kita kembali kepada Pembacaan Alkitab tadi Pengkotbah 5 : 9 di sana dikatakan
Siapa saja mencintai uang tidak pernah merasa cukup. Siapa saja mencintai kekayaan, terus
menerus haus akan kekayaan yang lebih banyak lagi. Ini merupakan teka-teki kehidupan
yang membingungkan. Memiliki kekayaan menciptakan suatu selera yang tidak puas-
puasnya untuk lebih banyak lagi. Kekayaan menciptakan sesuatu keinginan mendalam
yang tidak pernah terpuaskan. Pada akhirnya, kekayaan menjadi tuan kita dan
memperbudak kita. Martin Luther pernah mengatakan bahwa di dalam sepanjang sejarah
sikap orang Kristen terhadap uang seperti orang mabuk yang sedang naik kuda, selalu
jatuh di sisi sana atau di sisi sini. Tidak pernah duduk di atas kuda dengan baik karena
mabuknya. Dalam ayat 9 ini, dampak yang terasa adalah segi psikologisnya, kehausan tak
terpuaskan yang timbul akibat uang nyata mencolok, sebab cinta akan uang bila dituruti
akan makin besar dan dominan. Tapi mungkin wujudnya yang lebih halus dan tidak begitu
kentara, ialah semacam perasaan tidak puas pada umumnya; kerinduan bukan supaya
mendapat lebih banyak lagi, melainkan kerinduan akan kepuasan batiniah. Akibatnya yang
lebih parah lagi daripada kecanduan akan uang ialah kehampaan yang ditinggalkannya.

Roma Roma 12 : 2 “Jangan menyesuaikan diri dengan pola dunia ini,..”. Terjemahan lama:
“Jangan meniru perilaku dan adat istiadat dunia ini,...”. Terjemahan literalnya: “dan
berhentilah kalian dipimpin atau dibentuk menyerupai dunia ini..”. The Message Bible
menterjemahkan: “Jangan terlalu menyesuaikan diri dengan budaya Anda sehingga Anda
bisa menyesuaikannya tanpa berpikir.” Setiap orang percaya sangat didesak untuk berhenti
dipimpin, dibentuk, diserupakan oleh dunia ini. Artinya kita tidak boleh lagi mengikuti cara
hidup yang tidak baik yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang duniawi. Apabila kita
memperhatikan lebih dalam kata “menjadi serupa” dalam kamus besar memiliki
pengertian “kerangka, pola, rupa, sosok dengan menekankan sifat lahiriah. Dalam hal ini
orang-orang percaya tidak boleh lagi hidup seperti model kehidupan dunia.
Bapak, Ibu, sdr/I Terkasih …
Rasul Paulus mengatakan bahwa Dahulu kita sebagai orang-orang durhaka, tetapi sekarang
kita telah ditebus dan dikuduskan oleh darah Kristus, maka hidup kita tidak boleh lagi
hidup dalam kerangka hidup dunia. Kita melakukan kegiatan-kegiatan di dunia ini tapi
pikiran kita harus terarah pada Kerajaan Sorga, sehingga apa yang kita lakukan di dalam
dunia ini merupakan bukti bahwa kita adalah warga Kerajaan sorga. Etika yang kita pakai
adalah etika Kerajaan Sorga. Apa yang kita perlihatkan dalam kehidupan kita ialah hidup
menurut gaya hidup warga kerajaan sorga.

Dalam injil Lukas 12 : 15, Tuhan Yesus katakan Orang berlimpah harta tapi hidupnya tidak
boleh bergantung pada kekayaannya itu. Dengan kata lain, Tuhan mau katakan kepada
kita : Jangan mengandalkan hidupmu pada sesuatu yang tidak tentu. Kita berpikir ah
simpanan saya di bank untuk 1 bulan ini aman. Puji Tuhan! Tidak usah pikir-pikir lagi.
Belum tentu? Karena seringkali perhitungan kita meleset. Tidak ada yang tentu dalam
dunia ini.

Oleh karena itu, mari kita meletakan hidup kita, hati kita, pikiran kita bukan kepada
barang, kepada materi, kepada dunia ini, tapi kepada Tuhan. Karena berkat itu datang dari
Tuhan. Kepuasan itu akan kita dapatkan kalau kita hidup dalam Tuhan, kerja sesuai
kehendak Tuhan. Karena itu, kalau Tuhan masih izinkan kita ada di posisi sekarang, bukan
untuk menumpuk harta, tapi apa yang kita dapatkan ini menjadi sarana untuk menjadi
berkat bagi keluarga dan siapapun juga. Jangan kumpul untuk dirimu sendiri.

Mari Bapak, Ibu, kita waspada terhadap matrealisme. Ada sebuah tulisan mengatakan :
Tidak ada yang salah dengan menjadi kaya atau bahkan bekerja keras untuk maju dalam
rangka menyediakan kenyamanan bagi diri sendiri dan orang yang anda cintai. Tetapi
ketika uang, atau mengejar uang menjadi segala-galanya, maka kita telah jatuh ke dalam
perangkap iblis dan sesungguhnya kita telah menjadi serupa dengan dunia ini.

Tulisan kedua, Tidak ada yang dosa dengan uang. Tidak ada yang salah dengan uang. Yang
salah adalah berhutang dan tidak sanggup untuk membayarnya.

Hati-hati dengan matrealisme. Ketika kita menginginkan kekayaan itu lebih dari Tuhan
kita, maka itu adalah dosa. Tidak ada yang dosa dengan uang, tidak ada yang dosa dengan
uang, pendidikan, kendaraan yang kita miliki. Tetapi berdosa adalah karena rumah, uang,
harta, kita tinggalkan Tuhan kita, tidak ingat Tuhan. Itulah matrealisme. Waspada! Karena
Dunia ini sangat pandai menjebak kita untuk menjadi korban materialisme. Bahkan anak-
anak Tuhan, termasuk hamba-hamba Tuhan dan gereja-Nya, dapat menjadi korbannya!
Para korban itu benar-benar bergantung pada apa yang mereka miliki, dan mereka bekerja
keras untuk meraihnya. Jelas pola hidup yang demikian sama sekali tidak benar. Hidup kita
sepenuhnya berada di dalam tangan Allah yang Mahakuasa. Dia yang menjadikan langit
dan bumi dengan utuh dan sempurna, menyediakan semuanya itu bagi kita. Oleh karena
itu, hidup yang benar adalah hidup yang hanya bergantung pada Dia. Amin.
Edisi Rabu, 10 Mei 2023

BATU SANDUNGAN
(Batu sandungan adalah sesuatu yang menjegal atau merintangi orang lain dari hubungan
dengan Allah)

Dalam sebuah persekutuan, beda pendapat, beda prinsip, beda kepentingan adalah hal
yang wajar. Tapi perbedaan yang wajar dalam hidup bersama dapat menjadi tidak wajar
dan menimbulkan persoalan, apabila masing-masing hanya memperhatikan
kepentingannya dan mementingkan egonya. Inilah yang sering menimbulkan konflik. Suka
menonjolkan diri dan ingin menguasai pihak lain di tengah perbedaan, itulah yang
menciptakan konflik.

Konflik karena perberdaan pernah terjadi dalam kehidupan jemat di Roma. Ada kelompok
Kristen asal Yahudi yang sudah percaya kepada Yesus tetapi masih mematuhi peraturan
Hukum Taurat dan adat istiadat Yahudi. Masih menjalankan peraturan soal makanan yang
halal dan haram. Masih merayakan hari Sabat dan hari-hari penting lainnya. (Ini sama
dengan beberapa orang Jemaat, sudah jadi Kristen tapi cara doanya masih seperti cara doa
muslim, masih terikat dengan aturan makanan haram-halal, dsbnya). Jadi mereka belum
bisa meninggalkan kebiasaan, ritual dan adat istiadat Yahudi, walaupun sudah menjadi
Kristen. Lalu ada kelompok Kristen asal non Yahudi. Mereka juga sudah percaya Kristus
tetapi yang satu ini tidak bertumbuh dalam tradisi keyahudian. Tidak terikat pada aturan
tentang makanan dan minuman serta hari-hari tertentu. Kedua kelompok dalam jemaat
Roma ini, kemudian saling menghina, saling menghakimi dan karena soal makanan mereka
bersiteru. Kasih diantara mereka hanya pura-pura.

Persoalan inilah yang membuat Paulus menulis surat Roma. Paulus menasehati agar
Jemaatnya hidup bersama dalam kerukunan dan kasih. Paulus menegor jemaat : janganlah
saling membinasakan karena soal makanan. Jangan menyakiti hati saudaramu karena
perbedaan-perbedaan yang ada. Paulus menegaskan bahwa “Kerajaan Allah bukan soal
makanan, bukan soal minuman, tapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh
Kudus” (Ayat 17). Bagi kita soal makanan dan minuman mungkin adalah soal yang sepele,
tapi bagi Paulus pertentangan soal makanan dan minuman dalam jemaat di Roma bukanlah
soal sepele. Sebab apa yang telah terjadi dalam jemaat di Roma telah merusak pekerjaan
Allah. Untuk itu, Paulus mengajak jemaat agar mengejar apa yang mendatangkan damai
sejahtera dan hal-hal yang berguna untuk saling membangun. Artinya berusaha sekuat
tenaga untuk menciptakan kedamaian, menjaga diri dari segala hal yang menjadi batu
sandungan bagi orang lain. Karena itu segala sesuatu yang dilakukan hendaklah
berdasarkan iman.

Soal makanan dalam jemaat di Roma adalah salah satu bentuk saja yang terlihat dari soal
perbedaan yang mengakibatkan konflik. Akar dari persoalan itu adalah jemaat tidak hidup
di dalam mereka tidak hidup di dalam kebenaran, tidak hidup di dalam kasih, memandang
muka dalam bergaul, tidak saling menerima berbagai perbedaan dan tidak saling
membangun. Dalam kehidupan kita sekarang, persoalan seperti yang terjadi dalam jemaat
di Roma, muncul dalam berbagai bentuk. Saling mempersalahkan, saling menghina, saling
mengejek, hoax dan provokasi mewarnai kehidupan bersama. Kita hidup bersama sebagai
satu keluarga, kita menjadi anggota Gereja yang sama, tetapi hati kita tidak bersama. Kita
saling berjabat tangan, tetapi hati tidak saling bedrjabat tangan. Dalam banyak hal, kita
seringkali menjadi batu sandungan bagi orang lain bahkan dalam hal-hal yang kelihatannya
sepele tapi telah merusakkan pekerjaan Allah. apakAh yang dapat kita saksikan kepada
dunia jika karena kepentingan diri, suku, kelompok, marga, membuat kita saling
menghakimi dan saling membinasakan. Hal ini memalukan karya Kristus itu sendiri.
Karena itulah mari kita tanggalkan segala hal yang menimbulkan konflik. Mari kita
robohkan tembok-tembok pemisah, tembok-tembok keegoisan. Angkuh, iri, dendam,
sombong, tanggalkan semua itu. Itu akan menghalangi orang lain datang kepada Kristus.
Usahakan supaya kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Tahan diri supaya
tidak menjatuhkan orang lain ke dalam dosa. Disiplinkan diri kita untuk meneguhkan orang
percaya yang lemah imannya, serta tidak memaksakan kebebasan di atas mereka. yang
pasti kita tidak boleh saling menghakimi, menjatuhkan, atau saling menjadi batu
sandungan, tetapi saling menjadi berkat satu sama lain.

Kedua, Jangan merusak pekerjaan Allah oleh karena makanan atau menjadi batu
sandungan karena makanan. Contoh: Keluarga A berasal dari Sumbawa, sebagian besar
keluarganya adalah orang muslim, sehingga sekalipun kakek masuk Kristen, kakek dan ibu
tidak memakan daging babi. Sedangkan ayah A berasal dari Timor, dari latar belakang
orang yang makan daging babi. Ayah dan ibu saling menghargai dalam hal makan daging
babi ini. Sebagai anak, dia belajar menghargai ibu seperti ayahnya. Setelah belajar Firman
Tuhan, maka anak ini makan daging babi bukan dengan alasan karena suka, makan jika
ada, dan menghargai orang yang tidak makan. Ini contoh bagaimana di sebuah keluarga
yang pada jaman sekarang ada seperti itu. Apalagi pada jaman dahulu, orang Israel tidak
makan daging babi, orang Kristen non Israel makan. Paulus menulis tentang ini agar kita
sebagai orang Kristen kita harus saling menghargai, menghormati, menerima dan
membangun. Jangan membuat saudara kita jatuh dan tersandung karena makanan. I Kor 8,
jika makan sesuatu yang membuat saudara lain tersandung, sebaiknya kita tidak makan.
Yang ingin diungkapkan dalam perikop ini, bukan hanya tentang makanan saja, tetapi
termasuk kehidupan kita sebagai perluasan dari hal makanan. Prakteknya misalnya seperti
ini, “saya bisa cari celah untuk menghindari hukum, tetapi jika perbuatan saya dilihat oleh
orang yang imannya lemah, dia juga akan jatuh, maka saya tidak akan lakukan”.

Artinya Apa yang kita lakukan, harus kita renungkan, apakah kita membuat orang
tersandung atau membuat orang imannya lemah dan menjadi jatuh. Jika perbuatan kita
membuat saudara lain tersandung, jangan lakukan itu. Hal ini jangan hanya diterapkan
dalam hal makanan saja tetapi diperluas dalam hal melakukan apa saja.    Roma 14:17,
bukan hanya makan-minum yang ditekankan, tetapi soal kebenaran. Dalam hidup kita
sebagai anak Tuhan, apakah kita sudah berjalan dalam kebenaran, ini merupakan
tantangan besar. Jika kita mau dengan jujur merefleksi diri, sering kali kita membuat orang
lain jatuh karena tutur kata, perbuatan dan tingkah laku kita. Oleh karena itu kita harus
hati-hati, dan dalam hal ini kita butuh pertolongan Roh Kudus, agar kita dapat hidup
berkenan dihadapan Allah dan manusia. Itulah tujuah hidup orang Kristen. mengejar
persekutuan yang berkenan di hadapan Allah dan manusia.  Kristus harus menjadi yang
terutama, sedangkan makanan adalah pendukung, penyokong.  Mengejar kasih lebih utama
daripada pengetahuan, karena dengan kasih maka komunitas dapat dibangun.  Karena itu,
dengan menjadi batu sandungan, maka gereja yang adalah tubuh Kristus tidak akan dapat
bertumbuh dengan baik.  Tetapi justru relasi yang terus saling membangun dan
mendukunglah yang akan membuat gereja tersebut berkenan di hati Tuhan dan menjadi
berkat bagi sekitarnya. Amin.
Tafsiran Roma
Di dalam Roma 14:13-23, Paulus hendak menasehatkan jemaat ini yang khusus membicarakan
mengenai kehidupan antar saudara seiman agar mereka tidak saling menghakimi dan tidak
menjadi batu sandungan.  

Budaya yang sangat mempengaruhi kota ini ialah budaya Yudaisme yang sangat kuat.[3] Paulus
sudah sangat sering ingin mengunjungi kota ini, namun ia banyak mendapatkan rintangan-
rintangan menuju ke sana (Roma 1:13).  Karena itu, sekitar tahun 57 A.D, Paulus menuliskan
suratnya kepada jemaat Roma ketika dia sedang berada di Korintus dalam perjalanan menuju ke
Spanyol (Roma 15:24).[4]  Di dalam suratnya, Paulus hendak menuliskan mengenai inti dari
kepercayaan Kristen.  Dengan harapan, Paulus dapat membangun pola (stuktur) dasar iman
jemaat, sehingga bila pencemaran itu melanda, mereka sudah mempunyai pertahanan yang
efektif dan kuat atas dasar doktrin Kristen yang benar. [5]

Setelah Paulus banyak membahas mengenai dasar doktrin Kristen pada pasal 2-11, Paulus
memulai nasehat-nasehatnya yang bersifat praktikal di pasal 12-15.  Secara khusus pada pasal
14, Paulus menasehati agar sebagai saudara seiman, mereka tidak saling menghakimi, tetapi
saling membangun, sebagai aplikasi dari setiap dasar pengajaran yang sudah diajarkan.  Pada
pasal 14:13-23 ini, Paulus dengan spesifik membahas mengenai perilaku jemaat perihal
makanan.  Sangat terlihat, bagaimana perihal ini begitu spesifik dan sepertinya sangat penting
untuk dibahas.  Karena itu timbul pertanyaan, sebenarnya siapakah jemaat Roma
ini?  Bagaimanakah relasi mereka satu sama lain?

Mengenai asal-usul jemaat Roma, tidak ada indikasi yang jelas.  Namun yang pasti, di dalamnya
terdapat orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi (Rm. 1:13).  Bahkan ada salah satu
sumber menyatakan bahwa di Roma terdapat 40.000-50.000 orang Yahudi pada abad pertama.
[6]  Namun jemaat Roma yang begitu dipuji-puji[7] oleh Paulus ini, ternyata memiliki
perpecahan-perpecahan di dalamnya. Salah satu konflik utama yang terjadi
ialah mengenai perbedaan antara “kaum lemah” dan “kaum kuat” dan penjelasan mengenai
bagaimana kaum kuat seharusnya menuntun kaum lemah ketika mereka jatuh. Dalam hal ini
sangat kental permasalahan tentang pembedaan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-
Yahudi.[8]

Bagian ini menjelaskan mengenai makanan yang dapat membuat kaum lemah menjadi jatuh
tersandung.  Terdapat kata makan (makanan) sebanyak 7 kali dan minum (minuman) 2
kali.  Bagi orang yang kuat iman, perihal makanan tidaklah menjadi masalah karena bagi Tuhan
hal itu bukanlah yang menjadi fokus utama.  Tidak ada pembedaan bagi orang yang makan atau
tidak makan sesuatu.  Allah tetap menyambut orang, baik yang makan sayur, makan daging,
menguduskan hari Sabat, dan lain-lain.[9]

Ada tiga hal yang membuat kaum lemah menjadi lemah. [10]  Pertama, makan daging.  Kaum


lemah hanya boleh makan sayur-sayuran, sementara kaum kuat boleh makan segala jenis
makanan (14:2). Kedua, minum anggur.  Ada kemungkinan pasal 14:17 di mana disebutkan
mengenai minuman, mengarah pada minum anggur yang dianggap sebagai sesuatu hal yang
sangat dienggani untuk dilakukan.  Selain itu, minum anggur menurut kaum lemah juga
dianggap ada hubungannya dengan persembahan binatang.[11] Ketiga, melakukan sesuatu yang
membuat saudaranya jatuh tersandung sesuai dengan subyektifitasannya masing-masing. [12]

Melihat penjelasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa baik kaum kuat maupun kaum lemah
telah dipengaruhi oleh sejarah dalam Perjanjian Lama mengenai pandangan mereka mengenai
makanan.  Pada zaman Perjanjian Lama, orang Kanaan memiliki kebiasaan umum yaitu ketika
mereka menyembah berhala, mereka datang dengan mempersembahkan makanan kepada berhala
tersebut. [13]  Hal inilah yang dikemukan oleh Paulus yaitu larangan mengenai keterlibatan
orang-orang Kristen dalam pesta, makan, dan penyembahan berhala tersebut.  Namun, Paulus
tidak hanya menegur dari sisi tersebut, tetapi lebih cenderung kepada persoalan etika Kristen
terhadap immoralitas dalam penyembahan berhala di kuil-kuil.[14]

Makanan najis atau tidak najis ditentukan oleh masing-masing pribadi.  Hal ini bukan berarti
dosa itu bergantung pada suara hati masing-masing.[15]  Nasehat Paulus ialah supaya kaum kuat
dapat menempatkan dirinya pada tempat yang tepat.  Paulus juga hendak mengingatkan kaum
kuat bahwa adalah benar jika kaum lemah menolak untuk makan makanan yang tidak suci.
[16]  Memang, kata koino.n yang dipakai pada bagian ini dapat diartikan sebagai hal yang biasa
dan sudah lazim, tetapi dalam keagamaan hal itu menjadi tidak suci atau najis, bagi mereka yang
beranggapan itu najis.[17]  Paulus sedang tidak mengeneralisasi dosa.  Bukan berarti dosa itu
dikatakan dosa atau bukan hanya berdasarkan apa yang orang lain katakan.[18]

Paulus menyadari bahwa di dalam tradisi Yahudi, masalah makanan dan minuman yang halal
maupun yang haram, sangatlah kental.  Orang-orang Yahudi memiliki aturan-aturan yang sangat
ketat mengenai makanan dan minuman yang diklasifikasikan berdasarkan firman Tuhan yang
dicatat dalam Imamat 11.[19]  Namun di dalam Kristus, Paulus lebih mau menekankan akan
esensi dari aturan-aturan tersebut yaitu keyakinan pribadi harus diletakkan di bawah
kesejahteraan rohani Kerajaan Allah karena kemuliaan penuh bagi Allah hanya dapat
dipertahankan di mana ada kesatuan.[20]  Yang terutama ialah bagaimana persekutuan kita
dengan Tuhan terus bertumbuh dan bagaimana totalitas hidup kita di hadapan Tuhan untuk terus
berkomitmen melakukan apa yang benar di hadapan-Nya.

Penguraian Paulus mengenai batu sandungan, menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apakah yang
dimaksud dengan “jangan menjadi batu sandungan”.  Hal ini dapat dibahas dengan lebih dalam
lagi mengenai bagaimanakah posisi dari kaum lemah dan kaum kuat ini dan sejauh manakah
peran mereka dalam bersikap di dalam suatu komunitas umat percaya.  Ketika salah satu pihak
tidak menjalankan perannya dengan baik, melakukan perannya dengan berlebihan, atau tidak
melakukan perannya sama sekali, kemungkinan telah menjadi batu sandungan itu cukup besar.

Perikop ini menegaskan bahwa orang-orang yang kuat imannya jangan membuat orang-orang
yang lemah imannya menjadi semakin lemah.  Jelas, ayat 13 ditujukan kepada orang yang kuat
imannya.[22] Pada ayat 13 ini, Paulus hendak menekankan mengenai penggunaan
kata kri,nein (krinein) yang diterjemahkan sebagai kata “judge” dalam bahasa Inggris hendak
memperkenalkan penjelasan berikutnya yaitu come to a decision yang berarti menegaskan atau
mendorong untuk mengambil keputusan tersebut. Keputusan apa?  Yaitu keputusan untuk jangan
membuat saudara lain jatuh.  Inilah yang ditekankan oleh Paulus agar mereka dapat hidup
dengan rukun dan penuh kasih di dalam saudara seiman.[23]

Pemikiran teologi Paulus mengenai makanan dan kebebasan Kristen bukan hanya ada dalam
perikop ini, melainkan ada juga dalam surat-suratnya yang lain.  Paulus menjelaskan mengenai
makanan yang dipersembahkan kepada berhala (1Kor. 8:1-13), makanan yang halal dan
membangun (1Kor. 6:12), dan tidak adanya makanan yang haram (1Tim. 4:4, 5).[24]  Bagi
Paulus tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi kebebasan Kristen terhadap makanan, tidak
ada yang haram.  Memang dalam masyarakat Yahudi zaman Perjanjian Baru peraturan tentang
makanan ketat sekali, khususnya mengenai binatang dan burung yang haram yang dijelaskan
dalam Perjanjian Lama (Im. 11:1-23; Ul. 14:4-20).  Namun, penghapusan tentang peraturan itu
telah menjadi salah satu tema penting dalam Perjanjian Baru (Mark. 7:19-20; Rm. 14:1-23).[25]

Paulus mendorong agar kaum lemah berhenti mengkritik kaum kuat dan kaum kuat berhenti
mencari kesalahan kaum lemah.[26]  Kadang-kadang kaum lemah melakukan sesuatu, karena
setiap orang melakukannya, tidak ingin berbeda dengan orang lain, atau melakukannya karena
tidak ingin dianggap rendah dan ketinggalan zaman.[27]  Kebebasan orang-orang kuat untuk
menggunakan kemerdekaan dalam Kristus sebaiknya digunakan untuk membangun, agar mereka
jangan jatuh dalam dosa, terlebih jangan sampai meninggalkan Kristus hanya karena soal
makanan.[28]  Kebebasan Kristen adalah kebebasan yang didasarkan atas kasih.  Kasih yang
mana Kristus telah nyatakan kepada semua orang, golongan, dan ras. Tanpa kasih, penerapan
kebebasan Kristen akan berubah menjadi kekacauan semata, di mana setiap orang akan merasa
sebebas-bebasnya melakukan atau makan sesuatu tanpa mempertimbangkan adanya tanggung
jawab terhadap semua saudara seiman dalam jemaat.[29]  Paulus memanggil kita untuk taat
dalam iman. Hal ini memang membuat kita menjadi bebas dalam melakukan aktifitas apapun
tetapi tetap dalam kerangka ketaatan dalam iman.  Hal ini juga berarti bahwa kita dipanggil
untuk terbuka dengan orang lain yang hidup berbeda dengan kita, tetapi dalam komunitas orang-
orang yang telah dipanggil Allah dalam rencana-Nya, pembenaran-Nya, dan sambutan-Nya.[30]

Maksud Paulus yaitu kewajiban setiap orang Kristen adalah memikirkan segala sesuatu, tidak
hanya yang bersangkut paut dan membawa akibat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang
lain.  Paulus tidak bermaksud mengatakan, bahwa kita harus selalu membiarkan pandangan
orang lain mengatur tingkah laku kita; karena ada hal-hal prinsipil yang harus ditentukan
sendiri.  Tetapi ada banyak hal yang netral dan biasa; ada banyak hal yang sebenarnya tidak baik,
juga tidak buruk; ada banyak hal yang tidak merupakan bagian penting dari kehidupan dan
tingkah laku, melainkan hanya sekedar selingan hidup saja. Agustinus mengatakan, bahwa
seluruh etika Kristen dapat diringkas dalam satu ucapan: “Kasihilah Allah, dan lakukanlah apa
yang kamu suka.”  Dalam satu hal, itu adalah benar; tetapi kekristenan tidak hanya terdiri dari
kasih kepada Allah; tetapi juga kasih kepada sesamanya seperti kepada diri sendiri.[31]

 Implikasi dan Kesimpulan

 Barclay mengutarakan ada tiga inti dari kekristenan yang prinsipnya tidak mementingkan diri
sendiri.  Pertama, kebenaran, yaitu memberikan kepada manusia dan Allah apa yang menjadi
haknya (memposisikan diri kita pada orang lain).  Kedua, damai yaitu segala sesuatu yang
dilakukan demi kebutuhan utama dari manusia.  Ketiga, sukacita,yaitu sukacita yang bukan
hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk membahagiakan orang lain.[32]  Sekali lagi Paulus
menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan bergantung pada makanan, minuman, atau jenis
makanan tertentu.  Paulus hendak menyatakan bahwa yang terpenting ialah bagaimana hubungan
kita dengan Tuhan, bagaimana pandangan kita terhadap apa yang benar di hadapan Allah.[33]

Dengan demikian permasalahan kaum lemah dan kaum kuat yang ada di Roma ini, sebenarnya
dapat diselesaikan jika kedua pihak mau saling menundukkan diri di bawah otoritas
Allah.  Ketika setiap orang memiliki orientasi yang fokus kepada Kristus, maka setiap orang
percaya dapat hidup rukun bersama.  Keduanya bukan saling menghakimi, menjatuhkan, atau
saling menjadi batu sandungan, tetapi saling menjadi berkat satu sama lain.

Melihat tujuan orang Kristen yang adalah mengejar persekutuan yang berkenan di hadapan Allah
dan manusia, sudah selayaknyalah orang-orang percaya melakukan hal demikian.  Kristus harus
menjadi yang terutama, sedangkan makanan adalah second.[34]  Mengejar kasih lebih utama
daripada pengetahuan, karena dengan kasih maka komunitas dapat dibangun.[35]  Karena itu,
dengan menjadi batu sandungan, maka gereja yang adalah tubuh Kristus tidak akan dapat
bertumbuh dengan baik.  Tetapi justru relasi yang terus saling membangun dan mendukunglah
yang akan membuat gereja tersebut berkenan di hati Tuhan dan menjadi berkat bagi sekitarnya.
Edisi
Tema yang sangat jelas di dalam tulisan Perjanjian Baru yang lebih belakangan yaitu tema
mengenai orang percaya atau orang Kristen sebagai imam. Kita semua adalah imam
karena Kristus. Tetapi tema ini tidak terlalu jelas di dalam tulisan Paulus, dia tidak
menyatakan secara eksplisit seperti misalnya Petrus atau misalnya Surat Ibrani bahwa kita
adalah kerajaan imam. Tapi pikiran tentang imam dan rakyat biasa kalau mau
dimengatakan, yang sudah tidak ada batasan lagi itu jelas ada dalam pikiran Paulus.
Namun Paulus membahasakannya dengan cara yang lebih umum, sangat mungkin karena
dia menulis untuk orang-orang non-Yahudi juga sehingga orang-orang itu tidak perlu
diberitahukan dulu tentang apa spesialnya imam, lalu kita semua sekarang sudah menjadi
imam karena Kristus. Tetapi Paulus memakai bahasa yang lebih umum yang menekankan
tentang fungsi manusia di dunia ini. Jadi manusia dipulihkan oleh Kristus dan mereka
menjadi atau orang tebusan menjadi manusia sebagaimana yang Tuhan rancang. Dan
menjadi manusia berarti menjadi manusia yang hidup untuk Tuhan dan hidup untuk
sesamanya. Hidup bagi Allah dan sesama. Kita tidak bisa hanya hidup untuk Tuhan tapi
tidak menikmati kehidupan dengan sesama. Dan sebaliknya kita tidak bisa mempunyai
komunitas sosial yang baik, tapi kita tidak beribadah kepada Tuhan. Jadi baik ibadah
kepada Allah maupun relasi dengan sesama, itu 2 hal yang harus ada dengan limpah pada
manusia. Itu sebabnya karena manusia diciptakan Tuhan untuk menyembah Tuhan dan
untuk saling melayani satu sama lain, maka manusia dipulihkan oleh Kristus menjadi penuh
hidupnya karena dapat berelasi dengan Tuhan dan dapat berelasi dengan sesamanya
dengan tepat. Ini sebenarnya sama dengan pengertian imam, seorang imam adalah dia
yang datang ke Tuhan dan dia yang mewakili sesamanya untuk datang ke Tuhan.
Apa bedanya orang biasa dan imam? Orang biasa kalau mau beribadah atau
mempersembahkan korban, mereka melakukannya untuk diri, “saya perlu dekat dengan
Tuhan, saya perlu di ampuni dosanya, saya perlu ditahirkan kembali, saya perlu diterima
kembali. Saya mau menyatakan saya sudah tahir”. Maka mereka datang beribadah ke
Tuhan lalu imam mewakili mereka. Jadi orang-orang biasa di Israel kalau mereka mau
datang ke Tuhan, mereka datang untuk diri, mereka bahwa korban untuk diri. Dan mereka
menyatakan cara dan persembahan juga untuk diri, cara ibadah dan persembahan untuk
diri. Tapi imam tidak, imam melayani untuk orang lain, mereka mempersembahkan korban
untuk orang yang bawa korban itu. Mereka mewakili orang yang datang beribadah sebagai
wakil dari orang itu. Sehingga imam tidak hanya beribadah untuk diri, imam beribadah
untuk orang lain juga. Imam mempersembahkan korban, bukan hanya bagi dosa sendiri,
tetapi juga bagi dosa orang lain. Itu sebabnya aspek inilah yang Paulus msu tekankan di
dalam ayat-ayat yang kita baca. Kamu adalah orang-orang yang sekarang beribadah demi
orang lain juga, bukan hanya demi diri sendiri. Inilah yang kemudian menjadi ajaran yang
Paulus tekankan di dalam Roma pasal 14 ini, bahwa setiap orang percaya tidak hidup untuk
dirinya sendiri, tetapi hidup bagi orang lain juga. Kalau kita pikir hidup bagi orang lain itu
pasti berat dan sulit, tapi kalau kita pikir lebih dalam, jangan dangkal, tetapi lebih dalam, kita
akan tahu bahwa kita tidak dirancang untuk hanya hidup bagi diri. Desain kita memang
adalah untuk orang lain juga. Saudara tidak didesain untuk cukup bagi diri sendiri. Contoh
yang paling jelas, Saudara tidak mungkin berketurunan kecuali Saudara punya orang lain,
Saudara punya pasangan, yang perempuan tidak mungkin punya keturunan kecuali dia
punya suami, yang laki-laki tidak mungkin punya keturunan kecuali dia punya istri. Jadi
manusia secara desain baik fisik maupun jiwa, didesain untuk adanya hidup yang dibagikan
bagi orang lain juga, jadi ini desain kita. Maka kalau dikatakan “sulit untuk hidup bagi orang
lain”, sebenarnya kalau kita pikir lebih serius, jauh lebih sulit untuk tidak hidup bagi orang
lain. Begitu banyak gangguan dialami oleh manusia di dalam kondisi makin banyak
alternatif untuk berkomunikasi. Di dalam zaman media sosial, begitu banyak kekacauan
jiwa terjadi. Kekacauan jiwa bukan karena orang itu punya penyakit atau orang itu punya
tekanan batin yang begitu besar karena kondisi, tapi yang membuat orang sangat rentan
untuk gangguan adalah tidak adanya kebiasaan berelasi. Relasi dilakukan dengan
perantara sosial media dan tidak ada relasi asli yang dialami hari demi hari. Makin tidak
berelasi makin rentan jiwa manusia. Kita diciptakan untuk menjangkau keluar, kita
diciptakan untuk hidup di dalam komunitas di mana kita menerima pemberian orang dan
kita membagikan pemberian bagi orang lain. Saya mau memberikan alternatif tawaran yaitu
Saudara lebih tidak bisa lagi kalau Saudara tidak hidup bagi orang lain. Jika kita tidak
punya cara pandang yang tepat, akhirnya kita memahami kekudusan juga dengan cara
yang salah. Kita berpikir Tuhan sedang minta kita melakukan sesuatu yang berat. Tapi
sebenarnya Tuhan minta jauh lebih ringan dari alternatifnya yaitu melawan perintah Tuhan.
Mana lebih mudah mentaati perintah Tuhan, misalnya di Taman Eden ketika Tuhan
mengatakan “semua pohon dalam taman ini boleh kamu makan buahnya, tetapi pohon
pengetahuan baik dan jahat jangan kamu makan. Pada hari kamu makan, pasti kamu mati”,
ini perintah yang sangat-sangat mudah karena ada kejelasan. Tuhan memberikan
pernyataan jelas sekali, kalau makan mati, sedangkan pohon yang lain silakan nikmati
buahnya. Tapi datang ular memberikan alternatif yang jauh lebih sulit, alternatif ular itu jauh
lebih sulit. Mengapa lebih sulit? Karena yang pertama dia tidak menjanjikan apa yang
boleh, Tuhan mengatakan “semua pohon dalam taman ini boleh kamu makan buahnya
dengan bebas”. Tuhan memberikan kebebasan dan di dalam kebebasan itu Tuhan
memberikan aturan. Sedangkan iblis datang untuk memberikan alternatif yang sama sekali
tidak imbang, dia tidak mengatakan janji apapun, dia tidak datang ke Hawa lalu
mengatakan “Hawa semua pohon dalam taman ini boleh kamu makan”, Dia tidak bicarakan
itu. Dia membicarakan aspek yang sangat sulit, Dia mengatakan “pohon pengetahuan baik
dan jahat ini kalau kamu makan buahnya, kamu tidak mati, kamu akan jadi seperti Allah
tahu tentang yang baik dan yang jahat”, jadi seperti Allah itu apa? Jadi gambar Allah?
Adam dan Hawa sudah gambar Allah. Jadi seperti Allah itu ambigu, maksudnya apa? Lalu
kalau makan tidak akan mati tapi akan jadi seperti Allah, tahu bedakan mana baik mana
jahat, bedakan baik dan jahat maksudnya apa? Jadi begitu banyak hal yang tidak jelas dari
perintah ini dan jauh lebih sulit bagi manusia untuk hidup dalam perkataan iblis dari pada
menghidupi perkataan Tuhan. Kita ini sering salah di dalam memahami Kitab Suci, kita
berpikir gaya hidup taat Tuhan itu berat, gaya hidup dunia jauh lebih ringan. Akan tetapi,
jauh lebih ringan untuk ikut Tuhan, jauh lebih berat untuk hidup dengan dosa seperti yang
ditawarkan oleh dunia ini. Jauh lebih berat untuk hidup di dalam pernikahan yang penuh
pertengkaran, jauh lebih mudah hidup dalam pernikahan yang saling mengasihi. Jauh lebih
berat hidup dalam komunitas di mana orang-orang semua pikir diri, jauh lebih ringan hidup
dalam komunitas di mana semua orang saling tolong. Aspek ini mesti jelas. Kita seringkali
salah mengerti bahwa untuk jadi Kristen orang harus percaya Injil, dan Injil itu kabar baik.
Injil bukan kabar buruk, Injil bukan kabar rumit, Injil bukan mengatakan “kalau kamu hidup
gaya Injil, lebih berat tapi tidak apa-apa, nanti mati masuk surga”, tidak seperti itu. Yang
Tuhan katakan adalah “kamu didesain untuk cara hidup yang Tuhan siapkan, kamu
didesain untuk apa yang Aku perintahkan. Kamu tidak didesain untuk menghidupi cara
dunia, engkau tidak didesain untuk ikut cara setan. Engkau didesain untuk ikut cara Tuhan”.
Ini sebenarnya kabar baik dan Tuhan menyatakan “mari hidup dengan cara yang Aku
suruh, yang Aku perintahkan”. Kalau Saudara mengatakan “saya mau belajar untuk ikut
firman Tuhan”, bagus, itulah yang sebenarnya akan meringankan hidupmu, hidup yang
ringan. Tapi mengapa dikatakan oleh Tuhan Yesus bahwa ikut Yesus itu harus sangkal diri
dan pikul salib? Tuhan mengatakan sangkal diri dan pikul salib tapi alternatifnya itu jauh
lebih berat. Tuhan sendiri mengatakan “Aku memberikan beban dan juga kuk yang enak
dan ringan”, karena Tuhan pikul sama-sama. Saudara pikul salib mirip Yesus pikul salib,
jauh lebih berat bagi Saudara untuk tolak salib karena Saudara akan dapat kesulitan yang
jauh lebih besar di dalam kehidupan yang tidak ber-Tuhan.

Ada satu perkataan yang dikatakan oleh seorang filsuf yang mengatakan bahwa kehidupan
yang tidak pernah tahu apa artinya beban berat dan pergumulan, yang tidak menguji diri di
dalam beban berat dan pergumulan, itu hidup yang tidak layak dihidupi. Socrates
mengatakan kalau kamu punya hidup yang tidak dibentuk dengan ujian yang keras, itu
hidup yang tidak layak dihidupi.

Saya ingat ada satu pepatah di tengah pandemi yang pernah dikatakan oleh satu hamba
Tuhan kita, dia mengutip tapi saya lupa dia kutip dari mana, dikatakan bahwa orang yang
suka hidup dengan cari aman, dia tidak berhak dapat aman dan dia juga tidak sedang
menikmati hidup. Jadi orang yang pikiran cuma mengamankan diri, dia tidak sedang
mendapat aman karena hidup untuk taman itu bukan hidup, kalau Saudara tidak berani
melangkah kemudian melakukan sesuatu yang memang jadi tugas Saudara. Hidup yang
cuma pikirkan aman, itu bukan hidup. Bayangkan betapa kasihannya orang yang terlalu
ketakutan atas apapun, kita sangat kasihan kepada orang itu. Terlalu ketakutan ketika ada
pandemi saya tidak mengatakan pandemi bukan sesuatu yang yang berat atau sesuatu
yang boleh kita pandang remeh, bukan. Cuma saya merasa hidup dalam ketakutan jauh
lebih parah daripada hidup mengambil resiko untuk menjalankan apa yang memang harus
kita jalankan. Hidup aman yang tidak hidup itu untuk apa? Itu sebabnya siapa tidak
mengerti beban, tekanan dan juga keharusan berjuang di dalam hidup, dia tidak mengerti
perintah Tuhan Yesus untuk pikul salib. Tetapi yang harus kita mengerti menolak pikul salib
akan membuat kita pikul pikulan lain yang jauh lebih berat. Jadi siapa tidak mau pikul salib
dia akan pikul kesulitan versi dunia ini. Orang yang tidak rela berkorban bagi orang lain
hidup di dalam kungkungan yang menyedihkan di mana dia cuma pikir diri dan mati di
dalam pikiran yang cuma berpusat ke diri.

Maka Paulus mengingatkan “kamu hidup bukan untuk dirimu, tapi untuk sesamamu juga.
Kamu hidup untuk Tuhan dan mati untuk Tuhan”. Dan hidup untuk Tuhan serta mati untuk
Tuhan berarti engkau hidup bagi sesamamu. Kalau kita lihat di dalam ibadah Israel di Bait
Suci hidup untuk sesama itu paling jelas dipraktekkan oleh imam. Merekalah yang bakar
korban untuk orang lain, merekalah yang berdoa mewakili orang lain, merekalah yang
bertindak di dalam Bait Suci demi orang lain. Ketika Imam Besar dalam hari penebusan, dia
memercikan darah dari korban di dalam ruang Maha Suci, dia tidak lakukan untuk dirinya.
Dia lakukan untuk seluruh umat diterima oleh Tuhan. Maka waktu dia masuk ruang Maha
Suci, di dalam tutup dadanya, di dalam baju lapisan ketiga yang dia pakai, di situ ada 12
batu dengan bentuk kotak yang melambangkan setiap suku Israel. Dia masuk ruang Maha
Suci bukan demi dirinya, dia masuk ruang Maha Suci bukan demi sukunya, dia masuk ke
dalam ruang Maha Suci demi seluruh Israel. Demikian ketika orang sudah di dalam Kristus,
dia menjadi imam, dia bertindak bukan hanya untuk diri tetapi juga untuk orang lain. Inilah
sebenarnya dasar dari pemikiran yang harus kita paham ada di dalam di balik kalimat-
kalimat yang Paulus katakan di sini, ini penting untuk kita pahami.
Edisi Rabu, 03 Mei 2023

PENGHARAPAN TIDAK MENGECEWAKAN

Pengantar
Setiap orang tentu memiliki harapan-harapan dalam hidupnya dan harapan itu menjadi
kekuatan untuk orang mampu menjalani kehidupannya. Harapanlah yang membuat
petani tetap mencangkul, menanam, karena dia punya harapan ke depan akan menuai.
Harapanlah yang membuat kita bekerja karena diakhir bulan kita akan mendapatkan
gaji. Karena kita punya pengharapan. Ada sesuatu yang kita harapkan di depan sana
yang akan kita miliki, yang akan menjadi milik kita. Ada seorang tokoh yang bernama
Albetr Einsten mengatakan : belajar dari hari kemarin, hidup hari ini,
berpengharapanlah ke depan. Pengharapan itu menatap sesuatu dengan optimism
karena kita yakin sesuatu di depan sana yang membuat kita mampu menghadapinya.
Bapak, ibu, sdr/I yang dikasihi Tuhan Yesus …
Berbicara tentang Firman Tuhan ini, teks ini diawali dengan dibenarkan oleh iman. Dan
ketika kita sudah dibenarkan oleh iman, kita hidup dalam damai sejahtera dan kita
menikmati kasih karunia tetapi tidak selesai sampai disitu. Kita menghadapi
penderitaan. Dan penderitaan kita yang kita hadapi itu membutuhkan pengharapan
supaya penderitaan itu menghasilkan sesuatu yang maksimal dalam kehidupan kita.
Jangan letakkan pengharapan kepada sesuatu yang bisa diambil dari kita. Saya ulangi
jangan meletakkan atau menyandar pengharapan kepada sesuatu yang bisa diambil
dari hidupmu. Dan ketika itu diambil, pengharapanmu pun ikut diambil.

Bapak, ibu, sdr/I yang dikasihi Tuhan Yesus …


Kenapa ada orang yang memiliki pengharapan tapi pengharapan itu mengecewakan.
Karena ia salah menempatkan pengharapan itu. Apakah itu yang pertama uang?
Bukankah ada begitu banyak orang yang punya pengharapan dan dia sandarkannya
kepada uang yang dia miliki, karena di berpikir dengan uang dia bisa memiliki banyak
hal, dia bisa membeli kebahagiaan dengan uangnya. Tapi ketika uangnya lenyap,
lenyap juga pengharapannya. Dia berpikir dengan uang dia bisa membeli banyak hal,
bisa menyogok, ketika orang berpengharapan dan menaruh pengharapannya pada
uang, dia akan kecewa suatu saat. Yang kedua, pekerjaan. covid 19 menyadarkan kita
untuk tidak berpengharapan pada pekerjaan. Pekerjaan bisa diambil dari hidup kita.
Ada banyak orang yang resain karena berbagai alsan. Banyak pekerjaan yang tidak
maksimal yang gajinya dipotong, pengurangan waktu kerja, pengurangan gaji. Artinya
ketika kita bersandar dan menaruh pengharapan kita kepada pekerjaan kita, kita bisa
kecewa. Yang ketiga, relasi, pertemanan. Kita mungkin merasa teman kita akan
membantu kita, kita mungkin merasa dekat dengan orang-orang penting, merasa dekat
dengan pejabat, orang-orang kaya dan kita berharap suatu saat dia membantu kita .
ketika kita punya pengharapan kepada mereka itu bisa saja kita akan kecewa. Yang
keempat, jabatan. Kita gtidak bisa menaruh pengharapan kita kepada jabatan yang kita
miliki karena suatu saat jabatan itu pun bisa diambil dan tidak ada yang abadi.
Sehingga ketika kita menaruh pada jabatanitu harapan kita, kita bisa kecewa. Yang
kelima, menaruh pengharapan kepada anak. Kita taruh harapan kita, kalau anakku
sudah sukses, nanti dia akan menolong aku. Dan ketika dia sudah sukses, ternyata dia
lupa dengan keluarganya, dia lupa dengan orangtuanya, kecewa. Demikian juga anak
menaruh pengharapannya kepada orangtuanya. Ketika orangtua sudah diambil dari
kehidupannya, dia kecewa. Yang keenam, sesuatu yang berubah. Kenapa banyak
orang percaya kecewa? Karena dia menaruhkan pengharapannya bukan kepada
pribadi yang benar tetapi kepada sesuatu yang berubah. Hari ini Firman Tuhan
mengajak kita supaya kebenaran ini benar-benar kita alami di dalam kehidupan kita.
Benar-benar bisa membuat kita mampu mengalaminya di dalam kehidupan ini dengan
menaruh pengharapan kita bukan pada sesuatu yang berubah. Yang ketujuh, jangan
juga menaruh pengharapan kita kepada pendidikan. Ada orangtua yang all out, yang
totalitas untuk pendidikan anak-anaknya sampai lupa totalitas kerohaniannya. Ketika
anak tidak sekolah, dia bisa menangis, marah. Tapi anak tidak ke Gereja, dia biasa
saja. Bukankah itu artinya kita sedang menaruh pengharapan kepada pendidikan anak-
anak kita? Yang suatu saat dia melakukan sesuatu, kita kecewa. Penting sekali
pemahaman Firman Tuhan ini mendasari kehidupan kita, supaya kita tidak gampang
galau, gampang menyerah, gampang kecewa. Kenapa? Karena ini berbicara tentang
salah menempatkan pengharapan. Ayat 5 mengatakan “Dan pengharapan tidak
mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus
yang telah dikaruniakan kepada kita” Dengan bahasa lain, pengharapan itu tidak
membuat kita malu, kita tidak dipermalukan karena kita punya pengharapan. Tapi
pengharapan bagaimana pengharapan yang benar. Kita buka Ibrani 6 Ayat 19,
Pengharapan yang benar itu adalah pengharapan yang membuat kita konsisten, stabil
dan tidak mudah diombang-ambingkan. Ibrani 6 Ayat 19 “Pengharapan itu sauh yang
kuat dan aman bagi jiwa kita yang telah dialbuhkan sampai ke belakang tabir. Sauh itu
adalah jangkar. Sebesar apapun kapal ketika di tengah laut bisa diombang-ambingkan
oleh laut. Supaya kapal itu bisa aman, dia harus menurunkan jangkarnya. Dan jangkar
itu harus sampai kepada tubir laut tempat yang terendah, supaya bisa mengunci kapal
itu tidak bisa bergerak kemana-mana. Dia tidak gantung, kalau dia gantung kapal itu
bisa terombang-ambing, bisa lari terbawa oleh angin.
Bapak, Ibu, Sdr/I … … …
Pengharapan yang benar, pengharapan yang bergantung sepenuhnya kepada Tuhan
Yesus, yang tidak setengah-setengah tapi totalitas. Makanya dikatakan sampai ke
belakang tabir. Kalau di dalam konsep Perjanjian Lama, belakang tabir itu ruang Maha
Kudus dimana imam besar berjumpa dengan Allah di dalamnya. Ini berbicara tenatng
keintiman, kedekatan kita dengan Tuhan. Kita bukan Kristen halaman yang hanya di
halaman dan tidak menikmati hadirat Tuhan. Karena konsep Perjanjian Baru tidak ada
lagi seperti ini. Setiap kita punya jalan, akses menuju Tuhan. Tidak perlu protokoler, kita
bisa berjumpa langsung dengan Tuhan. Dan ketika iman kita, pengharapan kita, kita
taruhkan kepada Tuhan Yesus, itulah yang membuat kita tidak tergoncang.
Bapak, Ibu, Sdr/I terkasih … … …
Sauh atau jangkar digunakan supaya kapal tidak terbawa angin, ombak. Artinya kalau
kita punya masalah, pengharapan akan membuat kita tetap stabil. Tapi ketika tidak ada
jangkar itu, kita akan terbawa arus, kita akan terombang-ambing oleh gelombang
masalah. Anak-anak muda bisa terbawa pergaulan yang bebas, tapi ketika dia punya
jangkar yang kuat, dia akan aman. Kadang orangtua mau berangkatkan anaknya
merantau, ada ketakutan sendiri; bagaimana dia disana yah. Tapi ketika di rumah, kita
mendidik dia dengan Firman Tuhan, dia sudah punya jangkar yang kuat, sehingga
ketika dia dilepaskan dimanapun dia bisa aman, kenapa? Karena jangkarnya kuat. Oleh
karena itu, bangunlah harapan bagi anak-anak kita. Mereka akan ingtim, mereka akan
kenal Tuhannya.

Pengharapan itu harus benar. Dan pengharapan yang benar adalah di dalam Tuhan.
karena pengharapan di dalam Tuhan tidak mengecewakan. Kita tidak bisa
menyandarkan pengharapan kita kepada sesuatu yang berubah. Karena kita pasti
kecewa. Tapi ketika kita menyandarkan pengharapan kita kepada Tuhan yang tidak
pernah berubah, itu seperti jangkar yang sampai kepada tubir laut yang membuat kapal
stabil. Sehingga ketika ada masalah, itu hanya goncangan kecil, tidak sampai membuat
kita terjatuh karena masalah. Orang yang mendasarkan pengharapannya kepada
Tuhan, buakn berarti dia bebas dari masalah. Ada goncangan tapi goncangan itu
membuat dia semakin mantap, semakin stabil. Gocangan tidak pernah membuat dia
hancur. Gelombang dan angin badai tidak pernah membuat dia hilang arah karena ada
jangkar.

Penderitaan sering membuat kita terombang-ambing tapi ketika pengharapan kita


seperti jangkar yang sampai kepada tubir itu, kita punya pengharapan di dalam Tuhan,
mungkin kapal kita terhantam badai, tapi kita tetap stabil. Tuhan membuat kita tetap
stabil di tengah masalah, karena Dia tidak pernah mengecewakan kita. Jangan
gantungkan pengharapan kita seperti jangkar yang tergantung, tidak sampai di dasar
laut, karena akan mudah terbawa ombak. Ada banyak anak-anak muda yang
jangkarnya gantung, sehingga imannya terbawa oleh arus, tapi ketika itu sampai ke
tubir, itu luar biasa.

Kedua, kita harus tahu pengharapan kita. Efesus 1 Ayat 18 …


Jadi ketika ada orang mengalihkan pengharapannya dari Tuhan kepada materi kepada
sesuatu yang berubah, karena dia tidak mengerti apa yang terkandung di dalam
pengharapan itu. Kalau kita tahu sesuatu itu mahal, kita tidak akan jual murah. Kita
tidak akan tukar pengharapan kita, kepada sesuatu yang berubah. Itu terjadi karena kita
tidak mengerti betapa dalamnya, betapa kayanya kemuliaan yang ditentukan bagi
orang-orang kudus. Pengharapan itu mampu membuat kita berjuang di dalam
kehidupan ini. Karena kita punya pengharapan. Petani rela mencangkul. Dia menahan
panas, bahkan harus menjaga burung supaya tidak memakan tanamannya. Karena
punya pengharapan akan panen. Karena itu, dia korbankan waktunya, tenaganya,
karena dia punya pengharapan. I Timotius 4 Ayat 10 …
Pengharapan itu membuat kita semangat ditengah-tengah perjuangan, ditengah-tengah
penderitaan, di tengah-tengah masalah yang kita hadapi, karena kita tahu kita punya
pengharaapn di dalam Yesus. Karena kita menaruh pengharapan kita kepada pribadi
yang tidak pernah berubah dan kekal adanya.

Ketiga, Mari kita pegang teguh pengharapan itu. Ibrani 10 Ayat 23 … Jangan pernah
ragukan kesetiaannya. Tuhan setia. Karena Dia tidak dipengaruhi oleh siapapun.
Tidajk ada yang bisa mempengaruhi Tuhan untuk merubah kesetiaannya. Suami bisa
dipengaruhi kesetiaannya, isteri bisa dipengaruhi kesetiaannya, ada orang ketiga bisa
mempengaruhi kesetiaan suami, ada orang ketiga bisa mempengaruhi kesetiaan isteri,
ada orang ketiga bisa mempengaruhi kehidupoan kita, tapi Tuhan tidak pernah
dipengaruhi kesetiaanNya kepada kita. Oleh karena itu, mari kita pegang teguh karena
kita punya pengharapan kepada Allah yang setia. Siapa yang pernah dikecewakan?
Siapa yang pernah mengecewakan orang lain? Berarti kita pelaku dan korban. Pernah
membuat orang kecewa dan pernah dikecewakan. Berarti satu sama. Tapi Tuhan tidak
pernah membuat kita kecewa. Kitalah yang sering membuatNya kecewa.

Dan pengharapan tidak mengecewakan. Ketika Ayat ini ditulis, iman jemaat ditantang.
Orang akan melihat ketika mereka menderita, orang berkata dimana Tuhanmu yang
setia itu yang membela Engkau? Ada kondisi dimana mereka merasa iman mereka
dipermalukan, pengharaapn mereka dipermalukan. Karena seolah-olah Tuhan tidak
membela mereka. tapi Ayat ini mengatakan pengharapan pada Tuhan itu tidak
mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita. Pengharapan itu
tidak mengecewakan karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita. Roh Kudus
dikaruniakan, kasih Allah dicurahkan, berarti ada limpahan disana. Kita akan
merasakan curahan, limpahan kasih Tuhan. Kenapa pengharapan kita tidak
mengecewakan? Karena kasih Tuhan tidak pernah diteteskan, tapi dicurahkan. Telah
dicurahkan dan akan dicurahkan kepada kita. Karena itu, taruhlah pengharapanmu
kepada Tuhan. Karena di dalam Dia, Pengharaapnmu tidak mengecewakan. Amin.
Edisi Minggu, 26 April 2023

KEBANGKITAN TUBUH

Bapak, Ibu, Sdra/ I terkasih … …


Bacaan kita pada saat ini berbicara tentang kebangkitan tubuh. Sebagian dari jemaat di
Korintus, mereka tidak percaya akan adanya kebangkitan tubuh. Karena bagi mereka
ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Apalagi mereka sudah dipengaruhi oleh
pandangan Plato tentang filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa dalam hidup ini ada
2 unsur, yaitu material dan non material. Tubuh ini adalah material yang kelihatan,
sedangkan yang non material adalah jiwa atau roh. Dikatakan roh itu baik tapi tubuh
adalah jahat, jadi tidak mungkin tubuh dan roh akan bergabung di akhirat. Sehingga
bagi mereka dengan adanya kematian, itu justru merupakan kebebasan dari roh, roh
terbebas dari tubuh yang jahat.

Dengan pandangan mereka yang tidak mempercayai adanya kebangkitan tubuh,


Paulus kembali memberikan penjelasan kepada mereka, dan saat ini dia menggunakan
ilustrasi agar mereka memahami akan hal ini. Kalau kita perhatikan di dalam Ayat 35
disitu ada kata bagaimana. Kata bagaimana ini menunjuk bahwa sebagian jemaat
Korintus sedang mempertanyakan tentang cara kebangkitan tubuh itu. Kalau tubuh itu
akan dibangkitkan, bagaimana caranya? Bagaimana caranya tubuh yang sudah
membusuk dan hancur bisa dibangkitkan kembali? Jadi mereka tidak percaya tentang
kebangkitan tubuh hanya karena mereka tidak tahu bagaimana caranya seorang yang
sudah mati kemudian tubuhnya dibangkitkan kembali. Ini benar-benar tidak masuk akal
bagi mereka. sehingga Paulus memberikan jawaban bagi mereka dengan
menggunakan analogi. Dalam Ayat 35 – 41, kita perhatikan salah satu ilustrasi yang
digunakan oleh Paulus adalah ilustrasi tentang tanaman. Kalau kita membaca beberapa
Ayat ini mungkin akan membingungkan kita. Paulus sedang membicarakan tentang
kebangkitan gtubuh tapi tiba-tiba ia membahas tentang tanaman. Pertanyaannya apa
hubungannya kebangkitan tubuh dengan tanaman? Poin apa yang mau diajarkan
Paulus dalam bagian ini? Dari biji tampak kulit dan kemudian biji ditaruh dalam tanah,
apa yang terjadi ketika biji itu ditaruh di dalam tanah? Tentu kita tidak tahu. Tetapi
beberapa waktu kemudian, kalau kita melihat biji yang ditanam itu, maka kita tidak akan
mendapati biji yang semula ditanam itu, tetapi apakah biji itu hilang? Tentu tidak hilang?
Apakah karena kita tidak mengetahui proses perubahan dari biji menjadi tanaman,
kemudian peristiwanya tidak terjadi? Tentu tidak! Dalam hal ini, Paulus mau mengajak
mereka untuk memiliki dasar pemikiran bahwa Allah mampu mengubah biji menjadi
suatu tanaman, meskipun kita tidak tahu seperti apa prosesnya. Na, dengan cara yang
sama Paulus mau mengajarkan kepada Jemaat di Korintus : apakah kamu percaya
bahwa Allah mampu mengubah dari biji menjadi tanaman? Kalau kamu percaya akan
hal ini, maka hal yang sama juga harusnya kamu percaya bahwa Allah mampu
mengubah tubuh manusia. Harusnya mereka tidak mengalami kesulitan untuk
memahami akan kebangkitan tubuh manusia. Karena hal yang sama, Allah akan
melakukannya. Jadi yang menjadi kunci dalam semua proses ini adalah Allah, Dialah
yang memberikan tubuh yang baru sesuai yang Dia kehendaki. Jadi jika kita percaya
Allah maka kita harusnya percaya bahwa kehancuran tubuh kita ini dalam kuburan,
tidak akan menghalangi Dia untuk menyediakan tubuh yang baru. Contoh lain Ayat 41
dari dunia hewan (flora). Tidak semua daging sama. Ada daging binatang, ada daging
burung, daging ikan. Beda-beda. Contoh lainnya kalau kita lihat ke langit, ada matahari
punya kemuliaan yang berbeda dengan bulan, punya kemuliaan yang berbeda dari
bintang yang satu ke bintang yang lain. Ketika Paulus menjelaskan perbandingan ini,
baiknya kita mengerti konsep pemahaman orang Yahudi pada waktu itu. Bagi orang
yahudi, semua yang di atas disebut langit atau surga. Ketika dia melihat ke atas, itu
diimani sebagai tempat Allah bersemayam. Jadi Paulus bilang dibumi dagingnya beda-
beda, kalau kita lihat langit ada bintang, ada matahari dan semuanya punya kemuliaan
yang berbeda-beda. Apa yang Paulus mau maksudkan dari perbandingan ini. Paulus
bilang semua punya perwujudannya masing-masing. Binatang eksis punya daging,
matahari, bulan eksis punya bendanya, kemuliaannya sendiri. Itu yang pertama bahwa
keberadaan itu penting, wujud itu penting. Yang kedua, perbedaan daging dibumi nyata.
Daging dibumi berbeda satu sama lain (Ayat 39), demikian pula perbedaan kemuliaan
di sorga berbeda satu sama lain (Ayat 41). Tubuh sorgawi berbeda dengan tubuh
duniawi. Perbedaannya seperti apa? Ayat 42 – 44 Menjelaskan ditaburkan dalam
kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Tubuh yang kita miliki ini suatu waktu
akan mati, hancur. Tapi tubuh yang dibangkitkan akan menjadi tubuh yang tidak lagi
rusak. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan; tubuh ini tidak jahat
pada hakekatnya, tapi tidak dimuliakan karena lemah, rusak, tetapi tubuh yang
diberikan oleh Allah tidak akan memiliki kelemahan (Filipi 3 Ayat 21 mengatakan Tuhan
Yesus akan mengubah tubuh kita yang hina ini sehingga serupa dengan tubuhnya
yang mulia). Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan; kena pisau
luka, lemah, jatuh tulang patah, tapi nanti tubuh yang dibangkitkan punya kekuatan,
senantiasa kuat. Ditaburkan dalam tubuh alamiah, dibangkitkan dalam tubuh rohaniah.
Keduanya sama-sama tubuh, tapi yang membedakan adalah yang menggerakan.
Pertama digerakan oleh jiwa kita, tapi yang kedua digerakan oleh roh Allah sendiri
(Roma 8 : 10-11 “Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu,   maka tubuh memang mati
karena dosa , tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.  Dan jika Roh Dia,
yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati,   diam di dalam kamu, maka
Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan
menghidupkan juga tubuhmu  yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu).
Yang satu digerakan oleh jiwa kita, yang satu digerakan oleh Roh Allah yang
menghidupkan Yesus Kristus. Kemudian di Ayat 45 – 47 dikatakan ada tertulis manusia
pertama Adam menjadi makluk yang hidup tetapi Adam yang terakhir Yesus sendiri
menjadi Roh yang menghidupkan. Allah menciptakan Adam dari debu dan setiap kita
memiliki natur yang sama; tubuh kita dari debu tanah dan Allah menghembuskan nafas
sehingga kita bisa bergerak. Sedangkan Kristus sebagai Adam yang terakhir akan
memberikan kepada kita tubuh kebangkitan, tubuh yang sama seperti yang Dia miliki.
Sekarang kita memakai rupa yang alamiah seperti Adam, tapi kelak kita akan memakai
rupa surgawi. Allah sudah punya model tubuh yang baru, tubuh kebangkitan seperti
yang dikenakan oleh Kristus. Alasan pengubahan tubuh kebangkitan dikarenakan darah
dan daging tidak mendapat bahagian di dalam kerajaan sorga dan yang kedua, yang
binasa tidak mendapat bahagian dalam apa yang tidak dapat binasa. Maksudnya
adalah yang masih hidup adalah tubuh yang dapat binasa, tidak kekal, tidak mungkin
mendapat bagian dalam kekekalan. Kebangkitan ini terjadi pada waktu kedatangan
Tuhan Yesus yang kedua kali. Kita semuanya akan diubah. Artinya bahwa, ada orang
yang masih hidup, pada saat kebangkitan orang mati, yang terjadi secara simultan
dengan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (bnd. 1Tes 4:15), maka orang yang
masih hidup pada waktu Tuhan Yesus datang yang kedua kali akan mengalami
perubahan, yaitu pada saat nafiri terakhir berbunyi, mereka akan diubah dalam sekejap
mata, tanpa harus mengalami kematian terlebih dahulu. Itu penjelasan Paulus tentang
kebangkitan tubuh.
Bapak, ibu, sdr/I yang dikasihi Tuhan … … …
Banyak pemahaman kita tentang hidup setelah mati lebih dibentuk oleh film-film yang
popular atau literatur Bacaan yang popular ketimbang membaca Alkitab kita sendiri.
Oleh karena itu, mari kita membentuk pemahaman kita secara khusus tentang
kebangkitan tubuh dengan membaca Alkitab, agar kita dapat menghadapi ajaran sesat
yang berusaha melemahkan iman kita kepada ajaran Alkitab. Termasuk di dalamnya
tentang kebangkitan tubuh.

Kedua, Apapun keadaan tubuh kita, keadan fisik kita saat ini, bayarannya itu adalah
Kristus mati di kayu salib. Entahkah dia orang gagah, cantik, kurang cantik, tinggi atau
pendek, gemuk atau kurus, harganya sama yaitu Yesus Kristus mati di kayu salib untuk
kita. Oleh sebab itu marilah kita mempercayai bahwa Allah mampu untuk
membangkitkan tubuh yang telah mati dengan cara dan kuasa Tuhan sendiri. Percaya
artinya yakin bahwa kebangkitan tubuh itu pasti akan terjadi.

Ketiga, marilah kita menjaga dan merawat tubuh kita ini dengan baik, menjaga tubuh
yang sudah diberikan Allah kepada kita, Beberapa orang Kristen hanya fokus kepada
sisi kehidupan rohani saja, dan akibatnya mereka tidak merawat tubuh mereka dengan
baik dan benar. Lupa makan, sering begadang, dan bekerja di luar batas wajar menjadi
hal yang dianggap lumrah. Tubuh kita perlu dirawat dan diberikan istirahat yang cukup.
Tuhan menciptakannya demikian. Jika kita sering begadang, kita akan kehilangan
fokus, mudah lelah, mudah emosi, sel-sel tubuh kita cepat rusak, dan kulit kita akan
terlihat “layu”. Kita perlu merawat tubuh secara keseluruhan mulai dari kepala, mata,
mulut sampai kaki kita, menjauhkan tubuh kiat dari dosa percabulan, kenajisan, dlsb
nya. Karena Tuhan tidak hanya menjanjikan hal-hal yang baik untuk kerohanian kita
saja, tetapi juga fisik kita. Tuhan ingin tubuh kita kuat dan sehat, sehingga kita dapat
maksimal melayani Dia dan jiwa-jiwa yang terhilang, dan dapat menikmati kehidupan
yang Dia anugerahkan kepada kita dengan baik. Walaupun kelak, ketika mati tubuh kita
akan menjadi rusak, kita punya pengharapan bahwa suatu saat pada saat kedatangan
Kristus kembali, kita yang telah menjaga dan merawat tubuh kita dengan baik untuk
dipakai memuliakan Allah, akan mendapatkan tubuh yang baru yaitu tubuh kemuliaan.
Amin.
Edisi Rabu, 5 April 2023
YESUS DIHADAPAN PILATUS
Matius 27 : 11 - 26

Pengantar
Kita ada di Minggu sengsara Yesus yang terakhir hari ini, Minggu Sengsara yang ke 7.
Selama 7 Minggu kita semua telah menghayati derita dan sengsara Yesus Kristus.
Pembacaan kita hari ini menceritakan suatu bagian yang paling krusial dimana Kristus
harus diadili di pengadilan tertinggi pada waktu itu yaitu pengadilan wali negeri. 600
tahun sebelum kejadian ini, Nabi Yesaya dalam Yesaya 53:7 mengungkapkan: Dia
dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak
domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-
orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Nats kita hari ini
merupakan penggenapan dari Yesaya 53:7.

Sesuatu yang terjadi dalam nats kita hari ini sepertinya tidaklah masuk di akal,
ditambah lagi ayat Yesaya 53:7 diatas yang menyatakan bahwa Dia tidak membuka
mulutnya. Pengadilan wali negeri adalah pengadilan yang tertinggi dan sangatlah
menentukan nasib terdakwa. Pengadilan ini merupakan pengadilan yang paling krusial
karena keputusannya bersifat final. Sangatlah diharapkan bahwa pengadilan tertinggi
ini adalah pengadilan yang adil.

Pilatus sebagai wali negeri sudah melalukan ketidakadilan dalam pengadilan Kristus.
Pilatus tahu bahwa Kristus tidaklah bersalah, tetapi demi mencari kepentingan dia dan
untuk menyelamatkan posisinya, dia melakukan ketidakadilan dengan menghukum mati
Kristus. Hal ini menunjukkan betapa bejatnya posisi pengadilan tertinggi saat itu.    

Kita akan belajar kepada Tuhan Yesus dalam menghadapi pengadilan wali negeri
supaya kita juga bisa berhadapan dengan dunia ini. Kita yang merasa diri benar ketika
diperhadapkan dengan pengadilan yang tidak adil seperti ini maka kita akan merasa
sakit hati dan putus asa, apalagi Tuhan Yesus yang mempertaruhkan nyawa-Nya.
Kalau kita ada di posisi Tuhan Yesus maka kita akan melakukan berbagai hal untuk
menyelamatkan nyawa kita. Dalam nats kita hari ini kita justru melihat hal yang terbalik.
Ketika Pilatus bertanya apakah betul Yesus adalah raja orang Yahudi, Tuhan Yesus
menjawab: Engkau sendiri mengatakannya, artinya: Tuhan Yesus setuju dan
mengkonfirmasi pertanyaan Pilatus. Ketika muncul tuduhan-tuduhan palsu dari para
Imam Kepala dan ahli Taurat, Tuhan Yesus tidak menjawab satu katapun. Pilatus heran
dengan hal ini.  

Tuhan Yesus melakukan hal tsb karena Dia memiliki cara pandang yang berbeda
dengan pandangan umum, karena Tuhan Yesus memiliki sudut pandang dan
penglihatan dari Allah sedangkan Pilatus melihat dari sudut pandang manusia. Dalam
menghadapi suatu kasus, yang terpenting bukanlah melihat responnya terlebih dahulu
melainkan harus melihat cara pandangnya terlebih dahulu karena akan sangat
menentukan respon kita. Respon merupakan hasil dari cara kita melihat suatu masalah.
Cara pandang yang tepat akan menghasilkan respon yang tepat pula.

Pertanyaan yang diajukan oleh Pilatus kepada Tuhan Yesus, yaitu: Engkaukah raja
orang Yahudi?, adalah bersifat politis dan sangat berbahaya karena dia bukan berada
di posisi agama, kalau Tuhan Yesus mengakuinya berarti Dia adalah seorang
pemberontak negara. Seharusnya Tuhan Yesus tidak perlu menjawab pertanyaan ini
karena bersifat menjebak. Ketika Tuhan Yesus dituduh macam-macam, seharusnya
Tuhan Yesus menjawab untuk mengklarifikasi, untuk membela diri. Tuhan Yesus justru
melakukan kebalikannya sehingga Pilatus menjadi heran.   

Cara pandang dunia adalah untuk mengamankan diri sendiri, sehingga ketika suatu hal
membahayakan dirinya maka dia tidak mau menjawab, sebaliknya ketika suatu hal
dianggap merugikan dirinya maka dia harus membela diri. Kalau kita memiliki cara
pandang seperti ini maka kita juga akan mengalami seperti Pilatus. Tindakan Pilatus
merupakan respon dari cara pandangnya tersebut, dan hasilnya adalah kehancuran.
Pilatus terbawa melihat persoalan dari untung ruginya dia sendiri.

Tuhan Yesus melihat dari sudut kebenaran. Apa yang benar dan apa yang seharusnya
merupakan 2 aspek yang menentukan segala sesuatu yang kita hadapi. Pertanyaan:
Engkaukah raja orang Yahudi? merupakan pertanyaan yang mempertanyakan tentang
kebenaran sehingga perlu untuk mendapatkan jawaban yang benar. Tuhan Yesus
menjawab pertanyaan tersebut walaupun beresiko mati. Semua kalimat yang tidak
benar, seperti: tuduhan-tuduhan palsu, tidaklah perlu diresponi. Hal yang salah tidaklah
perlu dibela karena kebenaran akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu pembelaan.

Kita harus belajar untuk melihat bagaimana cara Tuhan melihat suatu kasus dan
bagaimana reaksi Tuhan terhadap kasus tersebut dan kita harus sinkron dengan cara
Tuhan tersebut. Dalam gerakan Gereja Masehi Injili kita belajar dalam menghadapi
berbagai fitnahan dari orang-orang yang membenci kita. Beberapa Hamba Tuhan ingin
sekali menjawab fitnahan tersebut tetapi para pendiri Gereja kita berkata bahwa mereka
bukan dipanggil untuk menjawab fitnah, lagi pula daripada waktu kita habis untuk
menjawab fitnah lebih baik kalau dipakai untuk penginjilan. Pertanyaan yang benar,
ditanyakan dengan benar, harus mendapatkan jawaban yang benar. Semua pertanyaan
yang salah, yang memiliki motivasi tidak benar, tidaklah perlu mendapatkan jawaban.
Tidak menjawab pertanyaan yang benar adalah merupakan dosa. Menjawab
pertanyaan yang tidak benar juga merupakan dosa karena telah memakai waktu dan
tenaga untuk hal yang tidak benar.

Kita seringkali mengasihani diri sehingga cenderung mengurus hal-hal yang tidak
penting dan meloloskan hal yang penting. Cara yang terbaik adalah mengerjakan
semua hal yang penting dan meloloskan hal yang tidak penting. Kalau kita melakukan
hal ini maka seluruh hidup kita akan beres.

Kita juga dituntut mempunyai hati Allah dan juga pikiran Allah, bukan hanya melihat
seperti Tuhan melihat tetapi juga berpikir seperti cara pikir Tuhan. Tuhan Yesus tidak
menjawab pertanyaan Pilatus bukan karena Dia tidak bisa menjawab tetapi karena Dia
sengaja tidak mau menjawab. Tuhan Yesus tidak melawan bukan karena tidak bisa
melawan melainkan karena sengaja tidak melawan, Dia membiarkan hal itu terjadi.
Seorang Pilatus mengadili Tuhan Yesus, merupakan cara pikir yang tidak tepat sejak di
titik pertama. Hal ini menyangkut penempatan diri/ posisi. Di era Post-modern ini kita
cenderung dibaurkan posisinya dan kita mulai terjebak dengan permainan seperti
Pilatus. Manusia mulai kehilangan personalitas karena diganti dengan logo dan simbol.
Secara ikon, kita hanya melihat adanya hakim yang mengadili terdakwa. Bagi Tuhan
Yesus, hakim dan terdakwa belumlah cukup karena bukan merupakan orangnya dan
hanya merupakan definisi yang tanpa isi dari suatu posisi.  

Dalam tataran management, kita cenderung membuat suatu tatanan sistem lalu
memasukkan orang kedalam tatanan sistem tersebut, dan yang kita lihat adalah
sistemnya. Tanpa sadar hal ini akan menjebak kita sendiri karena banyak
ketidakberesan terjadi. Seorang Pdt. GMIT mengeluarkan pernyataan bahwa Kita
jangan hanya melihat organisasi melainkan harus selalu melihat orangnya. Dalam
setiap rapat, beliau selalu menanyakan siapa orang yang ada di posisi tertentu, lalu
tepatkah dia berada di posisi tersebut.
Layakkah Pilatus menjadi hakim, bagaimanakah hidupnya, layakkah dia mengadili?
Yang menjadi terdakwa adalah Kebenaran, sedangkan yang menjadi hakim adalah
orang yang rusak, suatu posisi yang tidak cocok! Maka dari itu Tuhan Yesus merasa
tidak perlu menjawab. Di dunia ini begitu banyak simbol untuk menutupi diri kita.
Seberapa jauh kita menjaga kemurnian posisi kita sehingga ketika kita diverifikasi/
menjalani ujian kelayakan, kita dapat lulus? Ketika kita bisa melihat segala sesuatu
dengan tepat maka kita tidak akan mudah terkecewakan maupun tertipu.

Bukan hanya perlu memiliki hati Allah, pikiran Allah, kita juga perlu memiliki
pengorbanan seperti Allah. Kristus membiarkan Diri-Nya diam, bukan berarti kalah,
melainkan membiarkan Diri-Nya untuk ditindas dan dihancurkan. Kalau Kristus kalah,
gagal dalam misi-Nya, maka kekristenan hari ini juga selesai. Tuhan Yesus tidak kalah!
Ketika manusia berpikir bahwa Tuhan Yesus kalah, justru disitulah terjadi kemenangan
yang paling dahsyat. Ketika manusia berpikir bahwa para Imam Kepala, ahli Taurat,
dan Pilatus telah menang, justru disitulah terjadi kekalahan yang paling tuntas. Tuhan
Yesus membiarkan Diri-Nya berkorban dan disiksa untuk membawa Injil yang sejati.
Injil yang sejati adalah Injil yang dimodali dengan penderitaan dan pengorbanan. Tidak
ada Injil tanpa pengorbanan.  

Penginjilan tidak sama dengan pemasaran. Pemasaran selalu memikirkan keuntungan,


sedangkan penginjilan memerlukan pengorbanan. Injil membawa sukacita bagi orang
lain karena orang bisa melihat adanya orang yang berkorban demi nyawanya. Berita
Injil membawa pesan sebuah pengorbanan diri. Hanya kekristenan yang memiliki jiwa
pengorbanan yang dahsyat demi orang lain. Kekristenan mula-mula dianiaya habis-
habisan tetapi demi Injil mereka tetap mau mengabarkan Injil. Sepanjang sejarah
Gereja, inilah esensi dari pemberitaan Injil. Pada hari ini seringkali kita ingin
mengabarkan Injil dengan enak, tidak mau berkorban. Ada yang berkorban waktu tapi
tidak tidak mau berkorban isi dompetnya bagi pemberitaan injil.

Bapak, Ibu Terkasih … Penginjilan bukan hanya tergantung pada cara/ metode
melainkan memerlukan pengorbanan diri. Itulah jiwa Injil. Injil bukan hanhya tergantung
pada metodologi melainkan memerlukan hati yang seperti Kristus. Kiranya kita bisa
memiliki hati yang seperti Kristus yang mau berkorban untukNya.

Bukan seperti Pilatus yang yang berwenang menegakkan hukum atas dasar kebenaran
dan keadilan terpaksa diabaikan karena teriakan massa disertai ancaman kekerasan.
Bisikan hati nuraninya, juga pesan istreinya agar tidak melakukan dosa terkait nasib
Yesus terpaksa diabaikan Pilatus karena tuntutan massa begitu kuat. Desakan politik
massa, dan bukan kebenaran dan keadilan, yang menjadi penentu nasib Yesus. Yesus
akhirnya menjalani via dorolosa akibat sebuah pengadilan yang tidak benar dan tidak
adil. Penting sekali bagi kita untuk memelihara hati nurani sehingga mampu bertindak
baik dan benar dalam segala setuasi, bahkan meski pun nyawa menjadi taruhan.
Nurani kita biasanya tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Apabila nurani kita
sudah dikalahkan kepentingan diri, materi atau mamon maka lama-kelamaan kita
mengabaikan kebenaran dan suara Tuhan. Kebenaran tak boleh dikompromikan demi
kepentingan diri semata. Jangan juga seperti Barabas yang bebas dari hukuman
pengadilan tapi pulang sebagai orang yang tidak menginspirasi.

Amin.

 
Edisi Rabu, 22 Maret 2023

YESUS MENANGISI YERUSALEM


LUKAS 19 : 41 – 44

Tuhan Yesus dekat kota Yerusalem lalu Tuhan Yesus melihat kota itu dan Ia
menangisinya. Bapak, ibu, sdra – sdri … Pertama-tama kita lihat disini seluruh Alkitab
mencatat 2x Yesus menangis. Satu kali Ia menangisi Yerusalem. Satu kalinya Ia
menangis terharu, prihatin terhadap penderitaan yang dialami oleh Maria dan Marta
yang kehilangan sdra laki-laki satu-satunya yaitu Lazarus yang meninggal. Di Dalam
Yoh 11 : 35 dikatakan “maka menangislah Yesus”. Kita harus ingat waktu Tuhan
Yesus menangis bukan karena kehilangan Lazarus sebab Dia akan membangkitkan
Lazarus, Yesus Kristus menangis bukan karena kehilangan Lazarus, Dia menangis
karena prihatin, empati dengan perasaan kehilangan yang dialami oleh Marta dan
Maria. Itu sebabnya Dia menangis. Pertanyaannya : kebetulankah dicatat 2x menangis?
Kita tidak pernah tahu berapa kali Tuhan Yesus menangis tapi Alkitab hanya mentata
2x. Alkitab tidak pernah mencatat Tuhan Yesus tertawa. Itu sebabnya banyak
Pengkotbah yang memahami Alkitab ini dengan sangat ekstrim sehingga hampir tidak
pernah mereka tertawa, cerita lucu di dalam kotbah. Kenapa? Yesus tidak ;pernah
tertawa sewaktu menyampaikan Firman Tuhan. Kita tidak pernah tahu apakah Yesus
pernah tertawa? Menangis pernah, dan itu dicatat 2x. Apakah ini kebetulan? Mengapa
hanya dicatat 2x Ia menangis. Apa pelajaran yang penting yang boleh kita terima dari
2x dicatat Ia menangis. Yang pertama, Dia menangis untuk orang dekat dan yang
kedua, Dia menangis untuk orang luar. Kita bisa sebut itu sebagai tangisan internal dan
tangisan eksternal. 2x Ia menangis. Pertama-tama untuk orang yang dekat dengan Dia.
Menangis prihatin untuk orang-orang yang dekat dengan Dia. Tetapi Dia menangis
bukan hanya untuk orang yang dekat dengan Dia tapi juga untuk orang yang ada di
luar. Itulah teladan yang harus kita ikuti. Kita menangis untuk keluarga kita sendiri tapi
juga jangan lupa menangis untuk keluarga yang lain. Menangis untuk anak kita tapi
juga menangis untuk anak yang lain. Setiap kali kita berdoa untuk anak kita sendiri,
setiap kali kita prihatin untuk anak kita sendiri, langsung saat itu juga belajar mengingat
rumah tangga yang lain, anak-anak yang lain yang juga mengalami hal yang sama,
yang juga mengalami pergumulan yang sama seperti kita, yang perlu didoakan seperti
ini, itulah hati yang Tuhan Yesus jarkan kepada sdra dan saya.Yesus bukan hanya
menangis untuk Marta dan Maria yang berdukacita. Marta, Maria dan Lazarus memang
adalah keluarga yang sangat dekat dengan Yesus. Tetapi ketika mendekati kota
Yerusalem Dia juga menangis untuk orang-orang yang ada diluar sana. Mereka juga
perlu didoakan. Pada waktu kita berdoa dan berlutut, berdoa dan berlutut juga untuk
misi Yesus, penginjilan, untuk bangsa-bangsa, hamba-hamba Tuhan, para misionaris
yang diutus Tuhan memberitakan Injil sampai ke pelosok-pelosok negri. Kita tidak
hanya berdoa bagi pergumulan kita, masalah kita tapi juga kita berdoa untuk orang lain.
Kenapa? Karena hati BAPA mengasihi dunia ini, sehingga Ia memberikan AnakNya
yang tunggal supaya dunia ini tidak binasa. Karena itu, ketika kita berdoa untuk
pekabaran Injil, hamba-hamba Tuhan, bangsa-bangsa lain, kita sedang belajar untuk
berdoa bukan untuk kepentingan kita, tapi kita belajar menangis untuk orang lain. Kita
belajar berdoa untuk orang lain. Kita belajar menangis internal dan menangis eksternal.
Menangis untuk Gereja kita, tapi juga menangis untuk bangsa kita. Menangis untuk
bangsa kita tapi jangan lupa menangis juga untuk bangsa lain. Kita berdukacita untuk
orang-orang yang ada di sekitar kita, tapi jangan lupa juga berdukacita untuk orang lain.
Kita berdukacita untuk dosa kita sendiri, kita menyesal, memukul diri, tapi pada saat
yang sama kita juga harus belajar berdukacita, menyesal, memukul diri untuk dosa
yang dilakukan oleh orang lain. Inilah keteladanan yang sangat indah dari Tuhan
Yesus. Hati yang besar, hati yang luas dari Yesus.

Bapak, ibu terkasih… … Tuhan Yesus menangis karena malapetaka yang akan
ditimpakan kepada kota Yerusalem. Ini pelajaran bagi kita. Waktu kita memarahi anak
kita, pada waktu kita menegur karyawan, kita harus berdukacita, pada waktu kita
mendisiplin murid-murid kita harus berdukacita. Kita tidak boleh melakukan itu untuk
melampiaskan emosi kita. Seringkali orangtua memarahi anak bukan untuk membela
kebenaran tetapi mengutamakan perasaan dia. Ini suatu kesalahan yang membuat
anak sulit mengerti mana kebenaran dan mana yang bukan kebenaran. Tegur anak
dengan dukacita karena pada saat kita menegur anak dengan dukacita, anak akan
menangkap cinta kasih dibalik teguran itu. Tidak boleh main HP. Lalu bapak, mama
bermain HP sambil tertawa. Itu akan menimbulkan benih kepahitan pada anak. Ini salah
satu hal yang perlu kita waspadai.

Tuhan Yesus mendekati kota itu, Dia melihat kota itu dan Dia menangis. Kalau sdra
pergi ke luar kota, ke suatu tempat atau desa, selain untuk mengerjakan urusan
keluarga atau pekerjaan kita, atau untuk hiling, jangan lupa berdoa bagi kota itu, bagi
desa itu. Setiap kali sampai di suatu kota jangan lupa doakan kota itu. Katakana :
Tuhan, disini ada Gereja, bangunkan iman mereka. Tuhan di sini ada suku ini, suku itu,
Tuhan buka pintu pekabaran Injil bagi mereka. Jangan kita terjebak dari keluar-biasaan
kota itu, keindahan tempat itu, tetapi di belakangnya ada banyak dosa dan kejahatan
yang sangat menakutkan. Bapak, Ibu terkasih … … Di dalam dunia ada 2 kota yang
paling terkenal yaitu Makao dan Las Vegas. 2 kota itu kalau kita lihat di tivi atau
menonton di youtube kota Makao, Las Vegas itu sangat indah, ada gunung, ada kota,
ada laut. Kalau di Indonesia seperti semarang, dlsb ada kota, ada gunung, ada laut,
kalau berkumpul sangat indah. Tetapi dibalik keindahan itu begitu banyak dosa. 70%
ekonomi Makao berasal dari prostitusi dan perjudian, juga bisnis narkoba. Orang ada
kos-kosan, ada. Yang ditinggal disitu mungkin pelacur, mucikari, germo, mungkin orang
yang kerja di perjudian. Karena begitu banyak orang yang kerja di dunia yang gelap ini
sehingga gereja rata-rata gereja tidak berani menegur dosa itu. Kalau gereja itu
menegur, jemaat pindah. Sebab rata-rata jemaat prostitusi, jual narkoba, bermain judi.
Persembahan 70% dari situ. Makanya Gereja tidak berani tegur terhadap semua dosa-
dosa itu. Dibalik kota yang indah itu ada banyak hal yang gelap dan menakutkan.
Jangan lihat kota dengan hati manusia tapi lihatlah dengan mata rohani kita; mata yang
melihat dari sudut pandang Tuhan. Kota itu indah, kota ini makanannya enak padahal
banyak berhala di kota itu. Seperti Paulus waktu masuk ke kota Athena, dia melihat
banyak berhala dan tukang sihir, dukun, sehingga Paulus bersedih. Berarti Paulus
memikirkan apa yang dipikirkan oleh Tuhan, bukan apa yang dipikirkan mata manusia.
Paulus melihat dibalik gedung yang bagus, mungkin di dalamnya ada isteri simpanan,
ada judi di dalam rumah itu, ada perselingkuhan di gedung itu, ada korupsi di gedung
itu, ada ketidakadilan. Mungkin di dalamnya ada anak yang disiksa oleh bapak,
mamanya, mungkin di dalamnya ada orang yang sudah mati dan dikuburkan secara
diam-diam disitu. Di balik gedung yang indah itu, di balik kota yang indah itu ada
kejahatan, ada banyak dosa di sana. Karena itu mari kita melihat segala sesuatu
dengan mata rohani kita supaya kita dapat melakukan segala sesuatu seperti yang
Kristus lakukan. Amin.
Edisi Rabu, 15 Maret 2023

PENDERITAAN BADANI DAPAT MENJADI SARANA ALLAH


UNTUK KITA BERHENTI BERBUAT DOSA.
I Petrus 4 : 1 - 6

Penderitaan Kristus menjadi satu alasan bagi kita untuk bisa meninggalkan atau mematikan
dosa. Jadi penderitaan kristus menjadi teladan bagi kita untuk mematikan dosa. Rasul Petrusc
mengatakan dalam Ayat 1 Kristus telah menderita oleh penderitaan badani. Kata badani ini
mengacu kepada natur manusia Kristus. Jadi waktu Kristus menderita, Dia menderita secara
fisik, secara manusia Kristus betul-betul mengalami penderitaan itu. Kristus pernah berpuasa
selama 40 hari 40 malam, Dia mengalami lapar. Dia juga pernah mengalami penderitaan pada
waktu Dia kekurangan tidur sampai Ia tertidur dalam badai. Bisa dibayangkan lelahnya seperti
apa sampai Dia tertidur di dalam badai. Itu pasti suatu kelelahan badani yang sangat besar.
Lalu penderitaan Kristus secara mental lalu mempengaruhi badannya. Butir-butir keringatnya
bertetesan seperti darah waktu Ia di taman Getsemani. Kita juga tahu bagaimana Kristus
diludahi, bagaimana Dia dicambuk dengan cambukan yang mengoyak seluruh tubuhnya. Jadi
Dia mengerti penderitaan badani. Dia diberi mahkota duri, dipaku, digantung berjam-jam di atas
kayu salib. Diejek, dihina, dan kemudian ditikam dadaNya. Jadi Kristus sudah mengalami
penderitaan badani. Akibat dari hal itulah Petrus kemudian mengatakan persenjatai dirimu
dengan pikiran yang demikian di dalam hatimu. Kita diminta untuk memperlengkapi diri kita
dengan senjata perang dan senjata perangnya ialah pemikiran tentang penderitaan Kristus.
Kodrat manusia Kristus pada waktu Dia menderita, mari kita pikirkan penderitaannya.

Kemudian dikatakan “Karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti
berbuat dosa” Kata badani yang kedua ini bicara tentang karakter yang sudah tercemar karena
dosa. Kalau bagian I penderitaan badani Kristus adalah Dia sebagai Mc yang tidak berdosa.
Tapi dibagian II dikatakan kita yang mengalami penderitaan badani, orang yang mengalami sifat
cemar. Artinya Kristus sudah mengalami penderitaan badani dalam kodratnya sebagai
manusia, maka kita juga harus menderita sedemikian. Kalau Kristus kodratnya sbg manusia
yang tidak berdosa saja menderita, apalagi kita yang kodratnya mc berdosa. Kalau kita
menderita kita harus melihat kepada penderitaan dan penderitaan itu akan membaut kiat
berhenti berbuat dosa. Kalau kristus menderita karena dosa kita, kita menderita untuk
mematikan dosa. Maka kalau kita memahami hal ini maka kita akan berhenti berbuat dosa.
Petrus mengatakan jadi kalau Kristus menderita penderitaan badani dalam kodratNya sebagai
manusia, kamu pun juga harus mempersenjatai diri dengan pikiran yang demikian. Barangsiapa
telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa. Maksudnya adalah kalau
seseorang itu mengalami natur dosa dia, dia akan menderita. Dia tidak lagi punya kesempatan
untuk berpikir untuk melakukan dosa karena dia sudah mengalami hal itu. Orang kalau sangat
kesakitan, pikirannya akan tertuju kepada rasa sakitnya, tidak tertuju pada hal yang lain, tapi
pada penderitaannya, pergumulannya. Demikian juga pada waktu kita mengalami penderitaan,
khususnya bukan karena kita berbuat dosa, tapi menderita karena mengikut Kristus, khususnya
mematikan kecemaran kita, penderitaan semacam itu akan membuat jadi tidak ingin berbuat
dosa. Waktu seseorang berada di dalam ketakutan yang sangat besar, dia pasti tidak akan
berpikir lagi untuk berbuat dosa. Maka kadang-kadang Tuhan mengizinkan penderitaan fisik
untuk mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Dia. Biasanya orang baru betul-betul datang
kepada Tuhan, waktu dia mengalami penderitaan yang sangat besar. Waktu dia mengalami
penderitaan badani, sebelumnya tidak. Sebelumnya dia merasa dirinya ok, tidak butuh Tuhan
juga tidak apa-apa, tapi pada waktu dia kena suatu penderitaan badani yang sangat besar, baru
hatinya mulai berpaling berbalik kepada Tuhan. Banyak orang yang hatinya keras, menutup diri
terhadap berita Injil, merasa dirinya masih punya kekayaan, masih punya segala sesuatu yang
mencukupi dirinya, mungkin dia punya inteletualitas, pamor, dia terkenal, dia punya prestasi
dan lain sebagainya, dia merasa tidak membutuhkan Tuhan, sampai suatu saat mungkin dia
lumpuh, sampai suatu saat mungkin dia terkena sakit yang parah, terminal yang tidak bisa
sembuh lagi, penderitaan badani ini kadang membaut orang mulai merasa kebutuhannnya akan
Tuhan. Dia mulai berpaling dari dosanya, dia mulai datang kepada Tuhan, dia mulai merasa
kebutuhannya akan Juruselamat, dan waktu dia baca Alkitab, dia mendengar Firman Tuhan, dai
kemudian menyadari ternyata ada juga yang menderita yaitu Kristus bagi dia. Sehingga dia
dipersenjatai dengan pikiran semacam itu; dia berhenti berbuat dosa karena dia menyadari hal
tsb. Rasul Petrus menulis surat ini kepada pembacanya yang betul-betul akan mengalami
penderitaan dalam waktu yang singkat. Rasul Petrus mengatakan jadikan penderitaan itu
sebagai alasan terkuat, terbaik untuk mematikan semua jenis dosa.

Semua penderitaan yang kita alami diluar Kristus belum tentu membawa kita pada pengudusan.
Kristus menderita bagi kita. Kita harus mempersenjatai diri kita semacam ini. Bisa saja kita
simpati kepada penderitaan Kristus. Bisa juga kita mengalami penderitaan. Tapi pada waktu
kita mengalami penderitaan, terlepas dari Kristus, kita tidak mempersenjatai diri kita dengan
pikiran semacam ini. Menderita tapi selesai menderita berbuat dosa lagi. Bukankah tidak sedikit
orang Kristen yang bolak-balik dihajar sama Tuhan, tapi tidak kapok-kapok, dia mengulangi hal
yang sama, karena memang tidak ada kaitan dengan seluruh hidupnya. Setelah berbuat dosa,
kena hajar sama Tuhan setelah bertobat, dia berbuat dosa lagi. Kadang-kadang cara agama
seperti itu. Dosa dibersihkan dengan perbuatan baik, setelah selesai, buat lagi. Dia menderita
tapi penderitaannya itu bukan dalam rangka pengudusan diri

Ada orang yang menderita karena kesalahannya sendiri, dapat hukuman dari Tuhan. Bagus
kan? Biar dia bertobat tapi nyatanya tidak juga bertobat. Sebaliknya ada orang yang menderita
bukan karena kesalahan dia, tapi karena dia beriman kepada Tuhan, dia menderita. Jenis
pertama dia menderita harusnya dia berbalik kepada Tuhan. Seperti anak bungsu yang
terhilang itu. Setelah dia makan ampas makanan babi, jatuh miskin, dia menderita cacingan,
bukan dalam kondisi yang baik, sudah mengalami penderitaan fisik, kemudian dia berbalik dan
pulang kepada bapanya. Tapi ada orang yang sudah mengalami penderitaan tapi dia tidak
berbalik kepada Tuhan. Kalau dia mengalami penderitaan yang paling berat sekalipun, tetapi
dia tidak punya pikiran kepada Kristus yang menderita baginya, maka penderitaannya itu tidak
akan mematikan keinginan dosanya. Kita tidak akan bertobat. (Cerita : Ada seorang pencuri
ditangkap, digebukin. Trus ditanya polisi : kamu bertobat tidak? Ya pa saya bertobat. Kenapa
kamu bertobat? Sakit pa. digebukin lagi, babak belur ke2. Ditanya lagi kamu bertobat tidak?
Bertobat pa. kenapa? Karena saya salah pa) digebukin sampai dia mengaku salah. Jadi
kebanyakan orang tidak bertobat, tidak mengakui kesalahannya. dia cuma berhenti berbuat
dosa karena dia merasa sakit karena sudah kena konsekuensi, tapi pikirannya itu tidak ada
penyesalannya sama sekali. (Cerita : ada seorang jemaat main judi di lantai 2, kalah. Tidak bisa
bayar, dilempar dari lantai 2 jatuh, patah kakinya. Trus jemaat itu datang kepada pdtnya. Pa pdt
saya kalah judi, saya main di lantai 2, setelah kalah saya dilempar, kaki saya parah, apa yang
harus saya lakukan. Pdtnya menjawab : kalau saya jadi kamu, besok saya akan berjudi di
lantai 1. Trus ada Majelis yang komentar : itu nasehat pdt macam apa? Dia jatuh harusnya
suruh dia bertobat, ini malah suruh dia berjudi lagi di lantai 1. Pdtnya bilang begini : saya tahu
karakter dia, diomongin apapun dia akan balik judi lagi, jadi kasih nasehat buat keamanan dia
saja, daripada judi di lantai dua dibuang mati. Kadang ada orang yang tidak bisa dinasehati,
tidak ada gunanya. Jadi nasehat terbaik dia adalah melindungi dirinya supaya tidak terjadi
kesalahan yang fatal lagi. judi pertama saja sudah dilempar sampai kakinya patah apalagi yang
kedua bisa mati dia nanti. Kalau seseorang mengalami penderitaan sekalipun di dalam
hidupnya, tapi kalau tidak membawa dia pada pertobatan tidak ada gunanya sama sekali, dia
akan terus berulang-ulang melakukan dosanya.

Jadi bapak, ibu, sdra, sdri terkasih … Dalam setiap rumah tangga kita, mari kita jadikan
penderitaan itu sebagai senjata perang yang akan mengarahkan hati kita kepada Tuhan. Dan
mari kita jadikan penderitaan itu untuk berhenti berbuat dosa. Sampaikanlah Firman Tuhan ini
kepada mereka yang menderita. Katakana bahwa penderitaan dapat menjadi sarana Allah
untuk menyadarkan kita dan membawa kita berbalik kepada Allah. Amin.

Anda mungkin juga menyukai