Anda di halaman 1dari 2

JEBAKAN PERSONA DUNIA MAYA DAN KESEHATAN MENTAL

Oleh: Willy Ramadan

Pernah sesekali, saya iseng membuka dan membaca kembali status-status di laman
facebook yang pernah saya tulis dulu kisaran tahun 2006-2007, saat awal baru memiliki akun
media tersebut. Saya cermati isi tulisan-tulisan tersebut, ada kegelian dan kelucuan
didalamnya. Saya mengira, bisa jadi, saya bukan satu-satunya yang punya pengalaman itu.
Dimana kita sering geli dan ketawa sendiri dengan apa yang pernah kita tulis saat kecil atau
remaja, baik pada media sosial atau yang paling konvensional pada sebuah diary/catatan
harian. Kondisi ini adalah sebuah indikasi bahwa bukan hanya fisik dan kognitif yang
berkembang dan bertumbuh, namun juga mental. Mental kita saat ini mampu menilai, bahwa
apa yang kita lakukan, jalani dan alami dulu, melalui cara kita menulis dan mengekspresikan
kondisi saat itu, adalah bagaimana gambaran mental kita saat itu, penuh dengan drama
kekanak-kanakan. Meskipun begitu, itulah pengalaman berharga, karena mental sangat erat
kaitannya dengan pengalaman.
Mental yang sehat selalu diidentikkan dengan pikiran positif, merasa tentram, tenang,
teduh, dan penuh dengan aura dan energi positif. Namun belakangan, mental health atau
kesehatan mental menjadi isu yang ramai didiskusikan. Banyak orang memberikan warning,
pentingnya memperhatikan kesehatan mental, lebih-lebih dengan perwujudan distrupsi
teknologi yang secara massif dan sporadis. Selain faktor lingkungan, seperti lingkungan
keluarga, sekolah atau lingkungan kerja, dan juga pola hidup, kehadiran teknologi, khususnya
media sosial, dianggap juga memberi dampak besar terhadap kesehatan mental. Namun,
benarkan teknologi memiliki andil dalam memberikan dampak negatif?

Jebakan Persona Dunia Maya


Elizabeth Kristi Poerwandari (2021) dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
Fakultas Psikologi UI dengan sangat yakin menyampaikan bahwa teknologi terbukti bisa
memengaruhi kesehatan mental, begitu kesimpulannya. Bagaimana tidak, teknologi
menjanjikan individu-individu untuk menciptakan realitas baru, yang dia tidak miliki di
dalam dunia nyata. Media sosial, misalnya, memberikan tempat bagi orang yang terobsesi
untuk terlihat sempurna, yang biasanya terpicu karena pembandingan-perbandingan sosial.
Sehingga, pengguna seringkali berburu like, komentar dari pengikut hingga mengejar status
verified, yang kadang kebahagian dan kesedihan identik dengan banyaknya tidaknya atau
positif tidaknya respon tersebut.
Carl Gustav Jung, seorang tokoh psikologi, menyebut fenomena ini dengan sebutan
persona atau topeng. Sebenarnya, individu tersebut adalah manusia yang sedang berupaya
mewujudkan dirinya dengan persona baru, padahal persona yang dia gunakan bisa jadi jauh
berbeda dengan dunia nyata. Pada akhirnya orang tersebut akan berupaya sebisa mungkin
menampilkan didunia nyata sebagaimana persona di dunia maya bahkan kadangkala individu
ini sendiri terkecoh dengan persona yang dia tampilkan. Kita sering mengira dan selalu
memisahkan antara dunia maya dan dunia nyata, semacam membandingankan antara online
dan offline. Padahal sebenarnya dunia maya adalah dunia nyata dengan model yang berbeda,
berada dalam satu realitas yang sama. Hanya saja perbedaannya, dunia maya memiliki
intensitas suara, gambar, text, atau visual tanpa adanya perjumpaan fisik secara langsung
sebagaimana dunia nyata.
Perilaku ini tentu sangat memengaruhi pada mental seseorang, karena individu akan
sebisa mungkin menampilkan persona fiktifnya ke sosial, dan tentu akan memicu tindakan-
tindakan yang berisi dengan ketidaktenangan atau kekhawatiran, seperti kekhawatiran
topengnya akan terungkap dan diketahui publik. Selanjutnya, jika topengnya terungkap, dapat
bisa dipastikan akan menimbulkan sikap terasing atau terisolir dari sosial, dan biasanya akan
berlanjut kepada perilaku-perilaku bullying di media sosial. Sehingga pada akhirnya, individu
tidak lagi memiliki tempat yang nyaman, baik nyata maupun maya. Fatalnya, ini bisa
berujung pada tindakan-tindakan penyimpangan, seperti stress hingga bunuh diri.
Namun, meski memberi andil dalam memicu dampak negatif, tapi kehadiran
teknologi pada dasar diciptakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan banyak hal,
seperti bertansaksi dan berinteraksi. Sehingga, teknologi tidak selayaknya menjadi kambing
hitam, namun justru kedewasan manusia dalam berteknologi yang patut menjadi perhatian
kita.

Gratitude dan Self-Love


“Berhenti mengukur diri dengan ukuran orang lain, berhenti menimbang diri dengan
timbangan orang lain”. Itulah nasehat yang sering kali disampaikan agar kita berhenti
membanding-bandingkan kondisi kita dengan orang lain. Perbandingan-perbanding sosial,
terlalu terobsesi untuk memenuhi pandangan publik dan harapan sosial, seringkali menjadi
racun yang perlahan membuat kita menjadi manusia yang terus merasa selalu berada pada
kondisi kekurangan, dan melahirkan ketidakpuasan dengan apa yang sudah dimiliki.
Sehingga, menjadi manusia yang beragama adalah salah satu cara agar mental tetap terus
terpelihara dan terjaga kesehatannya.
Sama halnya dengan cara menjaga kesehatan fisik, selain menjaga kualitas makanan
yang masuk ke dalam tubuh, seseorang juga harus membiasakan diri untuk rajin berolahraga.
Begitu juga halnya dengan mental, selain memastikan semua kualitas informasi yang masuk
kedalam akal pikir, kita juga perlu untuk terus menjaga mental selalu dalam kondisi positif.
Diantaranya adalah dengan bersyukur (gratitude) dengan apa yang dimiliki, dan tidak
membandingkan pencapaian diri dengan orang lain atau menerima dan mencintai diri sendiri
(self-love).
Diakhir tulisan ini, harapannya semoga kita mampu dan terus berusaha menjadi
manusia yang bersyukur, tentu dengan terus meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidup,
sembari tidak lupa berdoa kepada Tuhan. Selain itu, banyak hal yang mampu kita lakukan,
bahkan dari hal-hal yang kecil dan sepele, seperti menikmati waktu santai dengan melakukan
hobi atau seperti yang saya lakukan, kembali membuka kembali catatan harian ketika kita
kecil, lalu resapilah hal-hal positif yang sudah kita alami selama ini. Hal kecil ini bisa
membuat kita merasakan penuh kesyukuran bahwa kita bisa sudah sebesar ini, sedewasa ini.
Banyak keindahan dan keberkahan yang sudah Tuhan berikan dalam hidup, hingga kita
masih berdiri kokoh sampai saat ini. Maka bersyukurlah agar kita terus bahagia.

Anda mungkin juga menyukai