Anda di halaman 1dari 20

BAB 5 BENCHMARKING

Pendahuluan

Benchmarking mulai muncul pada 1980-an, menjadi tren manajemen pada awal 1990-an. Ini
melibatkan dua organisasi yang setuju untuk saling berbagi informasi tentang proses atau
operasi mereka untuk saling menguntungkan. Tidak termasuk penjiplakan atau spionase
karena dilakukan dengan kesepakatan formal. Berbeda dengan analisis persaingan yang
hanya membandingkan produk, benchmarking mencakup aspek lain seperti rekayasa, cara
produksi, dan distribusi.

Konsep Benchmarking

Ada banyak definisi mengenai benchmarking, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Gregory H. Watson
Benchmarking sebagai pencarian secara bersinambung dan penerapan secara nyata
praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
2. Robert Camp
Benchmarking adalah proses pengukuran yang kontinyu menyangkut produk, jasa dan
praktik praktik terhadap kompetitor terbaik.
3. David Kearns (CEO dari XEROX)
Benchmarking adalah suatu proses pengukuran terus-menerus atas produk, jasa. dan tata
cara terhadap pesaing yang terkuat atau badan usaha lain yang dikenal sebagai yang
terbaik.
4. IBM
Benchmarking merupakan proses terus menerus untuk menganalisis tata cara terbaik di
dunia dengan maksud menciptakan dan mencapai sasaran dan tujuan dengan prestasi
kelas dunia.
5. Teddy Pawitra
Benchmarking adalah suatu proses belajar yang berlangsung secara sistematik dan terus
menerus dimana setiap bagian dari suatu perusahaan yang terbaik atau pesaing yang
paling unggul.
6. Goetsch dan Davis
Benchmarking adalah suatu proses pembandingan dan pengukuran operasi atau proses
internal organisasi terhadap mereka yang terbaik di kelasnya baik di dalam maupun di
luar industri.
7. Mc. Nair dan Kathleen H.J Leibfried
Benchmarking adalah sebuah proses yang berfokus pada kondisi eksternal yang dilakukan
dalam sebuah aktivitas internal, fungsi-fungsi, atau operasi agar dapat mencapai sebuah
perbaikan yang kontinyu atau terus-menerus.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah diberikan, kita dapat menyimpulkan bahwa


benchmarking adalah proses pengukuran yang sistematis dan berkelanjutan. Proses ini
melibatkan pengukuran dan perbandingan kinerja organisasi bisnis dengan pemimpin bisnis
di seluruh dunia untuk mendapatkan informasi yang akan membantu organisasi untuk
meningkatkan kinerjanya. Tujuan utama dari benchmarking adalah menemukan kunci atau
rahasia keberhasilan dari organisasi lain, lalu mengadaptasi dan memperbaikinya untuk
diterapkan pada perusahaan yang melakukan benchmarking.

Dari beberapa definisi yang ada diatas merupakan beberapa kesimpulan mengenai asas
benchmarking, yaitu :

1. Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagaimana cara dan mengapa
suatu perusahaan yang memimpin dalam suatu industri dapat melaksanakan tugas-
tugasnya secara lebih baik dibandingkan dengan lainnya.
2. Fokus benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahaan lainnya dan
dilakukan secara terus menerus dan siklikal.
3. Benchmarking harus berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik
manajemen lainnya.
4. Kegiatan benchmarking perlu melibatkan dari semua pihak yang berkepentingan,
pemilihan yang tepat, tentang apa yang akan di benchmarking, pemahaman dari
organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk melaksanakan
apa yang ditemukan dalam praktik bisnis.

Bergantung pada objek analisis, benchmarking biasanya dibagi menjadi tiga jenis sebagai
berikut :

1. Internal yang pembandingan.


Jenis benchmarking ini melibatkan pembandingan kinerja dan proses antara unit atau
departemen yang berbeda dalam satu organisasi. Artinya, perbandingan dilakukan di
dalam organisasi itu sendiri untuk mencari peluang perbaikan atau transfer praktik terbaik
dari satu bagian ke bagian lainnya.
2. Pesaing pembandingan.
Dalam jenis ini, organisasi membandingkan kinerja dan proses bisnisnya dengan pesaing-
pesaingnya dalam industri yang sama. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
keunggulan kompetitif dan belajar dari praktik terbaik yang dilakukan oleh pesaing.
3. Fungsional / generik benchmarking.
Jenis benchmarking ini melibatkan perbandingan kinerja dan praktik bisnis dengan
organisasi di industri atau sektor yang berbeda, tetapi memiliki fungsi atau proses yang
serupa. Dengan demikian, organisasi mencari inspirasi dari praktik-praktik terbaik di luar
industri mereka sendiri untuk diterapkan dalam konteks mereka.

Dasar Pemikiran Perlunya Benchmarking

Beberapa alasan mengapa benchmarking penting dan menjadi dorongan bagi perusahaan :

1. Kepuasan Pelanggan.
Benchmarking didorong oleh kepuasan pelanggan. Peningkatan persaingan di pasar telah
membuat pelanggan lebih sadar akan standar produk dan pelayanan yang lebih baik.
Dengan membandingkan kinerja dan praktik bisnis dengan perusahaan lain, perusahaan
dapat mencari cara untuk memenuhi dan bahkan melebihi harapan pelanggan.
2. Kompetitivitas Pemasok.
Adanya pemasok yang semakin kompetitif mempengaruhi perusahaan untuk
meningkatkan standar dan kualitas produknya. Dalam konteks ini, benchmarking
membantu perusahaan memahami praktik terbaik yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kinerja mereka.
3. Menghindari Pengasingan Diri.
Benchmarking menawarkan alternatif untuk menghindari pengasingan diri dalam
mengembangkan proses baru. Jika suatu proses yang diinginkan sudah ada di perusahaan
lain, maka benchmarking memungkinkan perusahaan untuk mempelajari dan menerapkan
proses tersebut tanpa harus mengalami risiko dan biaya besar dalam mengembangkannya
dari awal.
4. Meningkatkan Efisiensi dan Strategi.
Tujuan utama dari benchmarking adalah untuk meningkatkan efisiensi dan strategi
perusahaan. Dengan memahami dan mengadopsi praktik terbaik dari perusahaan lain,
perusahaan dapat mencapai perbaikan kinerja yang nyata dengan cara yang lebih cepat
dan efisien.

Secara keseluruhan, benchmarking memberikan peluang bagi perusahaan untuk belajar dari
yang terbaik di industri mereka dan mencapai perbaikan kinerja yang signifikan. Dorongan
untuk melakukan benchmarking banyak ditentukan oleh kepuasan pelanggan. Adanya
pemasok yang semakin kompetitif telah membuat pelanggan mengetahui dan meminta
standar produk dan pelayanan yang berbeda dan lebih baik. Salah satu dasar pemikiran
perlunya benchmarking adalah bahwa tidak ada gunanya pengasingan diri di dalam suatu
laboratorium untuk menemukan proses baru untuk peningkatan kualitas dan efisiensi biaya
apabila proses itu sendiri sudah ada. Benchmarking dimaksudkan untuk secara langsung
meningkatkan efisiensi dan strategik perusahaan. Benchmarking menawarkan jalan tercepat
untuk mencapai perbaikan kinerja yang nyata.

Faktor-faktor pertimbangan yang mendorong suatu perusahaan melakukan benchmarking


adalah :

1. Komitmen terhadap TQM.


Perusahaan yang berkomitmen untuk mencapai kualitas produk dan pelayanan yang
tinggi, umumnya tertarik pada benchmarking sebagai cara untuk memahami praktik
terbaik dalam mencapai TQM. Dengan membandingkan kinerja mereka dengan
perusahaan lain, mereka dapat mengetahui area di mana mereka dapat meningkatkan
kualitas dan efisiensi.
2. Fokus kepada pelanggan.
Perusahaan yang menempatkan fokus utama pada kepuasan pelanggan ingin memastikan
bahwa produk dan pelayanan mereka memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Dengan melakukan benchmarking, mereka dapat belajar dari perusahaan lain yang telah
berhasil menciptakan produk dan pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan.
3. Product-to-marketting.
Perusahaan yang ingin mempercepat waktu pemasaran produk mereka ingin mengetahui
bagaimana perusahaan lain berhasil mengurangi siklus pemanufacturan mereka. Melalui
benchmarking, mereka dapat mengidentifikasi praktik terbaik untuk mempercepat proses
dari pengembangan produk hingga sampai ke pasar.
4. Waktu siklus pemanufacturan.
Perusahaan yang menghadapi tantangan dalam mengurangi waktu siklus pemanufacturan
juga akan tertarik pada benchmarking. Dengan membandingkan proses mereka dengan
perusahaan lain, mereka dapat mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan
mengurangi waktu yang diperlukan untuk menghasilkan produk.

5. Laba.
Pertimbangan finansial seperti laba juga dapat menjadi faktor pendorong untuk
melakukan benchmarking. Perusahaan mungkin tertarik untuk memahami bagaimana
perusahaan lain berhasil mencapai keuntungan yang lebih tinggi dan mencari cara untuk
meningkatkan profitabilitas mereka.

Secara keseluruhan, benchmarking menjadi alat yang berguna bagi perusahaan yang ingin
meningkatkan kualitas, efisiensi, kepuasan pelanggan, dan profitabilitas mereka dengan
belajar dari praktik terbaik yang telah berhasil diterapkan oleh perusahaan lain.

Benchmarking dan perbaikan bersinambung memiliki hubungan yang sangat erat dan saling
terkait. Hubungan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Situasi persaingan menuntut setiap perusahaan melakukan perbaikan dan penyempurnaan


pada setiap aspek yang menjadi kelemahan.
Dalam dunia bisnis yang sangat kompetitif, setiap perusahaan perlu terus meningkatkan
kinerjanya untuk tetap bersaing. Benchmarking membantu mengidentifikasi kelemahan
dan kekurangan dalam kinerja perusahaan, yang menjadi fokus untuk ditingkatkan
melalui perbaikan berkelanjutan.
2. Benchmarking dapat memberikan informasi mengenai kondisi pesaing.
Benchmarking memungkinkan perusahaan untuk membandingkan kinerjanya dengan
pesaing-pesaingnya. Informasi ini membantu perusahaan memahami di mana posisi
mereka dalam pasar dan bagaimana mereka dapat meningkatkan kompetitivitas dengan
mengadopsi praktik terbaik yang telah diidentifikasi dari pesaing.
3. Benchmarking memberikan model terbaik dalam suatu kelas yang diadopsi dan
disempurnakan.
elalui benchmarking, perusahaan dapat mengidentifikasi model terbaik dalam kelasnya,
baik itu dalam kinerja, proses, atau praktik bisnis. Model ini kemudian dapat diadopsi dan
disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perusahaan, sehingga
memungkinkan perbaikan yang berkelanjutan.
4. Benchmarking mendukung TQM karena berperan sebagai alat terbaik bagi perbaikan
proses yang cepat dan nyata.
Benchmarking mendukung filosofi Total Quality Management (TQM) dengan
memberikan alat bagi perusahaan untuk mencapai perbaikan yang cepat dan nyata dalam
proses bisnis mereka. Dengan memahami praktik terbaik dan mengadopsinya, perusahaan
dapat secara efisien meningkatkan kualitas dan efisiensi proses mereka.
Secara umum manfaat benchmarking di kelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Perubahan Budaya
Benchmarking memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan target kinerja baru yang
realistis dan keyakinan setiap orang akan kredibilitas target yang ingin dicapai.
2. Perbaikan Kinerja
Benchmarking memungkinkan perusahaan untuk mengetahui gap yang ada dalam suatu
kinerja serta proses yang perlu diperbaiki.
3. Peningkatan Kemampuan SDM
Benchmarking memberikan dasar bagi pelatihan. Para karyawan mulai menyadari bahwa
ada gap antara apa yang mereka kerjakan dan apa yang dikerjakan oleh karyawan di
perusahaan yang terbaik di kelasnya. Usaha mengurangi gap memerlukan keterlibatan
karyawan dalam setiap teknik pemecahan masalah dan perbaikan proses.

Proses Benchmarking

Proses benchmarking yang dijelaskan dalam teks tersebut cukup sederhana dan terdiri dari
beberapa langkah :

1. Perencanaan.
Manajer senior menentukan bagian dari bisnis yang perlu ditingkatkan strateginya.
Langkah ini melibatkan identifikasi dan penentuan tujuan benchmarking yang jelas.
2. Analisis.
Setelah bagian bisnis yang akan ditingkatkan strateginya ditentukan, langkah selanjutnya
adalah melakukan analisis untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan atau
organisasi-organisasi lain yang memiliki kinerja terbaik dalam fungsi tersebut.
3. Integrasi.
Setelah perusahaan atau organisasi dengan kinerja terbaik telah diidentifikasi, data dan
informasi tentang kinerja mereka dikumpulkan dan diintegrasikan. Ini melibatkan
pemahaman mendalam tentang praktik dan proses yang menghasilkan hasil yang unggul.
4. Implementasi.
Setelah data dan informasi terkumpul, rencana strategis disusun dengan memasukkan
elemen-elemen yang paling efektif dari perusahaan referensi tersebut. Selanjutnya,
rencana ini diimplementasikan dalam bisnis perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya.
5. Fase Kematangan.
Langkah terakhir dalam proses benchmarking adalah fase kematangan, di mana
perusahaan terus memantau dan mengevaluasi hasil dari perubahan strategi yang telah
diimplementasikan. Fase ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan mencapai
perbaikan berkelanjutan dan hasil yang diharapkan.

Secara keseluruhan, proses benchmarking adalah alat yang efektif untuk belajar dari
perusahaan atau organisasi lain yang memiliki kinerja terbaik dalam fungsi tertentu dan
mengadopsi praktik-praktik terbaik mereka untuk meningkatkan kinerja bisnis sendiri.

Contoh yang disebutkan dalam teks adalah kalau perusahaan ingin mempelajari strategi
periklanan produk, mereka dapat memeriksa Coca Cola sebagai referensi karena Coca Cola
dianggap kuat dalam hal itu. Begitu juga, jika ingin mempelajari sistem piutang, perusahaan
dapat melihat sistem yang diterapkan oleh American Express sebagai referensi. Secara
keseluruhan, benchmarking adalah proses yang memungkinkan perusahaan untuk belajar dari
perusahaan lain yang memiliki kinerja terbaik dalam area tertentu dan mengadopsi praktik-
praktik terbaik mereka untuk meningkatkan kinerja mereka sendiri.

Berikut adalah tiga cara yang umum dalam melakukan proses benchmarking :

1. Riset in-house.

Metode ini melibatkan penelitian dan analisis internal yang dilakukan oleh tim atau
departemen di dalam perusahaan untuk membandingkan kinerja berbagai fungsi atau
proses bisnis yang ada di dalam organisasi. Tim in-house akan mengumpulkan data dan
informasi dari berbagai bagian perusahaan dan membandingkannya untuk
mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.

2. Riset pihak ketiga.

Dalam metode ini, perusahaan menggunakan jasa pihak ketiga atau konsultan untuk
melakukan penelitian dan analisis benchmarking. Pihak ketiga tersebut akan mencari
perusahaan atau organisasi lain di luar perusahaan yang memiliki kinerja terbaik dalam
fungsi atau proses tertentu. Informasi dan data akan dikumpulkan oleh pihak ketiga untuk
dijadikan referensi dalam perbaikan kinerja perusahaan.

3. Pertukaran langsung.

Cara ini melibatkan komunikasi dan kolaborasi langsung antara perusahaan dengan
perusahaan lain yang dianggap memiliki kinerja terbaik dalam area yang ingin
ditingkatkan. Melalui pertukaran langsung, perusahaan dapat berbagi informasi,
pengalaman, dan praktik terbaik untuk saling belajar dan meningkatkan kinerja mereka
bersama-sama.

Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri, dan perusahaan dapat
memilih cara yang paling sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Tujuan
utama dari proses benchmarking adalah untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan
memperoleh wawasan yang akan membantu perusahaan meningkatkan kinerjanya.

Sebelum melakukan benchmarking perusahaan hendaknya menjawab beberapa pertanyaan


berikut ini :

1. Apa masalahnya?.
2. Di mana posisi kita sekarang?.
3. Apa yang akan di benchmark?.
4. Apa yang menjadi dasar benchmark?.
5. Apa yang akan terjadi sebagai akibat benchmark?.
6. Bagaimana kita mempertahankan benchmark?.
7. Apa masalah berikutnya yang perlu di benchmark?
Agar jawaban pertanyaan ini semua dapat diidentifikasikan dan didefinisikan secara jelas,
perusahaan dapat memberikan tanggung jawab pada tim khusus atau individu untuk
menanganinya. Langkah ini adalah metodologi yang tepat untuk proses evaluasi dan
perbaikan sebagai bagian dari program Continuous Quality Improvement secara keseluruhan

Benchmarking sebagai Strategi Bersaing

Pentingnya pemilihan instrumen manajemen kualitas yang tepat untuk mencapai perbaikan
proses dalam sebuah perusahaan. Benchmarking menjadi salah satu strategi yang efektif
dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi perusahaan dengan fokus pada proses dan produk.
Beberapa poin penting yang dapat diambil dari teks tersebut adalah:

1. Pemilihan instrumen manajemen kualitas yang tepat sangat berkontribusi pada perbaikan
proses dalam perusahaan.

2. Benchmarking merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang
kinerja perusahaan unggul dan membandingkannya dengan standar, proses, dan saran.

3. Kepuasan pelanggan menjadi aspek yang kompleks dalam persaingan global, dan
perusahaan dituntut untuk memiliki keunggulan dalam hal kualitas produk.

4. Benchmarking membantu perusahaan dalam memfokuskan pada perbaikan proses dan


produk, serta membuka peluang inovasi yang lebih baik terutama pada bidang-bidang
yang lemah.

5. Tujuan utama dari benchmarking adalah mencari rahasia sukses perusahaan-perusahaan


unggul, terutama dalam pemasaran, proses distribusi, dan pelayanan.

6. Hasil benchmarking memberikan informasi kuantitatif (Mengukur kinerja dan


menentukan target yang akan datang) dan kualitatif (Referensi unggul dalam fungsi
tertentu) yang digunakan untuk mengukur kinerja, menetapkan target, dan memahami
faktor-faktor sukses dari perusahaan referensi.

7. Strategi benchmarking diharapkan dapat :

a. Mengidentifikasi kunci sukses di bidang yang diteliti.


b. Memberikan target kuantitatif.
c. Menyadarkan perusahaan tentang pendekatan yang efektif.
d. Membangun budaya yang mendukung perubahan, adaptasi, dan perbaikan
berkelanjutan.

Dengan menggunakan benchmarking secara tepat, perusahaan dapat terus berkembang dan
menghadapi persaingan dengan lebih baik melalui peningkatan kualitas dan efisiensi bisnis.

Prasyarat Benchmarking

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi perusahaan sebelum melakukan benchmarking
antara lain sebagai berikut :
1. Kemauan dan komitmen.
Tanpa kemauan dan komitmen untuk benchmark, sebuah organisasi tidak dapat
diteruskan. Jangan membuang waktu atau waktu mitra benchmarking dengan tidak
adanya komitmen dan kemauan untuk patokan pada bagian dari manajemen puncak
perusahaan.

2. Visi dan jaringan strategi obyektif.


Benchmarking membutuhkan fokus yang kuat, atau dapat menjadi berbagai arah yang
berbeda sebagai benchmarkers terbawa dalam antusiasme mereka. Sebelum
benchmarking dimulai, tujuannya harus dikaitkan dengan visi dan tujuan strategis
perusahaan, memberikan arahan yang spesifik, dan fokus untuk usaha. Kegagalan untuk
melakukan hal ini hampir pasti akan menghasilkan sumber daya yang sia-sia dan
frustrasi.

3. Tujuan untuk menjadi yang terbaik bukan perbaikan yang mudah.


Tidak ada yang salah dengan perbaikan inkremental kecuali kinerja saat ini jauh di bawah
kelas dunia. Jika sebuah organisasi tidak mendekati tingkat kelas dunia, perbaikan
inkremental hanya dapat memastikan bahwa hal itu tetap kalah dengan yang terbaik di
kelas selamanya. Benchmarking mengharuskan tujuannya untuk melompat sangat tinggi,
bukan hanya berupa persentase beberapa poin lebih baik dari tahun lalu.

4. Keterbukaan terhadap ide baru.


Jika sebuah perusahaan dijiwai dengan sindrom "Tidak Ditemukan Disini", itu akan
memiliki masalah dengan benchmarking. Gejala utama dari sindrom ini adalah adanya
pikiran picik yang ditandai dengan keengganan untuk mempertimbangkan cara lain untuk
melakukan sesuatu. Meskipun beberapa akan mengakuinya, banyak orang enggan untuk
mempertimbangkan ide-ide atau pendekatan yang bukan berasal dari mereka sendiri.
Organisasi dapat serupa dengan individu dalam hal ini. Karena esensi pembandingan
adalah memanfaatkan karya dan ide-ide dari orang lain, perusahaan harus terbuka untuk
ide-ide baru dalam benchmarking untuk memberikan nilai apa pun. Proses benchmarking
dapat lebih menerima ide-ide baru yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar
bekerja.

5. Mengidentifikasi kunci proses bisnis.


Mengidentifikasi adalah perlakuan terbaik oleh organisasi pada sesi brainstorming
karyawan seperti empat langkah berikut :
a. Identifikasi organisasi Critical Success Factors (CSFs). Ini berupa beberapa
karakteristik, fungsi, kemampuan, atau keterbatasan yang penting untuk keberhasilan
dan kelangsungan hidup organisasi.
b. Mengidentifikasi metrik untuk mengukur CSF. Metrik ini disebut Key Performance
Indicators (KPIs), dan mungkin termasuk hasil produksi dan data penjualan, dan data
pendukung kinerja manajemen.
c. Mengidentifikasi proses yang mendorong CSF. Biasanya akan ada lima belas atau
lebih proses dalam kategori ini.
d. Beberapa dari proses ini dapat dikelompokkan bersama, dan kelompok lain-lain (jika
mereka benar-benar independen satu sama lain). Ini adalah proses bisnis utama Anda.
Hal ini berasal dari daftar proses bisnis sebagai kunci dalam memilih kandidat untuk
proses benchmarking.

6. Memahami keberadaan proses, produk, pelayanan, praktik, dan kebutuhan pelanggan.


Organisasi harus benar-benar memahami proses, produk, layanan, praktik dan kebutuhan
pelanggannya sendiri sehingga dapat menentukan apa yang perlu dibandingkan. Selain
itu, organisasi perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang proses pembuatan ukuran
yang bermakna terhadap mitra tersebut.

7. Proses Dokumentasi.
Hal ini tidak cukup untuk memahami proses. Mereka harus benarbenar didokumentasikan
dengan tiga alasan sebagai berikut :
a. Semua orang yang terkait dengan proses tersebut harus memiliki pemahaman yang
sama tentang itu, dan yang hanya berasal dari dokumentasi.
b. Sebuah titik awal yang terdokumentasi diperlukan untuk mengukur peningkatan
kinerja setelah perubahan benchmarking telah dilaksanakan.
c. Organisasi Anda akan berhadapan dengan orang-orang (para mitra) yang tidak akrab
dengan proses Anda. dokumentasi proses akan membantu mitra memahami proses
organisasi Anda. Perlu dipahami bahwa organisasi benchmarking merupakan mitra
yang akan lebih mampu untuk membantu.

8. Keahlian Analisis Proses.


Untuk mencapai pemahaman tentang proses, produk, dan jasa serta untuk
mendokumentasikan proses-proses, Anda harus memiliki orang-orang dengan
keterampilan untuk mengarakterisasi dan memproses dokumen. Orang yang sama akan
diperlukan untuk menganalisis proses mitra benchmarking dan untuk membantu
beradaptasi proses tersebut dengan kebutuhan organisasi. Idealnya, mereka harus
karyawan, namun ada kemungkinan untuk menggunakan konsultan dalam peran ini.

9. Penelitian, Komunikasi, dan Keahlian Membangun Tim.


Keterampilan tambahan yang diperlukan meliputi penelitian, komunikasi, dan
membangun tim. Penelitian diperlukan untuk mengidentifikasi proses kelas terbaik
pemilik. Komunikasi dan membangun tim diperlukan untuk melaksanakan benchmarking
yang baik secara internal dan dengan mitra.

Pendekatan dan proses Benchmarking

Ada empat pendekatan dalam melakukan Benchmarking :

1. Internal Benchmarking.
Pendekatan ini melibatkan perbandingan dan analisis kinerja berbagai departemen atau
unit dalam satu perusahaan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi praktik terbaik
yang ada di dalam perusahaan itu sendiri dan menerapkannya pada bagian-bagian lain
yang memiliki kesamaan dalam fungsi atau proses.
2. Competitive Benchmarking.
Pendekatan ini melibatkan perbandingan kinerja perusahaan dengan pesaing langsung di
pasar. Perusahaan akan mencari informasi tentang praktik terbaik yang dilakukan oleh
pesaing dan berusaha untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat bersaing lebih efektif.
3. Functional Benchmarking.
Pendekatan ini melibatkan perbandingan kinerja dalam fungsi atau proses tertentu dengan
perusahaan atau organisasi di luar industri yang memiliki kesamaan dalam fungsi
tersebut. Dalam hal ini, perusahaan mencari inspirasi dari praktik terbaik yang dilakukan
di industri lain untuk diterapkan dalam bisnis mereka.
4. Generic Benchmarking.
Pendekatan ini melibatkan perbandingan kinerja dengan organisasi atau perusahaan di
luar industri yang tidak memiliki kesamaan fungsi atau proses. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan wawasan dan pemahaman yang luas dari praktik terbaik di berbagai industri
untuk diterapkan dalam perusahaan.

Proses Benchmarking :

Proses Benchmarking merupakan proses yang melihat keluar (produk lain, organisasi lain,
sistem lain) untuk mengetahui bagaimana orang lain mencapai tingkat kinerja mereka dan
memahami proses kerja yang mereka gunakan.

1. Menentukan Apa yang Akan Di-benchmark.


2. Menentukan Apa yang Akan Diukur.
3. Menentukan kepada Siapa akan Dilakukan Benchmark.
4. Pengumpulan Data/Kunjungan.
5. Analisis Data.
6. Merumuskan Tujuan dan Rencana Tindakan

Rintangan Untuk Keberhasilan Benchmarking

1. Terlalu fokus ke internal organisasi.


Benchmarking memungkinkan perusahaan untuk melihat ke luar dan menemukan praktik
terbaik dari perusahaan lain. Terlalu fokus pada internal dapat menghalangi kesadaran
tentang kesenjangan kinerja. Proses benchmarking membantu menciptakan budaya
pembelajaran dan inovasi, serta meningkatkan kesadaran tentang standar kinerja terbaik.
Dengan demikian, perusahaan dapat memperbaiki diri dan tetap bersaing dalam pasar
yang dinamis.
2. Tujuan benchmarking yang terlalu luas.
Tujuan benchmarking harus lebih spesifik dan terukur, bukan hanya tujuan yang luas dan
abstrak. Tim perlu memiliki target konkret, seperti "mengurangi kesalahan dalam proses
faktur sebesar 50%," yang memberi arah yang jelas dan motivasi untuk mencapai
perbaikan yang diinginkan. Tujuan yang spesifik membantu tim mengukur kemajuan
mereka dan mengidentifikasi keberhasilan atau kegagalan dalam benchmarking.
3. Target waktu yang tidak rasional.
Benchmarking adalah proses yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan tidak bisa
dipersingkat menjadi beberapa minggu. Tim yang berpengalaman memerlukan 4-6 bulan,
sedangkan tim yang kurang berpengalaman memerlukan 6-8 bulan. Bersabarlah untuk
mendapatkan manfaat dari benchmarking. Proyek yang berlangsung lebih dari satu tahun
harus dievaluasi karena bisa menyebabkan kelelahan tim.
4. Komposisi tim yang lemah.
Benchmarking melibatkan orang-orang yang menggunakan proses secara langsung,
seperti operator atau pegawai. Pemilik proses yang paling mengerti tentang operasional
harus terlibat. Tim idealnya terdiri dari enam hingga delapan orang, dengan operator
menjadi anggota pertama yang ditugaskan, tetapi tetap melibatkan insinyur dan
pengawas.
5. Menjadi organisasi dengan kategori “OK-in-Class.
Banyak organisasi gagal dalam melakukan benchmarking karena mereka memilih mitra
benchmarking yang bukan merupakan yang terbaik di kelasnya. Hal ini bisa terjadi
karena beberapa alasan, seperti :
a. Kelas terbaik tidak tertarik berpartisipasi.
Organisasi mungkin kesulitan menarik perusahaan atau organisasi yang sudah
menjadi yang terbaik di kelasnya untuk berkolaborasi dalam benchmarking.
b. Penelitian mengidentifikasi mitra yang salah.
Proses pemilihan mitra benchmarking mungkin tidak dilakukan secara tepat, sehingga
organisasi berakhir bekerja dengan mitra yang tidak benar-benar merupakan yang
terbaik di kelasnya.
c. Perusahaan benchmarking malas dan memilih mitra yang berguna.
Beberapa organisasi mungkin memilih mitra yang lebih mudah bekerja sama,
daripada benar-benar mencari mitra yang terbaik di kelasnya.

Dalam melakukan benchmarking, tujuan organisasi adalah untuk meningkatkan proses


mereka agar mencapai standar kelas dunia. Oleh karena itu, tidak masuk akal untuk
berkolaborasi dengan mitra yang hanya memiliki proses yang baik, tetapi masih berada di
bawah standar kelas dunia. Organisasi harus berusaha mencari mitra yang memang
menjadi yang terbaik di kelasnya atau paling tidak peringkat terbaik kedua jika kolaborasi
dengan yang terbaik tidak memungkinkan. Dengan demikian, organisasi dapat
meningkatkan proses mereka dan mencapai hasil yang lebih baik dengan usaha yang
sama atau bahkan lebih sedikit.

6. Orientasi yang keliru.


Kegagalan dalam benchmarking disebabkan oleh fokus berlebihan pada pengumpulan
data dan angka tanpa memprioritaskan pemahaman mendalam terhadap proses. Penting
untuk menekankan proses benchmarking dan melibatkan tim dengan pengetahuan praktis
untuk menerapkan hasilnya secara efektif. Data dan angka harus digunakan sebagai
dukungan untuk peningkatan kinerja.

7. Intensitas dengan mitra.


Kemitraan benchmarking harus dijaga dengan baik dan dihargai. Ketiadaan sensibilitas
dan kecerobohan dapat mengancam kemitraan tersebut. Mitra memberikan manfaat besar
dengan memberikan akses ke proses mereka, dan tim Anda harus menghormati upaya dan
waktu yang telah diinvestasikan. Ketidakpekaan dapat menyebabkan gangguan dalam
transaksi dan berisiko menghancurkan hubungan kemitraan yang berharga tersebut.
8. Keterbatasan dukungan manajemen puncak.
Masalah ini terus muncul karena sangat penting bagi keberhasilan pada semua tahapan
kegiatan benchmarking. Dukungan tidak tergoyahkan dari atasan diperlukan untuk
memulai benchmarking, membawanya melalui tahap persiapan, dan akhirnya untuk
mengamankan keuntungan yang dijanjikan.

Peran Manajemen Dalam Benchmarking

1. Komitmen untuk Berubah.


Benchmarking adalah usaha serius yang memerlukan komitmen kuat dari kedua pihak
yang terlibat. Keberhasilan tergantung pada tekad untuk meningkatkan proses secara
radikal agar sejajar dengan yang terbaik di kelasnya. Tanpa komitmen yang kuat, upaya
benchmarking dapat sia-sia dan menyia-nyiakan sumber daya perusahaan. Harapan
karyawan juga perlu dikelola dengan baik agar proses terbaik yang diidentifikasi dapat
diselesaikan.
2. Pendanaan.
Manajemen bertanggung jawab dalam mengotorisasi dana untuk benchmarking. Tim
kunjungan biasanya terdiri dari 5-8 orang dan dapat berlangsung 2 hari hingga 2 minggu.
Tujuan perjalanan ditentukan oleh lokasi mitra terbaik. Dana harus dialokasikan dengan
tepat untuk mendukung kegiatan benchmarking.
3. Sumberdaya manusia.
Sebelum melakukan kegiatan benchmarking, manajemen perlu menganalisis ketersediaan
sumber daya manusia dalam organisasi. Meskipun biaya sumber daya manusia bisa lebih
tinggi daripada biaya perjalanan, ketersediaan personil yang terbatas harus
dipertimbangkan dengan serius untuk keberhasilan proses pembandingan.
4. Disklosur.
Dalam benchmarking, kedua perusahaan yang terlibat harus bersedia mengungkapkan
informasi tentang proses dan praktik mereka. Meskipun ada kekhawatiran tentang
kebocoran informasi ke pesaing, jika mitra benchmarking bukan pesaing langsung, hal
tersebut perlu diatasi. Namun, keunggulan kompetitif dalam proses atau praktik tertentu
harus tetap dirahasiakan dan tidak dilibatkan dalam benchmarking. Keputusan
pengungkapan informasi sepenuhnya tergantung pada manajemen.
5. Involvement.
Manajemen harus terlibat secara aktif dalam semua aspek proses benchmarking. Mereka
harus menentukan mitra benchmarking dan membangun saluran komunikasi antara
perusahaan. Dialog antara manajer tingkat atas harus didorong. Manajemen harus tetap
terlibat dan memastikan upaya tersebut mendukung tujuan dan visi perusahaan.
Keterlibatan langsung manajemen akan meningkatkan kemampuan mereka dan kesadaran
karyawan tentang pentingnya benchmarking.
Studi Kasus

Benchmarking di Xerox Pada akhir 1970, Xerox telah kehilangan pangsa pasarnya pada
pesaing dari Jepang. Bukan hanya karena produk Jepang sempurna, tetapi juga karena
kecemasan Xerox, harga produksi Xerox lebih besar dibandingkan harga jual produk mereka.
Xerox juga menemukan bahwa mereka memiliki pemasok sembilan kali lebih banyak
dibandingkan perusahaan Jepang, dan mengalami cacat manufaktur tujuh kali lebih banyak.
Lead time untuk produk baru dua kali lebih lama dan waktu produksi lima kali lebih lama
dibandingkan dengan pesaing. 17 Xerox mulai memperkenalkan benchmarking pada tahun
1980. Proses dan praktik dari Xerox melakukan benchmarking pada perusahaan pesaing yang
terbaik di industri tersebut. Dari situlah, Xerox bisa menyelamatkan dirinya sendiri, dan hari
ini Xerox merupakan salah satu perusahaan berkelas dunia di industrinya, dan sudah mampu
berdiri sendiri dengan memiliki teknologi tersendiri, harga, pelayanan, dan kepuasan
pelanggan.

BAB KEBIJAKAN DAN MOTIVASI

Pimpinan PDCA Model-Model Untuk Penyebaran Kebijakan

Model kepemimpinan PDCA dalam piramida TQM terdiri dari beberapa tahap :

1. Tahap pertama adalah fase check, yang melibatkan pengecekan situasi saat ini dan
pemahaman terhadap perbaikan yang dibutuhkan.
2. Tahap selanjutnya model kepemimpinan adalah act, yang mencakup motivasi dan nasihat
untuk mendorong peningkatan kualitas.
3. Tahap rencana melibatkan penetapan tujuan kualitas dan desain rencana mutu. Rancangan
rencana rinci untuk perbaikan kualitas dimulai dengan keputusan manajemen puncak
yang mana sebuah daerah harus memiliki prioritas tertinggi untuk perbaikan tahun
selanjutnya.
4. Tahap terakhir adalah fase do, di mana rencana kualitas dikomunikasikan dan pendidikan
diberikan kepada karyawan. Selain itu, pendidikan juga diperlukan dalam memotivasi
manusia. Jika tahap-tahap sebelumnya dilaksanakan dengan baik melalui partisipasi
karyawan, tahap do akan dilakukan oleh tim yang diarahkan oleh pemimpin mereka.
Baik di tingkat manajemen puncak dan juga di tingkat divisi atau departemen mungkin
membantu dalam mengklasifikasi rencana untuk perbaikan kualitas ke dalam delapan
kategori berikut :

1. Perbaikan dalam kepuasan pelanggan.


2. Perbaikan dalam kepuasan karyawan.
3. Perbaikan dalam produk dan jasa.
4. Perbaikan dalam proses (sistem dan teknologi).
5. Perbaikan pada perorangan (pendidikan / pelatihan).
6. Perbaikan dalam hubungan pelanggan.
7. Perbaikan dalam hubungan pemasok.
8. Perbaikan dalam system.pengukuran.

Selain kebutuhan untuk mendidik karyawan dalam penggunaan kualitas alat ada juga
kebutuhan untuk mendidik dan melatih semua karyawan dalam memotivasi manusia yaitu
teori dan praktek.

Kepemimpinan dan Motivasi Kualitas

Orang-orang merupakan kunci untuk mencapai kualitas total dalam organisasi. Motivasi dan
partisipasi yang baik dari semua karyawan penting untuk mencapai tujuan kualitas bersama.
Manajemen harus membangun hubungan dan struktur organisasi yang mendukung karyawan.
Motivasi kualitas adalah hal yang krusial karena orang-oranglah yang menciptakan kualitas.
Sebagian besar masalah terkait kualitas berasal dari cara orang-orang diorganisasi dan diatur
dalam organisasi. Oleh karena itu, perhatian pada manajemen dan struktur organisasi penting
untuk mencapai kualitas yang lebih baik. Berikut ini adalah contoh manajemen yang buruk :

1. Ketika orang tidak diberi pelatihan yang tepat untuk melakukan pekerjaan dan harus
belajar mengenai pekerjaan yang lain.
2. Ketika pekerjaan itu sendiri tidak didefinisikan secara tepat mereka melakukannya harus
‘membuat itu’ saat mereka pergi bersama.
3. Bila dokumen tidak akurat.
4. Bila sistem tidak mencerminkan pekerjaan yang benar-benar terjadi atau tidak dirancang
untuk membantu melakukan pekerjaan itu.

Peran manajer :

Kegiatan utama manajer adalah untuk mengelola perubahan organisasi. Kebanyakan dari
mereka mengalami revolusi kualitas modern yang pada gilirannya telah menciptakan harapan
kualitas produk dan jasa yang lebih tinggi pada pelanggan.

Metode Perampingan :

Metode untuk menghilangkan proses pekerjaan yang tidak perlu duplikasi beban kerja dan
ekstra lintas-fungsional kerjasama. Metode ini dapat memunculkan sikap negatif: hilangnya
antusiasme hilang, hilangnya kreativitas dan motivasi.

Model Eropa untuk TQM :

1. Kepemimpinan adalah kekuatan pendorong di belakang kebijakan dan strategi, orang-


orang yang terlibat dalam manajemen, sumber daya dan proses, sehingga pada akhirnya
menghasilkan keunggulan dalam bisnis.
2. Kepuasan pelanggan, kepuasan orang-orang, dan dampak terhadap masyarakat dapat
dicapai melalui kepemimpinan.

Kepemimpinan merupakan awal dari proses peningkatan kualitas, dimulai dari visi, misi,
nilai-nilai, kebijakan, strategi, dan konsep total quality management. Kepemimpinan yang
baik dapat menghasilkan keunggulan dalam bisnis dan mencapai kepuasan pelanggan,
kepuasan orang-orang, dan dampak positif pada masyarakat.

Aspek Kepemimpinan Dan Kepemimpinan Model PDCA

Aspek kepemimpinan penting dalam keberhasilan Total Quality Management (TQM). Untuk
mencapai ini, sistematisasi tugas-tugas utama para pemimpin diperlukan menggunakan siklus
PDCA (Plan, Do, Check, Act) sebagai kerangka acuan. Tahap rencana dan komunikasi
mencerminkan penyebaran pada perusahaan, sedangkan pendidikan dan pelatihan
mencerminkan pemberdayaan. Dalam model kepemimpinan PDCA, fase Plan, Do, dan
Check mencerminkan kepemimpinan top-down, sementara tahap Act mencerminkan prinsip
bottom-up. Pemimpin harus mendukung tenaga kerja dalam mencapai rencana yang telah
dibuat. Kepuasan tenaga kerja dalam TQM bergantung pada motivasi dan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam perbaikan terus-menerus melalui pendidikan dan pelatihan. Negara-
negara Asia Timur (seperti Taiwan, Korea, dan Jepang) menunjukkan tingkat aktivitas
tertinggi dalam motivasi berkualitas, terutama melalui gugus kendali mutu. Namun, motivasi
saja tidak cukup untuk menciptakan budaya TQM. Metode yang berbeda digunakan di
negara-negara Asia Timur, terutama dalam kaitannya dengan konsep standardisasi, yang
mencerminkan komitmen kepemimpinan untuk mengintegrasikan tenaga kerja dalam proses
kualitas. Negara-negara Asia Timur dapat menjadi tolok ukur bagi negara lain dalam
menerapkan TQM.

Dasar Untuk Motivasi (Teori Motivasi)

1. Abraham Maslow (1943)


Menurut Maslow, kebutuhan motivasi seseorang dapat dilihat secara hierarki, dimana
tingkat kebutuhan tertentu apabila sudah terpenuhi maka tidak dapat dijadikan motivasi
kembali, diperlukan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi agar tetap dapat memberikan
motivasi. Maslow menggambarkan bahwa terdapat 5 hierarki dari kebutuhan manusia,
yaitu:

a. Kebutuhan Fisiologis/ Dasar (Physiological needs)


Tingkat paling dasar dalam hirarki, kebutuhan fisiologis, umumnya berhubungan
dengan kebutuhan primer seperti kebutuhan akan lapar, haus, tidur, dan seks.
Menurut teori Maslow, begitu kebutuhan dasar ini terpenuhi, mereka tidak lagi
memotivasi. Misalnya, orang yang kelaparan akan berusaha keras untuk
mendapatkan makanan yang sekiranya mudah untuk dijangkau. Namun, setelah
mendapatkan makan, orang tersebut tidak akan berusaha untuk mendapatkan yang
lain dan hanya akan termotivasi oleh tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya.
b. Kebutuhan rasa aman. (Safety needs)
Kebutuhan tingkat kedua ini adalah kebutuhan rasa aman. Maslow menekankan
keamanan emosional dan fisik. Seluruh organisme dapat menjadi mekanisme
pencarian keselamatan. Namun, seperti halnya kebutuhan fisiologis, begitu
kebutuhan rasa aman ini terpenuhi, mereka tidak lagi memotivasi. Contoh dari
kebutuhan ini seperti kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa
takut, cemas, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan
sebagainya.
c. Kebutuhan cinta. (Love needs)
Tingkat kebutuhan ketiga, lebih sesuai dengan kebutuhan kasih sayang dan afiliasi.
Kebutuhan cinta yang sebenarnya merupakan kebutuhan fisiologis atau lebih
tepatnya adalah suatu rasa memiliki atau kebutuhan sosial.
d. Kebutuhan penghargaan. (Esteem needs)
Tingkat harga diri mewakili kebutuhan manusia yang lebih tinggi, seperti kebutuhan
akan kekuasaan, pencapaian, dan status dapat dianggap sebagai bagian dari level ini.
Maslow dengan hatihati menjelaskan bahwa tingkat harga diri mengandung harga
diri dan harga diri dari orang lain.
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri. (Needs for self-actualization)
Maslow menggambarkan level ini sebagai puncak dari semua kebutuhan manusia
mulai dari yang lebih rendah, menengah, dan lebih tinggi. Orang yang telah
mengaktualisasikan diri adalah orang yang ini mengoptimalisasikan semua potensi
yang dimiliki oleh dirinya. Akibatnya, aktualisasi diri adalah motivasi orang tersebut
untuk mengubah persepsi diri menjadi kenyataan.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa Teori Motivasi Maslow bukanlah jawaban akhir
dalam motivasi kerja, tetapi memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami
beragam kebutuhan karyawan di tempat kerja. Kebutuhan tingkat sosial dan aktualisasi
diri menjadi penting dalam motivasi kerja. Namun, penelitian kontemporer juga
menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perampingan dapat
mengurangi kekhawatiran karyawan terkait kebutuhan tingkat dasar seperti keamanan.
Organisasi yang ingin mengurangi dampak emosional dari PHK dapat melalui program
pembayaran pesangon dan layanan outplacement untuk karyawan yang diberhentikan,
sehingga dapat membantu mereka yang tetap bekerja di perusahaan.

2. Frederick Herzberg (1969)


Seorang ahli Barat, mengemukakan bahwa motivasi adalah diatur oleh dua jenis faktor,
yakni kepuasan (motivator) dan ketidakpuasan (hygiene). Herzberg berpendapat bahwa
apabila dengan adanya faktor motivator yang tinggi maka akan menjadi penyebab pada
kepuasan hati yang tinggi, sebaliknya apabila faktor hygiene yang tinggi maka akan
menyebabkan pekerja tidak berpuas hati (Herzberg, 1959) dalam (Andjarwati, 2015).
Oleh karena itu dua faktor tersebut sangat perlu digunakan sebagai acuan bahwa adanya
kepuasan atau tidak pada karyawan akan mempengaruhi kinerjanya.
Menurut (Andjarwati, 2015), faktor-faktor yang dapat memotivasi (kepuasan) dan faktor
hygiene (faktor ketidakpuasan) masing-masing adalah sebagai berikut :
a. Kepuasan :
 Prestasi.
Merupakan kepuasan yang berasal dari pencapaian prestasi kerja yang baik.
Karyawan merasa puas ketika berhasil menyelesaikan tugas atau mencapai target
yang telah ditetapkan.
 Penghargaan.
Kepuasan ini muncul ketika karyawan mendapatkan pengakuan atau apresiasi atas
kontribusinya dari atasan atau organisasi, misalnya dalam bentuk pujian atau
hadiah.
 Pekerjaan itu sendiri.
Terkait dengan kepuasan intrinsik, di mana karyawan merasa senang dan puas
dengan pekerjaan yang dilakukan karena alasan kepuasan batiniah, minat, atau
kesenangan pribadi.
 Tanggungjawab.
Kepuasan ini muncul ketika karyawan merasa memiliki tanggung jawab dan
kebebasan untuk mengambil keputusan atau mengatur pekerjaan mereka sendiri.
 Kenaikan Pangkat.
Kepuasan yang datang dari kesempatan mendapatkan promosi atau naik jabatan
dalam organisasi.
 Perkembangan.
Karyawan merasa puas ketika ada kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan dan kompetensi mereka melalui pelatihan dan pengembangan.

b. Ketidakpuasan :
 Kebijakan perusahaan.
Ketidakpuasan yang timbul akibat kebijakan atau aturan organisasi yang dianggap
tidak adil atau tidak mendukung kebutuhan karyawan.
 Pengawasan.
Ketidakpuasan karena karyawan merasa diawasi secara ketat dan kurang
mendapatkan kepercayaan dari atasan.
 Kondisi kerja.
Merujuk pada aspek fisik lingkungan kerja, seperti suhu, kebisingan, dan fasilitas,
yang dapat mempengaruhi kenyamanan kerja dan kesehatan karyawan.
 Hubungan dengan yang lain.
Ketidakpuasan yang muncul akibat konflik atau masalah hubungan sosial antara
karyawan, rekan kerja, atau atasan.
 Gaji.
Kepuasan finansial menjadi salah satu faktor yang penting bagi karyawan.
Ketidakpuasan bisa timbul jika gaji dianggap tidak sesuai dengan kontribusi atau
pekerjaan yang dilakukan.
 Status.
Ketidakpuasan yang muncul karena perasaan tidak adanya pengakuan atau status
sosial yang diinginkan di tempat kerja.
 Keamanan kerja.
Kepuasan tentang stabilitas pekerjaan dan ketidakpuasan timbul ketika karyawan
merasa khawatir tentang kemungkinan kehilangan pekerjaan.
 Kehidupan pribadi.
Ketidakpuasan dapat timbul jika pekerjaan mengganggu keseimbangan kehidupan
pribadi karyawan, seperti waktu bersama keluarga dan waktu luang.

Herzberg menggunakan istilah „hygiene‟ yang memiliki arti bahwa adanya fungsi yang
bertujuan untuk menghilangkan berbagai resiko di lingkungan kerja (Andjarwati, 2015).
Dengan adanya berbagai resiko dalam lingkungan kerja maka dapat mempengaruhi
kinerja karyawannya. Lingkungan kerja yang sehat dapat mencegah ketidakpuasan kerja,
tetapi lingkungan yang sehat juga tidak menjamin penyesuaian diri seseorang dapat
mempengaruhi adanya ketidakpuasan (Andjarwati, 2015). Oleh karena itu teori ini
menjelaskan bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu
salah satunya adanya istilah hygiene yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Maka
dari itu lingkungan kerja sangat penting dalam sebuah organisasi yang nantinya akan
mempengaruhi kinerja karyawan.

Studi Kasus

Pengaruh kebijakan insentif dan motivasi kerja terhadap loyalitas karyawan (Studi Kasus
Pekerja Daily Worker Sheraton Hotel Kuta Bandung)

Pendahuluan

Dalam upaya untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, pihak
manajemen hotel melaksanakan berbagai kebijakan yang diharapkan mampu memotivasi
karyawan. Misalnya mengadakan program pelatihan dan pengembangan karier, memberikan
penghargaan bagi karyawan yang berprestasi, serta mengadakan kegiatan khusus. Tujuannya
yaitu untuk mendorong atau meningkatkan moral, meningkatkan produktivitas kerja,
mempertahankan kestabilan perusahaan, meningkatkan kedisiplinan, mengefektifkan
pengadaan karyawan, dan terutama meningkatkan kedisiplinan kerja karyawan.

Permasalahan yang terjadi :

1. Terjadi kesenjangan Kebijakan insentif yang dirasakan antar karyawan pada Sheraton
Hotel Kuta.
2. Kurangnya motivasi untuk bekerja lebih inistiatif dan loyal dari beberapa karyawan.
Hasil :

1. Pengaruh motivasi :
Memotivasi karyawan yang tinggi dapat meningkatkan loyalitas karyawan DW Sheraton
hotel kuta.
2. Pengaruh kebijakan insentif :
Kebijakan insentif berpengaruh secara simultan terhadap loyalitas karyawan.

Kesimpulan :

1. Pada Hotel Sheraton kuta, pemberian kebijakan insentif kepada seluruh karyawan DW di
perusahaan tersebut masih dianggap kurang baik.
2. Motivasi karyawan DW untuk melakukan pekerjaan pada perusahaan tersebut masih
dapat dikatakan rendah belum sepenuhnya karyawan termotivasi dalam bekerja.
3. Baik motivasi maupun kebijakan insentif keduanya berpengaruh positif terhadap loyalitas
karyawan.

Saran :

Upaya yang harus dilakukan oleh Hotel Sheraton Kuta agar loyalitas dari para karyawan DW
dapat meningkat dengan memperhatikan kebijakan insentif dan motivasi kerja pada
perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai