Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dino Rizka Afdhali

NIM : 2310623051
Kelas : A1
Dosen : Dr. Aurora Jillena Meliala, S.H., M.H

1. Apa groundnorm hukum di Indonesia?


Menurut Hans Kelsen puncak dari suatu norma yang berlaku dalam suatu negara
adalah norma dasar atau biasa disebut ground norm. Segala macam peraturan yang berlaku
dalam sebuah negara wajib bersumber pada norma dasar atau groundnorm. Lalu apa itu
norma dasar (groundnorm)? Menurut Hans Kelsen norma dasar (groundnorm) adalah
sebuah norma yang menjadi induk bagi setiap norma yang berlaku pada suatu negara.
Norma dasar (groundnorm) adalah norma tertinggi dalam sistem hukum suatu negara.
Norma dasar (groundnorm) inilah yang menjadi batu uji dari segala macam norma atau
peraturan yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian dalam setiap pembentukan
peraturan-peraturan dalam suatu negara maka wajib merujuk dan berorientasi kepada
norma dasar (groundnorm).
Terkait norma dasar yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, sebagian besar negara di
dunia menjadikan konstitusi terutama Undang-Undang Dasar negaranya sebagai norma
dasar (groundnorm). Bahkan di Indonesia beberapa ahli hukum seperti A. Hamid S
Attamimi, Notonagoro, Wirjono Prodjodikoro, Ismail Suny, Sri Soemantri, Soehino dan
lain-lain mengatakan bahwasannya norma dasar (groundnorm) hukum di Indonesia adalah
Pancasila.1 Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm2 pertama kali
disampaikan oleh Notonogoro3. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan bintang pemandu. posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah
untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum
positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka
pembentukan hukum, penerapan dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai
Pancasila.4 Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan

1
https://law.uad.ac.id/memahami-logika-grundnorm-dengan-hukum-kasualitas/
2
Menurut Hans Nawiasky norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar dalam suatu negara
sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgroundnorm melainkan disebut sebagai staatsfundamentalnorm
3
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan
MK-RI, 2006), hlm. 171
4
A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu
Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287
menggunakan Teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia
adalah:5
a. Staatsfundamentalnorm. Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
b. Staatsgrundgesetz. Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR dan Konvensi
Ketatanegaraan;
c. Formellgezets. Undang-Undang;
d. Verordnung en Autonome Satzung. Secara hirarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota

Para ahli hukum di Indonesia berpolemik perihal Pancasila dan grundnorm. Inti
masalahnya apakah Pancasila itu adalah grundnorm, hanya karena dirangsang dari sebuah
ide pemikiran hukum yang disumbangkan oleh Hans Kelsen6
Sedangkan ahli hukum yang lain, seperti Prof. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at
dalam bukunya mengatakan norma dasar (groundnorm) hukum di Indonesia adalah
Proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwasannya Pancasila
bukanlah Staatsfundamentalnorm/groundnorm karena bukan prima causa berlakunya
hukum di Indonesia. Prof. Jimly mempertanyakan apa yang menjadi dasar keberlakuan
UUD 1945 sebagai Konstitusi dan apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Maka beliau menjawab Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang
berlaku saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ
hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang
menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata
hukum baru (new legal order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan
merupakan dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia, sebagai
presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.7
Menurut B. Arief Sidharta, proklamasi 17 Agustus 1945 itu merupakan tindakan
hukum revolusioner yang memunculkan keberadaan negara RI. Makna tindakan hukum di
sini adalah tindakan pengaturan yang sekali selesai (einmahlig), dimana implikasinya
membawa perubahan sistem hukum dan perubahan status politik. Dengan proklamasi
tersebut, terbentuklah sebuah negara baru, yakni negara Indonesia yang merdeka, dan
dengan itu tatanan hukum kolonial Hindia Belanda terhapus dengan sendirinya, dan di
atasnya terbentuk tatanan hukum baru. Tatanan hukum baru tersebut tidak segera berwujud
perangkat kaidah hukum positif yang tertulis, melainkan masih merupakan tatanan hukum

5
Ibid
6
E. Fernando M. Manullang, Mempertanyakan Pancasila Sebagai Grundnorm: Suatu Refleksi Kritis Dalam
Perspektif Fondasionalisme, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50 No. 2), hlm. 285
7
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at, Op.cit, hlm. 178-179
tidak tertulis yang belum memperlihatkan bentuk yang jelas. Karena itu, memerlukan
pemositivan (positivisasi) lebih lanjut.8
Selain itu juga ada juga yang mengatakan bahwa groundnorm hukum di Indonesia
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9 Pendapat ini
mengacu kepada letak UUD 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia yang menempati urutan pertama sehingga menjadi dasar keberlakuan dan acuan
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan
grundnorm adalah sesuatu yang amat mistis, karena ia adalah praanggapan yang sudah
dianggap ada tanpa kejelasan apa yang membuat grundnorm itu ada.10
Dari pendapat ahli-ahli hukum tersebut, belum ada kesatuan pendapat mengenai apa
yang menjadi groundnorm bangsa Indonesia. Saya pribadi berpendapat:
a. Secara yuridis, jika kita mengacu kepada hierarki peraturan perundang-undangan,
maka yang menjadi groundnorm peraturan di Indonesia adalah UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini beralasan karena UUD menjadi batu uji
dan panduan dalam pembuatan peraturan-peraturan hukum di Indonesia. Dalam
UUD (tepatnya di Pembukaan Alinea ke IV) juga tertera sila-sila Pancasila.
b. Jika dilihat dari induk keberlakuan hukum di Indonesia, maka yang menjadi
groundnorm nya adalah Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam Alinea ke II teks
Proklamasi disebutkan “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-
lain diselenggarakan dengan cara seksama…..”. Penggalan kata “dan lain-lain”
disitu termasuk hukum yang akan dibuat pada masa yang akan datang. Sehingga
inilah yang menjadi dasar berlakunya hukum di Indonesia.
c. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita, maka yang menjadi
groundnorm nya adalah Pancasila. Karena sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan dan adat istiadat
yang ada dan berkembang di bumi Indonesia.
d. Jika mengacu kepada pendapatnya Dr. Fernando Manullang yang menganggap
groundnorm sebagai sesuatu yang mistis karena sudah ada tanpa kejelasan apa
yang membuatnya ada, maka hal ini bisa dibantah dengan pendekatan teologis.
Kita percaya eksistensi Tuhan sebagai keyakinan postulat, tapi adakah yang bisa

8
B. Arief Sidharta dalam Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jurnal Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul) Vol. 2, No.
2
9
https://mh.uma.ac.id/apa-itu-teori-hukum-stufenbau/
10
E. Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 300
menjelaskan awal mula Tuhan? Dan bisa menjadi pertanyaan juga, apakah
groundnorm yang banyak diperdebatkan oleh para ahli itu adalah Tuhan?

2. Bagaimana Postivisme diterapkan dalam struktur hukum di Indonesia?


Kajian mengenai positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting selain
daripada perdebatan tentang aliran hukum mana yang cocok diberlakukan di Indonesia.
Dalam pandangan positivisme hukum, hukum haruslah tertulis, sehingga tidak ada norma
hukum di luar hukum positif.11 Pola berpikir positivisme hukum semacam ini berakibat
pada penegakkan hukum yang hanya terbatas kepada menegakkan bunyi undang-undang
saja dan tidak berkehendak menegakan keadilan dengan substansi hukum itu sendiri.
sehingga bisa dikatakan undang-undang dalam aliran positivisme hukum ini adalah “benda
sakral”.
Dalam konteks penegakkan hukum di Indonesia, penerapan terhadap aliran
positivisme yang berlebihan ini acapkali menimbulkan benturan tujuan hukum itu sendiri
yaitu antara kepastian hukum dan keadilan. Bisa diambil contoh kasus yang menimpa
Suratni dan kawan-kawannya yang divonis penjara 24 hari karena melakukan pencurian
buah randu. Kasus ini berawal dari perbuatan Sri Suratni, Manisih, Juwono dan Rustono
yang memungut Randu di areal Perkebunan PT Sugayang di Desa Sumbojo, Kecamatan
Tulio Kabupaten Batang pada tanggal 2 November 2009. Mereka tidak menyangka kalau
perbuatannya berbuntut panjang sampai berurusan dengan aparat penegak hukum. Bagi
Sri Suratmi dan kawan–kawan, apa yang dilakukannya adalah hal biasa karena
pengambilan Randu yang sudah dipanen oleh pemiliknya, jadi sudah merupakan sisa,
bukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum, bukan dianggap sebagai pencurian.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat bahwa setelah Randu dipanen oleh
pemiliknya, mereka akan mengambil sisa-sisa randu setelah panen.
Lain halnya bagi para penegak hukum, yang bagaimanapun mereka harus berpegang
pada hukum positif tertulis yang berlaku. Berdasarkan KUHP, pengambilan Randu yang
merupakan milik orang lain untuk dimiliki sendiri tanpa persetujuan pemiliknya adalah
pencurian. Dalam rangka menegakan hukum maka pengambilan Randu yang demikian itu
harus ditindak. Namun, adilkah memperlakukan Sri Suratni dan kawan-kawan sebagai
pelaku pencurian dan harus menjalani hukuman penjara selama 24 hari?

11
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/pengaruh-positivisme-terhadap-penegakan-hukum/
Jika kita kaitkan contoh kasus di atas dengan aliran positivisme hukum, maka apa
yang dilakukan oleh penegak hukum itu benar karena mereka hanya mengacu kepada
terpenuhinya pelanggaran norma atau pasal dalam KUHP. Akan tetapi apakah putusan
hakim semacam ini sudah memberi rasa keadilan kepada para terpidana atau masyarakat
luas secara umum? Menurut hemat saya tentu belum. Hakim mungkin memberikan
kepastian hukum akan tetapi tidak memberikan keadilan. Hukum memang ada di dalam
undang-undang, tetapi juga harus ditemukan hakekatnya. Mencari dalam peraturan adalah
menemukan makna atau nilai yang terkandung di dalam peraturan dan tidak hanya
membacanya secara datar begitu saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.
Dalam aliran positivisme hukum ini, hukum dijadikan sebagai instrumen oleh penguasa
sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dan juga oleh pengusaha sebagai pihak yang
memiliki modal. Hal semacam ini tentu akan berakibat kepada penegakkan hukum yang
tidak dapat menciptakan keadilan dan tentu akan menciptakan konsekuensi buruk dalam
perkembangan hukum saat ini dan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu hukum
Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jurnal Risalah Hukum Fakultas Hukum
Unmul) Vol. 2, No. 2.
E. Fernando M. Manullang, Mempertanyakan Pancasila Sebagai Grundnorm: Suatu Refleksi Kritis
Dalam Perspektif Fondasionalisme, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50 No. 2)
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan MK-RI, 2006).
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/pengaruh-positivisme-terhadap-penegakan-
hukum/

https://mh.uma.ac.id/apa-itu-teori-hukum-stufenbau/

https://law.uad.ac.id/memahami-logika-grundnorm-dengan-hukum-kasualitas/

Anda mungkin juga menyukai