Groundnorm Dan Postivisme Hukum Diterapkan Di Indonesia
Groundnorm Dan Postivisme Hukum Diterapkan Di Indonesia
NIM : 2310623051
Kelas : A1
Dosen : Dr. Aurora Jillena Meliala, S.H., M.H
1
https://law.uad.ac.id/memahami-logika-grundnorm-dengan-hukum-kasualitas/
2
Menurut Hans Nawiasky norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar dalam suatu negara
sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgroundnorm melainkan disebut sebagai staatsfundamentalnorm
3
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan
MK-RI, 2006), hlm. 171
4
A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu
Pelita I – Pelita IV, Disertasi Ilmu hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287
menggunakan Teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia
adalah:5
a. Staatsfundamentalnorm. Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
b. Staatsgrundgesetz. Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR dan Konvensi
Ketatanegaraan;
c. Formellgezets. Undang-Undang;
d. Verordnung en Autonome Satzung. Secara hirarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota
Para ahli hukum di Indonesia berpolemik perihal Pancasila dan grundnorm. Inti
masalahnya apakah Pancasila itu adalah grundnorm, hanya karena dirangsang dari sebuah
ide pemikiran hukum yang disumbangkan oleh Hans Kelsen6
Sedangkan ahli hukum yang lain, seperti Prof. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at
dalam bukunya mengatakan norma dasar (groundnorm) hukum di Indonesia adalah
Proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwasannya Pancasila
bukanlah Staatsfundamentalnorm/groundnorm karena bukan prima causa berlakunya
hukum di Indonesia. Prof. Jimly mempertanyakan apa yang menjadi dasar keberlakuan
UUD 1945 sebagai Konstitusi dan apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Maka beliau menjawab Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang
berlaku saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ
hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang
menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata
hukum baru (new legal order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan
merupakan dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia, sebagai
presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.7
Menurut B. Arief Sidharta, proklamasi 17 Agustus 1945 itu merupakan tindakan
hukum revolusioner yang memunculkan keberadaan negara RI. Makna tindakan hukum di
sini adalah tindakan pengaturan yang sekali selesai (einmahlig), dimana implikasinya
membawa perubahan sistem hukum dan perubahan status politik. Dengan proklamasi
tersebut, terbentuklah sebuah negara baru, yakni negara Indonesia yang merdeka, dan
dengan itu tatanan hukum kolonial Hindia Belanda terhapus dengan sendirinya, dan di
atasnya terbentuk tatanan hukum baru. Tatanan hukum baru tersebut tidak segera berwujud
perangkat kaidah hukum positif yang tertulis, melainkan masih merupakan tatanan hukum
5
Ibid
6
E. Fernando M. Manullang, Mempertanyakan Pancasila Sebagai Grundnorm: Suatu Refleksi Kritis Dalam
Perspektif Fondasionalisme, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50 No. 2), hlm. 285
7
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali syafa’at, Op.cit, hlm. 178-179
tidak tertulis yang belum memperlihatkan bentuk yang jelas. Karena itu, memerlukan
pemositivan (positivisasi) lebih lanjut.8
Selain itu juga ada juga yang mengatakan bahwa groundnorm hukum di Indonesia
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9 Pendapat ini
mengacu kepada letak UUD 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia yang menempati urutan pertama sehingga menjadi dasar keberlakuan dan acuan
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan
grundnorm adalah sesuatu yang amat mistis, karena ia adalah praanggapan yang sudah
dianggap ada tanpa kejelasan apa yang membuat grundnorm itu ada.10
Dari pendapat ahli-ahli hukum tersebut, belum ada kesatuan pendapat mengenai apa
yang menjadi groundnorm bangsa Indonesia. Saya pribadi berpendapat:
a. Secara yuridis, jika kita mengacu kepada hierarki peraturan perundang-undangan,
maka yang menjadi groundnorm peraturan di Indonesia adalah UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini beralasan karena UUD menjadi batu uji
dan panduan dalam pembuatan peraturan-peraturan hukum di Indonesia. Dalam
UUD (tepatnya di Pembukaan Alinea ke IV) juga tertera sila-sila Pancasila.
b. Jika dilihat dari induk keberlakuan hukum di Indonesia, maka yang menjadi
groundnorm nya adalah Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam Alinea ke II teks
Proklamasi disebutkan “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-
lain diselenggarakan dengan cara seksama…..”. Penggalan kata “dan lain-lain”
disitu termasuk hukum yang akan dibuat pada masa yang akan datang. Sehingga
inilah yang menjadi dasar berlakunya hukum di Indonesia.
c. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita, maka yang menjadi
groundnorm nya adalah Pancasila. Karena sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan dan adat istiadat
yang ada dan berkembang di bumi Indonesia.
d. Jika mengacu kepada pendapatnya Dr. Fernando Manullang yang menganggap
groundnorm sebagai sesuatu yang mistis karena sudah ada tanpa kejelasan apa
yang membuatnya ada, maka hal ini bisa dibantah dengan pendekatan teologis.
Kita percaya eksistensi Tuhan sebagai keyakinan postulat, tapi adakah yang bisa
8
B. Arief Sidharta dalam Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jurnal Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul) Vol. 2, No.
2
9
https://mh.uma.ac.id/apa-itu-teori-hukum-stufenbau/
10
E. Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 300
menjelaskan awal mula Tuhan? Dan bisa menjadi pertanyaan juga, apakah
groundnorm yang banyak diperdebatkan oleh para ahli itu adalah Tuhan?
11
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/pengaruh-positivisme-terhadap-penegakan-hukum/
Jika kita kaitkan contoh kasus di atas dengan aliran positivisme hukum, maka apa
yang dilakukan oleh penegak hukum itu benar karena mereka hanya mengacu kepada
terpenuhinya pelanggaran norma atau pasal dalam KUHP. Akan tetapi apakah putusan
hakim semacam ini sudah memberi rasa keadilan kepada para terpidana atau masyarakat
luas secara umum? Menurut hemat saya tentu belum. Hakim mungkin memberikan
kepastian hukum akan tetapi tidak memberikan keadilan. Hukum memang ada di dalam
undang-undang, tetapi juga harus ditemukan hakekatnya. Mencari dalam peraturan adalah
menemukan makna atau nilai yang terkandung di dalam peraturan dan tidak hanya
membacanya secara datar begitu saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.
Dalam aliran positivisme hukum ini, hukum dijadikan sebagai instrumen oleh penguasa
sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dan juga oleh pengusaha sebagai pihak yang
memiliki modal. Hal semacam ini tentu akan berakibat kepada penegakkan hukum yang
tidak dapat menciptakan keadilan dan tentu akan menciptakan konsekuensi buruk dalam
perkembangan hukum saat ini dan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
https://mh.uma.ac.id/apa-itu-teori-hukum-stufenbau/
https://law.uad.ac.id/memahami-logika-grundnorm-dengan-hukum-kasualitas/