Tenang perpustakaan yang kerap kali membuat ia masih merasa
cukup nyaman berada di dunia, kini riuh tanpa redam akibat ulah teman kelasnya sendiri. Diisi dengan 26 siswa yang mulutnya rata- rata lebih dari tiga, maka kegaduhan di dalam perpustakaan jauh dari kata tenang. Kanya menghiraukan dan tidak ikut ke lingkaran manapun, lingkaran teman-temannya yang bergosip perihal temannya yang lain, lingkaran laki-laki yang justru sibuk dengan permain game di ponselnya, atau lingkaran yang sibuk berdiskusi perihal materi untuk tes perguruan tinggi nanti. Kanya terlepas dari lingkaran manapun, satu persatu ia meneliti tiap judul buku yang dapat ia baca, mencari satu saja buku untuk membunuh waktunya. Suara bising itu mendadak hening saat ia menghirup aroma kayu manis dengan sedikit tambahan aroma pohon cendana. Aroma ini membawanya seperti berada di pinggir danau tengah hutan. Yang lembut dan sejuk, dengan sedikit terik matahari membuat tubuhnya sedikit hangat tapi tetap nyaman. Aroma ini membawanya pada teriakan-teriakan sepasang anak kecil, yang dalam kosong kepalanya terlihat saling berkejaran satu sama lain. Aroma ini membawanya pada coklat-coklat koin yang pernah mereka makan secara sembunyi-sembunyi. Aroma ini membawanya pada ingatan yang membahagiakan, mengingatkan padanya bahwa ia begitu ingin berumur panjang. “Supernova?” Suara berat itu membawanya kembali pada dunia yang nyata. Beberapa detik yang membuatnya merasa berterima kasih. Ia merasa diberkati. Kanya menoleh pelan, ia kini tahu kenapa aroma yang ia hirup beberapa detik lalu terasa asing. Sebab asalnya memang dari orang yang jauh dan begitu asing baginya. Lebih asing dari teman kelasnya yang lain, lebih asing dari kondektur bus yang biasa ia naiki, bahkan amat sangat jauh lebih asing dari orang yang biasa ia temui secara acak di peron kereta api. “Cinta yang sampai di titik tertentu akan mengaburkan ego. Kebahagiaan istrinya berarti kebahagiaannya. Begitu pun dengan kesengsaraan.” Ucap laki-laki itu mengutip satu kalimat dalam buku yang sedang kanya buka secara acak lembarannya. Ucapan laki-laki itu membuatnya teringat Ayahnya sendiri. Ayahnya yang sangat mencintai ibunya, yang selalu menomor satukan ibunya diatas kepentingan dirinya sendiri. Seharusnya wanita itu merasa bersyukur dicintai dengan begitu sempurna sampai tiada tandingannya. “Lo baca bukunya?” tak tahan tidak menjawab, kanya menoleh pada laki-laki yang tingginya berbeda 20cm dengannya. Laki-laki itu mengangguk. “Nyokap gue sih yang baca, terus kita sering baca buku bareng.” Kini gantian Kanya yang mengangguk. Bingung ingin membahas apalagi, ia membiarkan keheningan terjadi antara keduanya. Mungkin ia dan Saka sedang membuat lingkaran yang lain. Lingkaran hening dengan suara yang lebih dominan di kepala. Kanya masih bisa menghirup aroma tubuh Saka. Satu persatu huruf di lembar buku itu ia baca dengan suasana seperti sedang berada di danau tengah hutan. Tidak berlangsung lama, keheningan itu diinterupsi dengan suara anak-anak berlarian dari luar menuju pintu perpustakaan. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi, dengan badan yang jauh lebih bugar dari pria seumurannya, memasuki perpustakaan. Teman-teman Kanya yang mengetahui siapa yang datang, cukup terkejut sekaligus terkagum. “Rapatnya sudah selesai, Ayah kesini Cuma buat mastiin kamu baik- baik aja.” Kanya menoleh untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Teman- teman kelasnya yang lain datang memenuhi bilik tempatnya berdiri. Aroma parfum lain kini menyeruak penciumannya, aroma parfum seperti wangi buah yang segar, sedikit wangi lavender yang teduh. Wangi yang selalu mengingatkannya pada rumah yang ceria. “Pak Pradipta bukan sih? Waktu itu yang wawancara Bareng BTS kan?” “Wah gila sih si Saka. Mukanya mirip Haechan, Bapaknya yang jadiin BTS Brand ambasador.”