Anda di halaman 1dari 58

A. Judul : DAMPAK UU NO.

23 TAHUN 2007 DALAM PENERTIBAN

PEDAGANG ASONGAN DI STASIUN MADIUN SEBAGAI UPAYA

MENCIPTAKAN PELAYANAN PUBLIK

B. Latar Belakang Masalah

Pemerintah Indonesia selalu melakukan berbagai pembangunan di segala

bidang. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah akan selalu berkembang,

demikian juga dengan jumlah penduduk di Indonesia dan kualitas kebutuhan

hidup masyarakatnya yang akan selalu meningkat. Salah satu aspek yang penting

dalam pembangunan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah yaitu mengenai

sarana transportasi di Indonesia. Jarak antara satu daerah ke daerah lain di

Indonesia cukup jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga

membutuhkan sarana transportasi yang baik. Sarana transportasi merupakan hal

yang sangat besar menunjang aktivitas masyarakat juga sebagai tonggak dalam

pembangunan nasional. Sarana transportasi yang lengkap dan memadai akan

mendukung perekonomian nasional karena dapat menyelesaikan masalah untuk

mencapai tujuan tertentu dengan waktu yang lebih cepat dan efisien.

Transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung

pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara,

serta memperkokoh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional


berdasarkan Pancasila1. Jasa transportasi itu merupakan jasa yang disediakan

oleh sebuah sistem yang terintegrasi secara kuat dan utuh. Kebutuhan akan jasa-

jasa transportasi ditentukan oleh barang-barang dan penumpang yang akan

diangkut dari suatu tempat ke tempat lain.

Transportasi secara umum dapat diartikan sebagai usaha pemindahan,

atau penggerakan orang atau barang dari suatu lokasi, yang disebut lokasi asal,

ke lokasi lain, yang biasa disebut lokasi tujuan, untuk keperluan tertentu dengan

menggunakan alat tertentu pula. Dari pengertian ini transportasi mempunyai

beberapa dimensi seperti lokasi (asal dan tujuan), alat (teknologi), dan keperluan

tertentu di lokasi tujuan seperti ekonomi, sosial, dan lain-lain. Kalau salah satu

dari ketiga dimensi tersebut terlepas atau tidak ada, hal demikian tidak dapat

disebut transportasi 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan jasa transportasi dapat

ditinjau 3 :

1. Aspek Pemakai Jasa

Dari aspek ini, faktornya ialah penduduk, urbanisasi, jumlah pekerja,

pendapatan, bentuk-bentuk kegiatan pengguna jasa, kondisi tata guna lahan

dan lain sebagainya.

2. Sistem Transportasi yang Melayani

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Fidel Miro. 2012. pengantar sistem transportasi. Jakarta : Erlangga. hlm. 1
3
Fidel Miro .op.cit. hlm. 104
Dari aspek ini, faktor-fakor yang mempengaruhinya antara lain ialah,

biaya transportsi, kondisi fisik alat transportasi, rute tempuh atau trayek,

kenyamann, keamanan dalam kendaraan, pelayanan awak kendaraan,

kecepatan (waktu perjalnan dan waktu tunggu), dan lain - lain. Sesuai dengan

perkembangan zaman, kegiatan manusia dalam memenuhi tuntutan kehidupan

sosial ekonominya tentu akan mengalami perubahan, seperti perkembangan

pendapatan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi yang meningkat,

perkembangan wilayah dan lain-lain. Transportasi mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan sistem kegiatan sosial masyarakat. Sarana transportasi di

Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan Republik

Indonesia terdiri atas transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi

udara. Keseluruhan sarana transportasi ini memiliki fungsi penting sebagai

sarana jasa pengangkut penumpang dan barang. Menurut Siti Maimunah dan

Lidya Chotimah salah satu sarana transportasi yang biasa digunakan oleh

masyarakat Indonesia serta dapat menjadi sarana pengangkutaan penumpang

dan barang adalah kereta api4. Masyarakat yang menggunakan jasa kereta api

sebagai sarana transportasi untuk berpergian yang dikelola oleh PT Kereta

Api Indonesia. Kereta api merupakan sarana transportasi massal sejak dahulu

dan merupakan sarana transportasi yang paling banyak digunakan oleh

4
Siti Maimunah dan Lidya Chotimah, Melakukan kajian pustaka mengenai pembangunan kereta api
cepat, 2011, hal. 536
masyarakat dari berbagai golongan di Indonesia. Moda kereta api terus

dikembangkan terutama untuk angkutan jarak pendek dan menengah serta

diprioritaskan bagi angkutan perkotaan. Hal ini disebabkan transportasi kereta

api mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan transportasi lain yaitu

dapat mengangkut dalam jumlah besar atau bersifat masal, hemat energi,

bebas polusi, mempunyai jalur khusus sehingga dapat meminimalkan

kemacetan dan mampu menjangkau pusat kota.

Kereta api sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem

transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara

massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda

transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan

peranannya sebagai penghubung wilayah dan menggerakkan pembangunan

nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan laporan yang diberikan oleh PT. Kereta Api Madiun yang

ditunjukkan dalam laporan tahunannya yang berjudul Preparation To Growth,

jumlah pengangkutan penumpang mengalami kenaikan dan penurunan,

pengangkutan barang juga mengalami kenaikan dan penurunan, namun dari

tahun 2012 ke tahun 2012 jumlah pengangkutan barang mengalami kenaikan

yang pesat 5.

5
Laporan Tahunan PT. Kereta Api Madiun, 2014
Sumber : Laporan Tahunan PT. Kereta Api Madiun, 2014

Sumber : Laporan Tahunan PT. Kereta Api Madiun, 2014

Mengingat banyaknya penumpang yang diangkut oleh sarana

transportasi kereta api, maka keluhan yang dirasakan oleh pengguna jasa

kereta api perlu mendapatkan perhatian memberikan apa yang seharusnya

menjadi hak penguna jasa. Hal yang tidak menyamankan di dalam Kereta Api

yaitu banyaknya pedagang asongan di dalam Kereta Api dan di Stasiun Kereta
Api, ini membuat penumpang tidak nyaman. Berdasarkan wawancara dengan

seorang penumpang dikutip sebagai berikut :

Iya..mas..kita enga nyaman nih..di dalam kereta..banyak banget


pedagang asongan membuat kita pusing aja..belum lagi mereka ribut dan
menggugahkan orang kalau sedang tidur di dalam kereta api..ya..pokoknya
enga nyaman banget deh mas…kalau dengan pedagang diluar yang sudah
ditata dengan stasiun sih..itu membantu banget mas..karena kita bisa duduk
dan makan disitu.

Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa PT. Kereta Api Madiun

sudah memenuhi kewajiban kenyamanan penumpang Kereta Api, bahwa penjual

asongan di dalam kereta api tidak diperbolehkan lagi untuk menjaga ketertiban di

dalam Kereta Api. Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 23 tentang Perkeretaapian. Undang - Undang tersebut

secara eksplisit memberikan penugasan khusus kepada PT. KAI dalam

mengelola kereta api. Tanggung jawab terhadap kualitas pelayanan terhadap

konsumen pada dasarnya secara substansial berada di pundak pemerintah sebagai

owner perkeretaapian Indonesia. Berdasarkan Pasal 133 b yaitu bahwa PT. KAI

harus mengutamakan pelayanan kepentingan umum yaitu kepada penumpang

kereta api, disini juga mengenai pelayanan kenyamanan penumpang di dalam

kereta api. Masalah pelayanan Kereta Api kepada penumpang sudah dapat

diselesaikan dengan baik, namun timbul permasalahan baru yaitu dampak sosial

dan ekonomi pedagang asongan akibat dari kebijakan PT. Kereta Api yang tidak

memperbolehkan pedagang asongan berjualan di dalam Kereta Api. Dampak

sosialnya yaitu terjadinya pengangguran dan dampak ekonominya yaitu tidak


terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan penjual asongan di dalam Kereta

Api. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas dan meneliti

lebih jauh terhadap dampak dari UU Nomor 23 Tahun 2007 kepada pedagang

asongan di dalam kereta api. Peneliti mengambil judul DAMPAK UU NO.23

TAHUN 2007 DALAM PENERTIBAN PEDAGANG ASONGAN DI

STASIUN MADIUN SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN PELAYANAN

PUBLIK.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

menyusun sebuah rumusan masalah untuk dikaji dalam pembahasan. Adapun

rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sosialisasi UU No.23 Tahun 2007 dalam upaya penertiban

pedagang asongan di dalam kereta api ?

2. Bagaimana dampak sosial dan ekonomi pedagang asongan di stasiun kereta

api Madiun akibat dari penerapan UU No.23 Tahun 2007 ?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh stasiun kereta api Madiun untuk

mengatasi dampak dari UU No.23 Tahun 2007 terhadap kehidupan sosial –

ekonomi pedagang asongan ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dikemukakan adapun tujuan

objektif dan tujuan subjektif dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui sosialisasi UU No.23 Tahun 2007 dalam upaya

penertiban pedagang asongan di dalam kereta api

b. Untuk mengetahui dampak sosial dan ekonomi pedagang asongan di

stasiun kereta api Madiun akibat dari penerapan UU No.23 Tahun 2007.

c. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh stasiun kereta api Madiun

untuk mengatasi dampak dari UU No.23 Tahun 2007 terhadap kehidupan

sosial - ekonomi pedagang asongan.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai kebijakan

hukum mengenai kenyamanan konsumen sebagai pengguna jasa

transportasi kereta api.

b. Untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara

jasa trasportasi kereta api untuk tercapainya kenyamanan pengguna jasa

transportasi kereta api.

c. Untuk memenuhi persyaratan akademis dalam bidang Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Negeri Solo.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penulisan ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang kebijakan PT. KAI sebagai jasa

transportasi kereta api

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi

peneliti yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian yang dikaji

penulis.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas

permasalahan yang akan diteliti.

b. Hasil dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

sumbangan pemikiran pada pihak-pihak terkait tentang kebijakan

perundang-undangan PT. KAI sebagai jasa transportasi kereta api.

c. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan

membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh selama di bangku

kuliah.

F. Tinjauan Pustaka
1. Undang – Undang No. 23 Tahun 2007

a. Asas dan Tujuan

Perkeretaapian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan6 :

1. Asas manfaat;

2. Asas keadilan;

3. Asas keseimbangan;

4. Asas kepentingan umum;

5. Asas keterpaduan;

6. Asas kemandirian;

7. Asas transparansi;

8. Asas akuntabilitas; dan

9. Asas berkelanjutan.

Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar

perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman,

nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang

pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak

pembangunan nasional.

b. Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian

6
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 2
Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan 7:

1. Pembangunan prasarana

Pembangunan prasarana perkeretaapian umum harus melihat :

a. Berpedoman pada ketentuan rencana induk perkeretaapian; dan

b. Memenuhi persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.

2. Pengoperasian prasarana

Pengoperasian prasarana perkeretaapian umum wajib memenuhi standar

kelayakan operasi prasarana perkeretaapian.

3. Perawatan prasarana

Perawatan prasarana perkeretaapian umum wajib:

a. Memenuhi standar perawatan prasarana perkeretaapian; dan

b. Dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi

keahlian di bidang prasarana perkeretaapian.

4. Pengusahaan prasarana

Pengusahaan prasarana perkeretaapian umum wajib melakukan

standarisasi yang berdasarkan pada norma, standar, dan kriteria

perkeretaapian.

c. Prasarana Perkeretaapian

7
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 18
Prasarana perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus meliputi 8:

1. Jalur kereta api

Jalur kereta api diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api.

2. Stasiun kereta api

Stasiun kereta api berfungsi sebagai tempat kereta api berangkat atau

berhenti untuk melayani :

a. Naik turun penumpang;

b. Bongkar muat barang;

c. Keperluan operasi kereta api.

3. Fasilitas operasi kereta api

Fasilitas operasi kereta api merupakan peralatan untuk pengoperasian

perjalanan kereta api.

d. Stasiun Kereta Api

Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang yang

dilengkapi dengan fasilitas9 :

1. Keselamatan;

2. Keamanan;

3. Kenyamanan;

4. Naik turun penumpang;

5. Penyandang cacat;

8
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 35
9
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 53
6. Kesehatan; dan

7. Fasilitas umum.

Selain itu juga stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang

yang dilengkapi dengan fasilitas :

1. Keselamatan;

2. Keamanan;

3. Bongkar muat barang;

4. Fasilitas umum.Stasiun kereta api dikelompokkan dalam:

e. Pengelompokan kelas stasiun

Pengelompokan kelas stasiun kereta api berdasarkan kriteria10:

1. Fasilitas operasi;

2. Frekuensi lalu lintas;

3. Jumlah penumpang;

4. Jumlah barang;

5. Jumlah jalur; dan

6. Fasilitas penunjang.

f. Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian11

1. Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada

Penyelenggara.

10
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 56

11
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 86
Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat

kecelakaan yang disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana

perkeretaapian.

2. Tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian kepada

Penyelenggara.

Sarana Perkeretaapian berdasarkan perjanjian kerja sama antara

Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana

Perkeretaapian.

3. Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada

pihak ketiga atas kerugian harta benda, luka-luka, atau meninggal

dunia yang disebabkan oleh penyelenggaraan prasarana

perkeretaapian.

4. Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggungjawab terhadap

Petugas.

Prasarana Perkeretaapian yang mengalami luka-luka, atau meninggal

dunia yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian.

5. Tanggung jawab dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.

g. Hak dan Wewenang Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian


Penyelenggara prasarana perkeretaapian berhak dan berwenang dalam 12:

1. Mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta api;

2. Menghentikan pengoperasian sarana perkeretaapian apabila dapat

membahayakan perjalanan kereta api;

3. Melakukan penertiban terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak

memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun;

4. Mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan

jalan;

5. Menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian; dan

6. Menerima ganti kerugian atas kerusakan prasarana perkeretaapian

yang disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian

atau pihak ketiga.

h. Sarana Perkeretaapian Persyaratan Teknis dan Kelaikan Sarana

Perkeretaapian

Sarana perkeretaapian menurut jenisnya terdiri dari:

1. Lokomotif;

2. Kereta;

3. Gerbong; dan

4. Peralatan khusus.

12
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 89
Setiap sarana wajib memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan operasi

yang berlaku bagi setiap jenis sarana perkeretaapian.

i. Peran Serta Masyarakat

Masyarakat berhak13:

1. Memberi masukan kepada Pemerintah, Penyelenggara Prasarana

Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam rangka

pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan perkeretaapian;

2. Mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan

standar pelayanan minimum; dan

3. Memperoleh informasi mengenai pokok-pokok rencana induk

perkeretaapian dan pelayanan perkeretaapian.

Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban, keamanan, dan

keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian.

2. Pelayanan Publik

a. Pengertian Pelayanan

Istilah pelayanan dalam bahasa Inggris adalah service A.S. Moenir

mendefinisikan pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat

pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau


13
Undang – Undang No. 23 Tahun 2007 Pasal 171
dilayani, tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi

harapan pengguna.14 Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian

kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan

berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam

masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan

saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan.

Selanjutnya A.S. Moenir menyatakan bahwa proses pemenuhan

kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang

dinamakan pelayanan.15 Jadi dapat dikatakan pelayanan adalah kegiatan

yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang

diperlukan orang lain. Dari definifi tersebut dapat dimaknai bahwa

pelayanan adalah aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara

penerima dan pemberi pelayanan yang menggunakan peralatan berupa

organisasi atau lembaga perusahaan.

b. Pengertian Pelayanan Publik

Dalam kamus Bahasa Indonesia, pelayanan publik dirumuskan

sebagai berikut 16:

c. Pelayanan adalah perihal atau cara melayani.

14
A.S Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,2002, hal. 26-27
15
A.S Moenir, op.cit. hal.16
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pusta, Jakartaka,
1990.
d. Pelayanan adalah kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual

beli barang dan jasa.

e. Pelayanan medis merupakan pelayanan yang diterima seseorang dalam

hubungannya dengan pensegahan, diagnosa dan pengobatan suatu

gangguan kesehatan tertentu.

f. Publik berarti orang banyak (umum)

Pengertian publik menurut Inu Kencana Syafiie, dkk yaitu sejumlah

manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap

dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai- nilai norma yang

mereka miliki.17 Pengertian lain berasal dari pendapat A.S. Moenir

menyatakan bahwa pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan

kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan

kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. 18

Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang

jasa, baik itu orang yang bersifat komersial ataupun yang bersifat non

komersial. Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan antara

pelayanan yang dilakukan oleh orang yang bersifat komersial yang

biasanya dikelola oleh pihak swasta dengan pelayanan yang dilaksanakan

oleh organisasi non komersial yang biasanya adalah pemerintah. Kegiatan

pelayanan yang bersifat komersial melaksanakan kegiatan dengan

17
Syafiie, Inu Kencana dkk, Ilmu Administrasi Publik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal.18
18
A.S Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 7
berlandaskan mencari keuntungan, sedangkan kegiatan pelayanan yang

bersifat non- komersial kegiatannya lebih tertuju pada pemberian layanan

kepada masyarakat (layanan publik atau umum) yang sifatnya tidak

mencari keuntungan akan tetapi berorientasikan kepada pengabdian.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala

bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa

publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan

oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

c. Unsur-unsur Pelayanan Publik

Dalam proses kegiatan pelayanan publik terdapat beberapa faktor

atau unsur yang mendukung jalannya kegiatan. Menurut A.S. Moenir,

unsur-unsur tersebut antara lain 19:

a. Sistem, Prosedur dan Metode

Yaitu di dalam pelayanan publik perlu adanya sistem informasi ,

prosedur dan metode yang mendukung kelancaran dalam memberikan

pelayanan.

b. Personil, terutama ditekankan pada perilaku aparatur

19
A.S Moenir, op.cit, hal. 8
Dalam pelayanan publik aparatur pemerintah selaku personil

pelayanan harus profesional, disiplin dan terbuka terhadap kritik dari

pelanggan atau masyarakat.

c. Sarana dan prasarana

Dalam pelayanan publik diperlukan peralatan dan ruang kerja serta

fasilitas pelayanan publik. Misalnya ruang tunggu, tempat parker yang

memadai.

d. Masyarakat sebagai pelanggan

Dalam pelayanan publik masyarakat sebagai pelanggan sangatlah

heterogen baik tingkat pendidikan maupun perilakunya.

d. Azas, prinsip dan standar pelayanan publik

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah

memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas

pelayanan publik yang profesional, kemudian Lijan Poltak Sinambela

mengemukakan azas-azas dalam pelayanan publik tercermin dari 20:

a. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

20
Sinambela, Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hal. 6
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang- undangan.

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima

pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan

efektivitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan

masyarakat.

e. Keamanan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras,

golongan, gender dan status ekonomi.

f. Keseimbangan Hak dan kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan

kewajiban masing- masing pihak. Dalam proses kegiatan pelayanan

diatur juga mengenai prinsip pelayanan sebagai pegangan dalam

mendukung jalannya kegiatan. Adapun prinsip pelayanan publik

menurut keputusan MENPAN antara lain adalah 21:

1. Kesederhanaan
21
MENPAN No. 63/ KEP/ M.PAN/ 7/ 2003
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit- belit, mudah dipahami

dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan

Persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik; unit kerja

atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan

dan sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; rincian biaya

pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

3. Kepastian waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun

waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

5. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan

kepastian hukum.

6. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang

ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan

penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan

publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja dan pendukung lainnya

yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi

telekomunikasi dan informatika.

8. Kemudahan akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah

dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi

telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, kesopan dan keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,

ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang

tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan

sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan

seperti parker, toilet, tempat ibadah, dan lain- lain.

Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar

pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian

bagi penerima pelayanan. “Standar pelayanan merupakan ukuran

yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang


wajib diataati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Menurut

keputusan MENPAN, meliputi 22:

a. Prosedur pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan

penerima pelayanan termasuk pengadaan.

b. Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan

permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk

pengaduan.

c. Biaya pelayanan

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan

dalam proses pemberian pelayanan.

d. Produk Pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan.

e. Sarana dan prasarana

Penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh

penyelenggara pelayanan publik.

f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan

dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan,


22
Kep. MENPAN No. 63 Tahun 2003
sikap dan perilaku yang dibutuhkan. Azas, prinsip, dan standar

pelayanan tersebut diatas merupakan pedoman dalam

penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah dan

juga berfungsi sebagai indikator dalam penilaian serta evaluasi

kinerja bagi penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya

standar dalam kegiatan pelayanan publik ini diharapkan

masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan

kebutuhan dan prosesnya memuaskan dan tidak menyulitkan

masyarakat.

e. Jenis- jenis Pelayanan Publik

Timbulnya pelayanan umum atau publik dikarenakan adanya

kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacam- macam bentuknya

sehingga pelayanan publik yang dilakukan juga ada beberapa macam.

Berdasarkan keputusan MENPAN kegiatan pelayanan umum atau publik

antara lain 23:

a. Pelayanan administratif

Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi

yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan,

sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu

barang dan sebagainya. Dokumen- dokumen ini antara lain Kartu


23
MENPAN No. 63/ KEP/ M. PAN/ 7/ 2003
Tanda Pendudukan (KTP), akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku

Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM),

Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan

Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat kepemilikan atau penguasaan

Tanah dan sebagainya.

b. Pelayanan barang

Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang

yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan

tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

c. Pelayanan jasa

Yaitu pelayanan yang menghasikan berbagai bentuk jasa yang

dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan,

penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

f. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Kegiatan pelayanan publik diselenggarakan oleh instansi

pemerintah. Instansi pemerintah merupakan sebutan kolektif meliputi

satuan kerja atau satuan orang kementrian, departemen, lembaga,

pemerintahan non departemen, kesekertariatan lembaga tertinggi dan

tinggi negara, dan instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah

termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Sebagai penerima pelayanan publik

adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.

Kegiatan pelayanan publik atau disebut juga dengan pelayanan umum,


yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintahan dinilai kurang

dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan masyarakat, sebgai

konsumen mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya

adalah bentuk orang birokrasi, sehingga birokrasi seperti dikemukakan

oleh Achmat Batinggi adalah merupakan tipe dari orang yang

dimaksudkan untuk mencapai tugas- tugas administratif yang besar

dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari

banyak orang.24

Konsep birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk.

Organisasi birokrasi mempunyai keteraturan dalam hal pelaksanaan

pekerjaan karena mempunyai pembagian kerja dan struktur jabatan yang

jelas sehingga komponen birokrasi mempunyai tanggung jawab dan

wewenang untuk melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan pekerjaan

dalam orang birokrasi diatur dalam mekanisme dan prosedur agar tidak

mengalami penyimpangan dalam mencapai tujuan orang. Dalam

organisasi birokrasi segala bentuk hubungan bersifat resmi dan berjenjang

berdasarkan struktur orang yang berlaku sehingga menuntut ditaatinya

prosedur yang berlaku pada orang tersebut. Adapun yang menjadi ciri

ideal birokrasi menurut Max Weber seperti yang dikutip dan

diterjemahkan oleh Ahmad Batingi antara lain adalah a) pembagian kerja

yang kurang jelas, b) Adanya hierarki jabatan, c) Adanya pengaturan


24
Batinggi, Ahmad, Manajerial Pelayanan Umum, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999, hal. 53
sitem yang konsisten, d) Prinsip formalistic impersonality, e) Penempatan

berdasarkan karier, f) Prinsip rasionalitas25, Dengan adanya otonomi

daerah, diharapkan memberikan dampak nyata yang luas terhadap

peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.

Dengan demikian pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke

daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan

jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi pemerintah

daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan peningkatan

kualitas pelayanan. Untuk menciptakan kegiatan pelayanan publik yang

berkualitas, maka Menteri Pendayagunaan Negara menerbitkan keputusan

No. 63/ KEP/ M.PAN/ 7/ 2003 mengenai pola penyelenggaraan

pelayanan publik, yang antara lain:

a. Fungsional

Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai

dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

b. Terpusat

Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara

pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara

pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

c. Terpadu

1. Terpadu Satu Atap


25
Ibid
Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu

tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak

mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melelui beberapa pintu.

Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat

tidak perlu disatu atapkan.

2. Terpadu Satu pintu

Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat

yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan

proses dan dilayani melalui satu pintu.

3. Gugus Tugas

Petugas pelayanan secara perorangan atau dalam bentuk gugus

tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi

pemberian pelayanan tertentu.

g. Manajemen Pelayanan Publik

Berkaitan dengan upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi

kegiatan pelayanan publik, maka diperlukan suatu aktivitas manajemen.

Aktivitas manajemen adalah aktivitas yang dilakukan oleh manajemen

yang mampu mengubah rencana menjadi kenyataan, apakah rencana itu

berupa rencana produksi atau rencana dalam bentuk sikap dan

perbuatan.26

26
A.S. Moenir, op.cit, hal. 164
Aktivitas manajemen memang subyek, karena manajemen

berhadapan dengan unsure organisasi yang terdiri dari manusia, dana,

peralatan, bahan, metode dan pasar (bagi orang bisnis). Namun dalam hal

manajemen pelayanan yang dihadapi oleh manajemen yang utama antar

lain adalah manusia (pegawai) dengan segala tingkah lakunya.

Manajemen pelayanan umum oleh A.S. Moenir didefinisikan sebagai

“manajemen yang proses kegiatan diarahkan secara khusus pada

terselenggaranya pelayanan guna memenuhi kepentingan umum atau

kepentingan perseorangan, melalui cara - cara yang tepat dan memuaskan

pihak yang dilayani.”27 Selain dapat berjalan dengan baik, manajemen

pelayanan umum / publik harus dapat mencapai sasaran atau tujuan yang

telah ditetapkan.

Sasaran manajemen pelayanan umum sederhana saja yaitu

kepuasan. Meskipun sasaran itu sederhana tapi untuk mencapainya

diperlukan kesungguhan dan syarat- syarat yang seringkali tidak mudah

dilakukan. Hal ini berkaitan dengan masalah kepuasan yang tidak dapat

diukur secara pasti tetapi relatif. Mengenai sasaran dari kegiatan

pelayanan umum, A.S. Moenir mengemukakan sasaran utama pelayanan

umum, yaitu 28:

a. Layanan

27
A.S. Moenir, op.cit, hal. 204
28
A.S. Moenir, op.cit, hal. 165
Agar layanan dapat memuaskan orang atau sekelompok orang yang

dilayani, maka petugas harus dapat memenuhi empat syarat pokok

yakni (a) tingkah laku yang sopan, (b) cara menyampaikan sesuatu

berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang

bersangkutan, (c) waktu penyampaian yang tepat dan, (d) keramah

tamahan.

b. Produk

Yang dimaksud dengan produk dalam hubungan dengan sasaran

pelayanan umum yaitu kepuasan dapat berbentuk :

1. Barang

Yaitu sesuatu yang dapat diperoleh melalui layanan pihak lain,

misalnya barang elektronik dan kendaraan.

2. Jasa

Produk jasa yang dimaksud adalah suatu hasil yang tidak harus

dalam bentuk fisik tetapi dapat dinikmati oleh panca indera dan

atau perasaan (gerak, suatu, keindahan, kenyamanan, rupa)

disamping memang ada yang bentuk fisiknya dituju.

3. Surat- surat berharga

Kepuasan berikut ini menyangkut keabsahan atas surat- surat yang

diterima oleh yang bersangkutan. Keabsahan surat sangat

ditentukan oleh proses pembuatannya berdasarkan prosedur yang

berlaku dalam tata laksana surat pada instansi yang bersangkutan.


Ditinjau dari segi aktivitasnya dalam kaitan dengan fungsi

pelayanan, aktivitas manajemen yang menonjol diantara aktivitas-

aktivitas yang dilakukan menurut A. S. Moenir antara lain ialah29 :

a. Aktivitas menetapkan sasaran dalam rangka pencapaian

tujuan

Aktivitas yang menonjol dalam manajemen pelayanan umum

adalah menetapkan sasaran untuk mencapai tujuan organisasi

serta menetapkan cara yang tepat serta melaksanakan

pekerjaan dan menyelesaikan masalah.

b. Menetapkan cara yang tepat

Aktivitasnya manajemen yang kedua adalah menetapkan cara

bagaimana yang tepat untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam hal ini termasuk menetapkan teknik pencapaian,

prosedur dan metode. Khusus dalam tugas- tugas pelayanan

soal prosedur dan metode harus benar- benar menjadi

perhatian manajemen, karena hal ini akan menentukan kualits

dan kecepatan dalam pelayanan, baik pelayanan manual

maupun pelayanan dengan menggunakan peralatan.

G. Teori Hukum Sebagai Hubungan Sosial

29
A.S. Moenir, op.cit, hal. 164 - 185
Prof. Subekti, SH dalam Drs. C.S.T. Kansil, SH mengatakan bahwa,

“hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya mendatangkan

kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya”.30 Teori tentang fungsi hukum

dalam masyarakat dapat dilihat dan dua sisi, yaitu sisi pertama dimana kemajuan

masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan untuk mengaturnya dan

sisi yang kedua dimana hukum yang baik dapat mengembangkan masyarakat

atau mengarahkan perkembangan masyarakat.31 Adapun tujuan hukum yang

bersifat universal adalah:

a. Ketertiban;

b. Ketentraman;

c. Kedamaian; dan

d. Kebahagiaan dalam tata kehidupan masyarakat32

Dalam perkembangannya, tujuan hukum didalam masyarakat mengalami

kemajuan, yaitu:

a. Sebagai alat pengatur tertib masyarakat;

b. Sebagai saran untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin;

c. Sebagai penggerak pembangunan; dan

d. Sebagai fungsi kritis hukum.33

30
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Negara Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta, 1989, hal.
41
31
H. Munir Fuady, Teori-Teori Besot- (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 245
32
H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 19
33
Ibid
Secara umum, dapat dikatakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat

sebagai berikut:

a. Fungsi inemfasilitasi, dalam hal ini termasuk memfasilitasi sehingga tercapai

suatu ketertiban.

b. Fungsi represif, dalam hal ini termasuk penggunaan hukum sebagai alat elite

berkuasa untuk mencapai tujuan-tujuannya.

c. Fungsi ideologis, dalam hal ini termasuk manjamin pencapaian legitimasi,

hegemoni, dominasi, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, dan lain-lain.

d. Fungsi reflektif, dalam hal ini hukum merefleksi keinginan bersama dalam

masyarakat, sehingga mestinya hukum bersifat netral.34

Hukum dalam masyarakat modern tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan

pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat,

melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki,

menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan

pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.35 Hal tersebut terjadi karena hukum

sebagai pranata sosial dalam kehidupan masyarakat bennasyarakat telah

berkembang, yang semula hanya berfungsi sebagai penjaga ketertiban telah

berkembang lebih lanjut menjadi slat yang efektif untuk melaksanakan suatu

perubahan sosial bahkan sebagai sarana dalam melaksanakan suatu rekayasa

sosial guna mewujudkan tujuan yang dicita-citakan bersama. Hukum bisa

34
Ibid, hal.246

35
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal.206
berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk

melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.36 Sebagai alat perubahan

dalam masyarakat, hukum tidak hanya berfungsi hanya sebagai pembenar atau

mengesahkan segala hal-hal yang terjadi setelah masyarakat berubah, tetapi

hukum hares tampil secara bersamaan sengan peristiwa yang terjadi, bahkan

kalau perlu hukum harus tampil dahulu baru peristiwa mengikutinya. 37 W.

Freidman dalam buku Munir Fuady menyatakan bahwa, perubahan hukum yang

kemudian dapat mengubah suatu pandangan/sikap don kehidupan suatu

masyarakat berasal dan berbagai stimulus sebagai berikut:

a. Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat.

b. Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau

keadaan darurat khususnya dalam hubungan dengan distribusi sumber daya

atau dalam hubungan dengan standar barn tentang keadilan.

c. Atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh ke

depan, yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pandangan dan

cara hidup masyarakat.

d. Ada ketidakadilan secara teknikal hukum yang meminta diubahnya hukum

tersebut.

e. Ada ketidakkonsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan

terhadap hukum tersebut.

36
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 189
37
H.Abdul Manan, Apek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2009. hal. 8
f. Ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentukan

baru terhadap bidang hukum tertentu, seperti penemuan alat bukti baru untuk

membuktikan suatu fakta.

Fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial atau sarana rekayasa

masyarakat (social engineering) pertama kali dicetuskan oleh Roscoe Pound

yang menyatakan hukum merupakan sarana merekayasa masyarakat (a tool of

social engineering).38 Hukum sebagai alat perekayasa sosial, telah dikemukakan

oleh Roscoe Pound dalam Teori Law as a Tool of Social Engineering di Negara

Barat pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran Pragmatic

Legal Realism39 Teori law as a tool of social engineering termasuk dalam Teori

Sociological Jurisprudence merupakan teori yang mempelajari pengaruh hukum.

terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke

masyarakat.40 Berdasarkan teori tersebut, maka pemahaman hukum terhadap

masyarakat maupun masyarakat terhadap hukum dapat dilihat secara jelas

posisinya. Lebih lanjut, Roscoe Pound dalam Hukum Responsif karangan

Phlippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan bahwa Sociological

Jurisprudence (ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologis) ditujukan

untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum “untuk secara menyeluruh dan

cerdas mempertimbangkan fakta sosial yang disitu hukum tersebut berproses dan

diaplikasikan”.41 Berdasarkan pandangan tersebut, maka teori Sociological


38
Ibid, hal. 251
39
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum. Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 190
40
H. Abdul Manan, op.cit, hal.19
41
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2013, hal. 83
Yurisprudence dapat dijadikan dasar dalam menilai berlakunya hukum

dimasyarakat, baik dari segi efektivitas kekuatan berlaku yang mengarah pada

kepatuhan masyarakat terhadap hukum maupun daya pengaruh hukum dalam

persepsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dalam masyarakat. Roscoe Pound

mengemukakan bahwa hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga

kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial.42 Sehingga

apabila diaplikasikan dalam pelaksanaan peraturan, Roscoe Pound menempatkan

hukum sebagai lembaga sosial yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia

dan menanggap sebagai kewajiban mereka untuk menemukan cara-cara terbaik

dalam memajukan dan mengarahkan usaha sedemikian itu. 43 Sebagaimana telah

di paparkan sebelumnya, bahwasannya Teori “Law as a Tool of Social

Engineering” sangat berguna untuk dapat melakukan analisis mengenai

kemampuan dan batas-batas kemampuan hukum untuk melakukan rekayasa

sosial.44 Dias dalam Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa, berkali-kali Pound

menggunakan istilah “engineering”, Tujuan social engineering adalah untuk

tnembangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa, sehingga secara

maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan, dengan seminimum

mungkin benturan dan pemborosan.45 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa

42
Adi Sulistiyono, Materi KuliahTeori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS. 2013.
43
Roscoe Pounr dalam buku karangan Satjipto Raharjo, op.cit 95
44
Satjipto Raharjo, op.cit. hal. 95
45
Satjipto Raharjo, op.cit. hal. 304
social engineering adalah cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan

sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu.46

Pound mengembangkan suatu daftar kepentingan-kepentingan yang

dilindungi oleh hukum, yang dibaginya tiga golongan, yailu kepentingan umum,

sosial, dan perorangan. Kepentingan umum termasuk :

a. Kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis;

b. Kepentingan terhadap negara sebagai penjaa dart kepentingan sosial.

Kepentingan perorangan terdiri dari:

a. Pribadi (fisik, kebebasan kemauan, kehormatan, privasi, dan kepercayaan

serta pendapat);

b. Hubungan-hubungan domestik (orang tua, anak, suami-istri); dan

c. Hepentingan substansi (milik, kontrak dan berusaha, keuntungan, pekerjaan,

hubungan dengan orang lain).

Kepentingan sosial meliputi:

a. Keamanan umum;

b. Keamanan dari institusi-institusi sosial;

c. Moral umum;

d. Pengamanan sumber-sumber daya sosial;

e. Kemajuan sosial; dan

46
Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. hal. 122
f. Kehidupan individual (pernyataan diri, kesempatan dan kondisi

kehidupan).47

Menurut Bernard L Tanya, dkk, titik kekuatan Pound terletak pada

kerangka pengelempokan yang dibangunnya serta pesan sentral dari

pengelompokan semacam itu. Pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai

sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua,

pengelompokan semacam itu sangat membantu untttk memperjelas kategori

kepentingan yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan.48 Fokus utama

Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing dan

karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan

dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju.

Langkah yang diambil dalam social engineering by law bersifat

sistematis, dimulai dan identifikasi problem sampai dengan jalan pemecahannya,

yaitu:

a. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya

mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran clari

penggarapan tersebut.

b. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal

social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-

47
Satjipto Raharjo, op.cit. hal. 304
48
Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 158
sektor kehidupan majemuk. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor

mana yang dipilih.

c. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa

dilaksanakan.

d. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.49

Dalam konsep law as a tool of social engineering, hukum harus berperan

untuk inenggerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Di sini

hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tool of social

engineering).50 Dalam bentuk ini, perubahan hukum itu harus dikehendaki

(tended change) dan hams direncanakan (planed change) sedemikian rupa sesuai

dengan yang diharapkan.51 Hukum sebagai alat pengubah masyarakat (law as a

tool of social engineering), hukum berperan di depan untuk memimpin

perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara memperlancar pergaulan

masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan

bagi seluruh masyarakat.52

Sifat hukum sebagai produk by design intelektual-ilmiah dalam konsep

social engineering terlihat jelas dalam rincian persoalan yang menurut Pound

wajib dilakukan oleh seorang ahli hukum sosiologis agar hukum dapat benar-

benar efektif sebagai alat perubahan sosial. Sebagaimana dikutip oleh Satjipto

Rahardjo dalam Bernard L Tanya, secara sistematis Pound mengemukakan 6


49
Satjipto Raharjo, op.cit. hal. 208
50
Abdul Manan, op.cit. hal. 8
51
Ibid, hal. 11
52
Ibid, hal. 21
(enam) langkah yang harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai sarana

perubahan sosial, yaitu:

a. Mempelajari efek sosial yang nyata dan lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran

hukum;

b. Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-

undangan untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek

yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan;

c. Melakukan studi bagaimana peraturan hukum menjadi efektif:

d. Memperhatikan sejarah hukum, artinya mempelajari efek sosial yang

ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa yang lalu dan bagaimana

cara menimbulkannya. Studi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana

hukum dimasa lalu itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi dan psikologi, dan

bagaimana is dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna mencapai

hasil yang kita inginkan;

e. Pentingnya melakukan penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan

bersasarkan peraturan hukum semata;

f. Pengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai.53

H. Teori Hukum Responsif

Menurut Khudzaifah Dimyati, pada tingkat perkembangan masyarakat

sekarang ini, agaknya tipe hukum responsif sangat relevan untuk dijadikan
53
Bernard L. Tanya. op.cit, hal. 163
sebagai bahan rujukan. Pertimbangannya, pertama, proses pembuatannya bersifat

“partisipatif”, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat

melalui kelompok - kelompok sosial dan individu dalam masyarakat; kedua,

dilihat dari fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif bersifat

“aspiratif”. Artinya, memuat materi - materi yang secara umum sesuai dengan

aspirasi atau kehendak yang dilayaninya sehingga produk hukum itu dapat

dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat; ketiga, dilihat dari segi

“penafsiran”, maka hukum yang berkarakter responsif, biasanya memberi sedikit

peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai

peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-

hal yang betul-betul bersifat teknis.54

Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga modalitas atau

“pernyatan-pernyataan” dasar terkait dengan hukum dalam masyarakat (law in

society): (1) hukum sebagai pelayan kekuasaan represif, (2) hukum sebagai

institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas

dirinya, dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap

kebutuhan dan aspirasi sosia1.55 Tanda-tanda dari hukum represif adalah adaptasi

pasif dan oporunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial

dan politik. Hukum otonom merupakan raksi yang menentang terhadap

keterbukaan yang serampangan. Hukum responsif merupakan tipe hukum yang

54
Khudzaifah Dimyati, op.cit, hal. 118

55
Philippe Nonet dan Philip Selznick, op.cit, hal. 18
berusaha untuk mengatasi ketegangan kedua hukum tersebut. Lembaga responsif

menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan

kesempatan untuk melakukan koreksi diri. 56 Ciri khas hukum responsif adalah

mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan.57

Strategi pembangunan hukum responsif akan menghasilkan hukum yang

bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan

individu di dalam masyarakatnya.58 Dalam model hukum responsif, perspektif

hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih baik daripada

sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil;

hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya

komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.59

Dalam pembentukan produk hukum, konsep hukum responsif

mengarahlcan supaya dalam proses pembentukan hukum diharapkan dapat

dilaksanakan secara matang dan komprehensif dalam arti mampu mewadahi

kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang terjadai di masyarakat. Selama

penghormatan terhadap bentuk-bentuk prosedural melemah dan peraturan-

peraturan dibuat problematik, para pejabat dan warga negara dapat bertindak

sekehandak hatinya dengan lebih mudah. Menurut argumen para kritikus, bahwa

56
Ibid, hal.87
57
Ibid, hal.90
58
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: RajaGrafindo.2013,
hal.76
59
Philippe Nonet dan Philip Selznick, op.cit, hal.84
hukum kehilangan kemampuannya untuk mendisiplinkan para pejabat dan

nemaksakan kepatuhan pada hukum.60

Karakteristik yang rnenonjol dari konsep hukum responsif adalah:

pertama, pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;

kedua, pentingnya kerakyatan, baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk

mencapainya.61

I. Teori Bekerjanya Hukum

Seidman dalam Amiruddin dan H. Zainal Asikin, membuat model

bekerjanya hukum, sebagai berikut:

Dari bagan tersebut Seidman mengajukan proposisi sebagai berikut:

1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang

peran (Role Occupant) itu diharapkan bertindak.

2. Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu

respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang

60
Ibid, hal.85
61
Khudzaifah Dimyati, op.cit, hal. 111
ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana

serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-lainnya mengenai

dirinya.

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons

terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks

kekuatan politik, sosial dan lain-lainnya mengenai din mereka serta umpan

balik yang datang dari pemegang peran.

4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan

fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-

sanksinya, politik, ideologi, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta

umpan balik yang datang dad pemegang peran serta birokrasi.62

J. Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

K. Metode Penelitian

Penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan,

mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha mana

62
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal.46
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.63 Metode adalah alat untuk

mencari jawaban.64 Metode ilmiah adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut,

untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan.65 Ronny Hanityo Soemitro dalam

Johnny Ibrahim menguraikan tiga pengertian hukum yang membawa

konsekuensi penggolongan dan metodenya sebagai berikut:

a. Hukum sebagai ide, cita-cita, moral, dan keadilan. Materi studi tentang aspek

hukum demikian termasuk dalam filsafat.

b. Hukum sebagai nonna, kaidah, peraturan, undang-undang yang berlaku pada

suatu waktu dan tempat tertentu. Sebagai produk dari suatu kekuasaan negara

tertentu yang berdaulat. Studi demikian ini termasuk dalam pengetahuan

hukum positif.

c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem

kehidupan bermasyarakat yang terbentuk dari pola-pola tingkah laku yang

melembaga. Aspek hukum yang demikian inilah yang mewujudkan studi

hukum dalam masyarakat serta sosiologi hukum.66

1. Jenis Penelitian

Menurut pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dalam buku H. Setiono,

ada lima konsep hukum, yaitu:

63
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Desertasi, Alumni, Bandung,
hal. 30.
64
H. Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hokum, Program Studi Ilmu Hukum,
Surakarta, hal. 19
65
Bambang Sunggono, Metodologi Peneltian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,hal.
66
Johnny Ibrahim, op.cit,hal 37.
a. Hukum adalah asa kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal;

b. Hukum adalah norna-norna positif di dalam sistem perundang-

undangan hukum nasional;

c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law;

d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis

sebagai variabel sosial yang empirik;

e. Hukum adalah manifestasi makna-malcna simbolik para perilaku

sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.67

Berdasarkan lima konsep hukum tersebut, maka penelitian ini

termasuk dalam kategori konsep hukum yang kedua, yaitu hukum adalah

nonna-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum

nasional. Sudut pandang terkait permasalahan yang diangkat dalam

penulisan hukum ini berfokus pada norma-norma hukum positif dalam

pengaturan Administrasi Kependudukan di Indonesia dalarn upaya

mewujudkan hak administratif Penduduk dengan melihat pada hukum

yang berlaku (ius constitutum) guna melihat pada hukum yang seharusnya

(ius constituendum) sehingga mampu memberikan arab bagi pemenuhan

67
Soetandyo Wignyosoebroto dalam H. Setiono, op.cit,hal. 20
hak adminitratif Penduduk. Berdasarkan konsep hukum tersebut, maka

penelitian hukum ini tennasuk dalam penelitian hukum doktrinal.68

Soetandyo Wignjosoebroto dalam Bambang Sunggono

menyatakan bahwa, doctrinal research merupakan suatu penelitian

hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin

hukum positif yang berlaku.69 Terry Hutchinson memperjelas pengertian

penelitian doktrinal sebagai berikut, “Doctrinal Research-Research which

provides a systematic exposition of the rules governing a particular

category, analyses the relationship betwen rules, explains area of

difficulty and, perhaps, predicts futuredevelopment”.70

Menurut Amiruddin dan H. Zainal Asikin, penelitian hukum

normatif terdiri dari:

a. Penelitian inventarisasi hukum positif;

b. Penelitian asas-asas hukum;

c. Penelitian hukum klinis;

d. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-

undangan;

e. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan

perundang-undangan;

f. Penelitian perbandingan hukum;dan

68
Lihat H. Setiono,op.cit,haI. 20
69
Bambang Sunggono, op.cit, hal. 86
70
Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 44
g. Penelitian sejarah hukum.71

Hukum yang membawa konsekuensi penggolongan dan

metodenya sebagai berikut:

a. Hukum sebagai ide, cita-cita, moral, dan keadilan. Materi studi tentang

aspek hukum demikian termasuk dalam filsafat.

b. Hukum sebagai nonna, kaidah, peraturan, undang-undang yang berlaku

pada suatu waktu dan tempat tertentu. Sebagai produk dari suatu

kekuasaan negara tertentu yang berdaulat. Studi demikian ini termasuk

dalam pengetahuan hukum positif.

c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem

kehidupan bermasyarakat yang terbentuk dari pola-pola tingkah laku

yang melembaga. Aspek hukum yang demikian inilah yang

mewujudkan studi hukum dalam masyarakat serta sosiologi hukum.72

1. Jenis Penelitian

Menurut pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dalam buku H.

Setiono, ada lima konsep hukum, yaitu:

a. Hukum adalah asa kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati

dan berlaku universal;

b. Hukum adalah nonna-nonna positif di dalam sistem perundang-

undangan hukum nasional;

71
Amiruddin den H. Zainal Asikin, op.cit, hal. 29.
72
Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 300
c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law;

d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan,

eksis sebagai variabel sosial yang empirik;

e. Hukum adalah manifestasi makna-malcna simbolik para

perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.73

Berdasarkan lima konsep hukum tersebut, maka penelitian ini

termasuk dalam kategori konsep hukum yang kedua, yaitu hukum

adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan

hukum nasional. Sudut pandang terkait permasalahan yang diangkat

dalam penulisan hukum ini berfokus pada norma-norma hukum positif

dalam pengaturan pedagang asongan dalam upaya mewujudkan

stasiun kereta api yang nyaman dan aman dengan melihat pada hukum

yang berlaku (ius constitutum) guna melihat pada hukum yang

seharusnya (ius constituendum) sehingga mampu memberikan

kenyamanan bagi pengguna jasa kereta pi. Berdasarkan konsep hukum

tersebut, maka penelitian hukum ini tennasuk dalam penelitian hukum

doktrinal.74

Soetandyo Wignjosoebroto dalam Bambang Sunggono

menyatakan bahwa, doctrinal research merupakan suatu penelitian

73
Ibid

74
Ibid,hal. 303
hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin

hukum positif yang berlaku.75 Terry Hutchinson memperjelas

pengertian penelitian doktrinal sebagai berikut, “Doctrinal Research-

Research which provides a systematic exposition of the rules

governing a particular category, analyses the relationship betwen

rules, explains area of difficulty and, perhaps, predicts

futuredevelopment”.76

Menurut Amiruddin dan H. Zainal Asikin, penelitian hukum

nonnatif terdiri dari:

a. Penelitian inventarisasi hukum positif;

b. Penelitian asas-asas hukum;

c. Penelitian hukum klinis;

d. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-

undangan;

e. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan

perundang-undangan;

f. Penelitian perbandingan hukum; dan

g. Penelitian sejarah hukum.77

Berdasarkan pembagian tersebut, maka penelitian ini masuk

dalam penelitian nonnatif berupa penelitian yang ingin menelaah

75
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, hal. 31
76
Soerjono Soekanto, Penelitian Hokum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal.28.
77
Ibid, hal 51
sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan dengan tidak

mengesampingkan sejarah pembentukannya sehingga akan ditemukan

tujuan yang mengarah pada hukum yang akan berlaku. Berdasarkan

observasi kepada pedagang asongan dan data terkait akibat dampak

dari UU pereketaapian akan dilakukan penelaahan mengenai

sinkronisasi data-data terkait dengan dampak dari penerapan UU

perkerataapian yang merupakan ius constitutum yang selanjutnya akan

ditelaah mengenai hukum yang akan berlaku (ius constituendum)

sehingga akan diperoleh hukum yang dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat.

2. Pendekatan Penelitian

Cara pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu

penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk

memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu

lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa

mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. 78 Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif, dapat digunakan beberapa

pendekatan berikut:

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach);

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach);

c. Pendekatan Analitis (analytical approach);


78
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, fiineka Cipta, Jakarta, 2004, hal 41
d. Pendekatan Perbandingan (comparative approach);

e. Pendekatan Historis (historical approach);

f. Pendekatan Filsafat (philosophical approach); dan

g. Pendekatan Kasus (case approach).79

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian hukum ini

adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis.

Haryono dalam Johnny Ibrahim mengemukakan bahwa, penelitian

yang menggunakan pendekatan perundang-undangan harus melihat

hukum sebagai sistem yang tertutup yang mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut:

a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di

dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis.

b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup

mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga

tidak akan ada kekurangan hukum.

c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang

lain, nonna-nonn a hukum tersebut juga tersusun secara

hierarkis.80

Kusumadi Pudjosewojo dalam Johnny Ibrahim mengemukakan

bahwa, menurut perspektif sejarah ada dua naacam penafsiran terhadap

79
Bambang Sunggono, op.cit, hal. 82
80
H. Setiono, op.cit, hal. 26
perundang-undangan. Pertama, penafsiran menurut sejarah hukum

(rechts historische) dan kedua, penafsiran menurut sejarah penetapan

peraturan perundang-undangan (wets historische interpretatie).

3. Jenis Data dan Sumber Data

Penelitian hukum nonnatif hanya mengenal data sekunder saja,

jenis datanya (bahan hukum).81 Data sekunder tersebut memiliki ciri-

ciri umum, sebagai berikut:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat

(“ready made”).

b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh

peneliti-peneliti terdahulu.

c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh

waktu dan tempat.82

Gregory Churcill dalam Soerjono Soekanto,

mengelompokan data sekunder dari sudut kekuatan mengikatnya,

sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.

81
Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 220
82
C.S.T. Kansil, op.cit, hal. 68
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang meinberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder.83

Berdasarkan pengelompokan data sekunder tersebut, maka data

yang dipakai dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari:

1. Buku-buku mengenai kereta api

2. Buku-buku mengenai hukum perkeretaapian

3. Buku-buku mengenai dampak kehilangan mata pencaharian

4. Buku-buku mengenai kesenjangan sosial

5. Dokumen hasil penelitian dari dari lembaga pemerhati pekerja

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari :

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007

Tentang Perkeretaapian

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009

Tentang Pelayanan Publik

83
Johnny Ibrahim, op.cit,hal.222
Penggunaan bahan hukum sekunder sejalan dengan

pandangan Burhan Ashshofa yang mengemukakan bahwa, kecuali

mengerjakan inventarisasi bahan-bahan primer dalam wujud

perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasikannya ke

dalam suatu koleksi yang memudahkan penelusuran kembali,

kajian-kajian doktrinal dalam ranah hukum positif juga meliputi

usaha-usaha untuk mengoleksi bahan-bahan hukum lain yang

sekalipun tak terbilang primer akan tetapi dibilangkan sebagai

bahan hukum yang sekunder, bernilai juga penting untuk

pengembangan hukum dan ilmu hukum.84

c. Bahan hukum tertier, terdiri dari:

1. Kamus;

2. Jurnal;dan

3. Literatur terkait Kereta Api

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik

riset kepustakaan (library research). Hal tersebut karena dalam

penelitian hukum normatif tidak mengenal penelitian lapangan,

melainkan meneliti bahan-bahan hukum. Terdapat tiga kegiatan pokok

yang harus dikerjakan dalam penelitian ini, yaitu:

84
lbid, hal 224
a. menetapkan kriteria identifikasi untuk menyeleksi manakah

nonna-norma yang harus disebut sebagai nonna hukum positif,

dan mana pula yang disebut sebagai nonna sosial lainnya yang

bersifat non-hukum;

b. melakukan koreksi terhadap nonna-nonna yang teridentifikast

sebagai nonna hukum (positif); dan

c. mengorganisasikan norma-norma yang sudah berhasil

diidentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang

komprehensif.85

5. Tehnik Analisis Data

Dalam penelitian doktrinal, maka analisis data yang

dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a. Inventarisasi peraturan.

b. Penafsiran.

c. Analisis.86

L. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus 2014, adapun jadwal

pelaksanaan penelitian tesis adalah sebagai berikut:

AGUSTUS
No
Kegiatan Minggu Minggu Minggu Minggu
85
Ibid
86
C.S.T. Kansil, loc.cit
I II III IV
1 Penyusunan Proposal
2 Konsultasi Proposal
3 Seminar Proposal
4 Revisi Proposal
5 Pengumpulan Data
6 Pengolahan Data
7 Analisis Data
8 Penyusunan Laporan
9 Pertanggungjawaban
10 Konsultasi Tesis
11 Ujian Tesis
12 Revisi Tesis

13 Pengumpulan Laporan Akhir

Anda mungkin juga menyukai