Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Blambangan

8 bahasa

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Perkakas


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Blambangan

1478–1768 (dejure) / 1777 (defacto)

Blambangan di ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi) pada abad 16


masa Kesultanan Mataram

 Semboro,
Ibu kota
Jember (masa 'Mas
Sembar')

 Lumajang (masa
'Bima Koncar')

 Kedawung,
Jember (masa 'Menak
Lumpat s/d Wilabrata')

 Macanputih,
Banyuwangi (masa
'Tawang Alun II')

 Balambangan,
Muncar,
Banyuwangi (masa
'Prabu Danurejo s/d
Pangeran Agung Wilis')

 Lateng,
Rogojampi,
Banyuwangi (masa
'IGNK Dewa
Kabakaba')

Bahasa yang umum digunakan Jawa Kuno, Osing

Agama Hindu, Buddha, Islam

Pemerintahan Monarki

Menak/Gusti/Susuhunan/Prabu

• 1478-1489 Mas Sembar

• 1489-1501 Bima Koncar

• 1501-1531 Menak Pentor

• 1531-1546 Menak Pangseng

• 1546-1601 Menak Pati

• 1601-1633 Menak Lumpat

• 1633-1647 Menak Seruyu / Tawang


Alun I

Sejarah

• 1478, Majapahit Runtuh dan 1478


Blambangan Berdiri

• Blambangan mendapat serangan 1501


dari Bali

• Batara Wijaya mengungsi ke 1527


Panarukan (wilayah Blambangan)
setelah Daha dikuasai oleh Demak

• Blambangan kehilangan Pasuruan 1545-1546

2/2
dan Pajarakan karena direbut
Demak, namun Sultan Trenggana
tewas saat berusaha merebut
Panarukan

• Mataram menyerang Blambangan 1635-1639

• Perang Saudara di Blambangan 1691-1697

• menjadi wilayah kekuasaan Hindia 1768 (dejure) / 1777


Belanda (defacto)

Luas

- Total 5.000 km2

Didahului oleh Digantikan oleh

Kerajaan Majapahit Hindia Belanda

Bagian dari seri mengenai

Sejarah Indonesia

tampil

Prasejarah

tampil

Kerajaan Hindu-Buddha

tampil

Kerajaan Islam

tampil

Kerajaan Kristen
tampil

Kolonialisme Eropa

tampil

Kemunculan Indonesia

tampil

Kemerdekaan

tampil

Menurut topik

Garis waktu

Portal Indonesia

 l
 b
 s

Kerajaan Blambangan atau Balambangan atau Belambangan adalah sebuah kerajaan yang
berada di Ujung Timur Pulau Jawa. Karena berbagai sebab Kerajaan Blambangan memiliki pusat
pemerintahan yang berpindah-pindah ke beberapa titik di sekitar Tapal Kuda. Kerajaan
Blambangan diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Majapahit.
Blambangan dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Lamajang Tigangjuru yang dipimpin
oleh Arya Wiraraja dan Pu Nambi tahun 1293-1316. Lamajang Tigangjuru beribukota di Lamajang
(Lumajang). Selain Blambangan, dua Juru (kadipaten) lainnya adalah Sadeng (di Puger, Jember),
dan Keta (di Besuki, Situbondo).
Namun karena tidak terlibat dalam Perang Nambi (1316) dan Perang Sadeng-Keta (1318), maka
oleh Prabu Jayanagara, raja kedua Majapahit, daerah ini dianugerahi status
sebagai Perdikan Sima.
Tahun 1352 Balambangan bersama Pasuruan, Sumbawa, dan Bali mendapat Adipati baru dari
trah Kepakisan Kediri. Adipati Blambangan pertama itu bernama Sira Dalem Sri Bima Chili
Kepakisan (1352-1406).
Ketika Kerajaan Patron-nya, Majapahit, runtuh akibat pemberontakan Sang Muggwing
Jinggan dan saudara-saudaranya tahun 1478 dan raja Singhawikramawardhana
Dyah Suraprabhawa (1466-1478) gugur di istana, maka kerajaan-kerajaan vasal Majapahit
seperti Kesultanan Demak, Kerajaan Bali, Kadipaten Surabaya, Kesunanan Giri, Kesultanan
Cirebon, Kerajaan Blambangan, dll memilih merdeka sendiri-sendiri dan tidak mau mengakui
kekuasaan para pemberontak yang mendirikan kerajaan baru di Keling Kediri (Kerajaan Daha).
Pada tahun 1527, raja Majapahit-Daha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, yang tersingkir
karena diserang oleh Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak melarikan diri ke Panarukan,
Situbondo di wilayah utara Kerajaan Blambangan.

2/2
Sejarah Blambangan[sunting | sunting sumber]
Menurut Babad Sembar, penguasa pertama Blambangan adalah Mas Sembar dengan ibukota
daerah Semboro (di Jember), suatu daerah di sebelah timur wilayah ayahnya, Lembu Miruda,
(Lumajang).
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, putra Mas Sembar yang bernama Bima
Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa Blambangan kedua yang memerintah
hingga tahun 1501.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Pate Pimtor (Menak Pentor),
memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah
kekuasaan Menak Pentor, Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur.
Wilayahnya meliputi Canjtam (Keniten/Pasuruan Timur) dan Lumajang di bagian barat hingga ke
Supitan Blambangan (sekarang Selat Bali) di ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup
strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Di
antara pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Blambangan yang paling terkenal
adalah Panarukan (di Situbondo) di pesisir utara , Ulu Pangpang, (di Muncar) di pesisir timur,
dan Puger (di Jember) di pesisir Pantai Selatan.
Pada saat Sultan Trenggana raja ke-3 Kesultanan Demak pada 1546, memperluas wilayah
kekuasaannya ke timur, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk
merebut Pasuruan dan Pajarakan dari tangan Blambangan pada tahun 1545 dan sejak saat itu
Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala karena kerajaan ini
mampu bertahan walaupun telah dikepung selama seratus hari. Bahkan, pada 1546, Sultan
Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu
menembus kota Panarukan. Pemimpin Panarukan yang terkenal kala itu bernama Sontoguno.
Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dari Bali yang menyerang dan berusaha merebut
Blambangan dari tangan Menak Pangseng putra Menak Pentor.
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan namun Blambangan dapat
mengatasinya. Setelah mengalahkan Pasuruan, terjadi huru-hara di internal Blambangan dan
tampillah Menak Pati atau Sang Dipati Lampor dan putranya Menak Lumpat.
Selanjutnya Menak Lumpat digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Singosari atau
Menak Seruyu bergelar Prabu Tawang Alun I.
Kemudian pada tahun 1638-1639, giliran Kesultanan Mataram menyerang Blambangan, hingga
membuat Tawang Alun I terpaksa melarikan diri ke timur gunung (wilayah Banyuwangi saat ini di
daerah Kedawung Sraten, Cluring, Banyuwangi), sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar,
menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.
Blambangan dapat bertahan di sebelah timur gunung dan usaha-usaha Mataram melebarkan
kekuasaan ke daerah ini tidak pernah berhasil. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan
Timur (Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka
dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda
dengan bahasa Jawa baku.
Selanjutnya, di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1649, Mas Kembar naik tahta
dengan gelar Pangeran Tawang Alun II Prabu Tawangalun II.
Sepeninggal Sultan Agung dari Mataram, ketika Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat Agung
(Amangkurat I), ketika menghadiri Pisowanan (tahun 1652) di istana Mataram, Tawang Alun II
mendeklarasikan diri di hadapan sang Sunan, bahwa mulai sejak saat itu Blambangan adalah
wilayah yang merdeka. Sepulangnya ke Balambangan dia menyandang gelar
sebagai Susuhunan Macanputih untuk menunjukkan bahwa tahtanya sederajat dengan tahta
Mataram.
Selanjutnya Kangjeng Suhunan Tawang Alun II membantu Raden Trunajaya dan Karaeng
Galesong melawan Mangkurat Agung (Amangkurat I) dalam Perang Trunajaya sehingga
Blambangan dapat merebut daerah-daerah kekuasaannya kembali dari tangan Mataram. Di
bawah pemerintahan Kangjeng Suhunan Tawang Alun II, kerajaan Blambangan maju dengan
pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Banyuwangi, hingga ke Kediri.

2/2

Anda mungkin juga menyukai