Analitis Teoritis Dan Makna Puisi 'Moeder' Kelompok Meelovers
Analitis Teoritis Dan Makna Puisi 'Moeder' Kelompok Meelovers
“Moeder”
(Martinus Nijhoff)
Anggota Kelompok :
● Gendis Khalisha S (2206073942)
● Trianca Keynadata (2206073993)
● Lessyina B.S.Pirade (2206823745)
● Sabrina Yasmine Azzahra (2206071981)
● Shafira Syifa S (2206071905)
● Nadhiza Andarizqi (2206074005)
TEORI STROFENBAUW
1. Elisi
Elisi adalah pengurangan suatu kata dan suku kata untuk menjaga irama yang
disiratkan dalam puisi. Di puisi ini, elisi dapat dilihat pada kata ‘eeuw'ge’
pada bait ke-4 baris pertama yang harusnya ‘eeuwige’ dan ‘t pada setiap bait
yang merupakan singkatan dari ‘het’. Selain itu, juga terdapat singkatan pada
kata ‘klein’ di bait kedua baris pertama yang harusnya secara gramatikal
menjadi ‘kleine’.
2. Epentesis
Epentesis adalah penyisipan suku kata dalam sebuah kata. Dalam puisi ini,
kita melihat kata "dooven," dimana harusnya ‘o’ pada “dooven”
(memadamkan) harusnya hanya ada 1 tetapi penulis membuat kata tersebut
ditambahkan menjadi 2 ‘o’-nya.
3. Enjambemen:
Enjambemen adalah suatu teknik atau gaya penulisan dalam puisi yang
mengacu pada penggunaan kata atau bahasa dengan memotong atau
memisahkan suku kata, suku kata pertama atau beberapa huruf di tengah
kata, atau bahasa dengan tujuan estetis atau ritmis. Contohnya dalam puisi ini
adalah :
Pada puisi ini, Martinus Nijhoff menggunakan jenis rima yang mirip dengan
Italiaans Sonnet, yaitu rima berbentuk abba-abba-cdc-dcd. Namun, puisi “Moeder
memiliki rima abab-acca-def-fed.
- Lalu, pada bait ketiga dan keempat: boven dan dooven, warm dan arm, serta
schoot dan dood juga termasuk volrijm. Selain penggunaan bentuk volrijm,
Alliteratie :
- terdapat juga bentuk alliteratie pada kata hart dan werd pada bait kedua.
Karena adanya kesamaan bunyi pada -ar dan -er, sepasang kata tersebut
dinilai memiliki bentuk alliteratie. Terdapat juga bentuk alliteratie pada kata
hield, haar dan hand pada bait pertama. Karena adanya kesamaan huruf h di
bagian depan kata, persamaan huruf h tersebut dinilai memiliki bentuk
alliteratie.
TEORI SONNET
Puisi “Moeder” karya Martinus Nijhoff kali seperti sonnet-sonnet lain pada
umumnya, dimana puisi ini terdiri dari 14 baris (regels), yakni 2 kwatrijnen (paragraf
pertama dan kedua) serta 2 terzinen (paragraf ketiga dan keempat).
Masih dalam eerste deel puisi ini. Pada paragraf ini terdapat deskripsi serta
aliran emosi baru. Deskripsi pada paragraf ini terdapat pada kalimat pertamanya
“Een klein wit vrouwtje, met nerveuze handen”, dimana kalimat ini adalah sebuah
penggambaran fisik dari “ibu” oleh anaknya atau tokoh “ik”. Terdapat pula aliran
emosi sedih serta khawatir terhadap kondisi sang ibu yang sedang sakit. Terbukti
mulai dari kalimat kedua sampai keempatnya.
Pada bagian kedua paragraf ketiga puisi ini terjadi perubahan suasana, waktu dan
emosi yang sangat terlihat (kontras). Pada bagian ini dijelaskan bahwa sang ibu
sudah tidak ada. Dapat dibuktikan pada kalimat pertamanya yang menyatakan bahwa
kini sang ibu sedang berbaring dalam peti (kuburan) dengan wajahnya yang
menghadap ke arah atas “Ze ligt in ‘t graf met het gelaat naar boven”.
Terbukti juga dalam kalimat selanjutnya dalam kata “Donkere moeder”, ini
merupakan arketipe atau perwujudan dari sebuah kematian. Donkere moeder ini
merupakan sosok mitologi dan sosoknya sering muncul pada beberapa budaya
seperti Afrika, Mesir, Yunani dan Romawi serta juga dari sumber agama-agama
lainnya seperti Kristen dan Hindu. Oleh karena kematian ini digambarkan sebagai
“Ibu” dari kegelapan, disebutkan pula bagaimana tokoh ibu ini diselimuti olehnya
dan berbaring layaknya anak kecil dalam pelukan atau pangkuannya.
Pada paragraf keempat berisi kesimpulan dari kematian ibu. Dijelaskan di puisi ini
bahwa kematian yang abadi lebih baik daripada kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan
pada baris pertama yang menyatakan bahwa yang lebih lembut dari kehidupan
adalah kematian kekal “Zachter dan ‘t leven zij haar de eeuw’ge dood”.
Baris kedua menjelaskan secara lebih detail keadaan setelah kematian. Lebih
tepatnya keadaan orang-orang yang ditinggalkan. Pada puisi ini keadaan setelah
kematian digambarkan membuat orang yang ditinggalkan merasa kesepian, sunyi,
dan miskin “Die menschen eenzaam maakt en stil en arm”.
Lalu pada baris selanjutnya ditegaskan lagi arti dari kematian bahwa semua
kesedihan dari orang ditinggalkan di dapat mengalahkan ‘sinar matahari putih’, hal
ini merujuk kepada kematian kekal lebih lembut daripada kehidupan “Maar die het
witte zonlicht niet kan dooven”
De Volta / De Wending / De Chute
Volta atau wending atau chute dari puisi Moeder terlihat dengan jelas. Perubahan
jumlah baris dari paragraf kedua (4 kalimat) ke paragraf ketiga (3 kalimat)
merupakan volta serta isi dari paragraf kedua dan ketiga ini sangat jelas dari
bagaimana perbedaan kondisi serta suasana yang tergambarkan di dalamnya.
Perubahan suasana yang kontras yaitu pada paragraf kedua digambarkan “ibu” masih
ada di dunia, namun di baris selanjutnya dijelaskan bahwa “ibu” telah terbaring di
kuburan. Terbukti pula pada paragraf 2 nya menggunakan kalimat kala lampau,
sedangkan pada paragraf 3 menggunakan kalimat kala kini.
MAKNA PUISI
Bait Pertama : Dalam bait pertama, puisi menggambarkan kenangan indah antara
anak laki-laki dan ibunya. Mereka sering berjalan bersama di pantai
saat senja hingga malam harinya. Ini menciptakan gambaran tentang
kehangatan hubungan mereka dan momen indah ketika ibu dan anak
bersama-sama, menyanyikan lagu-lagu bersama. Anak laki-laki
sangat dekat dengan suara ibunya, dan momen ini memperkuat ikatan
antara mereka.
Pada baris ke-4, terdapat kalimat ‘Ik hield haar hand en zong de liedjes mee.’ yang
mengartikan ‘Aku memegang tangannya dan ikut menyanyikan lagu.’. Pada kutipan
ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ‘Ik’ ( Anak laki-laki ) memiliki inisiatif
untuk mengikutsertakan dirinya dalam suasana yang diciptakan oleh ibunya dengan
serta-merta, menandakan hubungan antara anak dan ibu yang erat tanpa
kecanggungan.
Bait Kedua : Baris kedua mendeskripsikan ibu sebagai "een klein wit vrouwtje"
dengan tangan yang gugup dan hati yang selalu gelisah. Ini
mencerminkan gambaran seorang wanita yang telah menderita dan
merasakan banyak hal dalam hidupnya. Anak laki-laki menyadari
bahwa ibu telah mengalami penderitaan, dan perasaan ini
membuatnya lebih memahami kehidupan dan perjuangan ibunya.
Pada baris ke-3 dan ke-4 terdapat kalimat ‘Wij wisten dat in haar geleden werd, Dat
zij het leven kende, en 't voelde branden.’ yang diterjemahkan menjadi ‘Kita tahu
bahwa di dalam dirinya ada penderitaan, Bahwa dia mengenal kehidupan, dan
merasakannya terbakar.’, mengisyaratkan bahwa sang anak menyadari bahwa
ibunya sedang merasakan penderitaan di hidupnya, yang juga menandai bahwa anak
tersebut berempati dengan rasa sakit yang dirasakan ibunya tersebut.
Bait Ketiga : Alinea ketiga menggambarkan kematian ibu dan permohonan untuk
memberikan kedamaian pada ibu di alam kematian. Menggambarkan ibu
sebagai "donkere moeder" (ibu yang gelap) yang sekarang berada dalam
pemakaman. Ini menggambarkan rasa hormat dan cinta anak terhadap
ibunya, bahkan setelah kepergiannya.
Pada bagian ini, penulis menggunakan bahasa yang lembut dan penuh kasih,
menggambarkan ibu sebagai "donkere moeder" (ibu yang gelap) dan memohon agar
lapisan kehangatan dan ketenangan menyambutnya di alam kematian. Analogi pada
baris ke-3 "Zie, als een kind ligt zij naakt in uw schoot" menggambarkan ibu yang
berada dalam pelukan alam kematian seolah-olah seperti seorang anak yang
dilindungi dan dirangkul dalam keamanan.
Dengan demikian menurut baris ke-2, jelas menggambarkan bahwa sang anak dalam
puisi ini sedang mengalami perasaan yang penuh dengan kesuraman ( kesepian,
sunyi dan malang ), yang kemudian tetap tidak bisa dihempaskan baik oleh ‘sinar
matahari yang cerah’ atau dapat diinterpretasikan sebagai segala hal yang paling
indah pun.