Rima ada dua. Pertama adalah rima sempurna. Kedua adalah rima tidak sempurna.
Rima yang dipakai dalam puisi ini kebanyakan adalah rima tidak sempurna.
Perhatikan bait berikut ini:
Lihat kata mereka dan desa. Dua kata itu diletakkan penyair di akhir kalimat
untuk menimbulkan kesan berirama ketika dibaca. Namun, dari kedua kata itu,
hanya satu huruf terakhir yang identik, yakni huruf a. Ini disebut rima tidak
sempurna.
Selain itu, puisi ini juga mengandung rima awal. Perhatikan awal bait pertama
berikut ini:
Pada dasarnya, puisi bebas dibuat dalam bentuk apa saja. Ada penyair yang
menuliskan dalam bentuk prosais, tapi ada juga yang menuliskannya dalam bentuk
umumnya puisi seperti bentuk puisi yang kita bicarakan ini. Ia berbentuk bait-bait
dan terdiri dari baris-baris dan pemenggalan katanya pun tidak terikat pada
peraturan bahasa tertentu. Ia bukan berbentuk seperti prosa yang membujur datar
dari kanan ke kiri. Fleksibilitasnya dan kebebasan bentuknya itulah yang membuat
puisi ini benar-benar tampak puitis.
2.
Kesan yang ditimbulkan ketika membaca puisi ini adalah terbitnya rasa kagum
terhadap perempuan-perempuan perkasa, yakni tokoh ibu-ibu yang berusaha
dimunculkan penyair di dalam puisi ini. Bisa jadi sang penyair mempunyai sosok
ibu yang perkasa seperti perempuan-perempuan tokoh puisi ini. Atau malah
mungkin saja yang menjadi role model puisi ini sebenarnya adalah ibu sang
penyair sendiri. Karena berbeda dengan stereotipe masyarakat yang mengatakan
bahwa perempuan makhluk lemah dan sejenisnya, penyair malah melukiskan
makhuk yang bernama perempuan ini sebagai pejuang. Mereka adalah:
Membaca puisi ini, seolah kita dilecut untuk mengingat, mengenang, dan
merenung kembali perjuangan seorang ibu. Dimana ia ikhlas bekerja, membanting
tulang, dan bisa jadi tidur hanya sebentar demi keluarganya. Membaca puisi ini,
seolah kita diingatkan akan tulus cintanya seorang ibu, murni kasihnya orang yang
melahirkan kita. Demi keluarganya, sang ibu rela
Untuk anaknya, mereka rela berpeluh turun dari bukit desa mereka yang nyaman
menuju
ke stasiun kereta
Dan mereka melakukan itu semua demi merebut hidup di pasar-pasar kota buat
menghidupi anak-anaknya. Tepatlah seperti kata sang penyair bahwa ibu-ibu
pejuang itu, perempuan-perempuan perkasa itu adalah
3.
Puisi ini mengandung majas simile. Menurut KBBI edisi ketiga, simile adalah
membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi mengandung segi-segi
yang serupa. Simile biasanya ditandai dengan kata bagaikan, laksana, dan
lainnya. Perhatikan baris berikut ini:
Di kalimat itu ada pelesapan. Sebenarnya, kata itu bisa ditulis begini:
Fungsi dari majas simile adalah tidak hanya menegaskan makna yang hendak
disampaikan, tetapi juga memberikan efek tertentu[1]
Tujuan sang penyair mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup yaitu
untuk menegaskan dan membandingkan. Hasil yang kita rasakan dengan majas
personifikasi tentu saja membuat kita semakin paham esensi dari subjek
perbandingan (baca: ibu) dan posisinya dalam puisi itu.
Posisi akar dalam pohon sangat penting. Ia bertugas menyerap sari-sari makanan
dari tanah lalu menyalurkannya ke seluruh batang pohon, bahkan hingga ke ujung
ranting-rantingnya. Dalam proses fotosintesis, akar menjadi salah satu pilar penting
untuk penyaluran pertama bahan baku. Ketika ada angin kencang, yang menahan
supaya pohon tidak tumbang adalah kekuatan akarnya. Semakin kuat akar pohon
itu, semakin kokoh pula lah pohon yang bersangkutan. Jika pohon ditebang
batangnya, ia bisa tumbuh kembali. Akan tetapi jika dicerabut sampai ke akarakarnya, pohon itu akan mati. Bisa dibilang, akar adalah hidup matinya pohon.
Begitu pula dengan ibu. Posisi ibu bagi keluarga sangatlah vital. Ibu mempunyai
kewajiban menyerap pelajaran tentang kebijaksanaan dan mendidik keluarganya
di atas nilai-nilai dan prinsip hidup yang baik. Seorang anak yang kehilangan ibu
akan jauh lebih kolaps dibandingkan ketika ia kehilangan ayah. Ini terjadi karena
hati seorang ibu sangat dekat dengan anaknya. Bahkan dari ialah sang anak
berasal, seperti pohon yang berasal dari akar. Jika sebuah keluarga diterpa badai,
yang menaungi seluruh anggota dengan kekuatan memang sang ayah, tapi yang
menjaga agar keluarga itu tidak hancur adalah sang ibu. Ibu adalah hidup matinya
keluarga.