Anda di halaman 1dari 3

BAJU BULAN, DARI IBU HINGGA CELANANYA MEMBAWA KISAH

DAN KASIH UNTUK DIAPRESIASI

( Dewi Aisyah Alya Pratiwi, 03010422006 )

Joko Pinurbo, atau yang lebih akrab disapa Jokpin kali ini dalam antologi puisinya
berjudul Baju Bulan membungkus diksi-diksinya dalam kemasan makna yang selalu
membuat pembaca geleng-geleng, bahkan tak jarang ketika saya membaca puisinya
terhenyak, tertusuk oleh ironi yang dibangun Jokpin dalam puisinya. Satire yang ada pada
puisi-puisi Jokpin selalu mengangkat realitas dalam masyarakat dan fenomena sosial di
Indnesia yang akhirnya selalu menjadi trend.

Antologi puisi ini diawali dengan puisi Di Kulkas : Namamu, puisi paling tua dalam
antologi ini, ditulis pada tahun 1991. Menyambut pembaca dengan kegamonan penulis
tentang seseorang, disinyalir adalah salah satu dari kedua orang tuanya dan merujuk pada
ibunya. Karena dalam puisi itu dijelaskan keadaan seseorang di akhir masa kehidupannya
sebelum meninggal, yakni batuk-batuk dan sakit-sakitan, terlebih pada akhir bait-bait
puisinya disebutkan bahwa seseorang yang digambarkan menjelaskan rahasia-rahasia yang
biasanya diceritakan oleh ibu. Dan yang menguatkan penulis menduga bahwa itu ibunya
adalah benda kulkas yang digunakan untuk menggambarkan kegamonannya tadi.

Antologi puisi ini juga menceritakan tentang persiapan seseorang menuju alam kubur.
Jadi selain hubungan dalam keluarga cemara yang dibangun dalam antologi puisi ini adalah
religiusitas dan toleransi. Baju Bulan, pada judulnya sendiri sudah mewakili makna dalam
puisi yang hendak dibagi. Baju diibaratkan sebagai sesuatu yang hendak ditampilkan ke pada
bulan, di mana bulan ini di analogikan sebagai Tuhan. Adanya konotasi bahwa bulan adalah
gambaran Tuhan, karena letaknya di atas, bersinar, dan apabila dilihat dari bentuknya ketika
purnama hingga sabit selalu menyenangkan.

Puisi-puisi dalam antologi ini memperlihatkan realitas kehidupan di kota-kota besar,


yang fokusnya adalah pada keluarga, keharmonisan keluarga, pengorbanan ibu, dan
kebencian terhadap ayah. Fenomena di kota besar seperti kejadian bayi yang dibuang, lelaki
yang dicari-cari istrinya karena tak pulang-pulang, pelacur yang hidup berdampingan di
gang-gang, bahkan realita sekecil orang yang takut pergi ke kamar mandi dibuatkan puisi
oleh Jokpin, berikut adalah sorotan beberapa puisi yang menurut penulis menarik.
Kadangkala puisi-puisi dalam antologi puisi ini juga menyoroti hubungan ketuhanan
dengan manusia. Tentang bagaimana perilaku manusia yang tidak pernah cukup atas
pemberian Tuhan, makhluk-makhluk yang digambarkan tidak dapat menuruti mau Tuhan.
Seperti pada puisi Topeng Bayi untuk Zela, ada teologis di sini tentang apa maksud Tuhan
membuat muka kita berbeda dan pada akhir puisi itu dipertanyakan mengenai tujuan Tuhan
yang membuat kita seperti itu. Bahkan hal-hal yang tak pernah saya pikirkan tentang maksud
dan tujuan Tuhan mengenai penciptaan makhluk itu.

Dalam puisi berjudul Kisah Senja, terdapat realitas dalam keluarga yang hanya peduli
diri sendiri, hubungan suami istri yang diantara satu dengan lain hanya mencari hidupnya
sendiri tanpa memedulikan keluarganya yang lain, satu hal yang menjadi akar perceraian
pada fenomena global. Penafsiran lain yang dapat diambil adalah bahwa rumah yang
seharusnya saling melindungi, memberi kenyamanan, dan tempat pulang paling
menyenangkan malah menjadi tempat yang hanya berfungsi sebagai tempat pulang untuk
beristirah, bukan berbahagia dan mengisi energi. Bagai stasiun tempat pemberhentian kereta,
yang sejenak menunggu penumpang penuh lalu kembali melaju meninggalkan stasiun
tempatnya berpulang.

Satu puisi berjudul Salon Kecantikan, saya tertarik dengan puisi ini karena puisi ini
panjangnya 4 halaman, puisi terpanjang dalam antologi puisi Baju Bulan. Puisi ini
menarasikan tentang perlawanan seorang perempuan terhadap waktu yang mengubah
tampilannya, tiap dia merasa wajahnya menurun atau semakin keriput maka perempuan
dalam puisi ini akan melakukan perawatan di salon kecantikan. Dalam salon kecantikan ini
terdapat cermin yang tiap si perempuan pergi ke salon kecantikan selalu dihadapnya. Cermin
di salon diibaratkan hati nuraninya, sisi dirinya yang sebenarnya enggan dan memberinya
adagium-adagium agar si perempuan menyerah pada perlawannanya, terutama mengelak
pada kehadiran kematian.

Ada pula puisi yang berjudul Bayi Dalam Kulkas, puisi ini berisi ilusi atas doa
seseorang yang telah dewasa bahwa mimpi yang diharap-harap seorang yang dewasa adalah
mendapat kebahagiaan sebagaimana bayi yang hidup di rahim ibu. Bahwa sebenarnya yang
diinginkan orang dewasa adalah ketenangan dan kedamaian bagai hidup di rahim ibu. Sudah
bukan menjadi rahasia publik apabila muncul ungkapan-ungkapan seperti quarter life crisis,
generasi stroberi, dan istilah- istilah gen z yang kini marak membawa permasalahan psikis.
Dalam antologi puisi ini, Jokpin memperlihatkan kristiniusitas dirinya dalam puisi
Celana Ibu, dalam puisi ini merepresentaskan kejadian penyaliban Isa bahwasannya kejadian
Paskah digambarkan pada puisi ini, di mana kasih sayang Maria, ibunya, menaungi dirinya.
Ketika Isa disalib, diceriakan kala itu Isa tidak mengenakan celana hanya balutan kain. Lalu
datanglah ibunya membawakan celana untuk digunakannya di hari ketiga setelah penyaliban.
Kemudian barulah Isa terbang menuju Sorga dengan menggunakan celana buatan Maria,
ibunya.

Tak hanya itu puisi setelahnya langsung menampakkan toleransi terhadap Agama
Islam. Yakni puisi berjudul Ranjang Ibu, puisi ini menceritakan tentang tradisi bagaimana
orang zaman dahulu melakukan sembahyang. Sembahyang dalam konteks ini adalah Salat.
Orang pada zaman dahulu melakukan salat di atas ranjang yang bahasa jawanya ranjang.
Mereka melakukannya karena dianggap lebih suci, namun bayang itu tidak digunakan tidur.
Sehingga kesuciannya tetap terjaga. Di sini kita dapat melihat bagaimana moderatnya Jokpin
dalam mentoleransi agama.

Puisi lain berjudul Mei, menceritakan seseorang perempuan bernama Mei. Mei ini
digambarkan seseorang yang dicintai penulis, karena penggambarannya yang positif seperti
bahwasannya ia cantik, dan tubuhnya menarik. Namun sayangnya perempuan ini hilang
diibaratkan dimakan api, atau yang lebih tepatnya seperti dikremasi. Puisi lain berjudul
mudik, mencampurkan bagaimana penulis membuat puisinya sebagai pesan kepada
kekasihnya, Mei, dan mengungkapkan kisah seorang yang dikasihinya, yaitu neneknya.
Yakni, puisi itu adalah pesan izin ke pada Mei apabila penulis akan mudik di kampung
halamanya untuk menghadiri kematian neneknya. Melankolia begitu tergambar pada puisi
ini. Dimana sopir kendaraan yang ditumpangi penulis adalah kendaraan yang sama
ditumpangi neneknya kemarin sebelum meninggal di hari ini. Sebagaimana puisi ini, Jokpin
banyak mengulang kisah dimana yang muda dalam keluarga akan menangis dan merasa
menyesal karena harus pulang ke rumah di saat keluarga yang lain tiada.

Anda mungkin juga menyukai