Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PSIKOLOGI EMOSI DAN EMPATI

Dosen pengampuh:

DI SUSUN OLEH:

HOMAIRANNISA

222431213

PRODI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS SAINSTEK


UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA

2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa, atau segalah
limpahan rahmat dengan karunia nya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan
makalah laporan ini yang berjudul “ Psikologi Emosi Dan Empati “

Penyusun menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan


tuhan YME dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu,dalam kesempatan
ini penyusun menghanturkan rasa hormat dan terimakasih kepada dosen keterampilan
dasar keperawatan, serta teman yang membantu dalam makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam proses makalah ini masih jauh dari
kesempatan kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penyusun telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat menyelesaikan dengan baik dan oleh karenanya, penyusun dengan
rendah hati menerima masukan,saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

kamis, 13 oktober 2023

penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Istilah Psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu dari kata-kata psyche
dan logos. Secara etimologis psyche berarti jiwa, roh, sukma, atma dan nyawa;
dan logos, bermakna ilmu, kajian atau studi. Jadi secara etimologis, psikologi
sering diartikan sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau
tentang roh. Arti psikologi sebagai suatu kajian (studies) tentang jiwa atau roh
bertahan dalam waktu yang cukup lama, terutama ketika psikologi masih
merupakan bagian dari filsafat atau sering disebut dengan psikologi kuno.
Para filosof ketika itu mendefinisikan psikologi sebagai suatu ilmu yang
mempelajari tentang hakekat jiwa (Plato, Aristoteles, Sokrates, dan sebagainya).
Padahal sebetulnya arti psikologi secara etimologis ini kurang cocok diartikan
sebagai ilmu jiwa, karena apa yang dikaji atau diselidiki mengenai jiwa tidak
kelihatan atau tidak bisa diinderawi, apalagi berbicara masalah hakekat dari jiwa.
Menurut Chaplin (1981), pengertian dari jiwa atau psyche adalah prinsip
hidup, asas hidup. Selain itu, jiwa atau psyche juga dapat diartikan dengan
pikiran, akal, ingatan, termasuk proses kesadaran dan ketidaksadaran. Adapun arti
terakhir yang diajukan oleh Chaplin mengenai arti dari jiwa atau psyche adalah
aku, jati diri, dan diri. Di sisi lain, pengertian tentang jiwa dalam konteks lain
(misalnya, konteks kepercayaan dan agama), jiwa sering kali dikaitkan dengan
roh meski dalam beberapa bahasa keduanya berbeda. Selain itu, jiwa juga
dianggap sebagai benih kehidupan.
Berdasarkan hal itu, maka psikologi memiliki cakupan yang sangat luas. Atas
dasar ini, Gerungan (2009) kurang menyepakati tentang sikap menyamakan
antara ilmu jiwa dengan psikologi, meskipun secara bahasa memang psikologi
diartikan sebagai ilmu jiwa. Lebih lanjut, Gerungan (2009) menjelaskan bahwa:
1. Ilmu jiwa dianggap sebagai istilah bahasa Indonesia yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari dan oleh masyarakat luas. Adapun psikologi
merupakan istilah ilmu pengetahuan, atau istilah yang bersifat scientific,
sehingga konteks penggunaannya pun juga dalam rangka menunjukkan
pengetahuan ilmu jiwa yang memiliki corak ilmiah tertentu.
2. Ilmu jiwa digunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi.
Ilmu jiwa memiliki cakupan berupa seluruh pemikiran, pengetahuan,
tanggapan, dan segala khayalan serta spekulasi mengenai jiwa itu sendiri.
Psikologi meliputi ilmu pengetahuan yang mengkaji fenomena kejiwaan
dan diperoleh secara sistematis dengan menggunakan metode- metode
penelitian ilmu yang memenuhi persyaratan. Dengan demikian, ilmu jiwa
menunjuk pada ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan psikologi adalah
ilmu jiwa yang bersifat ilmiah, tidak spekulatif, sesuai dengan norma
ilmiah modern.

Empati bukanlah kata yang asing, tetapi terkadang arti empati sebenarnya bias
tersembunyi di balik definisi yang kaku dan pandangan yang stereotip.empati bukan
hanya tentang simpati atau merasakan apa yang dirasakan orang lain; itu lebih dalam,
lebih kompleks, dan lebih melibatkan. Ini adalah kemampuan untuk benar-benar
memahami dan terubung dengan orang lain, tidak hanya pada tingkat emosional
tetapi juga mental dan spiritual.

Empati bukanlah kualitas yang hanya dimiliki oleh beberapa individu khusus,
ini adalah sesuatu yang bias dipelajari dan dikembangkan oleh siapa saja. Empati
adalah kunci yang dapat membuka pintu menuju pengertian dan toleransi tetapi
adalah jembatan yang menghubungkan manusia dalam budaya, latar belakang, dan
keyakinan, dan membuat kita meyadari bahwa kita adalah satu, meskipun berbeda.

Inteligen Emosional atau EI, adalah suatu konsep yang telah mengubah cara
kita berfikir tentang keberhasilan, kepemimpinan, dan kesejahteraan manusia. EI
adalah tentang bagaimana kita berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain.ini
adalah bagimana kita mengenali, memahami dan mengelola emosi kita, serta
bagaimana kita dapat menggunakan pemahaman ini untuk membimbing perilaku
dalam pengambilan keputusan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan Definisis Emosional?
2. Apa yang dimaksud Ciri-Ciri Emosional?
3. Apa yang dimaksud Faktor-Faktor Emosi?
4. Mengetahui Pola Umum Emosi?
5. Apa yang dimaksud dengan Definisi Empati?
6. Apa yang dimaksud dengan Konsep Empati?
7. Apa yang dimaksud dengan Aspek- Aspek Empati?
8. Apa yang dimaksud dengan Sifat Empati
1.3 TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui Definisis Emosional
2. Mahasiswa mampu mengetahui Ciri-Ciri Emosional
3. Mahasiswa mampu mengetahui Faktor-Faktor Emosi
4. Mahasiswa mampu mengetahui Pola Umum Emosi
5. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi Empati
6. Mahasiswa mampu mengetahui Konsep Empati
7. Mahasiswa mampu mengetahui Aspek- Aspek Empati
8. Mahasiswa mampu mengetahui Sifat Empati
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI EMOSIONAL

Menurut Saphiro, istilah kecerdasan emosi ini dilontarkan pertama kali


pada tahun 1990 oleh dua orang ahli yaitu Peter Salovey dan John Mayer
untuk menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang dianggap penting agar
dapat mencapai suatu keberhasilan. Teori yang dikutip oleh Steven J Stein dan
Howard E.Book yang dikemukakan oleh Reuven Bar-On didalam buku
Hamzah B.Uno mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian
kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntunan dan tekanan
lingkungan. Kemudian Steven J Stein dan Howard E.Book menjelaskan
pendapat Peter Salovey dan John Mayer sebagai peciptakan Istilah kecerdasan
emosional, bahwa kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Menurut Stein dan Book, EQ (Emotional Quotient) adalah suatu


kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit,
mencangkup aspek pribadi, social dan pertahanan dari seluruh kecerdasan,
akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang berfungsi setiap hari.
Kecerdasan emosional biasa di sebut dengan “steert smasrt (pintar) atau
kemampuan khusus yang kita sebut dengan “akal sehat”. Kecerdasaan
emosional merupakan sesuatu yang ada di dalam diri seseorang berupa
kemampuan, kompetensi, kecakapan no-kognitif dalam artian bukan
kecakapan berfikir melainkan sebuah kecakapan untuk bisa memahami
perasaan, mengendalikan perasaan sehingga dapat membantu perkembangan
emosi dan intelektual.

Emosi adalah kondisi tergerak (a state of being moved) yang memiliki


komponen penghayatan perasaan subyektif, impuls untuk berbuat dan
kesadaran (awareness) tentang perasaan yang dihayatinya (Semiawan, 1997;
153). Sedangkan Feldman (1997) mendefinisikan emosi sebagai perasaan-
perasaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pada umumnya mengandung
komponen fisiologis dan kognitif. Perasaan-perasaan tersebut bisa sangat kuat
sehingga kontrol rasional tidak berfungsi (Winkel, 1983;151). Perasaan yang
kuat tersebut diikuti oleh ekspresi motoric yang berhubungan dengan suatu
objek atau situasi eksternal (Gunarsa, 1989;156). Sehubungan dengan hal ini,
Goleman (1997) menyatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran khas,
yakni suatu keadaan biologik dan psikologik.

2.2 CIRI-CIRI EMOSIONAL


1. Menurut Walgito ( 2004:43) orang yang matang emosinya mempunyai
ciri-ciri antara lain:
a. Dapat menerima keadaan dirinya maupun orang lain sesuai dengan
objektifnya.
b. Pada umumnya tidak bersifat impulsive, dapat mengatur pikirannya
dalam memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya
c. Dapat mengontrol emosinya dengan baik dan dapat mengontrol
ekspresi wajahnya walaupun dalam keadaan marah dan kemrahan itu
tidak ditampakkan keluar.
d. Dapat berfikir objektif srhingga akan bersifat sabar, penuh pengertian
dan cukup mempunyai toleraansi yang baik.
e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak
mengalami frustasi dan mampu menghadapi masalah dengan penuh
perhatian.
2. Menurut Anderson ( dalam mappiare, 1983 : 153) ciri-ciri kemtangan
emosi yaitu:
a. Kasih sayang : individu mempunyai rasa kasih sayang seperti
didapatkan dari orang tua atau keluarga sehingga dapat diwujudkan
secara wajar terhadap orang lain sesuai dengan norma social yang ada.
b. Emosi terkendali: individu dapat menyetir perasaan-perasaan terutama
terhadap orang lain, dapat mengendalikan emosi dan mengespresikan
emosinya dengan baik.
c. Emosi terbuka, lapang : individu menerima kritiik dan saran dari orang
lain sehubungan dengan kelemahan yang diperbuat demi
pengembangan diri, mrmpunyai pemahaman mendalam tentang
keadaan dirinya,

2.3 FAKTOR-FAKTOR EMOSI


Faktor-faktor yang mempengaruhi perekembangan emosi ada dua yaitu:
1. Factor kematangan, Faktor kematangan meliputi:
a) Perkembangan intelektual yang menghasilkan kemampuan untuk
memahami makna yang seblemunya tidak dimengerti.
b) Perkembangan kelenjar endokrin yaitu penting untuk mematangkan
perilaku emosional.
c) Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada energi, mengecil
secara tajam saat bayi lahir. Kemudian kembali membesar dengan pesat
sampai anak berusia 5 tahun.
2. Factor belajar yang turut menunjang pola perkembangan emosi pada masa
kanak-kanak, meliputi:
a) Belajar dengan cara coba dan larat
b) Belajar dengan cara meniru atau imitasi
c) Belajar dengan cara identifikasi
d) Belajar dengan cara pengkodisian,yaitu dengan asosiasi
e) Belajar melalui peatihan atau belajar di bawah bimbingan atau
pengawasan.

2.4 POLA UMUM EMOSI


Pola umum emosi meliputi:
a. Rasa takut
Pola emosi yang berhubungan dengan rasa takut yaitu, rasa malu, rasa
canggung,rasa khawati, dan rasa cemas
b. Rasa marah
Reaksi terhadap kemarahan dapat diklasifikasi menjadi dua golongan ,
yaitu implusif dan ditekan. Reaksi implusif biasanya di sebut agresi, yang
umumnya sering ditunjukan kepada orang lain atau objek lain, sedangkan
reaksi tekan, yaitu selalu berada di bawah pengendalian atau
ditekan,misalnya : dia masa bodoh, dan acuh-tak acuh.
c. Rasa cemburu
Rasa cemburu timbul timbul dari kemarahan yang menyebabkan sifat
jengkel dan ditunjukan kepda oraang lain
d. Dukacita
Duka cita adalah trauma psikis, suatu kesengsaraan emosional yang
disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai.
e. Kegembiraan, keriangan, kesenangan
Kegembiraan ialah emosi yang menyenangkan, yang juga dikenal
dengan keringan, kesenangan, atau kebahagiaan.
f. Kasih sayang
Kasih sayang adalah reaksi yang menunjukan perhatian yang hangat,
yang bisa berwujud fisik atau kata-kata.
2.5 DEFINISI EMPATI

Berdasarkan pandangan Stein dan Howard (2002) Teori empati dalam


psikologi ialah kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai
perasaan dan pikiran individu lain. Teori empati dalam psikologi ialah
menyelaraskan diri (peka) terhadap apa, bagaimana dan latar belakang
perasaan dan pikiran individu lain sebagaimana individu itu merasakan dan
memikirkannya. Sebuah sikap teori empati dalam psikologi artinya mampu
membaca individu lain dari sudut pandang emosi.

Penelitian Sze, dkk. (2016) melihat pengaruh empati emosional terhadap


perilaku prososial dengan cara pemberian film dengan tema “uplifting”
dan“distressing”. Diketahui bahwa empati yang tinggi dapat memunculkan
perilaku prososial tinggi pula dibandingkan dengan individu yang memiliki
empati yang rendah. Peningkatan empati dengan pemberian film dengan tema
“uplifting” juga terbukti dapat meningkatkan perilaku donasi pada diri
individu. Penelitian lain juga dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh
Stürmer, Synder, Kropp dan Siem (2006) yang melibatkan variabel identitas
kelompok (ingroup atau outgroup) sebagai moderator. Hasilnya sesuai
prediksi, bahwa empati dan intensi membantu memiliki hubungan yang
signifikan ketika yang membantu adalah individu yang berasal dari ingroup
bukan outgroup.

Beadle, dkk. (2013) menguji peran usia dalam hubungan empati dan
perilak prososial. Partisipan dibagi atas dua kelompok usia yang berbeda,
yaitu usia muda dan usia tua. Usia muda yang dimaksud adalah partisipan
yang berada pada usia 18-26 tahun, sementara usia tua yang dimaksud adalah
partisipan yang berada pada usia 67-93 tahun. Bahwa individu yang berada
pada kategori usia muda memiliki skor empati emosional state yang lebih
rendah dibandingkan individu yang berada di usia tua. Pengukuran empati
kognitif trait juga dilakukan dan hasilnya diketahui bahwa individu yang
berada di usia tua memiliki skor empati kognitif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu di usia muda. Sesuai dugaan, individu yang
memiliki skor lebih tinggi di empati kognitif trait terkait dengan tingkat
prososial yang ditunjukkan.

Arwani (2002: 56) meyatakan empati terhadap pasien merupakan perasaan


daan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat teradap pasien yang dialami
oasien dan kemampuan mrasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan
sesuatu yang jujur, sensirive dan tidak dibuat-buat didasarkan atas apa yang
dialami orang lain.

2.6 KONSEP EMPATI

Blair (2005) yang memandang empati dari sisi neurosains. Walaupun


Blair mengemukakan bahwa empati ada tiga, yaitu empati motorik, empati
kognitif, dan empati emosional namun tulisan ini hanya akan membahas
empati sebagai konsep multidimensi yang lebih relevan dengan moral, yaitu
afektif dan kognitif (Davis, 1980, 1983; Eisenberg & Fabes, 1990;
Miklikowska, Duriez, & Soenens, 2011).

1. Komponen afektif serupa dengan yang dikemukakan oleh Hoffman


(1981), sering juga disebut dengan perhatian yang empatik atau simpati
atas kondisi internal seseorang. Perhatian yang diberikan atas dasar
keprihatinan seringkali disertai dengan adanya rasa cemas terhadap
kondisi diri sendiri dan orang lain ini menjadi pemotivasi bagi individu
untuk mengurangi penderitaan orang lain.
2. Empati kognitif terjadi bila individu merepresentasikan situasi internal
mental dari orang lain. Definisi ini agak mirip dengan Theory of Mind
(ToM) dimana individu memasukkan sudut pandang atau perspektif orang
lain ke dalam dirinya dan menggunakannya untuk memahami situasi,
kondisi, dan jalan pikiran orang lain (Adler & Proctor, 2014).

2.7 ASPEK-ASPEK EMPATI


1. Baron da Byrne ( 2005:111) Menyatakan bahwa empati juga terdapat
aspek aspek yaitu:
a. Kognitif
Individu yang memiliki kemampuan empati yang dapat memahami
apa yang oranag lain rasakan dan mengapa hal itu dapat terjadi pada
orang tersebut.
b. Afektif
Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan.

2. Baston dan Coke (Watson, 1984: 290) meyatakan bahwa di dalam


empati terdapat juga aspek-aspek:
a. Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikaap hangat terhadap orang lain.
b. Kelembutan
Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain.
c. Peduli
Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk
memberikan perhatian terhadap sesame maupun lingkungan sekitar.
d. Kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap iba atau belas kasih terhadap orang lain.
2.8 SIFAT EMPATI
Menurut Davis (1980) empati bersifat multidimensional, terdiri dari:
a. fantasy-empathy, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke
dalam perasaan dan tindakan dari karakter–karakter khayalan yang
terdapat pada buku, film, atau permainan.
b. perspectivetaking (PT), yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada
kepentingan diri akan tetapi pada kepentingan orang lain. Kemampuan ini
berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku prososial.
c. emphatic concern (EC) adalah orientasi yang merupakan cermin dari
kehangatan, perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang sedang
kesusahan/ditimpa kemalangan yang ditimpa kemalangan.
d. personal distress, merupakan kecemasan pribadi yang berorientasi pada
diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi tidak
menyenangkan yang dialami orang lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan untuk mengenali perasaan,


meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual. Menurut Stein dan Book, EQ adalah suatu
kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit,
mencangkup aspek pribadi, social dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat
yang penuh misteri, dan kepekaan yang berfungsi setiap hari.

Empati dalam psikologi ialah menyelaraskan diri peka terhadap apa, bagaimana
dan latar belakang perasaan dan pikiran individu lain sebagaimana individu itu
merasakan dan memikirkannya. Sebuah sikap teori empati dalam psikologi artinya
mampu membaca individu lain dari sudut pandang emosi. Penelitian Sze, dkk. 2016
melihat pengaruh empati emosional terhadap perilaku prososial dengan cara
pemberian film dengan tema uplifting dandistressing. Diketahui bahwa empati yang
tinggi dapat memunculkan perilaku prososial tinggi pula dibandingkan dengan
individu yang memiliki empati yang rendah. Peningkatan empati dengan pemberian
film dengan tema uplifting juga terbukti dapat meningkatkan perilaku donasi pada
diri individu. Penelitian lain juga dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh Strmer,
Synder, Kropp dan Siem 2006 yang melibatkan variabel identitas kelompok ingroup
atau outgroup sebagai moderator. Hasilnya sesuai prediksi, bahwa empati dan intensi
membantu memiliki hubungan yang signifikan ketika yang membantu adalah
individu yang berasal dari ingroup bukan outgroup.

DAFTAR PUSTAKA

Saifuddin, Ahmad.2022. Psikologi Umum Dasar. Jakarta: Kencana

Fitria. 2020. Konsep Kecerdasan Spiritual Dan Emosional Dalam Membentuk Budi
Pekerti (Akhlak). Guepedia

Hamza B. Uno. 2023. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Bumi Askara

Bantara Bagas.2023. Psikologi Terang : Kekuatan Positif dalam Memahami dan


Menginspirasi Orang Lain. Al Khawarizmi

Gita Sekar Prihanti. 2014. Emapti dan Komunikasi (Dilengkapi modul pengajaran
dengan model Pendidikan berbasis komunikasi). Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang

Amalia, R. (2019). Empati Sebagai Dasar Kepribadian Konselor. Jurnal Pendidikan


dan Konseling (JPDK), 1(1), 56-58.

Khairunnisa, R., & Alfaruqy, M. Z. (2022). Hubungan antara kecerdasan emosional


dengan cyberbullying di media sosial twitter pada siswa
SMAN 26 Jakarta. Jurnal Empati, 11(4), 260-268.

Ramdhani, N. (2016). Emosi moral dan empati pada pelaku perundungan-


siber. Jurnal Psikologi UGM, 43(1), 66-80.

Umayah, A. N., Ariyanto, A., & Yustisia, W. (2018). Pengaruh empati emosional
terhadap perilaku prososial yang dimoderasi oleh jenis
kelamin pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Sosial, 15(2), 72-
83.

Asih, G. Y., & Pratiwi, M. M. S. (2012). Perilaku prososial ditinjau dari empati dan
kematangan emosi. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 1(1), 33-42.

Anda mungkin juga menyukai