Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Tentang
Berpikir dan Intelegensi

Disusun Oleh :

1. Miftahul Jannah : 22111162


2. Dina Elvin : 22111260
3. Afliha Hida Yukti : 22111021

Dosen Pengampu :
Dr. Dermizal Rusli, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


UNIVERSITAS ADZKIA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Berpikir dan
Intelegensi”. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Psikologi Pendidikan yang diampuh oleh Bapak Dr. Dermizal Rusli, M.Pd.
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik
dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca
agar penulis dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
memberikan manfaat untuk pembaca.

Padang, 15 Maret 2024

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berpikir merupakan aktivitas kognitif yang berwujud mengelola atau


memanipulasi informasi dari lingkungan dengan simbol-simbol atau materi-
materi yang disimpan dalam ingatan khususnya yang ada dalam long term
memory. Sudut pandang behaviorisme khususnya fungsional memandang
berpikir itu sebagai penguat antara stimulus dan respons. Demikian juga sudut
pandang kaum asosiasionos memandang berpikir hanya sebagai asosiasi
antara anggapan atau bayangan satu dengan yang lainnya saling kait mengkait.
Intelegensi berasal dari kata latin intelligere yang berarti
mengorganisasikan, menghubungankan atau menyatukan satu dengan yang
lain (to organize, to relate, to bind together). Intelegensi adalah keahlian
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari
pengalaman hidup sehari-hari. Sudut pandang dari evalutionaru perspective,
intelegensi adalah suatu kapasitas untuk mencapai tujuan dalam berperilaku.
Dan sudut pandang dari cognitive perspective, intelegensi adalah suatu proses
nalar yang diterapkan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Berpikir
1. Bahasa dan Berpikir

Berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan ciri yang
khas yang membedakan manusia dari hewan. Manusia dapat ber- pikir
karena manusia mempunyai bahasa, hewan tidak. "Bahasa" hewan
bukanlah bahasa seperti yang dimiliki manusia. "Bahasa" hewan adalah
bahasa instink yang tidak perlu dipelajari dan di- ajai kan. Bahasa manusia
adalah hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan.
Dengan bahasa manusia dapat memberi nama kepada segala
sesuatu baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Semua benda,
nama sifat, pekerjaan, dan hal lain yang abstrak, diberi nama. Dengan
demikian, segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat
disimpannya, menjadi tanggapan-tanggapan dan pengalaman-pengalaman
kemudian diolahnya (berpikir) menjadi pengertian-pengertian.
Dengan singkat, karena memiliki dan mampu berbahasa maka
manusia berpikir. Bahasa adalah alat yang terpenting bagi berpikir. Tanpa
bahasa manusia tidak dapat berpikir. Karena eratnya hubungan antara
bahasa dan berpikir itu, Plato pernah mengatakan dalam bukunya
Sophistes "berbicara itu berpikir yang keras (terdengar), dan berpikir itu
adalah "berbicara batin".

2. Apakah berpikir itu?

Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Tiap
kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu
mengandung hal berpikir.
Berpikir adalah satu keaktipan pribadi manusia yang meng-
akibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berpikir untuk
menemukan pemahaman/pengertian yang kita kchendaki.
Ciri ciri yang terutama dari berpikir adalah adanya abstraksi.
Abstraksi dalam hal ini berarti: anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari
benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula
dihadapi sebagai kenyataan. Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok,
rokok itu sebuah benda yang kongkrit. Jika kita pandang hanya warna
bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepas- kan dari semua yang ada
pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan
sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda kongkret yang kita
hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan.
Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari
keseluruhan bungkus rokok. Dengan demikian dalam arti luas kita dapat
mengatakan: Berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Dalam
arti yang sempit berpikir adalah meletakkan atau mencari
hubungan/pertalian antara abstraksi-abstraksi. Berpikir erat hubungannya
dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan: tanggapan, ingatan,
pengertian, dan perasaan. Tanggapan me megang peranan penting dalam
berpikir, meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.
Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena
memberikan pengalaman- pengalaman dari pengamatan yang telah
lampau. Pengertian, meskipun merupakan hasil berpikir dapat memberi
bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu
menyertai pula; ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau
sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah/persoalan.

3. Pendapat Beberapa aliran psikologi tentang berpikir


a. Psikologi Asosiasi mengemukakan, bahwa berpikir itu tidak lain
daripada jalannya tanggapan-tanggapan yang dikuasai oleh hukum
asosiasi. Aliran psikologi asosiasi berpendapat bahwa dalam alam
kejiwaan yang penting ialah terjadinya, tersimpannya dan bekerjanya
tanggapan-tanggapan. Unsur yang paling sederhana dan merupakan
dasar bagi semua akti- vitas kejiwaan adalah tanggapan-tanggapan.
Daya jiwa yang lebih tinggi, seperti perasaan, kemauan, keinginan dan
berpikir, semua berasal/terjadi karena bekerjanya tanggapan-
tanggapan. Keaktifan pribadi manusia itu sendiri diabaikannya.
Pendapat inilah yang kemudian menimbulkan pendidikan dan
pengajar- an yang bersifat intelektualistis dan verbalistis. Tokoh yang
terkenal dalam aliran ini ialah John Locke (1632-1704) dan Herbart
(1770-1841). Dengan adanya eksperimen-eks- perimen yang dilakukan
oleh para ahli psikologi kemudian, pendapat aliran ini tidak dapat
dipertahankan lagi.
b. Aliran Behaviorisme: berpendapat bahwa "berpikir" adalah gerakan-
gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara
seperti halnya bila kita mengucapkan buah pikiran". Jadi menurut
Behaviorisme "berpikir" tidak lain adalah berbicara. Jika pada
psikologi asosiasi yang merupa- kan unsur-unsur yang paling
sederhana dalam kejiwaan manu- sia adalah tanggapan-tanggapan,
maka pada behaviorisme unsur yang paling sederhana itu adalah
refleks. Refleks adalah gerakan/reaksi tak sadar yang disebabkan
adanya perangsang dari luar. Semua keaktifan jiwa yang lebih tinggi,
seperti perasaan, kemauan dan berpikir, dikembalikannya kepada
refleks-refleks. Dalam penyelidikannya terhadap tingkah laku manusia,
Behaviorisme hanya mau tahu soal tingkah laku luar (badaniah) saja.
Gejala-gejala psikis yang mungkin terjadi adalah akibat dari adanya
gejala-gejala/perubahan- perubahan jasmaniah sebagai reaksi terhadap
perangsang- perangsang tertentu. Itulah sebabnya maka menurut kaum
Behavioris (W. James) "orang tidak menangis karena susah, tetapi
orang susah karena menangis". Juga J.B. Watson, se- orang Behavirois
yang lebih radikal lagi mengatakan bahwa: Bahasa ialah gerak-gerak
yang tertentu dari pangkal teng- gorok dan bagian-bagian mulut
lainnya, dan bunyi yang di- akibatkannya. Senyum adalah gerak-gerak
tertentu dari cuping hidung dan sudut mulut disertai kerlipan mata.
Tentu saja terhadap pendapat Behaviorisme banyak yang tidak dapat
menyetujuinya. Manusia bukan sekedar mesin reaksi seperti robot
yang hanya bertindak dan berbuat jika ada perangsang dari luar.
Demikian pula terhadap pen- dapatnya tentang berpikir, kita tidak
dapat menyetujuinya. Memang ada benarnya, bahwa kadang-kadang
dalam pekerja- an berpikir dapat dilihat/didengar adanya berbicara.
Tetapi pendapat seperti itu dapat dibantah dengan adanya kenyata- an,
bahwa orang dapat bersenandung sambil berpikir tentang sesuatu. Kita
memandang berpikir sebagai aktivitas rohani yang sebenarnya, yang
kadang-kadang memang dapat juga disertai gejala-gejala jasmani.
Gejala-gejala jasmani hanya merupakan penampakan turut aktifnya
dalam situasi ber- pikir, seperti halnya orang tegang ototnya bila ada
pemusatan pikiran. Tetapi gejala-gejala jasmani yang demikian itu
tidak termasuk hal yang esensial dalam keaktifan berpikir.
c. Psikologi Gestalt memandang bahwa gestalt yang teratur mempunyai
peranan yang besar dalam berpikir. Psikologi Gestalt berpendapat
bahwa proses berpikirpun seperti proses gejala-gejala psikis yang lain
merupakan suatu kebulatan.
Berlainan dengan Behaviorisme, maka penganut Psikologi Gestalt
memandang berpikir itu merupakan keaktifan psikis yang abstrak,
yang prosesnya tidak dapat kita amati dengan alat indra kita. Proses
berpikir itu dilukiskan sebagai ber- ikut: "Jika dalam diri seseorang
timbul suatu masalah yang harus dipecahkan, terjadilah lebih dahulu
suatu skema/bagan yang masih agak kabur-kabur. Bagan itu
dipecahkan dan di- banding-bandingkan dengan seksama.
Bagian gestalt dalam bagan itu diamati benar-benar. Orang mencari
bagian-bagian yang belum tampak dalam kebulatan yang dihadapinya.
Kemudian sekonyong-konyong anggota- anggota/bagian yang
dicarinya itu muncul, sehingga tak terasa kekosongan lagi. Apa yang
dicarinya telah diketemukan. Masalah yang dihadapi terpecahkan.
d. Sehubungan dengan pendapat para ahli psikologi Gestalt itu, maka
ahli-ahli psikologi sekarang sependapat bahwa proses berpikir pada
taraf yang tinggi pada umumnya melalui tahap- tahap sebagai berikut:
1) Timbulnya masalah, kesulitan yang harus dipecahkan,
2) Mencari dan mengumpulkan fakta-fakta yang dianggap ada sangkut
pautnya dengan pemecahan masalah,
3) Taraf pengolahan atau pencernaan, fakta diolah dan di- cernakan,
4) Taraf penemuan atau pemahaman; menemukan cara me- mecahkan
masalah,
5) Menilai, menyempurnakan dan mencocokkan hasil pe- mecahan.
Perlu dingat, bahwa jalannya berpikir itu ditentukan oleh bermacam-
macam faktor. Suatu masalah yang sama, mungkin menimbulkan
adanya pemecahan yang berbeda-beda pada tiap orang. Sehingga
hasilnya pun kemungkinan berbeda pula. Adapun faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi jalan- nya berpikir itu antara lain ialah bagaimana
seseorang melihat atau memahami masalah itu, situasi yang sedang
dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman-peng-
alaman orang itu, dan bagaimana kecerdasan orang tersebut.
4. Beberapa Macam Cara Berpikir

Di atas telah diutarakan bahwa dalam berpikir orang mengolah,


mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuannya, sehingga
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang tidak teratur menjadi
tersusun merupakan kebulatan-kebulatan yang dapat dikuasai atau
dipahami. Dalam hal ini orang dapat mendekati masalah itu melalui
beberapa сага:

a. Berpikir Induktif
Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang ber- langsung
dari khusus menuju kepada yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau
sifat-sifat yang tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik
kesimpulan-kesimpulan bahwa ciri-ciri/sifat-sifat itu terdapat pada
semua jenis fenomena tadi. Beberapa contoh sebagai penjelasan:
1) Seorang ahli psikologi mengadakan penyelidikan dengan
observasi. Bayi A setelah dilahirkan segera menangis, bayi B juga
begitu, bayi C, D, E, F, dan seterusnya de- mikian pula.
Kesimpulan "semua bayi yang normal segera menangis pada
waktu dilahirkan".Seorang guru mengadakan eksperimen-
eksperimen me- nanam biji-bijian bersama murid-muridnya;
jagung di- tanam, tumbuh ke atas; kacang tanah ditanam tumbuh-
nya ke atas pula; kacang merah ditanam dengan mata lembaganya
di sebelah bawah, tumbuhnya ke atas pula: biji-biji yang lain
demikian pula. Kesimpulan: Semua batang tanaman tumbuhnya ke
atas mencari sinar mata- hari.
Tepat atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil
secara induktif ini terutama bergantung kepada representatif atau
tidaknya sampel yang diambil yang mewakili fenomena
keseluruhan.
Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin re-
presentatif, dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (vali-ditas)
dari kesimpulan itu; dan sebaliknya. Taraf validitas kebenaran
kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyek- tivitas dari si
pengamat dan homogenitas dari fenomena- fenomena yang
diselidiki.
b. Berpikir Deduktif
Sebaliknya dari berpikir induktif, maka berpikir deduktif prosesnya
berlangsung dari yang umum menuju kepada yang khusus. Dalam
cara berpikir ini, orang bertolak dari suatu teori ataupun prinsip
ataupun kesimpulan yang dianggap- nya benar dan sudah bersifat
umum. Dari situ ia menerapkan- nya kepada fenomena-fenomena
yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi
fenomena tersebut. Contoh sebagai penjelasan:
1) Manusia semua akan mati (kesimpulan umum) Jamilah adalah
manusia (kesimpulan khusus) Jamilah akan mati (kesimpulan
deduksi)
2) Semua logam jika dipanaskan memuai (kesimpulan umum) Besi
adalah logam (kesimpulan khusus) Besi jika dipanaskan memuai
(kesimpulan deduksi)
Ada pula semacam kesimpulan deduksi yang tidak dapat kita
terima kebenarannya, yang disebut silogisme semu.
Contoh: Semua manusia bernafas dengan paru-paru (premis
mayor) Anjing bernafas dengan paru-paru (premis minor) Karena
itu anjing adalah manusia (kesimpulan yang salah).
c. Berpikir Analogis
Analogi berarti persamaan atau perbandingan. Berpikir analo- gis
ialah berpikir dengan jalan menyamakan atau memper- bandingkan
fenomena-fenomena yang biasa/pernah dialami. Di dalam cara
berpikir ini, orang beranggapan bahwa kebenar- an dari fenomena-
fenomena yang pernah dialaminya berlaku pula bagi fenomena
yang dihadapi sekarang.
Contoh: Setiap hari kira-kira jam 11.00 udara di atas kota Bogor
kelihatan berawan tebal; dan tidak lama se- sudah itu hujan lebat
turun sampai sore. Pada suatu hari kira-kira jam 11.00 udara di atas
kota Bogor berawan tebal. Kesimpulannya: "sudah tentu sebentar
lagi akan turun lagi hujan lebat sampai sore".
Kesimpulan yang diambil dari berpikir analogis ini kebenaran nya
lebih kurang dapat dipercaya. Kebenarannya ditentukan oleh faktor
"kebetulan" dan bukan berdasarkan perhitungan yang tepat.
Dengan kata lain: validitas kebenarannya sangat rendah.
5. Hasil-hasil Penyelidikan tentang Berpikir

Berikut ini akan kita kemukakan beberapa hasil/pendapat yang


penting dari penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh ahli- ahli
psikologi terhadap proses berpikir manusia.

a. Oswald Kulpe dengan rekan-rekannya, setelah mengadakan


eksperimen-eksperimen terhadap mahasiswa-mahasiswanya de- ngan
menggunakan metode instrospeksi-eksperimental, men- dapat
kesimpulan sebagai berikut:
1) Bahwa di dalam diri manusia terdapat adanya gejala- gejala psikis
yang tidak dapat diragukan. Di samping kesan-kesan dan
tanggapan-tanggapan yang diperoleh dengan alat indra masih ada
gejala-gejala yang lebih abstrak dan tidak dapat diragukan. Hal
demikian terjadi antara lain waktu orang berpikir.
2) Bahwa pada waktu berpikir, aku atau pribadi orang itu memegang
peranan yang penting. Si "aku" bukanlah faktor yang pasif (seperti
pendapat psikologi asosiasi), melainkan merupakan faktor yang
mengemudikan semua perbuatan sadar.
3) Bahwa berpikir itu mempunyai arah tujuan yang tertentu
(determine rende tendens). Arah tujuan berpikir itu di-
tentukan/dipengaruhi oleh soal atau masalah yang harus
dipecahkannya.
b. Frohn dan kawan-kawannya, setelah menyelidiki bagaimana proses
dan perkembangan berpikir pada anak-anak yang bisu tuli dan
membandingkannya dengan anak-anak yang normal, mengambil
kesimpulan sebagai berikut: Berpikir ialah bekerja dengan unsur-
unsur yang abstrak dan bergerak ke arah yang ditentukan oleh
soal/masalah yang dihadapi. Tetapi anak-anak kecil, anak-anak yang
terbelakang, dan anak-anak yang bisu-tuli, dalam berpikir itu tidak
dapat melepaskan diri dari bayang-bayang/tanggapan-tanggapan
kongkret. Karena itu mereka tidak dapat membentuk pikir- an-pikiran
yang logis dan umum.
Pada anak-anak kecil, berpikirnya dipengaruhi oleh tanggapan-
tanggapan yang kongkret yang pernah diamatinya. Sedangkan anak-
anak yang bisu tuli tidak dapat menyusun pengertian karena
perkembangan bahasanya terhambat.
Juga dari penyelidikannya itu Frohn dan kawan-kawannya
mendapatkan bahwa di dalam kesadaran manusia dapat di- bedakan
adanya tiga tingkatan (niveau kesadaran).
1) Tingkat lukisan kongkret, dalam tingkat ini bayangan-
bayangan/tanggapan khusus terjadi karena pengamatan dengan alat
indra sifatnya masih kongkret. Kesadaran akan hubungan antara
tanggapan-tanggapan itu satu sama lain belum ada.
2) Tingkat skematis, dalam tingkat ini tanggapan-tanggapan tidak lagi
sangat kongkret. Orang telah mempunyai lukis- an-lukisan umum.
Hubungan atau asosiasi antara tanggapan yang satu dengan yang
lain telah ada.
3) Tingkat pengertian abstrak. Dalam tingkat ini pengertian-
pengertian telah terbagi dalam golongan-golongan. Sifat- nya
abstrak. Dalam pemakaian kata-kata orang dengan cepat tanpa
membayangkan benda-bendanya. Alam Pikiran penuh dengan
pengertian-pengerian umum, dan kekuatan jiwa ialah menyusun
pengertian-pengertian itu menurut arahnya yang ditentukan oleh
soal yang dihadapi- nya. Semua niveau memegang peranan
berganti-ganti dalam kesadaran kita, juga pada waktu orang
berpikir.
c. Otto Selz dan Willwoll

Dari penyelidikannya terhadap peranan tanggapan dalam proses


berpikir, mereka mengambil kesimpulan sebagai ber- ikut:
Selz.
Bahwa tanggapan-tanggapan kongkret tidak mempunyai pe-
ngaruh sama sekali atau hanya sedikit sekali pengaruhnva dalam proses
berpikir. Tanggapan kongkret tidak amat me- lancarkan dan tidak pula
amat merintangi jalannya pikiran. Willwoll Bahwa tanggapan-tanggapan
kongkret dapat mengganggu dan menghambat jalannya berpikir.
Tanggapan-tanggapan kongkret baru berharga sesudah bagian-bagiannya
yang tidak perlu telah dihilangkan oleh tenaga jiwa kita, sehingga tinggal
sarinya yang asli saja.
Pendapat-pendapat/kesimpulan-kesimpulan lain dari Selz dan
kawan-kawannya, yang penting bagi kita ialah: Berpikir adalah soal
kecakapan menggunakan metode-metode (cara-cara) menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Metode-metode ini dapat diajarkan kepada orang
lain, asalkan tingkat perkem- bangan jiwa orang itu telah matang untuk
menerimanya.
Berhubungan dengan kesimpulan Selz tersebut, Prof. Kohnstamm
menyatakan bahwa belajar berpikir adalah mem- pelajari (mengenal) cara-
cara menggolong-golongkan penga- laman-pengalaman yang ada dalam
jiwa, sehingga pengalaman/ tanggapan-tanggapan yang banyak dan tidak
teratur menjadi tersusun merupakan kebulatan-kebulatan yang mudah di-
kuasai/dimengerti.

d. Hasil-hasil penyelidikan berpikir yang telah disebutkan di atas,


berpengaruh besar sekali terhadap perbaikan cara-cara mendidik dan
mengajar di sekolah-sekolah. Dalam mendidik dan mengajar, pendidik
tidak cukup hanya mengisikan pe- ngetahuan atau tanggapan-
tanggapan yang banyak ke dalam otak anak-anak. Anak harus diajar
berpikir dengan baik. Supaya anak dapat berpikir dengan baik, kita
perlu mem- berikan :
1) Pengetahuan siap (parate kennis): yakni pengetahuan pasti yang
sewaktu-waktu siap untuk dapat dipergunakan seperti hafal
tentang abjad, kali-kalian 1 s/d 10 dan se- bagainya.
2) Pengertian yang berisi, yang mengandung arti (tidak verbalistis)
dan benar-benar dimengerti oleh anak-anak.
3) Melatih kecakapan membentuk skema, yang memungkin- kan
berpikir secara teratur dan skematis.
4) Soal-soal yang mendorong anak untuk berpikir. Dalam hal ini
faktor motivasi memegang peranan yang penting. Tentang
motivasi akan diuraikan lebih lanjut pada bab VI, sesudah kita
membicarakan intelijensi yang sangat erat hubungannya dengan
masalah berpikir.
B. Intelegensi
1. Apakah Intelijensi Itu?

Orang berpikir menggunakan pikiran (intelek)-nya. Cepat tidak-


nya dan terpecahkan atau tidaknya suatu masalah tergantung kepada
kemampuan intelijensinya. Dilihat dari intelijensinya, kita dapat
mengatakan seseorang itu pandai atau bodoh, pandai sekali/cerdas (genius)
atau pandir/dungu (idiot).
Intelijensi ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu.
William Sterm mengemukakan batasan sebagai berikut: Inte- lijensi
ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada ke- butuhan baru,
dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya.
William Stern berpendapat bahwa intelijensi sebagian besar
tergantung dengan dasar dan turunan. Pendidikan atau lingkungan tidak
begitu berpengaruh kepada intelijensi seseorang. Juga Prof. Waterink
seorang Mahaguru di Amsterdam, menyatakan bahwa menurut
penyelidikannya belum dapat dibuktikan bahwa intelijen- si dapat
diperbaiki atau dilatih. Belajar berpikir hanya diartikan- nya, bahwa
banyaknya pengetahuan bertambah akan tetapi tidak berarti bahwa
kekuatan berpikir bertambah baik.
Dalam pada itu pendapat-pendapat baru membuktikan bahwa
intelijensi pada anak-anak yang lemah pikiran dapat juga dididik dengan
cara yang lebih tepat (lihat hasil penyelidikan Frohn di muka). Juga
kenyataan membuktikan bahwa daya pikir anak- anak yang telah mendapat
didikan dari sekolah, menunjukkan sifat-sifat yang lebih baik daripada
anak yang tidak bersekolah.
Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa:

a. Intelijensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat
bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian,
minat, dan sebagainya turut mempengaruhi inteli- jensi seseorang).
b. Kita hanya dapat mengetahui intelijensi, dari tingkah laku atau
perbuatannya yang tampak. Intelijensi hanya dapat kita ketahui
dengan cara tidak langsung, melalui "kelakuan inteli- jensinya".
c. Bagi suatu perbuatan intelijensi bukan hanya kemampuan yang
dibawa sejak lahir saja yang penting. Faktor-faktor lingkungan dan
pendidikan pun memegang peranan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan
tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-
cara untuk mewujudkan dan men- capai tujuan itu.
2. Percobaan-percobaan Kohler tentang Intelijensi

Dalam penyelidikannya tentang intelijensi, Kohler mengadakan


eksperimen-eksperimen dengan hewan. Seekor simpanse (semacam beruk
yang besar) dikurung di dalam kandang. Di luar kandang itu ditaruh
sebuah pisang yang tidak terjangkau oleh binatang itu. Di dalam kandang
itu terdapat sebatang tongkat. Terlihat oleh Kohler bahwa simpanse itu
berbuat demikian: la menjangkau pisang itu tetapi tangannya tidak sampai;
lama ia menengok- nengok sekelilingnya, seolah-solah sepertı gelisah;
tampak oleh- nya sebatang tongkat. Diraihnya pisang itu dengan tongkat,
di- makannya pisang itu, tongkat itu dilemparkannya.
Setelah percobaan itu dipersukar (dengan menggunakan dua buah
tongkat yang bisa disambungnya), ternyata hanya seekor simpanse saja
yaitu: si "Sultan" yang terpintar. la dapat mencapai pisang itu dengan
menghubungkan kedua tongkat itu. Percobaan itu dilanjutkan:
Sekarang pisang itu digantungkan di atas kandang (di langit-
langit). Di dalam kandang itu diletakkan sebuah peti kosong. Bagaimana
dilakukan simpanse itu? Ia melompat-lompat berusaha mencapai pisang
itu, tetapi tidak terjangkau karena tingginya. Setelah berkali-kali ia berbuat
demikian dan ternyata sia-sia saja, ia duduk, seolah-olah termenung. Ia
melihat ke kiri dan ke kanan. Sekonyong-konyong melompatlah ia ke arah
peti di sudut kandang itu. Ditariknya peti itu ke bawah pisang yang
tergantung di langit-langit (cara menemukan "alat" dengan sekonyong-
konyong oleh simpanse itu, oleh Kohler disebut "Aha erlebnis" yang
berarti "penghayatan Aha"). Dengan melompat ke atas peti itu dapatlah
simpanse itu mencapai pisang itu.

Anda mungkin juga menyukai