Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORITIS
A. Deskripsi Teoritik
1. Hakikat Aspirasi Karir
a. Pengertian Aspirasi Karir
Seorang remaja yang sedang beranjak ke dewasa awal
tentunya memiliki beberapa tugas perkembangan. Super (1996)
menjelaskan bahwa remaja yang berada pada usia 15-24 tahun
berada pada fase eksplorasi. Pada fase ini remaja akan
mengeksplorasi karirnya namun mereka belum mampu mengambil
sebuah keputusan untuk karirnya. Sering sekali pada fase ini tidak
realistis dikarenakan kurangnya pengalaman yang dilalui oleh
remaja. Namun demikian, remaja sudah dapat merencanakan
karirnya yang didasari oleh minat, kemampuan dan nilai-nilai yang
diperjuangkannya (Hidayat, Cahyawulan, & Alfan, 2019).
Menurut Hurlock (1980) pemilihan dan persiapan karir
merupakan tugas utama pada remaja, dikarenakan karir seseorang
akan menentukan kehidupannya. Setelah seseorang memiliki
orientasi karir yang baik dan matang maka selanjutnya adalah
membuat rencana dalam berprestasi serta mencapai posisi yang
tinggi dalam pekerjaan, inilah yang disebut dengan aspirasi karir.
Aspirasi karir berada pada fase eksplorasi. Aspirasi karir
merupakan proses perkembangan karir yang dimana individu harus
membuat keputusan karirnya yang hendak dipilih dan ditapaki
(Pandia & Weny, 2007). Menurut Epperson, Kahn dan Nauta
(Smulders, 2007) menjelaskan bahwa aspirasi karir merupakan
sejauh mana seseorang bercita-cita untuk mendapatkan posisi
kepemimpinan atau keberhasilan dalam pilihan pekerjaan mereka.
Aspirasi karir merefleksikan keinginan atau ambisi untuk
memperoleh pekerjaan di bidang yang diminati. Aspirasi karier
dipandang perlu untuk memotivasi remaja dalam mengembangkan
karier. Aspirasi karir menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

6
7

potensi diri untuk mencapai kematangan karier (Marimbun, 2021).


Untuk menentukan langkah yang tepat dalam memilih karir maka
perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang ada pada diri, seperti
gambaran diri, kelebihan serta kekurangan dalam diri (Pratiwi,
2020).
b. Aspek-aspek Aspirasi Karir
Aspek aspirasi karir mencangkup bagaimana individu
mencari peran kepemimpinan, aspirasi pendidikan, dan keberhasilan
dalam karir masa depan (Gregor & O'Brien, 2016).
Keberhasilan dalam karir ini sangat berkaitan dengan
motivasi untuk bisa berprestasi. Digambarkan bahwa pengakuan
dalam karir ini penting sebagai upaya memenuhi standar. Untuk
memenuhi standar tersebut maka perlu diperhatikan tiga poin
utamanya diantaranya yaitu: (1) mengembangkan target/tujuan yang
baik (2) usaha yang telah dikeluarkan (3) keberhasilan dalam
aktivitas kejuruan (McClelland & Boyatzis, 1982). Keinginan ini
mengharapkan sebuah pengakuan dari lingkungannya dan juga
berharap dapat berkontribusi penuh dalam bidang karirnya.
Untuk aspek kepemimpinan dan aspirasi pendidikan,
memiliki tujuan yang lebih spesifik namun tidak berfokus pada
keberhasilan (Gregor & O'Brien, 2016). Pada aspek kepemimpinan,
memiliki ambisi dalam menjadi seseorang yang pemimpin yang
dapat diandalkan. Keinginan tersebut ditentukan oleh kemampuan
dan juga pengalaman terhadap bidang karirnya. Aspek pendidikan
meskipun tidak berfokus kepada keberhasilan, aspek ini berfokus
pada keinginan seseorang untuk dapat menuntut ilmu tanpa adanya
sebuah paksaan.
c. Faktor yang Mempengaruhi Aspirasi Karir
Domenico (2006) mengemukakan faktor yang
mempengaruhi aspirasi karir, antara lain: gender, status sosial
ekonomi, ras, pekerjaan, tingkat pendidikan orang tua, dan harapan
orang tua.
8

1) Peran Gender
Pemilihan karir banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah jenis kelamin/gender. Faktor ini banyak
dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut Hurlock (1980) anak
laki-laki dan anak perempuan memiliki beban tanggung jawab
yang berbeda. Anak laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap
keluarganya sedangkan anak perempuan tidak memiliki
tanggung jawab terhadap keluarganya. Hal tersebut banyak
dipengaruhi pula oleh budaya yang melekat.
2) Status Sosial-Ekonomi
Dalam merencanakan karir, keluarga turut diikut sertakan
sebagai salah satu faktor tinggi-rendahnya aspirasi karir
seseorang. Penghasilan orang tua serta daerah tempat tinggal
merupakan hal yang mempengaruhi aspirasi karir (Yusuf,
Daharnis, & Sulisyawati, 2017). Keluarga yang berasal dari
keluarga yang berkecukupan lebih memilih untuk bercita-cita
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih profesional
dibandingkan keluarga dengan pendapatan lebih rendah (Ma &
Wang, 2001).
3) Ras/Etnis
Adanya perbedaan kebudayaan antar etnis akan membangun
sebuah kepribadian yang akan menentukan sikap, perilaku, nilai
dan juga orientasi hidup. Termasuk dalam menghasilkan
perbedaan orientasi pada karir individu seseorang. Suatu
ideologi kebudayaan yang dipegang pada masing-masing etnis
akan menghasilkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap
karir (Amin, 2015).
4) Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Orang tua
Orang tua merupakan merupakan guru pertama bagi anak untuk
menjalankan kehidupannya. Dengan demikian, maka anak akan
banyak mendapatkan pengaruh dari orang tua dalam
perencanaan karirnya. Orang tua yang berlatar belakang
9

pendidikan yang tinggi memiliki tentunya memiliki segudang


ilmu serta pengalaman yang dapat dibagikan kepada anak.
Orang tua akan lebih percaya dengan dirinya untuk membantu
anak-anak dalam meraih pendidikan ataupun karir kedepannya
(Febriani, Yusuf, & Iswari, 2016).
5) Harapan Orang Tua
Pengenalan karir diperoleh dari interaksi yang terjadi antara
orang tua dengan anak. Anak akan mengeksplorasi dan
memahami informasi pekerjaan dari orang tuanya. Seorang anak
yang memiliki kelekatan yang aman dari orang tuanya akan
mendapatkan kemudahan dan kebebasan dalam mengeksplorasi
mengenai pekerjaan (Wolfe & Betz, 2004). Orang tua akan
memberikan sesuatu yang berharga dan pengaruh yang positif
dalam membantu anak dalam memutuskan apa yang harus
dikejar oleh anak dalam dunia kerja. Tapi, peran orang tua bisa
berdampak negatif ketika dukungan terlalu bersemangat dan
menuntut anak untuk sukses (Middleton & Loughead, 1993).

2. Pandangan Karir menurut Gender


Berdasarkan perbedaan reproduksi dan biologi menunjukan
bahwa pembagian kerja laki-laki dan perempuan berbeda sehingga
menyebabkan munculnya perbedaan ciri-ciri sifat dan psikologis pula
(Yuniardi & Dayakisni, 2004). Pernyataan tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh William dan Best (1998) mengenai
perbedaan gender dalam konsep diri menunjukkan, bahwa laki-laki
memiliki ideal-self yang lebih maskulin daripada perempuan, begitupun
sebaliknya perempuan lebih feminim dibandingkan laki-laki
Menurut Jigmi (2008) ada beberapa faktor seseorang
mendapatkan aspirasi karir diantaranya yaitu peran gender, status
ekonomi, latar belakang keluarga, harapan orang-tua, usia serta
kebijakan dan dukungan sekolah terhadap siswa. Dari kesekian faktor
yang sudah dijelaskan diatas, ada faktor yang cukup mempengaruhi
diantaranya yaitu peran gender. Peran gender ini sangat mempengaruhi
10

tujuan karir seseorang. Ada beberapa stereotype gender yang


berkembang di lingkungan sekitar mengenai peran gender dalam
melakukan pemilihan karir (Adison, Rafiolla, & Chandra, 2017).
Tahapan pada teori batasan yang dikemukakan oleh Gottfredson
(Hidayat, Cahyawulan, & Alfan, 2019) menjelaskan bahwa pada usia 6-
8 tahun anak-anak akan mengorganisasikan pekerjaan berdasarkan peran
gender. Seorang anak perempuan akan lebih menginginkan pekerjaan
yang feminim, dan anak laki-laki tentunya akan memilih pekerjaan yang
lebih maskulin. Hal ini tentunya disebabkan oleh aktivitas orang-tua
maupun orang dewasa di sekitarnya.
Ekspetasi peran gender hingga saat ini belum jelas. Sosialisasi
anak perempuan dan laki-laki mengarah pada ekspetasi peran sosial dan
perilaku terkait yang kemudian menghasilkan perbedaan gender
(Farmer, 1987). Perempuan akan lebih tertarik kepada sesuatu yang
artistik, sosial, dan lapangan pekerjaan yang biasa saja, sedangkan laki-
laki akan lebih realistis, penyelidik, serta lapangan pekerjaan yang
menantang (Gati & Gadassi, 2009). Perbedaan inilah yang kemudian
tercciptanya stereotipe gender pada sebuah lapangan pekerjaan.
a. Orientasi peran karir perempuan
Teori Freud mengenai pandangan klasik psikoanalisis yang
menyatakan perihal ada tidaknya penis yang menjadi penentuan
perkembangan jiwa seseorang apakah dia menjadi perempuan atau
laki-laki. Dari pandangan Freud menyatakan bahwa anak perempuan
akan cenderung merasa iri dengan dengan sosok ayah yang memiliki
penis (penis envy) dan maka dari itu anak perempuan akan bersaing
dengan ibunya. Dengan begitu, munculah sikap kewanitaan pada
anak perempuan tersebut. Namun, teori tersebut banyak ditentang
terutama oleh K. Horney (Sarwono, 2011) selaku pengikut Freud.
Dalam penelitian yang dilakuakn hingga tahun 1972 Horney
membuktikan beberapa karakteristik anak perempuan sebagai
berikut:
11

1) Anak perempuan memiliki kemampuan bersosialisasi yang


lebih tinggi dibandingkan perempuan
2) Anak perempuan lebih mudah terpengaruh
3) Anak perempuan punya harga diri yang rendah
4) Anak perempuan lebih mudah mempelajari peran dan tugas
yang lebih sederhana
5) Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat
6) Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi
7) Anak perempuan cenderung mendengarkan (Benedek,
1979)
Perempuan cukup identik dengan sesuatu yang komunal
yaitu hangat, sensitif, kooperatif, dan menghindari dominasi.
Misalnya agresif, mengintimidasi dan arogan (Koenig, 2018).
Secara khusus, perempuan sangat mementingkan aspek jam kerja,
kondisi pekerjaan dan aspek yang lebih ekspresif seperti
persahabatan dalam pekerjaan dan rela membantu orang lain lain
dengan cara mengorbankan diri sendiri
Perempuan banyak diasosiasikan dengan peran mengurus
keluarga dibandingkan dengan berkarir maupun berprestasi. Mereka
yang tinggal dalam lingkungan yang tradisional akan cenderung
tidak merencanakan karir serta tidak mengeksplorasi karir secara
mendalam (Eccles, et al., 1993). Dengan semakin banyaknya
perempuan yang bekerja maka mereka akan banyak menerima
pertanyaan yang melibatkan keluarga dan karir. Seorang perempuan
tradisonal tentunya akan mengutamakan keluarga dan merelakan
waktu bekerjanya. Berbeda dengan perempuan modern yang
cenderung akan menunda kelahiran maupun pernikahan (Santrock,
2003)
Kelompok perempuan lebih banyak menekuni bidang-
bidang pekerjaan yang dianggap masih cukup feminim, seperti
keterampilan, kesekretariatan, keguruan, dll. Perempuan akan
dibatasi untuk berperan aktif dalam kegiatan atau aktivitas di
12

masyaratkat, seperti kegiatan ekonomi, sosial-budaya, pendidikan,


organisasi dalam kelembagaan (Rachminawati, 2001)
Sedari kecil, seorang anak sudah mulai mengeksplorasi
mengenai karir dari keluarga maupun orang dewasa di sekitarnya.
Menjadi seorang pemimpin di lingkungan yang konservatif tentunya
akan memberikan gambaran terhadap peran perempuan dalam
berperan sebagai pemimpin. Dengan adanya ketimpangan tersebut
maka kesempatan seorang perempuan untuk menjadi perempuan
cukup sulit dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Dereu dkk
(2012) menunjukan bahwa efektifitas kepemimpinan lebih
didominasi oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun,
sejatinya perempuan dapat memberikan kontribusi secara unik dan
efektif pada lingkungan kerja atau tim yang dipimpin olehnya (Post,
DiTomaso, Lowe, Ferris, & Cordero, 2009). Namun, perempuan
juga dapat berperan sebagai pemimpin. Adapun karakteristik
kepemimpinan pada perempuan yaitu, tidak agresif dan tidak begitu
kompetitif (Fitriani, 2015).
Untuk memiliki aspirasi karir yang baik, seseorang perlu
memiliki cita-cita yang tinggi dapat menempuh pendidikan yang
relevan dengan jenjang karir yang dituju. Bukan hanya pendidikan
melainkan pelatihan-pelatihan yang dapat mengembangkan
kemampuan individu di karirnya. Pendidikan vokasi salah satu
pendidikan yang mampu mempersiapkan peserta didik memasuki
lapangan pekerjaan (Sukoco, Kurniawati, Werdani, & Windriya,
2019). Di era yang yang sudah hampir modern, jarang ditemukan
pendidikan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki. Kebebasan
yang diberikan pada era modern, memberikan kebebasan bagi
perempuan untuk dapat menempuh pendidikan (Rahmayani, 2021).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Schoon, dkk (2011)
menambahkan bahwa aspirasi pendidikan perempuan lebih tinggi
dibandingkan. Sehingga jika perempuan memiliki pendidikan yang
cukup matang, maka mereka akan siap bekerja.
13

b. Orientasi peran karir laki-laki


Perlakuan orang tua menjadi salah satu pembentukan
karakter seorang anak. Terutama seorang ibu. Seorang anak laki-laki
yang cenderung dekat dengan ibu, maka perkembangan karirnya
akan banyak dipengaruhi oleh sang ibu. Ibu akan meminta anak laki-
lakinya untuk segera bekerja (Eccles, et al., 1993).

Laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat


dibandingkan perempuan, mereka seperti dituntut untuk bisa
memberikan perlindungan kepada perempuan. Laki-laki dapat
menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan juga lebih
rasional (Ismail, Lestari, Rahayu, & Eleanora, 2020).

Laki-laki memiliki nilai prestise yang tinggi sehingga


mereka akan menghindari pekerjaan yang didominasi oleh
perempuan (Berritt, 2021). Lapangan pekerjaan laki-laki identik
dengan keahlian penguasaan teknologi, ilmiah, otomotif, dan fisik.
Mereka juga akan berorientasi pada suatu pekerjaan, jabatan atau
posisi yang lebih tinggi, eksklusif, dan elit. Sehingga pekerjaan laki-
laki digambarkan sebagai sosok yang memegang kekuasaan (Berk,
2000).

Hal ini diperkuat dengan penelitian Gati, dkk (1995) laki-laki


mementingkan aspek keamanan, kesuksesan dalam bekerja dan
berusaha untuk mengambil keuntungan tambahan dalam bekerja.
Hal ini bisa digambarkan bahwa laki-laki cenderung memiliki
ambisi yang cukup kuat dalam berkarir.

Pendidikan memiliki peran yang penting pula dalam


meningkatkan kemampuan diri dalam dunia kerja, baik perempuan
maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam
pendidikan. Minat laki-laki untuk melanjutkan pendidikan dalam
rangka meningkatkan kemampuan dalam karirnya cukup beragam.
Adanya kompleksitas faktor yang kemudian menjadi faktor minat
terhadap pendidikan lanjutan pada laki-laki bisa berbeda-beda
14

(Apriana, Heryati, & Permatasari, 2020). Salah satunya adalah latar


belakang sosial keluarga. Anak laki-laki dengan latar belakang sosial
yang kurang akan lebih diutamakan untuk bekerja, dibandingkan
dengan melanjutkan pendidikan.

3. Kesetimpangan Peran Gender dalam Industri Multimedia


Stereotip adalah suatu pandangan masyarakat yang
mengkategorikan orang-orang dalam beberapa kategori (Witt, 1997).
Pandangan ini terjadi karena adanya kebiasaan yang melekat sejak dulu.
Kebiasaan ini diyakini oleh masyarakat sehingga menjadi budaya.
Stereotip pada karir yaitu pandangan yang membatasi karir seperti
pandangan bahwa pekerjaan yang hanya diperuntukkan untuk laki-laki
saja atau perempuan saja. Adanya stereotip gender ini menjadikan anak-
anak semenjak kecil dikondisikan untuk berperan sesuai peran
gendernya. Cita-cita anak semenjak kecil juga diarahkan untuk sesuai
dengan peran gendernya.

Stereotip dibentuk oleh masyarakat. Seseorang harus memiliki


kualitas feminim dan maskulitas dalam (Cejka & Eagly, 1999). Terdapat
stereotip tentang pekerjaan yang dimana terdapat pekerjaan maskulin
seperti pekerja konstruksi, operator alat berat, pembalap. dll. Begitupun
dengan pekerjaan yang feminim seperti perawat, pekerja salon, guru
sekolah dasar, resepsionis, dll.
Pembagian antara pekerjaan feminim dan maskulin ini akan
berdampak negatif (Akerlof & Kranton, 2000). Salah satunya adalah
kehilangan identitas, sebagai contoh seorang perempuan bekerja disalah
satu konstruksi yang dimana lekat dengan pekerjaan maskulin. Pekerja
perempuan akan memutuskan untuk tidak menunjukkan sikap
feminimnya dan justru akan menunjukan sikap maskulin (Kinanti,
Syaebani, & Primadini, 2021). Meskipun demikian, secara konstruk
sosial maka perempuan tersebut tetap akan dinilai secara negatif (Eagly
& Karau, 2002). Hingga pada akhirnya ini akan memengaruhi bagaimana
seseorang akan menentukan aspirasi karirnya.
15

Menurut World Economic Forum menjelaskan dalam Global


Gender Gap Report 2020, partisipasi perempuan dalam lapangan
pekerjaan adalah sebesar 49,26% sedangkan laki-laki sebesar 75,73%
(Kinanti, Syaebani, & Primadini, 2021). Umumnya perempuan akan
lebih banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik dengan
pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ini
menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap keterampilan perempuan
(Hennigusnia, 2014).
Di era modern ini, ada banyak jenis industri baru, salah satunya
industri kreatif. Industri ini menutut tenaga kerja produktif dan kreatif,
mandiri, cepat tanggap dan mandiri. Salah satu kejuruan yang disiapkan
untuk industri ini di pendidikan sekolah yaitu jurusan multimedia.
Multimedia mengajarkan keterampilan sinematografi yang merupakan
gabungan antara seni dan penguasaan teknik komputer/digital
(Darmastuti, 2015).
Dengan adanya kemajuan teknologi yang terus berkembang,
jurusan multimedia didominasi oleh laki-laki. Namun disatu sisi, peran
perempuan kini bukan lagi melakukan hal-hal domestik bagi keluarga
maupun masyarakatnya. Hal mendasar yang menyebabkan perempuan
termotivasi untuk memilih bekerja diantaranya adalah meningkatkan
aspek diri, kemampuan dan pengetahuannya (Ramlafatma, 2020).
Di Indonesia, pekerja perempuan yang bekerja di industri media
dan teknologi ini hanya memiliki 22%. Meskipun jumlah pekerja
perempuan terus meningkat, perbedaan terhadap penugasan di lapangan
pekerjaan ini mencerminkan adanya perbedaan dalam berkarir (Owan,
Hashimoto, & Sato, 2019).
Hal ini bisa dikarenakan dengan peran ganda yang mungkin akan
terjadi apabila perempuan bekerja. Tentunya perempuan memiliki peran
yang cukup strategis dalam keluarga maupun masyarakat. Asumsi
mengenai perempuan dan ibu yang yang bekerja akan memberikan
dampak pada kreatifitas sebuah media (Hakim, 2006).
16

Padahal dengan adanya peran perempuan dalam industri


teknologi/multimedia ini akan memberikan dampak yang begitu besar
bagi kemajuan negara. Salah satunya adalah memiliki keterampilan di
bidang teknologi, meningkatkan indeks pemberdayaan gender, serta
meningkatkan pendapatan domestic bruto suatu (Hadad, 2021). Selain
itu, industri multimedia yang menuntut tenaga kerjanya menjadi kreatif.
Kehadiran perempuan dalam industri multimedia akan memberikan
sudut pandangannya terhadap media yang akan ditampilkan, sehingga
medianya bisa diterima oleh khalayak (Herawati, 2016).

B. Hasil Penelitian yang Relevan


1. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nunik (2017) pada peserta didik
di SMAN 1 Batujajar mengenai perbedaan aspirasi karir berdasarkan
jenis kelamin diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara peserta didik perempuan dan laki-laki. Rerata antara aspirasi karir
yang dimiliki oleh peserta didik laki-laki adalah 2,36 dan peserta didik
perempuan ada di 2,39. Sedangkan perbandingkan antara peserta didik
perempuan dan laki-laki adalah 0,531 yang menandakan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan.

2. Perbedaan aspirasi karir antara peserta didik perempuan dan laki-laki di


SMAN 7 Padang menunjukan pula bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan (Febriani, Yusuf, & Iswari, 2016). Signifikansi pada peserta
didik perempuan dan laki-laki sebesar 0,204 yang dimana menurut
ANOVA, tidak signifikan. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan
yang sudah adanya kesetaraan gender. Selain itu pula budaya
Minangkabau juga mempengaruhi hal ini pula.

3. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Chandra & Suarja (2017)


menunjukan hal yang berbeda. Pada penelitian yang serupa pula yaitu
aspirasi karir ditinjau dari jenis kelamin menunjukan bahwa terdapat
perbedaan yang cukup signifikan. Disimpulkan bahwa tingkat aspirasi
karir pada peserta didik perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan
dengan peserta didik laki-laki. Namun, diketahui pula pada indikator
17

ambisi karir, peserta didik perempuan lebih rendah dibandingkan dengan


laki-laki.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Chandra, Rafiolla, & Adison (2017)


diketahui bahwa tingkat aspirasi karir pada peserta didik perempuan
kelas XI SMAN 1 Sutera memiliki skor yang rendah dibandingkan laki-
laki. Pada kedua aspek asprirasi karir yaitu sikap dan perilaku berada
pada kategori rendah. Ditemukan bahwa peserta didik perempuan
cenderung berkeingan untuk bekerja dan memilih pendidikan lanjutan di
bidang keguruan dan kesehatan. Sedangkan laki-laki akan lebih
cenderung bekerja di bidang teknik atau teknologi.

5. Sama halnya dengan penelitian diatas, ditemukan pada penelitian yang


dilakukan oleh Daharnis, Yusuf, & Sofyan (2017) bahwa terdapat
perbedaan antara aspirasi karir peserta didik perempuan dan laki-laki.
Pada indikator ambisi karir, peserta didik laki-laki memiliki nilai rata-
rata paling tinggi dibandingkan dengan perempuan. Remaja laki-laki
akan lebih berorientasi pada pekerjaan, jabatan maupun posisi yang
terlihat lebih baik, tinggi, elit dan juga lebih eksekutif. Namun demikian,
secara keseluruhan aspirasi karir perempuan lebih besar di bandingkan
dengan laki-laki.

C. Kerangka Berpikir
Peserta didik terutama seorang remaja memiliki tugas perkembangan
yang seharusnya dipenuhi. Transisi dari masa remaja menuju dewasa awal ini
merupakan masa-masa penting bagi remaja untuk menentukan masa
depannya.

Persiapan karir yang matang merupakan salah satu tugas


perkembangan peserta didik yang harus dilalui oleh seorang remaja. Sebelum
mendapatkan perencanaan karir yang matang, maka seorang remaja harus
menumbuhkan sebuah ambisi untuk merencanakan karirnya. Dengan aspirasi
karir yang matang dan baik maka peserta didik akan mampu merencanakan
karirnya.
18

Aspirasi karir banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan nilai-nilai


sosial di sekitarnya. Aspirasi karir berada pada fase eksplorasi, yang dimana
seorang remaja mulai menyadari bahwa pekerjaan merupakan aspek
kehidupan manusia. Aspirasi karir sangat dipengaruhi oleh peran sosial
remaja sesuai dengan peran gendernya. Dengan lingkungan yang semakin
modern dan adanya isu kesetaraan gender, membuat aspirasi karir tidak
berfokus saja kepada laki-laki yang memiliki dominan dalam keberhasilan
dan kepemimpinan dalam karir. Aspek kepemimpinan, pendidikan dan juga
keberhasilan kini pun memiliki nilai yang tinggi pada perempuan. Namun,
terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi aspirasi karir seorang remaja.
Salah satunya adalah lingkungan sekolah.

Sekolah akan banyak membantu peserta didiknya dalam memberikan


layanan untuk bimbingan karir. Di Indonesia sendiri pendidikan vokasional
dikenal dengan Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan begitu akan membantu
peserta didik untuk dapat meningkatkan aspirasi karirnya yang didasari dari
pengalamannya. Sehingga dengan banyaknya pengetahuan dan wawasan
peserta didik yang didapatkan di sekolah maka hal tersebut akan
memengaruhi aspirasi karirnya. Peserta didik yang memiliki aspirasi karir
tinggi akan memberikan motivasi dalam merencanakan karirnya. Jika aspirasi
karir yang dimiliki rendah maka peserta didik akan kehilangan ambisi serta
motivasi untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Jika dilihat dari
SKKPD pada jenjang SMA/SMK pada aspek wawasan dan kesiapan karir
maka seorang peserta didik setidaknya mampu mempelajari kemampuan,
peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan dan aktifitas yang terfokus pada
pengembangan alternatif karir yang lebih terarah. Sedangkan pada aspek
wawasan gender, peserta didik dapat berkolaborasi secara harmonis dengan
lain jenis dalam keragaman peran.

Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa peran aspirasi karir sangat


penting untuk peserta didik yang berada pada fase eksplorasi. Tentunya peran
antara perempuan dan laki-laki dalam hal berkarir memiliki pemaknaan yang
berbeda terutama dalam industri yang didominasi oleh salah satu peran
gender. Salah satunya industri multimedia dan teknologi yang didominasi
19

oleh laki-laki. Namun semakin berkembanganya teknologi, peran perempuan


dalam dunia industri sudah mulai diakui. Hal tersebut dibuktikan dengan
jumlah peserta didik perempuan pada subjek penelitian lebih banyak
dibandingkan peserta didik laki-laki.

Meskipun demikian, narasi mengenai peran laki-laki dalam dunia


industri multimedia lebih menonjol dibandingkan dengan perempuan.
Dengan peran ganda yang dimiliki perempuan di keluarga membuat
keinginan untuk memiliki aspirasi keberhasilan dan juga kepemimpinan
masih rendah.

Dengan kajian teoritik diatas maka dapat dibuat kerangka berpikir


penelitian ini melalui gambar di bawah ini:

Remaja berada pada masa fase eksplorasi,


memiliki kemampuan merencanakan karir yang
didasari oleh minat, kemampuan dan nilai-nilai
diri maupun lingkungan sosialnya

Aspirasi karir yang baik akan memotivasi dan


memberikian ambisi remaja untuk dapat merencanakan
karir yang lebih baik. Tiga aspek yang menentukan aspirasi
karir:
Aspirasi Pendidikan
Aspirasi Pencapaian
Aspirasi Kepemimpinan

Perempuan dikenal sebagai sosok Pria memiliki ruang yang


yang lekat dengan pekerjaan cukup pada dunia industri
domestik terutama terhadap teknologi.
Kebanyakan perempuan tidak
banyak dilibatkan dalam pekerjaan
dengan menggunakan teknologi
20

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dipaparkan maka hipotesis dalam
penelitian ini yaitu:
1. Terdapat perbedaan aspirasi karir pada peserta didik perempuan dan
laki-laki
2. Terdapat perbedaan aspirasi keberhasilan pada peserta didik perempuan
dan laki-laki
3. Terdapat perbedaan aspirasi kepemimpinan pada peserta didik
perempuan dan laki-laki

Anda mungkin juga menyukai