Anda di halaman 1dari 18

TEORI SISTEM DALAM HUKUM

H.L.A. HARTT DAN ANTHONY ALLOTTS

A. Pendahuluan
Kita ketahui betapa banyak aliran-aliran dalam teori hukum. Aliran-aliran
dalam teori hukum, membuat banyak perswoalam-persoalan hukum dapat
terselesaikan denganm pijakan teori-teori hukum yang ada. Banyaknya aliran atau
Teori hukum memperkaya ranah ilmu pengetahuan khususnya di bidang Hukum.
Dalam perkembangan pemikiran tentang hukum pada umumnya dan di Indonesia
khususnya, secara akademis dapat diidentifikasi berbagai ragam aliran pemikiran
hukum. Selain itu banyaknya aliran dalam teori Hukum, memberikan kesempatan
kepada pemerhati teori hukum, untuk memberikan pendapat serta kritik terhadap
penulis-penulis dalam ranah teori Hukum. Hal ini juga sebagai akibat banyaknya
teori-teori hukum menurut pakar-pakart hukum seperti Black, Jan Gijssels dan
Mark van Moecke, H.L.A. hart, Ronald Dworkin, Aanthony Allotts, Satjipto
Rahardjo dan masih banyak lagi.
Teori-teori tersebut tentunya memperkaya pembangunan hukum di
Indonesia. Pembangunan Hukum mempunyai makna yang menyeluruh dan
mendasar dibandingkan dengan istilah pembinaan hukum atau pembaharuan
hukum. Pembinaan hukum lebih mengacu pada efisiensi dalam arti meningkatkan
efisiensi hukum. Pembaharuan hukum untuk menyesuaikan dengan perubahan
hukum masyarakat. Oleh karena, pembangunan hukum itu tidak hanya tertuju
pada aturan atau substansi hukum, tetapi juga pada struktur atau kelembagaan
hukum dan pada budaya hukum masyarakat. (Adi Sulistiyono, 2007: 5).
Menyimak istilah Teori Hukum, kita bertanya-tanya apakah teori itu?
Adalah pertanyaan yang wilayah jangkauaannya sangat rumit dan berbau
filosofis, sama rumitnya dengan pertanyaan, apakah hukum itu?. Namun
demikian istilah teori juga merupakan istilah yang banyak dibincangkan berbagai

1
kalangan ketika menyoal sesuatu, baik dalam ranah (tatanan) ilmu pengetahuan
ataupun kehidupan sehari-hari. Penggunaannya apabila dicermati memperlihatkan
trend tertentu, paling tidak teori selalu dikaitkan dengan sesuatu yang abstrak
teoretis, yang pada tataran tertentu menimbulkan keragaman tafsir bahkan antipati
serta ejekan di dalamnya. Istilah Teori sering digunakan oleh anak muda atau
kalangan lainnya untuk mencela mereka yang selalu berbicara pada atataran
abstrak, sulit dipahami dan tidak pernah berpijak di alam kenyataan/empiric.
Teori berasal dari kata “Theoria” dalam bahasa latin yang berarti
“perenungan”, yang pad gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani
yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dari kata
dasar the ini pula dating kata modern “teater” yang berarti “pertunjukkan “ atau
“tontonan”. Dalam banyak literature beberapa ahli menggunakan kata ini untuk
menunjukkan bangunan berfikir yang tersusum sistematis, logis (rasional),
empiris (kenyataan), juga simbolis
Selain itu terdapat pemahaman bahwa istilah “teori” bukanlah sesuatu yang
harus dijelaskan, tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami
maknanya. Bahkant eori sering ditafsirkan sebagai istilah tanpa makna apabila
tidak berkait dengan kata yang menjadi padanannya, misalnya teori ekonomi,
teori sosial, teori hukum dan lain-lain, sehingga kata yang menjadi padanannya
menjadi (seolah-olah) lebih bermakna ketimbang istilah /makna teori itu sendiri.
Teori pada akhirnya hanya menjadi kajian kebahasaan atau metodologi
Beberapa pemikir yang mencoba membedah hukum selalu berupaya
memberikan argumentasi yang meyakinkan, bahwa apa yang dijelaskan itu
ilmiah, atau paling tidak memberikan gambaran bahwa apa yang dijelaskannya itu
adalah memenuhi standar teoritis. Namun demikian patut disayangkan juga,
bahwa beberapa di antaranya menulis tentang masalah ini dengan tidak
proporsional dan terlalu gegabah, sehingga secara substansial hal itu sedikit
mengganggu pemahaman banyak orang tentang makna hukum yang
sesungguhnya. Dalam makalah ini penulis mencoba, sedikit menghupas tentang

2
teori sistem. Gagasan sistem dalam ilmu tersebar luas, karena hampir menguasai
konteks berfikir ilmuwan dalam segala bidang termasuk dalam sistem hukum.
Oleh karena itu untuk menjelaskan persoalah ini lebih dulu dapatlah disebutkan
tentang makna sistem itu sendiri.
1. Sistem digunakan untuk menunjuk suatu kesimpulan atau himpunan benda-
benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau
saling ketergantungan yang teratur, suatu himpunan bagian-bagian yang
tergabung secara alamiah maupun oleh budi daya manusia sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh dan bulat terpadu
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara
keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbang terhadap
berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tetapi vital
3. Sistem yang menunjuk himpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisir,
suatu himounan gagasan prinsip, doktrin, hukum, dan sebagainya yang
membentuk satu kesatuan yang logic dan dikenal sebagai isi buah pikiran
filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori
(yang dilawankan dengan praktek)
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tatacara
6. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode
pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode tatacara. Dapat pula
berarti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan atau pemrosesan , dan
juga dalam pengertian metode pengelompokkan pengkodifikasian dan
sebagainya (Tatang M Amirin, 1996: 7).

Bagi kebanyakan pemikir, sistem terkadang digambarkan dalam dua hal,


pertama, yaitu sebagai sesuatu wujud, atau entites, yaitu sisten biasa dianggap
sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan, yang membentuk satu
keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Misalnya
saja para ilmuwan percara bahwa dunia ini merupakan suatu sistem dimana satu
bagian dengan bagian yang lain saling berkaitan, gambaran Newton tentang
dunia seperti jam raksasa adalah pandangan sistem yang cukup jelas dalam ilmu.
Pandangan ini pada dasarnya bersifat deskriptif, bersifat menggambarkan dan ini
memberikan kemungkinan untuk menggambarkan dan membedakan antara
benda-benda yang berlainan dan untuk menetapkan batas-batas kelilingnya atau

3
memilahkannya guna kepentingan penganalisaan dan untuk mempermudah
pemecahan masalah
Kedua, sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan
pengertian umum pendekatan sistem (sistem approach). Pada dasarnya
pendekatan ini merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan
masalah, atau menerapkan kebiasaan berfikir atau beranggapan bahwa ada banyak
sebab terjadinya sesuatu, di dalam memandang atau menghadapi saling
keterkaitan. Pendekatan sistem berusaha untuk memahami adanya kerumitan di
dalam kebanyakan benda, sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu
yang amat sederhana atau bahkan keliru
West Chruchman dalam Otje Salman, (2004: 84-85), menjelaskan sebagai
berikut:
1. Pendekatan sistem bermula terjadi jika mula-mula ada yang memandang
dunia ini dari kacamata orang lain
2. Hal itu berlangsung untuk menemukan kenyataan bahwa setiap pandangan
dunia itu amat terbatas
3. Tidak ada seorangpun yang ahli dalam pendekatan sistem

Makna sistem sebagai pendekatan sekaligus memperlihatkan sifat berfikir


secara sistem (sistem of thinking) yang bersegi banyak dan pelik. Mempergunakan
pendekatan menuntut pemahaman bahwa setiap benda atau sistem itu berada
(menjadi bagian) dari sistem yang lebih besar atau lebih luas, sehingga semua
benda dengan sesuatu cara saling berkaitan
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang sistem, secara umum
sistem memiliki ciri yang sangat luas dan bervariasi. Sistem memiliki beberapa
ciri diantaranya adalah :
1. Setiap sistem mempunyai tujuan
2. Setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungannya
3. Walau sistem mempunyai batas tetapi bersifat terbuka
4. Sistem terdiri dari beberapa sub sistem/unsur
5. Sistem mempunyai sifat holistic (utuh menyeluruh)
6. Sistem berhubungan dan saling bergantung baik interen atau ekstern
7. Sistem melakukan proses transformasi

4
8. Sistem memiliki mekanisme control dengan pemanfaatan umpan balik
9. Memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan menyesuaikan diri .
(Tatang M. Amirin, 1996: 25)

B. Permasalahan
Permasalahan dalam makalah ini adalah:
Bagaimanakah teori sistem hukum menurut H.L.A.Hart dan Anthony Allotts
itu?

C. Pembahasan
Pengakuan kebenaran atas suatu teori dapat dioamati dua hal , yakni dari
apa yang dinyatakan, atau dari siapa yang mengatakannya. Kriteria pertama
berada dalam wilayah filsafat ontology, sementara kriteria ke dua berada dalam
wilayah etika. (Shidarta, 2006: 55). Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji di
dalam memahami akan sebuah teori hukum.
Ada ungkapan yang sangat arif dan bijaksana oleh pakar hukum, tentang
masalah bangsa ini. Ungkapan itu antara lain:
“Setiap bangsa atau kelompok masyarakat mempunyai kewajiban moral untuk
menorehkan risalah peradabannya. Bangsa yang sanggup merasa mampu
menuliskan risalah peradaban telah dan akan menjadi saksi sejarah eksistensi dan
perjalanan manusia. Hukum yang berlaku dalam suatu komunitas social atau
bangsa menjadi guru yang memberikan pelajaran tentang interaksi antar insani
dan sekaligus memberi arahan dinamika social bagi bangsa tersebut.” (Adi
Sulistiyono, 2006: 1)
Hal tersebut tentunya tidak terl;epas adanya masalah yang terkait dengan
hukum di negeri ini. Sekilas apabila kita menyimak ungkapan tersbut di atas,
betapa penuh makna dan arti akan sebuah perjalanan bangsa. Mempelajari teori
hukum sebenarnya kita diajak untuk berpikir untuk membuka mata dan pikiran,
sehingga tumbuh kepekaan terhadap perubahan fundamental yang terjadi di

5
sekeliling kita. Dalam ilmu hukum situasi ditandai dengan munculnya berbagai
pemikir yang mencoba menghadirkan sebuah teori hukum, yang pada akhirnya
memberikan pemahaman berbeda atau dengan kata lain telah berubah cara
pandang trerhadap hukum itu sendiri, yaitu hukum hanya dipahami, dilihat dan
tentu saja diyakini serba teratur, serba tertib serba dapat diprediksi. Terlepas itu
semua, dalam makalah ini hanya akan mengupas tentang teori system dalam
hukum.
Dalam pandangan teori hukum system digunakan secara bebas terhadap
banyak hal dalam kehidupan, alam semesta, masyarakat, termasuk hukum
digambarkan dalam bentuk yang jelas-jelas dapat diakui sebagai istilah mekanis
dan sistematis. Kebanyakan teori hukum berpusat pada salah satu dari ketiga
jenis system hukum (sumber dasar, kandungan dasar atau fungsi dasar).
Meskipun terdapat kesepakatan yang hampir menyeluruh bahwa hukum
merupakan suatu system, tetapi jenis system ini diperdebatkan dengan hangat.
Setiap aliran dalam ilmu hukum menawarkan berbagai teori system hukum yang
berbeda, biasanya bertentangan satu sama lain. Teori hukum modern seringkali
memberikan gambaran, apakah itu praktek hukum, sosiologi hukum sebagai
sebuah gambaran yang sistematis, dan apra ahli melihat kunci untuk memahami
hukum di dalam uraian system yang mereka buat. Beberapa orang mungkin
mencoba untuk menguasai penyimpangan ini tidak pada tempatnya karena
mereka mengacu system sebagai suatu kebutuhan cirri-ciri hukum yang jelas.
(Hans Kelsen, 1970: 1). Bagi kebanyakan ahli teori, baik hukum ataupun
sebaliknya, kreasi system tersebut memiliki arti yang sama dengan teori itu
sendiri, (SN. Eisentadt and H. Hale, 1986: 55), dan esensial untuk segala jenis
penjelasan, pengertian dan interprestasi.
Dalam pandangan Quinian, teori hukum yang bersifat sistematis dianggap
sebagai salah satu keyakinan-keyakinan mereka yang telah berakar dan
terorganisir dalam hukum, ( W.V.O. Quine dan J. S. Ulkian, 1968: 26) yaitu suatu
yang mengarah kepada sikap yang keras kepala sehingga cenderung untuk

6
menolak dalam melahirkan kreasi-kreasi (memodifikasi) keyakinan-keyakinan
lain. Sebagai contoh, Stone mengakui keterangan-keterangan yang bertentangan,
perhatikan apa yang disebut dengan “kekacauan yang menyesakan” dan “ hiruk
pikuk norma-norma hukum” dan kemudian berkata “ hanya semata-mata
menunjukkan tata tertib macam apa hukum-hukum tersebut”. ( Julius Stone,
1968: 26).
Kemungkinan lain, para teoritikus akan menerima beberapa diantara
kecaman-kecaman sebagai batas ruang lingkup system hukum dan memberikan
semacam perasaan yang tidak jelas tapi tetap melihat petunjuk bagi teori mereka
dalam catatan istilah sistematis dari beberapa elemen pokok hukum. Penjelasan
tentang masalah ini, akan diurai dalam bagian khusus tentang teori system dalam
ilmu hukum, termasuk ke dalamnya beberapa teori seperti positivisme hukum dan
lain-lain
Pandangan “hukum” sebagai “sistem” adalah pandangan yang cukup tua,
meski arti “sistem” dalam berbagai teori yang berpandangan demikian itu tidak
selalu jelas dan tidak juga seragam. Kebanyakan ahli hukum berkeyakinan bahwa
teori hukum yang mereka kemukakan di dalamnya terdapat suatu sistem. Tetapi
mereka jarang sekali menunjukkan tuntutan teori mana saja yang diperlukan
untuk membangun kualitas sistematis hukum dan mana saja yang dapat
memberikan deskripsi detil atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Asumsi
umum mengenai sistem mengaartikan kepada kita secara langsung bahwa jenis
sistem hukum tersebut telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh
sistem jenis manapun juga.
Dalam keadaan demikian, sangat penting untuk mempertimbangkan
pandangan umum mengenai sistem dasar yang terdapat pada definisi-definisi, dan
jenis-jenis ideal yang dikemukakan dalam teori sistem umum. Pandangan-
pandangan umum ini merupakan inti dari ide filosofis dan teoretis yang
digunakan untuk menemukan apa yang biasanya dikenal dengan istilah “sistem”
dalam berbagai disiplin ilmu, seperti halnya sistem sungai pada ilmu geografi,

7
sistem pencernaan pada ilmu bilogi mamalia, sistem solar pada ilmu astrofisika,
sistem atom pada ilmu fisika nuklir, sistem ekonomi dan politik pad ailmu-ilmu
sosial, sistem persenjataan pada ilmu perang modern dan khususnya sistem
computer pada ilmu-ilmu teknologi baru serta sistem produksi dan manajelem
pada perusahaan-perusahaan besar
Dalam pelaksanaannya, mereka berharap dapat menemukan apa yang
dimaksudkan dengan kata “sistematis”. Beberapa diantaranya bahkan berharap
dapat menemukan satu paradigma baru bagi ilmu pengetahuan. Apapun
ambisinya, teori sistem umum didasarkan pada keyakinan bahwa, sifat-sifat
khusus tersebut lazim terdapat pada semua sistem yang ada didunia. Mereka juga
percaya bahwa sifat-sifat lazim tersebut besserta konsep sistem yang paling
bermanfaat dapat diciptakan bebas dari prasangka-prasangka dan penyimpangan-
penyimpangan yang ditemukan pada beberapa perkembangan konsep sistem yang
berhubungan dengan disiplin ilmu khusus.
Alasan untuk menyelidiki teori sistem umum adalah untuk memberikan
semacam focus kesadaran kita akan beragai macam teori sistem hukum, dan
kebanyakan dari konsepsi-konsepsi sistem yang ditemukan pada teori sistem
umum memperlihatkan inti dari ciri-ciri yang lazim digunakan di dunia. Inilah
pokok-pokok “explication”, satu istilah Dewey yang digemakan dalam banyak
diskusi dan seminar mengenai sistem lainnya secara umum. Istilah sistem
digunakan untuk menunjukkan keseluruhan sudut penderirian hubungan metodis
dan pengaturan anggota-anggota konstituantenya. Di sini Dewey memandang
sebuah sistem sebagai keseluruhan yang terkait dan saling berhubungan antara
bagian-bagiannya. Hal yang sama dijelaskan oleh Angell, yang berbicara tentang
bagian-bagian sistem sosial dicocokkan untuk membentuk suatu keseluruhan
(Otje Salman, 2004: 88), demikian juga Johnson yang mengatakan bahwa sistem
merupakan sekelompok variable-variabel yang saling ketergantungan yang
disusun untuk membentuk suatu keseluruhan.

8
Kemudian kita juga memandang sistem sebagai suatu kesatuan, seperti
sistem (aliran ) sungai yang dapat dipandang sebagai suatu keseluruhan karena
memainkan fungsi-fungsi khusus dan sistem kecil di antara atom sebagai suatu
keseluruhan karena merupakan satu unit yang dikombinasikan dengan unit-unit
sejenis lainnya untuk membentuk molekul. Tapi semua itu juga tetap mempunyai
bagian atau elemen, karena suatu sistem tanpa adanya komponen-komponen akan
menjadi berlebihan
Elemen-elemen tersebut haruslah saling berhubungan seperti yang
dikatakan Dewey, jumpulan, koleksi dan inventaris. Pendapat yang sama juga
dinyatakan secara implicit pada definisi-definisi Emery dan Trist bahwa sistem
merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling terkait. Suatu sistem
(biasa) dianggap merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang
membentuk satu keseluruhan yang rumit dan kompleks tetapi merupakan satu
kesatuan. Hamper semua teoretikus mengacu pada satu syarat utama struktur
Terdapat dua gagasan dalam struktur tersebut. Pertama, hubungan-
hubungan itu harus membentuk jaringan di mana setiap elemen berhubung satu
sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, jaringan tersebut
haruslah membentuk suatu pola untuk menghasilkan struktur dalam suatu sistem.
Sementara yang lain menyatakan gagasan kedua merupakan satu persyaratan.
Jadi, di sini kita mempunyai pandangan-pandangan umum mengenai sistem dan
karakteristiknya. Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen
itu mempunyai hubungan yang membentuk struktur
Sistem mempunyai aturan-aturan hukum atau norma-norma untuk elemen-
elemen tersebut, kesemuanya berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-
aturan yang lebih tinggi. Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur
pyramid dan hirarki dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya.
Hubungannya merupakan hubungan pembenaran. Pembenaran macam apa yang
dapat ditemukan dalam teori yurisprudential untuk memandang hukum sebagai
suatu sistem hukum? Hal ini akan membawa kita untuk membahas teori di mana

9
para ahli teori tidak menguraikan dengan jelas apa yang dimaksud dalam teori
hukumnya yang bersifat sistematis (teori hukum).
Dalam uraian ini akan dibahas sebagian pemikir yang berada pada
pemikiran sistemik tentang hukum, kebanyakan tentu saja memperlihatkan ciri-
ciri pemikiran hukum yang seragam, tetapi juga dalam hal tertentu beberapa hali
mencoba untuk memisahkan dan memperbaharui pandangannya sehingga nampak
berbeda satu sama lain.
Meski agak rumit untuk memahami semua hal di atas, karena ragam teori
masing-masing memiliki cara pandang berbeda. Namun demikian pada bagian ini,
tidak akan diulas masing-masing aliran pemikiran yang berbeda-beda itu, tetapi
tulisan ini mencoba melihat dan kemudian menjelaskannya dari sudut pandang
kedua pakar hukum H.L.A Hart dan Anthony Allots, paling tidak menurut tulisan
ini yang masing-masing bertolak belakang namun ada dalam satu realitas seperti
sebuah gambaran satu mata uang yang memiliki dua belah bagian yang berbeda.
Untuk lebih lengkap dapat dilihat penjelasan sebagai berikut:
1. Sistem Hukum dalam Teori H.L.A.Hart
Dalam Teorio Sistem menurut H.L.A Hart, tidak dapat dikatakan sebuah
teori positivistic yang sangat sistematis, namun pemikiran Hart tentang hukum
sangat berpengaruh bagi perkembangan positivisme hukum modern. Inti
pemikirannya terletap pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery
rules dan secondary rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya
sebagai primery dan secondary rules, merupakan pusat dari sistem hukum,
dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primery rules lebih
menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak.
Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law)
Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang
pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan
sosial (social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi:
pertama, adanya suatu keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok

10
sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk
tercipta situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang
menintikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada
perbuatan (mereka ) yang menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu
harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam
anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota
(masyarakat) itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu
menyediakan alas an, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi
perilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek internal).
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam
satu uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang
dapat dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa
yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan
suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-
duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai
sesuatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan perilaku yang sesuai
merupakan jelmaan dari aspek eksternal dengan hal yang sama
Model yang kedua apa yang disebut oleh Hart dengan secondary rules,
yang dapat disebut “aturan tentang aturan) (rules about rules) yang apabila
dirinci meliputi, pertama, aturan yang menetapkan persisnya aturan mana
yang dapat dianggap sah (rules of revognition). Kedua, bagaimana dan oleh
siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga, bagaimana dan oleh siapa
dapat dikuatkan/dipaksa/ditegakkan (rules of adjudication). Apabila ditelaah
lebih jauh maka rules of adjudication lebih efisien, sedangkan rules of change
bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognication bersifat reduksionis
Secondary rules merupakan focus lain disamping primery rules untuk
masuk ke dalam uraian pemikiran Hart tentang teori sistem hukumnya.
Eksistensi keduanya penting bagi keberadaan sistem hukum. Kita mengatahui
sebagaimana diuraikan secara singkat di atas bahwa secondary rules adalah

11
aturan tentang aturan yang terdiri dari tiga macam. Namun demikian, yang
lebih penting untuk diketahui adalah bagaimana ketiga hal itu ada? Atau
bagaimana kita dapat mengetahui bahwa aturan itu ada? Beberapa pemikir
malah melihat bahwa secondary rules lebih nampak sebagai aturan sosial
tentang para pejabat/aparat/birokrat. Aturan sosial memerlukan pengamatan
eksternal yang konsisten baik mengenai perilaku juga kritik terhadap mereka
yang melakukan pelanggaran; (mungkin saja bergradasi). Hart mengatakan
hal ini sangat diperlukan untuk melihat apakah secondary rules itu ada. Tetapi
perilaku yang bagaimana yang dapat mengamati dan adakah perilaku yang
dapat dikualifikasikan/dihitung sebagai pelanggaran? Secondary rules adalah
kekuasaan/kemampuan tentang tata cara negosiasi (kekuasaan berunding
dalam pembuatan undang-undang/merubah atau menimbang dan memutus),
dan apabila ada yang melebihi otoritas ini, tentu itu bukan suatu pelanggaran.
Otoritas dalam proses perundingan itu hanyalah norma lain yang menuntut
pejabat untuk membatasi diri mereka terhadap (dalam) otoritas itu. Harris
mencoba untuk merumuskan kembali aturan sekunder sebagai duty imposing
rules, tetapi Raz memberikan komentar tersendiri bahwa hal seperti demikian
tidak mencerminkan cara yang ditempuh oleh mereka sebagai cara yang
digunakan dan dijadikan pegangan
Hubungan/keterkaitan di antara elemen dari sistem hukum menurut
pemikiran Hart dipadukan dalam secondary rules. Tentu saja, secara
keseluruhan aturan itu semua menyediakan hubungan tersebut. Rules of
recognition menyediakan suatu hubungan antara rule of recognition itu
sendiri dan rule recognized, rule of adjudication menyediakan suatu
hubungan antara rule of adjudication dan siapa yang mengaplikasikan dan
melakukan penafsiran (dalam putusan), rule of change menyediakan
hubungan antara rule of change (dirinya sendiri) dan aturan yang dapat diubah
Semua hubungan itu menurut Hart semata-mata merupakan hubungan
internal, penerimaan terhadap secondary rules dapat mengarahkan kepada

12
pertimbangan dari aturan lain,(e.g) penerimaan terhadap rule of recognition
mengarahkan/memadu seseorang untuk menghormati/menerima “rule issued”
yang merupakan salah satu dari sumber yang kita kenal sebagai primery rule,
yaitu bentuk sah dari segi pandangan yang internal itu.

2. Teori Sistem Hukum Anthony Allotts


Dalam pandangan Anthony Allots melihat hukum dari perspektif yang
lain, khususnya berkaitan dengan apa yang disebutnya sistem komunikasi.
Dengan menjelaskan bahwa hukum sama dengan beberapa sistem komunikasi
yang akan mengantarkan seseorang untuk selalu mempersoalkan hal sebagai
berikut:
a. Siapa yang berkomunikasi?
b. Untuk apa?
c. Apakah metode komunikasi?
d. Apa isi dair komunikasi itu?
e. Bagaimana pesan itu diterima?
f. Apakah tujuan pesan itu?
g. Apakah yang menjadi halangan melakukan komukasi?
h. Bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan dan diadaptasikan
Apakah hukum sebagai suatu sistem? Allots memulainya dengan
sebuah jawaban pendek, bahwa biasanya apabila ditanya apakah hukum
sebagai suatu sistem? Maka secara konvensional terdapat alasan-alasan
sebagai berikut : pertama, hukum sebagai sistem aturan yang selalu berkaitan
daengan manusia. Kedua, aturan tersebut merupakan patokan atau pembatasan
terhadap perilaku. Ketiga, tingkah laku berarti tingkah laku seseorang dalam
masyarakat. Keempat, hanya aturan yang dibuat oleh otoritas yang berwenang
dan kompeten dalam masyarakatlah yang dapat disebut sebagai aturan hukum.
Namun demikian Allots memiliki pandangan kategoris tersendiri tentang
apakah hukum itu sebagai suatu sistem atau bukan bagaimana di katakannya:

13
“Hukum meliputi norma-norma, instruksi-instruksi dari proses. Norma
mencakup aturan hukum, demikian juga prinsip-prinsip. Aturan mencakup
aturan yang secara langsung mensyaratkan tingkah laku, dan aturan-aturan
sekunder yang mengatur, pelaksanaan aturan-aturan pokok, dan fungsi
lembaga-lembaga serta proses sistemnya termasuk penambahan aturan
lembaga-lembaga hukum meliputi fasilitas (hakim misalnya) untuk
pelaksanaan proses dan aplikasi norma-normanya, undang-undang dan
hubungan-hubungan diperkenalkan dan dikorntrol oleh norma-norma
misalnya hubungan dimana norma-norma tersebut berlaku. proses hukum
merupakan penjabaran norma-norma dan lembaga-lembaga dalam tindakan.
Keputusan adalah hukum, pembuatan kontrak adalah bagian lain dari
keputusan. ( Anthoni Allots dalam Otje Salman, 2004: 96).

Dalam pandangan Aallots hukum dilihat sebagai sistem merupakan


proses komunikasi, oleh karena itu hukum menjadi subyek bagi persoalan
yang sama dalam memindahkan dan menerima pesan, seperti sistem
komunikasi yang lain. Ciri yang membedakan hukum adalah keberadaan
sebagai fungsi yang otonom dan membedakan kelompok sosial atau
masyarakat politik. Ini dihasilkan/dikenakan oleh mereka yang mempunyai
kompetensi dan kekuasaan yang sah pada masyarakat tersebut, sebagai
pemilik kekuasaan yang sah itu. Suatu sistem hukum tidak hanya terdiri dari
norma-norma tetapi juga lembaga-lembaga termasuk fasilitas dan proses
Dalam melakukan analisis terhadap hukum (peraturan atau norma dari
sistem tertentu) misi dari sistem komunikasi, perbedaannya dibuat antara
norma-norma yang diucapkan dan yang tidak diucapkan. Suatu norma yang
tak terucapkan bersifat laten. Sekalipun belum terucapkan namun memancing
tindakan-tindakan pelaksanaan. Dalam hal ini dibedakan antara norma-norma
yang tidak terlihat (hantu norma yang tidak pernah di sebarluaskan oleh suatu
kekuasaan) dan norma-norma yang gagal, norma-norma yang telah
diumumkan dalam bentuk yan tegas dan jelas, atau hanya menarik sedikit atau
sama sekali kosong dalam pelaksanaannya
Allots juga menjelaskan tentang batasan-batasan dari keefektivan
hukum, dimana akan ada semacam kesulitan untuk mengukur mutu

14
keefektivan tersebut. Keefektivan dimaksudkan dalam batas-batas tingkat
pelaksanaan norma-norma yang sah, terdapat persoalan dalam memutuskan
apakah ukuran bagi pelaksanaan yang diizinkan itu seperti juga yang
diperintahkan kemampuan yang dilarang. Sumber kelemahan lain yang sama
terlihat dalam kurangnya pengawasan dan pelaksanaan norma-norma yang
disebabkan tidak adanya umpan balik yang cukup dalam sistem undang-
undang yang sah. Allots menyatakan bahwa hukum tidak akan bekerja dengan
baik jika sesuai dengan konteks sosialnya. Dengan mencontohkan Inggris,
Allots menjelaskan bahwa “penyesuaian hukum untuk merubah kondisi-
kondisi sosial adalah bagian pekerjaan dari kerjanya melalui penegasan
kembali batasan-batasan instrument yang sah. Walaupun mereka berpikiran
sama bersikeras seperti pemikiran positivis lainnya tentang hukum yang
sistematis, dan masih tetap menjelaskan bahwa hukum adalah suatu sistem
norma-norma, tetapi perhatian mereka telah menggeser cukup jauh dari
sekedar mempertunjukkan struktur dan keseluruhan suatu sistem kepada
status epistemology dan ontology tentang (berdasarkan) elemen normative
Unsur-unsur hukum meliputi norma-norma, penyataan tujuan, standar
nilai dan criteria untuk melakukan pilihan, tidak begitu jelas apakah sistem
hukum meliputi hanya norma-norma saja atau semua komponen yang ada
didalamnya. Tentu saja mereka berkonsentrasi untuk menjelaskan norma-
normadan norma-norma adalah pusat dari teori hukum mereka. Disamping
mengembangkan teori kelembagaan dalam hukum, teori mereka tentang
kelembagaan dan fakta-fakta kelembagaan merupakan term dari aturan,
terutama aturan yang mendasari /menjadi dasar dan tujuan akhir kelembagaan
serta menentukan konsekuensi dari mereka

15
D. Penutup
Dari paparan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesimpulan
Teori sistem Hukum Hart tidak termasuk sebuah teori positivistic yang
sangat sistematis, namun pemikiran Hart tentang hukum sangat berpengaruh
bagi perkembangan positivisme hukum modern. Inti pemikirannya terletap
pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary
rules. Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery dan
secondary rules, merupakan pusat dari sistem hukum, dan keduanya harus ada
dalam sistem hukum. Primery rules lebih menekankan kepada kewajiban
manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam
seluruh bentuk dari hukum (forms of law). Mengenai primery rules (aturan
utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primary rules yang
didalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (social rule)
Sedangkan Menurut Anthony Allotts, Hukum meliputi norma-norma,
instruksi-instruksi dari proses. Norma mencakup aturan hukum, demikian juga
prinsip-prinsip. Aturan mencakup aturan yang secara langsung mensyaratkan
tingkah laku, dan aturan-aturan sekunder yang mengatur, pelaksanaan aturan-
aturan pokok, dan fungsi lembaga-lembaga serta proses sistemnya termasuk
penambahan aturan. Dalam hal ini Anthony Allots melihat hukum dari
perspektif yang lain, khususnya berkaitan dengan apa yang disebutnya sistem
komunikasi.
2. Rekomendasi
Perlu ada pemahaman atau penjelasan yang lebih jelas dan terinci tentang
hukum sebagai sitem. Rumitnya teori-teeori hukum dalam hukum Indonesia,
terkadang membuat pemerhati hukum khusunya pemerhati teori hukum perlu
dengan teliti untuk memahami makna akan teori sistem dalam hukum. Hal ini
mengingat banyaknya pendapat atau pakar hukum di luar pandangan tersebut
diatas.

16
DAFTAR PUSTAKA

A.A.G.Peters dan Koesrini Siswosoebroto (Ed.).1988. Hukum dan Perkembangan


Sosial: Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku II). Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Idonesia, Surakarta, UNS Press

____________, 2007, Pembangunan Hukum Ekonomi untuk mendukung Pencapaian


Visi Indonesia 2030, Pidato Pengukuhan guru besar Hukum Ekonomi,
Fakultas Hukum Universitas sebelas maret Surakarta, 17 Nopember 2007.

Arief B. Sidharta.,1989. Teori Murni Tentang Hukum. Dalam Lili Rasjidi dan B.
Arief Sidharta (penyunting). Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya.
Bandung: R. remadja Karya.

Elias M. Awad, 1979, Sistem Analysis and Design, Homewood, Illionis

Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, Barkeley: University of Califoenia

Julius Stone, 1968, Legal System and Lawyers Reasoning, Sydney, Maintland

Khudzaifah Dimyati. 2005, Teorisasi Huk um, Studi Perkembangan Pemikiran


Hukum di Indonesia 1945 – 1990. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.

Lili Rasyidi, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Otje Salman, 2004, Teori hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka


kembali, Refika Aditama, Bandung

Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

………1989. Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, dalam Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume I/Nomor 1/1998.

………1983. Permasalahan Hukum di Indonesia. Bandung : Alumni

Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu tawaran Kerangka Berpikir, Refika
Aditama, Jakarta

17
SN. Eisentstadt and H. Halle, 1986, Macrosociological Theory, New York: Oxford
University

Tatang M, Amirin, 1996, Pokok-pokok Teori Sistem, Raja Grafindo Persada, Jakarta

W.V.O Quine and J.S. Ullian, 1970, The Web of Belief, New York, Random House

18

Anda mungkin juga menyukai