Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KIMIA ORGANIK 1

REAKSI SN1 dan SN2

DOSEN :
Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si., Apt

Disusun oleh :
Dwi Oktavianie 23334003
Lizia Farkhatin 23334005

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkah, rahmat, dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Reaksi S N1
dan SN2”. Adapun penulisan makalah ini untuk menyelesaikan tugas Kimia
Organik 1. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya ibu
Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si., Apt selaku dosen mata kuliah Kimia Organik 1 dan
orangtua.
Dengan kerendahan hati kami mohon perkenaan para pembaca untuk memberikan
saran dan kritik. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 11 November 2023

Penyusun
PENDAHULUAN

Di alam, terdapat banyak unsur ataupun senyawa kimia yang mempunyai fungsi
tersendiri, diantaranya adalah senyawa halogen organik. Senyawa halogen organik
merupakan senyawa yang terdiri dari ikatan karbon dan hidrogen yang
mengandung unsur flourin (F), klorin (Cl), Bromin (Br), Iodin (I), dan Astatin
(As), yang biasanya ditemukan dari hasil sumber daya laut seperti ganggang
(rumput laut). Senyawa ini sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari karena ia
dapat berfungsi sebagai pelarut dalam pencucian tanpa air, pestisida, zat
pendingin dan penghilang lemak. Senyawa halogen organik adalah senyawa yang
penting karena senyawa halogen dapat berupa suatu reagen awal atau substrat
yang dapat digunakan dalam sintesis seperti alkil halida dan aril halida, terutama
halnya unsur bromida dan klorida. Senyawa halogen organik dapat bereaksi salah
satunya melalui reaksi substitusi. Reaksi substitusi terjadi ketika suatu atom atau
gugus yang merupakan pereaksi menggantikan suatu atom atau gugus dari
molekul yang bereaksi. Reaksi substitusi dapat terjadi pada atom karbon jenuh
ataupun tak jenuh. Untuk mengetahui reaksi substitusi secara mendalam, perlu
juga untuk memahami bagaimana mekanisme reaksinya. Mekanisme reaksi adalah
gambaran tahap demi tahap peristiwa terjadinya suatu reaksi kimia. Peristiwa
terjadinya reaksi kimia merupakan kejadian pada level molekuler dimana
melibatkan elektron pada kulit terluarnya Reaksi substitusi pada senyawa halogen
organik melibatkan kehadiran nukleofilik dalam mekanisme reaksinya.
Nukleofilik merupakan suatu spesies (atom/ ion/ molekul) yang kaya akan
elektron sehingga ia tidak suka akan elektron tetapi suka akan nukleus (inti yang
kekurangan elektron). Reaksi substitusi ini lebih dikenal dengan nama reaksi
substitusi nukleofilik. Reaksi substitusi nukleofilik mempunyai 2 mekanisme
utama yaitu mekanisme SN1 dan mekanisme SN2. Kedua mekanisme ini
mempunyai perbedaan dalam proses mekanismenya.
PEMBAHASAN

1. Reaksi SN2

Reaksi bromoetana dengan ion hidroksida yang menghasilkan etanol dan ion
bromida adalah suatu reaksi SN2 yang khas (SN2 berarti “substitusi, nukleofilik,
bimolekular”). boleh dikatakan metil halida dan alkil halida primer apa saja,
berekasi SN2 dengan nukleofil yang agak kuat : -OH, -OH, -CN dan lainya. Metil
halida dan alkil halida primer juga bereaksi dengan nukleofil lemah seperti H 2O,
tetapi reaksi-reaksi ini terlalu lambat sehingga tak bermanfaat. Alkil halida
sekunder dapat bereaksi SN2, tetapi alkil halida tersier tidak.

1A. Mekanisme reaksi SN2

Pemerian terinci mengenai bagaimana reaksi berlangsung disebut mekanisme


reaksi. Suatu mekanisme reaksi harus bisa menjelaskan semua fakta yang
diketahui. Untuk beberapa reaksi , diketahui banyak fakta, dan untuk itu
mekanisme-mekanisme reaksi tertentu telah disepakati oleh kebanyakkan pakar
kimia. Sementara itu mekanisme reaksi-reaksi lain masih sangat bersifat dugaan
(speculative). Reaksi SN2 adalah salah satu yang telah dipelajari secara meluas,
terdapat sejumlah besar data eksperimen yang mendukung mekanisme yang akan
dibahas sekarang. agar bereaksi pertama-tama molekul-molekul itu harus saling
bertabrakan. Kebanyakan tabrakan antara molekul itu tidak mengakibatkan suatu
reaksi. molekul-molekul itu hanyalah terpental kembali. Agar bereaksi, molekul-
molekul yang bertabrakan itu harus mengandung cukup energi potensial agar
terjadi pematahan ikatan. Juga sikap (orientasi) molekul-molekul itu, satu
terhadap yang lain, sering merupakan faktor penting dalam menentukan apakah
suatu reaksi akan terjadi. Terutama untuk reaksi SN2 hal ini memang benar.

1B. Stereokimia reaksi SN2

Dalam reaksi SN2 antara bromoetana dan ion hidroksida, oksigen dari ion
hidroksida nabrak bagian belakang karbon ujung dan menggantikan ion bromida :
Bila sebuah nukleofil menabrak sisi belakang suatu atom karbon tetrahedral yang
terikat pada sebuah halogen, dua peristiwa terjadi sekaligus : (1) suatu ikatan baru
mulai terbentuk, (2) ikatan C-X mulai patah. Proses ini disebut proses setahap
atau proses serempak (concerted). jika energi potensial kedua spesi yang
bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik dimana, dilihat dari segi energi,
pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C-X lama dimudahkan. Ketika
pereaksi diubah menjadi produk, mereka harus melewati suatu keadaan antara,
yang memiliki energi potensial tinggi, dibandingkan dengan energi pereaksi atau
produk. Keadaan antara ini disebut keadaan transisi (transition state) atau
kompleks teraktifkan (activated complex). karena keadaan transisi melibatkan
dua partikel (NU- dan RX), maka reaksi SN2 dikatakan bersifat bimolekuler
(bimolecular, angka “2” dalam SN2 menyatakan bimolekular).

Suatu keadaan transisi dalam reaksi apa saja adalah penataan berenergi tinggi dan
sekilas dari pereaski Ketika berubah menjadi produk. Suatu keadaan transisi tak
dapat di isolasi dan disimpan dibotol. Keadaan transisi hanyalah suatu pemerian
dari “molekul dalam keadaan berubah.” akan sering digunakan tanda kurung siku
dalam persamaan reaksi, untuk menunjukan struktur sementara yang tak dapat
diisolasi. dalam reaksi itu. Disini tanda kurung siku digunakan terhadap struktur
suatu keadaan transisi. Kelak tanda kurung ini kadang-kadang digunakan untuk
menyatakan produk-produk tak stabil, yang bereaksi lebih lanjut.
Untuk reaksi SN2 itu, keadaan transisi mencakup suatu rehibridisasi sementara
dari atom karbon ujung, dari sp3 ke sp2 dan akhirnya kembali ke sp3 lagi. dalam
keadaan transisi itu, atom karbon tersebut mempunyai tiga ikatan sp 2 datar
ditambah dua setengah ikatan yang menggunakan orbital p.

Ketika nukleofil menyerang dari arah belakang molekul (dilihat dari atom
halogen), Ketika gugus yang terikat pada karbon berubah posisi menjadi rata
dalam keadaan transisi, kemudian membalik kesisi lain, sangat mirip dengan
payung yang kelewatan terbukanya (model molekul akan sangat bermanfaat untuk
menghayati proses ini). Peristiwa membaik ini disebut inversi konfigurasi atau
inversi walden.

Adanya inversi sebagai bagian mekanisme suatu reaksi S N2 diperagakan dengan


indahnya, oleh reaksi enantiomer murni dari alkil halida sekunder kita. Misalnya,
rekasi SN2 dari (R)-2-bromooktana dengan -OH menghasilkan (S)-2-oktanol
secara hampir ekslusif.

Kebanyakkan reaksi yang melibatkan molekul kiral dilaksanakan dengan


campuran rasemik, yakni campuran ekuimolar reaktan (R) dan (S). dalam hal-hal
ini produk juga berupa campuran rasemik. Meskipun terjadi juga inversi, efek ini
tak dapat diamati karena separuh molekul-molekul menuju ke satu arah dan
separuh lainnya menuju ke arah yang berlawanan.
1C. Energi dalam suatu reaksi SN2

Telah disebut bahwa molekul yang bertabrakan membutuhkan energi untuk bisa
bereaksi. Molekul yang bergerak di dalam suatu larutan memiliki sejumlah
tertentu energi potensial dalam ikatan-ikatan mereka, dan sejumlah tertentu energi
kinetik dalam Gerakan mereka. Energi potensial dan kinetik molekul-molekul ini
tidak sama. Namun, dapat digunakan pengertian energi rata-rata molekul. Energi
total dari campuran reaksi dapat ditambah, biasanya dengan memanasi larutan itu.
Bila dipanasi, molekul memperoleh tambahan energi kinetik, bertabrakan lebih
sering dan lebih bertenaga, dan menukar, (mengubah) energi kinetik menjadi
energi potensial.

Agar suatu reaksi dapat mulai terjadi, beberapa molekul dan ion yang bertabrakan
dalam wadah itu harus memiliki cukup energi untuk mencapai keadaan transisi
pada waktu bertabrakan. Mencapai tingkat energi potensial dari keadaan transisi
itu agak mirip dengan mengendarai mobil tua ke suatu tanjakan curam. Cukup
tenagakah mobil itu sampai ke puncak? Ataukah akan mogok dan meluncur
Kembali ke asalnya? Sekali mobil itu sampai di puncak tanjakan, akan terus
kemana? Meluncur Kembali ke tampat semula ataukah meluncur ke sisi yang
lain? sekali telah menuruni sisi yang lain masalahnya menjadi sederhana, mobil
dapat dibiarkan meluncur sampai ke titik terendah.
Gambar diatas menunjukkan diagram energi untuk berlangsungnya reaksi S N2.
Energi potensial yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan transisi membentuk
suatu barier energi. Dalam grafik barier ini ialah titik energi maksimum. Agar
alkil halida dan nukleofil yang bertabrakan dapat mencapai keadaan transisi,
diperlukan sejumlah energi yang disebut energi pengaktifan Eakt (activation
energy). Pada keadaan transisi molekul-molekul mempunyai pilihan yang sama
mudahnya, Kembali menjadi pereaksi atau menjadi poduk. Tetapi sekali melewati
puncak, jalan dengan hambatan terkecil ialah yang menuju ke produk. Selisih
antara energi potensial rata-rata pereaksi dan produk, ialah perubahan entalpi ∆ H
untuk reaksi itu

1D. Laju Reaksi SN2

Tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan
transisi, baik strukturnya maupun energinya. Karena energi molekul-molekul
tidak sama, maka diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi. Persyaratan
waktu ini menimbulkan pengertian dan besaran yang disebut laju reaksi (rate of
reaction). Laju reaksi kimia ialah ukuran berapa cepat reaksi itu berlangsung.
Yakni berapa cepat pereaksi itu habis dan produk terbentuk. Kinetika reaksi
mempelajari dan mengukur laju-laju reaksi. Laju reaksi bergantung pada banyak
variable, beberapa di antaranya dapat dibuat konstan untuk suatu eksperimen
tertentu (misalnya temperatur dan pelarut). Dalam bab ini dua variabel yang
terutama diperlihatkan ialah : (1) konsentrasi pereaksi, dan (2) struktur pereaksi.

Menambah konsentrasi pereaksi yang mengalami reaksi S N2, akan menambah laju
terbentuknya produk, karena akan menambah seringnya tabrakan antara molekul-
molekul. Lazimnya laju reaksi SN2, berbanding lurus dengan konsentrasi-
konsentrasi kedua pereaksi. Jika semua variabel lainnya dibuat konstan dan
konsentrasi alkil halida atau konsetrasi nukleofil dilipat duakan, maka laju
pembentukkan produk juga berlibat dua. Jika salah satu konsentrasi dilipat
tigakan, laju juga akan berlipat tiga.

Dalam persamaan ini, [RX] dan [Nu: -] menyatakan konsentrasi dalam mol/liter
masing-masing dari alkil halida dan nukleofil. Tetapan proporsionalitas k disebut
tetapan laju (rate constant). Harga k konstan untuk reaksi yang sama pada
kondisi eksperimen yang identic (pelarut, temperatur, dan sebagainya).

Karena laju suatu reaksi SN2 bergantung pada konsentrasi dari dua partikel (RX
dan Nu:-), maka laju itu dikatakan order kedua (second order). Reaksi SN2
dikatakan mengikuti kinetika order kedua. (meskipun reaksi SN2 juga
bimolekular, tidak setiap reaksi bimolekular adalah dari order kedua dan tidak tiap
reaksi order kedua adalah bimolekular).

1E. Efek Eakt pada laju dan pada produk

secara sederhana pengaruh energi pengaktifan terhadap laju relatif reaksi dapat
dirumuskan sebagai : pada kondisi yang sama, reaksi dengan Eakt rendah akan
berjalan dengan cepat. Makin sedikit energi yang diperlukan untuk reaksi, akan
makin banyak molekul yang memiliki cukup energi untuk bereaksi.

Perhatikan suatu kasus dimana satu bahan awal dapat mengalami dua reaksi
berbeda yang tak dapat balik (irreversible) dan yang menghasilkan dua produk
yang berlainan. (bila Eakt dari reaksi balik jauh lebih besar daripada E akt reaksi,
maka reaksi ini bersifat eksoterm dan pada hakikatnya takreversibel). Bila bahan
awal dapat mengalami dua macam reaksi semacam ini, maka produk dari reaksi
yang lebih cepat (reaksi dengan Ea rendah) akan lebih melimpah.
Gambar diatas menunjukkan kurva-kurva energi dari dua reaksi semacam itu. Dari
gambar diatas jelas bahwa keadaan transisi berenergi rendah memiliki E akt yang
lebih kecil. Eakt ialah energi keadaan transisi relatif terhadap pereaksi. Oleh karena
itu terdapat hubungan antara laju relatif reaksi dan energi keadaan transisi.
Diantara reaksi-reaksi yang bersaing, dengan bahan awal sama, reaksi dengan
energi keadaan transisi berenergi rendah adalah reaksi yang lebih cepat.

Suatu spesi dengan energi potensial rendah, akan lebih stabil dibandingkan
dengan spesi berenergi potensial tinggi. Oleh karena itu dapat juga dikatakan,
reaksi dengan struktur keadaan transisi yang lebih stabil adalah reaksi yang
lebih cepat. Konsep ini bermanfaat dalam menganalisis reaksi-reaksi yang
bersaing, untuk menentukan mana reaksi yang menang.

1F. Pengaruh struktur pada laju

Kinetika reaksi memberikan suatu cara yang berharga untuk memeriksa efek-efek
struktur terhadap reaktivitas. Perhatikan dua reaksi berikut.

(1) OH- + CH3Br CH3OH + Br-


bromometana Metanol

Suatu metil halida

(2) OH- + CH3CH2Br CH3CH2OH + Br-


bromometana etanol

suatu alkil bromida primer

keduanya reaksi SN2 dan keduanya menghasilkan alkohol. Kedua reaksi itu hanya
berbeda dalam bagian alkil dari alkil halida. Perbedaan dalam gugus alkil ini
mempengaruhi laju reaksi SN2 atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, laju
kedua reaksi itu diukur pada kondisi reaksi yang sama (pelarut, konsentrasi dan
temperatur sama). Kemudian atau kedua tetapan laju (k1 dan k2) ditetapkan atau,
lebih lazim, laju relatif ditetapkan.

Dalam suatu studi dijumpai bahwa bromometana bereaksi 30 kali lebih cepat
daripada bromometana. (jika reaksi bromoetana perlu satu jam untuk selesai
separuh, maka reaksi bromometana hanya memerlukan 1/30 kalinya, atau 2 menit,
untuk menyelesaikan separuh reaksi). Dapat di simpulkan bahwa memang beda
yang besar antara gugus etil dan metil dalam mempengaruhi laju reaksi. Dalam
cara serupa, laju relative anekaragaman reaksi S N2 dari alkil halida telah
ditetapkan. Tabel dibawah ini menunjukkan laju relatif rata-rata (dibandingkan
etil halida) dari reaksi SN2 sejumlah alkil halida,

Tabel laju relatif rata-rata beberapa alkil halida dalam reaksi S N2 yang lazim

Alkil halida Laju relative


CH3X 30
CH3CH2X 1
CH3CH2CH2X 0,4
CH3CH2CH2CH2X 0,4
(CH3)2CHX 0,025
(CH3)3CX 0

1G. Rintangan sterik dalam reaksi SN2

Dalam SN2 alkil halida yang dipaparkan dalam tabel diatas, metil halida
menunjukkan laju tertinggi, diikuti oleh alkil halida primer, kemudian alkil halida
sekunder. Alkil halida tersier tidak bereaksi SN2 :
Dengan bertambahnya jumlah gugus alkil yang terikat pada karbon ujung (CH3X
1O 2O 3O), keadaan transisinya bertambah berjejal dengan atom. Perhatikan
contoh berikut dari reaksi alkil bromide dengan ion metoksida (CH 3O-) sebagai
nukleofil (CH3O- + RBr CH3OR + Br-). Jejalan ruang dalam struktur-struktur
disebut rintangan sterik (steric hindrance). Bila gugus-gugus besar berjejalan
dalam suatu ruang sempit, tolak menolak antara gugus bertambah parah dan
karena itu energi sistem tinggi. Dalam suatu reaksi S N2 energi suatu keadaan
transisi yang berjejal lebih tinggi daripada energi keadaan transisi dengan
rintangan sterik rendah. Karena inilah maka laju reaksi makin menurun dalam
deret metil, primer, sekunder, dan tersier. Energi keadaan transisi S N2 dari suatu
alkil halida tersier begitu tinggi relatif terhadap jalan-jalan reaksi lain yang
mungkin, sehingga reaksi SN2 tidak berjalan.
2. Reaksi SN1

Karena rintangan sterik, t-butil bromide dan alkil halida tersier lain tidak bereaksi
secara SN2. Namun, bila t-butil bromide direaksikan dengan suatu nukleofil yang
berupa basa yang sangat lemah (seperti H2O atau CH3CH2OH), terbentuk produk
substitusi, Bersama-sama dengan produk eliminasi. Karena H 2O atau CH3CH2OH
juga digunakan sebagai pelarut, tipe reaksi substitusi ini kadang-kadang disebut
reaksi solvolisis (solvent dan lysis, penguraian oleh pelarut).

Jika alkil halida tersier tak dapat bereaksi secara S N2, bagaimana produk subsitusi
itu terbentuk? Ternyata alkil halida tersier mengalami substitusi dengan suatu
mekanisme yang berlainan, yang disebut reaksi SN1 (substitusi, nukleofilik,
unimolekular). Hasil eksperimen yang diperoleh dalam reaksi S N1 cukup berbeda
dari hasil dalam reaksi SN2. Secara khas jika suatu enantiomer murni dari suatu
alkil halida yang mengandung karbon C-X yang kiral, mengalami suatu reaksi
SN1, maka akan diperoleh substitusi rasemik (bukan produk inversi seperti yang
diperoleh dalam reaksi SN2). Juga disimpulkan bahwa pada umumnya pengaruh
konsentrasi nukleofil pada laju keseluruhan reaksi S N1 sangat kecil (kontras
dengan reaksi SN2, Dimana laju berbanding lurus dengan konsentrasi nukleofil).
Untuk menerangkan hasil eksperimen ini, akan dibahas mekanisme reaksi S N1
dengan menggunakan t-butil bromide dan air. Untuk sementara produk eliminasi
diabaikan dulu.

2A. Mekanisme SN1

Reaksi SN1 adalah reaksi ion. Mekanismenya kompleks karena adanya antaraksi
antara molekul pelarut, molekul RX, dan ion-ion antara yang terbentuk. Atas
alasan ini, mekanisme yang kita paparkan disini agak diidealkan.

Reaksi SN1 suatu alkil halida tersier adalah reaksi bertahap (stepwise reaction).
Tahap pertama berupa pematahan alkil halide menjadi sepasang ion , ion halida
dan suatu karbokation, suatu ion dalam mana atom karbon mengemban suatu
muatan positif. Karena reaksi S N1 melibatkan ionisasi, reaksi-reaksi ini dibantu
oleh pelarut polar, seperti H2O, yang dapat menstabilkan ion dengan cara solvasi
(solvation).

Tahap 2 adalah penggabungan karbokation itu dengan nukleofil (H 2O),


menghasilkan produk awal, suatu alkohol berproton (protonated).
Tahap terakhir dalam deret ini ialah lepasnya H + dari dalam alkohol berproton
tadi, dalam suatu reaksi asam basa yang cepat dan reversibel, dengan pelarut.

Jadi reaksi keseluruhan t-butil bromide dengan air sebenarnya terdiri dari dua
reaksi yang terpisah. Reaksi SN1 (ionisasi yang diikuti oleh kombinasi dengan
nukleofi) dan suatu reaksi asam basa. Tahap-tahap ini dapat diringkaskan sebagai
berikut :
Gambar 5.5 Diagram Energi Untuk suatu Reaksi SN1 yang Lazim
Perhatikan diagram energi untuk suatu reaksi SN1 (gambar 5.5). Tahap 1 (ionisasi)
secara khas mempunyai Eakt tinggi, inilah tahap lambat dalam proses keseluruhan.
Harus tersedia cukup energi agar alkil halide tersier mematahkan ikatan sigma C-
X dan menghasilkan karbon kation serta ion halida. Karbon kation itu adalah zat-
antara (intermediate) dalam reaksi ini, suatu struktur yang terbentuk dalam reaksi
dan bereaksi lebih lanjut dan menghasilkan produk. Suatu zat antara bukanlah
keadaan transisi. Zat antara mempunyai usia tak hingaa (finite), sedangkan
keadaan transisi tidak. Pada keadaan transisi, molekul mengalami pematahan
ikatan dan pembentukan ikatan. Energi potensial suatu keadaan transisi
merupakan titik Puncak dalam suatu kurva energi potensial. Sebaliknya, zat antara
adalah suatu produk sementara yang reaktif. Pematahan ikatan atau pembentukan
ikatan tidak sedang berlangsung di dalam suatu zat antara. Energi suatu zat antara
lebih rendah dari pada energi keadaan-keadaan transisi yang mengapitnya, tetapi
energi ini lebih tinggi dari pada energi produk-produk akhir. Diagram energi
dalam garmbar 5.5 menunjukan suatu sumur untuk pembentukan karbon kation,
sumur ini tidak dalam keadaan karbon kation adalah spesi reaktif berenergi-tinggi.
Tahap 2 dalam deret reaksi energi S N1 berupa reaksi antara karbokation dengan
neukleofil. Keduanya bereaksi dengan Eakt rendah, jadi suatu reaksi yang cepat.

2B. Stereokimia untuk suatu reaksi SN1

Suatu karbokation (juga disebut ion karbonium) adalah sebuah atom karbon,
yang mengikat hanya 3 gugus, tidak empat seperti biasanya. Karena hanya tiga
gugus, maka ikatan ke gugus-gugus ini terletak dalam sebuah bidang, dan sudut
yang diapit oleh dua ikatan sekitar 120O. Untuk mencapai geometri ini, karbon
positif berhibridasi -sp2 dan memiliki orbital p yang kosong.

Perhatikan reaksi SN1 dari suatu alkil halida kiral. Bila suatu enantiomer 3-kloro-
3,7-dimetiloktana dihangatkan dengan aseton berair, halida itu akan mengalami
solvalisis menjadi 3,7-dimetiloktanal yang kebanyakan telah terasemisasi.
Mekanisme SN1 dapat digunakan untuk menjelaskan rasemisasi ini. Tahap
pertama adalah pengionan menjadi suatu karbokation dan suatu ion halida.

Dalam tahap kedua, H2O menyerang karbokation itu untuk membentuk dua
alkohol berproton. (Kita tunjukkan alkohol itu setelah hilangnya proton
dalam persamaan-persamaan berikut). Jika pengionan molekul alkil halida itu
lengkap, molekul H2O dapat menyerang orbital p yang kosong dari arah atas,
seperti telah kita tunjukkan strukturnya, dan karbokation itu menghasilkan (R)-
enantiomer alkohol itu. Tetapi molekul H2O itu dapat juga menyerang dari arah
bawah, dengan menghasilkan (S)-enantiomernya. Karena serangan dapat dari
masing-masing sisi, dapatlah terjadi resamisasi.
2C. Laju suatu reaksi SN1

Telah disebut diatas bahwa laju reaksi khas S N1 tidak bergantung pada konsentrasi
nukleofil, tetapi hanya bergantung pada konsentrasi alkil halida.

Laju SN1 = k[RX]

ini disebabkan oleh sangat cepatnya.reaksi antara R+ dan Nu:- Tetapi konsentrasi
R+ sangat kecil. Kombinasi cepat natara R+ dan Nu:- hanya terjadi bila karbokation
itu terbentuk. Oleh karena itu laju keseluruh reaksi. Ditentukan seluruhnya oleh
kecepatan RX berionisasi dan membentuk karbokation R + Tahap ionisasi ini
(Tahap 1 dalam reaksi keseluruhan) disebut tahap penentu laju (rate
determining) atau tahap pembatas laju (rate limiting) . Dalam reaksi bertahap
apa saja, tahap paling lambat dalam deret keseluruhan adalah menentukan laju.
Suatu reaksi SN1 bersifat order pertama (first order) dalam laju karena laju itu
berbanding lurus dengan hanya konsntrasi suatu pereaksi (RX). Reaksi ini adalah
reaksi uni-molekuler. Karena hanya 1 partikel (RX) yang terlibat dalam keadaan
transisi tahap penentu laju (angka “1” dalam SN1 merujuk ke Unimolekuler).

D. Reaktivitas relatif dalam reaksi SN1

Tabel 5.3 mendaftar laju relative reaksi beberapa alkil bromide S N1 yang lazim
(solvolisis dalam air). Perhatikan bahwa alkil halida mengalami substitusi 11,6
kali lebih cepat untuk suatu alkil halida primer pada kondisi seperti ini, sedangkan
suatu alkil halida tersier bereaksi 1juta kali lebih cepat daripada suatu halida
primer.
Laju reaksi SN1 dari berbagai alkil halida tergantung pada energi pengaktifan
relatif yang mengakibatkan terbentuknya karbokation yang berlainan. Dalam
reaksi ini, energi keadaan transisi yang akan menghasilkan karbokation itu
Sebagian besar ditentukan oleh kestabilan karbokation itu, yang telah setengah
terbentuk dalam keadaan transisi. Dikatakan bahwa keadaan transisi itu
mempunyai karakter karbokation. Oleh karena itu, maka yang menghasilkan
karbokation berenergi rendah dan stabil, akan berjalan dengan laju yang tinggi.
Alkil halida tersier menghasilkan suatu karbokation yang lebih stabil daripada
karbokation yang berasal dari suatu metil halida atau alkil halida primer. Jadi
reaksi ini mempunyai laju yang tinggi.

2E. Stabilitas karbokation

Karbokation tidak stabil dan dengan cepat bereaksi lebih lanjut. Meskipun
demikian masih mungkin membahas stabilitas relatif karbokation. Tipe-tipe
karbokation yang tersangkut dalam pembahasan disini ialah kation metil
(karbokation yang dihasilkan oleh ionisasi metil halida), karbokation primer
( dari alkil halida primer), karbokation sekunder (alkil halida sekunder), dan
karbokation tersier (dari alkil halida tersier ). Berikut ini contohnya :
Apa yang meningkatkan stabilitas atom karbon yang bermuatan positif ?
jawabannya ialah apa saja yang dapat menyebarkan muatan positif itu. Dalam
kation alkil, gejala utama yang mendispersikan muatan positif ialah efek
induktif , suatu istilah untuk menggambarkan polarisasi ikatan oleh suatu atom
elektronegatif atau elektropositif didekat ikatan itu. Rapatan elektron dari ikatan-
ikatan sigma digeser kearah karbon positif. Untuk menunjukan arah tarikan ini
digunakan anak panah sebagai ganti ikatan garis.

Geseran rapatan elektron ini menciptakan muatan positif parsial (sebagai) pada
atom yang berdekatan. Muatan positif parsial ini selanjutnya mempolarisasi
ikatan-ikatan sigma berikutnya. Dengan cara ini muatan positif karbokation agak
disebar, dan Karbokation itu terstabilkan sekedarnya.

Gugus alkil mengandung lebih banyak atom dan elektron dari pada sebuah atom
hidrogen. Makin banyak gugus alkil terikat pada atom karbon bermuatan positif,
berarti makin banyak atom yang dapat membantu membagi muatan positif itu dan
membantu menstabilkan karbokation. Karena kekurangan penstabilan, biasanya
metil halida dan alkil halida primer tidak membentuk karbokation.
Faktor lain yang mungkin meningkatkan kestabilan karbokation tersier ialah
bantuan sterik (steric assistance). Tolak-menolak antara gugus-gugus dalam
suatu alkil halida menambah energi pada molekul netral. Oleh karena itu energi
keadaan-dasar suatu alkil halida. Tersier lebih tinggi daripada alkil halida primer
dan sekunder padanannya. Gugus-gugus yang terikat pada karbon ujung akan
terpisah lebih jauh dalm karbonkation yang datar itu, daripada alkil halida,
sehingga tolak-menolak akan diminimalkan. Akibat lebih tingginya energi
keadaan dasar (dari) RX, yang disebabkan oleh rintangan-sterik ini, ialah
diperlukannya hanya sedikit energi tambahan oleh RX untuk membentuk suatu
karbokation.

Suatu teori lain yang diusulkan untuk menerangkan kestabilan relatif karbokation,
ialah hiperkonjugasi (hyperconjugation), tumpang tindih parsial antara suatu
orbital sp3-s (suatu ikatan C-H) dengan orbital p kosong dari karbon bermuatan
positif.

Sebuah kation etil hanya mempunyai tiga ikatan C-H yang dapat saling menindih
dengan orbital p kosong, sedangkan kation t-butil mempunyai Sembilan ikatan C-
H yang dapat membantu menyebarkan muatan positif dengan cara ini. Oleh
karena itu, suatu karbokation tersier distabilkan oleh penyebarannya yang lebih
besar dari muatan positif itu.

2F. Penataan ulang karbokation

Alkil bromida sekunder berikut ini dapat mengalami reaksi pelarutan dengan
methanol. Namun disamping produk yang diharapkan, dijumpai pula produk
substitusi yang kedua (Rendemen total produk substitusi tidaklah 100% karena
terbentuk juga alkena.)

Perhatikan lebih cermat karbokation sebagai zat-antara dalam reaksi ini.


Karbokation yang diharapkan ialah suatu karbokation sekunder .

Suatu karbokation sekunder mempunyai energi yang kira-kira 11 kkal/mol lebih


besar daripada suatu karbokation tersier. Energi karbokation khusus ini dapat
diturunkan bila sebuah gugus metil Bersama elektron-elektron pengikatnya pindah
dari atom karbon di dekat karbon positif. Hasilnya ialah penataan ulang
karbokation sekunder menjadi karbokation tersier yang lebih stabil.
Menggesernya sebuah atom atau gugus dari suatu karbon ke karbon lain di
dekatnya disebut geseran-1,2 (1,2-shift; angka 1 dan 2 di sini tak bersangkut paut
dengan nomor menurut tatanama; angka ini sekedar merujuk ke karbon positif dan
karbon didampingnya). Geseran-1,2 sebuah gugus metil disebut geseran metil
atau geseran metida (kadang-kadang digunakan akhiran -ida karena - :CH3 adalah
suatu anion; namun geseran-1,2 adalah suatu tahap reaksi serempak dan
sebetulnya tidak benar2 terbentuk anion metida). Adanya karbokation sekunder
dan primer dalam larutan menghasilkan kedua produk yang teramati itu, yakni
produk “normal” dan produk penataan ulang (rearrangement product) suatu
produk yang dimana kerangka atau posisi gugus fungsional berada dari
kerangka/posisi dalam bahan awalnya.

Jika sebuah gugus alkil, sebuah gugus aril atau sebuah atom hidrogen (masing-
masing dengan elektron ikatannya) pada suatu atom karbon didamping karbon
yang dapat bergeser dan dengan demikian menghasilkan suatu karbokation yang
lebih stabil, maka suatu penataan ulang dapat terjadi. Penataan ulang juga dapat
terjadi bila, sepasang karbokation memiliki kestabilan yang setara. Sejauh mana
penataan ulang akan dijumpai dalam suatu reaksi sering sukar untuk diramalkan ,
karena bergantung pada sejumlah faktor, termasuk kestabilan relatif karbokation-
karbokation tersebut dan kondisi reaksi (pelarut, dan sebagainya). Penataan ulang
berikut ini menggambarkan geseran – geseran-1,2 dan pembentukan karbokation-
karbokation yang lebih stabil.
PENUTUP

KESIMPULAN

Reaksi substitusi alkil halida dengan nukleofil dapat terjadi oleh suatu jalur S N1
atau suatu jalur SN2. Metil halida, alkil halida primer dan sekunder terutama
bereaksi dengan jalur SN2, seperti ditunjukan dalam laju reaksi SN2 meningkat
dengan bertambahnya nukleofilisitas spesies penyerang. Nukleofil yang lazim
baikna adalah -OH, -OR, dan -CN.

Rintangan yang meningkat disekitar karbon yang terhalogenkan mengurangi laju


reaksi SN2. Alkil halida tersier terlalu terintangi untuk menjalani reaksi dengan
jalur SN2, namun dapat menjalani reaksi dengan suatu jalur S N1 (lewat suatu
karbokation antara) dengan suatu nukleofil seperti H 2O atau ROH. metil halida
dan alkil halida primer sama sekali tidak mengalami reaksi S N1; alkil halida
sekunder bereaksi lambat dengan jalur ini.

Daftar Pustaka

Fessender . 1982 . Kimia Organik Edisi Ketiga . Jakarta : Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai