Disusun Oleh:
Wa Ode Dzayumrih, S.Ked.
K1B1 22 021
Pembimbing:
Telah menyelesaikan tugas Laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 23 tahun
Tanggal Lahir : 29 November 1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Raha
Agama : Islam
Pekerjaan : supir truk
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal Masuk : 22-05-2023
No. RM : 1068xx
DPJP : dr. Mario pollo
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama: Nyeri bahu kanan
2. Riwayat penyakit sekarang:
nyeri bahu sebelah kanan di rasakan sejak 3 bulan yang lalu dari
bulan februari 2023, keluhan di rasakan setelah terjatuh dari tangga
setinggi 2 meter saat hendak membersihkan sarang laba laba di kamar
mandi, saat hendak turun. Pasien terpeset dan terjatuh bahu pasien
mengenai bak di kamar mandi, posisi pasien saat terjatuh sisi tubuh kanan
pasien.
Nyeri pada bahu (+) di rasakan sempat membaik saat di urut
namun tidka lama nyeri nya muncul lagi. Nyeri pada bahu menjala
hinggan lengan pasien. Riwayat kehiangan kesadaran (-),Riwayat muntah
(-) keluar darah dari hindung, mulut dan telinga (-) keluhan nyeri di
tempat lain (-) riwayat alergi (-) riwayat pengobatan (-) riwayat penyakit
penyerta (-)
PRIMARY SURVEY
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
1. Airway and cervical control
Jalan napas bebas
Tampak pengembangan dinding dada, terasa hembusan napas, tidak
terdengar suara napas tambahan
Tampak tonjolan pada bahu kanan
2. Breathing
Frekuensi pernapasan: 20x/menit
Saturasi Oksigen : 98% udara ruang
Inspeksi: Pengembangan dinding dada asimetris, tampak tonjolan pada
bahu kanan, tak tampak jejas pada thorax, distensi vena jungular (-)
Palpasi: Vocal fremitus normal, nyeri tekan (+), krepitasi (-), defiasi
trachea (-)
Perkusi: sonor
Auskultasi:
Bunyi pernapasan dasar vesikuler (+/+)
Bunyi pernapasan tambahan Wheezing (-/-), ronchi (-/-)
3. Circulation
Tekanan darah: 100/70 mmHg
Nadi: 95x/menit, reguler, kuat angkat
Perdarahan aktif (-)
Akral teraba hangat
Konjungtiva anemis (-)
CRT < 2 detik
4. Disability
Kesadaran: Compos mentis (GCS: E4V5M6)
Diameter pupil ± 2mm, isokor
N ∨N
Fungsi motorik:
N ∨N
5. Exposure
Suhu: 36.6º C
Tak tampak jejas di area lain
C. SECONDARY SURVEI
Pemeriksaan Head to Toe
Kepala Normocephal, deformitas (-), hematom (-)
Thorax Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris,
Palpasi : Vocal fremitus normal, nyeri tekan (-), krepitasi
(-)
Perkusi : sonor
Auskultasi :
Bunyi pernapasan dasar vesikuler (+/+)
Bunyi pernapasan tambahan Wheezing (-/-),
ronchi (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba di linea midcalicularis sinistra-
ICS V, thrill (-)
Perkusi : Batas batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, mur-mur (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, jejas (-)
Auskultasi: Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Tympani (+)
Ekstremitas Inspeksi : Jejas (-), deformitas (-)
Palpasi : akral teraba hangat, CRT <2 detik, motorik dbn,
NVD dbn
ROM: dbn
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin (07/03/2023)
Item Hasil Satuan Nilai rujukan
WBC 25.24 (H) 10^3/µL 4.0-10.0
RBC 5.35 10^6/µL 4.0-6.0
PLT 176 10^3/µL 150400
Hb 15.6 g/dl 12.0-16.0
Hct 44.1 % 37.0-48.0
MCV 82.4 fL 80.0-97.0
MCH 29.2 pg 26.5-33.5
MCHC 35.4 (H) d/dl 31.5-35.0
E. RESUME
Pasien laki-laki berusia 26 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak
yang dirasakan sejak ± 2 jam SMRS setelah mengalami kecelakaan lalulintas.
pasien sedang mengendarai motor dengan kecepatan sedang, menggunakan
helem, kemudian mobil di depannya tiba tiba melambat dan berbelok sehingga
pasien menabrak mobil dari arah belakang, dada pasien membentur stang
motor dan kepala pasien membentur bagian belakang mobil, kemudian pasien
terjatuh ke arah kiri dengan bahu kiri mendarat terlebih dahulu. Sesak
dirasakan terus menerus, tidak dipengaruhi posisi, nyeri dirasakan pada dada
sebelah kiri menjalar hingga ke leher dan bahu kiri, ada riwayat kehilangan
kesadaran selama ± 10 menit, ada riwayat muntah, frekuensi 1 kali, berisi
makanan
pada pemeriksaan fisis didapatkan, frekuensi napas 26x/menit, saturasi
oksigen 92% dengan udara ruang, pengembangan dinding dada asimetris,
hemithorax kiri tertinggal, vocal fremitus menurun pada hemithorax kiri,
perkusi hipersonor pada hemithorax kiri, auskultasi bunyi pernapasan
menghilang pada hemithorax kiri
Pada pemeriksaan darah rutin di dapatkan leukositosis (25.24 x 10^3/µL),
pada pemeriksaan x-ray thorax tampak AP didapatkan kesan pneumothorax
kiri
F. DIAGNOSIS
Fraktur clavicula dextra
G. TERAPI
Non-farmakologi
o IVFD RL 18 tpm
Farmakologi
o Ceftriaxone vial 1g/ 12jam/ IV
o Ketorolac amp 30mg/ 8jam/ IV
o Ranitidin amp 50mg/ 12jam/ IV
Operatif
o Orif
H. FOLLOW UP
Hari / Tgl Perjalanan Penyakit Rencana
Rabu S :. Nyeri bahu kanan 1. Non Farmakologi
O: - Terapi O2 via nasal kanul 4 lpm
23/05/2023
KU: sakit sedang - IVFD RL 20 tpm
A : Pneumothorax
sinistra on WSD, POH
0
Kamis S :. Sesak berkurang, 1. Non Farmakologi
9/03/2023 nyeri daerah - Terapi O2 via nasal kanul 4 lpm
pemasangan WSD
- Latihan pernapasan dengan
O:
meniup balon
KU: lemah
2. Farmakologi
GCS : E4V5M6
- Ciprofloxacin 200mg/ 12 jam/
TD :110/70 mmHg
PO
N : 85 x/ menit - Na-Diclofenac 50mg/ 12 jam/ PO
P : 20 x/ menit - Becom-C 1 tab/ 24 jam/ PO
S : 36.1ºC
SpO2: 100%
Thorax: Perkusi
hipersonor pada
hemithorax kiri,
auskultasi bunyi
pernapasan menurun
pada hemithorax kiri,
WSD undulasi (+)
A : Pneumothorax
sinistra on WSD, POH2
A : Pneumothorax
sinistra on WSD, POH3
A : Pneumothorax
sinistra on WSD, POH6
SpO2: 99%
Thorax: Perkusi sonor
(+/+), auskultasi bunyi
pernapasan vesikuler
(+/+)
A : post WSD,
Pneumothorax sinistra
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Trauma toraks menyumbang sekitar 25% kematian terkait trauma,
dengan persntase sebesar 40-50% dari pasien ini cenderung memiliki
pneumothorax (PTX). Mengingat komplikasi dan risiko morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan PTX, kecurigaan klinis dini, diagnosis, dan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat merupakan hal yang krusial (1).
Istilah 'Pneumothorax' merupakan istilah yang menjelaskan kondisi
adanya udara di dalam cavum pleura. Etiologinya beragam, dan spektrum
keparahannya dapat berkisar dari kondisi self-limiitng hingga kondisi yang
mengancam nyawa. Diagnosis PTX umumnya ditegakkan dengan
pemeriksaan radiologis (2).
Pneumothorax dapat diklasifikasikan menjadi spontan dan
traumatik. Pneumothorax spontan terjadi tanpa riwayat trauma, pada orang
dengan atau tanpa penyakit pernapasan yang mendasarinya, dan
selanjutnya diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder. Pneumothorax
spontan primer terjadi pada orang muda, bugar, dan sehat tanpa penyakit
paru-paru yang diketahui, sedangkan pneumothorax spontan sekunder
adalah komplikasi dari kondisi patologis pada paru-paru yang
mendasarinya (misalnya, penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis kistik,
penyakit paru interstisial, dll.). Morbiditas dari pneumothorax secara
signifikan lebih besar pada pasien dengan penyakit paru yang sudah ada
sebelumnya, dan penanganannya berpotensi lebih sulit (2).
Pneumothorax traumatik terjadi akibat cedera langsung atau tidak
langsung pada dada, dan selanjutnya disubklasifikasikan sebagai
iatrogenik atau noniatrogenik. Dapat pula diklasifikasikan menjadi
pneumothoras traumatik akibat trauma tajam atau trauma tumpul (dari
kecelakaan lalu lintas, tembakan, patah tulang rusuk yang menusuk paru-
paru, dll.). Pneumothorax dapat bermanifestasi asimtomatik, dan dapat
ditemukan hanya secara kebetulan pada pemeriksaan radiologi thorax.
Seringkali PTX bermanifestasi sebagai kondisi kombinasi nyeri dada,
dispnea, batuk dan/atau gejala lainnya, tergantung pada penyebab dan
keadaan umum masing-masing kasus. Bentuk ekstrim dari PTX adalah
tension pneumothorax, di mana tekanan intrapleural melebihi tekanan
atmosfer selama siklus pernapasan. Tekanan yang terus meningkat di
cavum pleura mengganggu fungsi pernapasan dan sirkulasi yang
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik progresif yang bahkan dapat
menyebabkan kematian jika tidak segera didiagnosis dan ditatalaksanai
(2).
B. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah gangguan atau terputusnya
kontinuitas dari struktur tulang. Fraktur tertutup adalah bila tidak ada
hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen
tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi7. Fraktur clavicula adalah terputusnya hubungan tulang clavicula
yang disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada posisi
lengan terputus atau tertarik keluar (outstretched hand) karena trauma
berlanjut dari pergelangan tangan sampai clavicula. Close fraktur clavicula
adalah gangguan atau terputusnya hubungan tulang clavicula yang
disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan
terputus atau tertarik keluar (outstretched hand) yang tidak ada hubungan
patah tulang dengan dunia luar7.
C. Anatomi dan Fisiologi
Sistem musculoskeletal tersusun dari tulang, kartilago, sendi,
bursa, ligamen dan tendon. Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya
dapat berubah sebagai akibat tekanan yang dialaminya. Tulang selalu
diperbaharui dengan pembentukan tulang baru dan resorpsi. Tulang
bersifat keras karena matriks ekstraselulernya mengalami kalsifikasi, dan
mempunyai derajat elastisitas tertentu akibat adanya serabut-serabut
organik. Tulang terdiri atas dua bentuk tulang kompakta dan tulang
spongiosa. Tulang kompakta tampak sebagai massa yang padat; tulang
spongiosa terdiri atas anyaman trabekula.1 Kartilago normal ditemukan
pada sendi, tulang rusuk, telinga, hidung, diskus intervertebra dan
tenggorokan. Kartilago tersusun darisel (kondrosit dan kondroblast) dan
matriks. Kondroblas dan kondrosit memproduksi dan mempertahankan
matriks. Matriks terdiri dari elemen fibrous dan substansi dasar. Matriks
ini kuat dan solid tetapi lentur. Kartilago merupakan bentuk jaringan ikat
yang sel-sel dan serabut-serabutnya tertanam di dalam matriks yang
berbentuk seperti agar. Matriks bertanggung jawab atas kekuatan dan 10
kekenyalan tulang rawan.
Proses pembentukan tulang disebut osifikasi (ossi = tulang, fikasi =
pembuatan) atau disebut juga osteogenesis. Semua tulang berasal dari
mesenkim, tetapi dibentuk melalui dua cara yang berbeda. Tulang
berkembang melalui dua cara, baik dengan mengganti mesenkim atau
dengan mengganti tulang rawan. Susunan histologist tulang selalu bersifat
sama, baik tulang itu berasal dari selaput atau dari tulang rawan.
a) Osifikasi Membranosa
Osifikasi membranosa adalah osifikasi yang lebih sederhana
diantara dua cara pembentukan tulang. Tulang pipih pada tulang
tengkorak, sebagian tulang wajah, mandibula, dan bagian medial
dari klavikula dibentuk dengan cara ini. Juga bagian lembut yang
membantu tengkorak bayi dapat melewati jalan lahirnya yang
kemudian mengeras dengan cara osifikasi membranosa.
b) Osifikasi Endokondral
Pembentukan tulang ini adalah bentuk kartilago yang terjadi pada
masa fetal dari mesenkim lalu diganti dengan tulang pada sebagian
besar jenis tulang. Pusat pembentukan tulang yang ditemukan pada
corpus disebut diafisis, sedangkan pusat pada ujung-ujung tulang
disebut epifisis. Lempeng rawan pada masing-masing ujung, yang
terletak di antara epifisis dan diafisis pada tulang yang sedang
tumbuh disebut lempeng epifisis. Metafisis merupakan bagian
diafisis yang berbatasan dengan lempeng epifisis. Penutupan dari
ujung-ujung tulang atau dikenal dengan epifise line rerata sampai
usia 21 tahun, hal tersebut karena pusat kalsifikasi pada epifise line
akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada setiap
tulang.
a. Tulang Panjang
Tulang panjang (misalanya femur, humerus) bentuknya
silindris dan berukuran panjang, seperti batang (diafisis) tersusun
atas tulang kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat
(epifisis) tersusun atas tulang kanselus. Bagian luar tulang panjang
dilapisi jaringan fiberosa kuat yang disebut dengan periosteum.
Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang menembus tulang.
b. Tulang pendek
Tulang pendek (misalnya falang, karpal) bentuknya hampir
sama dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil
daripada bagian proksimal, serta berukuran pendek dan kecil.
c. Tulang pipih
Tulang pipih (misalanya sternum, kepala, skapula,
panggul) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah, dan
melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih terdiri
atas dua lapisan tulang kompakta dan bagian tengahnya terdapat
lapisan spongiosa. Tulang ini dilapisi oleh periosteum yang
dilewati oleh dua kelompok pembuluh darah menembus tulang
untuk menyuplai tulang kompakta dan tulang spongiosa.8
Gambar klavicula
Tulang klavikula terletak persis dibawah kulit dan
mudah diraba sepanjang strukturnya. Dari ujung sternum,
tulang mula- mula melengkung kedepan, kemudian
kebelakang. Tulang tersebut mempertahankan posisi
scapula dan bila tulang ini patah, bahu jatuh kedepan dan
kebawah. Klavikula merupakan satu- satunya tulang yang
menghubungkan tulang-tulang ekstremitas atas dengan
rangka aksila karena scapula tidak berartikulasi dengan iga
maupun kolumna vertebralis. Klavikula tidak ditemukan
pada rangka kebanyakan hewan berkaki empat, karena
klavikula hanya diperlukan untuk memfiksasi scapula bila
ekstremitas digerakkan keluar menjauhi batang badan
D. Epidemiologi
Pneumotoraks spontan primer terutama terjadi pada usia 20-30
tahun. Insiden PSP di Amerika Serikat adalah 7 per 100.000 pria dan 1 per
100.000 wanita per tahun. Kebanyakan kekambuhan terjadi dalam tahun
pertama, dan kejadian berkisar dari 25% sampai 50%. Tingkat
kekambuhan tertinggi selama 30 hari pertama (3).
Pneumotoraks spontan sekunder lebih banyak terlihat pada pasien
usia lanjut 60-65 tahun. Insiden SSP masing-masing adalah 6,3 dan 2
kasus untuk pria dan wanita per 100.000 pasien. Rasio laki-perempuan
adalah 3:1. PPOK memiliki insidensi 26 pneumotoraks per 100.000
pasien. Risiko pneumotoraks spontan pada perokok berat adalah 102 kali
lebih tinggi daripada bukan perokok (3).
Penyebab utama pneumotoraks iatrogenik adalah aspirasi jarum
transthoracic (biasanya untuk biopsi), dan penyebab utama kedua adalah
kateterisasi vena sentral. Ini terjadi lebih sering daripada pneumotoraks
spontan, dan jumlahnya meningkat seiring kemajuan modalitas perawatan
intensif. Insiden pneumotoraks iatrogenik adalah 5 per 10.000 rawat inap
di rumah sakit (3).
Insiden tension pneumotoraks sulit ditentukan karena sepertiga
kasus di pusat trauma menjalani torakostomi jarum dekompresi sebelum
mencapai rumah sakit, dan tidak semuanya mengalami tension
pneumotoraks (3).
E. Etiologi
Istilah 'Pneumothorax' merupakan istilah yang menjelaskan kondisi
adanya udara di dalam cavum pleura. Etiologi pneumothorax beragam,
dan spektrum keparahannya dapat berkisar dari kondisi self-limiitng
hingga kondisi yang mengancam nyawa (2,3).
Faktor risiko pneumotoraks spontan primer
o Merokok
o Habitus tubuh kurus tinggi pada orang yang sehat
o Kehamilan
o Sindrom Marfan
o Pneumotoraks familial
Etiologi yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan sekunder
o COPD
o Asma
o HIV dengan pneumonia pneumocystik
o Pneumonia nekrotikan
o TBC
o Sarkoidosis
o Fibrosis kistik
o Karsinoma bronkogenik
o Fibrosis paru idiopatik
o ARDS parah
o Limfangioleiomiomatosis
o Penyakit pembuluh darah kolagen
o Penggunaan narkotika hirup seperti kokain atau mariyuana
o Endometriosis toraks
Etiologi pneumotoraks iatrogenik
o Biopsi pleura
o Biopsi paru transbronkial
o Biopsi nodul paru transthoracic
o Pemasangan kateter vena sentral
o Trakeostomi
o Blok saraf interkostal
o Ventilasi tekanan positif
Etiologi pneumotoraks traumatik
o Trauma tembus atau tumpul
o Fraktur tulang rusuk
o Menyelam atau terbang
Etiologi tension pneumotoraks
o Trauma tembus atau tumpul
o Barotrauma akibat ventilasi tekanan positif
o Trakeostomi perkutan
o Open pneumotoraks
F. Patofisiologi
Secara fisiologis, tekanan dalam ruang pleura adalah negatif
dibandingkan dengan tekanan alveolar selama seluruh siklus pernapasan,
karena daya rekoil elastis paru yang melekat. Tekanan pleura juga negatif
dibanding dengan tekanan atmosfer. Terjadinya hubungan antara alveolus
atau atmosfer dengan rongga pleura memungkinkan udara mengalir ke
dalam rongga pleura sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan antara
alveolus atau atmosfer tersebut ditutup (8).
Tension pneumotoraks adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan secara terus menerus udara yang terperangkap dalam rongga
pleura, akibat pembentukan katup satu arah oleh jaringan yang cedera.
Udara yang terperangkap ini meningkatkan tekanan pada sisi yang terkena,
menyebabkan kolaps paru ipsilateral dan pergeseran mediastinum ke
hemitoraks kontralateral. Kondisi ini menyebabkan gangguan pernapasan,
serta menyebabkan penurunan aliran balik vena sehingga menyebabkan
penurunan curah jantung. Selanjutnya, hipoksia menyebabkan peningkatan
resistensi pembuluh darah paru melalui vasokonstriksi. Henti jantung paru
dapat terjadi. Tension pneumotoraks, dengan demikian, berujung pada
kondisi yang mengancam jiwa (8).
Pecahnya blebs secara spontan dapat menyebabkan pneumotoraks.
Pecahnya blebs disebabkan oleh kondisi perubahan tekanan, seperti yang
terjadi pada awak pesawat atau penyelam scuba. Volume massa tertentu
gas pada suhu konstan berbanding terbalik dengan tekanannya. Volume
udara tertentu pada ketinggian 3050 m, jenuh pada suhu tubuh,
mengembang hingga 1,5 kali volume di permukaan laut. Penyelam scuba
menghirup udara terkompresi yang dialirkan oleh pengatur dan selama
pendakian, karena tekanan sekitar turun dengan cepat, gas di paru-paru
mengembang dan dapat menyebabkan pecahnya blebs (8).
Pneumotoraks spontan sekunder dapat disebabkan oleh pecahnya
blebs yang sudah ada sebelumnya atau karena area dengan porositas yang
meningkat. Misalnya pada kondisi gangguan pada sel mesothelial, area
yang terganggu pada pleura visceral, digantikan oleh lapisan inflamasi
elastofibrotik dengan peningkatan porositas, memungkinkan kebocoran
udara ke dalam rongga pleura (8).
Pneumotoraks catamenial didefinisikan sebagai dua episode
pneumotoraks yang berhubungan dengan onset menstruasi, biasanya
dalam 72 jam. Pneumotoraks catamenial adalah presentasi dari
endometriosis toraks dan toraks adalah tempat yang paling umum dari
endometriosis ekstra panggul. Tiga puluh sembilan persen pasien memiliki
lesi diafragma terkait. Berbagai hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan
patogenesis pneumotoraks terkait endometriosis: ruptur blebs spontan,
pelepasan implan endometrium dari pleura visceral, dan penyeberangan
udara transdiaphragmatic dari saluran genital selama menstruasi. Faktor
risiko yang diketahui terkait dengan endometriosis toraks termasuk operasi
ginekologi sebelumnya (seperti kuretase untuk keguguran, histeroskopi
untuk biopsi endometrium, atau revisi rongga rahim setelah operasi
caesar), infertilitas primer atau sekunder, dan riwayat endometriosis
panggul (8).
Pneumotoraks iatrogenik dapat disebabkan selama aspirasi atau
biopsi jarum transthoracic, kateterisasi vena subklavia atau jugularis,
thoracocentesis, ventilasi mekanis, resusitasi kardiopulmoner, biopsi
trakeobronkial, di antara penyebab yang sering dilaporkan. Penyebab yang
jarang dilaporkan adalah sedot lemak lemak aksila, biopsi hati,
kolonoskopi dan gastroskopi. Pneumotoraks iatrogenik yang berhubungan
dengan ventilasi mekanik telah dilaporkan pada 15% pasien yang
menggunakan ventilasi (8).
Komunikasi antara bronkus dan rongga pleura, yang disebut fistula
bronkopleural, biasanya merupakan komplikasi dari operasi reseksi paru.
Insidensi fistula bronkopleural mencapai 1% setelah lobektomi dan sekitar
4-20% setelah pneumonektomi (8).
G. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada pneumotoraks spontan primer, pasien memiliki gejala
minimal, karena seringkali individu yang sehat dapat mentolerir
manifestasi klinis yang ditimbulkan. Gejala yang paling umum adalah
nyeri dada dan sesak napas. Nyeri dada bersifat pleuritik, tajam, berat,
dan menjalar ke bahu ipsilateral. Pada SSP, dispnea lebih kuat karena
penurunan cadangan paru yang mendasarinya (3).
Riwayat pneumotoraks di masa lalu sangat penting karena
kekambuhan terjadi pada 15-40% kasus. Kekambuhan pada sisi
kontralateral juga dapat terjadi (3).
Pada pemeriksaan fisis, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Ketidaknyamanan pernapasan
Peningkatan laju pernapasan
Ekspansi paru asimetris
Mengurangi fremitus taktil
Catatan perkusi hyperresonant
Penurunan intensitas bunyi nafas atau tidak ada bunyi nafas
Pada tension pneumotoraks, berikut beberpa tanda yang dapat
ditemukan (3):
Takikardia lebih dari 134 denyut per menit
Hipotensi
Distensi vena jugularis
Sianosis
Kegagalan pernapasan
Gagal jantung
Beberapa pneumotoraks traumatik berhubungan dengan emfisema
subkutan. Pneumotoraks mungkin sulit didiagnosis dari pemeriksaan
fisik, terutama di ruang trauma yang bising (3).
2. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi dada, ultrasonografi, atau CT scan dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan rontgen dada lebih sering
dipakai. Pneumotoraks samar dapat didiagnosis dengan CT scan tetapi
biasanya secara klinis tidak signifikan. Extended focused abdominal
sonography for trauma (E-FAST), atau pemeriksaan USG dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pneumothorax namun,
sensitivitasnya dan spesifisitasnya dapat bervariasi, metode diagnostik
ini sangat bergantung pada operator. Di tangan ahli, ultrasonografi
memiliki sensitivitas hingga 94% dan spesifisitas 100% (lebih baik
daripada rontgen dada). Jika seorang pasien dengan hemodinamik
tidak stabil dengan dugaan tension pneumotoraks, tatalksana dapat
segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang.
Dekompresi jarum dapat dilakukan jika pasien secara hemodinamik
tidak stabil berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menunjang diagnosis tension pneumothorax (3).
H. Penatalaksanaan
Manajemen tergantung pada kondisi klinis pada berbagai kasus.
Untuk pasien dengan gejala dan tanda yang menunjukkan ketidakstabilan
hemodinamik, dekompresi jarum merupakan pilihan tatalaksana. Tindakan
ini biasanya dilakukan dengan angiocatheter 14-16-gauge dan panjang 4,5
cm, tepat di atas tulang rusuk di ruang interkostal kedua di garis
midklavikula. Setelah dekompresi jarum atau pneumotoraks stabil,
perawatannya selanjutnya adalah pemasangan chest tube. Tindakan ini
biasanya ditempatkan di atas tulang rusuk di ruang interkostal kelima
anterior garis midaxillary (3).
American College of Chest Physicians merekomendasikan
observasi atau pemasangan chest tube kecil untuk pneumothorax kecil dan
chest tube besar untuk pnaumothorax besar atau bergejala. ATLS edisi ke-
10: menyatakan bahwa "Pneumothorax traumatik apa pun paling baik
ditatalksanai dengan tindakan pemasangan cheest tube." Namun, dikatakan
bahwa seorang dokter dapat memutuskan untuk melakukan observasi
terlebih dahulu. Meskipun efektif, chest tube adalah prosedur invasif yang
berhubungan dengan peningkatan morbiditas, lama tinggal di rumah sakit,
dan komplikasi mulai dari malposisi dan infeksi hingga re-expansion
pulmonary edema (1).
Open pneumothorax mulanya dialkukan tindakan pemasangan
pembalut oklusif tiga sisi. Perawatan lebih lanjut mungkin memerlukan
chest tube dan repair defect dinding dada (3).
Pada pneumotoraks spontan primer kecil tanpa gejala, pasien
biasanya dipulangkan dengan tindak lanjut rawat jalan setelah 2-4 minggu.
Jika pasien menunjukkan gejala atau kedalaman/ukuran lebih dari 2 cm,
dilakukan aspirasi jarum; setelah aspirasi, jika pasien membaik dan
kedalaman sisa kurang dari 2 cm, maka pasien dipulangkan; jika tidak,
pemsangan chest tube dapat dilakukan (3).
Pada pneumotoraks spontan sekunder, jika ukuran/kedalaman
pneumotoraks kurang dari 1 cm dan tidak ada dispnea, pasien dirawat
inap, diberikan oksigen aliran tinggi, dan observasi dilakukan selama 24
jam. Jika ukuran/kedalaman antara 1-2 cm, aspirasi jarum dilakukan, jika
kedalaman setelah aspirasi jarum kurang dari 1 cm, penatalaksanaan
dilakukan dengan inhalasi oksigen dan observasi, dan bila lebih dari 2 cm,
dilakukan pemasangan chest tube (3).
Udara dapat diserap kembali dari rongga pleura dengan laju
1,5%/hari. Pembarian terapi oksigen dapat meningkatkan tingkat
reabsorpsi ini. Dengan meningkatkan fraksi konsentrasi oksigen inspirasi,
nitrogen udara atmosfer dipindahkan, mengubah gradien tekanan antara
udara di rongga pleura dan kapiler. Pneumotoraks pada radiografi dada
sekitar 25% atau lebih besar biasanya membutuhkan pengobatan dengan
aspirasi jarum jika simtomatik, dan jika gagal, maka dilakukan
pemasangan chest tube (3).
Indikasi untuk intervensi bedah (VATS atau torakotomi) (3):
Kebocoran udara terus menerus selama lebih dari tujuh hari
Pneumotoraks bilateral
Episode pertama pada pasien profesi berisiko tinggi, yaitu
Penyelam, pilot
Pneumotoraks ipsilateral berulang
Pneumotoraks kontralateral
Pasien yang mengidap AIDS
I. Komplikasi
Misdiagnosis adalah komplikasi yang sering terjadi pada
pneumotoraks. Berbagai faktor, seperti anamnesis atau pemeriksaan fisik
yang tidak lengkap atau tidak adekuat, indeks kecurigaan klinis yang
rendah, kegagalan untuk mendapatkan rontgen dada, atau kegagalan untuk
mengenali pneumotoraks pada rontgen dada, dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis. Kesalahan diagnosis menyebabkan kegagalan untuk
mengobati pneumotoraks, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
konsekuensi yang mengancam seperti (9):
Konversi menjadi tension pneumotoraks
Gagal Nafas Hipoksemik
Syok
Henti napas
Gagal jantung
Empiema
Edema paru reekspansi
Komplikasi iatrogenik dari dekompresi jarum atau prosedur
torakostomi (pemasangan chest tube) - kegagalan paru untuk
mengembang kembali, laserasi paru, infeksi tempat penyisipan dan
rongga pleura, laserasi pembuluh interkostal atau arteri mammaria
interna, hemotoraks, kebocoran udara persisten, kerusakan pada
bundel neurovaskular interkostal, dll
Aritmia yang diinduksi chest tube
Pneumomediastinum - udara dari pneumotoraks dapat masuk ke
mediastinum. Hal ini dapat divisualisasikan pada rontgen dada
sebagai aliran udara di sekitar jantung. Selain itu, suara berderak
mungkin terdengar selama pemeriksaan jantung. Kondisi ini
disebut Hamman's crunch dan paling baik didengar pada posisi
dekubitus lateral kiri.
J. Prognosis
Penumothorax spontan primer biasanya tidak mengancam nyawa
dan sebagian besar dapat sembuh sendiri tanpa intervensi yang berarti.
Kekambuhan dapat terjadi hingga periode tiga tahun. Tingkat kekambuhan
dalam lima tahun berikutnya adalah 30% untuk PSP dan 43% untuk SSP.
Risiko kekambuhan meningkat dengan setiap pneumotoraks berikutnya.
PSP tidak dianggap sebagai ancaman kesehatan yang signifikan, namun
kematian telah dilaporkan. SSP lebih mematikan tergantung pada penyakit
paru yang mendasari dan ukuran pneumotoraks yang terjadi. Pasien
dengan PPOK dan HIV memiliki angka kematian yang tinggi akibat
pneumotoraks. Mortalitas SSP adalah 10%. Tension pneumotoraks
memiliki dapat mgakibatkan mortalitas tinggi jika tindakan yang tepat
tidak dilakukan. Prognosis pneumotoraks traumatik sangat baik jika tidak
ada cedera lain yang mengancam jiwa.
BAB IV
ANALISIS KASUS
KASUS TEORI
Anamnesis Anamnesis
Pasien laki-laki berusia 26 tahun Mekanisme trauma menjadi dasar awal
datang ke IGD dengan keluhan sesak untuk mendiagnosis penumothorax.
yang dirasakan sejak ± 2 jam SMRS pneumothorax noniatrogenik dan traumatik
Terapi Terapi
Scanlon, V. C., & Sanders, T. (2019). Essentials of anatomy and physiology (8th
ed.). F. A. Davis Company.
Tran, J., Haussner, W., & Shah, K. (2021). Traumatic Pneumothorax: A Review
of Current Diagnostic Practices And Evolving Management. The Journal
of Emergency Medicine, 61(5), 517–528.
https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2021.07.006