Anda di halaman 1dari 4

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan keanekaragaman
tumbuhannya. Berbagai jenis tumbuhan dapat ditemukan di berbagai daerah
yang ada di Indonesia dan terdapat juga beberapa jenis tumbuhan yang hanya
dapat ditemukan di daerah-daerah tertentu, salah satunya yaitu tumbuhan
Pacat (Harpullia arborea). H.arborea merupakan salah satu jenis tumbuhan
endemik yang masih dapat ditemukan di wilayah Kalimantan, Jawa, dan
Sumatera. Wilayah Sumatera yang masih terdapat tumbuhan H. arborea salah
satunya di Provinsi Jambi, tepatnya di daerah Kerinci di Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS). Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan kawasan
hutan hujan tropis dengan berbagai tipe vegetasi yang dikenal memiliki tingkat
keanekaragaman yang sangat tinggi. Jenis tumbuhan khas dengan sebaran
terbatas yang masih dapat ditemukan pada kawasan ini, yaitu Pinus Strain
Kerinci (Pinus merkusii strain kerincii), Pakis Sunsang (Dyera costulata), Bunga
Rafflesia (Rafflesia arnoldi), dan Pacat (Harpullia arborea) (Karyadi dkk., 2018).
H. arborea merupakan salah satu anggota famili Sapindaceae, tumbuhan
ini memiliki ciri khas yaitu memiliki corak seperti alur pada bagian batangnya,
keunikan yang ada pada H. arborea ini menjadikannya memiliki nilai ekonomi
yang tinggi. Corak yang khas pada H. arborea ini menjadi suatu keunikan
dengan struktur yang indah dan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan perabot rumah tangga, ganggang pistol, dan sebagainya. Tingginya
permintaan terhadap ketersediaan kayu pacat menjadikan kayu tumbuhan ini
memiliki harga yang relatif mahal, mengingat jenis kayu pacat hanya dapat
ditemukan di daerah-daerah tertentu, salah satunya di Kerinci (TNKS) Provinsi
Jambi dan sekaligus menjadi komoditi unggulan (Novia, 2018).
Keberadaan H. arborea diketahui tergolong pada tumbuhan yang mulai
sulit ditemukan, tetapi belum termasuk tumbuhan yang dilindungi. Menurut
status IUCN, H. arborea tergolong dalam status LC (Least Concern) yang berarti
tumbuhan ini masuk dalam kategori mendekati terancam punah. Salah satu
faktor yang menyebabkan tumbuhan ini masuk dalam kategori terancam punah
yaitu karena tingginya permintaan terhadap kayu dari tumbuhan ini,
sedangkan ketersediaan tumbuhannya terbatas dan membutuhkan waktu yang
lama bagi tumbuhan pacat untuk tumbuh.
Pertumbuhan H. arborea membutuhkan waktu yang cukup lama,
Menurut Basuni dan Haidir (1997), pohon H. arborea akan berbunga ketika
tinggi pohon mencapai 2 meter. Tingginya permintaan terhadap kayu H. arborea
dan adanya keterbatasan terhadap ketersediaan tumbuhan ini, serta lamanya

1
2

waktu yang dibutuhkan H. arborea untuk tumbuh, maka dibutuhkan suatu


upaya untuk memenuhi ketersediaan H. arborea. Upaya membudidayakan H.
arborea sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan H. arborea dan
untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu dengan melakukan perbanyakan terhadap H. arborea.
Dalam melakukan perbanyakan, dapat dilakukan secara generatif dan
secara vegetatif. Perbanyakan tumbuhan secara generatif salah satunya
dilakukan dengan menggunakan biji, seperti yang dilakukan oleh masyarakat
Kerinci, khusus nya di desa Tamiai yang bekerja sama dengan TNKS untuk
melakukan perbanyakan terhadap H. arborea. Menurut Surwanto dan Andoko
(2007), perbanyakan menggunakan biji memiliki kelemahan yaitu kemungkinan
terjadinya penyimpangan sifat tanaman, menghasilkan tanaman dalam jumlah
terbatas, dan membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan perbanyakan secara
vegetatif dapat dilakukan dengan setek, cangkok, grafting, dan kultur jaringan.
Perbanyakan dengan kultur jaringan merupakan metode perbanyakan yang
menguntungkan, karena dapat menghasilkan jumlah tanaman yang lebih
banyak dibandingkan dengan setek, cangkok, dan grafting.
Kultur Jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian
tumbuhan seperti protoplasma, sel, jaringan, dan organ, yang kemudian
ditanam pada suatu media tumbuh dalam kondisi bebas kontaminan (aseptik),
sehingga bagian yang diisolasi tersebut dapat tumbuh menjadi individu baru
yang utuh. Teknik kultur jaringan memiliki keunggulan yaitu dapat
memperbanyak tanaman dalam skala yang besar, menghasilkan indvidu yang
bersifat unggul, dan waktu yang relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan
perbanyakan secara generatif (Nofrianinda dkk., 2017).
Dalam melakukan kultur jaringan, penggunaan Zat Pengatur Tumbuh
(ZPT) sangat memberikan pengaruh terhadap hasil kultur dan menjadi salah
satu kunci keberhasilan dalam Kultur Jaringan. Zat pengatur tumbuh (ZPT)
merupakan suatu senyawa organik (bukan hara) yang akan bekerja optimal jika
berada pada konsentrasi atau jumlah yang tepat. Respon eksplan terhadap
penambahan ZPT dipengaruhi oleh jumlah atau konsentrasi ZPT yang
digunakan. Menurut Astutik (2007), jenis dan konsentrasi ZPT yang
ditambahkan dalam media kultur menentukan keberhasilan inisiasi dan
pertumbuhan tunas. Menurut Purwanta dkk (2015) jumlah ZPT yang digunakan
dalam kultur jaringan dapat mempengaruhi proses fisiologi tumbuhan. ZPT
terbagi atas ZPT alami dan sintetik. ZPT alami merupakan ZPT yang dihasilkan
dari proses ekstrak bahan alami (tumbuhan), sedangkan ZPT sintetik
merupakan ZPT yang dihasilkan melalui rangkaian proses kimiawi.
3

ZPT yang sering digunakan dalam Kultur Jaringan yaitu golongan


Sitokinin dan Auksin. ZPT yang digunakan berupa ZPT sintetik, hal ini karena
ZPT sintetik memiliki komposisi bahan yang telah diketahui kandungan nya.
Sitokinin yang digunakan adalah 6-Benzil Amino Purin (BAP), sedangkan auksin
yang digunakan seperti Indole Butirat Acid (IBA). BAP merupakan sitokinin yang
aktif dan daya merangsangnya yang lebih lama karena tidak mudah dirombak
oleh enzim tanaman, serta aktif dalam pertumbuhan dan poliferasi kalus. IBA
merupakan ZPT yang lazim digunakan dalam kultur jaringan karena memiliki
sifat lebih aktif dalam memacu perakaran (Widyarso, 2010). Penggunaan auksin
dalam kultur jaringan bertujuan untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar,
dan suspensi sel dan organ. Auksin mempercepat pertumbuhan dengan
merangsang pembelahan sel dan pembesaran, dengan melakukan interaksi
dengan hormon lainnya. Sitokinin berfungsi dalam stimulasi pembelahan sel
dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk (Harahap dkk., 2019). Terdapat
beberapa jenis auksin sintetis yaitu 2,4-D (Asam –Nattalenasetat), NAA, IAA,
sedangkan jenis sitokinin lainnya yaitu kinetin, thidiazuron, dan sebagainya.
Keefektifan ZPT dipengaruhi oleh asal eksplan dan jenis tanaman yang
digunakan, selain itu konsentrasi ZPT yang tepat juga mempengaruhi
keberhasilan hasil kultur (Karjadi dan Buchory, 2008). Penggunaan BAP dalam
kultur jaringan dapat menginduksi pembentukan tunas yang lebih banyak
(Yunus dkk., 2016). Penggunaan IBA dapat membuat kelenturan pada dinding
sel dan diikuti proses masuk nya air dalam dinding sel, sehingga terjadi
pembengkakan pada sel (Fitri dkk., 2012). Penggunaan BAP dan IBA dalam
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil kultur yang optimal. Menurut
Mastuti dkk (2018), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kombinasi
auksin-sitokinin dalam jumlah yang tepat pada kultur jaringan kapas
memberikan pengaruh terhadap prsentase tunas yang terbentuk. Menurut Fitri
dkk (2012), keseluruhan proses dari kombinasi auksin-sitokinin akan
membentuk kalus pada eksplan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang
respon pertumbuhan hasil kultur jaringan pacat dengan penambahan BAP dan
IBA dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang optimal dalam kultur jaringan
pacat.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan hal tersebut maka ingin dipelajari :
1. Bagaimana respon pertumbuhan hasil kultur jaringan Harpullia
arborea terhadap pemberian Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IBA?
2. Berapakah konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IBA yang
optimal dalam pertumbuhan hasil kultur jaringan Harpullia arborea?
4

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IBA
pada hasil kultur jaringan Harpullia arborea
2. Untuk mengetahui konsentrasi yang optimal penggunaan BAP dan
IBA dalam kultur jaringan Harpullia arborea

1.4. Hipotesis
Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh dengan konsentrasi IBA (auksin)
yang lebih rendah dari BAP (sitokinin) diketahui dapat menghasilkan respon
pertumbuhan yang baik dan merupakan konsentrasi yang optimal dalam
pertumbuhan kultur jaringan Harpullia arborea

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1. Menambah referensi ilmiah tentang penelitian kultur jaringan
Harpullia arborea
2. Memberikan informasi mengenai pengaruh penggunaan Zat Pengatur
Tumbuh BAP dan IBA serta konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh yang
optimal pada kultur Harpullia arborea.
3. Mempercepat perbanyakan tanaman Harpullia arborea sehingga
dapat membantu pembudidaya tanaman Harpullia arborea untuk
memenuhi ketersediaan akan tanaman.

Anda mungkin juga menyukai