Anda di halaman 1dari 6

Nama : Tsaqif Bagas Rahmandita

NIM : J1D019035
Prodi : Pendidikan Bahasa Indonesia
Matkul : Penyuntingan Naskah Keredaksian

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

1. Hal-hal yang dibutuhkan saat menjadi seorang penyunting naskah yaitu:


a. Menguasai Ejaan
Seseorang yang ingin menjadi penyunting naskah pada satu penerbitan, harus
menguasai kaidah ejaan bahasa Indonesia yang baku saat ini. Dia harus paham
benar penggunaan huruf kecil dan huruf kapital, pemenggalan kata, dan
penggunaan tanda-tanda baca (titik, koma, dan lain-lain).
b. Menguasai Tata Bahasa
Seperti halnya ejaan, seorang penyunting naskah pun dituntut untuk menguasai
bahasa Indonesia dalam arti luas. Bukan berarti dia perlu menghafal semua arti kata
yang terdapat dalam kamus, misalnya. Akan tetapi, seorang penyunting naskah
harus tahu mana kalimat yang baik dan benar, dan mana kalimat yang salah dan
tidak benar.
c. Bersahabat dengan Kamus
Seorang penyunting naskah atau ahli bahasa sekalipun, tidak mungkin menguasai
semua kata yang ada dalam satu bahasa tertentu. Belum lagi kalau kita berbicara
mengenai bahasa asing. Oleh karena itu, seorang penyunting naskah perlu akrab
dengan kamus. Entah itu kamus satu bahasa maupun kamus dua bahasa. Dalam hal
ini, tentu termasuk pula kamus istilah, leksikon, dan ensiklopedia.
d. Memiliki Kepekaan Bahasa
Karena selalu berhubungan dengan ejaan, tata bahasa, dan kamus, seorang
penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki kepekaan bahasa. Dia harus tahu
mana kalimat yang kasar dan kalimat yang halus; harus tahu mana kata yang perlu
dihindari dan mana kata yang sebaiknya dipakai; harus tahu kapan kalimat atau kata
tertentu digunakan atau dihindari.
e. Memiliki Pengetahuan Luas
Seorang penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas.
Artinya, dia harus banyak membaca buku, membaca majalah dan koran, dan
menyerap informasi melalui media audio-visual. Dengan demikian, si penyunting
naskah tidak ketinggalan informasi.
f. Memiliki Ketelitian dan Kesabaran
Seorang penyunting naskah dituntut pula untuk bekerja dengan teliti dan sabar.
Meskipun sudah capek bekerja, seorang penyunting naskah dituntut untuk tetap
teliti dan sabar dalam menyunting naskah. Kalau tidak, penyunting naskah bisa
terjebak pada hal-hal yang merugikan penerbit di kemudian hari. Misalnya, karena
ada kalimat yang lolos dan lupa disunting.
g. Memiliki Kepekaan terhadap SARA dan Pornografi
Seorang penyunting naskah tentu harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang
perlu diubah konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal
ini, seorang penyunting naskah harus peka terhadap hal-hal yang berbau SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan). Kalau tidak peka, penerbit bisa rugi di
kemudian hari.
h. Memiliki Keluwesan
Seorang penyunting naskah haruslah dapat bersikap dan berlaku luwes (supel). Hal
ini penting karena seorang penyunting naskah sering berhubungan dengan orang
lain. Minimal, seorang penyunting naskah berhubungan dengan penulis/pengarang
naskah. Dalam berhubungan dengan pihak luar, seorang penyunting naskah
bertindak sebagai duta atau wakil penerbit. Oleh karena itu, penyunting naskah
harus menjaga citra dan nama baik penerbit.
i. Memiliki Kemampuan Menulis
Seorang penyunting naskah juga perlu memiliki kemampuan menulis, minimal
mampu menyusun tulisan yang elementer. Mengapa? Karena dalam pekerjaannya
sehari-hari, seorang penyunting naskah pada suatu saat harus menulis surat/surel
kepada penulis atau calon penulis naskah, menulis ringkasan isi buku (sinopsis),
atau menulis biografi singkat (biodata) penulis.
j. Menguasai Bidang Tertentu
Alangkah baiknya kalau seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang
keilmuan tertentu. Misalnya, ilmu bahasa, ilmu sastra, biologi, matematika, geologi,
jurnalistik, ilmu pendidikan, filsafat, teknologi, dan pertanian. Hal ini tentu akan
membantu penyunting naskah dalam tugasnya sehari-hari.
k. Menguasai Bahasa Asing
Seorang penyunting naskah pun perlu menguasai bahasa asing yang paling banyak
digunakan di dunia internasional, yakni bahasa Inggris. Mengapa? Karena dalam
menyunting naskah, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-
istilah bahasa Inggris atau istilah-istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Di
samping itu, perlu pula diketahui bahwa buku terjemahan yang paling banyak
diterjemahkan di Indonesia adalah buku-buku yang berasal dari bahasa Inggris.
l. Memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah
Seorang penyunting naskah perlu menguasai dan memahami Kode Etik
Penyuntingan Naskah. Dengan kata lain, penyunting naskah harus tahu mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam penyuntingan naskah.

2. Sebelum buku dicetak, editor akan melakukan pemeriksaan dan penyuntingan terakhir.
Biasanya, masih saja ditemukan kesalahan ketik, kesalahan ejaan atau tanda baca yang
hilang yang sebelumnya terlewatkan. Setelah itu, editor akan mengirimkan
draft suntingan terakhir ini ke penulis untuk meminta persetujuan.

Bila kita menjadi penulis itu, sebaiknya kita membaca ulang hasil suntingan terakhir ini.
Meskipun kadang terasa membosankan karena harus membaca lagi dan lagi karya tulis
sendiri. Proses ini sama seperti saat kita membaca kembali tulisan kita sebelum
menekan tombol publish/tayang jika kita menulis di blog.

Proofreading sebenarnya tidak masuk wilayah editing karena ini hanya koreksi akhir
yang lebih hanya pada ketelitian proofreader atau pembaca pruf (cetak coba). Karena
itu, proofreader atau korektor dikerjakan orang lain yang biasanya berfokus pada salah
tik, salah kata, ketidakkonsistenan tipografi, dan sebagainya

3. Yang harus ditonjolkan adalah gaya penulis naskah bukan gaya penyunting naskah,
maksudnya adalah penyunting wajib menghormati gaya penulisan yang ditulis oleh
penulis naskah dan penyunting tidak diperkenankan untuk mengubah gaya penulsan
terseut. Tugas penyunting naskah disini hanyalah membantu menyunting format
penulisan sesuai dengan kaidah penyuntingan dan tetap menonjolkan gaya penulisan
yang ditulis oleh penulis naskah.

4. Berdasar pada telaah kritis terhadap berbagai penelitian empiris maupun non empiris
tentang guerilla marketing, ada beberapa kesenjangan penelitian (research gap) yang
teridentifikasi, yaitu:
a. Determinan atau faktor yang mempengaruhi/menentukan guerilla marketing belum
diketahui karena belum ada bukti empiris yang menjelaskannya. Selama ini, para
pakar hanya mengatakan bahwa pendekatan guerilla cocok untuk UMKM dan
perusahaan baru (new ventures) atau start-up karena tidak memerlukan sumber daya
yang besar. Penjelasan tersebut terbatas hanya melihat dari sisi ukuran perusahaan
dan umur perusahaan. Padahal strategi guerilla marketing secara konseptual menurut
Levinson (2010) bersifat tidak konvensional atau merencanakan dan mengeksekusi
langkah-langkah pemasaran yang tidak biasa dilakukan oleh perusahaan pada
umumnya. Hal ini tentu mensyaratkan berbagai hal tidak hanya karena faktor
semata-mata ukuran dan usia perusahaan. Implementasi guerilla marketing
diprediksi dipengaruhi oleh berbagai faktor determinan.
b. Konsep guerilla marketing didefinisikan secara longgar dan masih belum jelas
operasionalisasinya. Hal ini mungkin karena konsep tersebut lebih populer di
kalangan praktisi dibanding akademisi, sehingga studi empirisnya juga masih
terbatas.
c. Sudah ada turunan atau konsep aksen dari guerilla marketing, menjadi guerilla
advertising atau guerilla communication namun masih sangat sedikit studi empiris
yang mengujinya.
d. Meskipun diyakini bahwa guerilla marketing merupakan pendekatan yang efektif
dalam mempengaruhi kinerja, atau berdampak positif terhadap kinerja, namun sejauh
ini belum ada bukti empiris yang menyakinkan.
e. Mekanisme proses yang menjawab mengapa guerilla marketing berdampak terhadap
kinerja.
Kebaruan (Novelty)
Berdasar pada argumen kesenjangan penelitian yang diajukan, penelitian ini ditujukan
untuk mengajukan kebaruan (novelty) yang tujuan utamanya adalah mengisi
kesenjangan yang ada sehingga memberi kontribusi ilmiah. Dengan demikian, kebaruan
yang diajukan berlandaskan pada masalah penelitian dan kesenjangan penelitian.
Kebaruan ini dijelaskan terlebih dahulu sebelum pertanyaan penelitian untuk memberi
landasan rumusan pertanyaan penelitian, karena kebaruan juga sudah muncul dalam
rumusan pertanyaan penelitian.
Kesenjangan pertama, berkaitan dengan belum jelasnya faktor determinan guerilla
marketing. Kebaruan yang diajukan adalah peneliti mengajukan variabel baru yang
diposisikan sebagai variabel independen atau yang mempengaruhi implementasi
guerilla marketing. Konstruk baru yang diajukan adalah Kapabilitas Pemosisian Taktis
(Tactical Positioning Capability) yang terdiri atas 3 (tiga) dimensi, yaitu 1) kapabilitas
intelijen bisnis, 2) kapasitas bermanuver cepat, dan 3) kapabilitas pengelolaan central
of gravity.
Gagasan nama variabel tersebut berkaitan dengan deskripsi makna medan perang
(warfare), Lind (1985) menganalogikan manuver sebagai langkah-langkah strategi yang
mampu mengubah arah peperangan, sebagaimana kekalahan Hannibal dari Romawi
pada 216 SM, manuver serangan kilat (Blitzkrieg) Jerman pada Perang Dunia II, dan
keberhasilan Jenderal Patton di berbagai medan tempur di Eropa. Keberhasilan perang
gerilya yang dilancarkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman juga sangat
ditentukan oleh kapabilitas menempatkan posisi atau berkaitan dengan kemampuan
bermanuver, sehingga keberadaannya tidak mudah teridentifikasi oleh musuh. Semua
peristiwa tersebut bisa dikatakan sangat dipengaruhi oleh manuver-manuver yang
dilakukan. Pentingnya manuver dalam medan tempur juga dijelaskan oleh Kolonel John
Boyd seorang veteran perang Korea. Jet tempur F-86 USA yang secara teknologi
inferior dibandingkan Mig-15 Rusia ternyata dalam medan sesungguhnya mampu
mengungguli hingga mencapai kill ratio 10:1. Kekurangan teknologi jet tempur F-18
ternyata mampu ditutup dengan kemampuannya bermanuver yang lebih baik serta
didukung juga oleh kemampuan pilot dalam memperoleh sudut pandang yang
menguntungkan atau clear firing yang lebih tinggi pada jet tempur F-86. Ketiga
kapasitas ini merupakan bundling capability yang diprediksi menentukan apakah
perusahaan dapat melakukan guerilla marketing atau tidak. Variabel Kapabilitas
Pemosisian Taktis ini merupakan novelty pertama dalam usulan Monograf ini.
Novelty kedua berkaitan dengan masih luasnya operasionalisasi guerilla marketing.
Secara konseptual, sejauh penelusuran peneliti tidak ada definisi konseptual lainnya
yang dikemukakan oleh para pakar. Dengan kata lain, ada kesepakatan umum menerima
definisi yang dikemukakan oleh pakar yang pertama kali mengajukannya yaitu
Levinson. Sejauh ini, aksentuasi atau penurunan konsep guerilla marketing ke dalam
konsep yang lebih spesifik sudah ada yang melakukan, yaitu guerilla advertising (Dinh
dan Mai, 2016). Peneliti menurunkan guerilla marketing ke dalam konsep penetration
guerilla dengan menggunakan kerangka yang sama sebagaimana pembentukan konsep
advertising guerilla.
Kesenjangan berikutnya adalah belum jelasnya pengaruh guerilla marketing terhadap
variabel dependen yaitu kinerja. Sejauh ini pengujian masih terbatas pada variabel
dependen seperti kesadaran merek (brand awareness) menurut persepsi pasar/konsumen
dan niat membeli (purchase intention) konsumen. Peneliti mengajukan dua variabel
dependen yaitu ketahanan atau resiliensi UMKM dan kinerja bisnis. Disamping
pertimbangan masih kurangnya pengujian empiris terhadap variabel dependen tersebut,
pertimbangan lainnya adalah karena kondisi lingkungan bisnis saat ini yang sangat tidak
menguntungkan sebagai dampak pandemi global di mana dampaknya terhadap bisnis
diprediksi membutuhkan waktu tidak sedikit untuk bangkit. Maka untuk
mengakomodasi dinamika lingkungan ini, peneliti menggunakan variabel ketahanan
(resiliensi) untuk mengukur seberapa besar dampak guerilla marketing terhadap
ketahanan UMKM di dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Untuk mengatasi
kesenjangan ini, maka peneliti akan mengembangkan model teoritikal yang
menggambarkan mekanisme teoritis di antara variabel anteseden, mediasi, dan
konsekuensinya secara komprehensif. Titik sentral dari model teoritikal ini adalah
variabel yang peneliti klaim sebagai kebaruan (novelty) yang diposisikan sebagai
variabel independen (anteseden) dan mediasi.

Anda mungkin juga menyukai