Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)

E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022


P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

PERKEMBANGAN SOSIAL MASYARAKAT BAJO DI DESA BHONTU-BHONTU


KECAMATAN TOWEA KABUPATEN MUNA (1921-2020)

Marsela; Anwar; Pendais Hak

marsela@gmail.com
Alumni Pendidikan Sejarah FKIP UHO; Kendari; Indonesia
Tim Pengajar Pendidikan Sejarah FKIP UHO; Kendari; Indonesia
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu, Jl. H.E.A. Mokodompit, Universitas Halu Oleo; Indonesia

Abstrak: penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sejarah asal muasal perkembangan masyarakat
bajo di Desa Bhontu-Bhontu Kecamatan Towea Kabupaten Muna. Menjelaskan sejarah perkembangan
sosial masyarakat bajo (ekonomi, pemukiman, dan pendidikan) di Desa Bhontu-Bhontu Kecamatan
Towea Kabupaten Muna. Menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambat perkembangan
masyarakat bajo di Desa Bhontu-Bhontu Kecamatan Towea Kabupaten Muna. Jenis penelitian ini
adalah jenis penelitian sejarah bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan struktural
atau strukturalis. Metode yng digunakan ada 3 tahap yaitu, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi
(kritik sumber), dan historiografi (penulisan sejarah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) asal
mulanya dari perkembangan masyarakat bhontu-bhontu yaitu raja gowa memberikan tanah tempat
tinggal kepada raja Bajo beserta cucu-cucunya untuk menetap dan mencari penghidupan di tanah keke
dan takalar dari Gowa kemudian pindah ke Bajo (2) Perekonomian masyarakat bajo di Desa Bhontu-
Bhontu baru dimulai pada tahun 1967 yang terbagi menjadi 2 periode (Periode tahun 1967-1984 dan
Periode tahun 1984-2021). Pemukiman masyarakat Bajo Desa Bhontu-Bhontu terus mengalami
perkembangan dapat dilihat dari bangunan rumah tempat tinggal mereka. Perkembangan sosial
masyarakat Desa Bhontu-Bhontu yang semakin meningkat, maka kepentingan-kepentingan keluarga
mulai dapat terpenuhi dengan baik. (3) Faktor pendukung; Pertama, Masyarakat di Desa Bhontu-
Bhontu mata pencahariannya bermayoritas sebagai nelayan tetapi sebagaian masyarakat ada juga yang
membuka kios-kios kecil sebagai tempat jualan. Kedua, hidup berlayar adalah suatu tradisi yang
dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Ketiga, Desa Bhontu-Bhontu merupakan
pulau datar atau laut dangkal yang memiliki potensi alam yang dapat menunjang kehidupan. Faktor
Penghambat; Pertama, Sumber daya manusia nelayan tradisional di Desa Bhontu-Bhontu pada
umumnya masih sangat rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini berpengaruh juga
terhadap keterampilan, pola pikir, dan mental mereka. Kedua, Nelayan di Desa BhontuBhontu pada
umumnya masih menggunakan teknologi penangkapan ikan yang sangat sederhana.

Kata Kunci: Asal muasal; perkembangan; sosial; ekonomi.

Abstract: This study aims to describe the history of the origin of the development of the Bajo
community in Bhontu-Bhontu Village, Towea District, Muna Regency. Explaining the history of the
social development of the Bajo community (economics, settlements, and education) in Bhontu-Bhontu
Village, Towea District, Muna Regency. Explain the factors supporting and inhibiting the development
of the Bajo community in Bhontu-Bhontu Village, Towea District, Muna Regency. This type of
research is a descriptive qualitative historical research using a structural or structuralist approach.
The method used there are 3 stages, namely, heuristics (collection of sources), verification (source
criticism), and historiography (writing history). The results of the study show that: (1) the origin of the
development of the bhontu-bhontu community, namely the king of Gowa gave the land of residence to
the Bajo king and his grandchildren to settle and make a living in the land of keke and takalar from
Gowa then moved to Bajo (2) the economy The Bajo community in Bhontu-Bhontu Village only started
in 1967 which was divided into 2 periods (the 1967-1984 period and the 1984-2021 period). The
settlements of the Bajo people of Bhontu-Bhontu Village continue to experience development, it can be
seen from the building of the house where they live. The increasing social development of the Bhontu-

42
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

Bhontu Village community, then the interests of the family can begin to be fulfilled properly. (3)
Supporting factors; First, the people in Bhontu-Bhontu Village are mostly fishermen, but some people
also open small kiosks as a place to sell. Second, sailing life is a tradition that has been passed down
from generation to generation from their ancestors. Third, Bhontu-Bhontu Village is a flat island or
shallow sea that has natural potential that can support life. Obstacle factor; First, the human
resources of traditional fishermen in Bhontu-Bhontu Village are generally still very low. The low level
of education of fishermen also affects their skills, mindset, and mentality. Second, fishermen in Bhontu
Bhontu Village generally still use very simple fishing technology.

Keywords: Origin; development; social; economy.

PENDAHULUAN
Indonesia negara yang memiliki banyak keanekaragaman, diantaranya adalah suku, ras,
agama, budaya, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu Indonesia juga disebut sebagai
Negara yang multikultur. Dengan keanekaragaman tersebut secara otomatis akan menghadirkan
perbedaan, namun toleransi tetap dijunjung tinggi untuk menghindari konflik. Itulah Indonesia salah
satu hal yang dapat menguatkan bahwa Indonesia adalah Negara maritim dengan hadirnya masyarakat
yang hampir seluruh aktivitas kesehariannya dilakukan di laut, bahkan tempat tinggal merekapun
berada di laut, mereka adalah masyarakat suku Bajo. Suku Bajo merupakan salah satu suku yang ada
di Indonesia, dan hampir di setiap wilayah Indonesia mereka ada. Suku Bajo merupakan warga
masyarakat yang tempat tinggal atau seluruh aktivitasnya berada di laut. Ada yang mengatakan bahwa
masyarakat suku Bajo adalah manusia perahu, dikarenakan tidak bisa jauh dari laut dan menjadikan
perahu adalah rumah (Montilalu, 2019: 4).
Masyarakat dan kebudayaan manusia di dunia ini senantiasa mengalami perubahan dan
perkembangan pada berbagai aspek kehidupan. Sejak dari manusia pertama sampai sekarang dan
bahkan yang akan datang. Perubahan dan perkembangan tersebut tetap berlangsung Hal ini terjadi baik
secara evolusi maupun secara revolusi, tergantung dari besarnya pengaruh yang berasal dari dalam
maupun dari luar.
Perubahan dan perkembangan itu dapat ditemui di seluruh masyarakat di dunia ini, tidak
terbatas pada masyarakat nelayan saja. Walaupun kadang kala tak jarang kita temui perbedaan-
perbedaan di setiap daerah, baik sebagai tenaga kerja teknologi produksi, maupun distribusi
pemasaran. Hal ini di sebabkan oleh latar belakang budaya masyarakat tersebut yang memiliki ciri
khas tersendiri dari budaya-budaya suku bangsa lain, serta kontak-kontak budaya dengan masyarakat
lain.
Suku Bajo dikenal sebagai pengembara lautan, dimana mereka hidup tidak menetap, masih
bersifat nomaden yang suka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dikatakan sebagai
penjelajah atau pengembara karena hidupnya diatas perahu dan selalu berpindah dari satu pulau ke
pulau lain. Di Indonesia suku Bajo banyak tersebar di beberapa daerah kepulauan, misalnya
Kalimantan dan Sulawesi. Di Sulawesi, hampir seluruh pulau mereka jadikan sebagai tempat untuk
menetap dan melangsungkan hidup. Misalnya daerah Wakatobi, Tojo Una-una, Bone, Banggai
Kepulauan dan Banggai Laut. Masyarakat suku Bajo adalah salah satu dari sekian banyak suku di
Indonesia yang tidak bisa jauh dari laut ataupun pantai. Kelangsungan hidup mereka selalu bergantung
pada laut. Mulai dari aktivitas sehari-hari dalam mata pencaharian bahkan jika ada diantara mereka
meninggal, jasadnya juga dibuang ke laut. Laut adalah bagian dari hidup yang tak dapat terpisahkan
oleh orang Bajo, tempat mereka bertumpu ataupun menggantungkan segala aktivitas mereka. Sudah
pasti berbeda dengan orang yang hidup di daratan yang takut dengan air laut. Meskipun orang Bajo
hidupnya di laut, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka punya keahlian tersendiri (Montilalu,
2019: 4).
Bajo merupakan satu-satunya suku yang tinggal sekaligus memiliki aktivitas utama di laut.
Hal ini menjadikan Suku Bajo memiliki keunikan tersendiri dibandingkan kelima suku lain. Kelima
suku lain tersebut beraktifitas di laut, namun tinggal di darat. Oleh sebab itu, Orang Bajo seringkali
memiliki julukan sebagai orang laut, gipsi laut, atau pengembara laut (Suyuti, 2011). Saat ini Suku
Bajo telah banyak yang tinggal di daratan akibat adanya berbagai macam perubahan (Gamsir, 2014).

43
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

Suku Bajo saat ini telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia (Suyuti, 2011). Suku ini
tetap tinggal di wilayah pesisir meskipun tidak lagi di laut seperti dahulu kala. Di Pulau Sumatra suku
ini dapat ditemui di sekitar pesisir Riau hingga Tanjung Jabung dekat Jambi. Di Pulau Sulawesi suku
ini menyebar di beberapa kabupaten pada tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Suku Bajo juga dapat ditemui di pantai utara dan timur
Kalimantan, Kepulauan Maluku, sepanjang pantai utara Sumbawa, sepanjang pantai barat dan utara
Flores, Pulau Babi, serta Kelupauan Alor.
Pembangunan pedesaan dapat menciptakan masyarakat desa yang mandiri bukan saja untuk
kepentingan masyarakat desa itu sendiri, namun juga untuk kepentingan nasional secara umum. Hal
ini berarti bahwa pembangunan pedesaan mempunyai peranan yang sangat penting dan Strategis
dalam meletakan dasar-dasar pembangunan nasional. Dan memantapkan serta meningkatkan stabilitas
nasional yang strategis serta dinamis. Untuk itu, filosofis pembangunan dengan menggunakan desa
sebagai basis dan fokus pembangunan itu cukup beralasan (Agus Salum, 2002: 49).
Tidak dapat di pungkuri bahwa sistem perekonomian nelayan merupakan pola kehidupan
manusia yang tertua, yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan sepanjang waktu.
Kehidupan ini di awali dengan penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan tombak dan
panah, kemudian berkembang sampai kepada taraf sekarang dengan perataan dan teknologi modern.
Suku bajo khususnya di Desa Bhontu-Bhontu sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Towea memiliki
kawasan pesiar yang potensial. Desa Bhontu-Bhontu merupakan daerah konsentrasi nelayan yang
menggantungkan kehidupannya pada hasil laut. Pembangunan ekonomi di Desa Bhontu-Bhontu telah
dilaksanakan dengan cukup intensif namun belum optimal dengan konsep otonomi daerah. Belum
optimal dalam arti pengelolaannya belum maksimal sesuai dengan harapan. Pengelolaan sumberdaya
perikanan saat ini bertumpu pada pengelolaan berbasis masyarakat (community-based resource
management), dimana pemerintah daerah mempunyai peluang yang prospektif untuk mengelola
wilayahnya.
Nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas kebudayaan bangsa, serta
hasil pembangunan yang mengandung nilai kebangsaan nasional perlu terus digali, dipelihara, serta
dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air. Bertitik tolak pernyataan tersebut di
atas, maka pembinaan dan pengembangan unsur-unsur budaya tidaklah banyak untuk menjaga
kepunahan dan mempelajari konsep-konsep tentang budaya, akan tetapi yang penting adalah berusaha
mencari kajian latar belakangnya melalui rekonstruksi sejarah terhadap berbagai macam budaya secara
ilmiah. Upaya yang terakhr ini penting di lakukan sebab di tanah air kita masih banyak unsur-unsur
budaya daerah yang belum terungkap melalui karya sejarah, termasuk sejarah perkembangan sistem
perekonomian pada masyarakat Bajo di Desa Bhontu-Bhontu Kecamatan Towea Kabupeten Muna.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bhontu-Bhontu Kecamatan Towea Kabupaten Muna
sebagai tempat atau lokasi penelitian. Adapun waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus –
Oktober 2021. Penelitian ini merupakan jenis penelitian sejarah yang bersifat deskriptif kualitatif,
yakni suatu jenis penelitian dimana peneliti berusaha mendeskripsikan data-data yang diperoleh dari
obyek yang diteliti atau lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis, yaitu
salah satu pendekatn yang bertujuan untuk menemukan causal mechanism (mekanisme hubungan
sebab-akibat) dari perubahan sosial sebagai kenyataan obyektif (realitas) sehingga kita dapat
mengetahui proses atau perkembangan yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang (Hadara,
2019: 64). Sumber data penelitian terdiri atas sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber visual
(benda-benda
Prosedur penelitian ini merujuk pada metode sejarah menurut Sjamsuddin (2012: 96) terdiri
atas tiga tahap, yaitu: (1) Heuristik (Pengumpulan Sumber), yang dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan, pengamatan, wawancara dan studi dokumen. (2) Verifikasi (kritik sumber) dilakukan
dengan kritik eksternal dan kritik internal. (3) Historiografi dilakukan dengan menafsirkan data yang
telah lolos darivervikasi kemudian data tersebut diberi penjelasan dan kemudian disajikan dalam
bentuk laporan atau hasil penelitian.

44
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Desa Bhontu-Bhontu
Berdasarkan pernyataan informan Nursalam, Masyarakat Desa Bhontu-Bhontu yang
sekarang ini mendiami wilayah tersebut bukanlah penduduk asli, tetapi mereka adalah migran yang
berasal dari Sulawesi Selatan yang dalam proses perpindahannya telah beberapa kali melakukan
perpindahan. Berdasarkan Lontara dijelaskan tentang oppongahna (asal usulnya) orang Bajo di Desa
Bhontu-Bhontu yang diartikan bahwa Orang Bajo di Lemo Bajo berasal dari Ussu sebuah kampung
yang berada diantara Malili dan Palopo Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Karena suatu hal pada
akhirnya mereka tiba di Gowa. Raja Gowa dengan senang menerima kehadiran orang Bajo di
wilayahnya dan memberikan tanah tempat tinggal raja Bajo beserta cucu-cucunya. Kemudian raja
Gowa menyambung perkataannya “hai raja Bajo saya serahkan tanah keke sampai di saurabungi
sampai di Takalar dipinggir pantai”. Disitulah saudara anak cucunya tinggal dan menetap serta
mencari kehidupan. Sejak saat itulah Raja Bajo beserta cucunya menetap dan mencari penghidupan di
tanah keke dan takalar dari Gowa kemudian pindah ke Bajo. Ketika Bajoe dijadikan sebagai daerah
militer Belanda, maka masyarakat Bajo merasa tidak aman kemudian sebagian meninggalkan Bajo
mencari daerah baru yang lebih aman sehingga terdamparlah mereka di daerah Boepinang dan terus
menyusuri pantai hingga akhirnya tiba di pantai Towea dan menetap di daerah tersebut. Namun karena
Masyarakat Bajo tidak sesuai dengan pemerintah setempat akhirnya mereka mencari daerah yang lebih
baik dan aman, digambarkan bahwa preoses pencarian wilayah baru dilakukan secara terpisah
sehingga pada akhirnya mereka tiba di suatu pulau yang mereka sebut dengan Pulau Bhontu-Bhontu
sampai sekarang, dan disamping itu juga ada yang sampai di wilayah Tinobu (sekarang Kecamatan
Lasolo Kabupaten Konawe Utara). Ketika mereka tiba diwilayah ini daerahnya masi berupa hutan
belantara. (Nursalam, wawancara 20 September 2021).
Menurut pernyataan informan Abdul, Perpindahan Orang Bajo dari Towea dan Tinobu
(Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara) ke Bhontu-Bhontu dilakukan secara berkelompok dan
bertahap. Tahap pertama dimulai sekitar tahun 1921 dibawah pimpinan Lolo Luah, dan pada tahap
kedua terjadi di tahun 1925, dimana orang Bajo dari Lemo Bajo yang merupakan keluarga dan
pengikut Puah Datu, Lolo Mene dan Lolo Aco datang serta menetap di Pulau Bhontu-Bhontu.
Sedangkan mereka sendiri (Puah Datu dan Lolo Aco) serta sebagian keluarga dan budaknya menetap
di Lemo Bajo (sekarang Desa Lemo Bajo Kecamatan Wawolesea Kabupaten Konawe Utara).
Sedangkan tahap ketiga terjadi pada tahun 1938, Orang Bajo yang datang bermukim secara menetap di
Pulau Bhontu-Bhontu, pada umumnya mereka membuat rumah galambah yaitu rumah panggung yang
letaknya mengikuti pesisir laut dan pantai disamping itu ada yang membuat rumah galambah di laut.
Orang-orang Bajo yang mata pencahariannya sebagai nelayan merasa cocok dengan wilayah
Pulau Bhontu-Bhontu yang aman untuk melanjutkan kehidupan mereka beserta keluargannya. Pada
umumnya Masyarakat Bajo yang datang secara bertahap ke daerah Pulau Bhontu-Bhontu dengan
menggunakan jalur laut menyusuri pantai menggunakan perahu bido (rumah diatas perahu). Oleh
karena orang Bajo terbiasa di laut maka mereka tidak tahan tinggal didarat dan memilih untuk pindah
kepesisir pantai dan membentuk pola pemukiman membentuk perkampungan yang mengelompok.
Alasan perpindahan mereka kepantai karena mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan juga
karena alasan praktis yakni memudahkan mereka membuang sampah dan kotoran. (Abdul, wawancara
22 September 2021).
Menurut penuturan informan Sakkar, Tahap keempat tahun 1967-1970 yang merupakan akibat
dari terjadi pergolakan gerombolan DI/TII di kawasan Towea menyebabkan orang-orang penduduk
Pulau Bhontu-Bhontu mengungsi ke berbagai daerah yang dirasa aman. Namun setelah situasi aman
mereka pun kembali lagi, dan mereka yang kembali ada yang diikuti sanak keluarga dari Kepulauan
Boenaga, Desa Lemo Bajo, Soropia, dan Pulau Massadiang.
Desa Bhontu-Bhontu merupakan sebuah pulau kecil yang berada di wilayah pesisir letaknya
tepat berada di sebelah utara daratan Pulau Muna. Pulau Bhontu-Bhontu termasuk dalam gugusan
Kepulauan Tobea, dimana pada saat itu Bhontu-Bhontu masih berstatus kampung. Bhontu-Bhontu
adalah nama sebuah pohon yang tumbuh pada daratan pulau yang kering disekeliling kawasan
Bhontu-Bhontu, selain itu juga nama Bhontu-Bhontu dapat diartikan sebagai bentuk keterputusan,

45
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

karena posisi dan kondisi pulau Desa Bhontu-Bhontu tidak terhubung dengan wilayah daratan di
Muna.
Perkampungan masyatakat Bhontu-Bhontu dibelah oleh sebuah terusan kecil (luppasan),
dimana pada saat air laut sedang pasang terusan ini menjadi jalan laut untuk masuk ke pusat Desa
Bhontu-Bhontu, termasuk juga sebagai jalur lalulintas laut bagi perahu dan kapal motor kecil dari
Bhontu-Bhontu ke Moasi. Dalam mendirikan perumahan memilih lokasi di kedua sisi terusan, sisi
barat dan sisi timur. Pada tahun 1998 melalui program PDMD-KE telah dibuat jembatan gantung
untuk menghubungkan kedua sisi tersebut. Pembagian kompleks perkampungan terjadi begitu saja, hal
ini terjadi sejak tahun 1965 dan sampai sekarang kedua kompleks ini terkenal dengan nama Dusun
Timur (di sebelah timur) dan Dusun Barat (di sebelah barat). Kedua dusun tersebut sekaligus mewakili
struktur politik dan sosial Desa Bhontu-Bhontu. Dusun Timur adalah sebagai pusat pemerintahan desa,
didiami oleh kelompok masyarakat yang secara turun temurun dianggap sebagai Datuk (bangsawan),
sedangkan Dusun Barat adalah kelompok masyarakat biasa atau dianggap sebagai orang kebanyakan.
(Sakkar, wawancara 20 September 2021).
Penduduk Desa Bhontu-Bhontu pernah menjadi sasaran kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Muna, dimana penduduk desa akan dipindahkan di Tampo bagian timur. Hal ini
disampaikan melalui pidato pengarahan bupati KDH Tk.II Muna Drs. La Ode Kaimudin pada tanggal
5 Februari 1979 di Tampo. Lalu ditimbang lagi dengan penegasan camat Katobu bersama Ka. Sub Dit.
Pemerintahan Drs. La Ode Salihi tanggal 27 Februari 1979 di Tampo. Maka atas dasar tersebut, para
tokoh masyamkat Bhontu-Bhontu melakukan musyawarah untuk bersurat kepada Bupati yang
ditandatangani oleh 3 orang tokoh masyarakat yaitu Nduseng S, Samada dan Dasir. Surat tersebut
dibawah langsung oleh seorang utusan dari tokoh masyarakat yaitu Nduseng tepatnya pada tanggal 2
Maret 1979, dan setelah ditindak lanjuti berdasarkan surat tersebut maka rencana pemindahan
penduduk Bontu-Bontu Ke Tampo bagian Timur tidak jadi dilakukan.
Menjelang 5 tahun, kemudian lahir lagi kebijakan Pemda Muna untuk memindahkan semua
warga pesisir yang berada di Bhontu-Bhontu, Renda dan Lakarama ke Maligano Kecamatan
Wakorumba. Hal tersebut disampaikan oleh Bupati Muna Drs. La Ode Saafi Amane bertempat di
Pulau Renda pada tanggal 2 Mei 1984. Maka dengan itu pula kembali lagi sejumlah tokoh masyarakat
mengajukan surat kepada DPRD Muna agar mau mempertimbangkan rencana pemindahan masyarakat
Bhontu-Bhontu ke Maligano. Ketika surat ditujukan ke DPRD Muna, surat tersebut ditandatangani
oleh 6 orang tokoh masyarakat Bhontu-Bhontu yaitu Nduseng S, H. Agung, Suppu, Najamudin dan
Sakkar, atas dasar surat itu pula kembali dipertimbangkan dengan hasil keputusan rencana pemindahan
masyarakat Bhontu-Bhontu ke Maligano tidak jadi dilakukan. (Malik, wawancara 21 September
2021).
Kedatangan masyarakat bajo di Desa Bhontu-Bhontu diawali dengan orang migran yang
berasal dari Sulawesi Selatan yang melakukan perpindahan yang secara bertahap yang bertempat
tinggal di pesisir laut, dengan alasan mata pencaharian mereka sehari-hari sebagai nelayan, yang
dimana masyarakat bajo mereka tidak tahan hidup didarat dan memilih untuk pindah kepesisir dengan
membentuk suatu permukiman atau perkampungan disekitar pesisir.

Perkembangan Sosial Masyarakat Bajo (Ekonomi, Pemukiman, dan Pendidikan) di Desa


Bhontu-Bhontu
Salah satu tokoh masyarakat, hubungan sosial kemasyarakatan antara warga Desa Bhontu-
Bhontu dengan pendatang berjalan cukup harmonis, bahkan boleh dikatakan pendatang sudah
dianggap sebagai saudara sendiri. Prinsip mereka bergaul adalah mencari teman tanpa pandang bulu.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada mulanya hubungan antara masyarakat Desa Bhontu-Bhontu
dengan pendatang menunjukkan suatu ketertarikan sosial yang lebih baik tanpa memandang perbedaan
status sosial dan perbedaan suku. Terbukti dengan adanya masyarakat pendatang yang menikah
dengan masyarakat Desa Bhontu-Bhontu (Sakkar, wawancara, 20 September 2021)
Bahkan kebanyakan masyarakat pendatang yang menikah dengan masyarakat Desa Bhontu-
Bhontu sudah menetap dan menjadi warga Desa Bhontu-Bhontu, hal ini juga di dukung dengan
pergaulan pendatang yang cepat beradaptasi dengan masyarakat Desa Bhontu-Bhontu. Karena

46
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

pergaulan yang begitu baik, serta semangat kerja yang luar biasa, maka pendatang ini dikenal dan
selalu menjadi sahabat yang baik oleh masyarakat pribumi.
Perkembangan sosial yang diperlihatkan oleh masyarakat pendatang nampak pula dengan
adanya adaptasi dengan pribumi terbukti dengan kerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
sosial misalnya: kerja bakti yang sudah menjadi rutinitas di Desa Bhontu-Bhontu. Manusia sebagai
anggota masyarakat dapat mengatur diri sendiri, kesadaran manusia sebagai bagian dari masyarakat
dan sebagai bagian bangsa sesungguhnya melekat pada diri manusia sejak lahir. Ini berarti manusia
selalu menyadari keberadaan dirinya sendiri, kesadaran akan dirinya itu makin berkembang sejak
dengan perkembangan kepribadiannya.
1. Perkembangan Ekonomi
Setelah mengalami kekosongan penduduk selama beberapa tahun, di awal tahun 1953 hingga
1967 dan 1970 Masyarakat Bajo kembali lagi di Desa Bhontu-Bhontu, perekonomian masyarakat bajo
mulai terlihat pada tahun1967 setelah sistem pemerintahan telah diadakan di Desa Bhontu-Bhontu
yang saat itu masihbergabung dengan Desa Lakarama di Tobea Besar. Pada tahun 1967 perkembangan
perekonomian masyarakat Desa Bhontu-Bhontu belum terlihat, hal ini disebakan mayoritas
penduduknya bekerja sebagai nelayan. Periode ini juga penggunaan alat tangkap ikan masih sangat
sederhana hanya menggunakan sero, pancing, jala, bagang, dan budidaya rumput laut. Pada tahun
1985-2021 perekonomian masyarakat sudah menunjukkan perkembangan hal ini terlihat dari adanya
modernitas alat penagkapan ikan, meningkatnya hasil tangkapan, meningkatnya pendapatan dan juga
tersedianya lapangan pekerjaan baru.
Begitu pula kaitannya dengan perubahan teknologi budidaya perairan yang masih perlu terus
dipicu untuk meningkatkan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan para budidaya ikan. Apalagi
seiring dengan transformasi masyarakat kearah ciri industrial dengan kemampuan kendali masyarakat
terhadap sumber daya yang semakin besar, budidaya perikanan menjadi sangat penting.
Pada periode ini keadaan sosial ekonomi pada masyarakat Bajo di Desa Bhontu-Bhontu,
secara perlahan mulai mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini diakibatkan mulai
berkembangnya alat-alat penangkapan ikan serta munculnya beberapa program dari pemerintah. Pada
periode ini alat-alat penangkapan iakan telah mengalami modernisasi yang mana alat-alat tangkapan
ikan telah banyak dibantu oleh mesin. Informan mengatakan bahwa pada periode ini, di Desa Bhontu-
Bhontu telah mengenal penangkapan ikan yang lebih modern yang di sebut gai. Gai merupakan perahu
motor yang dapat memudahkan masyarakat pada pencaharian ikan. Gai dioperasikan dilaut yang
dalam diperkirakan banyak berkerumunan ikan yang tertarik dengan cahaya lampu kapal dan
kemudian menurunkan jarring kedalam laut untuk siap menangkap. (Sumber; Buku RPJMDes). Selain
gai beberapa perahu kemudian menggunakan mesin katinting, dan alat modern lain yaitu Jhonson dan
Ts, adapun jenis penangkapan ikannya yaitu pukat hanyut, dan pancing rawe.
Adapun jenis-jenis program dalam bidang kelautan dan perikanan di Desa Bhontu-Bhontu
sebagai berikut:
1. Pengadaan alat-alat tangkap ikan bagi nelayan
2. Pengadaan fasilitas budidaya teripang, kepiting, lobster, ikan korapu dan rumput laut
3. Pengadaan kapal gai
4. Pembangunan dermaga jembatan perahu nelayan
5. Rehabilitas terumbu karang. (Sumber; Buku RPJMDes).
Program dari kelautan dan perikanan diatas, maka kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Bhontu-Bhontu menjadi sangat terbantu, sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan sosial
masyarakat bajo yang ada di Desa Bhontu-Bhontu.
Sehubung dengan berkembangnya alat-alat yang dipergunakan menangkap ikan, pencarian ikan
tidak hanya dilakukan dalam wilayah Kabupaten Muna melainkan di perairan Wawonii, Wakatobi
bahkan mereka mencapai bagian perairan Nusa Tenggara. Dengan adanya program pemerintah diatas,
beberapa masyarakat Bajo di Desa Bhontu-Bhontu bahkan sudah mengenaal teknik budidaya produk
laut tertentu, seperti lobster, ikan, udang, kepiting dan penyuluhan teripang. Dari perkembangan ini
sebagian kecil masyarakat Bajo Desa Bhontu-Bhontu bahkan sudah membuat rumah permanen
dengaan menggunakan semen dan berjendela kaca dengan cara menimbun laut yang dikenakan biaya
tanah. Dampak lainnya anak-anak masyarakat Bajo Desa Bhontu-Bhontu juga sudah banyak yang

47
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

sekolah sampai ke perguruan tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum perkembangan
sosial ekonomi masyarakat Desa Bhontu-Bhontu telah mengalami perubahan dan peningkatan kepada
budidaya yang lebih baik.
Menurut pernyataan informan Bahar, Untuk masyarakat Bajo khususnya di Desa Bhontu-
Bhontu yang mayoritas mata pencahariannya sebagai nelayan, pada masa pandemi covid-19 sangat
susah untuk memasarkan hasil laut yang didapat di karenakan adanya protokol untuk menjaga jarak
dan menjauhi kerumunan. Jadi Masyarakat Desa Bhontu-Bhontu hanya bisa menjual hasil laut atau
tangkapannya di pasar desa dan tidak bisa dijual di perkotaan. Ada pula yang menjadi kendala pada
saat pandemi tersebut yaitu ada beberapa hasil laut yang harganya menurun dan ada juga hasil laut
yang sebelumnya memiliki nilai harga menjadi tidak memiliki nilai harga, faktor penyebab tersebut
seperti beberapa investor dari Negara asing memilih pulang kenegaranya pada saat pandemi sehingga
perputaran ekonomi untuk hasil laut menjadi terhambat. Di awal tahun 2021 perekonomian
Masyarakat Desa Bhontu-Bhontu mulai stabil kembali, seperti sebelumnya. (wawancara 12 Oktober
2021).
2. Perkembangan Sosial Pemukiman
Pemukiman Suku Bajo Desa Bhontu-Bhontu mengalami perkembangan yang sangat pesat,
masyarakat Suku Bajo khususnya di Desa Bhontu-Bhontu dikenal sebagai masyarakat yang hidup
(bermukim) di atas perairan. Perkembangan populasi Masyarakat Desa Bhontu-Bhontu semakin
meningkan dari tahun ketahun, menyebabkan letak pemukiman pun mengalami perubahan dan
perkembangan, terutama ruang pemukiman dan tempat tinggalnya. Rumah tradisional Desa Bhontu-
Bhontu ialah rumah panggung (rumah darurat) yang terletak di atas laut. Masyarakat Desa Bhontu-
Bhontu dengan bentuk rumah darurat yang menjadi tempat tinggal mereka merupakan bentuk
bangunan yang turun-temurun dari nenek moyang, bentuk bangunan tersebut adalah bangunan yang
terbuat dari berbagai macam pohon kayu, ada yang dari pohon jati, jangkar dan berbagai macam
pohon lainnya yang dibuat untuk tempat mereka. (wawancara, 30 Agustus 2021). Dan menurut
pernyataan informan Bahar, Seiring dengan perkembanagn zaman masyarakat Desa Bhontu-Bhontu
sudah mengalami perubahan mulai dari bangunan rumah yang kini sudah bisa dikatakan modern yaitu
dengan bentuk bangunan yang masyarakat menyebutnya rumah semi permanen dan rumah permanen.
Desa Bhontu-Bhontu juga mengalami banyak perubahan, selain dari bagunannya, perubahan
yang terjadi di lingkungan masyarakat Desa Bhontu-Bhontu yaitu terjadi dalam berbagai segi, mulai
dari segi sosiologi, dan segi komunikasi. Masyarakat Desa Bhontu-Bhontu mampu tetap bertahan,
baik dalam bidang sosial, budaya, maupun ekonomi. Hal ini di dasarkan dengan persatuan dan
kesatuan yang dibangun diantara mereka. (Bahar, Wawancara 12 Oktober 2021).
3. Perkembangan Sosial Pendidikan
Berdasarkan pernyataan informan Jaelani, seiring dengan adanya perkembangan, sosial
masyarakat Desa Bhontu-Bhontu yang semakin meningkat, maka kepentingan-kepentingan keluarga
mulai dapat terpenuhi dengan baik. Apabila kita menoleh kebelakang, dulu masyarakat Desa Bhontu-
Bhontu menganggap bahwa sekolah dengan tidaknya bagi mereka sama saja. Sebab mereka lebih
memilih untuk bekerja atau bermukim dilaut. Tetapi sekarang bahkan anak-anak mereka sudah dapat
menikmati pendidikan dengan baik dan sempurna, mulai dari pendidikan SD, sampai pada tingkat
pendidikan tinggi terutama dilingkup universitas. Perkembangan pendidikan di Desa Bhontu-Bhontu
pada umumnya mengalami perkembangan pendidikan yang boleh dikatakan suda cukup baik. Terbukti
dengan adanya beberapa sarana pendidikan yang terdapat di Desa Bhontu-Bhontu antara lain TK, SD,
SMP, dan SMA. Dengan adanya sarana pendidikan tersebut maka jumlah anak sekolah tiap tahunnya
terus bertambah.
Melihat fakta yang ada, bahwa kesadaran masyarakat akan arti pendidikan sangat tinggi.
Dalam hal ini kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anak ke berbagai jenjang sudah cukup
baik, ditambah dengan berbagai kemudahan serta kebijaksanaan pemerintah menyangkut masalah
pendidikan bagi masyarakat dibuktikan dengan adanya sarana dan prasarana yang berupa penambahan
tenaga kerja serta perlengkapan lainnya.
Berdasarkan pernyataan informan, bahwa kesadaran masyarakat akan arti pendidikan sangat
tinggi. Dalam hal ini kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke berbagai jenjang

48
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

pendidikan sudah cukup baik, ditambah dengan berbagai kemudahan serta kebijaksanaan pemerintah
menyangkut masalah pendidikan. (Jaelani, wawancara 30 Agustus 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial
masyarakat Bajo Desa Bhontu-Bhontu, dapat berdampak pada perkembangan ekonomi, dimana
keadaan perekonomian masyarakat Desa Bhontu-Bhontu mengalami perkembangan yang sangat pesat
dari tahun sebelumnya ketahun selanjutnya yang dapat terlihat pada mordenisasi penangkapan ikan
yang sudah modern. Selain perkembangan ekonomi sangat berdamapak juga pada perkembangan
sosial pemukiman dimana populasi atau jumlah penduduk Desa Bhontu_Bhontu semakin meningkat
dari tahun ketahun karena disebabkan oleh letak pemukiman mengalami pekembangan dan perubahan
dalam bentuk bangunan yang dikatakan sudah modern. Serta dapat juga dilihat pada perkembangan
sosial pendidikan yang pada umumnya mengalami perkembangan pendidikan, dimana kesadaran
masyarakat atau para orang tua memandang akan arti penting pendidikan sangat penting.

Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajo di Desa
Bhontu-Bhontu
1. Faktor Pendukung
a. Faktor Ekonomi
Salah seorang informan Sakkar, mengatakan bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor
yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari dalam hal ini, tempat yang memiliki potensi laut dapat
menunjang kehidupan mereka. Masyarakat di Desa Bhontu-Bhontu mata pencahariannya bermayoritas
sebagai nelayan tetapi sebagaian masyarakat ada juga yang membuka kios-kios kecil sebagai tempat
jualan. Pandangan bagi masyarakat Bajo di Desa Bhontu-Bhontu adalah penerimaan yang di peroleh
dari hasil usaha yang dikerjakan. Informan dalam penelitian ini umumnya bermata pencaharian
sebagai nelayan. Pekerjaan pokok yang lain dari informan adalah nelayan, pedagang, buruh, dan PNS,
pendapatan adalah penerimaan yang diterima oleh seseorang sebagai imbalan atas suatu pekerjaan atau
jasa yang tekah dilakukan setelah dikurangai dengan pengeluaran dalam upaya memperoleh
penerimaan tadi. Pendapatan yang diterima oleh seseorang bervariasi sesuai dengan pendapatan
pekerjaan pokok yang ditekuni oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
(wawancara 20 September 2021).

b. Faktor Tradisi Petualang


Menururt pernyataan informan Nursalam, dalam suatu kehidupan bermasyarakat, hidup
berlayar adalah suatu tradisi yang dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka sebagai
salah satu suku pengembara dilaut. Dengan tradisi petualang ini sebagai salah satu penyebab sehingga
orang-orang meninggalkan daerah asalnya. Jika diamati, bahwa dibalik tujuan praktis hanya mencari
keuntungan didaerah orang, juga tersimpan tujuan yang hakiki yaitu mencari pengetahuan dan
pengalaman. (wawancara 20 September 2021).

c. Faktor geografis
Salah satu faktor pendukung orang bajo memilih tinggal di Desa Bhontu-Bhontu adalah faktor
geografis. Desa Bhontu-Bhontu dekat dengan Pulau Tobea dimana Desa Bhontu-Bhontu merupakan
gugusan dari Pulau Tobea Besar. Desa Bhontu-Bhontu dekat dengan komunitas-komunitas bajo di
sekitarnya seperti Desa Renda dan Desa Tobea yang membuat sistem kekerabatan antar sesama etnik
Bajo tetap akan terjaga dan saling menjaga, karena ras kekeluargaan yang tinggi antar mereka.
(wawancara 30 Agustus 2021). Dan berdasarkan pernyataan informan Muh. Gafar, Selain itu Desa
Bhontu-Bhontu merupakan pulau datar atau laut dangkal yang memiliki potensi alam yang dapat
menunjang kehidupan. Potensi alam tersebut yaitu keberadaan ikan yang melimpah yang pada saat itu
bagi orang bajo ikan merupakan sumber kehidupan utama bagi mereka yang mana ikan dapat
dijadikan bahan konsumsi atau dijual. Meskipun Desa Bhontu-Bhontu berupa tanjung dan tak layak
dihuni manusia pada umumnya, namun hal tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka karena laut
sudah menjadi bagian dari hidup mereka dan mereka telah terbiasa dengan kehodupan dilaut.
(wawancara 04 Oktober 2021).
2. Faktor Penghambat

49
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

a. Sumber Daya Manusia


Berdasarkan hasil wawancara salah seorang informan Muh. Gafar, mengatakan sumber daya
manusia nelayan tradisional di Desa Bhontu-Bhontu pada umumnya masih sangat rendah. Hal ini
dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan buruh nelayan bukan
hanya dialami oleh buruh nelayan sebagai kepala keluarga saja, namun berimbas juga kepada anggota
keluarga. Rendahnya pendidikan kepala keluarga ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan
kondisi ekonomi masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan rumah tangga nelayan
dalam menjangkau pelayanan pendidikan sangat terbatas. Dengan rendahnya tingkat pendidikan
nelayan ini berpengaruh juga terhadap keterampilan, pola pikir, dan mental mereka. (Muh. Gafar,
wawancara 04 Oktober 2021).
b. Alat Yang Digunakan
Menurut pernyataan informan Malik, Nelayan di Desa Bhontu-Bhontu pada umumnya masih
menggunakan teknologi penangkapan ikan yang sangat sederhana, adapun peralatan yang dipakai
meliputi: a) perahu yang digunakan pada umumnya berbahan kayu yang berukuran panjang 4-5 meter.
Dengan tenaga penggeraknya memakai layar atau mesin tempel, b) jaring-jaring digunakan untuk
proses penangkapan ikan dilaut, jaring yang dipakai mereka sebut dengan rrua, (jaring). (wawancara
21 September 2021). Berdasarkan pernyataan informan Muh. Gafar, jangkawan penangkapan ikannya
pun terbatas hanya mampu berlayar disekitaran wilayah pantai. Selain peralatan tangkapan ikan,
kondisi cuaca juga menjadi salah satu faktor penghambat bagi para nelayan yang ingin mencari nafkah
untuk keluarga dan diri sendiri, mereka lebih memilih tinggal dirumah dari pada turun dilaut pada saat
cuaca tidak membaik, dan ada pula yang menunggu cuaca membaik dan melanjutkan untuk melaut.
(wawancara 04 Oktober 2021).
Faktor penghambat dalam perkembangan sosial ekonomi pada masyarakat Bajo yaitu sumber
daya manusia, dimana tingkat pendidikan pada masyarakat Bhontu-Bhontu masi sangat minim yang
dapat berdampak pada nelayan dalam melakukan penangkapan ikan dan ini terlihat pada teknologi
serta alat yang digunakan oleh masyarakat Bhontu-Bhontu untuk menangkap ikan yang masi sangat
sederhana. Sehingga dengan kendala ini sumber daya masyarakat serta nelayan Desa Bhontu-Bhontu
sangat berdampak pada perkembangan sosial ekonomi atau sumber kehidupan dalam sehari-hari.

PENUTUP
Oppongahna atau asal usulnya orang Bajo di Desa Bhontu-Bhontu berasal dari Ussu sebuah
kampung yang berada diantara Malili dan Palopo Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Mereka
melakukan perpindahan karena merasa tidak aman dari kekuasaan Belanda di daerah Luwu.
Perpindahan mereka dilakukan dalam 5 tahapan yakni pada 1921, 1925, 1938, 1967 dan 1970.
Perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat Bajo dapat meningkatnya alat tangkap ikan modern,
penghasilan, dan adanya pekerjaan baru bagi masyarakat. Sedangkan perkembangan sosial
meningkatnya kesejahteraan yang ditandai dengan rumah yang dibuat semi permanen dan juga
meningkatnya pendidikan. Sedangkan factor pendukung dan penghambat perkembangan
perekonomian masyarakat bajo adalah factor ekonomi, geografis, sumber daya manusia dan alat yang
digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muhammad. 2011. Metode Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural. (Kajian Historis
dan Sosiologis). Jakarta: Yrama Widya.
Badudu, Zain. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Choirullah. 2007. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Unila
Gamsir. 2014. Wajah Orang Bajo Dalam Arus Perubahan. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Hadara, Ali. 2019. Prosedur dan Pendekatan dalam Penelitian dan Penulisan Sejarah. Kendari:
Sekarlangit.
Hugiono. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina Aksara.
Hurlock, E.B. (1978). Child Development. 6th Ed. Tokyo: McGraw Hill Inc., International Student Ed.

50
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO (JPPS-UHO)
E-ISSN: 2502-6674 Volume 7 No. 1 Januari 2022
P-ISSN: 2502-6666
http://jpps.uho.ac.id/index.php/ e-mail: pend.sejarah.fkip@uho.ac.id

Jumali. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar


Khairuddin. 2008. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty.
Kuntowijoyo. 2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Loree, M. R. (1970). Psychology of Education. New York: The Ronald Press.
M. Dien Madjid. 2014. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Grup.
Montilalu, Argianto. 2019. Mobilitas Sosial Suku Bajo Di Desa Tinakin Laut Kecamatan Banggai
Kabupaten Banggai Laut. Skripsi. Makassar: UNM.
Muhibin, S. (1999). Psikologi Belajar. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Notosusanto, Nugroho. 1983. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu
Press.
Novita. 2016. Perkembangan Masyarakat Desa Terapung di Kecamatan Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah. Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 2, hal. 62.
Rachmawati, Yeni. 2018. Perkembangan Sosial Emosional Anak Pada Usia Taman Kanak-Kanak.
Jakarta: PAUD4103. Modul
Rustam, E Tamburaka. 1993. Fragmen-Fragmen, Teori-Teori, Filsafat Sejarah, Logika dan
Metodelogi Penelitian. Kendari: Unhalu.
Sartono, Kartodirdjo. 2002. Teori Sejarah dan Masalah Historiografi. Jakarta: Gramedia.
Sasioba, Joun Bental. 2017. Perkembangan Masyarakat Transmigrasi di Desa Bantik Kecamatan Beo
Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 1983-2015. Manado: Skripsi.
Shochib, M. 2000. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Orang Tua Mengembangkan Disiplin
Diri. Jakarta: Rineka Cipta
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Renika Cipta
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat “Merangkai Sebuah Kerangka”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Suryana. 2000. Ekonomi pembangunan: Problematika Serta Pendekatan. Jakarta: Salemba.
Suyuti, N. 2011. Orang Bajo di Tengah Perubahan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Syamsuddin, A. (2000). Psikologi Pendidikan (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosda Karya

51
Copyright (c) 2022 Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO

Anda mungkin juga menyukai