Anda di halaman 1dari 2

Analisis Wacana

“Pembakaran Al-Qur’an di Swedia”

Pemimpin partai sayap kanan politik Denmark, Rasmus Paludan melancarkan aksi
pembakaran Al-Qur’an atas izin pemerintah Swedia dibawah lindungan aparat kepolisian di
depan kantor kedutaan Turki ibu kota Swedia pada Sabtu, 21 Januari 2023 aksi ini pun
menuai kecaman dan menyulut amarah pemerintahan Turki. Pasalnya, motif pembakaran Al-
Qur’an dilatar belakangi oleh permintaan Swedia yang mengajukan diri bergabung
keanggotaan NATO namun belum mendapat restu dari Turki, langkah Rasmus Paludan di
nilai “bodoh” dan semakin memperkeruh hubungan Swedia dan Turki.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, pemerintah Swedia enggan memberi sanksi tegas
terhadap politis sayap kanan, Rasmus Paludan. Aksi ini rupanya bukan hanya sekali,
sepanjang tahun 2022, Rasmus Paludan membentuk kelompok anti Islam (Islamphobia) dan
membakar Al-Qur’an di sejumlah titik di Swedia, namun respon pemerintahan Swedia tetap
sama, memberikan perlindungan dengan dalih kebebasan berekspresi.

1. Legalisasi Pembakaran Al-Qur’an Dengan Dalih HAM & Kebebasan


Berekspresi

Tak bisa dipungkiri, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu
hukum yang di adopsi negara-negara dunia dibawah naungan deklarasi Hak Asasi
Manusia (HAM) ASEAN yang tertuang dalam pasal 23. Dengan jaminan HAM tiap-
tiap manusia diberi kebebasan untuk berekspresi sekalipun di hadapkan dengan
hukum-hukum teologi. Pemerintahan Swedia dalam pernyataanya, tak bisa
memproses secara hukum tindakan politisi sayap kanan tersebut karena adanya
payung hukum yang melindungi namun, membeberkan pesan bahwa legalisasi hukum
belum tentu sesuai.

“Tapi yang legal belum tentu sesuai. Membakar buku-buku yang suci bagi banyak
orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan.” Ungkapnya.

Sebagai seorang muslim yang menjadikan aturan-aturan Islam sebagai pegangan


dalam bertingkah laku tentunya, dalih kebahasaan berekspresi ini menjadi peraturan
yang perlu di tanggapi dengan kritis karena dalam Islam, sumber-sumber hukum
yang di adopsi hanya berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah, I’jima sahabat, dan Qiyas
Syar’i. Dalam kasus ini, kebebasan berekspresi dibawah lindungan HAM sering kali
kebablasan dalam praktik dan teorinya. Namun, pemerintahan di seluruh dunia,
menjadikan HAM sebagai kiblat tertinggi yang melindungi manusia dari berbagai
sudut pandang.

Al-Qur’an sebagai sumber peraturan umat muslim dijadikan bahan bakar politisi
untuk menyulut amarah umat muslim. Bukan tiada maksud, praktik-praktik semacam
ini mempunyai niat terselubung bersamaan dengan maraknya Islam phobia, penolakan
Islam sebagai ideologi utama, dan gerakan-gerakan yang menyuburkan kapitalisme
untuk menguasai perekonomian global.

Dari insiden yang terjadi, respon masyarakat muslim dunia pun tidak menunjukkan
keberpihakannya terhadap pedoman (Al-Qur’an), identitas muslim mulai di
kangkangi oleh paham-paham liberalis yang berakar dari negara-negara yang jelas
kebenciannya terhadap islam, sekulerisme.

2. Islamphobia di Negeri Swedia

Dalam undang-undang hukum Swedia, diskriminasi didefinisikan dalam Undang-


Undang Tentang Diskriminasi Tahun 2008 dan itu diamandemen pada 2014. Ini
bertujuan mencegah diskriminasi dan mendorong adanya persamaan hak dan
kesempatan yang sama bagi warga negara “terlepas dari jenis kelamin, identitas
transgender, asal etnis, agama atau kepercayaan lainnya, disabilitas, orientasi seksual,
ataupun usia.”

Namun sayangnya, aturan hukum tersebut hanya melindungi individu saja, tidak
mencakup secara organisasi maupun kelompok.

Survei nasional pada tahun 2022, lebih dari sepertiga responden warga Swedia
dewasa meyakini bahwa Islam adalah ancaman bagi peradaban barat.

Dalam hal ini, adanya praktik-praktik diskriminasi yang terjadi di negara Swedia
merupakan masalah sistematis, dan aturan-aturan yang mencakup menunjukkan
bahwa jelaslah kebencian kaum muda terhadap Islam, menjadikan Islam sebagai
ancaman.

Diketahui mulai tahun 2019, ancaman-ancaman sering terjadi di masjid-masjid. Pada


tanggal 29 Januari 2019 lalu, sebuah benda mirip bom yang akhirnya diketahui
sebagai bom palsu diletakan depan masjid beserta surat ancaman. Tindakan-tindakan
rasis semacam ini sering di jumpai.

Dalam berbagai penanganan kasus hukum-hukum yang mengatur baik skala lokal
maupun internasional secara teori melindungi penindasan dan hak-hak dalam
berkeyakinan. Namun, dalam praktiknya masih banyak diskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai