Anda di halaman 1dari 3

Pentingnya Moderasi BerAgama Dalam Mencegah Intoleran

Isu terkait agama nampaknya masih ramai dibicarakan di negeri ini. Setelah sebelumnya
narasi deradikalisasi terus dideraskan di berbagai ruang massa dengan dalih mencegah
radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, kini narasi terkait moderasi beragama pun kembali
mencuat. Pemerintah terus berupaya untuk menyebar luaskan ide moderasi beragama ini
melalui berbagai media demi memastikan seluruh elemen masyarakat turut andil dalam
penanaman ide tersebut.

 MEMBACA ARAH MODERASI BERAGAMA

Pengembangan moderasi beragama bukanlah sebuah hal yang baru. Apa yang dijalankan
oleh Kementerian Agama saat ini tentang hal tersebut adalah kelanjutan dari kebijakan
pejabat Kementerian Agama sebelumnya. Dikutip dari laman Republika.co.id, sejak Oktober
2019 pemerintah mengumumkan telah memprogramkan pelembagaan moderasi beragama ke
dalam program dan kebijakan yang mengikat serta disematkan ke dalam RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024. Bersamaan dengan hal tersebut
pemerintah juga meluncurkan Buku Moderasi Beragama sebagai salah satu cara pencegahan
radikalisme. Namun penting untuk kita pahami terlebih dahulu, apa dan bagaimana takaran
konsep moderasi beragama yang dimaksud?, berdasarkan pernyataan Menteri Agama,
Fachrul Razi, beliau menyatakan bahwa moderasi beragama adalah kukuh pada ajaran
masing-masing tapi tetap penuh toleransi. Fachrul juga menegaskan bahwa moderasi yang
dimaksudkan bukan pada agamanya, melainkan pada pergaulan sesama yang dinamakan
moderasi beragama.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof Muhammad Adlin Sila juga menyebut dalam orasinya
bahwa moderasi beragama merupakan upaya menghadirkan jalan tengah atas dua kelompok
ekstrem antara liberalisasi dan Konservatisme dalam memahami agama, “Tujuannya tak lain
untuk menghadirkan keharmonisan di dalam kehidupan kita sebagai sesama anak bangsa,”
ujar dia. Secara lebih spesifik, mantan Menteri Agama sebelumnya, Lukman Hakim
Saifuddin juga pernah merincikan tiga tolok ukur moderasi beragama. Pertama, seberapa kuat
kembalinya penganut agama kembali pada inti pokok ajaran, yaitu nilai kemanusiaan. Kedua,
tolok ukur kesepakatan bersama. Ketiga, tolok ukur ketertiban umum. Seluruh tolok ukur ini
dianggap dapat menekan pertumbuhan ideologi ekstrem. Dari berbagai pernyataan di atas,
nampak ada pertentangan yang nyata dari pendefinisian moderasi beragama tersebut.
Misalnya terkait upaya untuk kembali pada inti pokok ajaran agama yakni nilai kemanusiaan,
apa yang menjadi batasan jelas untuk nilai kemanusiaan tersebut?, terkait pernyataan Menag
bahwa moderasi yang dimaksudkan bukan pada agamanya, melainkan pada pergaulan sesama
yang dinamakan moderasi beragama. Hal ini justru menimbulkan polemik, bukankah umat
yang beragama akan menunjukkan sikap beragamanya da;am pergaulan sesama sesuai
dengan ajaran agama itu sendiri?, dengan demikian, kita justru dapat melihat bahwa ide
moderasi beragama yang digaungkan malah menimbulkan abstraknya batasan-batasan
definisi, kebingungan dalam hal-hal krusial hingga tidak jelasnya identitas konsep beragama.
Hal ini justru akan mereduksi ajaran agama, sebab tindakan-tindakan manusia akan
disandarkan pada standar pendapatnya, bukan pada konsep agama itu sendiri.

Jika kita melihat berbagai fenomena sebelumnya yang terkait dengan isu ini, akan kita
dapati bahwa yang menjadi sasaran utama ide moderasi beragama adalah ajaran-ajaran Islam.
Sebab, ajaran-ajaran Islam secara keseluruhannya meniscayakan nilai-nilai dan praktek Islam
diaktualisasikan dalam ranah kehidupan publik, tetapi konsep moderasi beragama justru akan
mengamputasi kewajiban tersebut. Maka, tepat jika dikatakan bahwa narasi moderasi
beragama justru merupakan kebijakan yang intoleran terhadap ajaran Islam.

 KEDUDUKAN ISLAM DAN PADANGANNYA TERHADAP PERBEDAAN

Narasi moderasi beragama khususnya terhadap Islam pada dasarnya adalah bagian dari
proses sekularisasi pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Meski dalam berbagai
kesempatan dijelaskan bahwa ide ini tidak hanya menyasar Islam melainkan juga seluruh
agama, namun tempak jelas bahwa seruan untuk ber-Islam secara ‘inklusif dan terbuka’
terhadap ajaran agama dan budaya lain justru akan mendistorsi ajaran Islam itu sendiri. Kaum
muslim secara tidak langsung akan dipaksa untuk mengabaikan sebagian dari ajaran Islam
yang bersifat qath’i, baik dari sisi redaksi (dalâlah) maupun sumbernya (tsubût). Jelas, hal ini
justru merupakan tindakan intoleran terhadap kaum muslim sebab mereka tak memiliki
kebebasan menjalankan ajaran agamanya.

Islam memiliki batasan yang jelas antara yang haq dan bathil, sehingga upaya
memaksakan Islam untuk bersifat ‘luwes’ dengan cara diintegrasikan dengan standar
kesepakatan manusia adalah upaya penghancuran atas ajaran Islam. Belum lagi, konsekuensi
logis lainnya adalah akan timbul anggapan bahwa jika berpegang teguh pada ajaran Islam
yang sesuai syariat maka hal itu tidak moderat, kolot, dan konservatif. Lalu, atas dasar apa
mereka menetapkan standar perbedaan luwes dan kolot? Tentu hanya bersandar pada hawa
nafsu semata. Padahal, Islam adalah ajaran yang mulia nan sempurna. Islam tidak hanya
mencakup ajaran spiritual namun juga merambah ke aspek politik. Istilah politik di dalam
Islam tidaklah mengacu pada aktivitas politik praktis yang pragmatis, melainkan mengacu
pada aktivitas pelayanan (ri’ayah) terhadap seluruh urusan umat, aspek politis dari Islam
inilah yang akan diamputasi oleh narasi moderasi beragama, karena akan meminggirkan
Islam dari ranah publik. Padahal, Allah telah memerintahkan kepada kaum muslim untuk
mengambil seluruh syariat Islam secara menyeluruh.

 Sebagaimana firmanNya:

‫ني‬ ْ
ِ ‫الس ْل ِم َكافَّةً واَل َتتَّبِعوا خطُو‬
ِ َ‫ات الشَّيط‬
ٌ ِ‫ان إِنَّهُ لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُمب‬ ُ ُ ِّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذين َآمنُوا ْاد ُخلُوا يِف‬
َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu”.  (Q.S: AL-Baqarah ayat 208).

Terkait kemuliaan posisi Islam dalam peradaban, Will Durant dalam bukunya The
History of Civilization menyebutkan, “Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri
yang terbentang dari Cina, Indonesia, India, Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga
Maroko dan Andalusia. Islam juga mendominasi cita-cita dan akhlak mereka serta berhasil
membentuk gaya hidup mereka. Islam telah membangkitkan harapan mereka serta
meringankan permasalahan dan kecemasan mereka. Islam telah berhasil membangun
kemuliaan dan kehormatan mereka…Mereka telah disatukan oleh Islam; Islam telah berhasil
melunakkan hati mereka, meski mereka berbeda-beda pandangan dan latar belakang politik.”
Alhasil, Islam tidaklah anti terhadap perbedaan. Konsep moderasi beragama (Islam) adalah
sebuah bentuk kekacauan berfikir dan justru akan menyerang konsep Islam yang kaffah serta
melumpuhkan fungsi Islam sebagai ideologi yang akan membawa manusia menuju
kebangkitan.

Islam memiliki sudut pandang yang khas yang bersumber dari akidahnya, yakni
mengakui perbedaan dan keberagaman suku bangsa dan identitas-identitas agama lain. Justru
aturan Islam turun untuk mengatur keberagaman tersebut, menjadikannya harmoni yang
bergerak maju menuju puncak peradaban, inilah yang terjadi dalam masa kejayaan Islam
ketika institusi Khilafah tegak dalam rentang waktu dari abad ketujuh hingga awal abad
kedua puluh.

Anda mungkin juga menyukai