Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 3
MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

KELOMPOK 2

Estela Salomina Momot I1011131022


Rosa I1011161001
Muhammad Yunus I1011161006
Riki Vernando I1011161014
Wenny Tri Rahmawati I1011161016
Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
Erica Sugandi I1011161029
Ririh Cintya Anjani I1011161034
Florentina Vina I1011161043
Haryani Tya Arini I1011161054
Heri Irawan I1011161057
Adinda Rabiattun Adawiah I1011161070
Agung Prasetyo I1011161075

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Pada hari minggu tanggal 8 Agustus 2019 diadakan suatu syukuran di


rumah Haji Jono atas kelahiran anaknya yang ketiga. Pada acara tersebut
diundanglah anak-anak Panti Asuhan yang tidak begitu jauh dari tempat
tinggal Haji Jono. Dengan gembiranya anak-anak Panti Asuhan pun datang
begitu ramainya seperti layaknya anak-anak pada umumnya yang selalu
ceria apabila ada acara hiburan. Pada acara tersebut dilaksanakan doa-doa
serta ceramah kutbah yang dilakukan oleh Haji Samiun sebagai pemimpin
Panti Asuhan tersebut. Selesai acara tersebut anak-anak Panti Asuhan pun
dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh Haji
Jono dengan segala macam jenis lauk-pauk yang ada. Makanan dan
minuman ringan pun tak lupa disediakan Haji Jono untuk memberikan
kepuasan anak-anak Panti Asuhan yang menikmati acara tersebut. Haji Jono
beserta keluarganya pun senang sekali atas acara yang mereka buat, oleh
karena mereka melihat begitu gembiranya semua anak-anak Panti Asuhan
tersebut. Setelah menikmati acara tersebut seluruh anak-anak Panti Asuhan
pun pulang bersama-sama ke Panti Asuhan tempat semula mereka istirahat.
Tiga puluh menit setelah anak-anak Panti Asuhan tiba di pondokan mereka
terjadilah sebuah peristiwa dimana secara tiba-tiba anak-anak Panti Asuhan
tersebut tergeletak pingsan satu persatu disertai muntah dan mencret yang
tidak normal. Pak Haji Samiun pun bingung bercampur ketakutan, karena
tidak tau apa yang mau diperbuat. Para warga sekitar Panti Asuhan yang
mengetahui peristiwa tersebut bergegaslah membantu sebisanya dengan
membawa secara bertahap anak-anak Panti Asuhan ke Rumah Sakit dan
melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek setempat. Setelah dilakukan
serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh dr.Willy yang bertugas saat
itu beberapa anak-anak Panti Asuhan ada yang harus dirawat inap dan ada
pula yang dipulangkan oleh dr.Willy oleh karena ada beberapa kondisi
anak-anak Panti Asuhan yang masih stabil. Satu minggu setelah peristiwa
itu terjadi dr.Willy dan Haji Jono pun dipanggil oleh Polsek setempat untuk
dimintai keterangan.

1.2 Klarifikasi dan Definisi

1.3 Kata Kunci

a. Anak-anak

b. Syukuran di rumah Haji Jono

c. Anak-anak menyantap hidangan

d. 30 menit kemudian pingsan, muntah dan mencret yang tidak normal

e. Dokter pemeriksa memutuskan anak-anak dirawat inap

f. Dokter pemeriksa memutuskan anak-anak dipulangkan karena kondisi


masih stabil

g. Warga sekitar panti asuhan melapor ke Polsek sekitar

h. Satu minggu kemudian dokter pemeriksa dan Haji Jono dipanggil Polsek
setempat

1.4 Rumusan Masalah

Anak-anak dibawah ke Rumah Sakit karena pingsan, muntah dan


mencret yang tidak normal setelah menyantap hidangan di syukuran Haji
Jono dan seminggu kemudian Haji Jono serta dokter pemeriksa dipanggil
Polsek setempat.
1.5 Analisis Masalah

Anak-anak Panti
Asuhan

Menyantap
hidangan syukuran
di rumah Haji Jono

30 menit kemudian
pingsan, muntah Warga melapor ke
dan mencret yang Polsek setempat
tidak normal

Dokter pemeriksa
Dibawah ke Rumah dan Haji Jono
Sakit dipanggil oleh
Polsek setempat
satu minggu
Keracunan makanan kemudian

1.6 Hipotesis
Anak-anak mengalami keracunan setelah menyantap hidangan di
syukuran Haji Jono.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Keracunan

a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Manifestasi klinis
d. Gambaran pos mortem
e. Pemeriksaan
f. Penanganan kegawatdaruratan
g. Motif
h. Aspek medikolegal
i. Dasar hukum
2. Patofisiologi
a. Pingsan
b. Muntah
c. Mencret
3. Cara membuktikan kasus keracunan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keracunan

2.1.2 Definisi

Keracunan adalah masuknya zat racun ke tubuh, baik melalui


saluran cerna, napas, maupun kulit dan mukosa sehingga
menimbulkan gejala keracunan.1

2.1.3 Klasifikasi

1. Menurut Cara Terjadinya

a. Meracuni diri (self poisoning)

Penderita berusaha bunuh diri dengan tujuan menarik


perhatian saja. Penderita biasanya menelan racun dalam dosis
besar untuk membahayakan dirinya. Contohnya adalah
keracunan penyemprot nyamuk.2

b. Usaha bunuh diri (attempted suicide)


Dalam hal ini penderita ingin benar-benar bunuh diri dan
dapat berakhir dengan kematian.2
c. Keracunan akibat kecelakaan (accidental poisoning)
Keracunan ini terjadi benar-benar karena kecelakan dan tidak
ada unsur kesengajaan.2
d. Keracunan akibat pembunuhan (homicidal poisoning)
Terjadi akibat tindakan criminal yaitu diracuni pasien.2
e. Keracunan akibat ketergantungan obat
Keracunan terjadi akibat sifat toleransi obat sehingga
memerlukan peningkatan dosis. Peningkatan dosis yang tidak
terukur/tidak terkendali menimbulkan overdosis yang fatal.2
2. Menurut Cepat Lambatnya Proses Keracunan
a) Keracunan akut
Gejala keracunan muncul dengan cepat segera setelah
korban menelan atau kontak dengan zat racun misalnya
keracunan makanan, sianida dan insektisida.2
b) Keracunan kronik
Gejala muncul dalam waktu relatif lama sehingga korban
sering tidak sadar mengalami keracunan. Keracunan kronis
yang sering terjadi antara lain keracunan bromid, salisilat,
fenitoin dan digitalis karena tidak diawasi.2

3. Menurut Organ yang Terkena


Keracunan dapat dibedakan menurut organ yang terkena
yaitu neurotoksik (racun saraf), kardiotoksik (racun pada
jantung), nefrotoksik dan hepatotoksik. Satu zat racun dapat
mempengaruhi beberapa organ sekaligus misalnya CCl4
mempengaruhi hepar, ginjal dan jantung. Bahan kimia Zat kimia
dalam golongan sejenis biasanya menimbulkan gejala keracunan
yang sama seperti keracunan alkohol, logam berat, fenol dan
organofosfat.2

4. Menurut Jenis Racun


a. Pestisida
1) Insektisida
2) Herbisida
3) Fungisida
4) Rodentisida
b. Bahan industri
c. Bahan untuk rumah tangga
d. Bahan obat-obatan
e. Racun (tanaman dan hewan)
5. Berdasarkan sifat kimia, fisik serta pengaruhnya terhadap tubuh
manusia

a. Racun Anorganik

1) Racun Korosif

Terdiri atas racun yang dapat menyebabkan


kerusakan atau kematian sel-sel yang terkena akibat efek
lokal. Pada tingkat yang lebih ringan dapat terjadi iritasi
atau peradangan. Beberapa racun korosif juga
memberikan efek sistemik dan diabsorpsi ke dalam
peredaran darah sehingga menyebabkan efek umum.3

Pembagian racun korosif:3

a) Acid Corrosif

1. Mineral Acid (Asam sulfat, asam khlorida dan


asam sitrat)
2. Asam Organik (asam oksalat, asetat, asam
formiat)
3. Halogenida (klorin, bromin, iodin, flourin)
4. Corrosive Mineral Salt
b) Alkaline Corrosive
c) Organic Corrosive
1. Phenol group (Methyl Phenol, dihydroxibenzene,
guiaacol, pyrogallol)
2. Formaldehyde .

2) Racun Metalik dan nonmetalik

Terdiri atas semua racun yang mempunyai elemen


logam dalam molekulnya.3
b. Racun Organik

1) Racun Volatil, non Volatil dan non alkaloid

Pada racun jenis ini, senyawa yang digunakan


adalah turunan dari alkohol, yaitu Methyl Alcohol
(metanol). Metanol juga dikenal sebagai Wood alcohol
dimana lethal dosisnya sangat bervariasi pada setiap
orang. Kematian timbul pada 30-60 ml pemberian
methanol. Kadang–kadang gejala tidak tampak sampai 26
jam atau lebih setelah keracunan namun tiba–tiba
penderita dapat meninggal. Hal ini disebabkan oleh efek
depresi CNS, edema serebri dan asidosis akibat dari
oksidasi yang lambat dan tidak sempurna dari methanol
dalam tubuh menjadi fermaldehid dan asam semu.3

c. Racun Gas

Racun gas terdiri dari karbon Dioksida dan Karbon


Monoksida. Karbon Dioksida akan menyebabkan asfiksia
karena berkurangnya jumlah oksigen di udara pernafasan dan
proses ini pada tahap awal akan dipercepat dengan adanya
efek langsung Karbon Dioksida pada pusat pernafasan,
sehingga tingkat keracunan perinhalasi makin berat.3

Karbon monoksida akan mengikan Hb secara cepat dan


lengkap dan menghambat oksigen berikatan dengan oksigen.
Sehingga suplai oksigen ke organ vital pun akan berkurang
dan akan timbul anoksemia. Lama kelamaan, Hb akan
kehilangan kemampuannya untuk mengikat oksigen dan
akan mmeperpuruk kondisi anoksemia pada jaringan.3
d. Racun lain-lain

Jenis–jenis racun yang termasuk dalam golongan ini


adalah insektisida, racun binatang, dan racun makanan.
Insektisida berdasaarkan asal dan sifat kimiawinya dibagi
menjadi:3

1) Berasal dari tumbuh–tumbuhan seperti Derris,


Pyrethrum, Nicotine

2) Insektisida Sintesis, terdiri dari golongan Chlorinated


Hydrocarbon, Organophosphate, Carbamate, dan
Dinitrophenol.

Pada keracunan makanan, umumnya disebabkan oleh


adanya bahan asing yang bersifat toksis dalam makanan.
Keadaan ini dapat terjadi dan digolongkan dalam 4 golongan
yaitu:3

1. Bahan asing anorganik atau organik baik sengaja ataupun


tidak tercampur dalam makanan pada waktu proses
pembuatan atau pengawetan.
2. Makanan itu sendiri yang mengandung racun. Misal
sianida pada singkong.
3. Adanya kuman atau parasit patogen dalam makanan
4. Adanya toksin kuman dalam makanan

2.1.4 Manifestasi klinis

Manisfestasi keracunan adalah pusing, mual muntah, keringat


dingin, air liur banyak, kebiruan, sesak nafas, pupil mata mengecil,
lemas, dan tidak sadar diri. Gejala klinik akan timbul bila aktivitas
kolinesterase 50% dari normal atau lebih rendah. Akan tetapi gejala
dantanda keracunan organofosfat juga tidak selamanya spesifik
bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa.4

2.1.5 Gambaran Postmortem

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada kasus keracunan


sebagai berikut:5

1. Lebam mayat

Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai


makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah
manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.5

2. Perubahan warna kulit


Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada
telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit
berwarna kelabu kebirubiruan akibat keracunan perak (Ag)
kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan korium kulit).
Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu) dan
fosforakibat hemolisis juga pada keracunan insektisida
hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.5
3. Kuku
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang
menebal yang tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik
ditemukan kelainan trofik pada kuku.5
4. Rambut
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan
talium, arsen, air raksa dan boraks. Metode pemeriksaan pada
rambut adalh dengan ekstrak dan pretreatment.5
5. Sklera
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti
fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian
dicoumarol atau akibat bisa ular.5

2.1.6 Pemeriksaan

1. Pemeriksaan forensik klinik terhadap korban keracunan

Anamnesis dapat berupa auto-anamnesis bila korban


kooperatif atau allo-anamnesis baik terhadap keluarga korban
atau penydik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam
anamnesis meliputi:6

a. Jenis racun
b. Cara masuk racun
c. Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban
d. Keadaan psikiatri korban
e. Keadaan kesehatan fisik korban
f. Faktor yang meningkatkan efek letal zat yang digunakan
seperti penyakit, riwayat alergi atau idiosinkrasi atau
penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi).

Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti


medis meliputi tanda-tanda mencurigakan pada tubuh korban
seperti bau tertentu yang keluar dari mulut atau saluran napas,
warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari mulur
atau saluran napas, adanya tanda suntikan, dan tanda fenomena
drainage. Gejala-gejala dan perlukaan tertentu harus dicatat,
termasuk kejang pin poin pupil atau tanda gagal napas.
Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar mulur, luka
suntikan atau kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali
dalam pemeriksaan seperti bau minyak.6
Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan
mengambil sisa muntahan, sekret mulut dan hidung, darah serta
urin. Bila racun per oral, analisis isi lambung harus dilakukan
secara visual, bau, dan bahan kimia. Skrining racun diambil dari
sampel urin dan darah. Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik
adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan yang
merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan.6

2. Pemeriksaan forensik kasus keracunan terhadap korban yang


sudah meninggal
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan ada
pemeriksaan keracunan pada korban yang sudah meninggal
antara lain:6
a. Pemeriksaan post moterm
1) Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan
kemungkinan didapatkan:6
a) Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang
khas, misalnya asam hidrosianida, asam karbonat,
kloroform, alkohol, dan lain-lain. Untuk menjaga
keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan
desinfektan yang mempunyai bau (aroma).
b) Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan
bercak-bercak yang berasal dari muntahan, feses, dan
kadang-kadang jenis racun itu sendiri.
c) Perubahan warna kulir, misalnya menjadi kuning pada
keracunan osfor dan keracunan akut akibat unsur
tembaga sulfat
d) Kedaan pupil dan jari tangan lemas atau mengepal
a. Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk
melihat adanya tanda-tanda bekas zat korosif atau
benda asing.
b. Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red
atau merah coklat bila racunnya menyebabkan
perubahan warna darah sehinga warna lebam
jenazah mengalami perubahan

2) Pemeriksaan dalam
Pada umumnya, tanda-tanda keracunan tampak pada
traktus gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat
korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah:6
a. Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling
jelas terlihat pada bagian kardiak lambung dan pada
bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah
gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau
bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia
dalah merat merata. Perubahan warna bisa muncul
karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah. Asam
nitrat menyebabkan warna kuning pada usus.
hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena
secara menyeluruh yang terjadi pada kematian akibat
asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan
hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada
hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan
terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa
bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih
banyak terkena pada kasus keracunan.6
b. Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif lebih
sering terlihat pada kardiak lambung, kurvatura
mayor, mulut, tenggorokan, dan esofagus. Jika
disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya
tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan
perlunakan post moterm yang terdapat pada bagian
yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan
dinding lambung. Pada bagian yang mengalami
perlunakan tidak ada tanda inflamasi.6
c. Ulserasi
Paling sering ditemukan pada kurvatura mayor
lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik
yang paling sering terdapat di kurvatura minor
lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di
sekitar tukak tersebut.6
d. Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus
keracunan asam sulfat.6
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin
atau dalam organ tubuh merupakan bukti yang
memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun
bisa ditemukan di dalam lambung, usus halus, dan
kadang pada hati, limpa, ginjal. Organ tubuh dan
bahan yang diperiksa antara lain:6
1) Urin dan feses
2) Darah
3) Lambung dan isinya
4) Usus halus
5) Hati
6) Ginjal
7) Otak dan korda spinalis
8) Uterus dan organ terkait
9) Paru-paru
10) Tulang, rambut, gigi dan kuku
11) Organ tubuh lain yang dicurigai

2.1.7 Penanganan Kegawatdaruratan

Pertolongan pertama pada keracunan makanan:7

1) Untuk mengurangi kekuatan racun, berikan air putih sebanyak-


banyaknya atau diberi susu yang telah dicampur dengan telur
mentah

2) Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4
tablet selama 3 kali berturut-turut dalam setiap jamnya
3) Air santan kental dan air kelapa hijau yang dicampur 1 sendok
makan garam dapat menjadi alternatif jika norit tidak tersedia
4) Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah.
Lakukan dengan cara memasukkan jari pada kerongkongan leher
dan posisi badan lebih tinggi dari kepaka untuk memudahkan
kontraksi
5) Apabila penderita dalam keadaan pingsan, bawa segera kerumah
sakit atau dokter terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.

Untuk keracunan pada anak ada beberapa tindakan, diantaranya


adalah sebagai berikut:7
1) Jika anak muntah dan mengalami cirit-birit, periksa suhu badan
untuk menentukkan ada demam
2) Periksa tinja untuk menentukan terdapat darah atau nanah
3) Biarkan anak berbaring dan jangan diberikan sembarang
makanan tetapi pastikan dia kerap diberi minum air yang
dicampur sedikit garam dan diberi glukosa
4) Coba tentukan makanan yang diberikan oleh anak yang telah
menyebabkan timbulnya tanda-tanda penyakit.

2.1.8 Motif

Dalam kasus pidana harus dibuktikan adanya perbuatanyang


salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan
tersebut (men rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur
men rhea, apakah timbul akibat kecerobohan (recklessness),
kealpaan (negligence) atau kesengajaan (intentional).6

Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua


bentuk (tipe) berdasarkan korban keracunan, yaitu:6

1. Tipe S (specific target)

Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang


tertentu dan biasanya antara pelaku dan korban sudah saling
kenal. Motif yang biasanya melatarbelakangi, antara lain: uang,
membunuh, pembunuhan lawan politik, dan balas dendam.
Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub
grup, yaitu:6

a. Sub grup S tipe S/S (specific/slow), dimana keracunan terjadi


secara perlahan dan direncanakan oleh pelaku.
b. Sub grup Q tipe S/Q (specific/quick), dimana keracunan
terjadi secara mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.
2. Tipe R (random target)
Terjadi pada korban yanga cak. Motivasi bentuk keracunan
ini biasanya ego, sadistic, dan teror. Berdasarkan kejadiannya,
keracunan tipe R dibagi:6
a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan
salah satu bentuk keracunan bila racun yang dipakai sebagai
alat untuk menjalankan teror.
b. Sub tipe Q tipe R/Q (random/quick) dimana keracunan terjadi
secara mendadak.

Sub grup S tipe S/S


Tipe S
Sub grup Q tipe S/Q
Motif keracunan
berdasarkan korban
keracunan Sub grup S tipe R/S
(random/slow)
Tipe R
Sub grup Q tipe R/Q
(random/quick)

2.1.9 Aspek medikolegal

Homicide (perbuatan orang lain), suicide (perbuatan diri


sendiri) dan accident (kecelakaan).

2.1.10 Dasar Hukum

Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 19 Ayat(2) Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan
konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit.
Ini dapat dilihat pemberian sanksi hanya sebatas penggantian
kerugian ataupun sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha
saja sehingga dalam pemenuhan rasa keadilan dari pihak korban
belum sepenuhnya tercapai8

Dari pembahasan di atas, penyidik menggunakan proses


pembuktian dengan cara mengambil hasil tes dari dokter dan lab,
hasil visum, serta keterangan dari pihak konsumen yang menjadi
korban keracunan makanan, lalu di proses kembali melalui bantuan
BPOM. Dari situ kita dapat melihat bahwa makanan tersebut
mengandung zat-zat berbahaya atau tidak. Dalam pemenuhan rasa
keadilan terhadap korban hanya berupa ganti kerugian berupa nilai
dari suatu barang dan jasa atau berupa biaya kesehatan. Hak-hak
konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang
Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar
konsumen jasa yang dapat dikonsumsi.8

2.2 Patofisiologi
2.2.1 Pingsan
Sinkop disebabkan oleh perfusi oksigen, glukosa, dan berbagai
nutrien otak yang tidak adekuat dalam waktu singkat. Hipoperfusi
global disebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang dapat
disebabkan oleh penurunan curah jantung atau resistensi vaskular
sistemik. Penurunan aliran darah ke otak selama 6-8 detik dapat
menimbulkan hilang kesadaran sementara.9
Tekanan darah sistemik dipengaruhi oleh curah jantung dan
resistensi vaskular perifer, penurunan salah satu faktor tersebut dapat
menyebabkan sinkop. Resistensi vaskular sistemik rendah dapat
disebabkan oleh refleks otonom yang tidak adekuat, gangguan sistem
saraf otonom (SSO) baik primer maupun sekunder, serta gangguan
SSO yang diinduksi obat. Pada gangguan SSO, jalur vasomotor saraf
simpatis gagal meningkatkan resistensi vaskular sistemik sebagai
respons terhadap perubahan posisi dari berbaring/duduk ke berdiri.
Kegagalan refleks vasomotordisertai efek gaya gravitasi
menyebabkan terkumpulnya darah di bawah diafragma
mengakibatkan penurunan aliran darah vena masuk ke jantung dan
berakibat penurunan curah jantung.9
2.2.2 Muntah
Saluran pencernaan dapat mengaktifkan pusat muntah oleh
stimulasi mekanoreseptor atau kemoreseptor pada glossopharyngeal
atau aferen vagal (saraf kranial IX dan X) atau dengan pelepasan
serotonin dari sel-sel usus enterochromaffin, yang pada gilirannya
merangsang reseptor serotonin (5-HT3) pada aferen vagal. Sistem
vestibular mengaktifkan pusat muntah jika dirangsang oleh gerakan
atau penyakit (misalnya labyrinthitis) atau ketika peka oleh obat-
obatan (misalnya opioid). Reseptor Histamin (H1) dan Asetilkolin
M1 muncul pada aferen vestibular. Racun endogen atau eksogen
yang melalui darah dapat mengaktifkan kemoreseptor di postrema
lantai ventrikel keempat melalui jenis reseptor dopamin 2. Akhirnya,
pusat SSP yang lebih tinggi dapat mengaktifkan atau menghambat
pusat muntah. Selain itu, mungkin ada aktivasi langsung reseptor H1
pada meninges sekunder untuk meningkatkan tekanan intrakranial.10

2.2.3 Mencret
Patogenesis diare pada keracunan makanan diklasifikasikan
secara sempit menjadi keracunan tipe non-inflamasi dan tipe
inflamasi. Diare tipe non-inflamasi disebabkan oleh aktivitas
enterotoksin pada mekanisme sekretorik pada mukosa usus halus
tanpa invasi. Ini menyebabkan feses berair dengan volume yang
besar dengan tidak adanya darah, nanah, atau nyeri abdomen berat.
Biasanya, muncul dehidrasi pada penderita diare tipe non-inflamasi.
Enterotoksin dapat dibentuk sebelum dikonsumsi atau diproduksi di
usis setelah dikonsumsi. Contohnya Vibrio cholera, Escherichia coli
enterotoksik, Clostridium perfringens, Bacillus cereus,
Staphylococcus organisms, Giardia lamblia, Cryptosporidium,
rotavirus, norovirus, dan adenovirus.11
Diare tipe inflamasi disebabkan oleh aktivitas sitotoksin pada
mukosa, menyebabkan invasi dan destruksi. Kolon atau usus halus
distal biasanya sering menjadi tempat invasi tersebut. Feses terdapat
darah, mukoid dan leukosit. Pasien biasanya demam. Dehidrasi
jarang muncul jika dibandingkan dengan diare non-inflamasi karena
volume cairan pada feses sedikit. Tes lactoferrin positif menunjukkan
adanya proses inflamasi dan jika terdapat leukosit dapat
mengindikasikan colitis.11
Kadang-kadang, organisme dapat menembus mukosa dan
berkembang biak di jaringan limfatik lokal, diikuti dengan
penyebaran sistemik. Contohnya adalag Campylobacter jejuni,
Vibrio parahaemolyticus, Escherichia coli enterohemoragik dna
enteroinvasif, Yersinia enterocolitica, Clostridium difficile,
Entamoeba histolytica, dan spesies Salmonella dan Shigella.11
Mekanisme patofisiologi yang memunculkan gejala akut
gastrointestinal dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksius
seperti oleh substansi alami (jamur dan jamur paying), dan logam
berat (arsenic, merkuri, dan timbal) masih belum diketahui.11
Mekanisme patofisiologi dari kontaminasi makanan laut yang
menyebabkan keracunan makanan dapat terjadi karena formasi
biofilm. Beberapa bakteri pathogen yang sering membentuk biofilm
antara lain spesies Vibrio dan Salmonella, Aeromonas hydrophilia,
dan Listeria monocytogenes.11

2.3 Cara Membuktikan Kasus Keracunan


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2
golongan, yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan
kasus yang sampai saat sebelum di autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan
terhadap kemungkinan keracunan. Harus dipikirkan kemungkinan kematian
akibat keracuan bila pada pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat
kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim
ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang
tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut
dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab kematian.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu :12
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
Pemeriksaan di tempat kejadian perkara perlu dilakukan untuk
membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan keterangan sebanyak
mungkin tentang perkiraan saat kematian serta mengumpulkan barang
bukti.12
2. Pemeriksaan luar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan luar kasus
keracunan diantaranya:12
a. Bau
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang
kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di
samping mayat ia harus menekan dada mayat untuk menentukan
apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang
hidung dan mulut.
b. Segera
Pemeriksa harus segera berada di samping mayat sesegera mungkin
dan pemeriksa juga harus menekan dada mayat dan menentukan
apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang hidung dan
mulut.
c. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak
berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.

d. Lebam mayat
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena
warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi darah yang
tampak pada kulit.
e. Perubahan Warna Kulit
Pada hyperpigmentasi atau keratosis pada telapak tangan dan kaki pada
keracunan arsenik kronik. Kulit berwarna kelabu kebiru-biruan akibat
keracunan perak (Ag) keonik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan
korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga
(Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida
hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik
pada kuku.
g. Rambut
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen,
air raksa dan boraks. Metode pemeriksaan pada rambut adalah dengan
ekstrak dan pre treatment.
h. Sklera.
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon
tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa
ular.
Pengambilan sampel pada toksikologi forensik memastikan dimana racun
itu berada, didasarkan dari anamnesa dan tanda klinis yang dijumpai pada
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pada korban yang meninggal,
diperlukan informasi sisa racun dan dicocokkan dengan kelainan yang
dijumpai pada jenazah. Selanjutnya menentukan sampel yang perlu diambil
untuk pemeriksaan toksikologi, disesuaikan dengan jenis racun yang masuk ke
dalam tubuh. Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap
pada waktu autopsi dari pada kemudian harus mengadakan penggalian kubur
untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis
toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan. Prinsip
pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan
histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalah:12
a. Lambung dan isinya
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan- ikatan pada
pada usus setiap jarak sekitar 60 cm
c. Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari
sebelah kanan dan sebelah kiri masing-masing sebanyak 50 ml. Darah tepi
sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari
vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang
terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urine tidak tersedia.
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami
pembususkan.
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan
melalui urin, khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika,
alkohol dan stimulan.
h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot,
lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
j. Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh
pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat
digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl
mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine
k. Selain pengambilan sampel melalui autopsi secara diseksi, terdapat teknik
lain dalam melihat kelainan tanpa melakukan diseksi. Alat–alat untuk
diagnosa seperti endoskopi dan MRI dapat digunakan untuk melihat
kelainan internal tanpa melakukan diseksi pada tubuh korban. Akan tetapi,
diseksi tetap menjadi pilihan utama dalam tindakan autopsi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak-anak mengalami keracunan setelah menyantap hidangan di


syukuran Haji Jono.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dadang Hudaya Somasetia. 2017. Keracunan Organofosfat di


http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/keracunan-organofosfat
(di akses 15 September).

2. Safitrih L, Kusuma AM, Wibowo MINA. Angka kejadian dan


penatalaksanaan keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto tahun 2012-2014. Media Litbangkes.
2016:24(3);175-180.
3. Fitriana, Alvionita Nur. [Artikel Review] Artikel Forensic Toxicology. Faculty
of Medicine, Lampung University :Forensic Toxicology J MAJORITY. 2015 ;
4 (4).

4. Himata Sari M. Pengetahuan dan sikap keamanan pangan dengan perilaku


penjaja makanan jajanan anak sekolah dasar. J Heal Educ. 2017;2(2):163–70.
5. Fitriana AN. Forensic toxicology. J Majority. 2015; 4(4): 1- 9.)
6. Alfanie, Iwan., Nila Nirmalasari, Hendy Arizal. Ilmu kedokteran forensik dan
medikolegal. Rajawali Press. Jakarta. 2017.
7. Chen F, Wen J, Wang X, Lin Q, Lin C. Epidemiology and
characteristic of acute poisoning treated at an emergency center. World J
Emerg Med. 2010
8. Kurniawan R. Tanggung jawab pidana pelaku usaha akibat keracunan
makanan. LEX Crim. 2015;4(8):62.
9. Sukamto. Evaluasi dan Manajemen Sinkop di Instalasi Gawat Darurat. CDK-
270. 2018; 45(11): 860-5.
10. Hoffman R, Benz EJ, Silberstein L, Heslop H, Weitz J, Anastasi J.
Hematology basic principles and practice. Ed 6th. Livingstone; 2013.
11. Gamarra RM. Food Poisoning [Internet]. [19 June 2018; 14 September 2019.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/175569-overview#a1
12. Dharma S. M, Erdaliza, Teungku A., Investigasi Kematian
DenganToksikologiForensik. Riau. FKUNRI. 2008.

Anda mungkin juga menyukai