Laporan Pemicu 4 Forensik
Laporan Pemicu 4 Forensik
PEMICU 3
MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
KELOMPOK 2
1.1 Pemicu
a. Anak-anak
h. Satu minggu kemudian dokter pemeriksa dan Haji Jono dipanggil Polsek
setempat
Anak-anak Panti
Asuhan
Menyantap
hidangan syukuran
di rumah Haji Jono
30 menit kemudian
pingsan, muntah Warga melapor ke
dan mencret yang Polsek setempat
tidak normal
Dokter pemeriksa
Dibawah ke Rumah dan Haji Jono
Sakit dipanggil oleh
Polsek setempat
satu minggu
Keracunan makanan kemudian
1.6 Hipotesis
Anak-anak mengalami keracunan setelah menyantap hidangan di
syukuran Haji Jono.
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Manifestasi klinis
d. Gambaran pos mortem
e. Pemeriksaan
f. Penanganan kegawatdaruratan
g. Motif
h. Aspek medikolegal
i. Dasar hukum
2. Patofisiologi
a. Pingsan
b. Muntah
c. Mencret
3. Cara membuktikan kasus keracunan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keracunan
2.1.2 Definisi
2.1.3 Klasifikasi
a. Racun Anorganik
1) Racun Korosif
a) Acid Corrosif
c. Racun Gas
1. Lebam mayat
2.1.6 Pemeriksaan
a. Jenis racun
b. Cara masuk racun
c. Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban
d. Keadaan psikiatri korban
e. Keadaan kesehatan fisik korban
f. Faktor yang meningkatkan efek letal zat yang digunakan
seperti penyakit, riwayat alergi atau idiosinkrasi atau
penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi).
2) Pemeriksaan dalam
Pada umumnya, tanda-tanda keracunan tampak pada
traktus gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat
korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah:6
a. Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling
jelas terlihat pada bagian kardiak lambung dan pada
bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah
gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau
bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia
dalah merat merata. Perubahan warna bisa muncul
karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah. Asam
nitrat menyebabkan warna kuning pada usus.
hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena
secara menyeluruh yang terjadi pada kematian akibat
asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan
hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada
hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan
terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa
bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih
banyak terkena pada kasus keracunan.6
b. Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif lebih
sering terlihat pada kardiak lambung, kurvatura
mayor, mulut, tenggorokan, dan esofagus. Jika
disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya
tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan
perlunakan post moterm yang terdapat pada bagian
yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan
dinding lambung. Pada bagian yang mengalami
perlunakan tidak ada tanda inflamasi.6
c. Ulserasi
Paling sering ditemukan pada kurvatura mayor
lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik
yang paling sering terdapat di kurvatura minor
lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di
sekitar tukak tersebut.6
d. Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus
keracunan asam sulfat.6
Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin
atau dalam organ tubuh merupakan bukti yang
memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun
bisa ditemukan di dalam lambung, usus halus, dan
kadang pada hati, limpa, ginjal. Organ tubuh dan
bahan yang diperiksa antara lain:6
1) Urin dan feses
2) Darah
3) Lambung dan isinya
4) Usus halus
5) Hati
6) Ginjal
7) Otak dan korda spinalis
8) Uterus dan organ terkait
9) Paru-paru
10) Tulang, rambut, gigi dan kuku
11) Organ tubuh lain yang dicurigai
2) Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4
tablet selama 3 kali berturut-turut dalam setiap jamnya
3) Air santan kental dan air kelapa hijau yang dicampur 1 sendok
makan garam dapat menjadi alternatif jika norit tidak tersedia
4) Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah.
Lakukan dengan cara memasukkan jari pada kerongkongan leher
dan posisi badan lebih tinggi dari kepaka untuk memudahkan
kontraksi
5) Apabila penderita dalam keadaan pingsan, bawa segera kerumah
sakit atau dokter terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.
2.1.8 Motif
2.2 Patofisiologi
2.2.1 Pingsan
Sinkop disebabkan oleh perfusi oksigen, glukosa, dan berbagai
nutrien otak yang tidak adekuat dalam waktu singkat. Hipoperfusi
global disebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang dapat
disebabkan oleh penurunan curah jantung atau resistensi vaskular
sistemik. Penurunan aliran darah ke otak selama 6-8 detik dapat
menimbulkan hilang kesadaran sementara.9
Tekanan darah sistemik dipengaruhi oleh curah jantung dan
resistensi vaskular perifer, penurunan salah satu faktor tersebut dapat
menyebabkan sinkop. Resistensi vaskular sistemik rendah dapat
disebabkan oleh refleks otonom yang tidak adekuat, gangguan sistem
saraf otonom (SSO) baik primer maupun sekunder, serta gangguan
SSO yang diinduksi obat. Pada gangguan SSO, jalur vasomotor saraf
simpatis gagal meningkatkan resistensi vaskular sistemik sebagai
respons terhadap perubahan posisi dari berbaring/duduk ke berdiri.
Kegagalan refleks vasomotordisertai efek gaya gravitasi
menyebabkan terkumpulnya darah di bawah diafragma
mengakibatkan penurunan aliran darah vena masuk ke jantung dan
berakibat penurunan curah jantung.9
2.2.2 Muntah
Saluran pencernaan dapat mengaktifkan pusat muntah oleh
stimulasi mekanoreseptor atau kemoreseptor pada glossopharyngeal
atau aferen vagal (saraf kranial IX dan X) atau dengan pelepasan
serotonin dari sel-sel usus enterochromaffin, yang pada gilirannya
merangsang reseptor serotonin (5-HT3) pada aferen vagal. Sistem
vestibular mengaktifkan pusat muntah jika dirangsang oleh gerakan
atau penyakit (misalnya labyrinthitis) atau ketika peka oleh obat-
obatan (misalnya opioid). Reseptor Histamin (H1) dan Asetilkolin
M1 muncul pada aferen vestibular. Racun endogen atau eksogen
yang melalui darah dapat mengaktifkan kemoreseptor di postrema
lantai ventrikel keempat melalui jenis reseptor dopamin 2. Akhirnya,
pusat SSP yang lebih tinggi dapat mengaktifkan atau menghambat
pusat muntah. Selain itu, mungkin ada aktivasi langsung reseptor H1
pada meninges sekunder untuk meningkatkan tekanan intrakranial.10
2.2.3 Mencret
Patogenesis diare pada keracunan makanan diklasifikasikan
secara sempit menjadi keracunan tipe non-inflamasi dan tipe
inflamasi. Diare tipe non-inflamasi disebabkan oleh aktivitas
enterotoksin pada mekanisme sekretorik pada mukosa usus halus
tanpa invasi. Ini menyebabkan feses berair dengan volume yang
besar dengan tidak adanya darah, nanah, atau nyeri abdomen berat.
Biasanya, muncul dehidrasi pada penderita diare tipe non-inflamasi.
Enterotoksin dapat dibentuk sebelum dikonsumsi atau diproduksi di
usis setelah dikonsumsi. Contohnya Vibrio cholera, Escherichia coli
enterotoksik, Clostridium perfringens, Bacillus cereus,
Staphylococcus organisms, Giardia lamblia, Cryptosporidium,
rotavirus, norovirus, dan adenovirus.11
Diare tipe inflamasi disebabkan oleh aktivitas sitotoksin pada
mukosa, menyebabkan invasi dan destruksi. Kolon atau usus halus
distal biasanya sering menjadi tempat invasi tersebut. Feses terdapat
darah, mukoid dan leukosit. Pasien biasanya demam. Dehidrasi
jarang muncul jika dibandingkan dengan diare non-inflamasi karena
volume cairan pada feses sedikit. Tes lactoferrin positif menunjukkan
adanya proses inflamasi dan jika terdapat leukosit dapat
mengindikasikan colitis.11
Kadang-kadang, organisme dapat menembus mukosa dan
berkembang biak di jaringan limfatik lokal, diikuti dengan
penyebaran sistemik. Contohnya adalag Campylobacter jejuni,
Vibrio parahaemolyticus, Escherichia coli enterohemoragik dna
enteroinvasif, Yersinia enterocolitica, Clostridium difficile,
Entamoeba histolytica, dan spesies Salmonella dan Shigella.11
Mekanisme patofisiologi yang memunculkan gejala akut
gastrointestinal dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksius
seperti oleh substansi alami (jamur dan jamur paying), dan logam
berat (arsenic, merkuri, dan timbal) masih belum diketahui.11
Mekanisme patofisiologi dari kontaminasi makanan laut yang
menyebabkan keracunan makanan dapat terjadi karena formasi
biofilm. Beberapa bakteri pathogen yang sering membentuk biofilm
antara lain spesies Vibrio dan Salmonella, Aeromonas hydrophilia,
dan Listeria monocytogenes.11
d. Lebam mayat
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena
warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi darah yang
tampak pada kulit.
e. Perubahan Warna Kulit
Pada hyperpigmentasi atau keratosis pada telapak tangan dan kaki pada
keracunan arsenik kronik. Kulit berwarna kelabu kebiru-biruan akibat
keracunan perak (Ag) keonik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan
korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga
(Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida
hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik
pada kuku.
g. Rambut
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen,
air raksa dan boraks. Metode pemeriksaan pada rambut adalah dengan
ekstrak dan pre treatment.
h. Sklera.
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon
tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa
ular.
Pengambilan sampel pada toksikologi forensik memastikan dimana racun
itu berada, didasarkan dari anamnesa dan tanda klinis yang dijumpai pada
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pada korban yang meninggal,
diperlukan informasi sisa racun dan dicocokkan dengan kelainan yang
dijumpai pada jenazah. Selanjutnya menentukan sampel yang perlu diambil
untuk pemeriksaan toksikologi, disesuaikan dengan jenis racun yang masuk ke
dalam tubuh. Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap
pada waktu autopsi dari pada kemudian harus mengadakan penggalian kubur
untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis
toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan. Prinsip
pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan
histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalah:12
a. Lambung dan isinya
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan- ikatan pada
pada usus setiap jarak sekitar 60 cm
c. Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari
sebelah kanan dan sebelah kiri masing-masing sebanyak 50 ml. Darah tepi
sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari
vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang
terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urine tidak tersedia.
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami
pembususkan.
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan
melalui urin, khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika,
alkohol dan stimulan.
h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot,
lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
j. Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh
pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat
digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl
mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine
k. Selain pengambilan sampel melalui autopsi secara diseksi, terdapat teknik
lain dalam melihat kelainan tanpa melakukan diseksi. Alat–alat untuk
diagnosa seperti endoskopi dan MRI dapat digunakan untuk melihat
kelainan internal tanpa melakukan diseksi pada tubuh korban. Akan tetapi,
diseksi tetap menjadi pilihan utama dalam tindakan autopsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan