Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

TOKSIKOLOGI

Disusunoleh :
Wilson William

(406148108)

Ranto B Tampubolon

(460152001)

Lois Kezia

(406148028)

Pembimbing :

dr. Ratna Relawati, Sp.KF, Msi, Med

KEPANITERAAN ILMU FORENSIK


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG
PERIODE 28 MARET 2016 30 APRIL 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

PEMICU III
NYAWA TAK BERDOSA JADI KORBAN

Hari ini, para warga yang tinggal du bantaran sungai dikejutkan dengan temuan seorang
bayi yang sudah tak bernyawa tersangkut di onggokan sampah di muara sungai. Polisi meminta
kepada dokter Rumah Sakit untuk melakukan pemeriksaan terhadap jenazah. Dari hasil

pemeriksaan luar jenazah tampak bayi masih terhubung dengan tali pusat dan plasentanya,
dengan panjang tubuh 49 cm, terdapat luka-luka lecet di sekitar tubuh korban, terutama di lutut,
kepala dan siku, juga ditemukan busa halus pada hidung dan mulut serta cutis anserine.
Kemudian dokter melakukan pemeriksaan lanjutan mengingat polisi memintanya untuk
menetapkan apakah ini suatu pembunuhan atau bukan.
Karena pihak kepolisian sigap menganggapi kasus ini, maka beberapa hari kemudian
sudah ada dugaan tersangka yaitu seorang perempuan berusia 20 tahun yang merupakan warga
sekitar tempat kejadian. Sebenarnya warga sudah mencurigai peremouan tersebut karena
perubahan bentuk badannya terutama perutnya yang belakangan tampak buncit tiba-tiba kembali
seperti biasa. Padahal warga mengatakan bahwa perempuan ini tinggal seorang diri,tanpa kekasih
dan suami. Ketika polisi mendatangi rumah tersangka, mereka mendapati perempuan tersebut
tergeletak di lantai dengan botol pembasmi serangga yang sudah terbuka di sampingnya.
Kemuduan polisi membawa perempuan tersebut ke UGD RS.
Setelah mendapat pengobatan, tersangka sadar dan dapat memberikan keterangan, Ia
minum cairan pembasmi serangga karena dihantui perasaan bersalah setelah membuang bayinya.
Ia mengaku sekitar 9 bulan yang lalu diperkosa oleh orang tak dikenal ketika pulang kerja pada
malam hari. Sesungguhnya pada bulan yang kedua kehamilannya, ia ingin menggugurkan
kandungannya dengan meminum obat yang menurut temannya dapat meluruhkan janin di dalam
kandungan. Tetapi keguguran itu tidak terjadi, bahkan semakin lama janinnya bertumbuh
semakin besar. Hingga tiba saatnya, ia melahirkan sendiri tanpa bantuan siapapun di rumahnya
dan langsung membekap bayinya kemudian melemparnya ke sungai belakang rumah.Warga
menghendaki agar pelaku mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Apa yang dapat Saudara pelajari dari kasus ini?
Unfamiliar Term :
1. Cutis anserina : dikenal gooseflesh adalah fenomena yang timbul akibat kontraksi
muskulus erector pili yang terdapat pada setiap folikel rambut dan memperlihatkan gambaran
yang timbul pada kondisi dingin. Cutis anserine yang timbul akibat suhu dingin atau rigor mortis
tidak memiliki nilai diagnostik apapun.

Perumusan Masalah :
1. Apa alasan polisi meminta dokter Rumah Sakit untuk melakukan pemeriksaan terhadap
jenazah ?
2. Apa peran dokter dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban?
3. Dari hasil pemeriksaan luar jenazah, apa saja yang dapat berhubungan dengan hasil
pemeriksaan tersebut?
4. Apa saja hal yang mendasari para warga mencurigai pelaku dalam keadaan hamil?
5. Apa tanda dan gejala dari keracuanan insektisida?
6. Apa prinsip pengobatan pada keracunan insektisida?
7. Apa saja yang dapat ditemukan pada pemeriksaan medik kasus kejahatan seksual?
8. Apa yang dimaksud dengan pengguguran kandungan?
9. Apa saja kriterina pembunuhan anak sendiri?
10. Apa yang dapat ditemukan pada kasus tenggelam>
Curah Pendapat:
1. Dokter sebagai tenaga medis dapat membuat dan mengeluarkan Visum et Repertum, terhadap
seseorang yang dikirim oleh penyidik.
2. Dokter berperan sebagai saks ahli, dan berwenang melakukan pemeriksaan luar maupun dalam
terhadap seseorang yang dikirim oleh penyidik.
3. Bayi masih terhubung dengan tali pusat dan plasentannya menunjukan belum ada tandatanda perawatan

Panjang tubuh 49 cm menunjukan usia gestasi cukup bulan


Luka lecet disekitar tubuh kemungkinan adanya trauma jalan lahir, trauma tumpul. Luka lecet
di siku, kepala, lutut adanya gesekan benda-benda dalam air.

Busa halus pada hidung dan mulut menunjukan adanya peningkatan aktifitas pernafasan

disertai sekresi lendir pada jalan napas bagian atas, yang merupakan salah satu tanda dari asfiksia
Cutis anserina menunjukan tanda hipotermi.

4. Pelaku dicurigai hamil :

perut membuncit sesuai umur kehamilan


adanya morning sickness
tes HCG hasilnya positif

5. Tanda dan gejala keracunan insektisida termasuk termasuk golongan inhibitor kolin
esterase.

Ganggu pengelihatan
Kesukaran bernafas
Hiperaktif gastroinstestinal

6. Prinsip pengobatan insektisida :

Memastikan jalan napas


Melakukan napas buatan dan oksigen
Cuci mulut dengan air dan sabun
Bilas lambung
Pemberian antidote : sulfas atropine

7. Pemeriksaan medik pada kasus kejahatan seksual : adanya deflorasi hymen, laserasi vulva dan
vagina, adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina.
8. Pengguguran kandungan adalah tindakan menghentikan kehamilan atau mematikan janin
sebelum waktu kehamilan, tanpa melihat usia kandungannya.
9. Kriteria pembunuhan anak sendiri : pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap
anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama setelah dilahirkan, karena takut ketahuan
bahwa ia melahirkan anak.
10. Kasus tenggelam :
- mayat dalam keadaan basah

- busa halus pada hidung dan mulut


- mata setengah terbuka/tertutup
- cutis anserina
- washer womans hand
- cadaveric spasme
- luka-luka lecet
Mind Mapping
20 tahun diperkosa hamil melahirkan sendiri pembunuhan bayi (di bekap dan di
lempar ke sungai) merasa bersalah percobaan bunuh diri ditemukan botol pembasmi
serangga yang sudah terbuka dibawa ke IGD diobati pasien sadar menceritakan
kronologis
PEMBASMI SERANGGA TOKSIKOLOGI TOKSIKOLOGI KHUSUS

Learning Objective
1. Toksikologi
- Definisi
- Klasifikasi
- Faktor yang mempengaruhi
- Prinsip pengobatan

- Kriteria Diagnostik
- Pemeriksaan Kedokteran Forensik (PL,PD)
- Pengambilan bahan toksikologi (wadah, pengawet, cara pengiriman)
2. Toksikologi Khusus
- Keracunan sianida
- Keracunan arsen
-Keracunan insektisida

TOKSIKOLOGI

PENDAHULUAN
Keracunan terjadi akibat masuknya suatu zat ke dalam tubuh yang kemudian
menyebabkan efek yang berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Cepat lambatnya

keracunan terjadi dipengaruhi oleh jenis racun dan terutama dosis zat kimia yang menyebabkan
keracunan terjadi.
Zat racun dapat memberikan efek yang lokal, sistemik, maupun lokal dan sistemik.
Racun tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dengan cara ditelan, diinhalasi, disuntikkan, ataupun
terserap oleh kulit. Pertolongan pertama pada keracunan ditentukan terutama oleh cara masuk zat
racun tersebut ke dalam tubuh. Pertolongan pertama yang baik, tepat, dan dilakukan sedini
mungkin dapat mengurangi resiko kematian.
Peristiwa keracunan seringkali membutuhkan pemeriksaan oleh dokter bagian forensik,
terutama jika keracunan tersebut sampai menyebabkan kematian. Pemeriksaan forensik dalam
kasus keracunan bertujuan untuk mencari penyebab kematian dan untuk membuat rekaan
rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi (sejauh mana racun tersebut berperan pada suatu
peristiwa yang terjadi, misalnya bagaimana alkohol dalam darah dapat menimbulkan gangguan
pada seorang pengemudi sehingga ia tidak dapat mengendarai kendaraannya dengan baik dan
terjadi kecelakaan).

A. TOKSIKOLOGI UMUM
RACUN
Racun adalah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam
dosis toksik akan menyebabkan gangguan berupa sakit atau kematian.

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat dan khasiat racun, gejala-gejala,
dan pengobatan pada keracunan serta kelainan-kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal.
ETIOLOGI
Pada dasarnya tidak ada batas yang tegas tentang penyebab dari keracunan berbagai
macam obat dan zat kimia, karena praktis setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya.
Secara ringkas klasifikasi keracunan sebagai berikut:

Menurut cara terjadinya


1. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan
pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self poisoning biasanya
terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada
remaja yang ingin coba-coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan
ini dapat membahayakan dirinya.
2. Attempted poisoning
Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan
kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan
dosis.

3. Accidental poisoning
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan
sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena
kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut.
4. Homicidal piosoning
Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja
meracuni seseorang.

PRINSIP PENGOBATAN KERACUNAN


Gejala keracunan dan tindakan untuk mengatasinya berbeda-beda sesuai dengan jenis
racunnya. Pengobatan sangat dipengaruhi oleh cara masuk racun ke dalam tubuh.
KRITERIA DIAGNOSIS KERACUNAN
1. Ditemukannya tanda dan gejala yang sesuai dengan racun penyebab
2. Ditemukannya racun/sisa racun yang ditemukan dengan analisis kimiawi pada barang
bukti
3. Ditemukannya racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh korban (untuk racun sistemik)
4. Kelainan makroskopik maupun mikroskopik pada tubuh korban sesuai dengan racun
penyebab
5. Riwayat penyakit, bahwa korban tersebut benar-benar kontak dengan racun
6. Saat melakukan pemeriksaan forensik untuk korban keracunan, harus diperhatikan
keterangan tentang racun apa yang kira-kira menjadi penyebabnya, harus sedikit sekali
menggunakan air, dan jangan menggunakan desinfektan.
PENGAMBILAN BAHAN PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGIK
Bahan-bahan yang diambil biasanya darah, urine, bilasan lambung, isi lambung, usus
beserta isinya, hati beserta empedu, kedua ginjal, dan otak. Bahan-bahan pemeriksaan tersebut
sudah cukup memberikan informasi pada keracunan akut yang masuk melalui mulut. Pada
beberapa keadaan dapat diambil pula jaringan limpa, jantung, cairan liquor otak, jaringan lemak,
otot, rambut, dan kuku. Cara lain dengan mengambil bahan pemeriksaan pada 3 tempat, yaitu
pada tempat masuk racun (paru-paru, lambung, oral, tempat suntikan), darah, dan tempat keluar
(urine, empedu).

B. TOKSIKOLOGI KHUSUS
INTOKSIKASI SIANIDA

Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik. Efeknya sangat cepat dimana dapat
mengakibatkan kematian dalam waktu beberapa menit. Ada banyak bentuk sianida. Salah satu
yang mematikan adalah gas hidrogen sianida.
Hidrogen sianida (asam sianida, HCN) merupakan cairan jernih yang bersifat asam; larut
dalam air, alkohol dan eter; mudah menguap dalam suhu ruangan; mudah terbakar dan
mempunyai titik beku 140C.HCN mempunyai aroma khas amandel (bitter almonds, peach pit).
1. Patomekanisme
Pada saat seseorang terpapar racun sianida secara inhalasi, kulit maupun oral, baik sianida
yang terlepas dari sisa pembakaran plastik yang mengandung karbon dan nitrogen, ataupun
sianida yang terlepas dari asap rokok, maka sianida tersebut akan cepat diabsorbsi oleh tubuh
.Garam sianida cepat diabsorbsi melalui saluran pencernaan, Cyanogen dan uap HCN diabsorbsi
melalui pernapasan .HCN cair akan cepat diabsorbsi melalui kulit tetapi gas HCN lambat,
sedangkan nitril organik (iminodipropilnitril, glikonitril, asetonitril) cepat diserap melalui kulit.
Setelah diabsorbsi, sianida akan masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak
dapat berikatan dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk methemoglobin akan terbentuk
sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh
jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group
dari oksigen yang dibawa oleh darah. Selain itu sianida juga secara reflex merangsang
pernapasan dengan bekerja pada ujung saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernafasan
bertambah cepat dan menyebabkan gas racun yang diinhalasi makin banyak.
Proses oksidasi dan reduksi terjadi sebagai berikut:

Fe++sitokrom-oksidase

Fe+++sitokrom-oksidase
+
C
N

/----Fe++++sitokrom-oksidasesianidarom oksidase

Dengan demikian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb
tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan
sehingga timbul anoksia jaringan (anoksia histotoksik). Hal ini merupakan keadaan paradoksal
karena korban meninggal akibat hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen.
Sianida dioksida dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan dikeluarkan dari tubuh
melalui urin. Takaran toksin peroral untuk HCN adalah 60-90 mg sedangkan takaran toksik
untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Kadar gas sianida dalam udara lingkuangan dan lama
inhalasi akan menentukan kecepatan timbul gejala keracunan dan kematian.
20 ppm
100 ppm
200-400 ppm
2000 ppm

Gejala ringan timbul setelah beberapa jam


Sangat berbahaya dalam 1 jam
Meninggal dalam 30 menit
Meninggal seketika

Nilai TLV (Threshold imit value) adalah 11 mg per M3 untuk gas HCN sedangkan TLV
untuk debu sianida adalah 5 gr per M3.
Kadang-kadang korban keracunan CN melebihi takaran mematikan (letal) tetapi tidak
meninggal. Hal ini mungkin disebabkan oleh toleransi individual dengan daya detoksifikasi
tubuh berlebihan, dengan mengubah CN menjadi sianat dan sulfosianat. Dapat pula disebabkan
oleh keadaan anasiditas asam lambung, sehingga menyebabkan garam CN yang ditelan tidak
terurai menjadi HCN. Keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin. Tetapi sekarang hal ini
telah dibantah, karena cukup dengan air saja dalam lambung, garam CN sudah dapat terurai
menjadi HCN. Kemungkinan lain adalah karena dalam penyimpanan sianida sudah berubah
menjadi garam karbonat.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik setelah kematian akan ditemukan adanya lebam mayat berwarna
merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena
terdapat Cyan-Met-Hb.Warna lebam yang merah terang tidak selalu ditemukan pada kasus
keracunan sianida, ditemukan pula kasus kematian akibat sianida dengan warna lebam mayat
biru kemerahan, livid. Hal ini tergantung pada keadaan dan derajat keracunan. Tercium bau
amandel yang patognomonik untuk keracunan CN, dapat tercium dengan menekan dada mayat
sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Pada saat pembedahan mayat juga tercium bau
amandel yang khas pada saat membuka rongga dada, perut dan otak serta lambung (bila racun
melalui mulut). Darah, otot dan organ-organ tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya
hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ-organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa
lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada
perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat menyebabkan perforasi lambung yang dapat
terjadi antemortal atau postmortal.
3.

Standar penggunaan dan toksisitas


Permissible exposure limitpada kulit dengan rata-rata waktu 15 menit adalah 10 ppm.

Sedangkan immediately dangerous to life or health adalah 50 ppm. Tingkat toksisitas dari sianida
bermacam-macam. Sianida dapat menyebabkan kematian pada dosis 200-300 ppm. Pada dosis
110-135 ppm kefatalan terjadi setelah 30-60 menit. Dan dosis yang masih dapat ditoleransi oleh
tubuh adalah 45-54 ppm.

4.

Tanda dan gejala keracunan sianida

1.1 Keracunan akut


Racun yang ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernafasan dan kematian
dapat timbul dalam beberapa menit. Korban sering mengeluh rasa terbakar pada
kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual, muntah, sakit kepala,
vertigo, fotofobi, tinitus, pusing dan kelelahan.
Dapat pula ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi cepat
dan lemah, pernafasan cepat dan kadang-kadang tidak teratur, pupil dilatasi dan refleks
melambat, udara pernafasan dapat berbau amandel, juga dari muntahan tercium bau
amandel. Menjelang kematian sianosis lebih nyata dan timbul kedut otot-otot
kemudian kejang-kejang dengan inkontinesia urin dan alvi.
Racun yang diinhalasi menimbulkan palpitasi, kesukaran bernafas, mualmuntah, sakit kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi mulut, dan kerongkongan, pusing dan
kelemahan ekstremitas cepat timbul dan kemudian kolaps, kejang-kejang, koma dan
meninggal.
1.2 Keracunan kronik
Korban tampak pucat, keringat dingin, pusing, rasa tidak enak dalam perut, mual
dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak nafas. Keracunan kronik CN dapat
menyebabkan goiter dan hipotiroid, akibat terbentuk sulfosianat.
Calcium cyanimide menghambat aldehida-oksidase sehingga toleransi terhadap
alkohol menurun. Gejala keracunan berupa sakit kepala, vertigo, sesak nafas dan
meninggal akibat kegagalan pernafasan.

5. Pemeriksaan kedokteran forensik

Pemeriksaan luar
Tercium bau amandel yang patognomonik untuk keracunan CN, dapat tercium
dengan menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau

ini harus cepat dapat ditentukan karena indera pencium kita cepat teradaptasi
sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut dan lebam mayat
berwarna merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyan-Met-Hb. 2
Warna lebam yang merah terang tidak selalu ditemukan pada kasus keracunan
sianida, ditemukan pula kasus kematian akibat sianida dengan warna lebam mayat

biru kemerahan, livid. Hal ini tergantung pada keadaan dan derajat keracunan.
Pemeriksaan dalam
Pada pemeriksaan dalam tercium bau amandel yang khas pada saat membuka
rongga dada, perut dan otak serta lambung (bila racun melalui mulut). Darah, otot
dan organ-organ tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan
tanda-tanda asfiksia pada organ-organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi
dapat menyebabkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau
postmortal.

6. Pemeriksaan laboratorium

Uji kertas saring


Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan asam pikrat jenuh, biarkan hingga
lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak
mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk warna
ungu.
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%, kemudian ke dalam larutan
kanji 1 % dan keringkan. Setelah itu kertas saring dipotong-potong seperti kertas

lakmus. Kertas ini dipakai untuk pemeriksaan masal pada para pekerja yang diduga
kontak dengan CN. Caranya dengan membasahi kertas dengan ludah di bawah lidah.
Uji positif bila warna berubah menjadi biru. Hasil uji berwarna biru muda meragukan
sedangkan bila warna tidak berubah (merah muda) berarti tidak terdapat keracunan
CN.
Kertas saring dicelup ke dalam larutan KCl, dikeringkan dan dipotong-potong
kecil. Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka warna akan

berubah menjadi merah terang karena terbentuk sianmethemoglobin.


Reaksi Schonbein-Pagenstecher (reaksi Guajacol)
Caranya adalah dengan memasukkan 50 mg isi lambung/jaringan ke dalam botol
Erlenmeyer. Kertas saring (panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm) dicelupkan ke dalam larutan
guajacol 10% dalam alkohol, kemudian dikeringkan. Lalu dicelupkan ke dalam larutan
CuSO4 0,1% dalam air dan kertas saring digantungkan di atas jaringan dalam botol.
Botol tersebut dihangatkan. Bila hasil reaksi positif, akan terbentuk warna biru-hijau
pada kertas saring. Reaksi ini tidak spesifik, hasil positif semu didapatkan bila isi
lambung mengandung klorin, nitrogen oksida atau ozon; sehingga reaksi ini hanya

untuk skrining.
Reaksi Prussian Blue (Biru Berlin)
Isi lambung/jaringan didestilasi dengan destilator. 5 ml destilat + 1 ml NaOH
50% + 3 tetes FeSO4 10% rp + 3 tetes FeCl3 5%, panaskan sampai hampir mendidih,
lalu dinginkan dan tambahkan HCl pekat tetes demi tetes sampai terbentuk endapan

Fe(OH)3, teruskan sampai endapan larut kembali dan terbentuk biru berlin.
Cara Gettler Goldbaum
Dengan menggunakan 2 buah flange (piringan) dan di antara 2 flange dijepitkan
kertas saring Whatman No.50 yang digunting sebesar flange. Kertas saring dicelupkan
ke dalam larutan FeSO4 10% rp selama 5 menit, keringkan lalu celupkan ke dalam
larutan NaOH 20% selama beberapa detik. Letakkan dan jepitkan kertas saring di

antara kedua flange. Panaskan bahan dan salurkan uap yang terbentuk hingga
melewati kertas saring bereagensia antara kedua flange. Hasil positif bila terjadi
perubahan warna pada kertas saring menjadi biru.
7. Pengobatan
Pada keracunan CN yang masuk secara inhalasi:
Pindahkan korban ke udara bersih. Berikan amil-nitrit dengan inhalasi, 1
ampul(0,2 ml) tiap 5 menit. Hentikan pemberian bila tekanan darah sistolik kurang
dari 80 mmHg. Berikan pernapasan buatan dengan 100% oksigen untuk menjaga PO2
dalam darah agar tetap tinggi. Dapat juga dipakai oksigen hiperbarik. Resusitasi mulut
ke mulut merupakan kontraindikasi. Antidotum berupa Natrium nitrit 3% IV diberikan
sesegera mungkin dengan kecepatan 2,5 sampai s ml per menit. Pemberian nitrit akan
mengubah Hb menjadi met-Hb dan akan mengikat CN menjadi sianmet-Hb. Jumlah
nitrit yang diberikan harus didasarkan pada kadar Hb dan berat badan korban. Jumlah
Natrium nitrit pada table telah cukup untuk mengubah 25% Hb menjadi met-Hb.
Kadar met-Hb tidak boleh melebihi 40%, karena met-Hb tidak dapat mengangkut O2.
Bila kadat met-Hb melebihi 40% berikan reduktor, misalnya vitamin C intravena.
Tabel. Variasi takaran natrium nitrit dan natrium tiosulfat dengan kadar Hb
Hemoglobin
(g/100 ml)
7
8
9
10
11
12
13
14

Takaran awal
NaNO2 (mg/kg)
5,8
6,6
7,5
8,3
9,1
10,0
10,8
11,6

Takaran awal
NaNO2 3%
(ml/Kg)
0,19
0,22
0,25
0,27
0,30
0,33
0,36
0,38

Takaran awal
Na-tiosulfat 25%
(ml/kg)
0,95
1,10
1,25
1,35
1,50
1,65
1,80
1,95

Bila tekanan darah turun karena pemberian nitrit, berikan 0,1mg levarterenol
atau epinefrin IV. Natrium tiosulfat25% IV diberikan menyusul setelah pemberian Na
nitrit dengan kecepatan 2,5-5 ml per menit. Tiosulfat mengubah CN menjadi tiosianat.
Hidroksokobalamin juga dilanjutkan sebagai antidotum terutama untuk keracunan
kronik. Dikatakan bahwa kobalt EDTA adalah obat pilihan dengan takaran 300 mg IV

yang akan mengubah CN menjadi kobaltsianida Co(CN)6 yang larut dalam air.
Pada keracunan CN yang ditelan:

Lakukan tindakan darurat dengan pemberian inhalasi amil-nitrit, satu amoul (0,2 ml, dalam
waktu 3 menit) setiap 5 menit. Bilas lambung harus ditunda sampai setelah diberikan antidotum
nitrit dan tiosulfat. Bilas lambung dengan Na-tiosulfat 5% dan sisakan 200 ml (10 g) dalam
tabung. Dapat juga dengan K permanganat 0,1% atau H2O2 3% yang diencerkan 1 sampai 5
kali. Atau dengan 2 sendok teh karbon aktif atau Universitas antipode dalam 1 gelas air dan
kemudian kosongkan lambung dengan jalan dimuntahkan atau bilas lambung. Berikan
pernapasan buatan dengan oksigen 100%. Penggunaan andidotum sama seperti pada pengobatan
keracunan CN yang diinhalasi. Selain nitrit, dapat juga diberikan biru metilen 1% 50 ml IV
sebagai antidotum. Biru metilen akan mengubah Hb menjadi Met-Hb dan Met-Hb yang
terbentuk pada pemberian biru metilen ini ternyata tidak dapat bereaksi dengan CN sebab yang
masih belum diketahui. Bila korban keracunan akut dapat bertahan hidup selama 4 jam maka
biasanya akan sembuh. Kadang-kadang terdapat gejala sisa berupa kelainan neurologik. Pada
keracunan Ca-Sianida, belum diketahui antidotum yang dapat digunakan. Setelah bilas lambung
diberikan terapi secara simtomatik.

KERACUNAN ARSEN

Arsenik merupakan logam berat dengan nomor atom 33, berat atom 74.91. Biasanya
arsenik berwarna abu-abu dengan penampakan seperti logam (steel-gray). Selain abu-abu
dapat juga berwarna kuning, coklat, dan hitam.Pada saat arsenik dipanaskan, maka arsenik
akan menyublim menjadi gas (arsin)secara langsung. Arsenik termasuk elemen transisional
(intermediet) antara logam dan non logam, namun secara klasik digolongkan sebagai logam
berat. Arsenik tidak berbau dan tidak berasa. Secara garis besar arsen terdiri dari dua bentuk,
yakni organik dan inorganik. Bentuk inorganik merupakan kombinasi dengan elemen seperti
oksigen, chlorine, dan sulfur. Sedangkan bentuk organik merupakan kombinasi dengan
elemen karbon dan hidrogen. Bentuk inorganik memiliki sifat lebih toksik dibandingkan
bentuk organik.
SUMBER-SUMBER ARSEN
a) Alam
Arsen terutama terdapat di dalam tanah dalam konsentrasi yang bervariasi. Tanah yang
normal mempunyai kandungan arsen tidak lebih dari 20 ppm (part per million). Arsen dalam
tanah akan diserap oleh akar tumbuhan dan masuk ke dalam bagian-bagian tumbuhan sehingga

tumbuhan mengandung arsen. Adanya arsen dalam tanah akan menyebabkan sebagian arsen larut
di dalam air. Arsen ini kemudian akan menjadi makanan plankton yang kemudian akan dimakan
ikan. Jadi secara tidak langsung manusia yang mengkonsumsi ikan akan mengkonsumsi arsen.
Senyawa arsen yang paling sering dijumpai pada makanan adalah arsenobetaine dan
arsenocholine, yang merupakan varian arsen organic yang relatif non toksik. Senyawa arsen juga
banyak dijumpai pada daerah pertambangan, karena senyawa arsen merupakan produk
sampingan dari ekstraksi logam Pb, Cu maupun Au. Dalam pertambangan tersebut, senyawa
arsen tersebut merupakan kontaminan pada air sumur keadaan normal, setiap hari tidak kurang
dari 0,5 - 1 mg arsen akan masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan dan minuman yang kita
konsumsi.Dengan demikian, di dalam darah orang normalpun, kita dapat menjumpai adanya
arsen.

b) Bahan-bahan industri
Arsen telah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan diantaranya untuk bahan
pestisida, herbisida, insektisida, bahan cat, keramik, bahan untuk preservasi kayu, penjernih kaca
pada industri elektronik. Dalam masyarakat, arsen masih digunakan sebagai anti hama, terutama
tikus. Dalam bentuk bubuk putih, yang dikenal sebagai warangan (As2O3), arsen merupakan
obat pembasmi tikus yang ampuh. Racun ini tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna dan
sangat beracun sehingga dapat mengecoh tikus sehingga mau memakan umpan yang telah diberi
racun tersebut. Tikus yang memakan arsen akan mengalami gejala muntaber, kekurangan cairan
(dehidrasi) dan mati dalam keadaan kering. Karena bahayanya racun ini, maka saat ini arsen
tidak banyak digunakan lagi sebagai pembasmi hama dan perannya digantikan oleh bahan lain
yang lebih aman. Meskipun demikian, sampai saat ini arsen masih banyak digunakan sebagai
bahan preservasi kayu dan komponen dalam industri elektronika, karena belum ada
penggantinya.
c)

Bahan obat-obatan dan herbal


Arsenik inorganik telah digunakan untuk pengobatan lebih dari 2500 tahun lalu. Bentuk

yang paling sering digunakan adalah Fowler solution yang mengandung 1% potasium arsenit,
digunakan untuk terapi psoriasis. Selain itu Arsphenamine selama beberapa tahun merupakan

terapi standar untuk penyakit sifilis. Namun penelitian retrospektif menyatakan adanya
peningkatan insiden angiosarkoma hepatik pada orang yang sering diterapi dengan Fowler
solution. Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti
protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi digunakan
karena ditemukannya obat lain yang lebih aman. Hingga saat ini arsen juga banyak terdapat pada
obat-obat tradisional dari india dan cina.
FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK
Toksisitas dari arsen tergantung dari bentuknya (organik/inorganik), valensinya, dan
kelarutannya. Arsen dalam bentuk unsur bukanlah bahan yang toksik. Arsen yang merupakan
racun adalah senyawa arsen. Senyawa arsen inorganik lebih bersifat toksik dibandingkan
organik. Dan arsenik trivalen (As3+) lebih bersifat toksik dibanding arsenik pentavalen (As5+).
Senyawa arsen dapat masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu peroral, inhalasi, dan
absorpsi melalui kulit / mukosa membran.
Senyawa arsen yang paling sering digunakan untuk meracuni orang adalah Arsen
trioksida (As2O3). Arsen bersifat sitotoksik, karena menyebabkan efek racun pada protoplasma
sel tubuh manusia. Racun arsen yang masuk ke dalam saluran cerna akan diserap secara
sempurna di dalam usus dan masuk ke aliran darah dan disebar ke seluruh organ tubuh. Sebagai
suatu racun protoplasmik arsen melakukan kerjanya melalui efek toksik ganda, yaitu :
a)

Mempengaruhi respirasi sel dengan cara berikatan dengan gugus sulfhidril (SH)

pada dihidrolipoat, sehingga menghambat kerja enzim yang terkait dengan transfer energi,
terutama pada piruvate dehydrogenase, succinate oxidative pathway, dan tricarbxylic acid
(Krebs) cycle, yang menyebabkan berkurangnya produksi ATP sehingga menimbulkan efek
patologis yang reversibel. Efek toksik ini dikatakan reversible karena dapat dinetralisir dengan
pemberian dithiol, 2,3, dimerkaptopropanol (dimercaprol, BritishAnti-Lewisite atau BAL) yang
akan berkompetisi dengan arsen dalam mengikat gugus SH. Selain itu sebagian arsen juga
menggantikan gugus fosfat sehingga terjadi gangguan oksidasi fosforilasi dalam tubuh

b)

Senyawa arsen mempunyai tempat predileksi pada endotel pembuluh darah,

khususnya di dearah splanknik dan menyebakan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas yang
patologis. Pembuluh darah jantung yang terkena menyebabkan timbulnya petekie subepikardial
dan subendokardial yang jelas serta ekstravasasi perdarahan. Efek local arsen pada kapiler
menyebabkan serangkaian respons mulai dari kongesti, stasis serta trombosis sehingga
menyebabkan nekrosis dan iskemia jaringan.
Didalam darah, arsen yang masuk akan mengikat globulin dalam darah. Dalam waktu 24
jam setelah dikonsumsi, arsen dapat ditemukan dalam konsentrasi tinggi di berbagai organ tubuh,
seperti hati, ginjal, limpa, paru-paru serta saluran cerna, dimana arsen akan mengikat gugus
syulfhidril dalam protein jaringan. Hanya sebagian kecil dari arsen yang menembus blood-brain
barrier. Arsen anorganik yang masuk ke tubuh wanita hamil dapat menembus sawar darah
plasenta dan masuk ke tubuh janin.Didalam tulang arsen menggantikan posisi fosfor, sehingga
arsen dapat dideteksi didalam tulang setelah bertahun-tahun kemudian Sebagian arsen dibuang
melalui urin dalam bentuk methylated arsenic dan sebagian lainnya ditimbun dalam kulit, kuku
dan rambut. Fakta terakhir ini penting, karena setiap kali ada paparan arsen, maka menambah
depot arsen di dalam kulit, kuku dan rambut. Dalam penyidikan kasus pembunuhan dengan
menggunakan arsen, adanya peracunan kronis dan berulang dapat dilacak dengan melakukan
pemeriksaan kadar arsen pada berbagai bagian (fragmen) potongan rambut dari pangkal sampai
ke ujungnya.
Bentuk fisik senyawa arsen yang masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi efeknya
pada tubuh. Menelan senyawa atau garam arsen dalam bentuk larutan lebih cepat penyerapannya
dibandingkan penyerapan arsen dalam bentuk padat. Penyerapan senyawa arsen dalam bentuk
padat halus lebih cepat dibandingkan bentuk padat kasar, sehingga gejala klinis yang terjadi pun
lebih berat juga. Secara umum efek arsen terhadap tubuh tergantung dari sifat fisik dan kimiawi
racun, jumlah racun yang masuk, kecepatan absorpsi, serta kecepatan dan jumlah eliminasi, baik
yang terjadi alamiah (melalui muntah dan diare) maupun buatan, misalnya akibat pengobatan
(lavase).
DOSIS TOKSIK

Sebelum membahas mengenai dosis toksik arsen, perlu diketahui terlebih dahulu
mengenai kadar normal arsen dalam tubuh kita, karena dalam keadaan normal sekalipun tubuh
kita sering terpapar dengan zat yang mengandung arsen dan secara rutin tanpa sadar kita juga
mengkonsumsinya setiap hari, misalnya dari makanan dan minuman yang kita konsumsi seharihari. Kadar normal arsen dalam serum adalah kurang dari 5 g /L. Sedangkan dalam urin 24 jam
kurang dari 50 g /L.
a)

Intoksikasi akut
Acute minimal lethal dose untuk arsenik trioksida pada orang dewasa adalah 70 200 mg

atau 1 mg/kg/hari. Dosis arsenik inorganik kurang dari 1 mg/kg dapat menyebabkan penyakit
yang serius pada anak-anak. Sedangkan untuk gas arsen dapat menyebabkan kematian pada
kadar 150 250 ppm. Pajanan antara 25 50 ppm selama 30 menit atau 100 ppm selama kurang
dari 30 menit dapat menyebabkan hemolisis dan kematian.
b)

Intoksikasi kronik
Sebuah sumber menuliskan frekuensi kanker jelas meningkat pada dosis 400g /hari.

The National Research Council menaksir pajanan terhadap air minum yang mengandung 10 g/L
arsen setiap hari akan meningkatkan resiko terkena bladder cancer.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis intoksikasi arsen dapat dibagi menjadi gejala yang terjadi pada pemaparan yang
akut dan kronik.
1)

Intoksikasi Akut
Intoksikasi arsen yang sifatnya akut saat ini jarang terjadi di tempat kerja, biasanya

terjadi karena konsumsi peroral akibat ketidaktahuan, bunuh diri, ataupun pembunuhan.
Timbulnya gejala biasanya dalam waktu beberapa menit hingga jam. Gejalanya dapat berupa:

Gastrointestinal

Sindrom gastrointestinal ini merupakan gambaran klasik keracunan akut arsen yang masuk per
oral. Masuknya arsen ke dalam tubuh dalam dosis besar biasanya baru menimbulkan gejala
keracunan akut setelah 30 menit sampai 2 jam setelah paparan racun. Gejala yang timbul berupa
rasa terbakar pada tenggorokan dan uluhati, diikuti dengan mual, muntah, nyeri abdomen, diare
dengan feses seperti air cucian beras, yang kadang-kadang berdarah.

Sistem respirasi

Dapat terjadi iritasi pada saluran nafas seperti batuk, laringitis, bronkitis ringan, dan sesak nafas,
hal ini dapat terjadi akibat pemaparan akut terhadap debu arsen. Selanjutnya mungkin dapat
terjadi edema paru akut.

Sistem kardiovaskuler

Manifestasinya dapat berupa hipotensi, syok hipovolemik, ventrikular disritmia, dan congestive
heart failure. Pada intoksikasi arsen terjadi dilatasi kapiler yang mengakibatkan permeabilitas
dinding pembuluh darah meningkat dan cairan keluar ke interstisial. Keadaan ini bisa
menyebabkan hipovolemi dan hipotensi.

Sistem saraf

Intoksikasi pada sistem saraf memberikan gejala pusing, sakit kepala, lemah, lesu, delirium,
kejang, koma, ensefalopati, dan gejala neuropati perifer sensoris dan motoris. Gejala neuropati
dapat bersifat lambat (delayed) dan muncul 2-4 minggu setelah gejala akut.

Hati dan Ginjal

Dapat terjadi peningkatan enzim hepar, hematuria, oliguria, proteinuria, renal insufisiensi dan
nekrosis tubular akut, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal akut.

Hematologi: anemia, leucopenia, trombositopenia, dan disseminated intravascular

coagulation (DIC).
Kematian mendadak dapat terjadi akibat syok jika korban menelan senyawa arsen yang
cepat diabsorpsi dalam jumlah besar. Namun jika korban tersebut dapat bertahan hidup maka ia
akan menderita gagal ginjal ataupun kegagalan fungsi hati.
2)

Intoksikasi Kronik

Intoksikasi kronis dapat terjadi akibat paparan arsen dalam dosis sublethal yang berulang.
Paparan kronis arsen dapat terjadi akibat paparan industri maupun pekerjaan, kecerobohan dan
ketidaktahuan disekitar rumah, akibat pengobatan maupun upaya pembunuhan. Arsen yang
masuk ke dalam tubuh secara berulang dan tidak diekskresi akan ditimbun dalam hati, ginjal,
limpa dan jaringan keratin (rambut dan kuku). Setelah penghentian paparan, arsen yang
tertimbun akan dilepaskan secara perlahan dari depotnya dan menimbulkan gejala yang
membandel. Keracunan arsen kronis dapat menetap berminggu-minggu sampai berbulan-bulan
dengan menunjukkan satu atau lebih sindroma yang berbeda. Pada keracunan kronis gejala klinis
masih dijumpai untuk waktu yang lama, meskipun paparan sudah tidak terjadi lagi. Gejala
neuropati dan kelainan kulit merupakan tanda dari suatu keracunan kronis, sedangkan gejala
yang lain sifatnya minor.

Berikut ini adalah beberapa kemungkinan gejala klinis keracunan Arsen kronis :

Neuropathy perifer motoris dan sensoris dengan paralisis, parese, anestesi, parestesi (rasa
gatal, geli), dan ambliopia. Kelainan neurologis berawal di perifer dan meluas secara
sentripetal. Otot halus tangan dan kaki mungkin mengalami paralisis dan sering disertai
adanya kelainan tropik.

Erupsi kulit berupa perubahan pigmentasi coklat (melanosis) dengn spotty leukoderma
(raindrop hyperpigmentation) dan keratosis punktata pada telapak tangan dan kaki, yang
tampak mirip seperti kutil (warts). Keratosis dalam jangka panjang mungkin berubah
menjadi Carsinoma sel skuamosa. Carsinoma sel basal superfisial pada daerah yang
unexposed dan karsinoma sel skuamiosa intra epidermal (penyakit Bowen) dapat juga
terjadi pada paparan arsen jangka panjang. Pada kuku dapat dijumpai adanya stria putih
transversal akibat konsumsi arsen jangka panjang yang berlangsung beberapa bulan.
Kuku yang rapuh dan kerontokan rambut juga merupakan petunjuk kemungkinan adanya
keracunan arsen kronis. Dermatits eksfoliatif dapat terjadi pada intoksikasi kronis arsen
organik.

Gastroenteritis kronis dengan anoreksia, nausea yang tidak jelas dan diare interminten.
Selain itu dapat dijumpai pula adanya rasa kecap metal pada mulut, napas berbau bawang

putih, tenggorokan kering dan rasa haus yang persisten


Ikterus akibat nekrosis sel hati subakut
Malaise dengan anemia dan hilangnya berat badan menyebabkan terjadinya kakeksia dan
terjadinya berbagai infeksi. Anemia sering disertai dengan leukopenia yang berat dan

eosinofilia relatif.
Kanker: arsenic inorganic merupakan karsinogen bagi manusia. Pajanan kronik arsenik
inorganik sangat berhubungan dengan kanker kulit dan kanker paru, dan dapat pula
mengakibatkan kanker pada berbagai organ seperti ginjal, kandung kemih, dan hepar.

PENEMUAN OTOPSI
Pada kematian akibat keracunan akut, pemeriksaan luar mayat memberi kesan telah terjadinya
dehidrasi hebat pada tubuh. Pada pemeriksaan dalam akan dijumpai adanya mukosa lambung
dan esophagus yang mengalami inflamasi, erosi, kongesti, dan bercak-bercak perdarahan.
Membran mukosa mempunyai lekukan dan diantara lekukan tersebut (rugae) bisa ditemukan
lendir yang kental dan mengikat partikel racun. Isi lambung berwarna gelap. Pada korban yang
meninggal dalam satu atau dua hari setelah pajanan, kelainan tersebut dapat meluas ke seluruh
usus halus, bahkan kadang-kadang disertai juga oleh adanya pseudomembran diatasnya. Jika
korban meninggal lebih lama lagi dari itu, maka akan dijumpai adanya deposit lemak pada
jaringan hati, jantung dan ginjal. Selain itu pada otopsi dapat juga ditemukan adanya perdarahan
subserosa terutama pada jantung, jaringan longgar mesenterium dan daerah retroperitoneal.
Subendokardium ventrikel kiri merupakan tempat predileksi untuk suatu perdarahan yang jelas
dan kecil berupa flame like hemorrhage atau efusi perdarahan yang luas.
Pada kematian akibat keracunan kronis, pemeriksaan luar dapat dijumpai terjadinya kelainan
pigmentasi pada kulit, garis putih pada kuku, serta tubuh korban yang kahektis. Pada
pemeriksaan dalam akan menunjukkan kelainan pada saluran pencernaan yang ringan. Lambung
normal atau dapat juga menunjukan gastritis kronis dengan disertai penebalan mukosa dan
lapisan serosa. Usus halus berdilatsi dengan mukosa yang menebal dan gambaran
keseluruhannya edema kongestif yang non-spesifik yang umum ditemukan pada penyakit

enteritis. Jarang terjadi ulserasi pada mukosa, isi dari usus sendiri dapat berlebihan atau berupa
cairan dengan gambaran seperrti air cucian beras. Kelainan histologi degenerative juga dapat
ditemukan pada hati dan ginjal.
Apabila korban menelan arsen dalam bentuk padat, secara makroskopik kadang-kadang dapat
dijumpai adanya kristal putih melekat pada mukosa lambung dan esofagus. Jika korban baru
diotopsi setelah mayat membusuk, maka kristal putih arsen trioksida akan berubah warna
menjadi kuning. Sementara itu mukosa gaster warnanya juga berubah dari merah padam menjadi
hijau keunguan sampai hijau kecoklatan. Pada jaringan otak, arsen menyebabkan destruksi
hemoragik dan perivaskuler (dikenal sebagai Wernicke-like encepphalopathy, arsenical
encephalopathy, hemorrhagic arsenical encephalitis, atau cerebral purpura), yang terjadi akibat
kerusakan endotel yang berat. Secara mikroskopik pada kelainan ini ditemukan adanya trombosis
arteriol dan kapiler serta nekrosis simetris pada daerah pons, korpus kalosum, klaustrum dan
thalamus.
PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGI
Dengan berkembangnya tehnik pemeriksaan arsen yang amat sensitif pada saat ini, maka data
temuan arsen harus dianalisis secara berhati-hati. Ditemukannya arsen dalam jaringan belum
tentu menunjukkan adanya intoksikasi kecuali jika data anamnesis, sindroma klinis, pemeriksaan
fisik antermortem dan temuan laboratorium serta perubahan anatomi sangat menyokong
kemungkinan adanya keracunan arsen. Konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran, yang
disemprot dengan lead arsenat anti ulat dan tidak cukup dicuci sebelum dimakan, konsumsi
seafood dalam jumlah besar serta inhalasi asap rokok dapat menghasilkan akumulasi arsen dalam
jaringan dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat terdeteksi secara kimiawi, meskipun
tidak dijumpai adanya gejala klinis maupun kelainan anatomik.
Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi adanya racun dilakukan terhadap sampel urin, isi
lambung, darah perifer, dan rambut (dicabut dari pangkalnya). Untuk korban keracunan yang
meninggal bahan pemeriksaan diambil juga dari jaringan otak dan hati, ginjal, cairan empedu
serta humor vitreus. Selain bahan-bahan tersebut, sebagai pembanding dapat juga dilakukan
pemeriksaan atas bahan makanan, minuman, obat-obatan yang dicurigai.

Pemeriksaan toksikologi terhadap arsen dilakukan dengan metode kolorimetrik maupun atomic
absorption spectroscopy, yang mendeteksi total arsen. Arsen biasanya telah dapat terdeteksi
dalam 2-4 jam setelah masuk secara per oral. Batasan nilai toksik arsen dalam berbagai jaringan
adalah sbb: dalam darah 0,69,3 mg/L, dalam hepar 2 20 mg/kg, dalam ginjal 0,270 mg/kg,
dalam otak 0,2-4 mg/kg, dalam rambut atau kuku lebih dari 1 g/gram berat kering.
Berikut ini dijelaskan beberapa pemeriksaan toksikologi yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya racun arsen dalam tubuh;
1.Pemeriksaan urin.
Arsen diekskresi melalui urin dalam bentuk methylated arsenic yang biasanya dapat dideteksi
paling lambat 1 3 hari, maka pengambilan sampel harus dilakukan secepat mungkin.
Penggunaan urin 24 jam lebih akurat. Peningkatan kadar arsenik dalam urin mungkin saja terjadi
setelah mengkonsumsi seafood.
2.Pemeriksaan darah.
Pemeriksaan serologis: Pemeriksaan kadar arsenik dalam darah jarang digunakan karena waktu
paruhnya yang sangat singkat (kira-kira 2 jam). Kadar arsenik dalam serum hanya dapat
dideteksi dalam beberapa jam pertama setelah pajanan. Kadarnya dalam darah sangat tergantung
pada diet sehari-hari dan lingkungan sekitar. Pada komunitas dengan kadar arsen normal pada air
minumnya, konsentrasi arsen dalam serum antara 3 5 g/L. Sedangkan pada komunitas dengan
kadar arsen 393 g/L dalam air minumnya, didapati konsentrasi arsen dalam darahnya rata-rata
13 g/L. Pada pemeriksaan darah lengkap bisa didapatkan gambaran anemia hemolitik.
3.

Pemeriksaan rambut dan kuku

Arsen disimpan secara selektif di jaringan ektodermal, terutama di jaringan keratin kuku dan
rambut. Kadar arsen kurang dari 0,1 mg/100 gram rambut umumnya tidak punya makna. Kadar
sebesar itu dapat terjadi akibat akumulasi arsen pada paparan subklinik pada orang normal,
misalnya dar air, debu atau bahan kosmetik. Arsen dapat dideteksi pada rambut dan kuku dalam
jumlah signifikan hanya 30 jam setelah paparan.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan intoksaikasi arsen dilakukan dngan beberapa tindakan sbb:
1. Dekontaminasi usus: Pemberian arang aktif (norit), lavase dan/atau laksan dapat dilakukan
untuk dekontaminasi usus.
2. Percepatan eliminasi: Tindakan hemodialisis dapat dipertimbangkan jika arsen ditelan dalam
jumlah banyak dan ditemukan adanya gejala sistemik berupa hipotensi, kekacauan mental, koma,
oliguria dan / atau asidosis laktat. Dimercaprol atau BAL dapat diberikan bersama hemodialisis
untuk mencegah kemungkina redistribusi arsen.
3. Terapi suportif: Tindakan hemodialisis perlu mendapat perhatian karena arsen menyebabkan
vasodilatasi. Obati hipotensi yang terjadi dengan pemberian cairan sebelum menggunakan obat
vasopresor. Lakukan EKG dan monitor irama jantung. Lakukan pemantauan fungsi liver dan
ginjal secara ketat. Foto thoraks juga perlu dilakukan karena pada intoksikasi arsen dapat terjadi
komplikasi edema pulmonal, meskipun jarang, dan dapat pula terjadi gagal napas akibat
kelemahan otot yang mungkin terjadi beberapa minggu setelah keracunan berat.
4. Antoidotum: British Anti Lewisite (BAL) dalam minyak (dimercaprol) merupakan antidotum
untuk semua kondisi keracunan arsen akut yang serius, kecuali untuk intoksikasi arsine. Dosis
pemberian BAL bervariasi tergantung dari berat ringannya paparan arsen. Penicillamine
merupakan terapi tambahan pada kelainan pencernaan yang serius dan efek sampingnya lebih
ringan dibandingkan BAL. Obat lainnya yaitu Dimercaptosuccinic acid (DMSA) patamerupakan
obat oral dan diduga bermanfaat untuk pengobatan jangka panjang atau pengobatan lanjut
keracunan arsen Dimercapto propane sulfonate (DMPS) akan memproduksi kompleks yang larut
air dengan arsen, sehingga lebih baik dari BAL karena dapat menembus SSP.

KERACUNAN ORGANOFOSFAT
Definisi
Keracunan organofosfat merupakan suatu keadaan intoksikasi yang disebabkan oleh senyawa
organofosfat seperti malathion, parathion, tetraetilpirofosfat (TEPP) dan oktamil pirofosforamida
(OMPA) yang bisa masuk kedalam tubuh baik dengan cara tertelan, terhirup nafas, atau
terabsorbsi

lewat

kulit

dan

mata.

Mekanisme Kerja Organofosfat


Senyawa Organofosfat ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim
asetilkolinesterase. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin yang dilepaskan
oleh susunan saraf pusat, gangglion autonom, ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujung-ujung
saraf motorik menjadi asetat dan kholin.. Hambatan asetilkolinesterase menyebabkan
tertumpuknya sejumlah besar asetilkolin pada tempat-tempat tersebut. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

Gambar.1

Gambar.2
Asetilkholin itu bersifat mengeksitasi dari neuron neuron yang ada di post sinaps,
sedangkan asetilkolinesterasenya diinaktifkan, sehingga tidak terjadi adanya katalisis dari asam
asetil dan kholin. Kemudian akan terjadi terjadi akumulasi dari asetilkolin di sistem saraf tepi,
sistem saraf pusat, neomuscular junction dan sel darah merah. Akibatnya akan menimbulkan
hipereksitasi

secara

terus

menerus

dari

reseptor

muskarinik

dan

nikotinik.

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim


tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.

Kita dapat menduga terjadinya keracunan dengan golongan ini jika :


1. Gejala gejala timbul cepat , bila > 6 jam jelas bukan keracunan dengan insektisida golongan
ini.
2. Gejala gejala progresif , makin lama makin hebat , sehingga jika tidak segera mendapatkan
pertolongan dapat berakibat fatal , terjadi depresi pernafasan dan blok jantung.
3. Gejala gejala tidak dapat dimasukkan kedalam suatu sindroma penyakit apapun , gejala
dapat seperti gastro enteritis , ensephalitis , pneumonia, dll.
4.Dengan terapi yang lazim tidak menolong.
5. Anamnesa ada kontak dengan keracunan golongan ini.

I.

Tanda Tanda Keracunan Organofosfat


1. Efek muskarinik :
singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena gejala dan
tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D : Diare
U : Urinasi
M : Miosis (absent pada 10% kasus)
B : Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E : Emesis
L : Lacrimasi
S : Salivation dan Hipotensi

2. Efek Nikotinik
- Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
- Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid muscle
paralysis
- Tremor
3. Efek CNS
- Ansietas, gelisah, insomnia, neurosis
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Kejang
- Koma
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Kelemahan umum
- Bicara terbata-bata
Kematian biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan , dan pada penelitian
menunjukkan bahwa segala keracunan mempunyai korelasi dengan perubahan dalam aktivitas
enzim kholinesterase yang terdapat pada pons dan medulla.
Kegagalan pernafasan dapat pula terjadi karena adanya kelemahan otot pernafasan ,
spasme bronchus dan edema pulmonum.

PEMERIKSAAN FORENSIK KLINIK TERHADAP KORBAN KERACUNAN


Dalam hal tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia, penyidik
berdasarkan pasal 133 (1) KUHAP dapat meminta dokter ahli kehakiman (spesialis forensic),
dokter atau ahli lainnya. Bentuk bantuan yang diminta bias berupa Permintaan pemeriksaan
TKp, pemeriksaan forensic klinik (terhadap korban hidup), pemeriksaan jenazah atau bedah
jenazah (terhadap korban meninggal) ataupun pemeriksaan laboratorium forensic (terhadap
barang bukti biologis yang berasal dari manusia).

Pemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun


secara forensik klinis meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

tambahan. Perbedaan yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa
sertifikasi yang memberi bantuan pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi
yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan.
Dalam

pemeriksaan

forensik

klinis,

anamnesis

dapat

bersifat

autoanamnesis bila korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga korban atau
penyidik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis :

Jenis racun

Cara masuk racun


(route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama udara pernafasan, melalui
penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulityang sakit, melalui
anus atau vagina.

Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban

Keadaan sikiatri korban

Keadaan kesehatan fisik korban

Faktor yang meningkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat

alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)

Kriteria
1.

diagnosis

Anamnesa

kontak

pada
antara

keracunan
korban

organophosphate
dengan

senyawa

adalah

organophosphate

2. Adanya tanda tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan
organophosphate
3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut memang racun dari
senyawa

organophosphate.

4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan
keracunan senyawa organophosphate; serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya penyebab
kematian

lain.

5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya senyawa
organophosphate serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara sistemik.
Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
dengan menentukan kadar AChE dalam darah dan plasma ( penentuan aktivitas enzim
kholinesterase

yaitu

dengan

cara

EDSON

dan

ACHOLEST

1. Cara Edson
Prinsipnya berdasarkan perubahan pada pH darah
AChE AChE cholin + asam asetat
Ambil darah korban , ditambahkan indikator brom thymolblue, didiamkan beberapa saat ,
maka akan terjadi perubahan warna. Warna tersebut dibandingkan dengan warna standard pada
comparator disc, maka dapat ditentukan kadar AChE dalam darah.
% aktifitas AChE darah Interpretasi
75 % 100 % dari normal- Keracunan berat
50 % 75 % dari normal- Keracunan sedang
25 % 50 % dari normal- Keracunan ringan
0 % 25 % dari normal Tidak ada keracunan
2. Cara Acholest
Diambil serum darah korban diteteskan pada kertas Acholest , bersamaan dengan kontrol
serum darah normal.
Kertas Acholest sudah terdapat ACh dan indikator dan perubahan warna kertas tersebut
dicatat waktunya. Perubahan warna harus sama dengan perubahan warna pembanding ( serum
normal ) yaitu warna kuning telur ( yolk ).
Interpretasi :
- Kurang 8 menit , tidak ada keracunan
- 20 35 menit , keracunan ringan
- 35 150 menit , keracunan berat

Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa muntahan, sekret mulut dan
hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis isi lambung harus di lakukan secara visual,
bau dan secara kimia. Skrening racun diambil dari sampel urin dan darah.

Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et Repertum Peracunan
yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan. Prosedur penerbitan Visum et Repertum
Peracunan sesuai dengan prosedur medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat
berdasarkn Surat Permintaan Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et
Repertum peracunan ditentukan kualifikasi luka

akibat peracunan, dimana penentuannya

berdasarkan penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang
diakibatkan oleh racun.
PEMERIKSAAN FORENSIK KASUS KERACUNAN ORGANOFOSFAT TERHADAP
KORBAN YANG SUDAH MENINGGAL
Pemeriksaan Post Mortem
A. Pemeriksaan Luar
1. Pakaian.
Perhatikan

apakah

ada

bercak

bercak

racun,

distribusi

dari

bercak dan bau bercak tersebut. Dari distribusi bercak racun kita dapat memperkirakan cara
kematian, apakah bunuh diri atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri, distribusi bercak
biasanya teratur pada bagian depan, tengah dari pakaian. Sedangkan pada kasus
pembunuhan, distribusi bercak biasanya tidak teratur.
2. Lebam mayat ( livor mortis ).
Lebam mayat pada kasus Keracunan organofosfat menunjukkan warna yang sama dengan
keadaan kematian normal, yaitu warna lebam mayat adalah livide. Hal ini berbeda dengan
keracunan CO dimana lebam akan berwarna cherry red ( = warna COHb ). Pada keracunan
sianida, lebam akan berwarna merah terang ( = warna HbO2 ), karena kadar HbO2 dalam
darah vena tinggi.

3. Bau yang keluar dari mulut dan hidung.


Dilakukan dengan jalan menekan dada dan kemudian mencium bau yang keluar dari
mulut dan hidung, kita dapat mengenali bau khas dari bahan pelarut yang dipakai untuk
melarutkan insektisida ( transflutrin ).
B. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam kasus keracunan ( secara umum ), umumnya tidak akan dijumpai
kelainan kelainan yang khas atau yang spesifik yang dapat dijadikan pegangan untuk
menegakan diagnosis/menentukan sebab kematian karena keracunan sesuatu zat. Hanya sedikit
dari racun racun yang dapat dikendalikan berdasarkan kelainan kelainan yang ditemukan
pada saat pemeriksaan mayat.
Pada kasus Keracunan Baygon tidak dijumpai adanya kelainan yang khas. Beberapa kelainan
yang didapat menunjukkan tanda tanda yang berhubungan dengan edema serebri, edema
pulmonum dan konvulsi. Bau dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi. Diagnosis dapat
ditegakan dari riwayat penyakit, gejala keracunan yang kompleks dan tidak khas serta dari
pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan kromatografi lapisan tipis (thin layer chromotography ).
Spektrofotometrik dan gas kromatografi.
Jadi jelaslah bahwa pemeriksaan analisa kimia ( pemeriksaan toksikologi ) untuk menentukan
adanya racun dan menentukan sebab kematian korban mutlak dilakukan pada setiap kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Pembedahan mayat berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian dan bermanfaat untuk
memberikan pengarahan pemeriksaan toksikologi.

KUNCI PEMBUKTIAN KASUS KERACUNAN


Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yangharus
dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak melibatkan dokter forensik klinis.
Hal yang dibuktikan antara lain :
1. Bukti hukum (legally proving )
Bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan ( adminissible ) sangat tergantung dari keaslian
bukti tersebut sehinga penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan.
Terlebih lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan tingkat
kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang beralasan.
2. Pembuktian motif keracunan
3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko obat atau toko
yang menyediakan substansi yang digunakan.
4. Bukti-bukti pada korban
Seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan, dan penyakit serta
kesempatan dilibatkannya racun.
5. Bukti kesengajaan (intentional)
6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban

adalah racun dengan

menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.


7. Bukti peracunan adalah homicide.

Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan tersebut, tampak bantuan dokter sangat diperlukan
dalam beberapa langkah terutama :
Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya memberikan
pembuktian hukum.
Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan psikiatri
korban.
Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Keracunan Sianida. Dalam: Budiyanto A, widiatmaka W, Sudiono S, Munim T, Sidhi,


Herfian S, editors. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.
hal. 95-100.
2. New York State Department of Health. The Facts About Cyanides. New York: 2004.
http://www.health.state.com, diakses tanggal 11 Maret 2016.
3.
Centers for Disease Control and Prevention. Facts About Cyanide. Departement Of
Health and Human service. 2003. http://www.bt.cdc.gov ,diakses tanggal 11 Maret 2016.
4. Dyro, Frances M. Arsenic. Available from: URL: http://emedicine.org/html. diakses tanggal 11
Maret 2016.
5. Chadha,Vijay. Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi kelima. Jakarta: Widya Medika. 1995
.p 258-63.
6. Abdul MI. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara.
1997. p.330-31.
7. Dirjen PPM&PL Pengenalan Pestisida Depkes RI Jakarta 2000

Anda mungkin juga menyukai