Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PATOFISIOLOGI GADAR


“KERACUNAN”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :


Yanesita Koba
Novita Waani
Ankly Takasabare
Hanna Emor

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D-IV
2019

|1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana


seseorang membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak
mendapatkan pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya
atau menimbulkan kecacatan permanen. Keadaan gawat darurat yang sering
terjadi di masyarakat antara lain, keadaan seseorang yang mengalami henti
napas, henti jantung, tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera misalnya patah
tulang, kasus stroke, kejang, keracunan, dan korban bencana. Unsur penyebab
kejadian gawat darurat antara lain karena terjadinya kecelakaan lalu lintas,
penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Kasus gawat darurat karena
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama di daerah
perkotaan (Media Aeculapius, 2007).
Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto
(2007), keadaan gawat darurat adalah suatu kondisi dimana berdasarkan
respon dari pasien, keluarga pasien, atau siapa pun yang berpendapat
pentingnya membawa pasien ke rumah sakit untuk diberi perhatian/tindakan
medis dengan segera. Kondisi yang demikian berlanjut hingga adanya
keputusan yang dibuat oleh pelayanan kesehatan yang profesional bahwa
pasien berada dalam kondisi yang baik dan tidak dalam kondisi mengancam
jiwa. Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu
penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak
segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau
meninggal (Sudjito, 2007).
Salah satu kejadian gawat darurat yang juga mengancam nyawa
manusia adalah keracunan makanan. Keracunan makanan adalah penyakit

|2
yang disebabkan karena makan makanan yang terkontaminasi oleh
mikroorganisme atau bahan kimia, atau makanan yang memang mengandung
racun. Makanan dapat terkontaminasi oleh bahan kimia seperti timah atau
seng yang menyebabkan keracunan makanan. Beberapa jenis jamur dan ikan
tertentu juga beracun jika dimakan. Kasus yang sering muncul adalah
keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri,
jamur, virus, dan parasit.
Keracunan merupakan salah satu kejadian darurat yang sering terjadi
baik di negara maju maupun negara berkembang. Hingga saat ini, tingkat
keracunan pangan yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi. Dan dari
seluruh kasus tersebut, sebagian besar ternyata terjadi di rumah.
Data The Centers for Disease Control and Prevention tahun 2010
menunjukkan, 48 juta orang di Amerika keracunan makanan, 128.000 dirawat
di rumah sakit, dan 3.000 orang meninggal tiap tahunnya akibat kandungan
berbahaya dalam makanan yang mereka konsumsi. Menurut Badan POM
dalam Dadi (2011), angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu
manifestasi Penyakit Bawaan Makanan (PBM) dapat menjadi indikator
situasi keamanan pangan di Indonesia. Badan kesehatan dunia WHO
memperkirakan bahwa rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan
dengan kejadian yang terjadi sesungguhnya di masyarakat adalah 1:10 untuk
negara maju dan 1: 25 untuk negara berkembang.
Di tahun 2011 insiden keracunan makanan terjadi dan terlaporkan di
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI ada 1.800 lebih, membuat lebih dari 7.000 orang dirawat di rumah sakit
dan 11 meninggal dunia. Data nasional yang dirangkum Badan POM juga
menjelaskan bahwa industri jasa boga dan produk makanan rumah tangga
memberikan kontribusi yang paling besar (31%) dibandingkan dengan
pangan olahan (20%), jajanan (13%), dan lain-lain (5%) (Lestari, 2009).
Beberapa agen penyebab keracunan makanan sudah ada dalam
makanan pada saat ternak akan disembelih atau tanaman akan dipanen.
Beberapa mikroorganisme ada yang bisa menyebabkan makanan basi tetapi

|3
tidak berbahaya. Namun, bakteri-bakteri tertentu yang berkembang biak
dalam makanan bisa menghasilkan racun penyebab penyakit. Bakteri
Staphylococcus menghasilkan racun yang bisa menyebabkan muntah dan
diare beberapa jam setelah makanan yang terkontaminasi dikonsumsi. Bakteri
Clostridium botulinum menyebabkan masalah yang jauh lebih serius bahkan
seringkali fatal, yakni jenis keracunan makanan yang disebut botulisme.
Penyakit yang disebabkan keracunan makanan biasanya singkat dan
ringan serta tidak menyebabkan kerusakan permanen pada orang sehat. Orang
tua, anak-anak, wanita hamil, dan orang dewasa yang sistem kekebalan
tubuhnya melemah karena penyakit atau obat-obatan paling rentan terhadap
keracunan makanan. Gejala keracunan dapat terjadi beberapa saat setelah
konsumsi makanan yang terkontaminasi. Tetapi pada beberapa kasus, gejala
baru timbul beberapa hari setelahnya. Gejala muntah dan diare yang berat
akan menyebabkan tubuh kekurangan cairan dan elektrolit, dan hal ini
merupakan ancaman serius bagi jiwa penderita, terutama jika tidak dilakukan
penanganan segera. Penyakit bawaan makanan sering dipandang sebagai
penyakit yang ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Meskipun
terkadang memang benar, pada banyak kasus dampak kesehatan yang terjadi
justru serius dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Persepsi yang salah
ini sebagian terjadi karena kurangnya perhatian yang diberikan terhadap
masalah tersebut.
Dampak kesehatan akibat penyakit bawaan makanan bervariasi
menurut patogen penyebabnya, tahapan dan lamanya pengobatan, juga
dengan usia dan faktor lain yang berkaitan dengan daya tahan dan kerentanan
seseorang. Pada kebanyakan kasus, pasien dengan fungsi kekebalan yang
baik akan sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Namun, pada
kasus lain, khususnya di kalangan kelompok masyarakat yang rentan
(misalnya: lansia, bayi, anak kecil, ibu hamil dan orang yang mengalami
malnutrisi serta gangguan kekebalan), beberapa penyakit bawaan makanan
dapat berakibat fatal terutama jika tidak tersedia pengobatan yang memadai.

|4
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana patofisiologi terjadinya keracunan makanan dan langkah
pengkajian survei primer dan sekunder dalam penatalaksanaan
kegawatdaruratan pasien dengan keracunan makanan dan bahan makanan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir
secara ilmiah terkait penanganan gawat darurat pasien dengan
keracunan makanan dan bahan makanan serta mendapatkan
pengalaman dalam memecahkan masalah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang:
1) Pathway keracunan makanan dan bahan makanan.
2) Pengkajian survei primer dan sekunder pada klien dengan
keracunan makanan dan bahan makanan.
3) Manajemen penatalaksanaan gawat darurat pada klien dengan
keracunan makanan dan bahan makanan.

|5
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Racun adalah suatu zat yang memiliki kemampuan untuk merusak sel
dan sebagian fungsi tubuh secara tidak normal (Arisman, 2009). Junaidi (2011)
menyatakan racun adalah suatu zat atau makanan yang menyebabkan efek
bahaya bagi tubuh.
Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi setelah
menyantap makanan yang mengandung racun, berasal dari bahan beracun yang
terbentuk akibat pembusukan makanan dan bakteri (Arisman, 2009). Junaidi
(2011) menyatakan keadaan darurat yang diakibatkan masuknya suatu zat atau
makanan ke dalam tubuh melalui mulut yang mengakibatkan bahaya bagi
tubuh disebut sebagai keracunan makanan.
Perez dan Luke’s (2014) menyatakan keracunan makanan adalah
keracunan yang terjadi akibat menelan makanan atau air yang mengandung
bakteri, parasit, virus, jamur atau yang telah terkontaminasi racun.
2.2 Etiologi
Penyebab keracunan makanan adalah kuman Clostridium botulinum
yang hidup dengan kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-tempat yang tidak
ada udaranya (Junaidi, 2011). Keracunan makanan dapat disebabkan oleh
pencemaran bahan-bahan kimia beracun, kontaminasi zat-zat kimia, mikroba,
bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh manusia (Suarjana, 2013).
Di Indonesia ada beberapa jenis makanan yang sering mengakibatkan
keracunan, antara lain:
1) Keracunan botolinum
Clostridium botolinum adalah kuman yang hidup secara anaerobik,
yaitu di tempat-tempat yang tidak ada udaranya. Kuman ini mampu
melindungi dirinya dari suhu yang agak tinggi dengan jalan membentuk
spora. Karena cara hidupnya yang demikian itu, kuman ini banyak
dijumpai pada makanan kaleng yang diolah secara kurang sempurna.

|6
Gejala keracunan botolinum muncul secara mendadak, 18-36 jam
sesudah memakan makanan yang tercemar. Gejala itu berupa lemah badan
yang kemudian disusul dengan penglihatan yang kabur dan ganda.
Kelumpuhan saraf mata itu diikuti oleh kelumpuhan saraf-saraf otak
lainnya, sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara dan susah
menelan. Pengobatan hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan
penyuntikan serum antitoksin yang khas untuk botulinum. Oleh karena itu
dalam hal ini yang penting ialah pencegahan.
Pencegahan: sebelum dihidangkan, makanan kaleng dibuka dan
kemudian direbus bersama kalengnya di dalam air sampai mendidih.
2) Keracunan bongkrek
Bongkrek ialah sejenis tempe yang dalam proses pembuatannya di
campur dengan ampas kelapa dan kacang tanah. Tempe ini seringkali
menyebabkan keracunan karena terkontaminasi oleh bakteri Burkholderia
galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin,
serta memusnahkan jamur Rhizopus karena efek antibiotik dari asam
bongkrek.
Gejala timbul setelah 12-48 jam. Biasanya sekaligus beberapa
anggota suatu keluarga terkena. Kematian bisa timbul dari 1-8 hari. Gejala
intoksikasi yaitu: mual, pusing, diplopia, anorexia, merasa lemah, ptosis,
strabismus, kesukaran bernafas, menelan atau berbicara.
3) Keracunan jamur
Gejala muncul dalam jarak bebarapa menit sampai 2 jam sesudah
makan jamur yang beracun (Amanita spp). Gejala tersebut berupa sakit
perut yang hebat, muntah, mencret, haus, berkeringat banyak, kekacauan
mental, pingsan.
4) Keracunan jengkol
Keracunan jengkol terjadi karena terbentuknya kristal asam jengkol
dalam saluran kencing. Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi
timbulnya keracunan, yaitu: jumlah yang dimakan, cara penghidangan dan
makanan penyerta lainnya.

|7
Gejala klinisnya seperti: sakit pinggang yang disertai dengan sakit
perut, nyeri sewaktu kencing, dan kristal-kristal asam jengkol yang
berwarna putih nampak keluar bersama air kencing, kadang-kadang
disertai darah.
5) Keracunan ikan laut
Beberapa jenis ikan laut dapat menyebabkan keracunan. Diduga
racun tersebut terbawa dari ganggang yang dimakan oleh ikan itu. Sejauh
keracunan makanan dari ikan yang bersangkutan, mikroba penyebab
penyakit atau racun itu yang masuk ke dalam tubuh setelah mengkonsumsi
ikan mentah atau dimasak. Hal ini juga bisa terjadi karena polusi kimia
dalam air, dimana mengontaminasi ikan yang tertangkap untuk dijual di
pasar. Gejala-gejala keracunan berbagai binatang laut tersebut muncul
kira-kira 20 menit sesudah memakannya. Gejala itu berupa: mual, muntah,
kesemutan di sekitar mulut, lemah badan dan susah bernafas.
6) Keracunan singkong
Zat beracun dalam singkong adalah asam sianida. Zat ini
mengganggu oksidasi jaringan karena mengikat enzim sitokrom oksidase.
Beberapa jam setelah makan singkong timbul muntah, pusing, lemah,
kesadaran menurun sampai koma, dispneu, sianosis dan kejang.
7) Lain-lain
Penyebab utama makanan terkontaminasi adalah bakteri, virus, atau
parasit. Di bawah ini adalah kontaminasi makanan yang disebabkan oleh
bakteri:
a) Campylobacter. Bakteri jenis ini biasa ditemukan di daging mentah
atau kurang matang, pada susu dan air yang tidak diolah dengan benar.
Masa inkubasi yang disebabkan oleh bakteri ini antara 2-5 hari. Gejala
akan bertahan kurang dari 7 hari.
b) Salmonella. Bakteri ini sering ditemukan di dalam daging mentah atau
daging kurang matang, telur, susu, dan produk olahan susu lainnya.
Masa inkubasi akibat salmonella adalah 12-72 jam. Gejala
berlangsung selama 4-7 hari.

|8
c) Escherichia coli (E. coli). Kasus infeksi bakteri ini paling sering
ditemukan setelah mengonsumsi daging yang kurang matang, seperti
pada daging cincang, dan bakso. Bisa juga ditemukan pada susu yang
tidak dipasteurisasi. Masa inkubasi adalah 1 hari hingga seminggu.
Gejala bertahan selama beberapa hari hingga beberapa minggu.
d) Listeria. Bakteri ini ditemukan dalam makanan siap saji, misalnya roti
isi dalam kemasan, irisan daging, dan keju. Khususnya bagi wanita
hamil harus berhati-hati dengan infeksi akibat bakteri ini karena
berisiko menyebabkan keguguran dan komplikasi kehamilan serius
lainnya. Masa inkubasi mulai dari beberapa hari hingga beberapa
minggu. Gejalanya akan selesai dalam waktu tiga hari.
e) Shigella. Bakteri ini bisa muncul pada makanan apa pun yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi. Gejalanya biasanya muncul tujuh hari
setelah bakteri masuk ke dalam tubuh dan bertahan sekitar satu
minggu. Bakteri ini menyebabkan disentri.
Berikut adalah kontaminasi makanan yang disebabkan oleh parasit,
yaitu:
a) Amoebiasis. Infeksi parasit sel tunggal bernama Entamoeba
histolytica bisa menyebabkan terjadinya disentri.
b) Giardiasis. Infeksi yang disebabkan oleh parasit bernama Giardia
intestinalis.
c) Cryptosporidiosis. Infeksi parasit yang disebabkan oleh
Cryptosporidium.
d) Parasit yang mengakibatkan keracunan makanan umumnya akan
menimbulkan gejala dalam sepuluh hari setelah Anda mengonsumsi
makanan yang sudah terkontaminasi. Jika tidak segera ditangani,
gejala bisa bertahan hingga berbulan-bulan.
Berikut adalah kontaminasi makan yang disebabkan oleh virus,
yaitu:
a) Norovirus. Virus ini menyebabkan muntah-muntah dan diare. Infeksi
ini menyebar dengan mudah melalui makanan atau air yang

|9
terkontaminasi, dan terutama melalui tiram mentah. Masa inkubasi
adalah 1-2 hari dan gejala akan hilang dalam dua hari.
b) Rotavirus. Virus ini menjadi penyebab kontaminasi makanan yang
umumnya menimpa anak-anak. Gejalanya muncul satu minggu
setelah mengonsumsi makanan terkontaminasi dan bertahan antara
sekitar 6 hari.
2.3 Manifestasi Klinis
Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada sistem saraf
dan saluran cerna. Suarjana (2013) menyatakan tanda gejala yang biasa terjadi
pada saluran cerna adalah sakit perut, mual, muntah, bahkan dapat
menyebabkan diare. Tanda gejala yang biasa terjadi pada sistem saraf adalah
adanya rasa lemah, kesemutan (parastesi), dan kelumpuhan (paralisis) otot
pernafasan (Arisman, 2009).
2.4 Patofisiologi
Makanan yang kita konsumsi dalam keseharian bermacam-macam, baik
ragam jenis makanan itu. Makanan yang sehat dapat dikatakan makanan yang
layak untuk tubuh dan tidak menyebabkan sakit, baik seketika maupun
mendatang. Dalam mengkonsumsi makanan perlu diperhatikan tentang
kebersihan makanan, kesehatan, serta zat gizi yang terkandung di dalam
makanan tersebut. Hendaknya kita harus pandai dalam memilih makanan yang
akan dkonsumsi supaya makanan tersebut bebas dari zat-zat yang dapat
memasuki tubuh seperti toksik atau racun.
Makanan yang telah terkontaminasi toksik atau zat racun sampai di
lambung akan mengadakan perlawanan diri terhadap benda atau zat asing yang
masuk ke dalam lambung dengan gejala mual, lalu lambung akan berusaha
membuang zat tersebut dengan cara memuntahkannya. Karena seringnya
muntah maka tubuh akan mengalami dehidrasi akibat banyaknya cairan tubuh
yang keluar bersama dengan muntahan. Karena dehodrasi yang tinggi maka
lama kelamaan akan lemas dan banyak mengeluarkan keringat dingin.
Banyaknya cairan yang keluar, terjadinya dehidrasi keluarnya keringat
dingin akan merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk mempertahankan

| 10
homeostatis tubuh dengan terjadinya rasa haus. Apabila rasa haus tidak segera
diatasi maka dehidrasi berat tidak dapat dihindari, bahkan dapat menyebabkan
pingsan sampai kematian.

| 11
2.5 Pathway

Makanan terkontaminasi yang mengandung


Botolinum, jamur, jengkol, ikan laut, tempe, Masuk ke saluran cerna
singkong dll

Masuk ke pembuluh darah Masuk ke usus halus Masuk ke lambung

Iritasi pada lambung


Diekskresikan oleh Sel saraf terganggu
ginjal

Asam lambung meningkat


Tidak terjadi
Kristal asam kolat pelepasan asetilkolin
menumpuk di dalam
tubulus ginjal, ureter dan Mual
uretra
Otot tidak dapat
berkontraksi Muntah
Obstruksi saluran kemih
Defisit volume cairan
Kelumpuhan otot
Gagal Ginjal
Infeksi usus
Akut

Hambatan mobilitas
fisik Diare
Gangguan fungsi
saraf

Disfungsi saraf Pandangan Fotopobia Kerusakan otak


kabur

Kematian
Kaku sendi Gangguan Sulit menelan
bicara
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
| 12
Gangguan saraf otonom

Kelemahan otot, Nyeri kepala Pusat pernafasan


kram, opistototnus dan otot

Nafas cepat dan


Gangguan Nyeri akut dangkal
pergerakan

Pola nafas tidak


Intoleransi efektif
aktivitas

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat dalam diagnosis toksikologi
adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium biasanya
dilakukan tes darah, tes urin, tes kondisi tinja, dan pemeriksaan parasit.
Tes-tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis organisme penyebab
terjadinya keracunan. Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat
dilakukan di layanan kesehatan primer yang memiliki fasilitas, misalnya:
pemeriksaan mikroskopis feses untuk keberadaan telur cacing dan parasit;
pewarnaan Gram, KOH dan metilenblue Loeffler untuk membantu
membedakan antara penyakit invasif dan non-invasif (PMK No. 5 Tahun
2014).
2) Gas Darah Arteri: Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2
(hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-
obat yang menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan . yang kurang
akibat hipoksia, hipotensi. Atau keracunan sianida akan menghasilkan
asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen yang larut dalam plasma
dan bukan merupakan total oksigen dalam darah. karena itu pada

| 13
keracunan karbon monoksida mungkin PO2 tampak normal meskipun ada
defisiensi oksihemoelobin yang nyata dalam darah.
3) Uji Fungsi Ginjal: Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam
kasus lain, gagal ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular
yang menyebar (disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau
mioglohinuria. Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus
diukur dan dilakukan urinalisis.
4) Osmolalitas Serum: Perhitungan osmolalitas serum terutama bergantung
pada natrium serum, glukosa serum serta nitrogen urea darah.
5) Elektrokardiogram: Pelebaran lama kompleks QRS yang lebih besar dari
0,1 detik adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan kuinidin.
6) CT-Scan: fotopolos abdomen mungkin berguna, karena beberapa tablet,
khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks dapat
menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau edema
paru. Bila dicurigai adanya trauma kapitis, dianjurkan untuk pemeriksaan
CT-scan.

2.7 Penatalaksanaan
Pertolongan pertama keracunan makanan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengupayakan penderita untuk memuntahkan makanan yang telah
dikonsumsi penderita. Cara yang bisa dilakukan untuk merangsang muntahan
adalah dengan memberikan minuman susu. Selain itu, cara yang bisa dilakukan
adalah dengan meminum segelas air yang telah dicampur dengan satu sendok
teh garam dan berikan minuman teh pekat (Junaidi, 2011).
Menurut Noriko (2013) tanaman teh memiliki potensi sebagai
antibakteria karena mengandung bioaktif yaitu senyawa tanin. Tanin adalah
senyawa fenolik yang terkandung dalam berbagai jenis tumbuhan hijau dengan
kadar yang berbeda-beda. Manfaat tanin selain antibakteria adalah sebagai
antiseptik dan mempunyai sifat sebagai agent pengkelat logam karena adanya
pengaruh fenolik. Pengaruh fenolik bisa memberikan antioksidan bagi tubuh.

| 14
Hardisman (2014) menyatakan pertolongan pertama keracunan makanan
adalah dengan minum air putih yang banyak, pemberian larutan air yang telah
dicampur dengan garam. Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah
dengan mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare.
Menghindari terjadinya dehidrasi pada korban segera berikan air minum dan
larutan elektrolit yang banyak untuk korban (Sentra informasi keracunan
nasional & Badan pemeriksaan Makanan dan obat SIKERNAS & BPOM,
2012).
Menurut Bahri, Sigit, dkk. (2012) cairan elektrolit dapat diperoleh dari
air kelapa. Air kelapa murni tanpa tambahan gula sedikit menginduksi
urinisasi, sedangkan air kelapa yang ditambah dengan gula banyak
menginduksi urinisasi. Penyebab banyaknya menginduksi urinisasi adalah
karena konsentrasi gula yang tinggi, sehingga absobsi air menjadi lambat dan
urinisasi meningkat.
Penatalaksanaan umum kedaruratan keracunan antara lain:
1) Penatalaksanaan Kegawatan
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan, setiap kasus keracunan
harus diperlakukan seperti keadaan kegawatan yang mengancam nyawa.
Penilaian terhadap tanda-tanda vital seperti jalan napas, sirkulasi, dan
penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat.
2) Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan
dan nadi. Berikan cairan intravena, oksigen, hisap lendir dalam saluran
pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas, kalau perlu
respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari
mulut ke mulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mulut
penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask
atau menggunakan alat bag – valve – mask.
3) Pemberian cairan intravena untuk pasien penurunan kesadaran
Penderita keracunan makanan yang parah dan mengalami dehidrasi
harus mendapatkan perawatan lanjutan. Dokter biasanya akan

| 15
memberikan cairan melalui intravena atau infus. Cairan ini bisa
menggantikan cairan tubuh yang hilang serta menjaga agar tubuh tidak
terlalu lemah. Jika dokter memberikan obat-obatan maka bisa dilakukan
secara langsung lewat cairan infus.
4) Pemberian norit/zat karbon aktif
Menurut para ahli makanan dan dokter, pertolongan pertama yang
bisa kita lakukan adalah dengan memberikan karbon aktif atau arang aktif
ke korban. Di pasaran, ada arang aktif yang dijual. Salah satu yang terkenal
norit.
Tablet berwarna hitam ini punya sifat arang aktif yang mampu
menyerap apapun yang ada di sekitarnya, termasuk racun. Semakin banyak
yang dimakan, semakin banyak racun yang diserap. Hanya saja, norit cuma
menyerap racun yang masih di saluran pencernaan dan belum ikut beredar
dalam darah.
Meskipun norit mampu menyerap banyak racun, norit nyatanya juga
menyerap zat gizi dan vitamin yang terdapat pada makanan. Oleh karena
itu, saat menenggak norit, korban juga harus terus diberikan minum air
putih untuk menggantikan zat yang ikut terserap norit.
AC diberikan dalam dosis 50 gram pada orang dewasa dan 1 g/kg
(maksimal 50 gram) pada anak-anak.
Kontraindikasi pemberian norit adalah sebagai berikut:
a) Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil, wanita
menyusui, anak-anak, serta lansia dianjurkan untuk berkonsultasi
kepada dokter sebelum mengonsumsi jenis obat ini.
b) Penderita yang mengalami pendarahan, penyumbatan, atau memiliki
lubang pada sistem pencernaan.
c) Penderita yang sedang mengalami dehidrasi.
d) Penderita yang baru melalui prosedur operasi.
e) Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar atau penurunan
kesadaran.
f) Penderita dengan proses pencernaan yang lambat.

| 16
g) Penderita yang sedang mengonsumsi obat-obatan lain di saat yang
bersamaan.
h) Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-obatan ini atau
pada pengawet dan pewarna makanan serta hewan.
Bila norit tak tersedia, kita bisa menggantikannya dengan susu.
Susu memiliki kelebihan mengikat racun yang ada dalam tubuh agar tak
beredar dalam tubuh. Susu juga bisa merangsang muntah sehingga
makanan beracun bisa ikut keluar.
5) Kumbah Lambung
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil
paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah
lambung sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa
endotrakeal berbalon untuk mencegah aspirasi pneumonia.
6) Pemberian antidot/penawar
Tidak semua racun ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah
mengatasi keadaan sesuai dengan masalah. Atropin sulfat (SA) bekerja
dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a) Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg.
b) Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menit sampai timbul
gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi,
midriasis, febris dan psikosis).
c) Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya
setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d) Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian
yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema
paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
7) Pemberian antibiotik
Untuk beberapa kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh
bakteri maka perlu dibantu dengan obat antibiotik. Obat ini harus diberikan

| 17
oleh dokter yang merawat. Biasanya penderita yang terlihat parah seperti
diare dan muntah akut harus menerima obat antibiotik ini. Selain itu
penderita juga harus mendapatkan cairan pengganti lewat infus. Beberapa
jenis obat harus diberikan sesuai dengan penyebabnya, berikut beberapa
terapi yang sering diberikan oleh dokter:
a) Ciprofloxacin (Cipro)
b) Norfloksasin (Noroxin)
c) Trimetoprim / sulfametoksazol
d) Doxycycline
e) Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
8) Penilaian Klinis
Upaya yang paling penting adalah anamnese atau aloanamnesis yang
rinci. Beberapa pegangan anamnesis yang penting dalam upaya mengatasi
keracunan, ialah:
a) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang
digunakan, termasuk yang sering dipakai
b) Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas
tentang obat yang digunakan.
c) Tanyakan dan simpan sisa obat dan muntahan yang masih ada untuk
pemeriksaan toksikologi
d) Tanyakan riwayat alergi obat atau syok anafilaktik
Pada pemeriksaan fisik diupayakan untuk menemukan tanda/kelainan
fungsi autonom yaitu pemeriksaan tekanan darah, nadi, ukuran pupil,
keringat, air liur, dan aktivitas peristaltik usus.
9) Terapi suportif, konsultasi, dan rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara
holistik dan efektif dalam biaya.

Jangan berikan sirup ipecac atau melakukan apa saja untuk memancing
muntah. Kelompok ahli, termasuk American Association of Poison Control
Centers dan American Academy of Pediatrics, tidak lagi mendukung

| 18
penggunaan ipecac pada anak-anak atau orang dewasa yang telah menelan pil
atau zat berpotensi beracun lainnya. Tidak ada bukti baik yang membuktikan
efektivitas penggunaan sirup tersebut dan dampaknya seringkali lebih
berbahaya.
Penatalaksanaan keperawatan pasien keracunan meliputi:
a. Penatalaksanaan syok bila terjadi.
b. Pantaulah tanda vital secara berkala.
c. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Bantu mendapatkan spesimen darah, urine, isi lambung dan muntah.
e. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi dan kejang.
f. Bila pasien merasa mual dan ingin muntah, anjurkan untuk memiringkan
kepalanya ke samping.
g. Kompres hangat pada perut. Hal ini akan meringankan kejang dan nyeri di
perut dan kecenderungan untuk muntah.

| 19
ALGORITMA KERACUNAN MAKANAN
Px dengan keracunan makanan akibat keracunan botolinum,
bongkrek, jamur, jengkol, singkong dan ikan laut.

Px datang dengan keluhan : Lakukan pengkajian SAMPLE (symptom,


- Mual dan muntah - Sesak napas allergy, medication, past medical history,
- Diare - Nyeri perut last meal, events leading to call)
- Keram perut - Badan lemas
- Penurunan kesadaran - Pusing Pemeriksaan diagnostik: Laboratorium,
- Nyeri berkemih - Oliguria analisa gas darah, uji fungsi ginjal

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Brain Bone
Bowel
 Pusing  Kelemahan
Blood  Mual,
Breathing  Kejang  Akral dingin
 TD menurun Bladder muntah
 Sesak  Penurunan (pada pasien
 CRT >2  Oliguria  Diare
napas kesadaran dengan
detik  Nyeri tekan
 Nyeri dehidrasi
abdomen
kepala berat)

| 20
 Oksigenasi  Cek tanda-  Anjurkan  Pasang  Anjurkan  Pantau
 Kaji status tanda vital pasien kateter urin kompres tanda-tanda
pernapasan  Periksa istirahat  Pantau hangat di vital
(frekuensi, adanya  Kolaborasi intake dan perut  Cek CRT
irama gejala syok pemberian output  Kolaborasi
pernafasan, cairan pemberian
kedalaman kristaloid cairan
pernafasan)  Kolaborasi kristaloid
pemberian  Kolaborasi
analgetik pemberian
dan anti antiemetik
konvulsan dan analgetik

Pemeriksaan laboratorium

Pasien dinyatakan keracunan makanan

Jamur, jengkol, makanan laut Singkong, bongkrek, botolinum

 Observasi  Kolaborasi pemberian Natrium


 Lanjutkan penanganan simptomatik tiosulfat 10-30 ml IV
 Kolaborasi pemberian antibiotik  Kolaborasi pemberian anti dotum
 Kolaborasi pemberian karbon aktif Perawatan Supportif
spesifik bolus IV 1-2,5 mg

| 21
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Teori


A. Pengkajian
1. Survei Primer
Penatalaksanaan awal pasien koma, kejang, atau perubahan keadaan
mental lainnya harus mengikuti cara pendekatan yang sama tanpa
memandang jenis racun penyebab. Usaha untuk membuat diagnosis
toksikologi khusus hanya memperlambat penggunaan tindakan suportif yang
merupakan bentuk dasar “ABCD” pada pengobatan keracunan.
Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah atau beberapa
gangguan lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang mengalirkan napas
melalui oral atau dengan memasukkan pipa endotrakea. Pada kebanyakan
pasien, penempatan pada posisi sederhana dalam posisi dekubitus lateral
cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku (flaccid) keluar dan saluran
napas. Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji dengan mengobservasi dan
mengukur gas darah arteri. Pada pasien dengan insufisiensi pernapasan harus
dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik. Sirkulasi (C) yang cukup harus
diuji dengan mengukur denyut nadi, tekanan darah, urin yang keluar, dan
evaluasi perfusi perifer. Alat untuk intravena harus dipasang dan darah
diambil untuk penentuan serum glukosa dan untuk pemeriksaan rutin lainnya.
Pada waktu ini, setiap pasien dengan keadaan mental yang berubah
harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa diberikan larutan
dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa 50% secara intravena).
Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin, karena pasien koma akibat
hipoglikemia yang dengan cepat dan ireversibel akan kehilangan sel-sel otak.
Pasien hipoglikemia mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan tidak
ada metode yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya dan
pasien keracunan. Pada umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya
sementara menunggu hasil pemeriksaan gula darah. Pada waktu ini, pasien

| 22
alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg tiamin intramuskular
untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
Antagonis narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan dosis
0,4-2 mg intravena. Nalokson akan memulihkan pernapasan dan depresi
sistem saraf pusat akibat semua jenis obat narkotika. Ada manfaatnya untuk
mengingat bahwa obat-obat ini menimbulkan kematian terutama akibat
depresi pernapasan; karena itu, bila bantuan pernapasan dan pembebasan
saluran pernapasan telah diberikan, nalokson mungkin tidak diperlukan lagi.
Antagonis benzodiazepin flumazenil bermanfaat pada pasien dengan
kecurigaan takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak boleh digunakan bila
terdapat riwayat kejang atau takar lajak antidepresan trisiklik, dan obat ini
tidak boleh digunakan sebagai pengganti penatalaksanaan saluran napas
secara hati-hati.
Penatalaksanaan keracunan memerlukan suatu pengetahuan tentang
bagaimana mengobati hipoventilasi, koma, syok, kejang, dan psikosis.
Pertimbangan toksikokinetik yang mendetil titik banyak artinya bila fungsi-
fungsi vital tidak dipertahankan. Hipoventilasi dan koma memerlukan
perhatian khusus pada penatalaksanaan saluran napas. Gas darah arteri harus
sering diperiksa, dan aspirasi isi lambung harus dicegah. Penatalaksanaan
cairan dan elektrolit mungkin kompleks. Monitoring berat badan, tekanan
vena sentral, tekanan yang mendesak kapiler paru, dan gas darah arteri
diperlukan untuk memastikan pemberian cairan mencukupi tetapi tidak
berlebihan. Dengan tindakan suportif yang tepat untuk koma, syok, kejang,
dan agitasi, umumnya memberikan harapan hidup bagi pasien keracunan.

2. Survei Sekunder

Setelah dilakukan intervensi awal yang esensial, dapat dimulai evaluasi


yang terinci untuk membuat diagnosis spesifik. Hal ini meliputi pengumpulan
riwayat yang ada dan melakukan pemeriksaan fisik singkat yang berorientasi

| 23
pada toksikologi. Penyebab koma lainnya atau kejang seperti trauma pada
kepala, meningitis, atau kelainan metabolisme harus dicari dan diobati.
a. Riwayat: Pernyataan dengan mulut tentang jumlah dan jenis obat yang
ditelan dalam kedaruratan toksik mungkin tidak dapat dipercayai.
Bahkan anggota keluarga, polisi, dan pemadam kebakaran atau personil
paramedis harus ditanyai tintuk menggambarkan lingkungan di mana
kedaruratan toksik ditemukan dan semua alat suntik, botol-botol kosong,
produk rumah tangga, atau obat-obat bebas di sekitar pasien yang
kemungkinan dapat meracuni pasien harus dibawa ke ruang gawat
darurat.
b. Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan
penekanan pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke
arah diagnosis toksikologi. Hal ini termasuk tanda-tanda vital, mata dan
mulut, kulit, abdomen, dan sistem saraf.
1) Tanda-tanda vital. Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan
darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh) merupakan hal yang
esensial dalam kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan takikardia
adalah khas pada obat-obat amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin,
dan antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan
gambaran karakteristik dan takar lajak narkotika, kionidin, sedatif-
hipnotik dan beta bloker. Takikardia dan hipotensi sering terjadi
dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin, dan teofihin. Pernapasan
yang cepat adalah khas pada amfetamin dan simpatomimetik
lainnya, salisilat, karbon monoksida dan toksin lain yang
menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan
karena obat-obat simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-
obat yang menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia
dapat disebabkan oleh takar lajak yang berat dengan obat narkotik,
fenotiazin, dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan pemaparan
pada lingkungan yang dingin atau infus intravena pada suhu kamar.

| 24
2) Mata. Mata merupakan sumber informasi toksikologi yang berharga.
Konstriksi pupil (miosis) adalah khas utituk keracunan narkotika,
klonidin, fenotiazin, insektisida organofosfat dan penghambat
kolinesterase lainnya, serta koma yang dalam akibat obat sedatif.
Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada amfetamin,
kokain, LSD, atropin, dan obat antirnuskarinik lain. Nistagmus
riorizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol,
barbiturat, dan obat seclatit lain. Adanya nistagmus horizontal dan
vertikal memberi kesan yang kuat keracunan fensiklidin. Ptosis dan
oftalmoplegia merupakan gambaran karakteristik dari botulinum.
3) Mulut. Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar akibat
zat-zat korosif. atau jelaga dan inhalasi asap. Bau yang khas dan
alkohol, pelarut hidrokarbon. Paraldehid atau amonia mungkin perlu
dicatat. Keracunan dengan sianida dapat dikenali oleh beberapa
pemeiriksa sebagai bau seperti bitter almonds. Arsen dan
organofosfat telah dilaporkan menghasilkan bau seperti bau bawang
putih.
4) Kulit. Kulit sering tampak merah, panas, dan kering pada keracunan
dengan atropin dan antimuskarinik lain. Keringat yang berlebihan
ditemukan pada keracunan dengan organofosfat, nikotin, dan obat-
obat simpatomimetik. Sianosis dapat disebabkan oleh hipoksemia
atau methemoglohinemia. Ikterus dapat memberi kesan adanya
nekrosis hati akibat keracunan asetaminofen atau jamur A manila
phailoides.
5) Abdomen. Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus, yang
khas pada keracunan dengan antimuskarinik, narkotik, dan obat
sedatif. Bunyi usus yang hiperaktif, kram perut, dan diare adalah
urnum terjadi pada keracunan dengan organofosfat, besi, arsen,
teofihin, dan A.phalloides.
6) Sistem saraf. Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial.
Kejang fokal atau defisit motorik lebih menggambarkan lesi

| 25
struktural (seperti perdarahan intrakranial akibat trauma) daripada
ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus, disartria, dan ataksia
adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat, dan
keracunan sedatif lainnya. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum
ditemukan pada metakualon, haloperidol, fensiklidin (PCP), dan
obat-obat simpatomimetik. Kejang sering disehabkan oleh takar
lajak antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid, dan fenotiazin. Koma
ringan tanpa refleks dan bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat
pada koma yang dalam karena obat narkotika dan sedatif-hipnotik,
dan mungkin menyerupai kematian otak.
c. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium. Laboratorium rutin (darah, urin, feses,
lengkap) tidak banyak membantu.
2) Pemeriksaan darah lengkap, kreatinin serum (N: 0,5-1,5 mg/dl),
elektrolit serum (termasuk kalsium (N: 9-11 mg/dl).
3) Foto thorax kalau ada kecurigaan udema paru.
4) Pemeriksaan EKG. Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada kasus
keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung
yang berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi
supraventrikuler, takikardi ventrikuler, fibrilasi ventrikuler, asistol,
disosiasi elektromekanik. Beberapa faktor predosposisi timbulnya
aritmia pada keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik,
hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan elektrolit darah,
hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik.

B. Diagnosa
1. (00132) Nyeri akut b/d agen cedera biologis.
2. (00032) Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.
3. (00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake
tidak adekuat (anoreksia, mual dan muntah), kesulitan menelan.
4. (00027) Defisit volume cairan b/d muntah, diare.

| 26
5. (00085) Hambatan mobilitas fisik b/d paralisis, ketidakmampuan otot
berkontraksi.
6. (00092) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.

C. Intervensi

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan 1) Lakukan pengkajian nyeri
keperawatan 1x 24 jam diharapkan secara komprehensif termasuk
nyeri berkurang, menghilang lokasi, durasi frekuensi,
dengan kriteria hasil: karakteristik, kualitas dan
Pain level, dibuktikan dengan faktor presipitasi
respon nonverbal pasien 2) Observasi reaksi nonverbal dari
menunjukkan tidak ada nyeri, tanda ketidaknyamanan
vital dalam batas normal, tidak ada 3) Bantu pasien dan keluarga
masalah pola tidur, pasien untuk mencari dan menemukan
melaporkan nyeri berkurang. dukungan
Pain control, dibuktikan dengan 4) Kontrol lingkungan yang
pasien dapat melakukan teknik dapat mempengaruhi nyeri
nonfarmakologis untuk mengurangi seperti suhu ruangan,
nyeri. pencahayaan dan kebisingan
5) Kurangi faktor presipitasi nyeri
6) Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
7) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
8) Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri:
9) Tingkatkan istirahat

| 27
10) Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur
11) Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali

2. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor vital sign


keperawatan 1x 24 jam diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan insersi
pola nafas menjadi efektif dengan jalan nafas buatan
kriteria hasil: 3) Posisikan pasien untuk
NOC : Status Pernapasan : memaksimalkan ventilasi
Pertukaran Gas tidak akan 4) Monitor status respirasi: adanya
terganggu dibuktikan dengan : suara nafas tambahan
Kesadaran composmentis, TTV 5) Kolaborasi dengan tim medis:
menjadi normal, pernafasan menjadi pemberian oksigen
normal yaitu tidak mengalami nafas
Dangkal

| 28
3. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
keperawatan selama 1 x 24 jam makanan/cairan dan hitung
pemenuhan nutrisi dapat masukan kalori perhari sesuai
adekuat/terpenuhi dengan kriteria kebutuhan
hasil: 2) Kaji kebutuhan nutrisi parenteral
Status Gizi Asupan Makanan dan 3) Pilih suplemen nutrisi sesuai
Cairan ditandai pasien nafsu makan kebutuhan
meningkat, mual dan muntah hilang, 4) Bantu pasien memilih makanan
pasien tampak segar yang lunak dan lembut
Status Gizi; Nilai Gizi terpenuhi 5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan
dibuktikan dengan BB meningkat, sesuai batas diet yang dianjurkan
BB tidak turun. 6) Kolaborasikan pemberian anti
emesis sesuai indikasi

4. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output,


keperawatan selama 1x24 jam karakter serta jumlah feses
diharapkan kebutuhan cairan 2) Observasi kulit kering berlebihan
terpenuhi dengan kriteria hasil: dan membran mukosa,
a. Tidak adanya tanda-tanda penurunan turgor kulit
dehidrasi 3) Anjurkan klien untuk
b. Vital sign dalam batas normal meningkatkan asupan cairan per
oral
4) Kolaborasi pemberian cairan
paranteral sesuai indikasi

5. Setelah dilakukan tindakan 1) Tentukan batasan pergerakan


keperawatan selama 1x24 jam sendi dan efeknya terhadap
diharapkan kemampuan mobilitas fungsi sendi
fisik meningkat dengan kriteria 2) Monitor lokasi dan
hasil: kecenderungan adanya nyeri dan
a. Kekuatan otot meningkat ketidaknyamanan selama
b. Tidak ada kaku sendi pergerakan/aktivitas

| 29
c. Dapat bergerak dengan mudah 3) Lakukan latihan ROM pasif atau
ROM dengan bantuan, sesuai
indikasi
4) Jelaskan pada pasien atau
keluarga manfaat dan tujuan
melakukan latihan sendi
5) Dukung pasien untuk melihat
gerakan tubuh sebelum memulai
latihan

6. Setelah dilakukan tindakan 1) Observasi adanya pembatasan


keperawatan selama 1x24 jam klien dalam melakukan aktivitas
diharapkan klien dapat memenuhi 2) Kaji adanya fakor yang
kebutuhan dirinya dengan kriteria menyebabkan kelelahan
hasil: 3) Monitor nutrisi dan sumber
a. Ketidaknyamanan setelah energi yang adekuat
beraktivitas berkurang 4) Bantu klien dalam memenuhi
b. Dapat memenuhi kebutuhan kebutuhannya
sehari-hari 5) Bantu klien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari

| 30
3.2 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Contoh Kasus:
Tuan A dibawa ke puskesmas Kertapati oleh istrinya setelah makan tempe.
Istri klien mengatakan bahwa klien muntah 4 jam yang lalu setelah makan tempe
bongkrek. Kondisi klien mengalami penurunan kesadaran somnolen, muntah,
diare, dehidrasi dan pusing. Dari hasil pengkajian sementara didapatkan:
Tekanan darah 100/60 mmHg; BB 54 kg (BB semula 55 kg); Nadi 67 x/ menit;
RR 32 x/menit; Suhu 36oC. Istri klien mengatakan bahwa klien tidak memiliki
riwayat alergi sebelumnya.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama klien : Tn. A
Usia : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk: 14 Juni 2017
No. Register : 0903055
Diagnosa medik: Keracunan Makanan
2. Keluhan Utama / Alasan MRS
Klien mengalami penurunan kesadaran yaitu somnolen, muntah setelah
makan tempe, pusing.
3. Pengkajian Primer
a. Airway
Tidak ada sumbatan jalan nafas. RR: 32 x/ menit, cepat dan
dangkal.
b. Breathing
Irama pernafasan cepat, Kedalaman dangkal, RR : 32 x/menit.
c. Circulation
Tekanan Darah pasien : 100/60 mmHg (kuat dan regular), Nadi :
67 x/menit, capillary refill : <2 dtk, EKG menunjukkan sinus
bradikardia.

| 31
d. Disability
Reaksi pupil kiri/kanan (+) terhadap cahaya, besar pupil kanan
2/kiri 2. Tingkat kesadaran somnolen.
4. Pengkajian Sekunder. Pengkajian dilakukan alloanamnesa dengan
keluarga klien.
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Istri klien mengatakan bahwa klien muntah 4 jam yang lalu setelah
makan tempe bongkrek.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Istri klien mengatakan klien belum pernah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga klien tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan
yang sama dengan klien.
d. Anamnesa singkat
Istri klien mengatakan bahwa klien tidak memiliki riwayat alergi.
e. Pemeriksaan head to toe
1) Kepala: mesosephal, klien berambut lurus dan panjang, dan
tidak rontok.
2) Mata: besar pupil kanan kiri 2 dan reaksi pupil keduanya (+)
terhadap cahaya kunjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik.
3) Telinga: bersih tidak terdapat serumen dan tidak mengalami
gangguan pendengaran
4) Hidung: Bentuk hidungnya simetris, tidak terdapat polip pada
hidung.
5) Wajah: wajah klien tampak simetris.
6) Mulut: tampak hipersekrasi kelenjar ludah, mukosa mulut
basah, bibir basah.
7) Leher: Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

| 32
8) Dada: Simetris, tidak ada kelainan bentuk, RR 32 x/menit,
cepat dan dangkal, HR 55x/menit, suara jantung S1 dan S2
tunggal
9) Abdomen: tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak asites,
tidak ada luka memar, peristaltik usus 8x/mnit, perkusi
hipertimpani.
10) Ekstremitas: Tidak terdapat luka, capilari revil <2 detik, akral
dingin
11) Genetalia: Bersih tidak ada kelainan, Tidak terdapat
luka/ulkus, tidak terpasang kateter.
f. Pemeriksaan tanda-tanda vital:
1) TD : 100/60 mmHg
2) BB : 54 kg (BB semula 55 kg)
3) Nadi : 67 x/ menit
4) RR : 32 x/menit
5) Suhu : 36oC

B. DIAGNOSA
1. Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.
2. Defisit volume cairan b/d muntah, diare.

C. INTERVENSI

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor vital sign
keperawatan 1x 24 jam diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan insersi
pola nafas menjadi efektif dengan jalan nafas buatan
kriteria hasil: 3) Posisikan pasien untuk
NOC : Status Pernapasan : memaksimalkan ventilasi
Pertukaran Gas tidak akan 4) Monitor status respirasi: adanya
terganggu dibuktikan dengan : suara nafas tambahan

| 33
Kesadaran composmentis, TTV 5) Kolaborasi dengan tim medis:
menjadi normal, pernafasan menjadi pemberian oksigen
normal yaitu tidak mengalami nafas
Dangkal
2. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output,
keperawatan selama 1x24 jam karakter serta jumlah feses
diharapkan kebutuhan cairan 2) Observasi kulit kering berlebihan
terpenuhi dengan kriteria hasil: dan membran mukosa,
a. Tidak adanya tanda-tanda penurunan turgor kulit
dehidrasi 3) Anjurkan klien untuk
b. Vital sign dalam batas normal meningkatkan asupan cairan per
oral
4) Kolaborasi pemberian cairan
paranteral sesuai indikasi

| 34
DAFTAR PUSTAKA

Doheny K. Most common foods for foodborne illness: CDC report. Medscape Medical

News. January 30, 2013.

Fajri. (2012). Keracunan Obat dan bahan Kimia Berbahaya. Dari:

http://fajrismart.wordpress.com/2011/02/22/keracunan-obat-dan-bahan-kimia-

berbahaya/. Diakses tanggal 17 Agustus 2017.

Jacobs RA. General problems in infectious diseases: acute infectious diarrhea. In:

Tierney LM Jr, McPhee SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis and

Treatment 2001. 40th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2000:1215-6.

Krisanty, dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info

Media.

Lee JH, Shin H, Son B, Ryu S. Complete genome sequence of Bacillus cereus

bacteriophage BCP78. J Virol. Jan 2012;86(1):637-8.

Logan NA. Bacillus and relatives in foodborne illness. J Appl Microbiol. Mar

2012;112(3):417-29.

Mansjoer Arif, 2009, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 jilid 1 Media Aesculapius,

FKUI, Jakarta.

Sartono. (2012). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.

Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah,

vol: 3. Jakarta: EGC.

| 35
Syamsi. (2012). Konsep Kegawatdaruratan Pada Pasien Dengan Gigitan Serangga.

Dari:http://nerssyamsi.blogspot.com/2012/01/konsep-kegawatdaruratan-pada-

pasien.html. Diakses tanggal 17 Agustus 2017.

| 36

Anda mungkin juga menyukai