Anda di halaman 1dari 41

1

I. PENDAHULUAN

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Systhemic Lupus Erythemathosus (SLE) sangat
berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin, yang sampai saat
ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan nasional. SLE adalah penyakit
inflamasi autoimun kronis akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik
pada berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas, serta
manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat beragam. 1 Penyakit
ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup
tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan
dalam patofisiologi SLE.1,2
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki- laki antara 9-14 : 1. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan
Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat
ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. 2,3 Data pasien SLE pada kehamilan
masih sulit didapat, dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus SLE. 2,3 Dari
kunjungan pasien yang datang kontrol ke Poliklinik Kebidanan dan Penyakit
Kandungan RSUP Sanglah Denpasar, didapatkan 3 kasus dari tahun 2011- 2013. 1
SLE merupakan penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia
antara 15–45 tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini
berhubungan dengan hormon yang terdapat pada wanita yaitu estrogen.2
Penyakit SLE yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi seringkali
menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat
membahayakan kondisi ibu dan janin. Dilaporkan wanita hamil yang menderita SLE
2

memiliki komplikasi yang buruk terhadap kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu,
penyakit SLE sangat berisiko tinggi pada kehamilan.1
Masalah yang memperburuk keadaan selama kehamilan adalah terjadinya flare
penyakit, terutama bila aktifitas penyakit SLE tinggi sebelum hamil. Flare pada
kehamilan dilaporkan antara 13% sampai 68% pada penderita SLE yang hamil
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jumlahnya meningkat selama
kehamilan dan pada masa post partum antara 30% sampai 50%.1
Mengingat pentingnya kasus ini dan guna menambahkan pengetahuan tentang
prinsip penanganan pada kasus tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas
kasus ini dan melaporkan dari kasus ini untuk didiskusikan dan dilaporkan lebih
lanjut.
3

II. REKAM MEDIS

A. Anamnesis
Autoanamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. Mei
Med.Rek : 978607
Umur : 27 tahun
Suku bangsa : Sumatera
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Lr. Suka Mulya II No.3312 RT.39 RW.06, Kelurahan
Sukabangun, Kecamatan Sukarami, Palembang,
Sumatera Selatan
MRS : 02 Oktober 2018, pukul 22:26 WIB
2. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x lamanya 7 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menarche 14 tahun, siklus teratur, 28 hari, lama 7 hari, HPHT: 12 Mei 2018
4. Riwayat Persalinan
1. 2012, laki-laki, 3100 g, lahir spontan, bidan, sehat
2. Hamil ini
5. Riwayat penyakit dahulu
Os didiagnosa Systemic Lupus Erythematosus sejak 2 tahun yang lalu dan
rutin control di poli penyakit dalam RSMH, os rutin mengkonsumsi obat
methylprednisolone 1x4 mg perhari.
6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi
Sedang
4

7. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Hamil muda dengan janin tidak bergerak lagi
Keluhan tambahan : Demam sejak ±5 hari SMRS dan BAB cair sejak ±3
hari SMRS
Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien dikonsulkan dari Departemen Penyakit Dalam ke Departemen Obgin
dengan keluhan janin tidak bergerak lagi. Riwayat perut mulas yang menjalar
ke punggung hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (-), riwayat
keluar air-air (-), riwayat keluar darah lendir (-), riwayat minum jamu-jamuan
(-), riwayat minum obat-obatan sebelumnya (+) yaitu sandimun,
methylprednisolon 2x4 mg, dan omeprazole 1x20 mg, riwayat trauma (-).
Tiga hari SMRS, pasien mengeluh demam terus menerus, menggigil (+).
sakit kepala (+), sariawan (+), batuk (+), berdahak kental warna putih
banyaknya ±1/2 sendok teh, batuk darah (-), rambut rontok (-), wajah menjadi
kemerahan saat terkena sinar matahari (-), nyeri sendi (+), BAK teh tua (+),
berbusa (+), BAB cair (+), badan lemas (+). Pasien kemudian dibawa ke IGD
RS Moh. Hoesin Palembang.
Dua tahun yang lalu, pasien didiagnosis dengan SLE dan mengkonsumsi
methylprednisolon rutin 1x4 mg. ±1 minggu yang lalu, pasien kontrol ke
Poliklinik PDL dan dosis methylprednisolon dinaikkan menjadi 2x4 mg.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Tipe badan : Normal
Berat badan : 44 kg
Tinggi badan : 155 cm
5

Tekanan darah : 130/90 mmHg


Nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,5 0C

b. Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik, malar
rash (+), discoid rash (+), stomatitis (+), mukosa kering
(+)
Leher : Tekanan vena jugularis (5-2) cm H2O, KGB tidak teraba
Thoraks : Jantung : Murmur tidak ada, Gallop tidak ada.
Paru-paru : vesikuler normal (+), ronchi (-),wheezing (-)
Ekstremitas : Edema pretibial -/-

2. Pemeriksaan Obstetri
- Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri 1 jari atas simfisis pubis, ballottement externa (+),
massa (-), nyeri tekan (-), TCB (-), his (-)
- Pemeriksaan dalam:
Portio lunak, posterior, pendaratan 0 %, pembukaan 1 cm, ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM (2/10/2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 7.3 11.4-15.0 g/dL
Eritrosit 2.64 4.00-5.70 x 106/m3
6

Hematokrit 23 35-45 %
Leukosit 2100 5000-10000/mm3
Trombosit 83000 189000-436000
Diff count 0/9/78/16/5

Fungsi Hati
SGOT 42 0-32 u/L
SGPT 16 0-31 u/L
Albumin 2.1 3.5-5.5 mg/dL
Fungsi Ginjal
Ureum 11 15-40 mg/dL
Kreatinin 0,56 0.5-1.5 mg/dL
Elektrolit
Kalsium 7,0 8.4-10.8 mg/dL
Natrium 137 135-155 mEq/L
Kalium 2,7 3.5-5.5 mEq/L

USG
- Tampak JTM intrauterin
- Biometri janin
- BPD 3.33 cm - FL 2.10 cm - EFW 91.09 g
- HC 12.09 cm - AC 9.07 cm
- Plasenta di korpus anterior
- Ketuban cukup
K/ Hamil 16 minggu janin tunggal mati intrauterin
7

D. Diagnosis kerja
G2P1A0 hamil 16 minggu dengan SLE flare up, pansitopenia, hipoalbuminemia,
elektrolit imbalance Janin tunggal mati intrauterin

E. Prognosis
Ibu : Dubia
Janin : Malam
8

F. Terapi
- Observasi tanda vital
- Tirah baring
- Oksigen nasal kanul 2 lpm
- Diet NB 1500 kal
- IVFD asering gtt XV /menit
- Misoprostol 200 mg per vaginam setelah perbaikan KU
- Terapi lain sesuai TS PDL
- Koreksi albumin, kalium, kalsium sesuai TS PDL
- Transfusi Packed Red Cell sampai target Hb>8 g/dL sesuai TS PDL
- Transfusi Trombocyte Concentrate/tromboparesis sesuai TS PDL

Terapi PDL
- Sandimun 1x25 mg
- Methylprednisolon 2x4 mg
- Omeprazole 1x40 mg IV
- Parasetamol 3x500 mg
- Asam folat 3x1 gr
- Nystatin drop 4x2 cc

G. Follow Up
Assesment PDL
(3/10/2018) A/ P/
SLE flare up dengan anemia berat (AIHA) - Transfusi WB 600cc
IUFD - Methylprednisolon 2x4
ACD (7,3) mg P.O  1x62.5 mg IV
Hipokalsemia - Sandimum 1x25 mg PO
Hipokalemia - Myfortic 2x360 mg PO
Hipoalbuminemia - Parasetamol 3x500 mg
- Asam folat 2x1
- Nystatin drop 4x2 gtt
- CaCO3 3x500 mg
- KCl 25 cc + 500 NS gtt
9

XV/menit
- Ceftriaxon 2x1 gr IV
- N-Acetylsistein 3 x 200
mg PO
PDL
4/10/2018 A/ SLE flare up dengan anemia berat (AIHA) P/
IUFD - Methylprednisolone
AIHA (7,3) 1x62,5 mg IV (H2)
Hipoalbumin (2,1) - Myfortic 2x360 mg PO
Hipokalemia (2,7) - Albumin 20%
- KSR 1x600 mg

PDL
8/10/2018 A/ SLE flare up + IUFD
P/
- Pro kuretase dan rawat
bersama di Departemen
Obgin (Hb 10,4, Albumin
2,5, EKG normal, cor dan
pulmo fungsional
kompensata)
Obgin
9/10/2018 S/ Hamil muda dengan janin tidak bergerak lagi P/
(06.00 O/ - Rencana terminasi
WIB) Sens: CM T:36,6°C menunggu visite DPJP
TD : 120/80 mmHg RR: 20x/m - Th/ PDL diteruskan
N: 80x/m - Misoprostol 200 mcg
setiap 6 jam per vaginam
PL: Fundus Uteri 3 jari atas simfisis pubis,
ballotemen eksterna (+), his (-), DJJ (-)
A/ G2P1A0 hamil 16 minggu dengan SLE JTM
intrauterinei
Obgin
S/ Hamil muda dengan janin tidak bergerak lagi
9/10/2018 O/
(10.00 Sens: CM T:36,6°C P/
WIB) TD : 110/70 mmHg RR: 20x/m - Observasi TVI, his,
N: 82x/m kemajuan persalinan
- IVFD RL gtt xx/menit
PL: FUT 3 jari atas symphisis pubis, ballotemen - R/ partus pervaginam
eksterna (+), his (-), DJJ (-) - Misoprostol tab 200mcg /
A/ G2P1A0 hamil 16 minggu dengan SLE JTM 6 jam per vaginam
intrauterin - Th/ lain sesuai intruksi
farmakologis
10

9/10/2018 Obgyn
(16.00 S/ mau melahirkan dengan janin tidak bergerak P/
WIB) lagi - Obs. TVI, his, DJJ
O/ - IVFD RL gtt XX/menit
Sens: CM T:36,7°C - R/ partus pervaginam
TD : 120/70 mmHg RR: 20x/m - Misoprostol tab 200 mcg
N: 86x/menit / 6 jam pervaginam
- Th/ lain sesuai intruksi
PL: FUT 3 jari atas symphisis pubis, ballotemen farmakologis
eksterna (+), his (-), DJJ (-)
VT: porsio lunak, medial, pendataran 50%, Ø1
cm, ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai
A/ G2P1A0 hamil 16 minggu dengan SLE JTM
intrauterin

9/10/2018 Obgyn
(22.50 S/ Pasca ekspulsi, plasenta tidak lahir P/
WIB) O/ - Observasi TTV dan
Sens: CM T:38,5°C perdarahan
TD : 110/70 mmHg RR: 20x/m - R/ operasi (kuretase)
N: 80x/m - Konsul anastesi

PL: FUT 2 jari atas simfisis pubis, perdarahan


aktif
A/ Abortus inkomplit + SLE

Jawaban Anastesi P/
Konsul A/ - NPO
(9/10/2018) Abortus inkomplit + SLE
Post kuretase

Lab Hb: 9,1 g/dL, eritrosit 3,04, Ht 26%, WBC: 5100 /mm3 , PLT: 89000/mm3
10/10/18 DC: 0/0/81/13/6
00.03 WIB
11

Laporan Tindakan

Pukul 02.30 tindakan dimulai


Pasien berada dalam posisi litotomi dan narkose
Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada uretra dan sekitarnya
Kandung kencing dikosongkan dengan kateter
Dilakukan pemasangan spekulum atas dan bawah
Porsio ditampakkan secara avoe
Dengan tenakulum dilakukan penjepitan porsio pada arah jam 11
Dilakukan sondase didapatkan uterus antefleksi dengan panjang 8 cm
Dilakukan kuretase pada endometrium dan didapatkan jaringan dan darah sebanyak 50 cc
Jaringan di PA kan
Setelah diyakini bersih, tidak ada lagi jaringan dan darah serta perdarahan, tenakulum
dilepaskan
Porsio dibersihkan dengan kassa betadine
Pukul 03.00 WIB operasi selesai
Diagnosis pasca tindakan :
Post kuretase a/i sisa kehamilan

10/10/18 Obgyn Terapi :


(03.00 S/ Pasca kuretase - Obs TTV, kontraksi, dan
WIB) O/ perdarahan
St Present : - IVFD RL gtt XX /menit
KU: Sedang TD : 110/70 mmHg - Mobilisasi
Sens : CM N : 88 x/mnt - Diet biasa bila BU (+)
RR : 20 x/mnt normal
T : 36,50C - Cek DR
St Obstetri : - Terapi sesuai intruksi
PL : Datar, lemas, FUT tidak teraba farmakologis
D/ Post kuretase a/i sisa konsepsi

III. PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?
2. Bagaimana pengaruh SLE terhadap kehamilan dan sebaliknya?
3. Bagaimana penatalaksanaan dan manajemen pada kasus ini?
12

IV. ANALISIS KASUS

A. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?


American Rheumatism Association (ARA) mengumumkan kriteria untuk klasifikasi
SLE yang mengandung 14 item. Namun, karena sensitivitasnya sangat bervariasi
(57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982, dengan kriteria revisi ini
didapatkan sensitivitas sebesar 96 % dan spesifisitasnya antara 78-87%. Kemudian
the American College of Rheumatology (ACR) melakukan revisi lagi tahun 1997. 1

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit
lain misalnya arthritis rheumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.3,4,5
Tabel 1. Kriteria Diagnosis SLE3,4,5
No. Kriteria Definisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas, rata atau
meninggi, letaknya di daerah makular, biasanya
tidak mengenai lipat nasolabialis.
2. Ruam Diskoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin
terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui
melalui anamnesis atau melalui pengamatan
dokter.
4. Ulkus mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
13

5. Arthritis Arthritis non erosif yang mengenai 2 sendi perifer


ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter
atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG atau
terdengarnya bunyi gesekan perikard atau adanya
efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau
>3+atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-
obat yang dapat menyebabkan atau kelainan
metabolik seperti uremia, ketoasidosis, dan
gangguan keseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-
obatan yang dapat menyebabkan kelainan
metabolik seperti uremia, ketoasidosis dan
gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Gangguan Hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3
tanpa adanya obat yang mungkin menyebabkannya.
10. Gangguan Imunologi a. Adanya sel LE atau
14

b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA


dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti
atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu
selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh
uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji
fluoresensi absorbs antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklear Titer abnormal antinuklear antibodi yang diukur
positif (ANA) dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain yang
setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindroma
lupus karena obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%, sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.3-8
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring:4
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3, C4)
15

6. Foto polos thoraks:


 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
 Setiap 3-6 bulan bila stabil
 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.4
Pada kasus ini, pasien telah didiagnosis SLE sekitar 2 tahun yang lalu dan rutin
mengonsumsi methylprednisolon rutin 1x4 mg, dari anamnesis didapatkan keluhan
pasien berupa demam, menggigil, sakit kepala, sariawan, wajah menjadi kemerahan
saat terkena sinar matahari, nyeri sendi, BAK teh tua, berbusa, BAB cair, badan
lemas. Pasien juga mengatakan bahwa gerakan janin tidak dirasakan lagi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, malar rash, discoid rash,
stomatitis, mukosa mulut kering, tidak didapatkan kelainan pada paru dan jantung,
serta pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 1 jari atas symphisis pubis,
tanpa adanya massa, tidak nyeri tekan, tidak terdapat tanda cairan bebas, namun tidak
didapatkan his maupun DJJ pada pemeriksaan luar. Pada pemeriksaan dalam
didapatkan portio kenyal, posterior, pendataran 0 %, pembukaan 1 cm, ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai. Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium
didapatkan pasien mengalami anemia sedang, leukopenia, trombositopenia,
hipoalbuminemia, hipokalemia, dan hipokalsemia. Pemeriksaan USG didapatkan
kesan pasien hamil 16 minggu dengan janin tunggal mati intrauterine.
Pasien telah memenuhi kriteria ACR untuk diagnosis SLE, sehingga pasien
didiagnosis dengan G2P1A0 hamil 16 minggu dengan SLE flare up, pansitopenia,
hipoalbuminemia, elektrolit imbalance Janin tunggal mati intrauterin.

B. Bagaimana pengaruh SLE terhadap kehamilan dan sebaliknya?

Pengaruh Kehamilan terhadap SLE


16

SLE merupakan penyakit autoimun yang melibatkan berbagai sistem organ. Flare
SLE dapat terjadi kapan pun, termasuk saat hamil dan pasca persalinan tanpa pola
yang pasti. Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan dan
mempengaruhi aktivitas lupus. Beberapa penelitian melaporkan kekambuhan lupus
selama kehamilan, namun umumnya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat
nefritis masih aktif maka 50-60% pasien mengalami eksaserbasi, sementara jika
nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang
mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan
eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Peningkatan respon
inflamasi selama lupus flare dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan selama
kehamilan.1,9
Membedakan preeklampsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya
mengalami hipertensi, proteinuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Pada renal
flare terjadi penurunan kadar C3/C4, peningkatan kadar anti-dsDNA dan membaik
dengan pemberian steroid. Sedangkan pada preeklampsia, kadar C3/C4 membaik,
tidak ada perubahan pada kadar anti-dsDNA, dan memburuk dengan pemberian
steroid.9
Gejala dan tanda kehamilan fisiologis yang dapat menyerupai aktivitas lupus
selama kehamilan:6,9
1. Lemas
Keluhan lemas dapat terjadi pada kehamilan fisiologis maupun pada pasien lupus.
2. Eritema Palmaris dan facial blush
Pada kehamilan fisiologis peningkatan estrogen dapat mengakibatkan blushing
pada kulit, namun lupus flare juga memiliki tanda tersebut.
3. Artralgia dan efusi sendi
Kehamilan juga bisa disertai dengan nyeri kepala dan nyeri punggung bawah
akibat hormon relaksin, peningkatan level estrogen, dan retensi cairan.
4. Sesak napas
17

Pada kehamilan hal ini terjadi akibat pendesakan diafragma.

5. Rambut rontok
Dapat terjadi kerontokan rambut selama puerpurium dan paska persalinan pada
kehamilan normal
6. Penurunan hemoglobin dan platelet
Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah sebesar 50% dan berakibat
pada hemodilusi. Akan tetapi hemolitik anemia dan jumlah platelet kurang dari
100.000/mm3 biasa muncul pada aktivitas lupus selama kehamilan ataupun bagian
dari HELLP syndrome.
7. Peningkatan volume dan laju filtrasi glomerular mengakibatkan penurunan
kreatinin serum dan peningkatan proteinuria biasa terjadi pada kehamilan normal.
Level kreatinin serum yang stabil selama masa kehamilan merupakan petunjuk
adanya insufisiensi renal yang biasa terjadi pada nefritis lupus. Peningkatan
proteinuria lebih dari 2 kali proteinuria basal merupakan hal abnormal, dimana
pada kehamilan normal biasa mencapai hingga 300 mg/24 jam. Level kreatinin
serum >140 μmol/L berkaitan dengan 50% pregnancy loss yang dapat meningkat
hingga 80% saat level kreatinin serum >400 μmol/L.
Bertahannya alograf janin in utero pada kehamilan normal diduga terjadi akibat
terbentuknya toleransi maternal terhadap alograf janin yang merupakan hasil interaksi
dari berbagai faktor seperti peranan plasenta, aktifitas sistem imunitas janin, imunitas
seluler dan humoral maternal, blocking faktor maternal dan janin dalam
kehamilan.3,9,10,11
Plasenta merupakan sawar selektif terhadap pelintasan sel imunokompeten dan
faktor humoral antara ibu dan janin. Diduga plasenta merupakan suatu organ
penyerap imunologik, yang terutama berperanan dalam melakukan pembersihan
antibodi maternal yang dapat menyebabkan pembentukan dan pengendapan kompleks
imun atau antibodi sitotoksik terhadap antigen janin. Plasenta juga mengikat dan
18

menginaktivasi antibodi maternal terhadap berbagai antigen paternal seperti antigen


kompleks selaras jaringan utama (MHC antigen) paternal yang melintasi plasenta.
Dengan demikian semua antigen maternal, kompleks imun dan agregat IgG yang
melintasi lapisan trofoblas plasenta akan dieliminasi oleh makrofag janin. 9,10,11

Gambar 1. Patogenesis kehamilan dengan SLE9

Perubahan imunitas humoral maternal pada kehamilan normal juga berperanan


dalam mencegah terjadinya penolakan alograf janin. IgG calon ibu dalam kehamilan
normal dapat menghambat sifat limfositotoksis maternal terhadap sel trofoblast janin.
Peningkatan kadar hormon progesteron, estrogen dan kortisol, human chorionik
gonadotropin (hCG) dan somatotropin dapat menghambat imunitas seluler pada
pertemuan (interface) antara janin dan ibunya. Hormon estrogen dan progesterone
kehamilan diduga bersifat imunosupresif secara lokal pada situs plasenta, sedangkan
hCG dapat menghambat proliferasi limfosit.9,10,11
Terbentuknya faktor penghambat dalam kehamilan serum pregnancy blocking
factors (SPBF) merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang telah diketahui
19

berpengaruh dalam melindungi fetus dalam penolakan sistem imunitas maternal.23


Sistem imunitas janin juga berperanan dalam menghambat pengaruh antibodi
maternal. Mekanisme ini diduga terjadi karena terdapatnya suatu soluble suppressor
factor yang disekresi oleh sel T penekan janin yang melintasi plasenta dan masuk ke
dalam sirkulasi ibu untuk menekan antibodi maternal. Selain itu α feto protein (AFP)
juga diduga memiliki sifat imunosupresif dan dapat mengaktivasi sel T penekan
janin.9,10,11
Perubahan yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi keparahan lupus
yang melibatkan hormon ibu dan plasenta, peningkatan sirkulasi, peningkatan volume
cairan, peningkatan laju metabolik, hemodilusi, sel fetal dalam sirkulasi, serta faktor-
faktor lainnya yang terjadi selama kehamilan. Lupus flare biasa terjadi selama
kehamilan dengan risiko sebesar 0,06-0,136 selama bulan kehamilan.9,10,11
Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk
mengenali gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan yang memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa
flare yang sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama kehamilan
sebesar 2-3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana sebagian besar
mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga berat. Sebagian
besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit, persendian, dan gejala
konstitusional. Hal tersebut juga nampak pada kehamilan biasa, sehingga seringkali
tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.3,9
Penilaian aktivitas penyakit SLE (lupus flare) dapat menggunakan kriteria MEX
SLEDAI, yang meliputi:3,9
a. Gangguan neurologi (bobot 8)
1) CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru, eksklusi arteriosklerosis.
2) Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
3) Sindrom otak organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
4) Mononeuritis
20

5) Mielitis: eksklusi penyebab lainnya.

b. Gangguan ginjal (bobot 6)


1) Cast, heme granular atau sel darah merah.
2) Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi)
3) Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen.
4) Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl)
c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
d. Hemolisis (bobot 3): Hb<12,0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%,
trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.
e. Miositis (bobot 3)
f. Artritis(bobot 2)
g. Gangguan mukokutaneous(bobot 2):
1) Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol
2) Mucous ulcers
3) Abnormal alopecia
h. Serositis(bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis
i. Demam(bobot 1)
j. Lekopenia(bobot 1): sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat.
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:3
a. ≥ 12: flare berat, diperlukan pulse dose metilprednisolon 500-1000 mg perhari
selama 3 hari.
b. 9-11: flare moderat,
c. 4-8: flare ringan,
d. < 4: bukan flare.
Untuk flare ringan-moderate, bila sudah mendapat terapi steroid, dilanjutkan
pemberian steroid dengan imunosupresan.
21

Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi SLE selama kehamilan, menyebabkan


meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa peripartum. Pada
suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi SLE dalam
kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih besar pada 8
minggu post partum. Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan mempresipitasi
timbulnya SLE, di mana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut secara
bermakna lebih tinggi. Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa penderita SLE
tidak diperbolehkan untuk hamil.6,9
Pada suatu penelitian lain telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang
sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan SLE, disimpulkan bahwa kejadian
eksaserbasi SLE dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan klinis
yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda spesifik untuk SLE, maka
kejadiannya hanya 13%. Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak
dianjurkan pada penderita SLE, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi
klinis pasca abortus. Bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus
dilakukan sedini mungkin. Pasien pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian
kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.9

Pengaruh SLE terhadap Kehamilan


Pada penderita SLE, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan aktivitas sel
T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan peningkatan proliferasi dan
aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas respon imunitas humoral.9,10,11
Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan terjadinya
produksi autoantibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen tubuh sendiri
seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel mononuklear
(MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai bentuk molekul
antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan fosfolipid.9,10,11
22

Autoantibodi yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan terbentuknya


komplek imun.8,25 Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi sistem komplemen
untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan
amin vasoaktif seperti histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriole. Peningkatan
permeabilitas vaskuler ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan kompleks
imun pada sel endotel arteri dan arteriol jaringan, yang selanjutnya akan menginduksi
terjadinya agregasi trombosit, membentuk mikrotrombus pada jaringan kolagen
membran basalis sel endotel. Sel radang seperti PMN, MN, basofil, dan sel mast,
yang tertarik ke arah lesi oleh peptide kemotaktik komplemen, tidak mampu untuk
melakukan fagositosis terhadap seluruh endapan kompleks imun ini dan akan
membebaskan enzim lisosomal yang merupakan mediator inflamasi yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan vaskuler yang lebih jauh. Pada SLE aktif dapat
dijumpai infiltrasi perivaskuler oleh sel MN.9,10,11
Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membrane attack complex yang
akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan
jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan menyebabkan terjadinya
vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas seluler dan humoral pada ibu
penderita SLE, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap membran
fosfolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai antibody
antifosfolipid (APL). Terdapat dua jenis APL yang berperan penting pada SLE yaitu
lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL). Kedua jenis antibodi
ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus habitualis pada wanita hamil
tanpa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas yang jelas.9,10,11
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa terjadinya abortus
spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis desidual
plasenta, diathesis trombotik akibat pengaruh LAC dan ACL, trombositopenia serta
hipokomplementemia pada calon ibu penderita SLE. Kelainan di atas akan
menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, dan penebalan membran basalis
23

trofoblast yang akan mengganggu aliran darah ke arah plasenta sehingga


menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus atau kematian janin.9,10,11
Wanita penderita SLE juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan
bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum mereka sadari.
SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari antibodi IgM
terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La (SSB) dan Anti-
RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah lesi kutaneus lupus
subakut yang bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung kongenital relatif jarang
dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat dijumpai pula manifestasi
kelainan tersebut secara bersamaan.9,10,11
Kehamilan pada SLE berhubungan dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Sebuah studi berbasis data nasional dari 16,7 juta
persalinan dilaporkan peningkatan berkali lipat dari risiko kematian ibu, preeklamsia,
persalinan prematur, trombosis, infeksi, dan komplikasi hematologi selama kehamilan
pada SLE. Namun, hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati. Pasien SLE yang tidak
hamil juga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi medis dan peningkatan
mortalitas. Selain itu, wanita dengan SLE dalam penelitian ini lebih tua dan memiliki
tingkat komorbiditas yang lebih tinggi secara signifikan.7,12,13,14
Masalah terbesar adalah risiko 3-5 kali lebih tinggi dari pre-eklampsia, menjadi
penyulit bagi 16-30% kehamilan dengan SLE. Faktor predisposisi untuk
preeklampsia termasuk ibu lanjut usia, riwayat penyakit dahulu atau keluarga
sebelumnya mengalami preeklampsia, hipertensi yang sudah ada sebelumnya atau
diabetes melitus, dan obesitas. Dalam SLE, faktor risiko spesifik tambahan termasuk
penyakit yang aktif, riwayat lupus nephritis, adanya antibodi anti-fosfolipid,
penurunan komplemen, dan trombositopenia.7,11-14
Masalah obstetrik utama pada kehamilan dengan SLE adalah angka kematian janin
yang lebih tinggi terkait abortus spontan, abortus berulang, kelahiran prematur, intra-
uterine growth restriction (IUGR), kelainan pernapasan, kardiovaskular, darah, kulit,
hingga gangguan pada otak, dan sindrom lupus neonatal. Hal ini disebabkan oleh
24

vaskulopati desidual yang berhubungan dengan infark plasenta. Antibodi anti-RO/SSA


dan anti-LA/SSB dapat pula merusak jantung dan sistem regulasi sehingga menyebabkan
kematian bayi.7 Namun, tingkat kematian janin telah menurun dan tingkat kelahiran
hidup mencapai 80-90% dari laporan terbaru. Penyakit aktif dan lupus nephritis
meningkatkan risiko kematian janin dan efek samping lainnya. Proteinuria,
hipertensi, trombositopenia, dan adanya antibodi anti-fosfolipid adalah prediktor
negatif lainnya untuk kelangsungan hidup janin.7,12,13,14
Kelahiran prematur dan morbiditas terkait adalah masalah yang paling sering
terjadi pada kehamilan dengan SLE. Penyakit tiroid juga dikaitkan dengan risiko
kelahiran prematur yang lebih tinggi pada kehamilan SLE. Sekitar 10-30% kehamilan
dengan SLE mengalami IUGR dan bayi kecil untuk usia kehamilan. 7,12,13,14
Wanita penderita SLE umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi
reproduksinya dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya
telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita SLE lebih
berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal.7
Kelainan organ vital merupakan kontraindikasi bagi wanita penderita SLE untuk
hamil. Kontraindikasi relatif dari kehamilan antara lain, flare lupus parah dalam 6
bulan terakhir, stroke dalam 6 bulan terakhir, hipertensi pulmonal, gagal jantung
moderat hingga parah, valvulopati parah, penyakit paru restriktif parah, CKD stage 4-
5, hipertensi tidak terkontrol, dan riwayat preeklamsia atau sindrom HELLP onset
awal (<28 minggu) meskipun telah diterapi dengan aspirin dan heparin.11,15
Dengan berkembangnya penatalaksanaan SLE seperti yang umum digunakan
sekarang, prognosis penderita SLE saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu.
Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat. Walaupun
pada eksaserbasi SLE selama kehamilan menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas ibu terutama pada masa peripartum.1
Prognosis ibu pada penderita SLE lebih banyak ditentukan pada saat konsepsi.
Bila konsepsi pada masa tenang, prognosisnya lebih baik. Hal ini bisa dicapai dengan
manipulasi terapeutik selama beberapa bulan sebelum konsepsi. Selama ini dilakukan
25

evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat. Pada penderita SLE yang ingin hamil,
kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi terkontrol, sebelum
konsepsi dilakukan.1

C. Bagaimana penatalaksanaan dan manajemen pada kasus ini?


Baik untuk SLE ringan, sedang atau berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:7
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup
keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal
Pilar pengobatan SLE antara lain edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan
pengobatan medikamentosa (OAINS, antimalaria, steroid, imunosupresan/ Sitotoksik,
serta terapi lain).4,5,6,8
Edukasi pasien mengenai penghindaran pemicu yang diketahui dan modifikasi
gaya hidup adalah komponen kunci dalam pencegahan dan pengobatan flare dan
mengurangi morbiditas terkait. Pasien yang fotosensitif harus membatasi paparan
sinar UV dengan menghindari sinar matahari dan mengaplikasikan tabir surya.
Membatasi stres harian telah terbukti mengurangi flare dan pengobatan dengan
steroid. Gaya hidup seimbang yang terdiri istirahat dan olahraga meningkatkan massa
otot, mengurangi risiko kardiovaskular dan osteoporosis. Pasien yang merokok harus
diberi konseling untuk berhenti merokok. Selain meningkatkan risiko berbagai
keganasan, rokok dikaitkan dengan penyakit yang lebih aktif dan respon jelek
terhadap pengobatan dengan antimalarial pada pasien dengan penyakit kulit. Pasien
SLE berisiko kekurangan vitamin D dan harus dipantau secara ketat dengan
pemeriksaan laboratorium dan diberikan suplementasi. Hal ini sebagian disebabkan
karena paparan sinar matahari yang berkurang, tetapi kegagalan ginjal dan
26

penggunaan steroid kronis juga meningkatkan kebutuhan akan pengawasan


osteoporosis dan pengobatan yang sesuai dengan kalsium, vitamin D, dan bifosfonat.
SLE dikaitkan dengan peningkatan risiko limfoma (terutama non-Limfoma hodgkin),
paru-paru, dan keganasan serviks. Pasien harus menjalani skrining kanker serviks
tahunan selain skrining kanker sesuai usia yang direkomendasikan untuk populasi
umum. vaksinasi influenza dan pneumokokus juga merupakan langkah-langkah
pencegahan penting akibat peningkatan risiko infeksi sekunder akibat disfungsi
sistem kekebalan tubuh dan penggunaan obat imunosupresif.4
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat untuk SLE6


27

Pengobatan SLE berdasarkan aktivitas penyakitnya:4,5,6,8


a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai yaitu:
28

1. Obat-obatan:
a) Penghilang nyeri seperti parasetamol 3x 500 mg, bila diperlukan.
b) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
c) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan).
d) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kgBB/hari (150-300 mg/ hari) ( 1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan: periksa
mata pada saat awal pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan. Sementara
hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
e) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednisone < 10 mg/ hari atau
yangsetara.
2. Tabir surya: gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar pengobatan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serositis yang
refrakter: 20 mg/ hari prednisone atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.
1) Glukokortikoid dosis tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60 mg/ hari (1mg/kgBB)
prednisone atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500
mg sampai 1 gram/hari selama berturut-turut.
29

2) Obat Imunosupresan atau Sitotoksik


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan atau sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE yaitu: azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus
serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.

Algoritma penatalaksanaan SLE

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan SLE.1


Keterangan: TR:tidak respon, RS: respon, RP: respon penuh, KS: kortikosteroid setara prednisone,
MP:metilprednisolon, AZA: azatioprin, OAINS: obat anti inflamasi non steroid, CYC: siklofosfamid, NPSLE:
neuropsikiatri SLE.

d. Terapi lain
30

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1) Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama 5
hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik,
nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional.
2) Plasmaparesis pada pasien SLE dengan sitopenia, krioglobulinemia dan lupus
serebritis.
3) Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid.
4) Danazol pada trombositopenia refrakter.
5) Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring effect
pada SLE ringan.
6) Dapson dan derivate retinoid pada SLE dengan menifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
7) Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
8) Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini belum
tersedia di Indonesia).
9) Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
10) Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Penatalaksanaan SLE pada Kehamilan


Kehamilan dengan SLE adalah kehamilan dengan risiko tinggi. Penatalaksanaan
lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya kehamilan. Konseling
prakehamilan dibutuhkan dalam mengestimasi risiko pasien dan meninjau kembali
pengobatan lupus. Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan untuk mencegah efek
teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai pengobatan baru untuk
melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan tersebut. 9,12 Penatalaksanaan
31

ini memerlukan pengawasan dan evaluasi terhadap ibu setidaknya 6 bulan sebelum
kehamilan agar tercapai luaran kehamilan yang baik.7,16
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan kehamilan
yaitu kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE dan plasenta dan fetus
dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan
kegagalan kehamilan dan terjadinya SLE.4,9-11
Sehingga penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan
mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi bidang
rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan risiko tinggi serta
nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah dipastikan, pemantuan serta
evaluasi basal terkait aktivitas penyakit, keparahan, dan keterlibatan sistem organ
sebaiknya segera dilaksanakan.9
Dalam perencanaaan kehamilan dengan SLE perlu dilakukan konseling dengan
tahap sebagai berikut:
1. Penilaian Risiko: umur pasien, kehamilan sebelumnya, keterlibatan organ dan
kerusakan ireversibel, skor SLEDAI
2. Identifikasi kemungkinan adanya APS, anti-Ro/anti-La
3. Penyesuaian terapi yang sudah didapat
4. Pertimbangkan kontraindikasi kehamilan pada penyakit yang aktif (SLEDAI
>8)
5. Obat-obatan yang merupakan kontraindikasi pada kehamilan harus diganti
dengan yang lebih aman, dan pertahankan 2-3 bulan dengan obat yang baru
hingga benar terjadi remisi
6. Tatalaksana penyakit aktif
7. Pertimbangkan aspirin dosis rendah dari trimester pertama sampai melahirkan
untuk mengurangi risiko preeklamsia terutama pada pasien dengan lupus
nefritis.6,9,17
Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga usia kehamilan 20 minggu,
setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, dan setiap minggu hingga
32

persalinan tercapai. Pasien SLE yang hamil bisa mencapai luaran kehamilan yang
baik dengan penanganan dan pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun selama
kehamilan. Pasien SLE yang hamil yang memperoleh pengobatan imunosupresif
memerlukan profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi influenza dan vaksin
pneumokokus.6,9,17

Pilihan Medikamentosa pada Kehamilan dengan SLE


Modalitas utama dalam pengobatan SLE adalah penggunaan kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria, dan imunosupresan. Akan
tetapi untuk pengobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak
memberikan pengobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada
dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktifitas SLE.
Pengobatan SLE yang aman selama prakonsepsi maupun selama konsepsi diperlukan
termasuk meminimalisir risiko efek samping terhadap kesejahteraan janin. 9,11,15,17
Klasifikasi pengobatan yang aman pada kehamilan ditunjukkan oleh klasifikasi FDA
sesuai tabel 3.
Tabel 3. United State FDA pharmaceautical pregnancy categories1
33

Tabel 4. Obat-obatan SLE pada kehamilan dan menyusui32

1. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)


Efek OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid) pada janin bergantung pada usia
kehamilan itu sendiri. Berbagai studi kohort terkait penggunaan OAINS selama
trimester pertama dan kedua tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko terkait
efek teratogenik. Akan tetapi, efek OAINS yang menghambat sintesis
prostaglandin dikaitkan dengan efek konstriksi duktus arteriosus, hipertensi
pulmoner yang persisten, disfungsi renal pada neonatus, peningkatan perdarahan
ibu, dan pemanjangan masa kehamilan serta persalinan. Prostaglandin
meningkatkan kontraksi uterus, agregasi platelet, dan aliran darah renal janin.
OAINS dapat berefek pada penurunan produksi urine janin. Namun, terdapat
hubungan antara NSAID yang digunakan pada awal trimester dengan cacat lahir.
Terdapat peningkatan risiko gangguan fungsi ginjal janin dengan penggunaan
steroid setelah usia kehamilan 20 minggu. Karenanya, harus berhati-hati saat
menggunakan NSAID selama awal kehamilan.12 Jika OAINS memang diperlukan
selama trimester pertama dan kedua, sebaiknya dipilih dari golongan
ibuprofen.1,9,11,15,17
34

2. Obat Antimalaria
Hidrocloroquine (HCQ) merupakan obat antimalaria yang paling sering digunakan
pada SLE. Pada ibu hamil, obat ini juga digunakan sebagai profilaksis malaria
tanpa efek teratogenik. Mekanisme kerja HCQ melibatkan inhibisi proses antigen
dan pelepasan sitokin inflamasi. Obat ini sangat efektif pada discoid lupus
erythematosus (DLE) yang melibatkan lesi kulit. HCQ mengurangi efek
fotosensitif berupa lesi kulit dan mencegah lupus flare. HCQ juga mencegah lupus
renal dan cerebral lupus. Sehingga HCQ memiliki peranan sebagai agen
profilaksis terkait morbiditas mayor pada SLE dan efek dari pengobatan SLE,
terutama hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan thrombosis. Waktu paruh HCQ
dalam darah berkisar 8 minggu dan berakumulasi dalam jaringan tubuh, di mana
penghentian HCQ yang segera dilakukan setelah konsepsi tidak mencegah paparan
janin terhadap obat ini. HCQ sering digunakan untuk menangani hiperaktivitas
lupus dan dapat menurunkan aktivitas lupus selama kehamilan.9,11,15,17
3. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid cukup aman selama kehamilan, namun diperlukan
pemantauan terkait hipertensi pada ibu hamil, diabetes mellitus gestasional,
infeksi, peningkatan berat badan, akne, dan kelemahan otot proksimal. Pencapaian
dosis terapeutik terendah disertai penambahan suplemen vitamin D dan kalsium
diperlukan mengontrol flare penyakit.1,12
Kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta II-betahydroxy steroid
dehydrogenase (II-beta HSD) yang mengkonversi kortison aktif menjadi inaktif,
sehingga konsentrasi kortikosteroid dalam darah janin sebesar 10% dari
konsentrasi kortikosteroid dalam darah ibu. Hal ini memerlukan pertimbangan
evaluasi adanya insufisiensi adrenal pada janin. Pemakaian kortikosteroid pada ibu
hamil dengan lupus sebaiknya memilih golongan deksametason atau betametason,
yang menjadi inaktif oleh placental II-beta hydorxysteroid dehydrogenase,
sehingga risiko terjadinya kematian janin dan sindrom distress napas pada bayi
35

preterm dapat menurun. Pemberian dosis tunggal kortikosteroid pada ibu hamil
direkomendasikan untuk meningkatkan pematangan paru-paru. Sedangkan
pemberian dosis berulang setiap minggu selama kehamilan sebaiknya dihindari
pada ibu hamil dengan risiko persalinan preterm. Pasien yang mendapatkan
pengobatan kortikosteroid jangka panjang selama kehamilan sebaiknya
mendapatkan hidrokortison stress dose yang diindikasikan pada pemanjangan
waktu persalinan, seksio sesaria, ataupun operasi emergensi.1
Pemberian dosis stress kortikosteroid direkomendasikan pada keadaan stress,
infeksi dan pada tindakan perioperatif, termasuk persalinan dan seksio sesaria.1
a) Pemberian dosis stress kortikosteroid adalah dua kali atau sampai 15 mg
prednisone atau setaranya.
b) Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg hidrokortison intravena
pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50 mg hidrokortison
setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan dosis kortikosteroid
oral atau setara secara parenteral pada hari pembedahan dilanjutkan dengan
25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam selama 2 atau 3 hari.
c) Pada bedah minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis oral
atau meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednisone atau setara
selama 1 sampai 3 hari.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Dosis yang digunakan bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.1
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:1
a) Dosis rendah: ≤ 7,5 mg prednisone atau setara perhari
b) Dosis sedang: > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau setara perhari
c) Dosis tinggi: > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau setara perhari
d) Dosis sangat tinggi: > 100 mg prednisone atau setara perhari
36

e) Terapi pulse: ≥ 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa
hari.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
lupus, lupus cerebral.1,12
Tabel 5. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi1

Paparan steroid harus dibatasi seminimal mungkin selama kehamilan. Dosis tinggi
selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, pre-
eklampsia dan ketuban pecah dini. Namun, dalam kasus flare penyakit, dosis tinggi
singkat dan atau pulse metilprednisolon intravena dapat digunakan. Pasien dengan
terapi steroid jangka panjang juga harus menerima dosis stres pada saat persalinan.
Penggunaan senyawa terfluorinasi, seperti dexamethasone dan betametason harus
dibatasi dalam penggunaannya untuk kematangan paru janin dalam kasus persalinan
prematur. Penggunaan berulang terkait dengan gangguan perkembangan neuro-
psikologis anak di kemudian hari dan harus dihindari.12
37

4. Aspirin
Pengobatan dengan aspirin dosis rendah selama kehamilan diindikasikan pada ibu
hamil dengan SLE, hipertensi, riwayat preeklampsia, dan penyakit ginjal. Aspirin
dapat melewati plasenta dan menyebabkan kelainan kongenital namun hal ini
sangat jarang terjadi pada manusia. Wanita hamil yang menggunakan aspirin dosis
rendah mengalami penurunan risiko terhadap persalinan preterm dibandingkan
kelompok placebo. Aspirin sendiri memiliki efek antifosfolipid dan sebaiknya
dihentikan penggunaannya 8 minggu menjelang persalinan untuk mencegah
kehamilan postterm dan pemanjangan waktu persalinan, serta risiko perdarahan
selama persalinan dan komplikasi perdarahan pada janin.9,11,15,17
5. Obat Antihipertensi
Hipertensi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu
terbesar. Tekanan darah (TD) selama kehamilan cenderung meningkat pada
trimester pertama dan kedua. Batasan tekanan darah serta target tekanan darah
selama pengobatan antihipertensif pada kehamilan masih kontroversial. Wanita
dengan hipertensi berat (TD sistolik ≥160 mmHg dan atau TD diastolic ≥110
mmHg) diperlukan pengobatan antihipertensi untuk menurunkan risiko ibu terkait
komplikasi sistem saraf pusat. Target TD pada kehamilan adalah <140/90
mmHg.Pengobatan terbaik meliputi metildopa dan labetalol. Metildopa merupakan
satu-satunya obat antihipertensi yang diteliti terkait efek jangka panjang pada
janin. ACE inhibitor dan ARB sebaiknya dihindari penggunaannya terkait efek
samping pada konsepsi dan gangguan pada fetus.9,11,15,17
6. Agen Imunosupresif
a. Siklofosfamid
Pemberian siklofosfamid selama kehamilan dikaitkan dengan risiko terjadinya
fetal loss. Pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid sebaiknya
menunda kehamilan setidaknya hingga 3 bulan setelah penghentian pengobatan.
Obat ini berefek teratogenik, sehingga sebaiknya digunakan setelah melewati
38

trimester pertama pada penyakit lupus yang sangat parah dan mengancam
jiwa.9,11,15,17
b. Azathiopurine (AZA)
AZA merupakan analog purin yang berperan dalam sintesis asam nukleat. AZA
mampu melewati plasenta, namun konsentrasi yang mencapai aliran darah janin
relatif sangat minimal.32 Azathioprine adalah agen imunosupresif yang paling
aman digunakan pada kehamilan dengan SLE. Dosis harus dibatasi maksimal
2mg / kg / hari untuk menghindari risiko sitopenia pada janin dan
imunosupresi.12,15
c. Methotrexate (MTX)
MTX merupakan golongan obat FDA kategori risiko X, sehingga sangat
kontraindikasi pada kehamilan.Perencanaan kehamilan sebaiknya dilakukan
setelah 3 bulan penghentian MTX karena metabolit aktifnya masih beredar
dalam darah selama 2 bulan setelah penghentian. MTX bekerja sebagai
antagonis folat dan mengakibatkan deplesi folat selama kehamilan. Pemberian
suplemen folat direkomendasikan selama masa kehamilan untuk mengatasi hal
tersebut.9,11,15,17
d. Mycophenolate mofetil (MMF)
Obat ini digunakan pada lupus renal dan direkomendasikan penggantian atau
switching regimen ke AZA sebelum terjadinya konsepsi. MMF digunakan
sebagai terapi pemeliharaaan terhadap lupus nefritis, lupus kulit yang resisten,
aktivitas penyakit lupus dan manifestasi hematologis.Wanita dengan lupus yang
ingin hamil dan menjalani pengobatan dengan MMF sebaiknya menghentikan
pengobatan tersebut setidaknya selama 6 bulan.9,11,15,17
e. Siklosforin (CSA)
CSA merupakan agen imunosupresan yang tidak memilki efek teratogenik,
namun pemberiannya selama kehamilan dikaitkan dengan risiko
prematur.9,11,15,17
39

7. Agen Biologis
a. Anti TNF-α
Konsentrasi immunoglobulin maternal dalam darah janin meningkat sejak awal
trimester kedua melalui mekanisme aliran plasenta. Antibodi maternal ini
diperlukan selama trimester ketiga. Penghambat TNF-α (infliximab, etanercept,
adalimumab) dapat melewati sawar plasenta selama trimester pertama dan
kemampuannya dalam menembus sawar plasenta meningkat selama trimester
kedua dan ketiga. Pemakaian anti-TNF-α menurunkan aktivitas inflamasi pada
LES. FDA mengakategorikan anti TNFα sebagai obat ketagori B. Pasien yang
diobati dengan anti TNF-α sebelum maupun setelah terjadinya konsepsi tidak
diindikasikan untuk menjalani terminasi kehamilan kecuali pada kasus gawat
janin.9,11,15,17
b. Rituximab
Obat ini merupakan chimeric dari antibody anti CD-20 β cell depleting
monoclonal. Penggunaannya selama kehamilan berkaitan dengan sitopenia
termasuk deplesi sel beta pada janin yang bersifat reversibel.Sehingga,
penjadwalan kehamilan sebaiknya dilakukan setidaknya 12 bulan setelah
penghentian pengobatan dengan rituximab.9,11,15,17
8. Terapi lainnya
a. Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan IVIG selama kehamilan tidak menimbulkan abnormalitas pada
janin. IVIG selama kehamilan dapat mengontrol aktivitas lupus berat.9,11,15,17
b. Plasma Pharesis
Plasma Paresis (PP) digunakan pada keadaan resistensi siklofosfamid dan
penyakit lupus yang melibatkan ancaman multiorgan.Indikasi absolut
pemberian PP meliputi hiperviskositas dan perdarahan pulmonal.PP cukup
aman dan memerlukan pemantuan intensif selama pemberiannya. Apheresis
dapat ditoleransi pada ibu hamil dan digunakan untuk membersihkan antibodi
antifosfolipid dan anti-Ro (SSA).9,11,15,17
40

V. SIMPULAN

1. SLE adalah penyakit inflamasi autoimun kronis akibat pengendapan


kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang
penyebabnya belum diketahui secara jelas
2. Kehamilan pada ibu dengan penyakit SLE sangat berhubungan dengan
tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin.
3. Untuk memenuhi kriteria diagnosis SLE pasien harus memenuhi
setidaknya 4 dari 11 kriteria ACR.
4. Penanganan pasien ini sudah cukup tepat sehingga menghasilkan keluaran
yang cukup baik.
41

Rujukan
1. Negara IKS. Kehamilan dengan lupus eritematosus sistemik. Bagian/Smf Obstetri Dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rsup Sanglah Denpasar. 2014
2. Gaya LL, Sayuti M. Sistemik lupus eritematosus pada Kehamilan. Majority.
2017;6(3):115
3. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. systemic lupus erythematosus: pathogenesis,
clinical manifestations and diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases –
module n°17. 2007-2009.
4. Kim SJ, McMahon M. diagnosis and treatment of systemic lupus erythematosus.
JCOM. 2013;20(2):85-93.
5. Cunha Js, Gilek-Seibert K. systemic lupus erythematosus: a review of the clinical
approach to diagnosis and update on current targeted therapies. Rhode Island Medical
Journal. 2016:22-27.
6. Cauldwel M, Nelson-Piercy C. maternal and fetal complications of systemic lupus
Erythematosus. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012; 14: 167–
174.
7. Karimi FZ, Saeidi M, Mirteimouri M, Maleki-Saghooni N. maternal, fetal and neonatal
outcomes in pregnant women with systemic lupus erythematosus: A Comprehensive
Review Study. Int J Pediatr. 2017;5(11): 6151-71.
8. Kuhn A, Bonsmann G, Anders HJ, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. The diagnosis
and treatment of systemic lupus erythematosus. Dtsch Arztebl Int. 2015; 112: 423–32.
9. Jesus GRd, Mendoza-Pinto C, Jesus NRd, Santos FCd, Klumb EM, Carrasco MG, et
al. Understanding and managing pregnancy in patients with lupus. Autoimmune
Diseases. 2015:1-18.
10. Ostensen M, Clowse M. Pathogenesis of pregnancy complications in systemic lupus
erythematosus. Curr Opin Rheumatol 2013; 25: 591–596.
11. Knight CL, Nelson-Piercy C. Management of systemic lupus erythematosus during
pregnancy: Challenges and Solutions. Open Access Rheumatology: Research and
Reviews. 2017; 9: 37–53.
12. Lateefa A, Petri M. Managing lupus patients during pregnancy. Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2013 June;27(3):1-20.
13. Frye E. The effects of maternal systemic lupus erythematosus on the developing fetus.
North Carolina Agricultural and Technical State University. 2013.
14. Kroese SJ, Abheiden CNH, Blomjous BS, van Laar JM, Derksen RWHM, Bultink
IEM, et al. Maternal and perinatal outcome in women with systemic lupus
erythematosus: A Retrospective Bicenter Cohort Study. Journal of Immunology
Research. 2017:1-9.
15. Saigal R, Goyal L, Tank ML, Saigal S. Management of pregnancy in lupus patients.
Journal of The Association of Physicians of India. 2016; 64: 62-65.
16. Chen S, Sun X, Wu B, Lian X. Pregnancy in women with systemic lupus
erythematosus: A Retrospective Study of 83 Pregnancies at a Single Centre. Int. J.
Environ. Res. Public Health. 2015;12: 9876-9888.
17. Sammaritano LR. Management of systemic lupus erythematosus during pregnancy.
A,nnu. Rev. Med. 2017. 68:13.1–13.15.

Anda mungkin juga menyukai