Anda di halaman 1dari 12

EFEK DRY NEEDLING PADA SPASTISITAS, ROM BAHU, DAN

SENSITIVITAS NYERI TEKANAN PADA PASIEN DENGAN STROKE:


SEBUAH PENELITIAN CROSSOVER

Abstrak
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan efek inklusi DDN (deep
dry needling = jarum kering dalam) pada otot bahu spastik pada program
rehabilitasi spastisitas, sensitivitas nyeri tekanan, dan ROM bahu pada subyek
yang pernah menderita stroke.
Metode: Percobaan acak, double-blind, crossover, berulang, terkontrol dilakukan.
Dua puluh pasien yang telah menderita stroke secara acak menerima hanya
rehabilitasi atau rehabilitasi dengan DDN pada muskulus trapezius superior,
infraspinatus, subskapularis, dan pektoralis mayor pada bahu spastik. Subyek
menerima kedua intervensi yang dipisah paling sedikit 15 hari. Tiap intervensi
dilakukan sekali dalam satu pekan dalam tiga pekan. Ambang spastisitas
(Modified Ashworth Scale), nyeri tekan pada muskulus deltoideus dan
infraspinatus dan sendi zygoapofisial C5-C6, dan ROM bahu satu pekan sebelum
dan satu pekan setelah tiap intervensi oleh penilai blinded.
Hasil: Penurunan spastisitas hampir sama pada kedua kondisi untuk muskulus
trapezius superior, pektoralis mayor, dan subskapularis. Sejumlah besar individu
yang menerima DDN menunjukkan penurunan spastisitas pada muskulus
infraspinatus. Analisis kovarian menunjukkan bahwa semua ambang nyeri
tekanan, abduksi bahu, dan rotas eksternal bahu meningkat secara signifikan
setelah intervensi DDN (p<0.05). Fleksi baju menunjukkan perubahan yang sama
setelah kedua kondisi.
Kesimpulan: Hasil kami menyarankan bahwa inklusi DDN pada program
rehabilitasi multimodal efektif untuk menurunkan sensitivitas tekanan lokal dan
meningkatkan ROM bhu pada individu yang pernah menderita stroke; namun,
kami tidak mengobservasi perbedaan signifikan pada spastisitas otot.

Kata kunci: stroke; spastisitas otot; ambang nyeri; ROM; bahu.


LATAR BELAKANG
Stroke adalah kondisi mencacatkan dengan estimasi insidensi per tahun berkisar
dari 144 sampai 148 dari 100.000 orang. Sebuah ulasan sistematik menemukan
bahwa laki-laki lebih sering menderita stroke daripada perempuan; namun, variasi
antara populasi diobservasi. Walaupun stroke jatuhd ari penyebab kematian
tersering ketiga menjadi keempat, stroke masih menjadi penyebab utama
kecacatan fisik, terutama akibat adanya spastisitas karena subyek dengan
spastisitas menunjukkan penurunan aktivitas motorik dibandingkan mereka tanpa
spastisitas.
Spastisitas didefinisikan sebagai “penyakit motorik dikarakteristikkan
dengan peningkatan sesuai kecepatan pada refleks peregangan tonik (tonus otot)
dengan sentakan tendon berlebih, sebagai komponen utama sindroma
motorneuron atas”. Prevalensi spastisitas mencapai 43% pada 6 bulan setelah
stroke pertama dan 38% pada satu tahun setelah stroke. Lesi primer pada subyek
dengan spastisitas berasal dari neural; namun, peningkatan bukti menunjukkan
perubahan sekunder akibat kontraktur otot yang terjadi sekunder terhadap
spastisitas. Beberapa penelitian mengobservasi bahwa muskulatur spastik
menunjukkan fraksi volume mitokondrial, terlihatnya material amorfik
intraseluler, penurunan panjang serat otot, dan penunrunan jumlah sarkomer serial
pada serat otot.
Beberapa pendekatan terapetik dapat dipikirkan untuk manajemen otot
spastik. Injeksi toksin A botulinum intramuskuler (BTX-A) merupakan alat yang
paling terkenal untuk manajemen spastisitas. Sebuah metaanalisis menemukan
bahwa pemberian BTX-A pada pasien yang menderita stroke berhubungan
dengan peningkatan sedang kinerja ekstremitas atas. Karena beberapa subyek
menunjukkan respon alergi terhadap BTX-A, penggunaant erapi jarum lain,
seperti akunpungtur atau jarum kering, untuk tatalaksana spastisitas post-stroke
telah dipikirkan. Metaanalisis terbaru menunjukkan bahwa akupungtur seara
signifikan menurunkan psastisitas pergelangan tangan, lutut, dan bahu spastik
pada pasien yang mdnerita stroke.
Sebaliknya, bukti dilakukannya dry-needling pada kondisi neurologis
masih kurang. Penelitian lama menemukan bahwa inklusi dry-needling pada
program rehablitasi awal efektif untuk meningkatkan hasil nyeri pada nyeri bahu
hemiparesis. Satu-satunya percobaan klinis acak pada dry-needling dan spastisitas
menemukan bahwa dry-needling efektif untuk menurunkan spastisitas pada otot
kaki dan hipersensitivitas nyeri tekanan pada individu dengan spastisitas post-
stroke. Namun, bukti pada ekstremitas atas berhubungan dengan laporan kasus
termasuk pasien yang menderita stroke atau anak 4 tahun yang menderita
tetraparese spastik.
Untuk pengetahuan kami, tidak ada penelitian sebelumnya yang
menginvestigasi efek DDN pada pasien dengan spastisitas post-stroke pada
ekstremitas atas. Jadi, tujuan uji klinis acak ini adalah untuk menunjukkane fek
inklusi DDN pada otot bahu spastik pada program rehabilitasi pada spastisitas,
sensitivitas nyeri tekanan, dan ROM bahu pada individu yang menderita stroke.
Kami berhipotesis bahwa individu yang menerima DDN pada program
rehabiltiasi menunjukkan peningkatan besar spastisitas, sensitivitas nyeri tekanan,
dan ROM dibandingkan mereka yang hanya menerima program rehabilitasi.

METODE
Desain
Penelitian acak, double-blinded, crossover, berulang, dan terkontrol dilakukan.
Protokol penelitian disetujui oleh komite penelitian manusia pada Hospital Beata
Maria Ana, Spanyol (URJC-HBMA), dan semua subyek menandatangani
persetujuan sebelum berpartisipasi pada penelitian.

Partisipan
Subyek konsekutif yang menderita stroke diskrining untuk kriteria dari Januari
2014 sampai Maret 2015. Untuk diinklusikan, partisipan harus menemui kriteria:
(1) stroke unilateral pertama, (2) hemiplegia akibat stroke, (3) usia antara 40 dan
65 tahun, (4) adanya hipertonisitas ekstremitas atas, dan (5) ROM bahu terbatas.
Mereka dieksklusikan jika: (1) stroke rekuren; (2) terapi sebelumnya dengan blok
saraf dan/atau injeksi titik motorik dengan agen neurolitik untuk spastisitas; (3)
terapi sebelumnya dengan BTX-A dalam 6 bulan sebelum penelitian; (4) defisit
kognitif berat; (5) penyakit neurologis berat atau progresif, misalnya kondisi
jantung, hipertensi tidak stabil, atau fraktur atau implant pada ekstremitas bawah;
(6) ketakutan dengan jarum; atau (7) kontraindikasi DDN, misalnya,
antikoagulan, infeksi, perdarahan, atau psikotik.

Spastisitas: Modified Modified Ashworth Test


Spastisitas otot dievaluasi menggunakan Modified Modified Ashworth Scale
(MMAS) pada muskulus berikut: trapezius atas, subscapular, infraspinatus, dan
pektoralis mayor. Pemeriksa secara pasif menggerakan ekstremitas atas pada arah
peregangan tiap otot (misalnya depresi bahu, rotasi eksternal bahu, rotas I internal
bahu, dan abduksi bahu pada 90 derajat dengan rotasi eksternal, secara berturut-
turut) berulang paling tidak 5 menit dan dievaluasi derajat resistensi pada
pergerakan dari skala 0 sampai 4. MMAS merupakan modifikasi darn skala
Ashworth termodifikasi, dimana skala yang paling sering digunakan untuk
menilai spastisitas, dimana kelompok “1+” dikeluarkan dan kelompok “2”
dijelaskan kembali.
Pada MMAS, spastisitas dinilai menggunakan skala ordinal dari 0 sampai
4: 0, tidak ada peningkatan tonus otot; 1, peningkatan ringan tonus otot (resisten
minimal pada akhir ROM); 2, peningkatan terlihat pada tonus otot (resistensi
seluruh ROM, namun pada beberapa bagian masih dapat digerakkan); 3,
peningkatan sedang tonus otot (gerakan pasif sulit pada seluruh ROM); atau 4,
beberapa bagian yang terkena rigid. MMAS menunjukkan reliabilitas
intraexaminer yang baik (kappa = 0.84) dan interexaminer (kappa = 0.74) untuk
menilai spastisitas pada muskulatur ekstermitas atas pada pasien dengan stroke.

ROM Bahu
Goniometer universal digunakan untuk menilai ROM bahu partisipan. Karena
pasien dengan stroke dapat menunjukkan kesulitan untuk mempertahankan
ekstremitas atas sendiri, klinisi membantu semua gerakan. Semua penilaian
dilakukan mengikuti petunjuk internasional. Goniometer universal telah
menunjukkan reliabilitas intrarater (koefisien korelasi intraklas, 0.91—0.99) jika
tanda anatomi konsisten digunakan. Pada umumnya, diterima bahwa perubahan
6—11 derajat dibutuhkan untuk mempertimbangkan bahwa perubahan telah
terjadi pada perhitungan goniometric bahu.
ROM bahu dinilai pada fleksi, abduksi, dan rotasi eksternal. Tiga peniaian
tiap gerakan direkam, dan rerata dikalkulasi untuk analisis data.

Ambang Nyeri Tekanan


PPT (pressure pain threshold = ambang nyeri tekanan) didefinisikan sebagai
jumlah tekanan yang diaplikasikan untuk sensasi tekanan yang berubah menjadi
sensasi nyeri, dinilai dengan algometer tekanan emkanis (Pain Diagnosis and
Treatment Inc, New York) unilateral pada muskulus infraspinatus dan deltoid
yang terkena, bilateral pada sendi C5/C6 zigoapofiseal. Partisipan diinstruksikan
untuk menekan tombol jika sensasi pertama berhubah dari tekanan menjadi nyeri.
Rerata ketiga percobaan dinilai, dikonversi menjadi kilopascal (unit SI), dan
digunakan untuk analisis. Periode istirahat 30 detik diperbolehkan antara tiap
percobaan. Algometer menunjukkan reliabilitas intraexaminer dan interexaminer
yang tinggi (koefisien korelasi intraklas, 0.80-0.97) untuk penilaian PPT pada
pasien dengan nyeri. Tidak ada data tersedia yang terdapat untuk pasien dengan
spastisitas.

Intervensi Rehabilitasi
Partisipan menerima kedua intervensi 3 sesi, satu per minggu, program
rehabilitasi bukti terbaik untuk spastisitas pada pasien dengan stroke. Ulasan
Cochrane menyimpulkan tidak ada pendekatan rehabilitasi yang lebih efektif
untuk mempromosikan kesembuhan fungsi dan mobilitas setelah stroke. Beberapa
intervensi, misalnya, training lengan unilateral, terapi Bobath, training kekuatan,
training repetitif, peregangan otot, dan posisi, dapat efektif untuk meningkatkan
fungsi pada pasien tersebut. Kemudian, semua partisipan menerima training
lengan unilateral berfokus pada menurunkan tonus otot (Gambar 1), posisi pasif
bahu (Gambar 2), dan olahraga training repetitif (Gambar 3). Sesi memiliki durasi
kira-kira 45 menit.

Deep Dry Needling


Pasien diberikan intervensi eksperimental menerima DDN dengan jarum besi
tahan karat sekali pakai (0,3 mm x 50 mm, Novasan) yang dimasukkan ke kulit
pada otot trapezius atas (Gambar 4A), infraspinatus (Gambar 4B), subskapularis
(Gambar 4C), dan pektoralis mayor (Gambar 4D). Pada penelitian terbaru, teknik
masuk cepat dan keluar cepat yang dijelaskan oleh Hong dilakukan. Ketika titik
paling nyeri terlokasi dalam karet spastik dengan palpasi cubit dalam trapezius
atas pektoralis mayor, atau dengan palpasi pada otot infraspinatus atau
subskapularis, kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dimasukkan, penetrasi
kulit sampai 15—20 mm, sampai respon bergerak lokal pertama (LTR)
didapatkan. Ketika LTR pertama didapatkan, jarum kemudian digerakkan ke atas
dan ke bawah (5 sampai 10 mm gerakan vertikal dengan tidak berrotasi) pada otot
kira-kira 1 Hz untuk 25—30 detik. Disarankan bahwa LTR harus didapatkan pada
DDN untuk teknik yang baik; jadi, pada penelitian ini, kami mengaplikasi DDN
untuk 45—60 detik tiap otot.

Protokol Penelitian
Tiap subyek menerima kedua program intervensi yang dipisah paling tidak 15 hari
sebagai periode pencucian. Tiap intervensi diaplikasikan sekali tiap minggu pada
3 minggu. Perkiraan panjang tiap sesi adalah 45 menit. Tiap program intervensi,
partisipan menerima 1 kondisi terapi (eksperimental atau komparatif), dengan
acak. Penilai blinded terhadap intervensi mengalokasi hasil 1 minggu sebelum dan
1 minggu setelah tiap program intervensi.
Partisipan diacak menerima rehabilitasi sendiri (komparatif) atau
rehabilitasi dikombinasikan dengan DDN (eksperimental). Alokasi dilakukan
menggunakan randomisasi dilakukan oleh komputer membuat tabel sebelum
dimulai pengambilan data dengan peneliti eksternal yang tidak berhubungan
dengen penelitian. Individu dan kartu indeks berangka dengan acak dibuat. Kartu
indeks dilipat dan diletakkan pada amplop opak. Terapis kedua, blinded untuk
temuan hasil, membuka amplop dan melakukan terapi tergantung dari kelompok
untuk program intervensi pertama.

Analisis Statistik
Data dianalisis dengan SPSS versi 18.9. Rerata, deviasi standar atau 95% CI
dihitung untuk tiap variabel. Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan distribusi
normal data. T-test Independent Student untuk data kontinyu dan X2 untuk
independen untuk data kategorikal digunakan untuk menilai perbedaan pada hasil
sebelum tiap intervensi: eksperimental atau komparatif. Uji X2 campuran (uji
McNemar-Bowker) diaplikasikan untuk menganalisis perubahan pada MMAS
antara kedua kondisi sebelumd an setelah intervensi. Sebuah analisis 2 x 2
campuran berulang dari kovarian (ANCOVA) dengan waktu (sebelum, setelah)
sebagai faktor dalam subyek, intervensi (eksperimental, komparatif) sebagai
faktor antara subyek, dan nilai ambang bawah dan jenis kelamin sebagai kovariat
digunakan untuk menentukan efek intervensi pada PPT pada otot deltoid dan
infraspinatus, dan ROM. ANCOVA dilakukan untuk tiap variabel dependen. 2 x 2
x 2 ANCOVA campuran dengan waktu dan sisi (homolateral atau kontralateral)
sebagai faktor dalam subyek, intervensi sebagai faktor antar subyek, dan nilai
ambang bawah dan jenis kelamin sebagai kovariat digunakan untuk menilai efek
PPT pada sendi zigoapofiseal C5-C6. Hipotesis adalah kelompok * waktu
interaksi. P value < 0.5 dikatakan signifikan secara statistik.

HASIL
Dua-puluh-lima pasien konsekutif yang menderita stroke diskrining untuk kriteria.
Dua-puluh (rerata + usia deviasi standar, 58 + 2 tahun; 45% wanita) memenuhi
kriteria, bersedia untuk berpartisipasi, dan diinklusikan pada penelitian. Alasan
tidak memenuhi kriteria ditemukan pada Gambar 5 yang memberikan diagram
alur rekrutmen pasien. Sebelas pasien (55%) memiliki sisi kiri yang terkena,
dimana sisanya 9 (45%) sisi kanan. Waktu rerata kejadian stroke adalah 6.0 + 0.7
bulan. Gambaran ambang bawah antara intervensi kedua hampir sama untuk
semua variabel (Tabel 1).

Perubahan pada Spastisitas


Uji McNemar-Bowker nonparametrik tidak menunjukkan perbedaan signifikan
pada MMAS setelah kedua kondisi untuk muskulus trapezius atas (X2=0.923,
P=0.630), pektoralis mayor (X2=4,342, P=0.362), dan subskapularis (X2=2,269,
P=0.686): penurunan spastisitas pada otot tersebut hampir sama setelah kedua
kondisi terapi. Sebagai tambahan, uji McNemar-Bowker juga mengobservasi
bahwa jumlah lebih besar pasien menerima kondisi eksperimental menunjukkan
derajat leih rendah spastisitas setelah intervensi untuk otot infraspinatus
(X2=11.071, P=0.1). Tabel 2 menunjukkan perubahan spastisitas, seperti
dijelaskan pada MMAS, setelah kondisi terapi pada semua otot.

Perubahan Sensitivitas Nyeri Tekanan


ANCOVA memperlihatkan kelompok signifikan * waktu interaksi untuk PPT
pada semua titik: otot deltoid (F = 13,884, P<0.001), muskulus infraspinatus (F =
6,309, P =0.017), dan sendi zygoapofiseal C5-C6 (F = 19,192, P<0.001).
Kemudian, tidak ada kelompok signifikan * waktu * interaksi sisi untuk sendi
zygoapofiseal C5-C6 yang diobservasi (F = 1,247, P = 0.268): PPT meningkat
secara signifikan setelah kondisi eksperimental termasuk DDN dibandingkan
dengan kondisi komparatif. Inklusi skor ambang bawah dan jenis kelamin sebagai
kovariat tidak memengaruhi PPT (semua, P > 0.245). Tabel 3 merangkum nilai
preintervensi dan post-intervensi juga perubahan pada kelompok dan antar-
kelompok dengan hubungan 95% CI untuk data PPT.

Perubahan ROM Bahu


2 x 2 ANCOVA memperlihatkan kelompok signifikan * waktu interaksi untuk
ROM abduksi bahu (F = 11,057, P = 0.001), dan rotasi eksternal (F = 3,365, P =
0.45) tidak untuk fleksi bahu (F = 0.600, P = 0.444): abduksi bahu dan rotasi
eksternal menungkat signifikan lebih setelah kondisi eksperiment termasuk DDN
sebagai dibandingkan dengan kondisi komparatif, namun fleksi bahu
menunjukkan perubahan sama setelah kondisi intervensi keduanya (efek waktu: F
= 7,671, P = 0.009). Lagi, inklusi nilai ambang bawah dan jenis kelamin sebagai
kovariat tidak memengaruhi ROM bahu (semua, P>0.146). Tabel 4 menjelaskan
pnilai preintervensi dan postintervensi juga perbedaan dalam kelompok dan antar
kelompok dengan 95% CI untuk ROM bahu.

Diskusi
Percobaan crossover acak terbaru menemukan bahwa inklusi DDN pada program
rehabilitasi multimodal efektif untuk menurunkan sensitivitas nyeri tekanan lokal
dan meningkatkan ROM bahu pada subyek yang menderita stroke; namun, kami
tidak mengobservasi perubahan signifikan pada spastisitas otot.
Pada penelitian terbaru, kami mengobservasi individu yang menderita
stroke menunjukkan penurunan signifikan spastisitas pada kedua kondisi; namun,
inklusi DDN tidak menginduksi penurunan lebih lanjut pada spastisitas pada
muskulatur bahu. Hasil tersebut tidak sama dengan yang sebelumnya diobservasi
dengan akupungtur pada ekstremitas atas atau dengan DDN pada ekstremitas
bawah. Diskrepansi pada penelitian dapat berhubugnan dengan area yang
menerima intervensi, misalnya akupungtur efektif untuk menurunkan spastisitas
pada pergelangan tangan, siku, dan lutut, namun tidak ada data pada bahu yang
dilaporkan, dan Salom-Moreno dkk. menemukan perubahan pada spastisitas
setelah sesi tunggal DDN pada otot tungkai spastik. Perbedaan utama penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya adalah kami memasukkan DDN
dikombinasikan dengan program rehabilitasi multimodal dan tidak menjadi
intervensi tersendiri. Fakta bahwa kami tidak menemukan perbedaan signifikan
antara intervensi tidak berarti bahwa DDN tidak efektif untuk menurunkan
spastisitas pada otot bahu karena kedua intervensi menginduksi penurunan sejenis
pada tonus otot.
Mekanisme termasuk perubahan spastisitas setelah aplikasi DDN masih
belum diketahui, namun beberapa hipotesis telah didiskusikan pada artikel
sebelumnya. Karena spastisitas dapat menyebabkan perubahan structural dan
kontraktur pada jaringan otot dan peningkatan kekakuan pada otot spastik, masih
mungkin bahwa DDN membantu untuk menginduksi peregangan lokal dari
struktur sitoskeletal kontraktur dan reduksi overlap antara filament aktin dan
myosin otot. Hipotesis ini mendukung fakta bahwa DDN menurunkan kekakuan
otot dan kemudian menurunkan resistensi otot untuk pergerakan pasif. Hipotesis
lain adalah DDN dapat memodulasi aktivitas motoneuron dan memodifikasi
transmisi sinaps dari aferen otot ke motorneuron spinalis dengan mekanisme
refleks berbeda, dan menurunkan eksitabilitas refleks spinalis yang berhubungand
egnan spastisitas otot. Pada penelitian terbaru, inklusi DDN pada program
rehabilitasi tidak secara signifikan menurunkan spastisitas otot, walaupun hasil
lainnya meningkat.
Kami menemukan bahwa inklusi DDN pada program rehabilitasi
menurunkan sensitivitas nyeri tekanan pada subyek yang menderista stroke karena
peningkatan signifikan pada PPT diobservasi; namun, perubahan ini kecil pada
sendi C5-C6. Penurunan signifikan pada sensitivitas tekanan mendukung efek
antinosiseptif segmental DDN. Kemudian, hasil kami mengonfirmasi hipotesis ini
karena peningkatan PPT diobservasi pada muskulatur bahu yang menerima DDN.
Mekanisme fisiologis untuk efek hipoalgesik DDN masih tidak diketahui, dan
proses segmental dan sentral telah dipikirkan. Salom-Moreno dkk. menemukan
perubahan luas sensitivitas nyeri tekanan setelah pemberian tunggal DDN pada
pasien yang menderita stroke, menyarankan efek sentral. Kami tidak bisa
menentukan efek hipoalgesik inklusi DDN pada program rehabiltiasi karena kami
tidak menilai tekanan luas sensitivitas nyeri. Memungkinkan bahwa inklusi DDN
pada manajemen individu yang menderita stroke dapat memodulasi mekanisme
sensitisasi sentral yang diobservasi pada pasien tersebut dan emncegah
pembentukan nyeri post-stroke.
Akhirnya, inklusi DDN pada rehabilitasi menginduksi peningkatan
signifikan pada abduksi bahu dan rotask eksternal pada individu yang menderita
stroke. Peningkatan ini pada ROM bahu aktif dapat berhubungan dengan
penurunan tekanan otot dengan DDN, namun masih harus diteliti lebih lanjut.
Pada mekanisme, peningkatan ROM bahu dapat membantu pasien pada akivitas
sehari-hari. Peningkatan fungsi lengan diikuti dengan penurunan spastisitas atau
tonus otot dapat didapatkan melalui kesimpulan metaanalisis bahwa penurunan
spastisitas dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional lengan spastik pada
pasien yang menderita stroke.

Batasan
Walaupun hasil percobaan crossover acak menjanjikan, batasan potensial harus
dikenali. Pertama, kami mendapatkan hasil jangka panjang. Kami tidak tahu jika
perubahan yang diobservasi berlangsung untuk durasi lebih lama. Hal ini penting
pada individu yang menderita stroke karena pasien tersebut memiliki kondisi
kronis. Fakta bahwa perubahan signifikan yang telah diobservasi mendukung
penelitian lebih lanjut pada area ini. Kedua, penggunaan MMAS untuk menilai
spastisitas otot masih diperdebatkan karena dikatakan hasil subyektif dan terdapat
masalah mengenai validitas dan reliabilitas. MMAS merupakan hasil yang paling
sering digunakan pada praktis klinis dan penelitian pada kondisi neurologis.
Ketiga, kamit idak memasukkan skala untuk menilai performa motorik, misalnya
Fugl-Meyer Assessment, untuk menentukan perubahan fungsional setelah
pemberian DDN. Keempat, klniisi yang sama mengaplikasi DDN pada semua
pasien pada penelitian kami, yang menurunkan generalisabilitas seluruhnya.
Kelima, kami mengaplikasikan DDN untuk 3 sesi. Percobaan yang akan datang
harus menmasukkan sesi terapi yang lebih banyak dengan jumlah klinisi yang
lebih besar dan periode follow up yang lebih lama. Akhirnya, ukuran sampel
dapat terlihat kecil, dan ukuran sampel lebih besar sekarang dibutuhkan untuk
mengonfirmasi hasil kami; namun, fakta bahwa hasil signifikan yang diobservasi
menyarankan sampel lebih besar tidak akan mengubah arah hasil.

Kesimpulan
Hasil penelitian ini menyarankan bahwa inklusi DDN pada program rehabilitasi
dari subyek yang menderita stroke efektif untuk menurunkan sensitivitas nyeri
tekanan lokal dan meningkatkan ROM bahu pada subyek. Namun, inklusi DDN
tidak dapat menginduksi perbedaan signifikan pada spastisitas otot. Penelitian
lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar dan follow-up lebih lama
harus dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai