Anda di halaman 1dari 229

HUKUM

PENGANGKUTAN LAUT

Dr. Elfrida R. Gultom, S.H., M.Hum., M.Kn.


Hukum Pengangkutan Laut

Dr. Elfrida R. Gultom, S.H., M.Hum., M.Kn

Edisi Asli
Hak Cipta © 2020 : Penulis
Diterbitkan : Penerbit Mitra Wacana Media
Telp. : (021) 824-31931
Faks. : (021) 824-31931
Website : http//www.mitrawacanamedia.com
E-mail : mitrawacanamedia@gmail.com
Office : Vila Nusa Indah 3 Blok KE.2 No.14
Bojongkulur-Gunung Putri. Bogor

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, mer-
ekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Dr. Elfrida R. Gultom, S.H., M.Hum., M.Kn

Hukum Pengangkutan Laut/Elfrida R. Gultom

Edisi Pertama
—Jakarta: Mitra Wacana Media, 2020
1 jil., 17 × 24 cm, 228 hal.
Anggota IKAPI No: 410/DKI/2010

ISBN: 978-602-318-450-7

1. Hukum 2. Hukum Pengangkutan Laut


I. Judul II. Elfrida R. Gultom
KATA PENGANTAR

P uji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkatnya sehingga buku
Hukum Pengangkutan Laut ini dapat diselesaikan dengan baik. Rasa terima kasih juga
penulis haturkan bagi orang-orang tercinta yang memberikan dukungan, juga semua pihak
sehingga dapat menerbitkan buku ini. Sebagai dosen dan peneliti baik dalam dan luar
negeri yang mendorong penulis berusaha menerbitkan buku hukum pengangkutan laun
ini. Buku Hukum Pengangkutan Laut ini merupakan hasil dari penelitian, artikel, jurnal
yang telah dilakukan penulis, sehingga dengan penerbitan buku ini akan memberi manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum pengangkutan
laut.
Perkembangan hukum yang begitu cepat dan dinamis mendorong penulis untuk
melakukan penelitian dan penulisan buku secara berkesinambungan, materi yang dibahas
dalam buku ini juga disajikan pembahasan yang up-date bagi mahasiswa dan pembaca
lainnya peminat masalah hukum pengangkutan laut. Dengan hadirnya buku ini diharapkan
akan memberikan sumbangan signifikan dalam kualitas pembelajaran bagi mahasiswa
fakultas hukum. Selain itu hadirnya buku ini, diharapkan mahasiswa akan lebih mudah
dalam mengikuti perkuliahan hukum pengangkutan dengan lebih mudah.
Semoga buku ini dapat memberi manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca.
Kritik dari pembaca buku ini sangat kami nantikan untuk kesempurnaan buku ini di masa
datang.

Jakarta, Maret 2020

Penulis

iii
iv Hukum Pengangkutan Laut
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Dasar Hukum Pengangkutan Laut 5

BAB 2 TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT 9


A. Pengertian Pengangkutan 9
B. Pengertian Pengangkut 11
C. Pengangkutan Laut 12
D. Pengertian Penumpang 15
E. Subjek Hukum Pengangkutan Laut 16
F. Objek Hukum Pengangkutan 17
G. Perjanjian Pengangkutan 20

BAB 3 TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT 27


A Prinsip Tanggung Jawab 29
B. Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan 30
C. Asas-Asas Hukum Pengangkutan 33
D. Pengangkutan dan Perjanjian Pengangkutan Niaga 35
E. Subjek dan Objek Hukum Pengangkutan 39
F. Dokumen Angkutan 43
G. Pengangkutan Laut 46
H. Berakhirnya pengangkutan laut 51
I. Hambatan dalam Pengangkutan 52
J. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 54

BAB 4 HAL-HAL DALAM PENGANGKUTAN LAUT 57


A. Pencarteran Kapal 57
B. Hukum Kerugian Laut 57
C. Bongkar Muat 58
D. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Bongkar Muat dengan
Pihak-Pihak Lain yang Terkait 67

BAB 5 PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT 71


A. Dokumen-dokumen Pengangkutan 71
B. Pihak-pihak dalam Pengangkutan Laut 74
C. Jenis-jenis Pengangkutan Barang Melalui Laut 79
D. Tanggung Jawab Pengangkut 83

v
vi Hukum Pengangkutan Laut

BAB 6 FUNGSI PELABUHAN SEBAGAI TERMINAL EKONOMI 93


A. Pelabuhan Laut dan Aspeknya 93
B. Peran dan Fungsi Pelabuhan 101
C. Pelabuhan Sebagai Terminal Point Kegiatan Ekonomi 113

BAB 7 Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 125
A. Pelabuhan Sebagai Terminal Ekspor dan Impor Barang
(PP NO. 61 Tahun 2009 jo pasal 10 KM NO. 53 Tahun 2002
Tentang Tatanan Kepelabuhanan Nasional) 125
B. Pengusahaan EMKL dan Per-veem-an 127
C. Pengusahaan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelayanan Kapal 128
D. Pengaturan Kepelabuhanan Penunjang Kelancaran Kegiatan
Ekonomi di Pelabuhan 131

BAB 8 ASURANSI WAJIB PENGANGKUTAN LAUT 139


A. Sejarah Asuransi Sosial 139
B. Dasar Hukum Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) 141
C. Definisi Asuransi Wajib atau Pertanggungan Wajib 142
D. Pihak-Pihak Dalam Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) 144
E. Iuran 146
F. Sifat Pembayaran Premi/Iuran 147
G. Dokumen Bukti Pertanggungan 148
H. Unsur Kepentingan 149
I. Evenement Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) 150
J. Ganti Kerugian Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) 151
K. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penggantian Kerugian 152
L. Proses Penggantian Kerugian 154
M. Perbandingan Asuransi Komersial dan Asuransi Sosial 158
N. Persamaan dan Perbedaan Asuransi Komersial Dengan Asuransi Sosial 159

Bab 9 URAIAN KASUS-KASUS TENTANG PENGANGKUTAN DI LAUT 161


A. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Awak Kapal 161
B. Tanggung Jawab Perusahaan Bongkar Muat Atas Kekurangan
Jumlah Barang Dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut
(Studi Kasus: PT. Daisy Mutiara Samudra) 173
C. Uraian Kasus Mengenai Kecelakaan Kapal KM Senopati Nusantara 190
D. Tanggung Jawab PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
terhadap penumpang KM Senopati Nusantara dalam hal pengangkut
tidak menyetor Iuran Wajib kepada PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero). 204
DAFTAR PUSTAKA 213
INDEKS 217
TENTANG PENULIS 221
Bab 1: Pendahuluan 1

Bab PENDAHULUAN

1
A. Latar Belakang
Keadaan geografis Indonesia terdiri dari daratan yang membentuk beribu-ribu pulau,
baik besar maupun kecil yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Keadaan
geografis tersebut didukung dengan adanya perluasan pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah, yang salah satunya mecakup bidang perhubungan, maka di Indonesia
dimungkinkan melakukan pengangkutan melaui darat, laut dan udara, sehingga dengan
adanya pengangkutan, akan tercipta suatu sarana dan prasarana yang efektif dan efisien
dalam berhubungan dan berkomunikasi. Sesuai dengan wilayah di Indonesia yang terdiri
darat, laut dan udara, maka pengangkutan dapat dilakukan dengan menggunakan mobil,
bus, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang.
Untuk melaksanakan aktivitas dan kegiatan sehari-hari, kebutuhan akan sarana dan
prasarana pengangkutan merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat.
Dengan adanya sarana dan prasarana pengangkutan yang baik dan memadai maka dapat
mempercepat dan memperlancar arus lalu lintas pengangkutan.
Pengangkutan dapat mendukung pembangunan di berbagai sektor pemerintahan
baik di bidang politik, ekonomi, siosial, budaya maupun hukum. Dengan adanya sarana
dan prasarana pengangkutan yang baik dan memadai juga akan menunjang terciptanya
hubungan informasi secara timbal balik antara desa dan kota, pengangkutan ini juga
memiliki peranan yng bersifat mutlak dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat.
Pengangkutan itu sendiri mempunyai fungsi “Memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.
“Sesuai dengan keadaan geografis di Indonesia di mana wilayah Indonesia ini sebagaimana
diketahui sebagian besar terdiri dari wilayah laut atau perairan, maka pengangkutan melalui
darat dengan menggunakan kapal laut merupakan salah satu pilihan angkutan yang biasa
digunakan oleh masyarakat dalam pengangkutan antar pulau. Dilihat dari ongkosnya yang
cukup terjangkau dan kapasitas daya angkut yang cukup besar, maka kapal laut merupakan
salah satu alat angkut antar pulau yang cukup diandalkan oleh masyarakat luas.
Negara Indonesia yang merupakan Negara kepulauan (archipelago state) menduduki
posisi silang antara dua samudra, yaitu Samudra Indonesia dan Samudra Hindia serta dua
benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Disinilah kemampuan penggunaan dan

1
2 Hukum Pengangkutan Laut

penguasaan atas lautan akan dapat merupakan faktor yang dominan bagi peningkatan
kehidupan bangsa dan Negara Indonesia. Berdasarkan keadaan Negara Indonesia yang
merupakan Negara kepulauan, maka dalam rangka menciptakan komunikasi antar pulau
dan hubungan antar daerah yang luas Indonesia membutuhkan sarana transportasi, baik
darat, laut, maupun udara. Sarana untuk menghubungkan kota yang satu dengan kota yang
lain dan juga antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, pengangkutan merupakan
sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim,
di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelengarakan pengangkutan barang dan/
atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Sebagai Negara kepulauan yang terdiri
dari daratan, lautan, dan udara, pengangkutan di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis
angkutan, yaitu angkutan darat, angkutan laut, dan angkutan udara. Dalam pengangkutan
dikenal ada dua macam pengangkutan, yaitu pengangkutan orang-orang atau penumpang
dan pengangkutan barang-barang.
Tujuan dari pengangkutan adalah tujuan pihak-pihak dalam pengangkutan yang
diakui sah oleh hukum. Tujuan pihak-pihak yang diakui sah oleh hukum pengangkutan
adalah ”tiba di tempat akhir pengangkutan dengan selamat” dan ”lunas pembayaran
biaya pengangkutan”. Tiba di tempat akhir pengangkutan artinya sampai di tempat yang
ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan. Dengan selamat artinya barang yang diangkut
tidak mengalami kerusakan, kahilangan, kekurangan, kemusnahan, tetap seperti semula.
Hubungan antara Negara Indonesia dengan Negara lain, khususnya di bidang
perniagaan, membuat Negara Indonesia untuk berperan sacara aktif dan positif dalam
mewujudkan komunikasi yang aman, lancar, murah, dan intensif. Peranan pengangkutan
dalam dunia perniagaan bersifat mutlak, tanpa pengangkutan perusahaan tidak mungkin
berjalan lancar. Para pedagang mempergunakan jasa pengangkutan sebagai salah satu
cara untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Berdasarkan penjelasan tersebut, fungsi
pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang
lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai, yang berarti bila daya guna
dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang
demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang
pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan angkutan laut yang
dapat menjangkau seluruh tempat di wawasan nusantara. Pengangkutan melalui laut
dengan mengunakan kapal laut dapat memuat barang dan/atau orang dalam jumlah
yang besar dengan biaya murah, hal ini tentu sangat menguntungkan bagi pengguna jasa
pengangkutan. Pengertian kapal laut yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-
Bab 1: Pendahuluan 3

undang Hukum Dagang (KUHD) adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di
laut atau yang diperuntukan untuk itu. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri
atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim.
Hal-hal yang akan dibahas di dalam penulisan buku ini antara lain mengenai:
1. Pengangkutan barang dan orang melalui laut
Analisis tentang pengangkutan melalui laut adalah hal penting dan merupakan bidang
kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital
karena didasari oleh beberapa faktor disamping faktor keadaan geografis Indonesia,
seperti yang disebutkan sebelumnya. Faktor pertama adalah pengangkutan sebagai
penunjang pembangunan berbagai sektor. Kemajuan dan kelancaran pengangkutan
akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan
pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan
berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan,
pariwisata, dan pendidikan. Faktor kedua adalah pengangkutan mendekatkan jarak
antara desa dan kota. Lancarnya pengangkutan berarti mendekatkan jarak antara
desa dan kota dan ini akan memberi dampak bahwa untuk bekerja di kota tidak
harus pindah ke kota, karena informasi timbal balik yang cukup cepat antara desa
dan kota. Faktor ketiga adalah pengangkutan sebagai penunjang perkembangan ilmu
dan teknologi. Perkembangan dibidang pengangkutan mendorong perkembangan
pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pengangkutan modern, sarana dan
prasarana angkutan modern, dan hukum pengangkutan modern.
Pengangkutan berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya
peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Menyadari
peran taransportasi, maka pelayaran sebagai salah satu moda transportasi,
penyelenggaraannya harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional
secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan dengan
selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang
wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
2. Tentang Kapal
Setiap kapal yang menyelenggarakan pengangkutan, baik yang diangkut itu barang
atau orang pasti memerlukan pelabuhan. Di sinilah letak pentingnya fungsi
pelabuhan dalam sistem angkutan laut. Pelabuhan merupakan pintu gerbang
perdagangan luar negeri atau internasional (ekspor-impor). Seperti diketahui
pelabuhan itu berfungsi sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal, baik kapal-kapal
dalam negeri maupun kapal-kapal luar negeri. Selain itu, juga berfungsi sebagai
4 Hukum Pengangkutan Laut

tempat untuk naik turunnya penumpang dan bongkar muat barang-barang. Untuk
melakukan kegiatan tersebut diperlukan pelabuhan yang sangat berfungsi sebagai
perantara mata rantai segala pengangkutan yang ada.
3. Tentang Fungsi Pelabuhan Laut
Pengertian pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan/atau perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang berupa terminal dan tempat berlabuh
kapal yang dilengkapai dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan
kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar
moda transportasi (Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran,
Pasal 1 angka 4).
Pelabuhan yang dimaksud disini adalah sebatas pelabuhan laut, bukan pelabuhan
sungai, danau, atau pelabuhan penyeberangan, seperti yang diatur dalam Pasal 6
ayat (1) PP nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhan dan ditegaskan dalam Pasal
6 ayat (3) yaitu pelabuhan utama primer. Telah diuraikan di atas bahwa pelabuhan
sebagai mata rantai transportasi atau sebagai titik temu moda transportasi, selain itu
pelabuhan juga sebagai terminal point bagi kapal-kapal dan sebagai tempat bongkar
muat barang-barang Kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan yang meninggalkan
pelabuhan dalam kegiatan ekspor impor barang selalu membutuhkan jasa pengurusan
bongkar muat barang dari dan ke kapal. Pengertian barang adalah semua jenis
komoditi termasuk hewan dan peti kemas yang di bongkar/dimuat dari dan ke kapal.
4. Tentang Pelayaran
Pelayaran bagi negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan
salah satu moda transportasi yang ditata dalam sistem transportasi nasional
yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai
karakteristik mampu melakukan pengangkutan secara masal, menghubungkan, dan
menjangkau seluruh wilayah melalui perairan, perlu lebih dikembangkan potensinya
dan ditingkatkan peranannya baik secara nasional maupun internasional, sebagai
penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan
kesejahteraan rakyat, tetapi dalam perkembangannya beberapa tahun ini, Indonesia
selalu saja dirundung oleh permasalahan dalam dunia transportasi. Kecelakaan
demi kecelakaan transportasi terjadi silih berganti, bukan saja dalam pengangkutan
orang tetapi juga dalam pengangkutan barang.
5. Kecelakaan di Laut
Permasalahan kecelakaan yang terjadi dalam moda transportasi ini dirasakan
kurang sesuai dengan tujuan pengembangan potensi dan peningkatan peran moda
transportasi nasional, yaitu kesejahteraan rakyat, seperti tersebut di atas. Kecelakaan
Bab 1: Pendahuluan 5

dan permasalahan yang terjadi bukan saja mengakibatkan penderitaan bagi rakyat,
tetapi juga mengakibatkan hilangnya kepercayaan dunia internasional terhadap
transportasi di Indonesia. Sebagai contoh adanya pencekalan terhadap maskapai
penerbangan Indonesia ke beberapa negara pada waktu yang lalu. Pencekalan dan
masalah-masalah transportasi lainnya seharusnya dapat dijadikan pembelajaran
bagi pemerintah sebagai pembuat peraturan, agar dapat lebih memperhatikan
penegakan hukum transportasi di Indonesia.
6. Tanggung Jawab Pengangkut
Berdasarkan alasan tersebut di atas, diperlukan pengkajian secara yuridis terhadap
tanggung jawab pengangkut, melalui studi kepustakaan dengan mempelajari
literatur-literatur yang ada, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pengangkutan laut yang mendasarinya, sehingga dibuatlah buku
yang menganalisis tentang pengangkutan laut, yang saat ini dirasakan kurangnya
buku-buku yang menulis tentang hal itu.
Adapun buku ini dilengkapi dengan berbagai kasus yang terjadi dalam penyelenggaraan
pengangkutan laut, di mana kasus-kasus tersebut diambil dari mahasiswa-mahasiswa
bimbingan Skripsi yang mengambil Hukum Pengangkutan Laut. Di samping itu, buku
ini juga dilengkapi dengan peraturan-peraturan pengangkutan laut yang bertujuan untuk
memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami lagi tentang Hukum Pengangkutan Laut.
Pembahasan dalam pengangkutan laut pada umumnya adalah tentang:
a. Bagaimana tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dan pemilik barang
yang diangkutnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku?
b. Bagaimana tanggung jawab pengangkut tentang ketentuan kewajiban
mengasuransikan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang berlaku?
c. Bagaimana santunan yang layak diberikan kepada korban yang mengalami kerugian
baik materiil dan immateriil?
d. Bagaimana prosedur ganti kerugian yang dilakukan?
Adalah berbagai pokok bahasan yang akan dibahas di dalam buku hukum
Pengangkutan laut ini.

B. Dasar Hukum Pengangkutan Laut


Sehubungan dengan pengaturan hukum pengangkutan di Indonesia, kaidah hukum
pengangkutan di bagi manjadi dua bagian, yaitu dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis.
Dalam bentuk tertulis, dapat berupa undang-undang maupun perjanjian, sedangkan dalam
bentuk tidak tertulis dapat berupa kebiasan-kebiasaan dalam praktik penyelenggaraan
pengangkutan di Indonesia dan hukum pengangkutan juga merupakan bagian dari hukum
keperdataan, dasar hukum pengangkutan antara lain:
6 Hukum Pengangkutan Laut

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


Pasal 1320 KUHPer, dinyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPer
Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pasal 1365 KUHPer


“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.

Pasal 1865 KUHPer


“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang, mengenai angkutan laut diatur dalam Buku
II Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran, yaitu:
a. Bab Va (tentang pengangkutan barang) dan
b. Bab Vb (tentang pengangkutan orang).
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dengan ketentuan antara
lain:
Ketentuan umum (Bab I pasal 1), asas dan tujuan (Bab II Pasal 2 dan Pasal 3), ruang
lingkup berlakunya undang-undang (Bab III pasal 4), pembinaan (Bab IV Pasal
5 dan Pasal 6), kenavigasian (Bab V Pasal 7 s/d Pasal 20), kepelabuhan (Bab VI
Pasal 21 s/d Pasal 34), perkapalan (Bab VII Pasal 35 s/d Pasal 64), pencegahan dan
penanggulangan pencemaran oleh kapal (Bab VIII Pasal 65 s/d Pasal 68), angkutan
(Bab IX Pasal 69 dan Pasal 70), kecelakaan kapal pencarian dan pertolongan (Bab
X pasal 88 s/d pasal 94), sumber daya manusia (Bab XI Pasal 95 s/d Pasal 98),
penyidikan (Bab XII Pasal 99), ketentuan pidana (Bab XIII Pasal 100 s/d Pasal 129),
ketentuan peralihan (Bab XIV Pasal 130) dan ketentuan penutup (Bab XV Pasal 131
dan Pasal 132).
Bab 1: Pendahuluan 7

4. Peraturan Pelaksana Nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan di Perairan, dengan


ketentuan antara lain:
Ketentuan umum (Bab 1 Pasal 1), penyelenggaraan angkutan di perairan (Bab
II Pasal 2 s/d Pasal 18), pengusahaan angkutan di perairan (Bab III Pasal 19 s/d
Pasal 42), usaha penunjang angkutan laut (Bab IV Pasal 43 s/d Pasal 61), jaringan
dan trayek angkutan di perairan (Bab V Pasal 62 s/d Pasal 77), tarif angkutan di
perairan (Bab VI Pasal 78 s/d Pasal 85), pelayaran pengangkutan untuk penyandang
cacat dan orang sakit (Bab VII Pasal 86), pengangkutan barang khusus dan barang
berbahaya (Bab VIII Pasal 87 s/d Pasal 89), wajib angkut (Bab IX Pasal 90 s/d Pasal
91), tanggung jawab pengangkut (Bab X Pasal 92), sistem informasi angkutan
diperairan (Bab XI Pasal 93), pembinaan armada niaga nasional (Bab XII Pasal 94),
ketentuan peralihan (Bab XIII Pasal 94 s/d Pasal 96), ketentuan penutup (Bab XIV
Pasal 97 dan Pasal 98).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan.
8 Hukum Pengangkutan Laut
Bab TINJAUAN UMUM
TENTANG PENGANGKUTAN LAUT
2

A. Pengertian Pengangkutan
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan, sehingga diperlukan suatu sarana
perhubungan yang dapat menjangkau hubungan antar daerah, dan antar pulau yang satu
dengan yang lainnya. Bahkan hubungan-hubungan tersebut dewasa ini sudah semakin
berkembang, yang tidak hanya dilakukan antar daerah atau antar pulau di Indonesia saja
tetapi juga sudah dilakukan pengangkutan dari Indonesia ke negara lainnya.
Sarana perhubungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan jasa
perhubungan melalui pengangkutan udara, pengangkutan laut dan untuk daerah tertentu
saat dilakukan melalui angkutan darat.
Fungsi pengangkutan sendiri adalah memindahkan barang atau orang dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. R.
Soekardono mengatakan bahwa: “Pengangkutan pada umumnya berisikan perpindahan
tempat, baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang karena perpindahan
itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi”.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada dasarnya
dalam pengertian pengangkutan terkandung unsur perpindahan tempat dengan
menggunakan alat pengangkut dengan tujuan untuk mencapai dan meninggikan manfaat
serta efisiensi, sedang yang menjadi objek yang diangkut adalah dapat berupa barang
maupun orang.
Pengangkutan menurut Purwosutjipto adalah Perjanjian timbal balik antara
pengangkut dengan pengirim, di mana si pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar
uang angkutan.
Menurut Pasal 466 KUHD yang dimaksud dengan Pengangkutan adalah seseorang
(atau suatu badan) yang berdasarkan suatu perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian
charter waktu maupun perjanjian charter perjalanan ataupun perjanjian lainnya,
mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang melalui laut
baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagiannya.

9
10 Hukum Pengangkutan Laut

Pasal ini menjelaskan bahwa pengangkutan barang dapat menggunakan kapal


dengan cara menyewa apabila pengangkut tidak memiliki kapal, dapat dicarter menurut
waktu atau menurut perjalanan. Selain pengangkutan barang yang mencarter kapal untuk
mengangkut barang-barang, pemlik kapal juga dapat menjadi pengangkut yang sebenarnya
artinya dia sebagai pemilik dan pengangkut barang. Pasal 518 KUHD menegaskan bahwa
pencarter dapat menjadi pengangkut pula terhadap pihak lain, baik dalam bentuk carter
waktu, maupun carter perjalanan, dengan tetap memiliki tanggung jawab terhadap
perjanjian carter yang diadakannya dengan pemilik atau pengusaha kapal, dan dalam pasal
518 a KUHD dikatakan bahwa pencarter kapal berhak menggunakan ruangan kapal yang
disediakan untuk mengangkut barangnya.
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim.
Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak,
baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajibannnya sendiri-
sendiri. Suatu perjanjian pengangkutan adalah merupakan suatu perjanjian di mana satu
pihak menyangupi untuk dengan aman membawa orang dan atau barang dari satu tempat
ke tempat lainnya, sedangkan pihak yang lain meyanggupi akan membayar ongkosnya.
Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang
dengan selamat, sedangkan kewajiban dari pengirim adalah membayar sejumlah uang
angkutan. Istilah “menyelenggarakan pengangkutan” berarti, bahwa pengangkutan itu
dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan orang lain atas perintahnya. Istilah
“dengan selamat” mengandung arti bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat”
maka itu menjadi tanggung jawab dari pengangkut.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di
mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/
atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan, sedangkan menurut Abdulkadir
Muhammad, pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat dan bawa,
muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat
dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan pembawaan
barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang
yang diangkut. Dalam definisi pengangkutan tersebut dapat diketahui berbagai aspek
pengangkutan sebagai berikut:
1. Pelaku yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang berupa
badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang berupa manusia
pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan.
2. Alat pengangkutan yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan. Alat ini digerakkan secara mekanik dan memenuhi syarat Undang-
Undang seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, dan derek.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 11

3. Barang atau penumpang yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan yang diangkut
adalah barang perdagangan yang sah menurut Undang-Undang. Dalam pengertian
juga hewan.
4. Perbuatan yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan
sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau
penumpang (tenaga kerja).
6. Tujuan pengangkutan yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan
dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.

B. Pengertian Pengangkut
Pengertian Pengangkut (dalam hal ini bukan pada pengangkutan orang melainkan
pada pengangkutan barang) dapat kita lihat dalam Pasal 466 KUHD yang menyatakan:
”Pengangkut adalah barang siapa yang, baik dengan persetujuan carter menurut waktu
atau carter menurut perjalanan, baik dengan suatu perjanjian yang lainnya, mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya ataupun sebagian
melalui lautan”.
Maksud Time Charter atau carter menurut waktu adalah suatu perjanjian di mana
pemilik kapal mengikatkan diri dalam suatu waktu tertentu, kepada si pencarter untuk
dipergunakan dalam pelayaran di lautan dengan pembayaran suatu harga yang dihitung
menurut lamanya waktu (Pasal 453 ayat (2) KUHD).
Voyage Charter atau carter menurut perjalanan adalah suatu perjanian dengan mana
si pemilik kapal mengikatkan diri untuk menyediakan sebuah kapal tertentu, seluruhnya
atau sebagian kepada si pencarter untuk dipergunakan mengangkut barang atau orang
melalui lautan dalam suatu perjalanan atau lebih, dengan pembayaran suatu harga pasti
untuk pengangkutan ini (Pasal 453 ayat (3) KUHD).
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 466 KUHD ini dapat kita simpulkan bahwa yang
dapat bertindak sebagai pengangkut adalah:
1. Pemilik Kapal
Pemilik kapal dapa tmencarterkan kapalnya kepada pihak ketiga, apabila terjadi
hal yang demikian maka pemilik kapal ini akan dapat bertindak pula sebagai
pengangkut menurut pasal 466 KUHD ini.
2. Pengusaha Kapal
Pengusaha kapal adalah merupakan inti dari pengangkutan ini. Pengusaha kapal
ini apabila kita perhatikan Pasal 320 KUHD tidak harus perlu pemilik kapal
karena apabila telah dipenuhinya dua syarat dalam pasal tersebut maka ia dapat
dikualifikasikan sebagai pengusaha kapal. Syarat-syarat tersebut adalah:
12 Hukum Pengangkutan Laut

a. menggunakan kapal untuk pelayaran di laut.


b. mengemudikan atau suruh mengemudikan kepada seseorang yang
bekerja kepadanya.
Apabila pengusaha kapal itu kemudian mencarterkan kembali kapalnya kepada
pihak ketiga baik dengan carter waktu maupun dengan carter perjalanan atau apabila
pengusaha kapal ini kemudian mengadakan perjanjian pengangkutan dengan kapal
jurusan tetap atau pengusaha kapal menutup perjanjian pengangkutan dengan kapal
pengangkut barang-barang potongan maka pengusaha kapal akan bertindak sebagai
pengangkut.
3. Pencarter
Sebagaimana kita lihat di atas, maka pencarter apabila mencarterkan kembali
kapalnya kepda pihak ketiga, maka dia sebagai pencarter akan juga merangkap
kedudukannya sebagai pengangkut. Hal ini akan berlaku baik untuk carter menurut
waktu atau carter menurut perjalanan.
Selain Pasal 466 KUHD tersebut ada juga beberapa pengertian lainnya dari
pengangkut, yaitu Pasal 1 ayat (a) The Hague Rules 1924 yaitu:
“A Carrier includes the owner or the charter who enters into a contract of carriage
with a shipper”
Pasal 1 The Hamburg Rules 1978:
“carrier means any person by whom or in whose name a contract of carriage of goods
by sea has been entrusted with a shipper”.
“actual carrier means any person to whom the performance of carriage of the goods or
part of the carriage has ben entrusted by the carrier and includes any person to whom
such performance has been entrusted”.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan pengangkut adalah “orang yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan yang lainnya dengan selamat”.

C. Pengangkutan Laut
1. Definisi Pengangkutan
Sebelum membahas mengenai perjanjian pengangkutan perairan (pelayaran)
sebaiknya diketahui terlebih dahulu mengenai definisi pengangkutan pada umumnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyatakan bahwa “pengangkutan
berasal dari kata: angkut dan bawa, muat dan bawa/kirimkan, mengangkut berarti
mengangkut dan membawa, memuat dan membawa/mengirimkan”.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 13

Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyatakan bahwa “pengangkutan adalah proses,


cara, perbuatan mengangkut dan usaha membawa, mengantar atau memindahkan
orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain”.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, pengangkutan adalah pengangkutan dan
pembawaan barang dan/atau orang yang diangkut. Jadi dalam pengertiannya
pengangkutan itu merupakan suatu kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke
tempat lain.
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dinyatakan
bahwa pengangkutan itu mengandung kegiatan memuat barang dan/atau penumpang,
membawa barang dan/atau penumpang ke tempat lain, dan menurunkan barang
dan/atau penumpang. Dengan demikian apabila dirumuskan dalam suatu definisi,
pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang dan/atau penumpang
kedalam alat pengangkutan, membawa barang dan/atau penumpang dari tempat
pemuatan ketempat tujuan dan menurunkan barang dan/atau penumpang dari alat
pengangkutan ketempat yang ditentukan.
Dapat juga dikatakan proses pengangkutan merupakan gerakan dari tempat asal
darimana kegiatan angkutan dimulai ketempat tujuan, kemana kegiatan angkutan
diakhiri.
Dari definisi pengangkutan tersebut dapat diketahui pula berbagai aspek
pengangkutan, antara lain:
a. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini dapat berupa
badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan dan dapat pula yang berupa
manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan dipelabuhan;
b. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan;
c. Barang atau penumpang (orang), yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan
yang diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut undang-undang.
Dalam pengertian barang termasuk juga hewan;
d. Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan
sampai dengan penurunan ditempat tujuan yang ditentukan;
e. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau
penumpang (tenaga kerja);
f. Tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba ditempat tujuan yang ditentukan
dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.
2. Macam-macam pengangkutan laut
Pengangkutan diatur dalam beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia, seperti
dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran yang
mengatur mengenai tujuan dari pengangkutan dan telah diubah dalam Undang-
14 Hukum Pengangkutan Laut

Undang Nomor 17 Tahun 2008 yaitu memperlancar arus perpindahan orang dan/
atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran
nasional dalam rangka menunjang, menggerakkan dan mendorong pencapaian
tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara
serta memperkukuh ketahanan nasional.
Pengangkutan itu sendiri menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang
Pelayaran dan peraturan pelaksana Nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan di
Perairan, dibagi dalam dua bagian, antara lain:
a. Pengangkutan Laut Dalam Negeri
Menurut Pasal 73 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran,
yang dimaksud dengan pengangkutan laut dalam negeri adalah:
“Penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri dilakukan dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia“.
Menurut Pasal 3 Peraturan Pelaksana Nomor 82 tahun 1999 Tentang Angkutan
di Perairan, yang dimaksudkan dengan pengangkutan laut dalam negeri adalah:
“Pelayaran yang dilakukan oleh perusahaan laut nasional dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia, untuk menghubungkan pelabuhan laut antar
pulau dan angkutan laut lepas pantai di wilayah perairan Indonesia“.
Pengangkutan laut dalam negeri bertujuan untuk menghubungkan wilayah
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang memiliki jarak yang berjauhan,
selain itu bertujuan pula untuk menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok
yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh daerah yang bersangkutan.
Jenis-jenis pengangkutan dalam negeri, antara lain:
1) Pelayaran Nusantara, adalah pelayaran yang dilakukan untuk kegiatan
usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia tanpa memandang
jurusan yang ditempuh, sesuai dengan ketentuan yang ada;
2) Pelayaran Lokal, adalah pelayaran yang dilakukan untuk kegiatan
usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia dan ditujukan untuk
menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri
dengan menggunakan kapal-kapal berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah;
3) Pelayaran Rakyat, adalah pelayaran nusantara dengan menggunakan
perahu layar;
4) Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, adalah pelayaran yang dilakukan
untuk melakukan kegiatan usaha pengangkutan di perairan darat;
5) Pelayaran Penundaan Laut, adalah pelayaran nusantara dengan
menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal tunda.
b. Pengangkutan Laut Luar Negeri
Menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 15

yang dimaksud dengan pengangkutan laut luar negeri adalah:


“Penyelenggaraan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh badan
hukum Indonesia dan/atau perusahaan angkutan laut asing“.
Menurut Pasal 4 Peraturan Pelaksana Nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan
di Perairan, yang dimaksud dengan pengangkutan laut luar negeri adalah:
“Penyelenggaraan angkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan
laut nasional dan angkutan laut asing, dengan menggunakan kapal berbendera
Indonesia, yang terbuka untuk perdagangan laut luar negeri ke pelabuhan
luar negeri atau sebaliknya dan tidak melakukan kegiatan angkutan laut antar
pulau“.
Pengangkutan laut luar negeri memiliki tujuan untuk mengadakan kerjasama
di pemerintahan dalam kaitannya untuk meningkatkan bidang perekonomian
khususnya ekspor impor, selain itu dengan keluar masuknya kapal dapat
meningkatkan pendapatan devisa negara khususnya Indonesia.
Jenis-jenis pengangkutan laut luar negeri, antara lain:
1) Pelayaran Samudera dekat, adalah pelayaran ke pelabuhan negara tetangga
dan tidak melebihi jarak 3000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia
dan tanpa memandang jurusan;
2) Pelayaran Samudera, adalah pelayaran keluar dari luar negeri dan bukan
merupakan pelayaran samudera dekat.
Terkait dengan hal yang telah dijabarkan di atas, maka jelaslah bahwa fungsi
pengangkutan pada umumnya adalah memindahkan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan guna dan nilai dan fungsi
pengangkutan tersebut berlaku disemua bidang kehidupan seperti: politik, sosial, ekonomi,
dan kebudayaan.

D. Pengertian Penumpang
Penumpang merupakan salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan. Penumpang
mempunyai 2 (dua) kedudukan yaitu penumpang sebagai subjek dan penumpang sebagai
objek.
Penumpang sebagai subjek dari hukum pengangkutan, karena ia merupakan pihak
dalam perjanjian pengakutan. Penumpang sebagai objek karena ia merupakan muatan
yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus cakap
dalam hukum, sudah dewasa dan mapu membuat perjanjian.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad “Penumpang adalah orang yang mengikatkan
diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut”.
16 Hukum Pengangkutan Laut

Menurut Pasal 1 butir (8) Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelayaran Nasional
Indonesia dengan PT. Jasa Raharja (persero) dan PT. Jasa Raharja serta PT. asuransi
Purna Artanugraha tentang penutupan asuransi kecelakaan penumpang kapal laut, yang
dimaksud dengan “Penumpang ialah setiap penumpang kapal yang terdaftar secara sah
dan mempunyai tiket dari kapal-kapal yang dioperasikan pihak pertama yang membayar
iuran wajib dan premi asuransi tambahan (Extra Cover).”

E. Subjek Hukum Pengangkutan Laut


1. Pengangkut (Carrier)
Istilah “pengangkut“ mempunyai dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara
pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan. Pengangkut dalam arti yang pertama termasuk dalam subjek
pengangkutan, sedangkan pengangkut dalam arti yang kedua termasuk dalam objek
pengangkutan.
Pengangkut adalah “barang siapa yang baik dengan persetujuan carter menurut
waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan sesuatu persetujuan lain,
mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang),
seluruhnya atau sebagian melalui lautan”, tetapi dilihat dari pihak dalam
perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, Pengangkut adalah pihak
penyelenggara pengangkutan.
Pengangkut dapat pula diartikan sebagai pengusaha pengangkutan yang memiliki
dan menjalankan perusahaan pengangkutan yang berbentuk:
a. Perusahaan persekutuan badan hukum, misalnya PT Gesuri Lloyd, PT
Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Garuda Indonesia, PT Presiden Taxi
dan Koperasi Taxi;
b. Perusahaan Umum (perum), misalnya Perum Damri;
c. Perusahaan Jawatan (perjan), misalnya PJKA;
d. Perusahaan persekutuan bukan badan hukum, misalnya CV Duta Antaran;
e. Perusahaan Perseorangan, misalnya Bus malam Putra Remaja mikrolet.
Perusahaan angkutan laut biasanya disebut perusahaan pelayaran niaga. Kemudian
untuk menjalankan usaha pelayaran tersebut menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan
Pelaksana Nomor 27 Tahun 1988 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan
Angkutan Laut wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk PT dan BUMN sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku;
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 17

b. Memiliki dan/atau menguasai kapal laut berbendera Indonesia;


c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2. Pengguna Jasa
Dalam hukum pengangkutan dipakai istilah pengguna jasa, dalam hal ini pengguna
jasa dibagi dua, antara lain:
a. Pengirim (Consigner, Shipper)
Sama halnya dengan pengangkut, pengirim barang adalah pihak dalam
perjanjian pengangkutan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) juga tidak diatur definisi pengirim secara umum. Tetapi dilihat
dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
b. Penumpang (Passanger)
Dalam semua undang-undang pengangkutan dipakai istilah penumpang untuk
pengangkutan orang tetapi rumusan mengenai penumpang secara umum
tidak diatur. Namun bila dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan
orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar
biaya angkutan atas dirinya yang diangkut. Dalam perjanjian pengangkutan,
penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah
pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang
diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus
mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal
1320 KUHpdt).
Berdasarkan rumusan pihak dalam perjanjian di atas, maka kriteria penumpang
menurut undang-undang adalah:
1. Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian;
2. Membayar biaya angkutan;
3. Pemegang dokumen angkutan.
Ketiga kriteria tersebut bersifat kumulatif bukan alternatif. Hal ini terkait dengan
pengangkutan menurut kebiasaan yang dalam praktiknya tidak menggunakan dokumen
angkutan seperti pada angkutan umum, maka setiap orang yang membayar biaya angkutan
adalah penumpang. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang
diangkut tetapi tidak membayar biaya angkutan bukan penumpang dalam arti undang-
undang.

F. Objek Hukum Pengangkutan


Objek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan hukum pengangkutan. Dalam hal ini tujuan hukum pengangkutan adalah
18 Hukum Pengangkutan Laut

terpenuhinya kewajiban dan hak para pihak dalam pengangkutan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan hukum pengangkutan, maka yang menjadi objek hukum pengangkutan,
antara lain:
1. Muatan Barang
Muatan barang lazimnya disebut barang. Barang yang dimaksud disini adalah
barang yang sah menurut undang-undang, termasuk pengertian barang adalah
hewan. Barang diangkut dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan menggunakan
alat pengangkutan.
2. Muatan Penumpang
Muatan penumpang lazimnya disebut penumpang. Sama halnya dengan barang,
penumpang tidak terdapat definisinya dalam undang-undang. Tetapi dilihat dari
perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang adalah setiap orang
yang berada dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket penumpang dan yang
diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.
Setiap penumpang yang diangkut memperoleh pelayanan yang wajar dari pengangkut
dan hal ini tergantung dari jenis pengangkutan, jarak pengangkutan dan jumlah
biaya pengangkutan. Kemudian pelayanan tersebut difokuskan pada tersedianya
makanan dan minuman serta perawatan kesehatan ringan selama perjalanan.
3. Alat Pengangkutan
Sebagai pengusaha yang menjalankan perusahaan pengangkutan, pengangkut
memiliki alat pengangkut sendiri atau alat pengangkut milik orang lain dengan
perjanjian sewa. Dalam hal ini yang berhubungan dengan fokus bahasan dalam
skripsi ini adalah alat pengangkutan diperairan yang lazim disebut kapal niaga
yang dijalankan oleh nakhoda. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 36 Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, kapal adalah kendaraan dengan bentuk
dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah
permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah.
Berdasarkan definisi tersebut, beberapa jenis kapal yang relevan digunakan dalam
pengangkutan niaga, sebagai berikut:
a. Kapal yang digerakkan oleh tenaga mekanik, digunakan untuk mengangkut
barang dan/atau penumpang;
b. Kapal yang berdaya dukung dinamis, digunakan untuk mengangkut penumpang
saja.
Ditinjau dari konstruksi bangunan kapal dan sifat muatan yang diangkut, ada empat
jenis kapal niaga, sebagai berikut:
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 19

a. Kapal barang (cargo ship), yaitu kapal yang dibangun khusus untuk mengangkut
barang menurut jenisnya. Berdasarkan jenis barang yang diangkut, kapal
barang dibedakan menjadi:
1) Kapal muatan umum (general cargo ship);
2) Kapal muatan curah (bulk cargo ship);
3) Kapal tanki (tanker ship);
4) Kapal pengangkut khusus (special designed ship);
5) Kapal peti kemas (container cargo ship).
b. Kapal penumpang (passenger ship), yaitu kapal yang dibangun khusus untuk
mengangkut penumpang. Kapal ini terdiri dari beberapa geladak dan tiap
geladak terdiri dari kamar-kamar penumpang berbagai kelas.
c. Kapal barang penumpang (cargo-passenger ship), yaitu kapal yang dibangun
untuk mengangkut barang dan penumpang bersama-sama. Kapal ini terdiri
dari beberapa geladak untuk barang dan kamar untuk penumpang.
d. Kapal barang dengan akomodasi penumpang yang terbatas, yaitu kapal barang
biasa tetapi diizinkan membawa penumpang dalam jumlah terbatas maksimum
12 orang yang ditempatkan dalam kamar dan bukan digeladak atau dek.
4. Biaya Pengangkutan
Dalam undang-undang yang mengatur tentang angkutan tidak dijumpai rumusan
biaya angkutan secara umum. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya
angkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan angkutan yang dibayar
oleh pengirim/penerima barang atau penumpang kepada pengangkut.
Perhitungan jumlah biaya angkutan ditentukan juga oleh beberapa hal sebagai
berikut:
a. Jenis angkutan, yaitu: angkutan darat, perairan dan udara;
b. Jenis alat pengangkut, yaitu: kereta api, bus, truk, kapal dan pesawat udara dan
dengan pelayanan serta kenikmatan yang berbeda sehingga berbeda pula tarif
biaya angkutan;
c. Jarak angkutan, yaitu: jauh dekatnya angkutan menentukan juga tarif biaya
angkutan;
d. Waktu angkutan, yaitu: cepat atau lambat menentukan besar dan kecilnya tarif
biaya angkutan;
e. Sifat muatan, yaitu: berbahaya, mudah rusak, mudah pecah, mudah terbakar,
mudah meledak, risiko kerugian lebih besar, dengan demikian menentukan
pula besarnya tarif biaya angkutan.
5. Tujuan Hukum Pengangkutan
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan hukum pengangkutan
adalah terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak dalam pengangkutan. Kewajiban
20 Hukum Pengangkutan Laut

pihak pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dari tempat tertentu


ke tempat tujuan dengan selamat. Sedangkan kewajiban pengirim barang atau
penumpang adalah membayar biaya pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan
adalah tujuan para pihak dalam pengangkutan yang diakui sah oleh hukum dan
tujuan yang diakui sah oleh hukum disebut juga tujuan yang halal.
Tujuan yang halal adalah merupakan salah satu unsur dari Pasal 1320 KUHPdt, yaitu
unsur keempat “kausa yang halal“. Artinya isi perjanjian pengangkutan yang menjadi
tujuan itu harus tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum serta tidak bertentangan dengan kesusilaan. Tujuan perjanjian
pengangkutan tidak hanya mengenai kepentingan pihak-pihak, melainkan juga
kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas.
6. Manfaat yang diperoleh
Tercapainya tujuan perjanjian pengangkutan memberi manfaat atau kenikmatan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat luas. Manfaat atau
kenikmatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dari kepentingan pengirim, pengirim memperoleh manfaat untuk konsumsi
pribadi maupun keuntungan komersial;
b. Dari kepentingan pengangkut, pengangkut memperoleh manfaat keuntungan
material sejumlah uang atau keuntungan immaterial berupa meningkatkan
kepercayaan masyarakat atas jasa pengangkutan yang diusahakan oleh
pengangkut;
c. Dari kepentingan penerima, penerima memperoleh manfaat untuk konsumsi
pribadi maupun keuntungan komersial;
d. Dari kepentingan penumpang, penumpang memperolah manfaat kesempatan
mengemban tugas, profesi, meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian,
ditempat yang dituju (tempat baru);
e. Dari kepentingan masyarakat luas, masyarakat memperoleh manfaat kebutuhan
yang merata dan kelangsungan pembangunan.

G. Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan terjadi dengan didahului serangkaian pernuatan penawaran dan
penerimaan yang oleh pengangkut dan penumpang secara timbal balik. Dalam perjanjian
pengangkutan penumpang/orang melalui laut yang menjadi pihak dalam perjanjian
tersebut adalah pengangkut dan penumpang. Perjanjian pengangkutan ini tidak diatur
secara rinci di dalam undang-undang, melainkan hanya suatu “peryataan kehendak” yang
merupakan salah satu unsur dari Pasal 1320 KUHPdt.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 21

Dalam KUHPdt, ditemukan pengertian perjanjian yang merupakan langkah awal


yang perlu diketahui sebelum adanya perjanjian, karena dalam masalah perjanjian ini kita
masih berbedoman kepada KUHPdt. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPdt
adalah “Sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”. Dalam suatu perjanjian tersebut mengandung syarat
sahnya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Syarat sahnya ini diatur dalam Pasal
1320 KUHPdt yang berisi:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Bahwa dalam membuat perjanjian harus ada kesepakatan dan persetujuan dari
pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut dan pihak-pihaknya harus seia
sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat tersebut. Artinya para
pihak yang membuat perjanjian, dalam hal ini adalah pengangkut dan penumpang
mempunyai kebabasan untuk menyetujui atas hal-hal pokok yang terkandung di
dalam perjanjian tersebut.
“Perjanjian pengangkutan adalah prerjanjian timbal balik antara pengangkut
dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan”
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara pengangkut
dengan penumpang sebagai pihak-pihak dalam pengangkutan.
Subjek hukum pengangkutan adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam
perjanjian dan kegiatan pengangkutan. Subjek hukum ini adalah sebagai pendukung
hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum pengangkutan niaga. Para pihak
yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan disebut sebagai subjek hukum.
Hubungan hukum pengangkutan yaitu merupakan hubungan hak dan kewajiban
antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan pengangkutan. Dalam
hal ini subjek hukum pengangkutan tersebut adalah pengangkut dan penumpang.
Sedangkan objek hukum pengangkutan adalah penumpang, barang muatan, biaya
angkutan, dan alat pengangkut untuk mencapai tujuan hukum dari pengangkutan
yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban dari para pihak yang terikat dalam
perjanjian tersebut.
a. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
“Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum”. Orang
yang cakap menurut hukum di sini adalah orang yang sudah dewasa dan sehat
pikirannya, karena orang-orang yang terikat dalam perjanjian harus mampu
memiliki tanggung jawab dan harus menginsafi tanggung jawabnya dengan
pikiran yang sehat, jadi dalam hal ini pengangkut dan penumpang sebagai
pihak dalam perjanjian harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
22 Hukum Pengangkutan Laut

1) Hak dan Kewajiban pengangkut


Dalam KUHD juga diatur mengenai kewajiban pengangkut yaitu Pasal
522 ayat (1) KUHD yang berbunyi:
“Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga
keselamatan si penumpang sejak saat si penumpang ini masuk dalam
kapal hingga saat ia meninggalkan kapalnya “.
Dalam Pasal 533e KUHD juga menyebutkan bahwa:
“Apabila si pengangkut telah mengumumkan syarat-syarat pengangkutan
dan tarip-tarip, maka ia diwajibkan mengangkut orang-orang…”.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, Pasal
85 ayat (1) menyebutkan:
“Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/
atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan “.
Perusahaan pengangkutan yang dalam hal ini PT. PELNI berkewajiban
mengangkut penumpang setelah adanya kesepakatan antara pihak
pengangkut dan pihak penumpang, dengan tiket atau karcis penumpang
sebagai tanda bukti telah terjadinya suatu perjanjian pengangkutan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewajiban pengangkut adalah
mengangkut penumpang sampai ke tempat tujuan dengan selamat.
Pengangkut juga mempunyai kewajiban untuk menerbitkan tiket atau
karcis penumpang seperti yang diatur dalam KUHD yaitu Pasal 530 ayat
(1) yang berbunyi:
“ Si penumpang boleh menuntut supaya kepadanya oleh si pengangku
diberikan suatu karcis perjalanan.”
Dan dalam Pasal 531 ayat (1) KUHD yang berbunyi:
“ Karcis perjalanan tersebut boleh dikeluarkan atas nama si penumpang,
atas penunjukan si penumpang atau untuk si pembaca. ”
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
mengenai karcis penumpang diatur dalam Pasal 85 ayat (2) yang
menyatakan bahwa:
“Karcis penumpang dan dokumen muatan merupakan tanda bukti
terjadinya perjanjian angkutan”.
Mengenai hak dari pihak pengangkut diatur dalam Pasal 533i KUHD yang
berbunyi:
“ Upah pengangkutan harus dibayar terlebih dahulu “.
Jadi pengangkut berhak atas biaya pengangkutan. Biaya pengangkutan
ini harus dibayar terlebih dahulu oleh penumpang pada saat penumpang
membeli tiket atau karcis.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 23

2) Hak dan Kewajiban Penumpang


Perusahaan pengangkutan dalam hal ini PT. PELNI mempunyai
kewajiban penumpang dan atau barang setelah disepakatinya perjanjian
pengangkutan dan berhak atas biaya angkut, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 533i KUHD yang menyebutkan:
“ Upah pengangkutan harus dibayar terlebih dahulu “
Maka dapat disimpulkan penumpang berkewajiban untuk membayar biaya
angkutan. Setelah penumpang memenuhi kewajibannya untuk membayar biaya
angkutan maka penumpang berhak atas pelayanan dari kegiatan pengangkutan
yang diselenggarakan oleh pihak pengangkut.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, kewajiban
pengangkutan diatur dalam Pasal 85 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“ Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau
barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan “.
Dalam tiket atau karcis penumpang atau perjanjian pengangkutan ini ada
beberapa ketentuan yang dibuat oleh pengangkutan secara baku. Di mana
penumpang yang ingin menggunakan jasa pelayanaan kegiatan pelayaran ini
harus menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut, yang bersifat “take it or leave
it”, karena sebagaimana diketahui perjanjian pengangkutan dituangkan dalam
tiket atau karcis penumpang yang berfungsi sebagai tanda bukti. Ketentuan-
ketentuan antara lain sebagai berikut:
a) Karcis penumpang dikeluarkan untuk dan atas nama dan hanya dapat
digunakan oleh penumpang yang namanya tercantum di dalam karcis atau
tiket penumpang;
b) Apabila terjadi kerusakan kapal sehingga keberangkatan kapal tersebut
ditunda atau dimajukan oleh pengangkut lebih dari dua puluh empat
(24) jam, maka tiket atau karcis penumpang tersebut dapat dikembalikan
atau ditukar dengan jumlah nilai uang yang sama dengan harga tiket atau
karcis tersebut;
c) Penumpang yang namanya tercantum dalam tiket atau karcis diasuransikan
pada PT. AURANSi JASA RAHARJA (Persero).
b. Suatu hal tertentu
Maksudnya adalah objek yang diperjanjikan atau objek yang menyebabkan
dibuatnya suatu perjanjian. Yang diperjanjikan adalah hak-hak dan kewajiban
dari para pihak yang dalam hal ini pihak pengangkut dan penumpang.
c. Suatu sebab yang halal
Maksudnya adalah isi perjanjian sendiri yaitu perjanjian yang disepakati oleh
pihak pengangkut dan pihak penumpang.
24 Hukum Pengangkutan Laut

Dua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan
cakap untuk membuat suatu perjanjian dinamakan syarat subjektif. Syarat subjektif
ini mengenai subjek-subjek atau orang-orang yang membuat perjanjian. Artinya
syarat subjektifini bila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut tetap merupakan
perjanjian yang sah tapi dapat diminta pembatalannya. “ Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. “
Dua syarat terkahir yaitu mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal dinamakan syarat objektif. Syarat objektif ini mengenai objek perjanjian
dan perjanjian itu sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut
batal demi hukum.
Dalam perjanjian juga menganut asas kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1338 KUHPer, yang menyatakan bahwa:
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
merekea yang membuatnya. Artinya dalam membuat perjanjian tersebut para
pihak bebas menentukan isi dan bentuknya. Perjanjian ini mengikat para pihak
dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Suatu perjkanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Artinya perjanjian ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak tanpa
adanya persetujuan dario pihak yang lain, karena perjanjian tersebut mengikat bagi
mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian tersebut dibatalkan maka harus ada
persetujuan atau kesepakatan bersama dari para pihak yang membuat perjanjian.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya dalam
perjanjian tersebut tidak boleh berisi sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.
2. Cara Terjadinya Perjanjian Pengangkutan
Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu cara langsung dan cara tidak langsung.
a. Penawaran dari pihak pengangkut
Pertama dengan cara langsung, di mana pengangkut menghubungi
langsung pihak penumpang dalam hal ini berarti kapal menyinggahi
pelabuhan untuk memuat penumpang, atau yang kedua dengan cara
tidak langsung di mana pengangkut memasang pengumuman atau iklan
sehingga pengangkut hanya menunggu permintaan dari penumpang.
b. Penawaran dari pihak penumpang
Pertama dengan cara langsung, di mana penumpang menghubungi
langsung pihak pengangkut, atau dengan cara yang kedua, di mana dalam
hal ini menggunakan jasa agen perjalanan.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 25

Saat terjadinya perjanjian pengangkutan dalam undang-undang tidak


diatur secara jelas, tapi perjanjian pengangkutan ini hanya berdasarkan
persetujuan kehendak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, perjanjian
pengangkutan selalu dilakukan secara lisan tapi dibuktikan dengan adanya
tiket penumpang atau karcis penumpang.
Pada tiket tersebut tercantum tanggal pengeluarannya di mana perjanjian
tersebut terjadi sejak tyanggal pengeluaran tersebut. Dan mulai tanggal tersebut
pengangkut 3wajib melaksanakan angkutannya. Tiket penumpang itu selalu
diterbitkan atas nama sehingga karcis penumpang ini tidak boleh digunakan oleh
orang lain selain penumpang yang bersangkutan. Hal-hal yng biasanya tertera
dalam karcis penumpang adalah sebagai berikut:
1) Nama perusahaan pengangkutan;
2) Pelabuhan pemeberangkatan dan pelabuhan tujuan;
3) Nama dan alama jelas dari penumpang;
4) Nomor seri karcis, tanggal, waktu dan hari keberangkatan;
5) Kelas dan nomor kamar/tempat tidur;
6) Biaya angkutan yang sudah termasuk premi asuaransi;
7) Tanda tangan dari pengangkut atau orang atas nama pengangkut;
8) Ketentuan-ketentuan lain sebagai klausula angkutan.
26 Hukum Pengangkutan Laut
Bab TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPdt menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “tanggung jawab adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya”. Tanggung jawab dalam hukum pengangkutan, antara lain:
1. Liability, merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang dapat dikaitkan dengan
kewajiban pemberian ganti rugi oleh pengangkut, akibat kelalaiannya dalam
pengangkutan yang diselenggarakannya;
2. Responsibility, merupakan tanggung jawab yang dapat dikaitkan dengan kewajiban
atau tanggung jawab individu (perseorangan) dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
tanggung jawab orang tua terhadap putra-putrinya, tanggung jawab anak terhadap
orang tua, dan sebagainya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “Perjanjian adalah persetujuan
(tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji
akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “pengangkutan adalah proses,
cara, perbuatan mengangkut dan usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang
dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain.”
Proses pengangkutan dapat juga didefinisikan merupakan gerakan dari tempat asal
darimana kegiatan angkutan dimulai ketempat tujuan kemana kegiatan angkutan diakhiri.
Di mana kewajiban pihak pengangkut adalah wajib menyelenggarakan pengangkutan
sesuai dengan tingkat pelayanan, sedangkan kewajiban pengguna jasa adalah wajib
membayar harga tiket.

27
28 Hukum Pengangkutan Laut

Adapun unsur-unsur dari pengangkutan antara lain:


1. Adanya muatan yang diangkut;
2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut;
3. Ada jalan yang dilalui kendaraan sebagai alat angkutan tersebut.
Di dalam hukum pengangkutan terdapat prinsip-prisip tanggung jawab pengangkut
antara lain:
1. Presumption of liability
Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga yang menyatakan bahwa pengangkut
selalu dianggap bertanggung jawab karena adanya perjanjian pengangkutan. Dalam
hal ini pengangkut dapat bebas dari tanggung jawabnya untuk membayar ganti
kerugian maka beban pembuktian ada pada pengangkut artinya pengangkut harus
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
2. Presumption of non liability
Prinsip tanggung jawab yang menyatakan bahwa pengangkut selalu tidak dianggap
bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian apabila barang didalam
pengawasan penumpang sendiri. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada
penumpang karena barang berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
3. Based on Fault
Prinsip tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum, di mana antara pihak
yang dirugikan dengan pengangkut tidak ada perjanjian pengangkutan dan beban
pembuktian ada pada pihak yang dirugikan.
4. Strict Liability atau Absolute Liability
Prinsip tanggung jawab mutlak yang menyatakan bahwa salah atau tidaknya
pengangkut harus tetap bertanggung jawab, dalam hal ini tidak diperlukan lagi
beban pembuktian.
5. Limitation of Liability
Batasan tanggung jawab pengangkut untuk membayar ganti kerugian.
Pasal 522 ayat (1) KUHD menyatakan bahwa pengangkut diwajibkan untuk menjaga
keselamatan penumpang, sejak saat penumpang masuk dalam kapal hingga saat penumpang
tersebut turun atau keluar dari kapal. Dalam pasal ini ditekankan pula posisi tanggung
jawab pengangkut terhadap penumpang yaitu saat penumpang berada di atas kapal.
Pasal 522 ayat (2) KUHD menyatakan bahwa pengangkut diwajibkan untuk mengganti
kerugian dan luka yang diderita oleh penumpang kecuali iadapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah. Prinsip tanggung jawab yang digunakan dalam pasal ini adalah
presumption of liability.
Hal ini terkait dengan definisi prinsip tanggung jawab presumption of liability, di mana
pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian kecuali
apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Selanjutnya terkait
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 29

juga dengan fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ketempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna nilai dari prinsip-
prinsip tanggung jawab dalam bidang pengangkutan.

A. Prinsip Tanggung Jawab


Dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut untuk membayar ganti rugi, maka
terdapat teori tanggung jawab yang dapat dipergunakan yaitu:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Kesalahan (Fault Liabilty Principle)
Dalam prinsip ini apabila pengangkut melakukan kesalahan atau kelalian dalam
pelaksanaan kegiatan pengangkutan, maka pengangkut harus bertanggung jawab.
Dasar hukum dari prinsip ini adalah Pasal 1365 KUHPer yang berbunyi:
“ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. “
Berdasarkan prinsip ini beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1865 KUHPer yang berbunyi:
“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau perisriwa tersebut.”
2. Prinsip Praduga Bahwa pengangkut Selalu Dianggap Bertanggung Jawab
(Presumption of Liability Principle)
Menurut prinsip inin pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan pengangkutan tersebut. Tetapi jika
dalam hal pengangkut berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan
tidak melakukan kelalaian, maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung
jawabnya untuk membayar ganti kerugian. Dalam hal ini beban pembuktian bukan
pada penumpang melainkan pada pihak pengangkut artinya bahwa pengangkut
harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan tidak melakukan kelalaian.
Sementara pihak yang dirugikan cukup menunjukkan kerugian yang dideritanya.
3. Prinsip Praduga Bahwa pengangkut Selalu Tidak dianggap Bertanggung Jawab
(Presumption of Non Liabilty Principle)
Menurut prinsip ini pengangkut selalu tidak dianggap bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan pengangkutan tersebut. Dalam hal ini beban
pembuktian ada pada pihak penumpang berdasarkan perjanjian pengangkutan.
Prinsip ini dipergunakan terhadap barang bawaan yang berada dalam pengawasan
penumpang sendiri.
30 Hukum Pengangkutan Laut

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liabilty Principle)


Menurut prinsip ini pengangkut mutlak harus bertanggung jawab atas kerugian
yang tiombul dalam kegiatan pengangkutan tersebut. Dalam prinsip tanggungf
jawab mutlak tidak mengenal beban pembuktian, artinya pengangkut tidak
mungkin bebas dari tangggung jawabnya. Jadi secara hukum salah atau tidak salah
pengangkut harus bertanggung jawab terhadap penumpang.
5. Prinsip Tanggung Jawab Terbatas (Limitation of Liabilty Principle)
Menurut prinsip ini pengangkut bertanggung jawab untuk membayar gantirugi
terhadap setiap kerugian, namun pengangkut mempunyai batasan dalam tanggung
jawabnya untuk membayar ganti rugi.

B. PRINSIP TANGGUNG JAWAB DALAM PENGANGKUTAN


1. Prinsip Presumption of Liability
Prinsip Presumption of Liability menyatakan bahwa pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh pengangkut
sebagai akibat adanya perjanjian pengangkutan. Akan tetapi jika pengangkut
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka
pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atau ganti rugi. Beban pembuktian ada
pada pengangkut.
Ciri-ciri prinsip ini adalah:
a. Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena adanya
perjanjian pengangkutan.
b. Beban pembuktian ada pada pengangkut.
c. Antara pengangkut dan pengguna jasa angkutan terdapat perjanjian
pengangkutan.
2. Prinsip Presumption of Non Liability
Prinsip Presumption of Non Liability menyatakan bahwa pengangkut dianggap tidak
selalu bertanggung jawab atas kerusakan atau kahilangan barang yang diangkut,
kecuali jika penumpang dapat membuktikan bahwa barang tersebut rusak atau
hilang karena kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada penumpang.
Prinsip ini hanya bisa diterapkan terhadap bagasi tangan (Hand Baggage) saja.
3. Prinsip Absolute Liability
Prinsip Absolute Liability menyatakan bahwa pengangkut harus bertanggung jawab
membayar kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari penyelenggaraan
pengangkutan. Dalam prinsip ini, pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah, tetap
harus bertanggung jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa mengelak
atau membebaskan diri dari tanggung jawab. Dalam prinsip ini tidak dikenal prinsip
pembuktian.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 31

4. Prinsip Based on Fault


Prinsip Based on Fault menyatakan bahwa tiap pengangkut yang melakukan kesalahan
dalam penyelenggaraan pengangkutan, harus bertanggung jawab membayar
ganti rugi sebagai akibat dari kerugian yang ditimbulkan oleh pengangkutan.
Dalam prinsip ini beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada
pengangkut maupun penumpang. Pihak yang dirugikan adalah pihak ke tiga (3)
yang tidak terlibat dalam penyelenggaraan pengangkutan atau pihak yang berada di
luar perjanjian pengangkutan.
5. Prinsip Limitation of Liability
Prinsip Limitation of Liability merupakan tanggung jawab pengangkut yang dibatasi
sampai jumlah atau limitasi tertentu, yang tujuannya adalah membatasi besar
tanggung jawab pengangkut terhadap pengguna jasa angkutan.

Tanggung Jawab
Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut terlebih dahulu
harus mengetahui defenisi dari tanggung jawab tersebut.
“Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan dengan
selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya.”

Tanggung Jawab Pengangkut


a. KUHD
Dalam Pasal 522 KUHD yang berbunyi:
1) “Persetujuan pengangkut mewajibkan si pengangkut untuk menjaga
keselamatan si penumpang, sejak saat si penumpang ini masuk dalam kapal
hingga saat meninggalkan kapalnya”.
2) “Si pengangkut diwajibkan mengganti kerugian yang disebabkan karena
luka, yang didapat oleh si penumpang karena pengangkut itu, kecuali apabila
dibuktikannya bahwa luka itu disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya
tak dapat dicegah maupun dihindarrkannya, ataupun karena salahnya si
penumpang sendiri”.
3) “Apabila luka tadi menyebabkan matinya penumpang, maka wajiblah si
pengangkut mengganti kerugian yang karenanya diderita oleh suami/istri yang
ditinggalkan, anak-anak dan orang tua si penumpang “.
Dalam Pasal 522 ayat (1) KUHD jelas disebutkan menyetakan bahwa pengangkut
mulai bertanggung jawab atas penumpang tersebut sejak saat penumpang tersebut
naik ketas kapal sampai penumpang tersebut turunan dari kapal. Dan apabila
kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka sesuai dengan Pasal 522 ayat (2) KUHD
pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan karena luka yang didapat
32 Hukum Pengangkutan Laut

oleh penumpang dalam pengangkutan tersebut kecuali apabila terbukti luka tersebut
disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dihindari atau diluar kekuasaan
manusia atau merupakan kesalahan/kelalaian dari penumpang itu sendiri.
Pengangkut juga bertanggung jawab mengganti kerugian apabila terjadi kematian
penumpang hal ini diatur dalam Pasal 522 ayat (3) KUHD. Besarnya ganti rugi yang
diberikan oleh pengangkut diatur dalam Pasal 525 KUHD yang berbunyi:
“ Apabila si pengangkut itu adalah si pengusaha kapal maka tanggung jawabnya
tentang kerugian yang disebabkan karena luka yang didapat oleh para penumpang
yang diangkut oleh kapal tersebut, adalah terbatas hingga lima puluh rupiah tiap-
tiap meter kubik daripada isi bersih kapal tersebut, ditambah sekadar mengenai
kapal-kapal yang digerakkan dengan tenaga mesin, dengan apa yang menentukan isi
tersebut, telah dikurangi dari isi kotor bagi ruangan yang ditempati mesin-mesinnya.
Apabila baik kepada barang-barang yang diangkut maupun kepada penumpang-
penumpang atau para ahli warisnya telah diterbitkan suatu kerugian, maka tanggung
jawab si pengangkut itu seluruhnya dibatasi sampai jumlah yang disebutkan di sini,
dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal-pasal 476 dan 527 “.
Berdasarkan Pasal 525 KUHD menyatakan bahwa apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa luka atau matinya penumpang tersebut bukan akbat
darikesalahannya, maka tanggung jawabnya dapat dibatasi sampai suatu jumlah
tertentu yaitu Rp. 50,- (lima puluh rupiah) tiap-tiap meter kubik dari isi bersih kapal
tersebut. Tetapi dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 527 KUHD yang menyatakan
bahwa:
“Dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal 525 dan 526 maka
dituntutnya penggantian sepenuhnya, apabila luka tersebut disebabkan karena
kesengajaan atau kesalahan kasar dari si pengangkut sendiri “.
Berdasarkan ketentuan pasal ini menyetakan apabila terbukti kecelakaan yang
menimbulkan luka atau matinya penumpang tersebut merupakan kesalahan atau
kesengajaan dari pihak pengangkut maka pengangkut harus bertanggung jawab
sepenuhnya.
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang
berisi tentang tanggung jawab:
“Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan
oleh pengoperasian kapalnya berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut;
d. Kerugian pihak ketiga.”
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 33

Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang


Pelayaran disebutkan:
“Tanggung jawab perusahaan angkutan sebagai mana dimaksud dalam ketentuan
ini adalah kematian atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan
selama dalam pengangkutan dan terjadi dalam kapal, dan/atau kecelakaan pada
saat naik atau turun dari kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Termasuk dalam pengertian lukanya penumpang adalah cacat fisik dan/
atau cacat mental’.
Dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang pelayaran
disebutkan:
“Tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan pelayanan-pelayanan
dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan perusahaan angkutan di perairan
kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadinya
kelambatan pemberangkatan karena kelalaian perusahaan angkutan tersebut.
Ketentuan ini perlu mempertimbangkan agar jangan sampai menghambat
pengembangan perusahaan angkutan di perairan yang masih tergolong usaha
ekonomi lemah.”
Jelas dinyatakan dalam Pasal 40 sampai 43 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran bahwa pengangkut harus bertanggung jawab atas kematian dan
lukanya penumpang yang diangkut, rusak atau hilangnya barang yang diangkut,
keterlambatan pada angkutan orang atau barang dan kerugian pihak ketiga.
c. Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan.
Mengenai tanggung jawab pengangkut ini diatur lebih lanjut dealam Pasal 180
peraturan pemerintah RI No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan Jo Pasal
40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Berdasarkan ketentuan ini dinyatakan dengan jelas bahwa pengangkut bertanggung
jawab atas mati dan lukanya penumpang juga keterlambatan dalam pengangkutan.

C. ASAS-ASAS HUKUM PENGANGKUTAN


1. Pengertian asas-asas hukum pengangkutan
Asas-asas hukum pengangkutan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu asas yang
bersifat publik dan asas yang bersifat perdata.
a. Asas-asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang
berlaku dan berguna bagi semua pihak yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan,
pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah
(penguasa).
34 Hukum Pengangkutan Laut

b. Sedangkan asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum


pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua belah pihak dalam
pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim barang.
2. Klasifikasi asas-asas hukum pengangkutan
a. Asas-asas yang bersifat publik.
1) Asas manfaat
Setiap pengangkutan harus dapat memberikan nilai guna yang sebasar-
besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan
pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga
negara.
2) Usaha bersama dan kekeluargaan
Penyelenggaraan usaha pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-
cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh
seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai semangat kekeluargaan.
3) Adil dan Merata
Penyelenggaraan pengangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang
adil dan merata kepada seganap lapisan masyarakat, dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat.
4) Keseimbangan
Penyelenggaraan pengangkutan harus dengan keseimbangan yang
serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan
penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara
kepentingan nasional dan internasional.
5) Kepentingan umum
Penyelenggaraan pengangkutan harus lebih mengutamakan kepentingan
pelayanan umum bagi masyarakat luas.
6) Keterpaduan
Pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu,
saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda
pengangkutan.
7) Kesadaran hukum
Pemerintah wajib menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta
mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia agar selalu sadar dan
taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan.
8) Percaya pada diri sendiri
Pengangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan
dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 35

9) Keselamatan penumpang
Pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.
b. Asas-asas yang bersifat perdata
1) Konsensual
Pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup
dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa
perjanjian itu sudah ada, harus dibuktikan dengan atau didukung oleh
dokumen angkutan.
2) Koordinatif
Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau
sejajar. Tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.
Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah
penumpang atau pengirim barang, pengangkut bukan bawahan
penumpang atau pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian
pemberian kuasa.
3) Campuran
Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada
pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan,
kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
4) Retensi
Pengangkutan tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi
bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkut hanya
mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
5) Pembuktian dengan dokumen
Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen pengangkutan.
Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan,
kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum.

D. PENGANGKUTAN DAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN NIAGA


Pokok bahasan ini menguraikan dua konsep, yaitu konsep pengangkutan niaga dan
konsep perjanjian pengangkutan niaga. Pengangkutan niaga adalah konsep mengenai
gejala peristiwa, sedangkan perjanjian pengangkutan niaga adalah konsep mengenai gejala
hukum yang mengatur peristiwa pengangkutan niaga.
1. Pengangkutan niaga
Pengangkutan niaga merupakan rangkaian kegiatan (peristiwa) pemindahan
penumpang dan/atau barang dari satu tempat permuatan (embarkasi) ke tempat
36 Hukum Pengangkutan Laut

tujuan (disembarkasi) sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran


barang muatan. Rangkaian peristiwa pemindahan itu meliputi kegiatan:
a. Memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut
b. Membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan
c. Menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan
Pengangkutan niaga yang meliputi tiga kegiatan ini merupakan satu kesatuan
proses yang disebut pengangkutan niaga dalam arti luas. Disamping dalam arti luas,
pengangkutan niaga juga dapat dirumuskan dalam arti sempit. Dikatakan dalam
arti sempit karena hanya meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang
dari stasiun atau terminal atau pelabuhan atau bandara tempat pemberangkatan
ke stasiun atau terminal atau pelabuhan atau bandara tujuan. Untuk menentukan
pengangkutan niaga itu dalam arti luas atau arti sempit tergantung pada perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan masyarakat.
2. Perjanjian pengangkutan niaga
Penyelenggaraan pengangkutan didasarkan pada perjanjian, hal ini berarti antara
pengangkut dengan penumpang dan/atau pengirim barang harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan:
“untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat yaitu kata sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal
tertentu; dan sebab yang halal”. Kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat
subjektif, jika dilanggar menyebabkan dapat dibatalkannya perjanjian, sedangkan
suatu hal tertentu dan kecakapan merupakan syarat objektif, jika dilanggar
menyebabkan batalnya perjanjian. Hal ini menunjuk bahwa pembuatan perjanjian
pengangkutan tersebut tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan saja,
asalkan ada persetujuan kehendak (consensus) dari para pihak. Dengan demikian
surat, baik berupa karcis atau tiket penumpang maupun dokumen angkutan barang
bukan sebagai syarat sahnya perjanjian tetapi hanya merupakan salah satu alat
bukti saja, karena dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya. Dengan demikian
yang menjadi syarat sahnya perjanjian adalah kata sepakat, bukan karcis atau tiket
penumpang atau dokumen angkutan. Tidak adanya karcis atau tiket atau dokumen
angkutan tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada. Dan
perjanjian tersebut juga berlaku sebagai Undang-Undang bagi pengangkut dengan
pengirim barang atau penumpang, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan, ”semua perjanjian dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya”.
Untuk menyelenggarakan pengangkutan niaga, lebih dahulu harus ada perjanjian
antara pengangkut dan penumpang atau pengirim. Perjanjian pengangkutan
niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 37

menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke


tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan
diri untuk membayar biaya angkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan
secara lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan
bahwa perjanjian sudah terjadi.
Dalam Undang-Undang ditentukan bahwa pengangkutan baru diselenggarakan
setelah biaya angkutan dibayar lebih dahulu. Tetapi disamping ketentuan Undang-
Undang, berlaku juga kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan
kemudian. Perjanjian pengangkutan niaga biasanya meliputi kegiatan pengangkutan
dalam arti luas, yaitu kegiatan membongkar, membawa, dan menurunkan atau
membongkar, kecuali jika dalam perjanjian ditentukan lain.
Pengangkutan niaga dalam arti luas ini erat hubungannya dengan tanggung jawab
pengangkut apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Artinya tanggung
jawab pengangkut mulai berjalan sejak penumpang dan/atau barang dimuat ke
dalam alat pengangkut sampai penumpang diturunkan dari alat pengangkut atau
barang di bongkar dari alat pengangkut atau diserahkan kapada penerima. Tanggung
jawab dapat diketahui dari kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian atau
Undang-Undang. Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan.
Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi biaya angkutan.
Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut, atau selama
diangkut, atau ketika turun dari alat pengangkut, maka pengangkut bertanggung
jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakaan yang terjadi itu.
Namun tanggung jawab pengangkut ini dibatasi oleh Undang-Undang. Dalam
Undang-Undang ditentukan bahwa, pengangkut bertanggung jawab terhadap segala
kerugian yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian mengangkut. Sedangkan
pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi mengenai
kerugian yang timbul akibat:
a. Keadaan memaksa (force majeur)
b. Cacat pada penumpang atau barang itu sendiri
c. Kesalahan atau kelalaian penumpang atau pengirim
3. Asas perjanjian pengangkutan
Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, yaitu asas
konsensual, asas koordinasi, asas campuran, dan asas tidak ada hak retensi.
a. Asas konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis,
sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam
kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara
dibuat secara tidak tertulis (lisan), tetapi selalu didukung oleh dokumen
pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan dokumen tertulis, melainkan
38 Hukum Pengangkutan Laut

sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian
pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena kewajiban dan hak pihak-
pihak telah ditentukan dalam Undang-Undang. Mereka hanya menunjuk atau
menerapkan ketentuan Undang-Undang. Tetapi apabila Undang-Undang tidak
menentukan (tidak mengatur) kewajiban dan hak yang wajib mereka penuhi,
diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan. Apabila terjadi perselisihan
mereka selesaikan melalui musyawarah, atau melalui arbitrase, atau melalui
pengadilan. Tetapi kenyataannya, sedikit sekali atau hampir tidak ada perkara
mereka yang diselesaikan melalui arbitrase atau pengadilan. Mereka memegang
prinsip lebih baik rugi dari pada rugi banyak karena biaya pengadilan, yang
belum tentu pula memuaskan semua pihak.
b. Asas koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam
perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan
“pelayanan jasa“, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian
perburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. Berdasarkan hasil
penelitian dalam perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara ternyata pihak
pengangkut bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.
c. Asas campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu
perjanjian pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan
barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan
pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Dengan
demikian, ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam
perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah
yang berlaku. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka
diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada
hubungnannya dengan asas konsensual.
d. Asas tidak ada hak retensi
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan.
Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan
pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya
penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 39

E. SUBJEK DAN OBJEK HUKUM PENGANGKUTAN


1. Definisi subjek hukum pengangkutan
Yang dimaksud dengan subjek hukum pengangkutan adalah pendukung hak
dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengangkutan.
2. Klasifikasi subjek hukum pengangkutan
Pihak-pihak yang berkepentingan ini ada yang secara langsung terikat dalam
perjanjian pengangkutan karena berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian
seperti pengangkut, pengirim dan penumpang. Ada juga yang secara tidak langsung
terikat dalam perjanjian karena bukan pihak, melainkan bertindak atas nama atau
untuk kepentingan pihak lain, seperti ekspeditur, biro perjalanan, pengatur muatan,
dan pengusaha pergudangan.
a. Pengangkut
Istilah “pengangkut” mempunyai dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara
pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan. Pengangkut dalam arti yang pertama termasuk dalam subjek
pengangkutan. Sedangkan pengangkut dalam arti yang kedua termasuk dalam
objek pengangkutan. Dalam Undang-Undang (KUHD), tidak ada pengaturan
definisi pengangkutan secara umum, kecuali dalam angkutan laut. Tetapi
dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak
yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan
atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.
Singkatnya, pengangkut adalah penyelenggara pengangkutan.
b. Pengirim
Sama halnya dengan pengangkut, pengirim adalah pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Dalam KUHD juga tidak diatur definisi secara umum. Tetapi
dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
c. Penumpang
Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang.
Penumpang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai subjek karena ia adalah
pihak dalam perjanjian, sebagai objek karena ia adalah muatan yang diangkut.
d. Ekspeditur, Biro perjalanan
Menurut ketentuan Pasal 86 ayat 1 KUHD, ekspeditur adalah orang yang
pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau perairan bagi
pengirim. Dilihat dari perjanjiannya dengan pengirim, ekspeditur adalah pihak
yang mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur.
40 Hukum Pengangkutan Laut

e. Pengatur muatan
Pengatur muatan adalah orang yang menjalankan usaha dalam bidang
permuatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari kapal. Pengangkut
muatan adalah orang yang ahli dan pandai menempatkan barang-barang
dalam ruangan kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang
dibutuhkan, dan barang-barang tidak mudah bergerak.
f. Perusahaan Pergudangan
Perusahaan pergudangan adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha
penyimpanan barang-barang di dalam gudang pelabuhan selama barang
yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu
pengeluarannya dari gudang, yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan
Cukai.
3. Definisi objek hukum pengangkutan
Objek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai
tujuan hukum pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya
kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan.
4. Klasifikasi objek hukum pengangkutan
Objek hukum pengangkutan adalah muatan barang, muatan penumpang, alat
pengangkutan, dan biaya pengangkutan.
a. Muatan barang
Muatan barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah
yang sah menurut Undang-Undang. Dalam pengertian barang termasuk juga
hewan.
Barang terdiri dari berbagai jenis menurut keperluan atau kegunaannya:
1) Barang sandang, misalnya tekstil, sarung, dan baju.
2) Barang pangan, misalnya beras, gula, dan buah-buahan.
3) Barang perlengkapan rumah tangga, misalnya mebeler.
4) Barang perlengkapan pendidikan, misalnya buku, lab.
5) Barang cair, misalnya minyak, dan gas alam.
6) Barang industri, misalnya zat kimia, carbide, semen, dan besi.
7) Hewan, misalnya sapi potong, sapi ternak, dan ikan hias.
Secara fisik, muatan barang dibagi dalam enam golongan, yaitu:
1) Muatan barang biasa, misalnya tekstil, dan kelontong.
2) Muatan barang berbahaya, misalnya carbide, dan bahan racun.
3) Muatan barang cair, misalnya minyak tanah, dan minyak sawit.
4) Muatan barang berharga, misalnya komputer dan emas.
5) Muatan barang khusus, misalnya ikan dingin, dan tembakau.
6) Muatan barang curah, misalnya kacang, dan minyak mentah.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 41

Dilihat dari sifat alamiahnya, muatan barang digolongkan menjadi:


1) Muatan barang padat, misalnya besi dan kayu balok.
2) Muatan barang cair, misalnya minyak.
3) Muatan barang gas, misalnya LNG.
Dilihat dari segi cara pejagaan dan pengurusan, muatan barang digolongkan
menjadi:
1) Muatan barang berbahaya yang sifatnya mudah terbakar, mudah meledak,
dan mengandung rucun.
2) Muatan barang dingin atau beku yang perlu diangkut dengan menggunakan
ruang pendingin, seperti daging atau ikan segar, buah-buahan segar,
sayur-sayuran dan obat-obatan.
3) Muatan barang panjang atau berat melebihi ukuran tertentu, panjang tiap
potongan melebihi batas tertentu, atau berat per potong melebihi batas
tertentu, yang umumnya ditetapkan 2 metrik ton.
Dilihat dari jenis muatan barang, maka ada tiga jenisnya, yaitu:
1) General Cargo, yaitu berbagai jenis barang yang dibungkus dalam bentuk
unit-unit kecil.
2) Bulk Cargo, yaitu semacam barang yang tidak dibungkus, dan dimuat dalam
jumlah besar, dengan cara mencurahkannya ke kapal atau mobil tangki.
3) Homogenous cargo, yaitu semacam barang yang dibungkus dan dimuat
dalam jumlah besar.
b. Muatan Penumpang
Muatan penumpang lazim disebut penumpang saja. Sama halnya dengan
barang, penumpang juga tidak ada definisinya dalam Undang-undang. Tetapi
dilihat dari perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang
adalah setiap orang yang berada dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket
penumpang, yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.
c. Alat pengangkutan
Sebagai pengusaha pengangkutan, pengangkut memiliki alat pengangkutan
sendiri, atau menggunakan alat pengangkutan milik orang lain dengan
perjanjian sewa. Alat pengangkutan darat adalah kendaraan bermotor yang
dijalankan oleh pengemudi (sopir). Alat pengangkutan jalan rel adalah kereta
api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkutan laut adalah kapal laut
niaga yang dijalankan oleh nakhoda. Alat pengangkutan udara adalah pesawat
udara yang dijalankan oleh pilot.
1) Kendaraan bermotor umum
Kendaraan bermotor umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1965 (L.N. No. 26 Tahun 1965) tentang Lalu Lintas dan Angkutan
42 Hukum Pengangkutan Laut

Jalan Raya (ULLAJR). Kendaraan bermotor umum adalah kendaraan


bermotor yang biasanya disediakan untuk dipergunakan oleh umum
untuk pengangkutan orang atau barang di jalan dengan pembayaran.
2) Kapal laut niaga
Kapal laut dan kapal laut niaga diatur dalam Undang-undang. Menurut
ketentuan pasal 310 ayat 1 KUHD, kapal laut adalah kapal yang
dipergunakan untuk pelayaran di laut, atau yang diperuntukkan untuk
pelayaran di laut. Dipergunakan artinya pemanfaatan kapal itu hanya
untuk di laut, sedangkan diperuntukkan artinya ketentuan pembuatan,
pendaftaran, dan penggunaannya di laut.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1957 tentang Izin Pelayaran,


dipertegas pengertian kapal laut niaga. Dalam peraturan ini, kapal laut
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a) Kapal laut biasa yaitu, setiap pengangkutan yang dipergunakan atau
dimaksudkan untuk pengangkutan di laut.
b) Kapal laut niaga yaitu, setiap kapal laut yang digerakkan secara mekanik
dan digunakan untuk pengangkutan barang dan atau penumpang umum
dengan pungutan biaya.
Ditinjau dari segi niaga ( komersial ), ada empat jenis kapal niaga berdasarkan
konstruksi bangunan kapal dan sifat muatan yang diangkut. Empat jenis kapal
niaga itu adalah sebagai berikut:
a) Kapal Barang
Yang dimaksud dengan kapal barang adalah kapal yang dibangun khusus
untuk tujuan mengangkut barang menurut jenisnya. Berdasarkan jenis
barang yang diangkut, kapal barang dibedakan lagi menjadi:
(1) Kapal muatan umum
(2) Kapal muatan curah
(3) Kapal tanki
(4) Kapal pengangkut khusus
(5) Kapal peti kemas
b) Kapal Penumpang
Yang dimaksud dengan kapal penumpang adalah kapal yang dibangun
khusus untuk tujuan mengangkut penumpang. Kapal ini terdiri dari
beberapa geladak, masing-masing geladak terdiri dari kamar penumpang
dalam berbagai kelas.
c) Kapal Barang Penumpang
Yang dimaksud kapal barang-penumpang adalah kapal yang dibangun
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 43

untuk mengangkut barang dan penumpang bersama-sama. Kapal ini


terdiri dari beberapa geladak untuk barang dan kamar untuk penumpang.
d) Kapal Barang dengan Akomodasi Penumpang Terbatas
Kapal ini adalah kapal biasa, tetapi diizinkan membawa penumpang
dalam jumlah terbatas, yaitu maksimum 12 orang, yang ditempatkan
dalam kamar, bukan dek.
3) Pesawat udara
Pesawat udara diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992
Tentang Penerbangan. Menurut ketentuan pasal 1 (3) Undang-undang
penerbangan, pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di
atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara.
d. Biaya pengangkutan
Dalam KUHD tidak diatur rumusan secara umum mengenai biaya
pengangkutan. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan
adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan pengangkutan yang dibayar
oleh pengirim atau penerima atau penumpang kepada pengangkut. Dalam
pengangkutan barang, biaya pengangkutan dapat dibayar lebih dahulu oleh
pengirim, atau dibayar kemudian oleh penerima.
Dalam pengangkutan penumpang, pasal 533-j KUHD, menentukan bahwa
biaya pemeliharaan penumpang selama pengangkutan termasuk dalam biaya
pengangkutan. Dengan demikian, biaya pengangkutan terdiri dari dua unsur
yaitu, pertama kontra prestasi penyelenggaraan pengangkutan, kedua biaya
pemeliharaan yang meliputi makan dan minum selama pengangkutan.

F. DOKUMEN ANGKUTAN
Perjanjian pengangkutan pada asasnya tidak tertulis, tetapi harus dibuktikan dengan
dokumen angkutan. Dokumen angkutan diatur dalam Undang-Undang Pengangkutan.
Karena ada dua jenis muatan yang diangkut, maka ada dua jenis pula dokumen angkutan,
yaitu:
1. Dokumen angkutan penumpang yang disebut karcis penumpang untuk angkutan
darat dan perairan, dan tiket penumpang untuk angkutan udara.
2. Dokumen angkutan barang yang disebut surat angkutan barang untuk angkutan
darat, dokumen muatan untuk angkutan perairan (di dalam KUHD disebut
konosemen), tiket bagasi untuk barang bawaan penumpang. Mengenai surat
angkutan barang diatur dalam pasal 90 KUHD, menurut ketentuan pasal ini, surat
angkutan barang memuat keterangan berikut ini:
44 Hukum Pengangkutan Laut

a. Nama dan alamat perusahaan angkutan ( pengangkut )


b. Nama dan alamat pengirim dan penerima
c. Nama, jumlah, berat, ukuran, dan merek barang yang diangkut
d. Jumlah biaya angkutan
e. Tempat dan tanggal pembuatan surat angkutan barang
f. Tanda tangan pengangkut dan pengirim atau ekspeditur
g. Asuransi jasa raharja
h. Tanda dari pengangkut
3. Dokumen Angkutan Kapal Laut Niaga
Dokumen angkutan kapal laut niaga terdiri dari karcis penumpang dan dokumen
muatan. Dalam KUHD dokumen muatan disebut konsemen. Baik dalam KUHD
maupun Undang-Undang Pelayaran tidak mengatur rincian keterangan isi yang
dimuat dalam karcis penumpang. Dengan demikian, rincian keterangan tersebut
diserahkan kepada praktik perjanjian pengangkutan.
a. Karcis penumpang
Karcis penumpang selalu diterbitkan atas nama. Artinya pada karcis penumpang
tertera nama pemegangnya. Dengan demikian, karcis penumpang tidak boleh
digunakan oleh orang lain selain penumpang yang bersangkutan. Berdasarkan
pengamatan, dalam karcis penumpang selalu terdapat rincian keterangan
berikut ini:
1) Nama perusahaan angkutan laut niaga ( pengangkut )
2) Pelabuhan pemberangkatan dan tujuan
3) Nama dan alamat penumpang
4) Nomor seri karcis, hari, tanggal, dan waktu berangkat
5) Kelas, nomor kamar atau tempat tidur, kecuali dek
6) Tarif biaya angkutan termasuk premi asuransi
7) Tanda tangan pengangkut atau orang atas nama pengangkut
8) Ketentuan-ketentuan lain sebagai klausula angkutan
4. Dokumen muatan atau konosemen
Berdasarkan ketentuan beberapa pasal yang mengatur mengenai konosemen dan
praktik penggunaan konosemen yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran atau
perusahaan angkutan laut niaga, rincian keterangan yang perlu dimuat dalam
konosemen atau dokumen muatan adalah sebagai berikut:
a. Nama dan alamat perusahaan pelayaran ( pengangkut )
b. Nama kapal yang mengangkut
c. Nama alat pengangkut sebelumnya
d. Tempat penerimaan oleh pengangkut sebelumnya
e. Nama dan alamat pengirim dan penerima
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 45

f. Tempat dan tanggal pembuatan konosemen


g. Pelabuhan pemuatan dan pembongkaran
h. Tempat penyerahan oleh pengangkut terusan
i. Jenis barang, merek, ukuran berat, dan jumlah
j. Jumlah biaya-biaya angkutan dan biaya-biaya lain
k. Tempat pembayaran biaya angkutan dan biaya-biaya lain
l. Syarat-syarat penyerahan ( klausula perjanjian )
m. Jumlah konosemen asli yang diterbitkan
n. Tanda tangan pengangkut atau orang atas nama pengangkut
Konosemen mempunyai arti penting dalam dunia perusahaan angkutan perairan,
khususnya angkutan laut, sebab konosemen berfungsi sebagai:
a. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal. Konosemen merupakan
persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim, penerima, sehingga barang
dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab dari
pengangkut.
b. Surat bukti penerimaan barang di atas kapal. Dengan konosemen, pengangkut
atau agen atau nakhoda mengakui bahwa dia telah menerima barang dari
pengirim untuk diangkut dengan kapalnya.
c. Tanda bukti milik atas barang. Dengan memiliki konosemen, berarti sekaligus
memiliki barang tersebut di dalamnya. Setiap pemegang konosemen berhak
menuntut penyerahan barang tersebut di dalamnya di kapal mana barang
itu berada (Pasal 510 KUHD). Penyerahan konosemen sebelum barang yang
tersebut di dalamnya diserahkan oleh pengangkut, dianggap sebagai penyerahan
barang tersebut (Pasal 517 huruf a KUHD )
d. Kuitansi pembayaran biaya angkutan. Dalam konosemen dinyatakan bahwa
biaya pengangkutan dibayar lebih dahulu di pelabuhan pemuatan oleh
pengirim.
e. Kontrak atau persyaratan angkutan. Konosemen adalah bukti perjanjian
pengangkutan yang memuat syarat-syarat angkutan.
Dilihat dari segi cara pengalihannya ada 3 jenis konosemen yaitu:
a. Konosemen atas nama. Nama penerima dicantumkan dengan jelas pada
konosemen. Konosemen ini dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara cessie.
b. Konosemen atas pengganti. Nama penerima dicantumkan dengan jelas diikuti
oleh “atas pengganti” dalam konosemen. Konosemen ini dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan cara endosemen.
c. Konosemen atas tunjuk. Nama penerima tidak dicantumkan dalam konosemen,
tetapi dicantumkan “atau pembawa”. Konosemen ini dapat dialihkan kepada
pihak lain dengan cara penyerahan dari tangan ke tangan.
46 Hukum Pengangkutan Laut

G. PENGANGKUTAN LAUT
1. Definisi kapal
Kapal menurut Pasal 309 KUHD ayat 1 adalah semua perahu, dengan nama apapun,
dan macam apapun juga.
2. Pendaftaran kapal
Di dalam Pasal 310 KUHD, terdapat maksud dari “kapal“ itu sendiri. Yang dimaksud
dengan kapal menurut KUHD adalah hanya kapal laut. Sebuah kapal dapat dikatakan
sebagai kapal laut apabila kapal tersebut memiliki syarat-syarat tertentu yaitu kapal
laut yang sudah didaftarkan sebagai kapal Indonesia, menurut hukum Indonesia.
Tujuan pendaftaran kapal adalah untuk mendapatkan kebangsaan kapal, yaitu
kebangsaan kapal Indonesia. Sebuah kapal dapat didaftarkan dan dapat dianggap
sebagai kapal Indonesia apabila kapal tersebut mempunyai bobot minimal 20 meter
kubik, didaftarkan menurut hukum Indonesia, dan kapal tersebut benar-benar
dimiliki oleh warga negara Indonesia.
3. Kewajiban dan hak pada pengangkutan laut
Dalam perjanjian pengangkutan laut, kewajiban pokok pengangkut adalah sebagai
berikut:
a. Menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari pelabuhan
pemuatan sampai di pelabuhan tujuan dengan selamat.
b. Merawat, memelihara, menjaga barang atau penumpang yang diangkut dengan
sebaik-baiknya.
c. Menyerahkan barang yang yang diangkut kepada penerima dengan sebaik-
baiknya dalam keadaan lengkap, utuh, tidak rusak, atau tidak terlambat.
d. Melepaskan dan menurunkan penumpang di pelabuhan tujuan dengan sebaik-
baiknya.
Kewajiban pokok ini diimbangi dengan hak atas biaya pengangkutan yang diterima
dari pengirim, atau penerima, atau penumpang. Apabila barang yang diangkut itu
tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab
mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab
mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya
seluruh atau sebagian atau rusaknya barang itu karena:
a. Suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi.
b. Sifat, keadaan, atau cacat barang itu sendiri.
c. Kesalahan atau kelalaian pengirim sendiri.
(Pasal 468 ayat 2 KUHD)
Pengangkut bertanggung jawab terhadap segala perbuatan mereka yang dipekerjakan
untuk kepentingan pengangkutan dan terhadap segala alat yang dipakai pada
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 47

pengangkutan (Pasal 468 ayat 3 KUHD). Pengangkut hanya bertanggung jawab


terhadap pencurian dan kehilangan emas, perak, permata, dan barang berharga
lainnya, uang dan surat berharga, serta terhadap kerusakan barang berharga
yang mudah rusak, apabila sifat dan harga barang-barang tersebut diberitahukan
kepadanya sebelum atau pada saat penerimaan (Pasal 469 KUHD).
Pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian yang disebabkan oleh luka
yang dialami oleh penumpang karena pengangkutan itu, kecuali jika terbukti bahwa
luka itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari
terjadinya, atau karena kesalahan penumpang sendiri. Apabila luka itu menyebabkan
kematian penumpang, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian yang
karenanya diderita oleh suami atau istri, anak dan orang tua penumpang itu. Apabila
penumpang diangkut berdasarkan perjanjian dengan pihak ke tiga, pengangkut
bertanggung jawab terhadap pihak ketiga maupun terhadap penumpang serta ahli
warisnya (Pasal 522 KUHD). Pengangkut juga bertanggung jawab terhadap segala
perbuatan orang yang dipekerjakan untuk kepentingan pengangkutan penumpang
dan terhadap segala alat yang dipakai pada pengangkutan penumpang tersebut
(Pasal 523 KUHD).
4. Pengangkutan barang
a. Arti pengangkut
Menurut pasal 466 dan 521 KUHD, pengangkut adalah barang siapa yang,
baik dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan,
maupun dengan perjanjian jenis lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang atau orang.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengangkut laut adalah orang yang
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang,
yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan.
b. Kewajiban dan tanggung jawab pengangkut
Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga
keselamatan barang atau orang yang diangkut mulai diterimanya barang dari
pengirim sampai diserahkan kepada penerima di tempat tujuan. Dari kewajiban
ini timbul tanggung jawab pengangkut, yaitu karena kewajiban pengangkut
adalah menjaga keselamatan barang atau orang yang diangkutnya, maka
segala hal yang mengganggu keselamatan barang atau orang yang merugikan
pengirim atau penerima, menjadi tanggung jawab pengangkut. Tanggung
jawab ini berarti bahwa pengangkut berkewajiban menanggung segala
kerugian yang timbul atas barang atau orang yang diangkutnya selama dalam
jangka waktu pengangkutan. Karena pihak lawan pengangkut dalam perjanjian
48 Hukum Pengangkutan Laut

pengangkutan adalah pengirim, maka pengangkut dalam hal ini bertanggung


jawab kepada pengirim.
c. Pembatasan tanggung jawab pengangkut
Pasal 470 KUHD menentukan bahwa pengangkut tidak bebas untuk membatasi
tanggung jawabnya. Dalam Pasal 468 KUHD, ditetapkan syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Pasal 470 ayat 1, melarang kepada pengangkut memperjanjikan tidak
bertanggung jawab sama sekali atau hanya bertanggung jawab sampai
batas harga tertentu, bagi kerugian yang disebabkan karena:
a) Kurang diusahakannya pemeliharaan, perlengkapan, dan
peranakbuahan terhadap kapal.
b) Kurang diusahakannya kemampuan kapal untuk menyelenggarakan
pengangkutan sesuai dengan perjanjian.
c) Salah memperlakukan atau salah memperlakukan penjagaan
terhadap barang yang diangkut
d) Jika terdapat janji-janji yang demikian, adalah batal.
2) Pasal 470 ayat 2 KUHD memperkenankan pengangkut memperjanjikan
bahwa dia tidak akan bertanggung jawab lebih dari suatu jumlah tertentu
untuk sepotong barang yang diangkutnya, kecuali kalau kepadanya telah
diberitahukan tentang sifat dan harga barang tersebut sebelum atau pada
waktu barang itu diterimanya.
3) Pasal 470 ayat 3 KUHD, memperkenankan pengangkut memperjanjikan
bahwa dia tidak akan memberikan suatu ganti rugi, apabila sifat dan
harga barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Ketentuan
ini ada hubungannnya dengan asas pendaftaran. Asas ini berisi, bila
pengangkut telah diberitahukan tentang sifat dan harga barang muatan,
maka pengangkut menerima tanggung jawab yang lebih besar terhadap
barang muatan tersebut. Akibatnya, dia berhak menuntut uang angkutan
yang lebih tinggi. Dari apa yang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengangkut tidak dilarang untuk memperjanjikan bahwa dia bebas
dari tanggung jawab terhadap:
a) Cacat tersembunyi pada badan atau mesin kapal, asal terbukti bahwa
pemeliharaan dan perawatannya cukup baik.
b) Kesalahan navigasi yang dilakukan oleh nakhoda atau awak kapal.
c) Kesalahan pengurusan dan perlakuan terhadap kapal.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 49

d. Pembatasan pemberian ganti rugi


Pembatasan jumlah ganti kerugian diatur dalam Pasal 474, 475, 476, dan 477
KUHD. Adapun ketentuan pembatasan jumlah ganti rugi tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Bila pengangkut adalah juga pengusaha kapal, maka kewajiban pengangkut
untuk mengganti kerugian terbatas pada jumlah maksimum 50 gulden
pada tiap-tiap meter kubik isi bersih dari kapalnya, ditambah dengan isi
ruangan mesin (Pasal 474 KUHD).
2) Bila pengangkut bukan pengusaha kapal, maka kewajiban pengangkut
untuk membayar ganti kerugian terbatas pada jumlah seperti yang
ditentukan oleh Pasal 474 KUHD, sekedar yang dapat dituntutkan
kepada pengusaha kapal, mengingat bahwa pengangkut yang bukan
pengusaha kapal itu hanya bertanggung jawab atas sebagian dari barang-
barang muatan yang diangkut dengan kapal pengusaha kapal. Jika ada
perselisihan antara pengangkut dengan si pengirim, maka si pengangkut
harus membuktikan sampai jumlah maksimum di mana dia berkewajiban
membayar ganti kerugian (Pasal 475 KUHD).
3) Kalau kerugian itu disebabkan karena tindakan kesengajaan atau kesalahan
pengangkut, maka penggantian kerugian itu tidak ada batasnya, artinya
seluruh kerugian harus diganti.
5. Pengangkutan orang
a. Pengangkutan orang pada umumnya
Definisi pengangkut yang dirumuskan dalam Pasal 521 KUHD adalah sama
dengan yang dirumuskan dalam Pasal 466 KUHD, yang isinya dapat diperinci
sebagai berikut:
1) Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk
menyelenggarakan pengangkutan penumpang (orang), seluruhnya atau
sebagian melalui lautan.
2) Pengangkut mendapat kapal dengan jalan mencarter kapal menurut
waktu, menurut perjalanan, atau menurut perjanjian lainnya.
3) Yang dimaksud dengan perjanjian lainnya ialah perjanjian pengangkutan
dengan kapal jurusan tetap dan dengan kapal pengangkut orang
perseorangan.
4) Pasal 466 atau 521 tidak menutup pintu bagi pengangkut yang
mempergunakan kapalnya sendiri.
b. Tanggung jawab pengangkut
Peraturan mengenai tanggung jawab pengangkut sebagaimana juga dalam
pengangkutan barang adalah sangat penting. Pengangkut orang tidak hanya
50 Hukum Pengangkutan Laut

berkewajiban untuk mengangkut penumpang sampai tempat tujuan, tetapi


harus berusaha semaksimal mungkin menyampaikan penumpang dengan
selamat sampai di tempat tujuan. Pengangkut berkewajiban untuk menjaga
keamanan penumpang mulai saat masuk kapal, sampai saat keluar kapal (Pasal
522 ayat 1 KUHD).
Kalau kewajiban itu tidak terpenuhi, maka pengangkut wajib mengganti kerugian
yang disebabkan karena luka yang didapat oleh penumpang karena pengangkutan
itu, kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa luka itu disebabkan oleh:
1) Suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindari.
2) Salahnya penumpang itu sendiri. (Pasal 522 ayat 2 KUHD).
Apabila luka itu menyebabkan matinya si penumpang, maka si pengangkut
wajib memberi ganti kerugian yang karenanya diderita oleh suami atau
istri, anak, dan orang tua si penumpang (Pasal 522 ayat 3 KUHD).
Apabila si penumpang itu diangkut berdasarkan suatu perjanjian dengan
pihak ke tiga, maka si pengangkut bertanggung jawab baik terhadap pihak
ketiga, maupun terhadap penumpang serta ahli warisnya (Pasal 522 ayat 4
KUHD).
Pengangkut juga bertanggung jawab terhadap:
1) Segala perbuatan buruhnya dalam pengangkutan.
2) Segala benda yang dipakainya untuk menyelenggarakan pengangkutan
(Pasal 523 KUHD).
c. Keterlambatan pengangkutan
Pengangkut bertanggung jawab pada kerugian yang timbul dari keterlambatan
pengangkutan, kecuali bila dia dapat membuktikan bahwa keterlambatan
pengangkutan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang selayaknya tidak
dapat dicegah atau dihindarkannya (Pasal 528 KUHD).
d. Bagasi
Barang-barang yang dibawa oleh penumpang disebut bagasi. Ada dua macan
bagasi, yaitu bagasi tangan dan bagasi kapal. Terhadap bagasi tangan pada
umumnya pengangkut tidak bertanggung jawab, karena penumpang dianggap
dapat menjaganya sendiri kecuali kalau untuk menyelamatkan barang itu
diperlukan usaha penyelamatan yang intensif (Pasal 533 ayat 2 KUHD).
Sebaliknya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
oleh buruhnya. Juga berdasar atas berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai
pengangkutan barang, pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap pencurian
atau kerugian dan kerusakan pada barang-barang bernilai seperti emas, perak,
berlian, intan, uang, dan lain-lainnya, bila penumpang membawanya sendiri
dalam kamarnya.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 51

H. Berakhirnya Pengangkutan Laut


Berakhirnya perjanjian pengangkutan laut tidak berbeda banyak dengan perjanjian
pengangkutan darat. Yang diartikan dengan “pelabuhan tujuan” atau “pelabuhan terakhir”
adalah dermaga, atau gudang penerima, atau gudang pengangkut, yaitu tempat di mana
muatan barang diserahkan dan diterima oleh penerima sesuai dengan persetujuan antara
pihak-pihak, atau tertera dalam surat muatan laut atau konosemen.
Dalam pengangkutan laut, perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak muatan
barang diserahkan kepada penerima di dermaga pelabuhan tujuan atau di gudang
penerima atau di gudang pengangkut. Apabila biaya pengangkutan belum dibayar oleh
pengirim, perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak muatan barang diserahkan dan
biaya pengangkutan dibayar di tempat yang ditentukan itu. Dalam perjanjian pengangkutan
penumpang, perjanjian berakhir sejak penumpang turun dari kapal laut di dermaga
pelabuhan yang tertera dalam tiket penumpang. Pengertian “sejak penumpang turun”
bukan berarti sejak penumpang keluar dari kapal, melainkan sejak ia menjejakkan kakinya
di dermaga pelabuhan itu. Apabila penumpang mendapat kecelakaan ketika turun dari kapl
laut, misalnya jatuh ketika sedang menuruni tangga kapal, maka ia berhak memperoleh
santunan dari Perum Asuransi Jasa Raharja karena masih dalam jangka waktu berlakunya
perjanjian pengangkutan laut.
Apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, perjanjian pengangkutan laut
berakhir sejak ganti kerugian itu dilunasi oleh pengangkut. Apabila biaya pengangkutan
belum dibayar oleh pengirim, maka perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak biaya
pengangkutan dan ganti kerugian dilunasi oleh masing-masing pihak di tempat yang
ditentukan itu, atau di tempat penerima.

Berakhirnya Pengangkutan Laut


Untuk mengetahui kapan dan di mana perjanjian pengangkutan berakhir, perlu dibedakan
dua keadaan, yaitu:
1. Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan
yang menjadi ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaya pengangkutan
ditempat tujuan yang disepakati;
2. Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan
yang dijadikan ukuran ialah pemberesan atau penyelesaian kewajiban membayar
ganti kerugian.
Untuk pengangkutan penumpang yang dijadikan ukuran berakhirnya perjanjian
pengangkutan ialah saat penumpang turun dari alat pengangkutan ditempat tujuan yang
disepakati. Sedangkan pemberesan ganti kerugian bukan menjadi ukuran berakhirnya
perjanjian, karena hal ini telah ditentukan dan diatur oleh Perum Asuransi Kerugian Jasa
52 Hukum Pengangkutan Laut

Raharja berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan


Wajib Kecelakaan beserta peraturan pelaksananya.
Pengangkutan adalah proses kerugian yang berawal dari tempat pemberangkatan
dan berakhir di tempat tujuan. Tempat pemberangkatan pada pengangkutan laut
disebut pelabuhan laut, tetapi berakhirnya perjanjian pengangkutan tidak sama dengan
berakhirnya pengangkutan. Berakhirnya pengangkutan tergantung pada isi perjanjian
dari surat muatan dan pengertian dari “tempat tujuan“. Hal ini tidak selalu identik dengan
pelabuhan laut (dalam pengangkutan laut).
Berakhirnya perjanjian pengangkutan laut tidak jauh berbeda dengan perjanjian
pengangkutan darat, yang diartikan dengan “pelabuhan tujuan“ atau “pelabuhan terakhir”
adalah dermaga atau gudang penerima atau gudang pengangkut, yaitu tempat di mana
muatan barang diserahkan dan diterima oleh penerima sesuai dengan persetujuan antara
pihak-pihak, atau tertera dalam surat muatan laut (konosemen).
Dalam pengangkutan laut, perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak muatan
barang diserahkan kepada penerima di dermaga pelabuhan tujuan atau digudang penerima
atau di gudang pengangkut. Apabila biaya pengangkutan belum dibayar oleh pengirim,
maka perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak muatan barang diserahkan dan biaya
pengangkutan dibayar ditempat yang ditentukan itu. Dalam perjanjian pengangkutan
penumpang, perjanjian berakhir sejak penumpang turun dari kapal laut di dermaga
pelabuhan yang tertera dalam tiket penumpang. Pengertian “sejak penumpang turun“
bukan berarti sejak penumpang keluar dari kapal, melainkan sejak ia menjejakkan kakinya
di dermaga pelabuhan itu. Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika turun dari
kapal laut, misalnya jatuh ketika menuruni tangga kapal, maka ia berhak memperoleh
santunan asuransi Jasa Raharja karena masih dalam jangka waktu berlakunya perjanjian
pengangkutan laut.
Apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, perjanjian pengangkutan laut
berakhir sejak ganti kerugian itu dilunasi oleh pengangkut. Apabila biaya pengangkutan
belum dibayar oleh pengirim, maka perjanjian pengangkutan laut berakhir sejak biaya
pengangkutan dan ganti kerugian dilunasi oleh masing-masing pihak ditempat yang
ditentukan itu atau ditempat penerima.

I. Hambatan dalam Pengangkutan


Beberapa hambatan yang masih dialami oleh pihak-pihak dalam pengangkutan, baik
pengirim, pengangkut ataupun penumpang, pada dasarnya terkait dengan beberapa hal,
antara lain:
1. Tidak disiplin waktu
Hal ini terkait dengan waktu keberangkatan alat pengangkutan, baik mengenai
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 53

pengangkutan muatan barang maupun pengangkutan penumpang yang telah


dijadwalkan sering kali tidak dipatuhi oleh pengangkut tanpa alasan yang yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Tidak disiplin muatan
Setiap alat pengangkutan telah ditetapkan kapasitas maksimumnya, baik pada
pengangkutan muatan barang maupun pengangkutan penumpang. Ketentuan ini
seringkali dilanggar oleh pengangkut yang tidak disiplin, di mana jumlah muatan
barang maupun muatan penumpang yang dimuat dalam alat pengangkutan melebihi
kapasitas maksimum yang telah ditetapkan menurut peraturan yang berlaku. Hal-
hal tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi para pihak yang
terkait dalam pengangkutan tersebut.
Bila dilihat dari sisi penumpang dapat menimbulkan kecelakaan atau kematian, bagi
pengirim barang dapat menimbulkan kerugian karena pengangkutan tidak selamat
dan bagi pengangkut dapat menimbulkan kerugian rusaknya atau musnahnya alat
pengangkutan itu, serta bagi negara dapat menimbulkan rusaknya fasilitas-fasilitas
yang telah dibangun dan disediakan untuk menunjang pengangkutan dan kerugian
modal yang ditanam pada perusahaan pengangkutan BUMN dan Perusahaan
Asuransi.
3. Tidak disiplin pungutan
Dalam pengangkutan telah ditetapkan biaya-biaya yang wajib dibayar menurut
ketentuan yang berlaku, baik menurut jenis maupun jumlah (tarif), tetapi ketentuan
tersebut tidak dipatuhi karena dalam pelaksanaannya seringkali muncul pungutan-
pungutan liar.
Bila hal ini tidak segera ditangani secara struktural dan dengan sistem yang baik,
maka dikhawatirkan akan menjadi beban masyarakat luas karena harga barang dan
biaya pengangkutan menjadi mahal.
4. Gangguan keamanan dan ketertiban
Gangguan keamanan yang sering dijumpai didalam pengangkutan laut, misalnya:
pencurian, sedangkan gangguan ketertiban yang sering dijumpai pada pengangkutan
laut, misalnya: penjualan tiket penumpang yang dikuasai oleh oknum yang tidak sah
bahkan sampai tingkat penipuan harga tiket penumpang.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas maka perlu dilakukan
penertiban tingkah laku aparat atau petugas yang menangani masalah pengangkutan
dan dipertegas sanksi hukum bagi pelanggar hukum pengangkutan dan untuk
melindungi masyarakat selaku pemakai jasa pengangkutan, maka perlu diadakan
penertiban tempat dan cara penjualan tiket penumpang dan diadakan petugas yang
bertugas untuk menangani dan mengatasi pelanggaran yang merugikan masyarakat.
54 Hukum Pengangkutan Laut

J. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut


Dalam rangka untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, pengangkut
berkeinginan untuk membatasi tanggung jawabnya. Pembatasan tanggung jawab ini dapat
mengakibatkan kerugian bagi pengirim barang maupun penumpang yang merupakan
pihak lawannya dalam perjanjian pengangkutan. Oleh karena itu untuk melindungi
kepentingan umum maka perlu diadakan suatu pembagian hak dan kewajiban yang adil
antara pihak pengangkut dan pihak pengirim barang dan/atau penumpang dalam perjanjian
pengangkutan. Berdasarkan hal tersebut maka timbul suatu perjanjian Internasional yang
dikenal dengan Hague Rules tahun 1922 yang diwujudkan dalam Pasal 470 KUHD untuk
pengangkutan barang dan Pasal 524 KUHD untuk pengangkutan orang.
Pada intinya kedua pasal tersebut melarang pengangkut untuk memperjanjikan
bahwa ia tidak bertanggung jawab sama sekali atau hanya bertanggung jawab terbatas pada
suatu jumlah yang ditetapkan untuk segala kerugian yang disebabkan oleh:
1. Mengenai alat pengangkutannya (kapal), di mana tidak cukup pemeliharaannya,
perlengkapannya dan peranakbuahan;
2. Mengenai laik laut kapalnya, kurang diusahakan untuk melakukan pengangkutan
menyeberang laut sesuai dengan perjanjian;
3. Mengenai pengawasan dalam kapal tidak dilakukan secara baik.
Janji-janji tersebut di atas dinyatakan batal apabila diperjanjikan oleh pengangkut.
Pengangkut bebas untuk memperjanjikan suatu pembatasan-pembatasan tertentu
diluar dari yang diatur dalam Pasal 524 KUHD.
Apabila ternyata bahwa kerugian itu disebabkan oleh suatu cacat atau cara mengatur
alat pengangkutan, maka adanya janji-janji tersebut untuk membatasi tanggung jawab
pengangkut dan hal ini tidak membebaskan pengangkut dari beban pembuktian untuk
membuktikan bahwa:
1. Mengenai alat pengangkutannya, di mana telah cukup dilakukan pemeliharaan,
perlengkapan atau peranakbuahan sebagaimana mestinya;
2. Mengenai kapalnya: sanggup melakukan pengangkutan melalui laut sebagaimana
yang telah ditentukan dalam perjanjian. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 524
huruf a KUHD dan ketentuan ini tidak boleh disimpangi dengan perjanjian-
perjanjian.
Jumlah ganti kerugian bagi pengangkut, jika ada penumpang yang luka atau mati
dengan jumlah yang cukup besar, menempatkan pengangkut dalam posisi yang sulit, hal
tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
Apabila si pengangkut adalah pengusaha kapal (reder), maka jumlah ganti kerugian
dibatasi atas dasar ketentuan Pasal 474 KUHD, yaitu lima puluh Gulden untuk tiap-tiap
meter kubik isi bersih kapal yang bersangkutan.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 55

Dalam Pasal 525 KUHD dinyatakan bahwa apabila kapal tersebut mempergunakan
alat penggerak (mesin), maka jumlah tersebut ditambah dengan isi ruangan mesin.
Dalam Pasal 526 KUHD dinyatakan bahwa apabila si pengangkut bukan pengusaha
kapal, maka tuntutan ganti kerugian kepada si pengangkut dibatasi sampai jumlah dan
dengan mana pengangkut dapat menuntut pengusaha kapal. Jika timbul perselisihan, maka
si pengangkut diwajibkan membuktikan sampai jumlah berapa tanggung jawabnya yang
telah dibatasi.
Dalam Pasal 527 KUHD dinyatakan bahwa apabila luka atau kematian tersebut
disebabkan karena kesengajaan atau kesalahan kasar (grove schuld) dari pengangkut
sendiri, maka pengangkut dapat dituntut ganti kerugian sepenuhnya.
Pasal 525 KUHD dan Pasal 526 KUHD membedakan kedudukan pengangkut yang
merangkap menjadi pengusaha kapal dan pengangkut yang bukan pengusaha kapal. Perlu
ketahui bahwa pengusaha kapal adalah selalu pengangkut, akibatnya ia selalu bertanggung
jawab terhadap semua penumpang yang diangkut dalam kapal sedangkan pengangkut
yang bukan pengusaha kapal adalah pengangkut yang tidak lebih daripada sebagian atau
beberapa bagian dari penumpang kapal. Dipandang dari sudut pengusaha kapal, maka
pengangkut yang merupakan pengusaha kapal menguasai kapal secara penuh kapal,
sedangkan pengangkut yang bukan pengusaha kapal tidak menguasai kapal.
Dari pembatasan tanggung jawab pengangkut yang bukan pengusaha kapal tidak
digantungkan pada kemampuan kapal untuk mengangkut, tetapi dihubungkan dengan
jumlah tuntutan yang dapat diajukan kepada pengusaha kapal.
Dari ketentuan Pasal 525 KUHD dan Pasal 526 KUHD tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa pembatasan ganti kerugian tidak berlaku pada tiap-tiap peristiwa.
Tetapi terhadap semua penumpang yang diangkut dalam waktu yang sama. Hal ini menjadi
penting bila selama dalam perjalanan telah terjadi beberapa peristiwa yang menimbulkan
kerugian dan tiap-tiap kali mengenai penumpang yang lain. Keseluruhan kerugian yang
harus dibebankan kepada pengangkut dibatasi dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-
undang, di mana ketentuan tersebut dapat memenuhi tujuannya, hanya bila pengangkut
dapat memperhitungkan risikonya.
56 Hukum Pengangkutan Laut
Bab HAL-HAL DALAM PENGANGKUTAN LAUT

A. Pencarteran Kapal
Pencarteran kapal adalah penggunaan atau pengoperasian kapal milik orang lain yang
sudah diperlengkapi dengan alat perlengkapan kapal besarta pelautnya, yang siap untuk
menjalankan kapal sesuai dengan instruksi pencarter. Sedangkan carter kapal itu sendiri
mempunyai arti suatu perjanjian timbal balik antara tercarter denga pencarter, dengan
mana tercarter mengikatkan diri untuk membayar uang carter.
1. Carter menurut waktu
adalah suatu perjanjian timbal balik, dalam mana pihak tercarter mengikatkan
diri untuk dalam jangka waktu tertentu menyediakan sebagian atau sebuah atau
beberapa buah kapal tertentu pada pihak pencarter untuk dioperasikannya, dengan
pembayaran suatu jumlah uang carter, yang dihitung menurut waktu lamanya
pengoperasian (Pasal 453 ayat 2 KUHD).
2. Carter menurut perjalanan adalah suatu perjanjian timbal balik, dalam mana
pihak tercarter mengikatkan diri untuk menyediakan sebagian ruang atau sebuah
atau beberapa buah kapal tertentu kepada pihak pencarter, dengan maksud untuk
dipergunakan mengangkut orang atau barang dalam suatu perjalanan atau lebih,
dengan pembayaran sejumlah uang carter, yang dihitung berdasarkan beberapa kali
perjalanan (trayek) kapal itu dipergunakan Pasal 453 ayat 3 KUHD).
Sedangkan pihak tercarter berkewajiban memelihara kapalnya dengan baik, dan
memperlengkapi dengan alat perlengkapan dan pelaut yang baik ( Pasal 460 KUHD).

B. Hukum Kerugian Laut


1. Pengertian kerugian laut
Yang dimaksud dengan kerugian laut adalah kerugian-kerugian akibat adanya
tubrukan kapal, kapal karam, kapal kandas, penemuan barang di laut dan avarai.
2. Pengertian tentang tubrukan kapal
Pengertian mengenai tubrukan kapal menurut Pasal 534 ayat 2 KUHD adalah yang
dinamakan tubrukan kapal adalah tabrakan atau penyentuhan antara kapal-kapal
satu dengan yang lain.

57
58 Hukum Pengangkutan Laut

3. Pengertian Avarai
Definisi avarai terdapat dalam Pasal 696 KUHD. avarai adalah segala biaya luar
biasa yang dikeluarkan demi kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang
dimuatnya, baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri, serta
pula segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, selama
waktu, yang dalam bagian ketiga dari bab ke sembilan ditetapkan sebagai saat mulai
berlaku dan berakhirnya risiko, kesemuanya itu termasuk avarai.

C. Bongkar Muat
Kapal dagang dalam pelayaran yang singgah di pelabuhan akan memuat atau membongkar
muatannya. Kegiatan pembongkaran dan pemuatan barang dari dan ke kapal dagang
disebut kegiatan bongkar muat.
1. Pengertian kegiatan bongkar muat
Kegiatan bongkar muat adalah serangkaian kegiatan untuk melaksanakan bongkar
muat peti kemas dan barang-barang yang tidak dimasukkan dalam peti kemas
(uncontainerized cargo) dari dan ke kapal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tujuan adanya bongkar muat adalah untuk memberi kemudahan kepada masyarakat
yang melakukan usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
2. Definisi perusahaan bongkar muat
Kegiatan bongkar muat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi yang didirikan khusus untuk itu dan mempunyai
izin usaha. Jasa pengurusan bongkar muat barang dari dan ke kapal dilaksanakan
oleh perusahaan bongkar muat (PBM). Fungsi PBM adalah memindahkan barang
dari moda transportasi laut ke moda transportasi darat dan sebaliknya.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Nomor 14 tahun 2002, Pasal 1 angka 14 yang
dimaksud perusahaan bongkar muat (PBM) adalah badan hukum Indonesia yang
khusus didirikan untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar
muat barang dari dan ke kapal. Perusahaan bongkar muat merupakan pengusaha
sendiri yang melakukan tugas pemuatan dan pembongkaran muatan dari dan ke
kapal. Untuk melakukan tugasnya itu perusahaan bongkar muat mempunyai anak
buah sendiri yang disebut dengan tenaga kerja bongkar muat (TKBM). Tenaga kerja
bongkar muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan
setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan.
3. Dasar hukum berdirinya PBM
Dasar hukum berdirinya PBM adalah sebagai berikut:
a. UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 31-34 tentang “Usaha Jasa
Terkait dengan Angkutan di Perairan”
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 59

b. PP No. 82 tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan, Pasal 43-44 tentang “Jenis
Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Laut”
c. INPRES No. IV tahun 1985 tentang “Kebijakan Kelancaran Arus Barang untuk
Menunjang Kegiatan Ekonomi”
d. KEPMENHUB RI No. KP/6/AL/Phb.89 tentang “Penetapan Berdirinya
APBMI”
e. KEPMENHUB RI No. 14 tahun 2002 tentang “Penyelenggaraan dan
Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan Ke Kapal.
4. Izin usaha PBM
Perusahaan bongkar muat untuk menjalankan usahanya wajib mempunyai izin
usaha yang dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi setempat atas nama Menteri
Perhubungan. Izin ini pada dasarnya ada dua jenis, yaitu:
a. izin usaha tetap
Izin usaha tetap diberikan sesuai dengan jangka waktu pendirian perusahaan.
b. izin usaha sementara
Izin usaha sementara diberikan untuk jangka waktu satu tahun.
Pertimbangan pemberian izin kegiatan bongkar muat diberikan oleh gubernur
provinsi setempat atas nama menteri perhubungan sebagai pelaksanaan tugas
dekonsentrasi dengan pertimbangan:
1. Rekomendasi dari asosiasi bongkar muat dan administrator pelabuhan atau
kepala kantor pelabuhan setempat.
2. Keseimbangan volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah perusahaan
bongkar muat yang ada di pelabuhan.
3. Kesempatan dan kemampuan serta perkembangan usaha bongkar muat yang
mengajukan permohonan.
PBM pemegang izin usaha, sesuai persyaratan, dapat melakukan kegiatan bongkar
muat di semua pelabuhan dalam provinsi yang bersangkutan.
5. Ruang lingkup kegiatan perusahaan bongkar muat
Perusahaan bongkar muat (PBM) adalah perusahaan yang secara khusus berusaha
di bidang bongkar muat dari dan ke kapal, baik dari dan ke gudang Lini I maupun
langsung ke alat angkutan yang meliputi kegiatan:
a. Stevedoring
Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga
atau tongkang atau truk atau memuat barang dari dermaga atau tongkang
atau truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan
menggunakan derek kapal atau derek darat.
b. Cargodoring
Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali atau jala-jala (ex
60 Hukum Pengangkutan Laut

tackle) di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang atau lapangan


penumpukan selanjutnya menyusun di gudang atau lapangan penumpukan
atau sebaliknya.
c. Receiving/delivery
Receiving/delivery adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan atau
tempat penumpukan di gudang atau lapangan penumpukan dan menyerahkan
sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gidang atau lapangan penumpukan
atau sebaliknya.

Lingkup Kegiatan Perusahaan Bongkar Muat

Gambar 4.1 Lingkup Kehiatan Bongkar Muat

6. Alat-alat bongkar muat


Peralatan bongkar muat adalah alat-alat pokok penunjang pekerjaan bongkar muat
yang meliputi:
a. Stevedoring
1) Jala-jala lambung kapal (ship-side net)
2) Tali baja (wire sling)
3) Tali rami manila (rope sling)
4) Jala-jala baja (wire net)
5) Jala-jala tali manila (rope net)
6) Mesin pengangkat barang (foklift)
b. Cargodoring
1) Gerobak dorong
2) Palet
3) Mesin pengangkat barang (forklift)
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 61

c. Receiving/delivery
1) Gerobak dorong
2) Palet
3) Mesin pengangkat barang (forklift)
7. Penunjukan PBM
Sesuai dengan Mapel 1439 tanggal 21 April 1986, penunjukan PBM diatur sebagai berikut:
a. Untuk barang diangkut kapal liner/nusantara/samudera dan lokal. Penunjukan
PBM dilakukan oleh perusahaan pelayaran.
b. Untuk kapal time charter, penunjukan dilakukan oleh pemilik barang.
c. Untuk kapal voyage charter, penunjukan PBM oleh perusahaan pelayaran,
kecuali ada perjanjian lain sesuai kontraknya.
d. Untuk kapal dalam kontrak charter apa pun di mana ada klausul demurrage dan
dispatch, penunjukan oleh pemilik barang yang menanggung demurrage.
e. Untuk kelancaran pelaksanaan bongkar muat, bila terjadi perbedaan pendapat
dalam hal penunjukan PBM antara pemilik barang dan perusahaan pelayaran
maupun antar para pencharter maka administrator palabuhan (Adpel) setempat
menetapkan penunjukan PBM.
8. Kewajiban PBM
Selama melakukan usahanya perusahaan bongkar muat memiliki kewajiban yang
harus dipenuhi. Kewajiban tersebut adalah sebagai berikut:
a. melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin usaha dalam
keputusan ini, dan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang penyelenggaraan
kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal;
b. memenuhi batas minimal kecepatan bongkar muat barang yang telah ditetapkan
pada setiap pelabuhan;
c. mengenakan/memberlakukan tarif yang berlaku sesuai peraturan;
d. meningkatkan keterampilan kerja;
e. bertanggung jawab terhadap barang selama berada di bawah pengawasannya;
f. bertanggung jawab kepada kerusakan alat bongkar muat (gear) kapal yang
disebabkan oleh kesalahan, kelalaian orang-orang yang bekerja dibawah
pengawasannya;
g. menyampaikan laporan kegiatan usahanya secara berkala kepada:
1) Administrator pelabuhan setempat berupa laporan harian, bulanan, dan
tahunan;
2) Direktur Jenderal Perhubungan Laut, dalam hal ini adalah Kepala
Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kakanwilhubla setempat
berupa laporan bulanan dan tahunan;
h. mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
62 Hukum Pengangkutan Laut

9. Pelaksana bongkar muat


Dalam melakukan kegiatan pemuatan dan pembongkaran muatan dari dan ke kapal
pada perusahaan bongkar muat dilaksanakan oleh:
a. Tenaga kerja bongkar muat (TKBM)
Tenaga kerja bongkar muat merupakan tenaga kerja harian lepas yang
dilindungi oleh Undang Undang Tenaga Kerja dan KM Nomor 25 tahun
2002 tentang Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat
Barang Dari Dan Ke Kapal di Pelabuhan.
Tugas TKBM meliputi beberapa bidang antara lain sebagai berikut:
1. Bidang operasional
Bidang operasional bertanggung jawab pada Adpel selaku wakil pemerintah
di pelabuhan (Pembina).
2. Bidang Usaha Ekonomi
Bidang usaha ekonomi dipertanggungjawabkan pada Rapat Anggota Tahunan
yang dipimpin oleh Dinas Koperasi Kota sebagai Pembina.
3. Bidang Operasional
Bidang operasional meliputi diantaranya:
a) mengelompokkan regu-regu kerja yang dikepalai oleh seorang kepala
pekerja;
b) mengatur gilir kerja, diputar dengan system rolling dari urutan ke atas
sampai dengan ke bawah;
c) mengadakan pembinaan baik pengawasan kerja dan mengadakan
pendidikan dan latihan kerja meliputi pendidikan operator dan kepala
regu kerja yang disesuaikan dengan anggaran yang ada. Semua beban
biaya diambil dari manajemen biaya yang berasal dari Keputusan Menteri
Nomor 25 Tahun 20022002 tentang Pedoman Dasar Perhitungan Tarif
Pelayanan Jasa Bongkar Muat Barang Dari Dan Ke Kapal di Pelabuhan
dan kesepakatan bersama antara Koperasi TKBM dan DPW APBMI

b. Supervisi
Tenaga supervisi bongkar muat adalah tenaga pengawas bongkar muat yang
disediakan oleh perusahaan bongkar muat (PBM). Tenaga supervisi bongkar
muat terdiri dari:
1. Stevedoring
a) Stevedoring adalah pelaksana penyusun rencana dan pengendalian
kegiatan bongkar muat di atas kapal.
b) Chief tally clerk adalah penyusun rencana pelaksana dan pengendali
perhitungan fisik, pencatatan dan survei kondisi barang pada setiap
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 63

pergerakan bongkar muat dan dokumentasi serta membuat laporan


secara periodik.
c) Foreman adalah pelaksana dan pengendali kegiatan operasional
bongkar muat barang dari dan ke kapal sampai ke tempat
penumpukan barang dan sebaliknya serta membuat laporan periodik
hasil kegiatan bongkar muat.
d) Tally clerk adalah pelaksana yang melakukan kegiatan perhitungan
pencatatan jumlah, merek, dan kondisi setiap gerakan barang
berdasarkan dokumen serta membuat laporan.
e) Mistry adalah pelaksana perbaikan kemasan barang dalam kegiatan
stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery.
f) Watchman adalah pelaksana keamanan barang pada kegiatan
stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery.
2. Cargodoring
a) Quay supervisor adalah petugas pengendali kegiatan operasional
bongkar muat barang di dermaga dan mengawasi kondisi barang
sampai ke tempat penimbunan atau sebaliknya.
b) Tally clerk adalah pelaksana yang melakukan kegiatan perhitungan
pencatatan jumlah, merek, dan kondisi setiap gerakan barang
berdasarkan dokumen serta membuat laporan.
c) Watchman adalah pelaksana keamanan barang pada kegiatan
stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery.
3. Receiving/delivery
a) Tally clerk adalah pelaksana yang melakukan kegiatan perhitungan
pencatatan jumlah, merek, dan kondisi setiap gerakan barang
berdasarkan dokumen serta membuat laporan.
b) Mistry adalah pelaksana perbaikan kemasan barang dalam kegiatan
stevedoring, cargodoring dan receiving/delivery.
c) Watchman adalah pelaksana keamanan barang pada kegiatan
stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery.
10. Batas tanggung jawab perusahaan bongkar muat
Dalam pelaksanaan bongkar/muat barang general Cargo di pelabuhan, maka ada
3 unsur yang saling terkait, yaitu:
a. Dermaga
b. Gudang
c. Lapangan penumpukan
64 Hukum Pengangkutan Laut

Bila mengerjakan kapal dalam bongkar/muat barang, maka perusahaan


bongkar muat hanya bertindak sebagai ship-operator saja. Batas tanggung
jawabnya akan meliputi:
a. Stevedoring
b. Cargodoring
c. Receiving/delivery
Bila perusahaan bongkar muat mempunyai Gudang Lini I, maka perusahaan
bongkar muat akan bertindak sebagai terminal operator. Batas tanggung
jawabnya akan meliputi:
a. Stevedoring
b. Cargodoring
c. Barang di dalam gudang
d. Receiving/delivery
Gambaran sesuai Keputusan Dirjen. Perhubungan Laut Nomor: AL. 62/1/1/-86
sebagai berikut:

Gambar 4.2

Keterangan:
I. Barang masuk ruang penumpukan
A : Selama barang ada di kapal, tanggung jawab atas barang ada pada
pelayaran.
B, C, E : Selama bongkar/muat barang (stevedoring, cargodoring, dan delivery/
receiving, termasuk shifting) tanggung jawab atas barang pada perusahaan
bongkar muat.
II. Bongkar muat langsung
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 65

A : Ke/dari truk selama stevedoring tanggung jawab perusahaan bongkar


muat (PBM).
B : Ke/dari tongkang kegiatan stevedoring tanggung jawab pada perusahaan
bongkar muat (PBM).
C : Reede transport tanggung jawab pada per usahaan bongkar muat (PBM).
11. Dokumen bongkar muat
Perusahaan bongkar muat (PBM) dalam melakukan kegiatannya memerlukan
beberapa dokumen. Secara garis besar, dokumen tersebut dipilihlah menjadi dua
macam, yaitu:
a. Dokumen pemuatan barang
1) Bill of Lading
Bill of lading yang disebut juga sebagai konosemen, bagi pengangkut
merupakan kontrak pengangkutan sekaligus sebagai bukti tanda
terima barang. Bill of Lading juga merupakan tanda hak milik yang
memungkinkan barang bisa ditransfer dari shipper ke consignee atau
dipindahtangankan ke pihak ketiga. Bill of Lading dibuat oleh perusahaan
pelayaran pengangkut atau agennya berdasarkan shipping instruction yang
diberikan oleh pengirim (shipper). Apabila nama kapal dituliskan dalam
konosemen, berarti pengirim yang menentukan kapalnya. Sedangkan jika
nama kapal tidak dicantumkan dalam konosemen maka forwarder yang
akan menentukan kapalnya.
2) Cargo List (loading list)
Cargo list adalah daftar semua barang yang dimuat dalam kapal. Loading
list dibuat oleh perusahaan pelayaran atau agennya dan diserahkan oleh
semua pihak yang terkait dengan pemuatan, yaitu kapal, stevedore,
gudang, dan pihak-pihak lain.
3) Tally Muat
Untuk semua barang yang dimuat di atas kapal dicatat dalam Tally Sheet.
Tally sheet juga dibuat untuk mencatat semua barang yang dibongkar.
Tally sheet selain ditandatangani oleh petugas yang mencatat juga harus
dicountersigned oleh petugas kapal mungkin ada ketidaksesuaian (dispute)
dari muatan yang ada.
4) Mate’s Receipt
Mate’s receipt adalah tanda terima barang yang akan dimuat ke kapal.
Mate’s receipt dibuat oleh agen pelayaran dan ditandatangani oleh mualim
kapal. Jumlah koli dan kondisi barang disesuaikan dengan data yang
tercantum pada mate’s receipt. Jika terjadi selisih dan kerusakan pada
barang kemungkinan tercatat pada konosemen.
66 Hukum Pengangkutan Laut

5) Stowage Plan
Stowage plan adalah gambar tata letak dan susunan semua barang yang
telah dimuat di atas kapal. Stowage plan dibuat oleh petugas kapal atau
petugas tally.
b. Dokumen pembongkaran barang
1) Pemberitahuan kepada Bea Cukai
Sebelum kedatangan kapal, agen pelayaran memberi tahu kepada bea
cukai tentang rencana kedatangan kapal. Selambatnya dalam tempo 24
jam setelah kapal tiba, harus diserahkan kepada bea cukai dokumen-
dokumen berikut:
(a) Cargo manifest dari semua barang yang akan diimpor/dibongkar.
(b) Cargo manifest dari semua barang yang mempunyai tujuan di luar
Indonesia.
(c) Daftar penumpang dan ABK
(d) Daftar pembekalan.
(e) Daftar senjata api dan obat-obat terlarang.
2) Landing Order
Apabila terjadi perubahan bongkar muat dari suatu partai barang, agen
pelayaran akan mengeluarkan landing order. Landing order adalah
pemberitahuan dari agen pelayaran kepada kapal tentang adanya
perubahan pelabuhan bongkar satu partai barang dengan menyebutkan
pelabuhan bongkar sebelumnya dan pelabuhan bongkar seharusnya.
3) Tally Bongkar
Pada waktu barang dibongkar diadakan pencatatan jumlah colli dan kondisinya
sebagaimana terlihat dan hasilnya dicatat dalam tally sheet bongkar. Tally Sheet
harus di-countersign oleh nahkoda atau mualim yang berwenang.
4) Outturn Report
Outturn report adalah daftar dari semua barang dengan mencatat jumlah
colli dan kondisinya barang itu pada waktu dibongkar. Barang yang kurang
jumlahnya atau rusak diberi tanda (remark) pada outturn report.
5) Short and Overlanded List
Khusus barang yang mengalami kekurangan atau kelebihan dibuat daftar
sendiri yang disebut short and overlanded list.
6) Damaged Cargo List
Khusus untuk barang yang mengalami kerusakan dibuatkan daftar
tersendiri berupa damaged cargo list. Untuk barang-barang yang
mengalami kerusakan dalam damaged cargo list diberi penjelasan rinci
mengenai di mana kerusakan terjadi, sebelum dibongkar atau selama
pembongkaran. Dijelaskan pula sejauh mana kerusakan yang dialami.
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 67

7) Cargo Traces
Dengan memperhatikan short and overlanded list, agen pelayaran mengeluarkan
tracer. Tracer merupakan pemberitahuan kepada semua pihak pelabuhan muat
dan bongkar tentang adanya kekurangan atau kelebihan barang yang terjadi
di pelabuhan pengirim. Tracer juga menanyakan apakah barang yang kurang
tersebut ada dipelabuhan penerima tracer atau sebaliknya.
Pelabuhan penerima tracer akan menyelidiki isi tracer dan segera menyampaikan
hasil penyelidikannya ke pengirim. Apabila tracer pertama tidak dijawab,
setelah 15 hari akan disusul tracer berikutnya, dan demikian seterusnya sampai
mendapat jawaban. Penerima tracer memiliki kewajiban untuk segera meneliti
danmenjawab tracer yang diterima mengingat akan timbulnya klaim dari
pemilik barang.
8) Cargo Manifest
Cargo manifest adalah keterangan rinci mengenai barang-barang yang diangkut
oleh kapal. Jadi ini merupakan daftar barang dari semua Bill of Lading dari
barang yang diangkut kapal dan dijabrakan secara rinci.
9) Special Cargo List
Special cargo list adalah daftar dari semua barang khusus yang dimuat oleh
kapal, misalnya barang berbahaya, barang berharga, barang berat, dan barang
yang membutuhkan pengawasan khusus termasuk refrigerated cargo.
10) Dangerous Cargo List
Dangerous cargo list adalah daftar muatan barang berbahaya, baik yang
ditetapkan oleh IMO ataupun yang ditetapkan oleh yang berwenang di
pelabuhan.
11) Hatch List
Setiap kapal mempunyai muatan sendiri. Hatch list merinci muatanyang ada
pada tiap palka. Hatch list dibuat oleh pihak kapal.
12) Parcel list
Karena sering ada barang kiriman yang bukan barang dagangan dikirim melalui
kapal laut sebagai barang titipan, misalnya personal effect, maka barang tersebut
didaftar dalam suatu daftar yang disebut sebagai parcel list.

D. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Bongkar Muat dengan Pihak-Pihak


Lain yang Terkait
Dalam melakukan pelayanan, perusahaan bongkar muat harus bekerja sama dengan
berbagai pihak dalam usaha memperlancar arus lalu lintas perdagangan nasional maupun
internasional. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah:
68 Hukum Pengangkutan Laut

1. Perusahaan pelayaran
Perusahaan pelayaran adalah pihak yang mengusahakan tersedianya angkutan laut/
kapal guna kelancaran arus lalu lintas barang. Ruang lingkup usaha pelayaran adalah
sebagai berikut:
a. Usaha pokok pelayaran berupa penyelenggaraan angkutan barang dengan
mempergunakan kapal.
b. Usaha keagenan yang merupakan usaha pelayanan atas kapal orang lain.
c. Usaha penunjang kegiatan pelayaran.
Dalam pengangkutan dan pembongkaran barang oleh kapal, terdapat beberapa
ketentuan tanggung jawab biaya, yaitu:
a. Liner term
pihak yang menanggung biaya adalah perusahaan pelayaran atau pemilik kapal.
Perusahaan pelayaran bertanggung jawab dari pelabuhan ke pelabuhan (from
tackle to tackle) terhadap:
1) Keselamatan barang
Kerusakan atau kehilangan barang yang terjadi sejak tackle kapal di
pelabuhan muat sampai dengan tackle kapal di pelabuhan bongkar
menjadi tanggung jawab pelayaran.
2) Biaya bongkar muat
Pelayaran bertanggung jawab terhadap biaya board-stevedoring baik pada
waktu muat maupun pada waktu bongkar. Biaya cargodoring menjadi
tanggung jawab pemilik barang.
b. FIOS term
FIOS ( Free In Out Ship) term diberlakukan bila kapal disewa oleh penyewa dan
semua biaya bongkar/muat barang akan dibayar oleh penyewa kapal, terhadap:
1) Keselamatan barang
Pelayaran hanya bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
barang sejak barang berada di atas kapal di pelabuhan muat sampai dengan
barang berada di atas kapal sebelum dibongkar di pelabuhan bongkar.
2) Biaya bongkar muat
Pelayaran hanya menyediakan ruang kapal, sedangkan biaya bongkar
muat menjadi tanggung jawab pencharter atau pemilik barang. Terdapat
kombinasi antara liner dan FIOS dengan kemungkinan Liner In/Free Out
(LIFO) yang berarti memuat barang dilakukan secara liner dan bongkar
barang dilakukan secara FIOS. Free In/Liner Out (FILO) merupakan
kebalikan dari kombinasi LIFO.
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 69

2. Perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut


Usaha ekspedisi muatan kapal laut adalah usaha mengurus dokumen dan
pelaksanaan pekerjaan yang menyangkut penerimaan dan penyerahan muatan yang
diangkut melalui lautan, untuk diserahkan kepada atau diterima dari perusahaan
pelayaran bagi kepentingan pemilik barang. Di pelabuhan muat, EMKL akan
membantu pemilik barang membukukan muatan pada agen pelayaran, mengurus
dokumen dengan Bea Cukai dan instansi terkait lainnya dan membawa barang
dari gudang pemilik barang ke gudang di dalam pelabuhan. Di pelabuhan bongkar,
EMKL membantu pemilik barang mengurus pemasukan barang dengan Bea Cukai,
menerima muatan dari pelayaran dan membawa barang dari pelabuhan ke gudang
pemilik barang.
3. Pemilik barang
Pemilik barang adalah pihak yang mengusahakan tersedianya barang atas keinginan
atau permintaan dari pihak-pihak tertentu setelah diadakannya transaksi jual beli
barang tersebut (ekspor-impor).
Sampai sejauh mana hubungan antara pihak-pihak tersebut dengan PBM akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Antara ekspeditur dengan pemilik barang baru timbul perikatan setelah
dibuatnya suatu perjanjian perantaraan dari pemilik barang kepada perusahaan
ekspedisi untuk mengurus dan menyelesaikan segala-segala masalah yang
berhubungan dengan pengangkutan barang-barang miliknya. Dengan adanya
perjanjian keperantaraan tersebut, maka perusahaan ekspedisi mendapat
jaminan dan kedudukan yang kuat dan mutlak sebagai wakil dari pemilik
barang dan atas segala pekerjaan yang dilakukannya.
Pemilik barang dapat dengan langsung mengurus segala keperluan yang
berhubungan dengan pengangkutan barang-barang miliknya. Namun dalam
kenyataannya, pemilik barang selalu menggunakan jasa perusahaan ekspedisi
untuk mengurus segala keperluan pengiriman ataupun penerimaan barang-
barang miliknya. Hal ini dikarenakan kebanyakan pengirim barang tidak selalu
atau tidak seketika megetahui pengangkut manakah yang dianggap terbaik
dan paling murah, disamping itu, umumnya pemilik barang enggan berurusan
dengan Bea Cukai dan cenderung menyerahkannya kepada yang ahli.
b. Setelah ditutupnya perjanjian perantaraan antara perusahaan ekspedisi
dengan importer/eksportir, maka tindakan selanjutnya ekspeditur melakukan
pekerjaan atau hubungan hukum dengan pihak lain, yaitu salah satunya adalah
perusahaan bongkar muat sebagai pihak yang melakukan pembongkaran dan
pemuatan barang dari dan ke kapal.
70 Hukum Pengangkutan Laut

c. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengangkut adalah perjanjian


pengangkutan. Apabila ekspeditur membuat perjanjian pengangkutan dengan
pengangkut membawa nama pemberi kuasa (makelar), maka jika terjadi
wanprestasi yang dilakukan pengangkut, pemilik barang dapat langsung
menggugat pengangkut atas dasar wanprestasi karena ekspeditur bukan
merupakan pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan. Namun jika
ekspeditur dalam membuat perjanjian pengangkutan memakai nama sendiri,
maka jika terjadi wanprestasi yang dilakukan pengangkut, ekspeditur dapat
langsung menuntut pengangkut atas dasar wanprestasi karena ekspeditur
adalah pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan.
d. Perusahaan bongkar muat merupakan perusahaan yang berdiri sendiri atau
dapat juga merupakan bagian dari perusahaan pelayaran (pengangkut). Apabila
perusahaan bongkar muat merupakan bagian dari perusahaan pelayaran
(pengangkut), maka dari segi hukum pengangkutan perbuatan bongkar
muat adalah perbuatan pengangkut dalam menyelenggarakan pengangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 321 ayat (2) KUHD, segala perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pengusaha bongkar muat dan pekerjanya menjadi
tanggung jawab pengangkut. Tetapi apabila ia merupakan perusahaan yang
berdiri sendiri, maka perbuatannya itu dapat sebagai pelaksana pemberian
kuasa dari pengirim dalam hal pemuatan, atau pelaksanaan pemberian kuasa
dari penerima dalam hal pembongkaran. Namun, segala perbuatan yang
dilakukan di atas kapal oleh perusahaan bongkar muat tunduk pada peraturan
yang berlaku di kapal itu.
Bab PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT

A. Dokumen-Dokumen Pengangkutan
Semua dokumen-dokumen yang diperlukan dalam proses pengiriman barang dalam
pengangkutan laut dinamakan dokumen pengapalan (Shipping Documents). Pada dasarnya
dokumen-dokumen tersebut berfungsi untuk melindungi muatan sejak dipersiapkan
untuk dimuat ke atas kapal di pelabuhan pemuatan, sampai muatan itu diserahkan
kepada pemiliknya atau mereka yang berhak atas dokumen tersebut di pelabuhan tujuan.
Dokumen-dokumen yang terdapat dalam pelayaran dalam negeri dapat digolongkan ke
dalam beberapa kumpulan, menurut penggunaan dan keperluannya, maka akan diuraikan
beberapa dokumen yang paling umum dipakai atau dikenal, yaitu:
1. Kontrak Pengiriman (Freight Contract)
Kontrak ini merupakan persetujuan resmi antara pihak pengangkut atau wakilnya
dengan pengirim (shipper), untuk menggunakan sebuah kapal untuk mengangkut
barang dalam suatu pelayaran tertentu. Dalam kontrak ini akan dicantumkan jenis
barangnya, berat, volume, uang tambang, pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar,
cara penyerahan, nama kapal, tanggal keberangkatan kapal dan sebagainya.
Didalamnya terdapat sebuah klausula yang menyatakan bahwa booking tersebut
harus tunduk pada semua syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang dicantumkan
dalam konosemen (bill of lading) dari perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
2. Shipping Permit atau adakalanya disebut Delivery Permit
Bagi pihak Shipper atau wakilnya, maka shipping permit ini merupakan sebuah
dokumen yang memberitahukan kepadanya tentang batas waktu, selama mana
muatannya itu harus diserahkan kepada pegawai perusahaan pelayaran di terminal/
dermaga yang ditunjuk dalam shipping permit tersebut. Shipping permit ini memberi
pertunjuk kepada “pegawai penerima muatan” (keluar) di terminal di mana kapal
akan memuat, agar menerima dari pihak yang disebutkan (shipper atau wakilnya),
barang-barang yang disebutkan di dalamnya untuk diperiksa menurut penjelasan
tentang jumlah, macam, pembungkus, isi, berat dan ukuran pada suatu hari atau
waktu tertentu, barang mana yang akan dikirim ke pelabuhan tujuan yang disebutkan
di dalamnya, dengan kapal yang disebutkan.
72 Hukum Pengangkutan Laut

3. Dock Receipt
Tanda terima penyerahan dari barang-barang yang diterima di terminal untuk
pengapalan di suatu kapal tertentu atau untuk penyimpanan di gudang (hold on
dock) diberikan tanda terima berupa dock receipt ini. Biasanya dokumen ini
diberikan kepada pihak shipper atau wakilnya oleh perusahaan pelayaran itu
sendiri menurut keterangan-keterangan muatan yang diperoleh dari pemeriksaan
peusahaan pelayaran.
4. Dock Sheet (Returns) dan Tally Sheets
Dock Sheets ini dibuat oleh bagian terminal dari perusahaan pelayaran, merupakan
daftar yang mencatat semua pengiriman yang telah diterima untuk dikapalkan.
Sedangkan Tally Sheets adalah merupakan bukti hitungan (tally) dari muatan yang
dimuat atau dibongkar ke dan dari atas kapal, hitungan mana biasanya didasarkan
atas jumlah muatan tiap-tiap sling.
5. Stowage Plan (Rencana Pernyusunan Muatan)
Memperlihatkan secara grafis tentang letak dan pembagian muatan-muatan di
dalam palka-palka dan ruang-ruang muat serta dek kapal.
6. Manifest
Daftar muatan yang dimuat oleh kapal pada pelabuhan pemuatan dan akan
dibongkar di pelabuhan tujuan masing-masing. Ada dua jenis manifest yang sering
digunakan yaitu Cargo Manifest dan Freight Manifest (dalam hal-hal tertentu sering
digabung menjadi Cargo & Freight Manifest).
7. Landing Order
Jika Shipper telah dapat menetapkan pelabuhan tujuan pasti bagi barang muatannya,
maka ia harus segera memberitahukannya kepada perwakilannya untuk segera
membongkar muatan tersebut di pelabuhan yang ditunjuk, dengan sebuah dokumen
yang disebut “Landing Order”.
8. Delivery Order
Adakalanya merupakan dokumen yang dipakai oleh perusahaan pelayaran untuk
memerintahkan kepada bagian muatan masuk di terminal agar barang muatan yang
disebutkan di dalamnya dapat diserahkan kepada si penerima.
9. Certificate of Non Delivery dan Certificate of Damage
Adalah keterangan atau bukti yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan pelayaran
mengenai ketidakcocokan baik tentang jumlah maupun tentang keadaan dari
barang.
Bukti/keterangan tersebut adalah:
b. Bukti “kekurangan” jumlah penyerahan (in delivery certicate) yang dalam
praktik dinamakan “except bewijs” (E.B).
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 73

c. Bukti “pemeriksaan” tentang kerusakan-kerusakan dan hilangnya isi dari collie-


collie yang rusak, yang sering disebut “claim constatering bewijs” (C.C.B).
10. Bill of Lading (B/L)/Konosemen
Diantara dokumen pengapalan tersebut maka konosemen (B/L) tersebut yang
merupakan salah satu dokumen yang terpenting karena konosemen ini dapat
berfungsi sebagai tanda bukti penerimaan barang dan juga berfungsi sebagai suatu
dokumen angkutan di mana perjanjian pengangkutan barang antara pengirim dan
pengangkut dapat dibuktikan dengan konosemen. Oleh karena itu konosemen juga
dikatakan berfungsi sebagai bukti perjanjian pengangkutan melalui laut. Tanggung
jawab dari Pengangkut dalam pengangkutan ini juga tersirat dalam konosemen
di mana dalam konosemen ini pengangkut menyatakan bahwa ia telah menerima
barang-barang tertentu untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk
beserta klausula-klausula tentang penyerahannya yang akan terjadi. Ini sesuai dengan
definisi konosemen dalam pasal 506 KUHD yaitu: “Konosemen adalah suatu surat
yang bertanggal, dalam mana si pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima
barang-barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan tertentu dan
menyerahkannya disitu kepada orang tertentu, begitu pula menerangkan dengan
syarat-syarat apakah barang-barang itu akan diserahkannya”.
Konosemen dapat dibuat karena adanya suatu perjanjian pengangkutan, di mana
konosemen membuktikan pengirim telah menyerahkan barangnya untuk diangkut
dan penerima berhak untuk menerima barang itu dari pengangkut. Jadi konosemen
itu adalah merupakan suatu alat bukti. Apa yang tercantum dalam konosemen
sebagian besar adalah yang tercantum dalam perjanjian pengangkutan, jadi
konosemen, dilihat dari latar belakang isi perikatan, bisa berarti merupakan alat
bukti untuk menuntut pertanggungjawaban kepada pengangkut dalam hal terjadi
kerusakan, kehilangan, atau tidak diserahkannya sama sekali barangnya.
Jadi konosemen mempunyai arti penting dalam dunia perusahaan angkutan
perairan khususnya angkutan laut, sebab konosemen berfungsi sebagai:
1. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal. Konosemen merupakan
persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim, penerima, sehingga barang
dilindungi dari perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggungjawab
dari pengangkut.
2. Sebagai surat bukti penerimaan di atas kapal, di mana dengan konosemen
pengangkut/agen/nahkoda mengakui bahwa ia telah menerima barang dari
pengirim untuk diangkut dengan kapalnya.
3. Tanda bukti milik atas barang, di mana dengan memiliki konosemen berarti
sekaligus memiliki barang yang tersebut di dalamnya. Setiap pemegang
konosemen berhak menuntut penyerahan barang tersebut di dalamnya di kapal
74 Hukum Pengangkutan Laut

di mana barangitu berada (pasal 510 KUHD). Penyerahan konosemen sebelum


barang yang tersebut di dalamnya diserahkan oleh pengangkut, dianggap
sebagai penyerahan barang tersebut (pasal 517a KUHD).
4. Kuitansi pembayaran biaya angkutan. Dalam konosemen dinyatakan bahwa
biaya pengangkutan dibayar terlebih dahulu (freight prepaid) di pelabuhan
pemuatan oleh pengirim.
5. Kontrak atau persyaratan angkutan; konosemen adalah bukti perjanjian
pengangkutan yang memuat syarat-syarat angkutan.
Kewajiban dari pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan
menjaga keselamatan barang atau orang yang diangkut dari mulai diterimanya
barang tersebut dari pengirim sampai diserahkan barang tersebut kepada
penerima. Dari kewajiban inilah timbul Tanggung Jawab Pengangkut, yaitu
karena kewajiban Pengangkut adalah menjaga keselamatan barang yang
diangkutnya maka segala hal yang mengganggu keselamatan barang itu, yang
merugikan pengirim atau penerima, menjadi tanggung jawab pengangkut.
Tanggung Jawab ini berarti pengangkut berkewajiban menanggung segala
kerugian yang timbul atas barang yang diangkutnya selama dalam masa
pengangkutan.

B. Pihak-Pihak dalam Pengangkutan Laut


Dalam pengangkutan Laut terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diketahui
tiga unsur yaitu:
1. Pengirim Barang (Shipper)
Kalau kita memperhatikan pasal 90 KUHD di mana pengirim adalah merupakan
salah satu pihak di dalam perjanjian, ditentukan dalam ayat 6 dari pasal 90 KUHD
tersebut, bahwa pengirim itu harus menandatangani surat angkutan (konosemen).
Pada umumnya sebagai pihak pengirim barang ia adalah bukan pemilik barang.
Karena pemilik barang tersebut lazimnya menyerahkan pengiriman barangnya
tersebut kepada orang lain, yang dalam pengangkutan laut itu diserahkan
pengurusannya kepada ekspeditur. Tentang Ekspeditur ini telah diatur dalam
KUHD pada Buku I Bab 5, Bagian 2 pasal 86 sampai dengan 90.
Sesuai dengan ketentuan pasal 86 KUHD tersebut maka ekspeditur itu adalah
seseorang yang pekerjaannya menyuruh mengangkut barang-barang perniagaan
dan barang-barang di darat atau di perairan. Jadi kalau kita melihat rumusan
ini, ekspeditur itu tidak menangani sendiri pengangkutan barang-barang yang
dipercayakan kepadanya. Ia hanya akan mengurusi dan bertanggung jawab atas
pengiriman barang-barang saja atau dapat juga ia dikatakan sebagai orang yang
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 75

mencari alat pengangkutnya saja. Mengenai siapa saja yang dimaksudkan dengan
pihak pengirim barang itu KUHD sama sekali tidak memberikan rumusannya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengirim barang itu bisa pemilik barang itu
sendiri, bisa juga orang lain. Tetapi lazimnya dalam praktik seperti telah disebutkan
di atas pengirim barang itu adalah bukan pemilik barang itu sendiri.
The Hague Rules 1924 tidak memberikan definisi mengenai siapa yang diartikan
sebagai pengirim barang itu.
The Hamburg Rules 1978 memberikan suatu definisi tentang apa yag dimaksudkan
dengan pengirim barang, yaitu:
“Shiper means any person by whom or ini whose name or on whose behalf a contract
of carriage of goods by sea has been concluded with a carrier, or any person by whom
or in whose name or on whose behalf the goods are actually delivered to the carrier in
relation to the carrier in relation to the contract of carriage by sea”.
2. Penerima Barang (Consignee)
Dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut, si penerima barang adalah
pihak yang namanya tercantum dalam konosemen sebagai pihak tertentu kepada
barang yang diangkut itu harus diserahkan oleh pengangkut. Sesuai dengan ketentuan
pasal 506 KUHD alinea kedua penerima barang ini boleh disebutkan namanya (“op
naam”), boleh juga disebutkan sebagai pihak yang ditunjuk oleh pengirim maupun
orang ketiga (“op order”) dan boleh juga disebutkan sebagai pembawa (‘aan toonder”)
baik dengan atau tanpa penyebutan seseorang tertentu disampingnya.
Sesuai dengan pasal 510 KUHD alenia kesatu maka setiap pemegang konosemen
yang sah berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di
tempat tujuan sesuai dengan isi konosemen, kecuali apabila ia telah menjadi
pemegang konosemen dangan cara melawan hukum. Jadi “sah” disini berarti bahwa
memperoleh konosemen itu tidak dengan cara melawan hukum.
Dalam The Hague Rules 1924 tidak dimuat definisi tentang penerima barang tersebut.
Sedangkan The Hamburg Rules 1978 dalam pasal 1 ayat (4) menyebutkannya sebagai
berikut: “consignee means the person entitled to take the delivery of the goods”.
3. Barangnya itu sendiri
Tentang apa yang diartikan dengan barangnya itu sendiri KUHD dalam Buku II Bab
V a tidak memberikan rumusannya. Disitu hanya disebutkan “barang” saja.
The Hague Rules 1924 dalam pasal 1 (c) memberi pengertian tentang “barang”, yaitu:
“Goods includes words, wares, merchandise and articles of every kind whatsoever
except live animals and cargo which by the contract of carriage is stated as being carried
on the deck and is to be carried”.
76 Hukum Pengangkutan Laut

Jadi menurut pasal tersebut yang termasuk pengertian barang yaitu barang-barang
yang dibuat dari tanah atau besi (schotel), terbuat dari kayu dan tembaga, barang-barang
dagangan dan macam-macam hal apa saja, kecuali hewan-hewan yang hidup dan muatan
yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian pengangkutan untuk diangkut di atas dek
(palka).
Sedangkan menurut The Hamburg Rules 1978 pengertian barang adalah lebih luas,
yaitu meliputi juga binatang-binatang yang hidup dan barang-barang yanag dimasukan
dalam container (peti kemas) atau pallet (pembungkus). The Hamburg Rules 1978 memberi
rumusan tentang pengertian barang dalam pasal 1 ayat 5 yaitu:
“Goods includes live animals, where the goods are consolidated in a container, pallet
or a similar articles of transport or where they are packed, “goods” includes such articles of
transport or packaging if supplied by the shipper”.
Disamping ketiga pihak tersebut di atas dalam suatu kegiatan pelayaran niaga terlibat
juga kegiatan atau jasa pihak-pihak lain tetapi pihak-pihak lain itu tidak saling mempunyai
hubungan hukum karena mereka hanyalah merupakan wakil (lastnemer) saja dari adalah
satu pihak tersebut. Oleh karena itu, kegiatan mereka dalam hubungannya dengan
pengapalan barang, dan juga dalam kegiatan pelayaran pada umumnya, tidak diatur oleh
undang-undang.
Adapun pihak-pihak yang dimaksud terakhir ini adalah:
a. Ekspeditur (perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut atau forwarding agent) yaitu
orang atau perusahaan yang menyelenggarakan usaha mengurus berbagai macam
dokumen dan formalitas yang diperlukan guna memasukan dan mengeluarkan
barang dari kapal atau pelabuhan.
Ekspeditur tidak bekerja sendiri, melainkan menjadi wakil (=lastnemer) bagi
pengirim atau penerima muatan kapal laut. Dalam hal mengekspedisi muatan keluar
(ekspor) tugas dan kewajiban ekspeditur sudah selesai kalau barang sudah dimuat
ke dalam kapal dan Bill of Lading (B/L) sudah diambil olehnya untuk diserahkan
kepada orang yang memberinya kuasa untuk mengurus pemuatan (pengapalan) itu.
Dalam hal mengurus pengeluaran muatan impor dari pelabuhan, pekerjaan
ekspeditur dimulai dengan pembuatan dokumen-dokumen impor berupa
Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD), sampai membayar bea masuk yang
berkenaan serta biaya dan pengeluaran lainnya sampai barang dapat dikeluarkan
dari gudang pabean untuk diserahkan kepada pemiliknya.
Berhubung dengan jenis pekerjaannya itu maka perusahaan Ekspedisi Muatan
Kapal Laut (EMKL) biasanya mempunyai armada angkutan darat sendiri, agar
pengangkutan barang dari dan ke gudang pemilik barang di luar pelabuhan dapat
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 77

diselenggarakan dengan lebih mudah dan lebih murah. Juga, usaha sampingan
trucking ini dapat menambah pendapatan EMKL.
Perkembangan selanjutnya dari usaha Ekspedisi ini tumbuh berupa usaha freight
forwarding (FF) yang tidak hanya mengurus dokumentasi dan pengangkutan
muatan sebelum dan sesudah pengapalannya, melainkan meliputi semua keperluan
pengapalan mulai dari sortasi barang (pemilahan-milahan jenis barang sesuai dengan
klasifikasi tarif bea dan uang tambang), packing (pengemasan barang dalam kemasan
yang sesuai dengan pengangkutan samudara), cargo documentation (penyiapan dan
pembuatan dokumen-dokumen pengapalan sampai kepada perolehan izin ekspor
kalau diperlukan).
b. Warehousing (usaha pergudangan), yaitu usaha penimbunan dan penyimpanan
barang di dalam gudang atau lapangan penumpukan pelabuhan, selama barang yang
bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu pembebasannya
dari pengawasan pabean.
Perlu diketahui bahwa dalam sebuah pelabuhan lazimnya terdapat tiga macam
gudang, yaitu: gudang pabean (disebut juga: gudang lini I), gudang entrepot (bonded
warehouse) dan gudang bebas.
Dalam rangka kegiatan pengapalan muatan, gudang pabean merupakan yang
terpenting karena di gudang pabean inilah disimpan barang yang baru saja
dibongkar dari kapal, atau segera dimuat ke kapal. Di sini instansi pabean perlu
campur tangan, sebab barang yang akan/baru dimuat/dibongkar dari/ke kapal itu
harus menyelesaikan terlebih dahulu formalitas pabeannya dan membayar bea-bea
sebelum diizinkan keluar dari gudang pabean.
c. Stevedoring, yaitu usaha pemuatan dan pembongkaran barang-barang muatan kapal
laut. Perusahaan stevedoring dapat merupakan sebuah perusahaan yang berdiri
sendiri, sebagai sebuah PBM (Perusahaan Bongkar Muat), atau dapat juga merupakan
anak perusahaan, atau agen dari sebuah perusahaan pelayaran. Seringkali juga
perusahaan stevedoring ini bergabung dengan perusahaan pengangkutan muatan
kapal, yang dimuat ke dan dibongkar dari kapal yang bertambat atau berlabuh di
luar dermaga.
Seperti diketahui dermaga-dermaga yang terdapat pada sebuah pelabuhan tidak
selalu dapat memenuhi kebutuhan penyandaran kapal dan arena kapal, demi
efisiensi operasi, tidak dapat menunggu giliran penyandaran terlalu lama, akan
melakukan kegiatan di perairan pelabuhan (kolam pelabuhan, rede, roads) dan
dari sana barang-barang yang telah dibongkar ke atas tongkang akan diantarkan ke
gudang. Begitu juga sebaliknya bagi barang yang akan dimuat ke kapal, diantarkan
ke kapal dengan tongkang guna dimuat di kolam pelabuhan.
78 Hukum Pengangkutan Laut

Sesuai ketentuan dalam Inpres 4/1985, perusahaan stevedoring ini dinamakan


“Perusahaan Bongkar Muat” disingkat PBM yang secara hukum meruapakan
perusahaan yang berdiri sendiri tetapi di dalam praktik perusahaan PBM tersebut
hampir semuanya didirikan oleh perusahaan pelayaran.
Lebih lanjut perlu dikemukakan bahwa bertambatnya kapal di luar dermaga itu tidak
selalu karena menunggu giliran penyandaran, melainkan karena biaya yang sangat
mahal kalau kapal harus bersandar di dermaga dan melakukan kegiatan pemuatan
atau pembongkaran di situ.
Di pelabuhan-pelabuhan Eropa dan Amerika umumnya diadakan ketentuan
yang mewajibkan kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan menggunakan
shore equipment (alat bongkar yang disediakan pelabuhan) dan tidak diizinkan
menggunakan alat bongkar sendiri.
Sangat tingginya cargo handling di dermaga ini pulalah yang telah melahirkan
konsepsi pengapalan dengan menggunakan peti besar yang dinamakan container
(peti kemas). Peti atau kemasan biasa lainnya, di mana barang yang hendak
dikapalkan, dikemas, secara bersama-sama dimasukan ke dalam container dan
selanjutnya dimuat ke kapal untuk diangkut ke pelabuhan tujuannya.
Di dalam container tak jarang dimuat barang-barang yang dikapalkan oleh beberapa
pengirim yang berbeda. Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat,
sudah lazim container besar datang dari pedalaman dengan kereta api khusus,
langsung masuk ke dalam kapal tanpa melalui penyimpanan di dalam gudang
pabean lagi.
d. Lighterage, yaitu usaha penyelenggaraan pengangkutan barang muatan kapal dari
dermaga ke kapal yang berlabuh di kolam pelabuhan atau lego jangkar di luar
pelabuhan dan sebaliknya. Di pelabuhan-pelabuhan yang tidak mempunyai dermaga,
seperti pelabuhan Semarang dan Cirebon sebelum dibangun oleh Pemerintah Orde
Baru, perusahaan pelayaran merasa perlu mempunyai bagian lighterage untuk
melancarkan operasi perusahaan dalam menyelenggarakan bongkar muat.
e. Veem, yaitu perusahaan yang menyelenggarakan jasa sortasi barang (memilah-milah
komoditi sesuai kelas, kualitas, besar kecilnya butir dan lain-lain), pengemasan,
pemberian merk (shipping mark), memperbaiki kemasan yang rusak atau tidak
sesuai. Disini dapat dilihat bahwa perusahanan veem agak sulit berdiri sendiri karena
bidang usahanya lebih banyak berkaitan dengan eksportir/pedagang yang mengalami
kesulitan atau kurang memahami tata cara pengepakan barang. Usaha per-veem-an
dapat bergabung sebagai bagian dari perusahaan EMKL atau freight forwarding.
f. freight forwarding
Kalau perusahaan EMKL menyelenggarakan cabang usaha yang menyangkut
urusan penyelenggaraan dokumen-dokumen pengapalan muatan, sedang di pihak
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 79

lain perusahaan veem mengurusi kemasan barang yang akan dikapalkan dan
perusahaan transport melaksanakan pengangkutannya, maka perusahaan freight
forwarding menyelenggarakan semua kegiatan tersebut secara terpadu.
Di negara-negara lain perkembangan usaha freight forwarding sudah sedemikian
maju, di mana perusahaan tersebut menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Konsolidasi muatan yang dikapalkan oleh shippers yang masing –masing
mengapalkan dalam jumlah kecil.Perusahaan freight forwarding menerima
pengiriman muatan dalam jumlah kecil (sedikit) dari banyak shippers, lalu
muatan-muatan kecil tersebut dikonsolidasikan (dikumpulkan; disatukan)
menjadi muatan satu peti kemas penuh.
2. Kegaiatan konsolidasi muatan tersebut dilakukan di dalam gudang
yang dimilikinya/dioperasikannya, yang berlokasi di luar pelabuhan dan
dinamakan Gudang CFS (Container Freight Station).
3. Mengatur pembungkusan barang sesuai dengan persyaratan pengapalan
“seaworthy package” dan memberi shipping mark sesuai dengan kebutuhan.
4. Mengurus surat-surat dan dokumen-dokumen pengapalan barang termasuk
surat izin ekspor kalau diperlukan.
5. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari gudang eksportir (pengirim)
sampai gudang CFS dan dari situ ke container yard di pelabuhan pemuatan
barang.
6. Mencarikan kapal yang sesuai bagi pengapalan yang bersangkutan dan
membayar uang tambang yang bersedia.

C. Jenis-jenis Pengangkutan Barang Melalui Laut


Pengangkutan melalui laut menurut sifat dari usaha pelayarannya dapat kita bagi menjadi:
A. Pelayaran Tetap (Pelayaran Liner Service)
Yaitu pelayaran yang dilakukan secara bertahap dan teratur yaitu teratur dalam
hal keberangkatan dan kedatangan kapal di pelabuhan, dalam hal trayek dan
tarif angkutan. Jadi perusahaan pengangkutan (perusahaan pelayaran) yang
menyelenggarakan pengangkutan barang-barang pada waktu-waktu yang sudah
ditentukan, terlebih dahulu menyelenggarakan pelayaran untuk mengangkut
barang-barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lainnya.
Perusahaan pelayaran yang menjalankan usaha pelayaran jenis Liner Service
haruslah memenuhi syarat-syarat:
1. Mempunyai Trayek Pelayaran dan Jadwal Perjalanan Kapal yang tertentu dan
teratur.
80 Hukum Pengangkutan Laut

Trayek pelayaran tertentu dan tetap artinya kapal-kapal yang menjalankan


dinas pelayaran tetap itu tak akan berpindah-pindah wilayah operasi pelayaran
semaunya saja, tetapi harus tetap bergerak dalam wilayah operasi yang telah
ditentukan. Mengenai pelabuhan yang disinggahi oleh masing-masing kapal
yang dilayarkan dalam trayek tersebut, perusahaan pelayaran mempunyai
kebebasan penuh sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan formal yang
berlaku, dan kapal-kapal tersebut tetap beroperasi di dalam wilayah lingkungan
operasi yang bersangkutan.
2. Mempunyai Daftar Tarif Angkutan yang Tetap dan Berlaku Umum
Dalam daftar ini dicantumkan tarif angkutan bagi berbagi macam komoditi
yang biasa diangkut. Tarif angkutan yang tercantum dalam daftar, berlaku
untuk waktu yang tidak terbatas sampai dinyatakan tidak berlaku lagi dan
digantikan oleh tarif baru yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam praktik pelayaran niaga internasional, penyelenggaraan tarif angkutan
laut itu diurus oleh Shipping Conference di mana semua aspek pertarifan tersebut
diurus melalui perundingan-perundingan diantara perusahaan-perusahaan
pelayaran yang menjadi anggota conference tersebut.
3. Mempunyai Syarat-syarat dan Perjanjian Pengangkutan yang Bersifat Tetap
dan Berlaku Umum
Yang dimaksud dengan ketentuan ini adalah bahwa pengangkut/carrier yang
menyelenggarakan usaha pelayaran tetap itu harus mempunyai peraturan atau
syarat-syarat pengangkutan tertentu, syarat-syarat yang mana berlaku bagi
siapa saja yang melakukan pengapalan dengan kapalnya.
Berhubung dengan adanya syarat atau ketentuan-ketentuan ini perusahaan
pelayaran mengambil jalan praktis dengan mencetak peraturan-peraturan
tentang syarat pengangkutan pada lembar konosemen (B/L) yang
dikeluarkannya. Seorang pengirim yang ingin mengetahui syarat-syarat
pengangkutan yang dikehendaki carrier dapat membaca ketentuan-ketentuan
yang tercetak dalam konosemennya.

B. Pelayaran Tidak Tetap (Tramp Service)


Bentuk usaha pelayaran Tramp merupakan pelayaran bebas, yang tidak terikat oleh
ketentuan-ketentuan formal apapun. Kapal-kapal yang diusahakan dalam pelayaran
Tramp tidak mempunyai trayek tertentu, jadi kapal itu berlayar ke mana saja sepanjang
tidak dilarang oleh kekuasaan Negara. Dalam sejarah pelayaran niaga modern
kekuatan Tramp ternyata sangat besar sehingga pengusaha-pengusaha pelayaran
tetap yang tergabung dalam conference selalu memperhitungkan persaingan dengan
para trampers dalam jaringan-jaringan pelayaran yang dilayaninya.
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 81

Sedangkan berdasarkan luas daerah operasinya maka usaha pelayaran sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PP No. 17 Tahun 1988 terdiri dari:
1. Pelayaran Dalam Negeri
Adalah merupakan kegiatan angkutan laut antar pelabuhan di Indonesia yang
dilakukan secara tetap dan teratur dan atau dengan pelayaran yang tidak tetap
atau tidak teratur, dengan menggunakan semua jenis kapal, dan pelayaran ini
termasuk pelayaran rakyat dan pelayaran perintis.
Dalam pelayaran rakyat daerah operasinya tidak boleh melebihi radius 200 mil,
dan oleh karena itu biasanya penyelenggaraan pengangkutan hanya dilakukan
dengan menggunakan kapal-kapal kecil saja, dengan daya muat sekitar 200
deadweight ton.
Sedangkan pelayaran perintis/pelayaran nusantara adalah usaha pelayaran yang
daerah operasinya meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia. Sementara
untuk mendapatkan izin operasional usaha pelayaran nusantara haruslah
dipenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1)
PP No. 17 Tahun 1988, yaitu:
a. Dilakukan oleh badan hukum Indonesia berbetuk Perseroan Terbatas
(PT) atau Badan Usaha Milik Negara.
b. Memiliki dan/atau menguasai kapal laut berbendera Indonesia
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
Menurut Victor Situmorang, pengangkutan laut dalam negeri itu pada garis
besarnya terdiri dari berbagai macam pelayaran, yaitu:
1. Pelayaran Lokal
Yaitu suatu usaha angkutan laut dengan mempergunakan kapal-kapal
berbendera Indonesia yang berukiran 100 m3 sampai dengan 500 m3 yang
menempuh pelayaran dalam radius pelayaran tidak lebih dari 200 mil laut.
Pelayaran lokal ini berfungsi sebagai feeders yang mengumpulkan hasil-
hasil dari pelabuhan kecil, kemudian di tranship ke kapal samudera untuk
dikapalkan sebagai barang-barang ekspor, demikian pula sebaliknya.
2. Pelayaran Rakyat
Yaitu pelayaran dengan menggunakan perahu layar. Pelayaran rakyat itu
merupakan usaha pelayaran secara tradisional dengan menggunakan
tenaga penggerak dan kadang-kadang pula pada tahap perkembangannya
dilengkapi dengan perahu motor bantu (hulp motor), sehingga di dalam
pelayaran tersebut apabila angin yang menggerakan layar itu mati (tidak
bertiup), maka dipakailah motor bantu itu sebagai tenaga penggeraknya.
Perahu-perahu layar ini melayari pulau-pulau terpencil yang dihuni oleh
penduduk yang tidak terjangkau dengan kapal-kapal besar, sehingga
82 Hukum Pengangkutan Laut

dengan demikian maka wawasan nusantara dalam pelaksanaannya dapat


berwujud secara nyata.
3. Pelayaran khusus penundaan laut
Yaitu pelayaran khusus penundaan laut itu adalah suatu kegiatan-kegiatan
antar pelabuhan Indonesia yang mengangkut barang-barang khusus
dengan menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik dengan tunda.
Pelayaran ini sesuai dengan keadaan pengangkutan mengenai barang
muatan yang harganya relatif murah, tidak mudah rusak dan tidak
memerlukan penanganan yang rumit.
Barang muatan yang dapat diangkut dengan menggunakan sistem
pelayaran ini, misalnya ialah: batu kali, batu karang, kayu-kayu balok dan
sebagainya. Pengangkutan dengan tongkang-tongkang ini tidak cocok
untuk mengangkut barang-barang kelontong, karena air laut dapat dengan
mudah masuk ke dalam tongkang tersebut, yang berakibat barang-barang
tersebut mudah rusak.
4. Pelayaran khusus lepas pantai
Yaitu pelayaran sehubungan dengan timbulnya kegiatan-kegiatan
pengeboran minyak lepas pantai, sehingga timbul keperluan angkutan
untuk mengangkut alat-alat dan mesin-mesin pengeboran (drilling rig).
Tongkang-tongkang juga digunakan untuk memasang pipa-pipa dan
kabel-kabel serta instalasi di bawah air. Dalam hal kegiatan off shore ini,
apabila drilling tersebut telah selesai, maka kegiatan-kegiatan pelayaran
lepas pantai ini dapat dialihkan pada pelayaran khusus penundaan laut.
5. Pelayaran khusus yang bertujuan untuk menunjang kegiatan industri
Dalam hal ini industri-industri besar tertentu seperti industri semen,
industri pupuk, industri perikanan diperkenankan memiliki kapal-
kapal untuk keperluan pengangkutan hasil industrinya, sehingga dengan
demikian kehidupan industrinya tidak tergantung pada alat angkutan
umum.
2. Pelayaran Luar Negeri
Adalah merupakan pelayaran samudera sebagai kegiatan angkutan laut ke
atau dari luar negeri yang dilakukan secara tetap dan teratur dan atau dengan
pelayaran yang tidak tetap dan tidak teratur dengan menggunakan semua jenis
kapal. Pada umumnya usaha pelayaran ini daerah operasinya meliputi daerah
perairan internasional. Jadi pelayaran ini bergerak antara pelabuhan satu
negara ke pelabuhan negara lainnya, dengan membawa barang-barang impor
dan ekspor ke dan dari negara yang bersangkutan. Pelayaran luar negeri pada
dasarnya menggunakan sistem pelayaran tetap dan teratur untuk menjamin
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 83

tingkat angkutan (freight) yang layak dan stabil serta tersedianya ruangan
angkutan secara tetap dan teratur (liner system). Disamping penyelenggaraan
pelayaran luar negeri dengan liner system dapat pula dilakukan dengan kapal-
kapal yang menyelenggarakan pelayaran tidak tetap, hal ini dimaksudkan untuk
mengatasi kebutuhan angkutan pelayaran luar negeri yang dapat dilayari oleh
kapal-kapal liner system.
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin operasional usaha pelayaran samudera
pada hakikatnya adalah sama dengan usaha pelayaran samudera pada
hakikatnya adalah sama dengan usaha pelayaran dalam negeri hanya saja kapal
yang dipergunakan adalah seberat minimal 28.000 m3, dan harus melaksanakan
kebijaksanaan umum pemerintah di bidang penyelenggaraan luar negeri .

D. Tanggung Jawab Pengangkut


Kewajiban dari Pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkut dan menjaga
keselamatan barang atau orang yang diangkut mulai diterimanya dari pengirim sampai
diserahkannya kepada penerima. Dari kewajiban ini muncul tanggung jawab pengangkut,
yaitu karena kewajiban pengangkut adalah menjaga keselamatan barang yang diangkutnya
maka segala hal yang mengganggu keselamatan barang itu, yang merugikan pengirim atau
penerima, menjadi tanggung jawab pengangkut. Tanggung jawab ini berarti pengangkut
berkewajiban menanggung segala kerugian yang timbul atas barang yang diangkutnya
selama dalam masa pengangkutan.
Prnsip-prinsip dari Tanggung Jawab Pengangkut adalah:
1. Presumption of Liability
(Praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab)
2. Presumption of non Liability
(Praduga bahwa pengangkut selalu tidak bertanggung jawab)
3. Absolute Liability atau Strict Liability
(Prinsip tanggung jawab mutlak)
4. Fault Liability
(Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan)
5. Limitation of Liability
(Prinsip pembatasan tanggung jawab)
Sedangkan Sistem Tanggung Jawab dalam Pengangkutan Laut adalah:
1. Menurut KUHD
a. Presumption of Liability
- Pasal 468 ayat (2): “Pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian
yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak
84 Hukum Pengangkutan Laut

dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu,


kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau
kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak
dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat daripada barang itu,
atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya”.
b. Limitation of Liability
- Pasal 470 ayat (2): “…adalah diperkenankan, jika si pengangkut
memperjanjikan, bahwa ia tidak akan bertanggung jawab untuk lebih
dari suatu jumlah tertentu untuk satu potong barang yang diangkutnya,
kecuali apabila kepadanya telah diberitahukan tentang sifat dan harga
barang tersebut, sebelum atau pada waktu barang itu diterimanya. Adapun
jumlah tersebut di atas tidak boleh ditetapkan kurang daripada enam ratus
rupiah”.
- Pasal 474: “Apabila si pengangkut itu adalah orang yang mengusahakan
kapal, maka tanggung jawabnya tentang kerugian yang ditimbulkan
kepada barang-barang yang diangkut dengan kapal tersebut, adalah
terbatas sampai sejumlah lima puluh rupiah tiap meter kubik isi bersih
kapal tersebut”.
- Pasal 541: “Tanggung Jawab dari seorang pengusaha kapal untuk kerugian
yang ditimbulkan oleh suatu penubrukan adalah terbatas sampai suatu
jumlah sebesar lima puluh rupiah tiap meter kubik isi bersih dari
kapalnya…”
b. Braeakable Limit
- Pasal 536: “Apabila tubrukan kapal itu disebabkan oleh kesalahan salah
satu kapal yang bertubrukan, maka pengusaha daripada kapal yang telah
melakukan kesalahan itulah yang menanggung seluruh kerugiannya”
c. Presumption of non liability
- Pasal 533 ayat (2): “Pengangkut tidak diwajibkan mengganti kerugian yang
diterbitkan pada barang-barang yang disimpan sendiri oleh penumpang,
kecuali apabila dibuktikan bahwa si penumpang ini telah berusaha
seperlunya guna menyelamatkannya”
2. Dalam UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran
- Presumption of Liability
Pasal 86 ayat (2): “Jika perusahaan pengangkut dapat membuktikan bahwa
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c, dan d bukan
disebabkan oleh kesalahannya, maka dapat dibebaskan sebagian atau seluruh
dari tanggung jawabnya”.
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 85

3. Dalam The Hague Rules 1924


- Presumption of Non Liability
(lihat Pasal IV ayat (1): Baik pengangkut maupun kapal tidak akan bertanggung
jawab terhadap kerugian atau kerusakan yang timbul…dst kecuali…)
- Limitation of Liability
(Lihat Pasal IV (5): Tanggung jawabnya tidak lebih dari 100 poundsterling/
package atau unit).
- Breakable Limit
(Lihat Pasal IV ayat (5):…kecuali apabila jenis dan nilai barang-barang tersebut
dinyatakan oleh pengirim sebelum pengapalan dan dicantumkan di dalam
konosemen).
4. The Hamburg Rules 1978
Sistem tanggung jawab Pengangkut “Presumption of non Liability” seperti yang
terdapat dalam The Hague Rules 1924, The Visby Rules 1936, The Brussel Protocol
1968 dan The Hague Visby Rules, ternyata sangat tidak memuaskan pengguna
jasa angkutan laut. Hal ini disebabkan karena dengan berbagai alasan atas dasar
kekebalan-kekebalan yang dimiliki oleh pengangkut dapat menyebabkan pengangkut
menjadi tidak bertanggung jawab terhadap barang-barang yang diangkutnya (lihat
Pasal IV The Hague Rules).
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas maka untuk menanggulanginya dibuatlah
“The Hamburg Rules 1978, di mana Konvensi Internasional ini adalah hasil
konferensi PBB mengenai Pengangkutan Barang melalui Laut yang diselenggarakan
di Hamburg pada tanggal 3 – 31 Maret 1978.
Sistem Tanggung Jawab pada The Hamburg Rules 1978 adalah sebagai berikut:
1. Presumption of Liability
Lihat Pasal 5 ayat (1): Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh hilang atau rusaknya barang-barang, maupun oleh kelambatan
dalam penyerahan, apabila peristiwa yang menyebabkan kerugian, kerusakan
atau kelambatan itu terjadi pada saat barang-barang berada di bawah
penguasaannya sebagaimana didefinisikan dalam pasal 4, kecuali apabila
pengangkut dapat membuktikan bahwa ia, pegawainya dan agennya telah
mengambil semua langkah-langkah yang secara wajar dapat diharapkan untuk
mencegah peristiwa itu dan akibat-akibatnya.
2. Limitation of Liability
(lihat pasal 6)
3. Breakable Limit
(lihat Pasal 6 ayat (4): dengan perjanjian antara pengangkut dengan pengirim,
batas-batas yang ditetapkan dalam paragraph 1 dapat ditentukan.
86 Hukum Pengangkutan Laut

Adapun mengenai periode dari tanggung jawab pengangkut, dalam KUHD


disebutkan dalam Pasal 468 ayat (1), yang isinya: “Perjanjian pengangkutan
mewajibkan pengangkut menjaga keselamatan barang yang diangkutnya sejak
saat penerimaannya sampai saat penyerahannya”.
Menurut The Hague Rules periode tanggung jawab pengangkut itu terdapat dalam
article 1 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
“Carriage of the goods covers the period from the time when the goods are loaded on
to the time when the goods are loaded on to the time they are discharged from the ship
when the goods are loaded onto the time when they are discharge from the ship”.

Dengan demikian maka tanggung jawab pengangkut itu berakhir sejak barang
dibongkar diserahkan dekat kapal (“delivery of goods alongside the ships”). Jadi
berdasarkan The Hague Rules 1924 periode dari tanggung jawab pengangkut itu
adalah “from tackle to tackle”, atau yang lebih jelas lagi adalah sejak barang-barang
muatan itu dikaitkan pada tackle/sling (tali derek) di pelabuhan pemuatan, selama
berlangsungnya pelayaran dari pelabuhan pembongkaran pada saat barang-barang
menyentuh permukaan dermaga atau perahu, dan kait pada sling tersebut dilepas.
Dalam The Hamburg Rules 1978 mengenai periode tanggung jawab pengangkut
dirumuskan lebih terperinci. Hal ini kita dapat jumpai pada article 4 (period of
responsibility), yaitu article 4 ayat (1) yang meyebutkan bahwa:
“The responsibiltity of the carrier for the goods under this rules is the period during
which the carrier is in charge of the goods at the port of loading, during the carriage
and at the port of discharge”.
Jadi menurut pasal ini tanggung jawab pengangkut adalah pada saat barang itu
berada di bawah kekuasaannya yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama
berlangsungnya pengangkutan sampai di pelabuhan pembongkaran, atau dapat
ditafsirkan bahwa tanggung jawab pengangkut adalah pada saat barang ada dalam
penguasaan pengangkut sampai pada saat barang-barang tersebut diserahkan
kepada consignee. Adapun yang dimaksud dengan consignee tersebut adalah mereka
yang mempunyai hak atas penyerahan barang-barang (“consignee means any person
entitled to take delivery of the goods”).

Selanjutnya article 4 ayat (2) dari The Hamburg Rules 1978 menetapkan tentang
sejak kapan barang berada di dalam peguasaan pengangkut sehubungan dengan
article (1) tersebut, yaitu:
A. Sejak barang diserahkan kepadanya oleh:
1. Pengirim atau orang lain yang bertindak atas namanya
2. Seseorang yang dikuasakan atau pihak ketiga yang terhadapnya hukum
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 87

atau aturan diberlakukan di pelabuhan di mana barang harus diserahkan


untuk diangkut.
B. Sampai barang diserahkan:
1. Kepada consignee (penerima)
2. Dalam hal di mana consignee tidak menerima barang dari pengangkut, maka
sebagai ganti dalam hubungannya dengan perjanjian atau berdasarkan atas
hukum atau atas dasar kebiasaan dalam dunia perdagangan yang berlaku
di tempat pelabuhan barang-barang tersebut dibongkar atau
3. Penyerahan barang-barang kepada yang dikuasakan atau kepada pihak
ketiga berdasarkan hukum atau ketentuan yang berlaku di tempat
pelabuhan pembongkaran.
Mengenai kewajiban-kewajiban dari pengangkut The Hague Rules 1924 juga
memuatnya dalam article 3 yaitu pada sebelum dan pada awal pelayaran sebagai
berikut:
a. Kapal harus layak laut (sea worthy),
b. Kapal harus diawaki, diperlengkapi dan diberi persediaan sebagaimana
layaknya,
c. Membuat palka, kamar-kamar pendingin dan semua bagian lain dari kapal
di mana barang-barang akan diangkut, siap dan aman untuk menerima,
mengangkut dan mengawasi barang-barang tersebut.
Menurut FDC. Sudjatmiko sebuah kapal dianggap laik laut (seaworthy)
apabila:
1. dapat berlayar di laut selalu dalam keadaan aman, yaitu berangkat dari
satu pelabuhan dan tiba di pelabuhan tujuannya dalam keadaan selamat;
2. kapal diawaki secara cukup dan lengkap sesuai dengan perizinannya
atau sesuai dengan penerapan dari Biro Klasifikasi yang mengawasi
pembangunan kapal yang bersangkutan;
ruangan-ruangan muatan kapal selalu siap untuk dimuati apapun (sepanjang
muatan tersebut boleh dimuat di ruang itu), alat-alat bongkar muat dalam
keadaan baik dan siap melakukan pekerjaan.
Selanjutnya The Hague Rules 1924 tidak mengatur secara tegas tanggung jawab
pengangkut, sebaliknya dengan tegas dikemukakan hal-hal di mana pengangkut
bebas dari tanggung jawab. Hal ini dapat kita temui dalam article 4 yang
menyatakan bahwa pengangkut dapat dibebaskan dari kewajiban dan tanggung
jawab setelah dapat membuktikan bahwa pengangkut telah melakukan usaha-
usaha yang sewajarnya untuk menghindari rusak dan hilangnya barang.
The Hamburg Rules 1978 dalam hubungannya dengan tanggung jawab
pengangkut itu menetapkan dengan tegas bahwa pengangkut bertanggung
88 Hukum Pengangkutan Laut

jawab atas akibat daripada hilang dan rusaknya barang, bahkan diperluas lagi
dengan tanggung jawab atas kelambatan penyerahan barang-barang tersebut
ada di dalam penguasaan pengangkut (“the carrier is liable for loss resulting from
loss or damage to the goods, as well as from delay in delivery, if the occurrence
which cause the loss, damage of delay took place while the goods were in his
charge”).
Dalam Article II The Hague Rules, dinyatakan bahwa pengangkut mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab terhadap muatan yang diangkut dengan
kapalnya, dalam hal: pemuatan, penanganan (handling), pemadatan (stowage),
pengangkutan (carriage), penjagaan (custody), pemeliharaan (care) serta
pembongkaran barang muatan kapal, yang diserahkan kepadanya untuk
diangkut.
Di pihak lain pengangkut mempunyai kebebasan serta hak, kekebalan (immunities),
yang memberi perlindungan kepada pengangkut terhadap tuntutan ganti rugi atas
kerusakan/kerugian pada muatan, bila kerusakan atau kerugian itu telah terjadi bukan
karena kesalahan pengangkut. Pokok-pokok ketentuan yang membatasi tanggung jawab
dari pengangkut menurut The Hague Rules 1924 adalah:
1. Due Dilligence Clause
Pengangkut terbebas dari kewajiban dan tanggung jawab atas kerugian dari barang
yang diangkutnya apabila ia (pengangkut) dapat membuktikan bahwa ia telah benar-
benar melakukan “due diligence”, yaitu usaha-usaha untuk membuat kapalnya layak
laut dan siap untuk mengangkut muatan; di samping itu kapal pun harus diawaki
secukupnya, membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh
pelayaran yang direncanakan dan untuk keperluan penyelenggaraan muatan maka
semua palka, kamar pendingin dan lain-lain harus berada dalam keadaan siap
untuk menerima muatan, memadatnya dengan baik dan mengangkutnya sampai ke
tempat tujuan dengan aman dan selamat.
Ketentuan The Hague Rules yang mengatur masalah itu terdapat dalam Article III
(ayat 1) yang berbunyi:
“Sebelum dan pada saat dimulainya pelayaran kapal, pengangkut terikat untuk
menyelenggarakan dengan sewajarnya usaha-usaha yang perlu untuk:
a. Membuat kapalnya layak laut,
b. Mengawaki, memperlengkapi dan memberikan bekal kapal secukupnya,
c. Membuat palka, ruang beku dan ruang dingin dan semua bagian kapal lainnya
di mana muatan diangkut, cocok dan aman bagi penempatan, pengangkutan
dan pemeliharaan muatan tersebut”.
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 89

Kalau selama pelayaran terjadi suatu kerugian atau kerusakan pada muatan, atau
terjadi bencana pada kapal secara keseluruhan, pertama-tama akan dinilai apakah
pengangkut sudah berusaha secara wajar untuk memenuhi kewajibannya itu. Kalau
terbukti bahwa pengangkut lalai dalam memenuhi kewajibannya itu, pengangkut
bertanggung jawab penuh atas semua kerugian atau kerusakan yang terjadi sebagai
akibat kelalaian tersebut. Tetapi sebaliknya kalau terbukti bahwa pengangkut sudah
berusaha sewajarnya, pengangkut dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti rugi
yang mungkin diajukan kepadanya.
2. Prima Facie Evidence
Pengangkut akan sanggup untuk mengangkut sejumlah muatan atas dasar
penglihatan/keadaan barang yang tampak dari luar. Hal tersebut antara lain memberi
pengertian bahwa kalau sebuah peti keadaannya baik tetapi pada waktu dibuka
kedapatan isinya rusak atau kurang, maka pengangkut dapat menolak tuntutan ganti
rugi yang diajukan oleh pemilik muatan tersebut kepadanya. Sebagai argumentasi
bagi penolakan itu dinyatakan bahwa pengangkut menerima barang dalam keadaan
baik – in sound condition – dan barang yang sama diserahkan kepada consignee
juga dalam keadaan yang baik, sama seperti keadaannya pada waktu diterima dari
shipper. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka bila ternyata setelah peti dibuka
isinya rusak atau hilang, maka kerusakan atau kehilangan itu harus dianggap telah
terjadi sebelum pengapalan, kecuali kalau ternyata kemudian, bahwa sebenarnya
peti telah dibuka oleh pencuri yang telah mencuri isinya dan kemudian menutupnya
kembali dengan sempurna.
3. Negligence Clause
Tanggung jawab pengangkut dibatasi yaitu tidak meliputi atau termasuk kerugian
atau kerusakan yang terjadi karena ketidakwaspadaan dan kelalaian nahkoda, anak
buah kapal atau orang lain yang bekerja dalam dinas pengangkut dalam hal navigasi
atau manajemen. Menurut ketentuan ini, kerugian/kerusakan yang terjadi karena
kesalahan navigasi atau manajemen kapal, semata-mata merupakan tanggung jawab
nahkoda atau orang-orang lain, yang bekerja di kapal sesuai dengan profesinya
masing-masing. Rasionya adalah bahwa nahkoda dan orang lain itu menjalankan
pekerjaan yang memang menjadi keahliannya dan mereka mempunyai sertifikat
yang menyatakan kecakapan dan wewenang masing-masing untuk menjalankan
pekerjaan itu dengan bebas tanpa ikatan perintah oleh siapapun, termasuk oleh
pemilik kapal yang bersangkutan yang telah memperkerjakan mereka dalam jabatan
dan keahlian mereka masing-masing.
4. Deviation Clause
Pengangkut tidak diharuskan untuk berlayar di jalur yang biasa dilayari atau sudah
umum dilayari tetapi juga tidak boleh seenaknya melakukan penyimpangan yang
90 Hukum Pengangkutan Laut

dapat merugikan pemilik barang. Penyimpangan ini sudah barang tentu dapat
menimbulkan akibat-akibat yang merugikan, khususnya bagi pemilik muatan
kapal yang dengan adanya penyimpangan ini barangnya menjadi terlambat tiba
di pelabuhan tujuan dan mungkin juga mengalami kerusakan karena kering atau
busuk.
Untuk dapat menetapkan kepada siapakah akibat-akibat dari penyimpangan arah
kapal itu harus dibebankan, The Hague Rules telah menegaskan penyimpangan
manakah yang dinyatakan sah (lawful) dan penyimpangan mana yang dianggap
tidak sah sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab dari pengangkut.
Suatu penyimpangan arah pelayaran kapal dinyatakan sah (sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dicantumkan dalam syarat B/L), kalau penyimpangan tersebut
dilakukan dalam rangka usaha untuk:
- Menyelamatkan/berusaha untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda di laut
- Menjaga kepentingan pengangkut dan pemilik barang, misalnya untuk
menghindari badai.
Menurut ketentuan The Hague Rules, segala risiko dan kerusakan yang terjadi
sebagai akibat dari penyimpangan arah pelayaran seperti yang diterangkan di atas,
berada di luar tanggung jawab pengangkut. Pengangkut atau kapal tidak dapat
dituntut untuk mengganti kerugian yang terjadi sebagai akibat dari dilakukannya
penyimpangan arah secara sah (lawful deviation). Kalau penyimpangan arah
dilakukan misalnya dengan tujuan mengambil muatan di pelabuhan yang tidak
dilindungi oleh Deviation Clause, pengangkut atau kapal bertanggung jawab penuh
atas semua akibat dari penyimpangan itu, kalau menimbulkan kerusakan atau
kerugian pada muatan.
5. Un-acquaintance Clause
Pengangkut menyatakan bahwa ia menerima barang untuk dikapalkan dalam
bungkusan dan tidak menghitung isi atau jumlah barang yang terdapat dalam
kemasan yang dikapalkan biasanya dinyatakan dalam Bill of Lading misalnya:”Said
to Contain…” atau “Said to weight...”.
6. Paramount Clause
Ini adalah ketentuan tentang syarat tanggung jawab tertinggi (maksimum) yang
dapat dipikul oleh pengangkut. Ketentuan ini dibuat untuk memberikan batas yang
pasti, sampai seberapa besar maksimum pengangkut harus mengganti kerugian,
bila muatan yang diangkutnya mengalami kerugian atau kerusakan yang menjadi
tanggung jawab pengangkut.
Menurut The Hague Rules, tanggung jawab tertinggi yang dapat dipikul oleh
pengangkut adalah sebesar ₤ 100,- per-colli muatan, bila muatan tidak diberitahukan sifat,
nilai atau harganya kepada pengangkut sebelum pengapalan. Selanjutnya oleh The Hague
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 91

Rules ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas
kerugian atau kerusakan yang terjadi karena atau disebabkan oleh:
1. Kebakaran, kecuali kalau kebakaran itu terjadi karena kesalahan pengangkut, atau
kalau kesalahan itu terjadi dan pengangkut mengetahuinya tetapi merahasiakan itu.
2. Bahaya/bencana dan malapetaka laut atau perairan pelayaran lainnya (perils,
dangers and accidents of the sea or other navigable waters).
3. Kejadian lain yang berada di luar kekuasan manusia untuk mengatasinya (Act of God)
4. Tindakan peperangan
5. Tindakan permusuhan dari rakyat setempat
6. Penahanan oleh raja, pemerintah atau orang-orang (rakyat), atau penyitaan
karena tuntutan hukum
7. Pembatasan karantina
8. Tindakan atau kealpaan pengirim atau pengirum barang, agennya atau wakilnya.
9. Pemogokan dan tindakan-tindakan lain yang menyerupai pemogokan.
10. Kerusuhan atau pemberontakan
11. Kerugian karena susut isi atau susut berat barang, atau kerugian lainnya, kerusakan
sebagai akibat dari cacat, menurunnya kualitas atau kerusakan karena sifat
barangnya itu sendiri.
12. Pembungkus yang tidak mencukupi atau tidak memenuhi syarat sebagai suatu
seaworthy package.
13. Merk yang tidak jelas atau tidak baik catnya – yang dipergunakan untuk membuat
shipping mark – sehingga tidak dapat dibaca.
14. Cacat yang tersembunyi, yang tidak dapat diketahui dengan pengamatan yang
sewajarnya.
15. Setiap sebab lainnya yang terjadi di luar kesalahan atau diluar pengetahuan
pengangkut, kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa kesalahan atau kelalaian
pengangkut turut membantu mengakibatkan kerugian atau kerusakan itu.
Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Tanggung Jawab
Pengangkut tersebut terdapat dalam pasal 86, yang bunyinya adalah:
1. Perusahaan pengangkutan di perairan bertanggung jawab akibat yang ditimbulkan
oleh pengoperasian kapal berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut;
d. Kerugian pihak ketiga.
2. Jika perusahaan pengangkutan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c bukan disebabkan oleh kesalahannya maka
ia dapat dibebaskan dari sebagian atau seluruhnya dari tanggung jawab.
92 Hukum Pengangkutan Laut

Khusus mengenai pengangkutan barang-barang berdasarkan penjelasan UU No. 21


tahun 1992 tentang Pelayaran ini bahwa tanggung jawab itu adalah sesuai dengan perjanjian
pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk hal ini dapat
dilihat dari konosemen karena konosemen ini adalah merupakan tanda bukti dari adanya
suatu perjanjian pengangkutan, yang didalamnya diantaranya mengatur masalah tanggung
jawab beserta ganti ruginya dan hukum mana yang dipakai atau berlaku.
Sedangkan mengenai pembatasan tanggung jawab dari pengangkut, pada prinsipnya
pengangkut tidak diperbolehkan untuk membatasi tanggung jawabnya atas kerugian yang
diebabkan oleh kelalaian atau kesalahannya. Hal ini terlihat dari pasal 470 KUHD pada
alinea pertama yang menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian tidak dibenarkan untuk
mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan pertanggung jawaban dan
semua perjanjian semacam ini adalah batal.
Tetapi pada ayat (2) dan ayat (3) pasal 470 KUHD, memberikan keringanan pada
pengangkut sebagi berikut:
Ayat (2): pengangkut tidak bertanggung jawab atau lebih dari suatu jumlah tertentu
untuk setiap barang yang diangkutnya, kecuali apabila kepadanya diberitahukan tentang
sifat dan harga barang tersebut.
Ayat (3): pengangkut dapat memperjanjikan, bahwa ia tidak akan diwajibkan
memberikan suatu kerugianpun apabila sifat dan harga barang tersebut dengan sengaja
diberitahukan kepadanya secara keliru.
Bab FUNGSI PELABUHAN
SEBAGAI TERMINAL EKONOMI
6

Ribuan tahun yang lalu pelabuhan-pelabuhan yang ada pada awalnya dibangun di sungai-
sungai dan perairan pedalaman, kemudian berkembang secara bertahap, pelabuhan
dibangun ditepi laut terbuka seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Peran
dan fungsi pelabuhan pada masa tersebut hanya sebagai tempat aktivitas perdagangan,
sehingga fasilitas dan pengelolaannya belum merupakan kelembagaan yang dikelola secara
terstruktur dan terencana seperti pelabuhan yang ada dewasa ini.
Menurut tujuannya, kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan
kepentingan ekonomi dan kepentingan pemerintah, yang dalam perkembangannya
ditandai dengan perkembangan teknologi kemasan barang dan peralatannya yang
semakin baik disertai teknologi sarana angkutan laut cenderung meningkat. Pengelolaan
pelabuhan juga mengikutsertakan peran dari pihak swasta yaitu dalam pembangunan atau
penyelenggaraan sarana dan prasarana pelabuhan, sehingga hal ini mempengaruhi pola
investasi dan sistem pengelolaannya serta mendorong peran dan fungsi pelabuhan yang
semakin kompleks dibandingkan dengan sebelumnya.

A. Pelabuhan Laut dan Aspeknya


1. Definisi dan Pengertian Umum Pelabuhan
Pengertian tentang pelabuhan ada beberapa hal yang terkait, yaitu berasal dari kata Port dan
Harbour, namun pengertiannya tidak dapat diambil untuk menjadi pengertian pelabuhan
secara harfiah. Harbour mempunyai arti sebagian perairan yang terlindung badai, aman
dan baik atau cocok bagi akomodasi kapal-kapal untuk berlindung, mengisi bahan bakar,
persediaan, perbaikan dan bongkar muat barang. Sedangkan Port adalah harbour yang
terlindung, di mana tersedia fasilitas terminal laut, yang terdiri dari tambatan atau dermaga
untuk bongkar muat barang dari kapal, gudang, transit dan penumpukan lainnya untuk
menyimpan barang dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Kedua hal di atas mempunyai dua arti berbeda dari sudut penekanannya, namun
tujuannya sama. Dalam bahasa Indonesia Pelabuhan secara umum dapat didefinisikan
sebagai wilayah perairan yang terlindung, baik secara alamiah maupun secara buatan, yang

93
94 Hukum Pengangkutan Laut

dapat digunakan untuk tempat berlindung kapal dan melakukan aktivitas bongkar muat
barang, manusia ataupun hewan serta dilengkapi dengan fasilitas terminal yang terdiri dari
tambatan, gudang dan tempat penumpukan lainnya, di mana kapal melakukan transfer
muatannya.
Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang
kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau
barang, keselamatan berlayar, serta tempat perpindahan intra dan atau antar moda.
Pengertian pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan
disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun
penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan
antar moda transportasi.
Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang
dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda
serta mendorong perekonomian nasional dan daerah.
Pelabuhan sebagai “terminal point” bagi kapal merupakan hal yang utama.
Dikeluarkannya PP Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan diperbaharui
dengan PP Nomor 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan karena masalah kepelabuhan
merupakan bagian yang tidak terpisah dalam sistem ekonomi yang merupakan penunjang
bagi perkembangan industri, perdagangan maupun pelayaran. Dalam PP tersebut yang
dimaksud dengan pelabuhan ialah lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi kapal-kapal
dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan, dan
penumpang. PP tersebut menyebut adanya beberapa macam pelabuhan, yaitu:
a. Pelabuhan yang diusahakan yaitu: Pelabuhan yang dalam pembinaan Pemerintah
sesuai dengan kondisi, kemampuan dan perkembangan potensi pelabuhan yang
diusahakan menurut asas-asas hukum perusahaan atas ketetapan Menteri.
b. Pelabuhan yang tidak diusahakan yaitu: Pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah,
sesuai dengan kondisi kemampuan dan perkembangan potensinya, dan belum
ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan.
c. Pelabuhan otonom yaitu: Pelabuhan yang berwenang untuk mengatur diri sendiri
sesuai dengan suatu peraturan perundangan yang ada.
d. Pelabuhan Khusus yaitu: Pelabuhan yang khusus melayani suatu kegiatan industri
yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 95

e. Pelabuhan laut dan pelabuhan pantai yaitu: pelabuhan yang diatur menurut undang-
undang pelayaran Indonesia tahun 1936 dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pelabuhan sebagai terminal point untuk kapal laut serta kendaraan air lainnya
merupakan komponen logistik teknis yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan
angkutan laut. Dalam fungsinya sebagai terminal point, pelabuhan merupakan lingkungan
kerja khusus yang penyelenggaraan dan pengusahaannya dalam bentuk penanggung jawab
tunggal dan umum di bawah Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Selanjutnya PP
tersebut menetapkan:
a. Pelabuhan meliputi:
1). Lingkungan kerja yang terdiri atas luas perairan termasuk batas-batas
pelabuhan dan luas daratan untuk keperluan terminal;
2). Lingkungan kepentingan
b. Lingkungan kerja pelabuhan meliputi segala fasilitas teknisnya pelaksanaan dan
penyelenggaraan angkutan laut maupun usaha-usaha terminal
c. Lingkungan kepentingan pelabuhan ialah, lingkungan di mana penggunaan tanah
dan pembangunan gedung-gedung dan lain bangunan yang dilakukan setelah
mendapat persetujuan pejabat yang ditunjuk menteri dan mendengar pendapat
Menteri dalam negeri atau pejabat yang ditunjuknya. Demikian juga hal yang
mencakup lingkungan untuk penyelenggaraan angkutan melalui sungai dan terusan.
Pelabuhan laut dan pantai menurut PP 69 Tahun 2001 itu pengertiannya sesuai
dengan undang-undang pelayaran Indonesia 1936 (Indonesche Scheepsvaartwet 1936 S
1936 no. 700) yaitu:
a. Pelabuhan laut ialah tempat yang menurut peraturan pemerintah ditunjuk di
Indonesia yang dapat dikunjungi oleh kapal-kapal laut;
b. Pelabuhan pantai ialah setiap tempat lainnya di Indonesia yang dapat dikunjungi
kapal-kapal laut.
Pelabuhan-pelabuhan laut itu terbuka untuk perdagangan luar negeri untuk kapal-
kapal laut berbendera Indonesia dan negara-negara sahabat dengan syarat timbal balik
dan mentaati peraturan-peraturan setempat. Berdasarkan PP dapat ditunjuk pelabuhan-
pelabuhan pantai yang terbuka untuk perdagangan luar negeri untuk kapal-kapal laut serta
dengan penentuan jenis atau besarnya kapal.
Menurut tujuannya, kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan kepentingan
ekonomi dan kepentingan pemerintah lainnya, di mana secara signifikan pelabuhan
ditempatkan sebagai akselator (pemacu) pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu pelabuhan dengan segala aktivitasnya mempunyai keterkaitan yang sangat erat
(linkage) dengan sektor industri, pertanian, pariwisata dan sektor perdagangan. Pelabuhan
juga merupakan titik simpul dari mata rantai sistem transportasi serta merupakan pintu
96 Hukum Pengangkutan Laut

gerbang (gate way) khususnya bagi transportasi laut dalam rangka kegiatan lalu lintas
barang, peti kemas, pergerakan penumpang dan hewan, dengan demikian pelabuhan
mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Berkembangnya lalu lintas laut, teknologi bongkar muat, meningkatnya perdagangan antar
pulau dan luar negeri, maka kualitas peran dan fungsi pelabuhan sebagai terminal bagi
barang dan kapal, sebagaimana diuraikan tersebut di atas perlu ditingkatkan kualitasnya
secara konsisten dan berkesinambungan untuk mengimbangi laju pertumbuhan kegiatan
ekonomi dan perdagangan dari tahun ke tahun.

2. Fasilitas Pelabuhan
Seperti disebutkan dalam PP No. 69 Tahun 2001, maka pelabuhan adalah suatu lingkungan
kerja di mana kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman dan murah, terhindar dari bahaya-
bahaya yang mungkin mengancam kapal yang ditimbulkan oleh gelombang angin dan
sebagainya, untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan dan penumpang.
Untuk maksud itu seharusnya di pelabuhan tersebut harus terdapat alat-alat yang
diperlukan guna mempermudah dan memperlancar pembongkaran dan pemuatan
barang-barang dari atau ke kapal atau alat perlengkapan untuk mengambil bahan bakar,
perbekalan, air dan sebagainya. Sedapat mungkin di dalam pelabuhan ada dok (bengkel
kapal) untuk mengadakan perbaikan terhadap kapal, mengecat dan sebagainya, karena
pelabuhan dilihat dari fungsinya merupakan tempat bertemunya orang-orang asing dalam
melakukan perniagaan, maka agar mereka merasa senang pelayanan harus memuaskan.
Pelabuhan sebagai terminal point bagi kapal-kapal harus dapat menyediakan tempat
supaya kapal-kapal dapat merapat secara mudah dan aman serta dilengkapi dengan alat-
alat bongkar muat barang dan fasilitas-fasilitas lainnya. Di pelabuhan harus tersedia
fasilitas yang cukup tentang pandu-pandu laut, rambu-rambu suar demi keselamatan
pelayaran kapal. Rambu-rambu suar tersebut harus menyala dari saat matahari terbenam
hingga terbit atau bila jarak penglihatan kurang dari 2 mill laut. Juga di pelabuhan itu harus
ada gudang-gudang dan tempat penimbunan barang-barang, jalan dan jembatan, saluran
pembuangan air, listrik, air minum, pemadam kebakaran dan lain-lain.

3. Kedudukan Pelabuhan dalam Lalu lintas Internasional


Dalam kedudukannya sebagai lalu lintas internasional maka pelabuhan perlu mempunyai
status hukum dan diadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain. Untuk
kepentingan negara itu sendiri, maka lalu lintas harus lancar. Akomodasi gudang harus
baik, peraturan harus tidak berbelit-belit dan dijauhkan dari segala formalitas yang
memakan banyak waktu. Terhadap semua bangsa atau negara harus mendapat perlakuan
yang sama.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 97

Suatu pelabuhan yang dimasukkan dalam lalu lintas internasional terikat pada
perjanjian-perjanjian yang diadakan. Orang tidak dapat bebas memasuki pelabuhan bila
pelabuhan itu tidak termasuk dalam perjanjian. Perjanjian umum mengenai kedudukan
pelabuhan internasional dibuat di Jenewa pada 8 Desember 1923, yang disebut “Algemene
Zee-haven tractaat van Geneve” yang antara lain disebutkan:
a. Daerah mana perjanjian tersebut berlaku, ialah pelabuhan samudera yang dalam
waktu-waktu tertentu disinggahi oleh kapal-kapal samudera;
b. Asas-asas perjanjian. Kapal-kapal dari negara-negara lain harus mendapat perlakuan
yang sama misalnya mengenai diperbolehkannya masuk kedalam pelabuhan
pemakaian fasilitas pelayaran atau alat-alat, tarif-tarif seperti uang berlabuh, tambat
dan sebagainya. Tidak diperbolehkan menyewa seluruh panjang dermaga kepada
satu perusahaan, sebab akan atau menjadi monopoli dari perusahaan tersebut.
Dalam perjanjian jika suatu dermaga disewakan kepada satu perusahaan, maka tidak
boleh seluruh dermaga dikuasai oleh perusahaan tersebut. Yang boleh disewakan
kepada satu perusahaan hanya sebagian saja. Tarip pemasukan barang tidak boleh
didasarkan bendera bendera kapal yang mengangkut (nasionalitet kapal) tetapi
didasarkan atas macamnya barang.
c. Suatu negara yang terjadi sesuatu peristiwa yang menyangkut keamanan dan
kehidupan negara itu diperbolehkan mengambil langkah-langkah yang menyimpang
dan mungkin bertentangan dengan peraturan-peraturan dalam perjanjian tersebut.
Jadi harus berlandaskan demi keamanan dan kehidupan negara. Di dalam,
perjanjian internasional disebut juga jenis kapal yang tidak terikat oleh perjanjian
tersebut seperti kapal-kapal perang, kapal-kapal polisi, kapal-kapal ikan dengan
hasil tangkapannya, dan kapal dinas tunda.

4. Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut


Hal ini diatur dengan jelas dalam PP No. 2 Tahun 1969. Yang menjadi dasar ditetapkannya
PP tersebut ialah bahwa angkutan laut sebagai sarana perhubungan perlu diselenggarakan
atas dasar kepentingan umum dan ditujukan untuk membina ekonomi negara serta
melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan untuk mencapai tujuan
tersebut perlu menetapkan dasar-dasar pokok mengenai perusahaan dan penyelenggaraan
angkutan laut dengan memperhatikan peningkatan efisiensi kerja dari aparatur serta segala
kegiatan usaha yang bersifat menunjang.
a. Pengusahaan Pelayaran Dalam Negeri
1). Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri diusahakan berdasarkan pola
penilaian wawasan nusantara dengan cara penyelenggaraan suatu pelayaran
yang tetap dan teratur diseluruh wilayah nusantara; Pelayaran dalam negeri
merupakan segala jenis pelayaran yang diselenggarakan antar pulau yang
sering disebut sebagai pelayaran inter insuler (inter island);
98 Hukum Pengangkutan Laut

2). Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri pada prinsipnya diselenggarakan oleh


perusahaan pelayaran Indonesia. Jika terjadi kekurangan ruangan kapal, dapat
diambil kebijaksanaan menggunakan kapal-kapal yang bukan berbendera
Indonesia atas dasar sewa (charter), sewa ataupun perjanjian lainnya dengan
tetap memperhatikan persyaratan teknis, keamanan dan keselamatan pelayaran
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3). Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri dapat dilakukan setelah mendapat
izin usaha sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sedang berlaku yaitu: PP
No. 2 Tahun 1969.
Pengusahaan pelayaran dalam negeri itu meliputi;
(a) Pelayaran nusantara;
Yaitu pelayaran untuk melakukan usaha antar pelabuhan Indonesia
tanpa memandang jurusan yang ditempuh sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Penyelenggaraan pelayaran nusantara dilakukan oleh kapal-
kapal berbendera Indonesia dan diusahakan oleh perusahaan pelayaran
Indonesia. Penyelenggaraan pelayaran nusantara dibina untuk terjaminnya
penyelenggaraan angkutan laut diseluruh wilayah Indonesia secara tetap
dan teratur, dan perlu didasarkan pada suatu pola trayek angkutan laut yang
mencerminkan perniagaan dan arah perkembangan ekonomi negara Indonesia.
Penyelenggaraan yang tetap dan teratur dapat diarahkan kepada suatu cara
bentuk gabungan atau kesatuan operasional yang terorganisir. Menunjang
adanya pusat-pusat perdagangan sebagai pusat jaringan trayek-trayek yang
tetap dan teratur dari pelayaran, perlu didorong adanya kegiatan-kegiatan
akumulasi peralihan kapal (transshipment).
Pelayaran nusantara dapat dilakukan oleh kapal-kapal bukan berbendera
Indonesia yaitu kapal-kapal berbendera negara sahabat dan harus mendapat
izin (dispensasi) syarat bendera untuk melakukan pelayaran Nusantara
(dewasa ini jarang terjadi). Untuk memenuhi kebutuhan angkutan laut yang
teratur dan merata, maka setiap perusahaan pelayaran dapat diwajibkan
untuk melayari satu atau beberapa trayek tertentu. Untuk menyelenggarakan
pelayaran nusantara harus ada izin dari menteri perhubungan atau pejabat
yang ditunjuk. Adapun yang menjadi syarat untuk mendapatkan izin tersebut
ialah bahwa pelayaran nusantara itu merupakan perusahaan milik negara,
milik pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku; merupakan badan hukum berbentuk PT. (Perseroan Terbatas)
serta memiliki satu kapal atau lebih dari satu unit dengan jumlah 3000 m3 isi
kotor atau 1000 BRT. Disamping ini harus tersedia modal kerja yang cukup
untuk kelancaran usaha atas dasar norma-norma ekonomi perusahaan dan
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 99

akhirnya harus melaksanakan kebijaksanaan umum pemerintah dalam bidang


penyelenggaraan angkutan laut nusantara, yang menjadi kewajiban yang
dibebankan kepada pengusahaan pelayaran nusantara tersebut adalah;
(1) Harus ada syarat pengumuman kepada umum tentang perjalanan kapal,
tarip dan syarat-syarat pengangkutan;
(2) Harus mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dalam surat izin;
(3) Menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan dan pos sesuai
dengan persyaratan teknis kapal;
(4) Memberikan prioritas, pengangkutan kepada barang-barang sandang,
bahan-bahan industri dan ekspor;
(5) Memberitahukan kepada pejabat yang ditunjuk Menteri tentang tarip
angkutan yang digunakan, manifest dan keanggotaan konferensi atau
bentuk kerjasama lainnya serta informasi-informasi yang diperlukan.
(b) Pelayaran lokal;
Adalah usaha pengangkutan laut antar pelabuhan Indonesia yang ditunjuk
untuk memenuhi kebutuhan angkutan daerah yang fungsinya sebagai pembantu
(feeder) guna menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran samudera
dengan menggunakan kapal-kapal, sesuai teknis atau nautis yang berukuran
500 m3 isi kotor di bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah. Pelayaran lokal
dalam fungsi sebagai feeder diwajibkan mentaati ketentuan-ketentuan dan
norma-norma yang ditetapkan mengenai pelayaran nusantara dalam rangka
operasi bersama (joint operation).
(c) Pelayaran rakyat;
Adalah pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu layar termasuk yang
dilengkapi dengan motor sebagai alat penggerak pembantu. Penyelenggaraan
pelayaran rakyat didasarkan atas kepentingan umum dan disesuaikan dengan
sifat dan kondisi yang ada. Penyelenggaraan pelayaran rakyat diarahkan untuk
dapat berfungsi dan berperan sebagai penghubung utama dengan tempat-
tempat atau maupun daerah-daerah yang tak mungkin dikunjungi oleh kapal-
kapal nusantara dan sekaligus berfungsi sebagai feeder terhadap pelayaran
lokal nusantara.
(d) Pelayaran pedalaman, terusan dan sungai;
Pengusahaannya dilimpahkan kepada Dirjen Perhubungan Laut.
(e) Pelayaran penundaan laut.
Adalah pelayaran nusantara yang di dalam penyelenggaraannya menggunakan
tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal-kapal pandu.
100 Hukum Pengangkutan Laut

b. Pengusahaan Pelayaran Luar Negeri


Pelayaran luar negeri untuk meningkatkan ekspor dan perkembangan ekonomi
nasional pembinaannya diarahkan untuk memperoleh bagian yang wajar dan
volume muatan dalam lalu lintas perniagaan luar negeri satu dan lain dengan
tetap memperhatikan kemampuan yang nyata serta efisiensi perusahaan serta
pelayarannya. Pelayaran luar negeri dasarnya menggunakan sistem pelayaran
tetap dan teratur untuk menjamin tingkat angkutan (freight) yang layak dan
stabil serta tersedianya ruangan angkutan secara tetap dan teratur (liner system).
Di samping penyelenggaraan pelayaran luar negeri dengan liner sistem dapat pula
dilakukan dengan kapal-kapal yang menyelenggarakan pelayaran tidak tetap. Hal
ini dimaksudkan guna mengatasi kebutuhan angkutan pelayaran luar negeri yang
dapat dilayari oleh kapal-kapal liner.
Pelayaran luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat izin usaha sesuai ketentuan-
ketentuan peraturan-peraturan yang sedang berlaku. Pengusahaan pelayaran luar
negeri menurut PP No. 2 Tahun 1969 tersebut meliputi;
1). Pelayaran samudera dekat;
adalah pelayaran ke pelabuhan negara tetangga yang melebihi jarak 3000 mil
laut dari pelabuhan terluar Indonesia tanpa memandang jurusan;
Pelayaran samudera dekat merupakan usaha pelayaran yang berdiri sendiri
mengingat kenyataannya tidak dapat diadakan pembatasan yang tajam antara
pelayaran nusantara dengan pelayaran luar negeri ke dan dari negara-negara
tetangga tersebut, dengan demikian pelayaran samudera dekat dapat pula
dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran nusantara;
Pelayaran samudera dekat yang dimungkinkan pelaksanaannya oleh perusahaan
pelayaran nusantara untuk sewaktu-waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan
operasi serta ruangan kapal dengan kebutuhan angkutan yang dapat bersifat
berubah-ubah pada suatu saat.
2). Pelayaran samudera.
adalah pelayaran ke dan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran
samudera dekat. Penyelenggaraan pelayaran samudera dilaksanakan dengan
kapal-kapal besar dengan jarak tak terbatas sepanjang tetap memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan atau teknik nautis masih harus diperhatikan pula persyaratan yang
didasarkan pada perhitungan dari segi-segi ekonomi perusahaan.
c. Pelayaran Khusus
adalah pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal
pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil-hasil industri pertambangan dan
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 101

hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batubara, biji
besi, biji nikel, timah, bauskit dan barang-barang bulk lainnya. Penyelenggaraan
pelayaran khusus diarahkan kepada sasaran untuk dapat dikuasainya angkutan
barang-barang bulk tersebut oleh armada kapal-kapal niaga Indonesia. Pengaturan
dan penyelenggaraan pelayaran khusus hingga kini belum diatur secara khusus.

B. Peran dan Fungsi Pelabuhan


1. Jenis-jenis Pelabuhan Laut dan Peruntukannya
Bila ditinjau tentang jenis pelabuhan sangat beragam, tergantung dari sudut mana
memandangnya. Menurut sudut pandang orang awam, dikenal pelabuhan laut (sea port),
pelabuhan udara (air port), dan pelabuhan darat (dry port). Pembagian pelabuhan jenis ini
sebenarnya berdasarkan jenis moda transportasi utama yang dilayani. Untuk pelabuhan
laut, moda transportasi utama yang dilayani adalah kapal laut.
Pelabuhan umum menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut, sedangkan
pelabuhan darat melayani angkutan darat, seperti peti kemas yang diangkut menggunakan
kereta api, truk, dan sebagainya, yang mempunyai tempat tertentu di daratan dengan batas-
batas yang jelas, dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat, lapangan penumpukan dan
gudang serta prasarana dan sarana angkutan barang dengan cara pengemasan khusus dan
berfungsi sebagai pelabuhan umum.
Jenis Pelabuhan dapat dibagi berdasarkan:
a. Peraturan Perundang-undangan yaitu PP No. 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhanan,
pelabuhan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu;
1). pelabuhan umum yaitu pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan
pelayanan masyarakat umum dan
2). pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk kepentingan sendiri
guna menunjang kegiatan tertentu. Kegiatan pelabuhan ini penggunaannya
khusus untuk kegiatan sektor perindustrian, pertambangan, atau pertanian
yang pembangunannya dilakukan oleh instansi yang bersangkutan untuk
bongkar atau muat dari bahan baku serta hasil produksinya. Contoh: pelabuhan
khusus untuk minyak sawit, utuk minyak mentah, dan lain sebagainya.
b. segi Pengusahaannya:
1). Pelabuhan yang diusahakan, yaitu pelabuhan yang diselenggarakan untuk
memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh kapal yang memasuki
pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar muat dan lain-lain. Pelabuhan
semacam ini tentu saja dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang digunakan
oleh kapal dan muatannya, dikenakan pembayaran tertentu.
102 Hukum Pengangkutan Laut

2). Pelabuhan yang tidak diusahakan, yaitu pelabuhan yang hanya merupakan
tempat persinggahan kapal atau perahu, tanpa fasilitas-fasilitas bongkar muat,
Bea dan Cukai dan lain-lain.
c. Alamnya
Menurut alamnya, pelabuhan laut dibagi menjadi pelabuhan terbuka dan pelabuhan
tertutup. Pelabuhan terbuka adalah pelabuhan di mana kapal-kapal bisa masuk dan
merapat secara langsung tanpa bantuan pintu-pintu air. Pelabuhan di Indonesia
pada umumnya adalah pelabuhan terbuka. Pelabuhan tertutup adalah pelabuhan di
mana kapal-kapal yang masuk harus melalui beberapa pintu air. Pelabuhan tertutup
ini dibuat pada pantai di mana terdapat perbedaan pasang surut yang besar dan
waktu pasang surutnya berdekatan. Pelabuhan tertutup dapat ditemui di Liverpool
Inggris dan Terusan Panama.
d. Berdasarkan Lokasinya
1). Pelabuhan Pesisir;
2). Pelabuhan Sungai Muara;
3). Pelabuhan Danau;
4). Pelabuhan Kanal.
e. Lingkup pelayaran yang dilayani dibagi menjadi:
1) Pelabuhan Internasional yaitu pelabuhan yang melayani perdagangan dan
pelayaran internasional, contoh: pelabuhan Singapura, Tanjung Priok.
2) Pelabuhan Regional adalah pelabuhan yang melayani kegiatan perdagangan
di wilayah Asia, Eropa Barat, atau Amerika Latin. Contoh: Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya.
3) Pelabuhan Lokal adalah pelabuhan yang melayani kegiatan perdagangan atau
pelayaran daerah.Contoh: Pelabuhan Tegal di Jawa Tengah dan Pelabuhan
Pare-Pare di Sulawesi.
f. Kegiatan Perdagangan Luar Negeri
Terbagi atas Pelabuhan impor yaitu pelabuhan yang melayani masuknya barang-
barang dari luar negeri dan pelabuhan ekspor adalah pelabuhan yang melayani
penjualan barang-barang ke luar negeri.
g. Wilayah Pengawasan Bea dan Cukai
Dari segi pembagian wilayah Bea cukai, jenis pelabuhan dibagi menjadi custom port
adalah pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Bea Cukai. Sedangkan free port
(pelabuhan bebas) adalah pelabuhan yang berada di luar pengawasan Bea Cukai.
h. Menurut kegiatan Pelayaran dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu Pelabuhan Samudera
seperti pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak; Pelabuhan Nusantara
(Interinsuler) seperti pelabuhan Banjarmasin di Kalimantan Selatan; Pelabuhan
Pelayaran Rakyat adalah pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan, Jakarta.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 103

i. Peranan Pelabuhan dalam Pelayaran


Dibagi menjadi dua jenis, yaitu pelayaran Transito adalah pelabuhan yang yang
mengerjakan transhipment cargo (peralihan barang), contoh pelabuhan Singapura
dan pelabuhan Ferry adalah pelabuhan penyeberangan, yang dilakukan adalah
menghubungkan dua tempat dengan membawa penumpang dan kendaraan, contoh:
pelabuhan Banyuwangi Gilimanuk atau Merak-Bakahueni.
j. Berdasarkan kepemilikan
Pelabuhan Indonesia dibedakan menjadi: pelabuhan yang ditangani pemerintah
pusat dan sektor swasta.
1). Golongan pertama adalah pelabuhan di bawah pembinaan Departemen
Perhubungan, yang terdiri dari pelabuhan umum Perumpel yang diusahakan
maupun pelabuhan yang tidak diusahakan dalam pembinaan Ditjen
Perhubungan Laut, serta pelabuhan yang dikelola instansi BUMN lainnya di
luar Departemen Perhubungan.
2). Sementara itu, pelabuhan yang dibangun dan dioperasikan oleh pihak swasta
digolongkan dalam kelompok yang kedua.
Fungsi Pelabuhan sebagai tempat pertemuan lalu lintas internasional dan lalu lintas
seperti pelayaran inter-insuler, pelayaran samudera, pelayaran dalam negeri menuntut
tenaga kerja yang bermutu dalam melaksanakan kegiatan fungsi pelabuhan. Oleh karena
itu arah dan sasaran pembinaan sumber daya manusia (SDM) pelabuhan harus diarahkan
pada pemberdayaan SDM terutama pada kualitas maupun kuantitas tenaga kerja yang ada
dalam mengantisipasi permintaan layanan dari pelanggan atau mitra kerja yang semakin
kompleks, sehingga diperlukan layanan spesifik atau khusus terhadap jasa pelabuhan.
Untuk mewujudkan hal itu diperlukan tenaga-tenaga yang andal, profesional,
tangguh, dan ulet. Kepuasan pelanggan yang menjadi tujuan utamanya sedangkan
pemupukan keuntungan usaha serta kesejahteraan para karyawannya merupakan tujuan
yang mengikuti dibelakangnya.
Pembinaan SDM pelabuhan diarahkan pada;
a. Pengelola SDM dengan prinsip kuantitas minimal, kualitas maksimal;
b. Pengembangan SDM dengan pola jenjang karir yang jelas dan
c. Diklat yang terarah dan merata dengan titik berat pada keterampilan;
d. Penataan dan penyesuaian struktur penghasilan personil;
e. Pemantapan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan lainnya;
f. Mewujudkan iklim organisasi yang sehat dan dinamis;
g. Peningkatan keterlibatan bidang hukum pada setiap produk hukum.

Unsur-unsur Pelaksana kegiatan fungsi pelabuhan dinamakan sumber daya


masyarakat pelabuhan yaitu unit atau badan yang melakukan kegiatan di dalam pelabuhan,
104 Hukum Pengangkutan Laut

untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan pemerintahan, adapun unsur-unsur


masyarakat pelabuhan antara lain;
a. Unsur Pemerintahan;
1). Administrator Pelabuhan (selanjutnya disebutkan Adpel)
Memiliki peran dan tugas di pelabuhan antara lain sebagai koordinator bagi
instansi-instansi yang ada di lingkungan pelabuhan. Adapun tugasnya meliputi:
a). Menjaga keselamatan Pelayaran (Syahbandar);
b). Menyediakan sarana bantu navigasi (Distrik Navigasi);
c). Menjamin keamanan dan ketertiban perairan (KPLP sekarang GAMAT);
d). Memelihara kelestarian lingkungan.
2). Bea Cukai
Instansi Pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang bertugas
dipelabuhan sebagai pelaksana pengawasan dan pengamanan pendapatan
negara (bea masuk, cukai) kelancaran arus barang dan dokumen barang ekpor-
impor;
3). Imigrasi
Aparat Departemen Kehakiman yang menyelenggarakan kegiatan keimigrasian
yang terkait dengan pelayanan, perijinan, pengawasan, pengamanan dan
pengendalian lalu lintas orang antar negara, serta beradanya orang asing di
Wilayah Negara Indonesia.
4). Karantina
Aparat Pemerintah di bawah Departemen Pertanian yang bertugas untuk
memantau dan mengelola lalu lintas tumbuhan dan hewan yang keluar masuk
melalui wilayah kerja, di samping itu berfungsi sebagai karantina tumbuhan
dan hewan yang juga merupakan filter untuk mencegah masuk dan tersebarnya
organisme pengganggu tumbuhan maupun hewan melalui pemeriksaan
kesehatan dan berbagai media yang dapat mengganggu atau menjadi sumber
penularan.
5). KPPP (Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan)
Adalah aparat kepolisian yang berfungsi sebagai penyelenggara keamanan dan
ketertiban umum di lingkungan pelabuhan.
b. Unsur Pengelola Pelabuhan
1). PT (Persero) Pelindo adalah BUMN yang diberi wewenang menyelenggarakan
perngusahaan pelabuhan selaku penyedia jasa pelabuhan;
2). Perusahaan Swasta dan BUMN lainnya diberi wewenang menyelenggarakan
pengusahaan pelabuhan khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang
kegiatan tertentu selaku penyedia jasa/terminal di Pelabuhan Khusus;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 105

3). Banyak terminal pelabuhan dan pergudangannya dikelola dan dioperasikan


oleh para perusahaan pelayaran pelayaran dan atau manajemen perusahaan
swasta atau BUMN selaku Terminal Operator.
c. Pemakai jasa
1) Perusahaan Pelayaran;
Yaitu usaha yang meliputi beberapa aspek bisnis di bidang angkutan laut,
seperti jasa angkutan untuk berbagai jenis dan bentuk barang dagangan, jasa
angkutan penumpang, jasa keagenan kapal dan jasa-jasa lainnya yang terkait
dengan kegiatan angkutan laut seperti jasa bongkar muat barang di pelabuhan,
jasa pergudangan, jasa perhitungan dan pencatatan muatan, jasa “Freight
Forwarding”.
2) EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut);
Perusahaan yang menangangi dan mengurusi pengiriman barang dan dokumen
melalui kapal laut dari pengiriman (pemilik) barang sampai ke penerima barang
3) PBM (Perusahaan Bongkar Muat selanjutnya PBM);
Perusahaan yang melakukan kegiatan bongkar muat barang, menimbun di
gudang, lapangan penumpukan, khusus untuk barang bongkar langsung
diserahkan ke atas truk EMKL lambung kapal dan membawa ke luar pelabuhan
(truck loosing).
4) TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat selanjutnya TKBM)
Menyiapkan tenaga kerja untuk melaksanakan bongkar muat di pelabuhan
sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh PBM.
Dalam mengelola kegiatan pelabuhan terdapat suatu manajemen dalam pelabuhan.
Manajemen dalam konteks ini diartikan sebagai pengorganisasian sumber daya dan
usaha dalam menjalankan tugas yang telah ditetapkan. Jadi manajemen pelabuhan
adalah pengorganisasian pengelolaan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan untuk
mencapai tujuan sesuai tugas didirikannya pelabuhan tersebut.
Terdapat kesamaan tujuan pokok yang ada pada setiap pelabuhan, baik itu di negara
maju maupun berkembang, yaitu memenuhi kebutuhan para pelanggan pelabuhan.
Secara umum, para pelanggan jasa pelabuhan memerlukan fasilitas dan pelayanan
untuk kapal, barang dan angkutan darat.
Untuk menunjang kegiatan fungsi pelabuhan diperlukan fasilitas pelabuhan yang
secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
a. Infrastruktur, adalah fasilitas dasar seperti alur pelayaran dan alat Bantu
navigasinya, penahan gelombang (breakwater), dermaga dan sebagainya.
Kesimpulannya infrastruktur adalah fasilitas untuk kapal.
b. Suprastruktur, adalah fasilitas yang disediakan di atas permukaan tanah
pelabuhan, seperti gudang, lapangan penumpukan dan peralatan bongkar muat.
106 Hukum Pengangkutan Laut

Kesimpulannya, suprastruktur adalah fasilitas untuk barang dan angkutan


darat.
Sedangkan tinjauan dari segi pelayananan kepelabuhan dapat dibedakan menjadi:
a. Pelayanan kapal, yang dapat meliputi: informasi navigasi dan pelayanan radio
telepon, pemanduan, penundaan kepil, pengisian air kapal dan bunkering,
serta repair;
b. Pelayanan barang, yaitu cargo handling dan penumpukan;
c. Pelayanan angkutan darat, misalnya pengaturan truk dan kereta api;
d. Pelayanan umum, diantaranya: Penerangan jalan, pemadam kebakaran,
keamanan, sanitasi dan sebagainya.
Diluar hal tersebut, masih terdapat kegiatan yang pada umumnya menjadi tanggung
jawab pemerintah, yang meliputi: imigrasi, bea cukai, kesehatan dan pembinaan buruh
pelabuhan. Meskipun pada dasarnya, kebutuhan para pelanggan jasa pelabuhan tersebut
di atas sama di semua bagian di dunia, tetapi struktur administrasi pengelolaan pelabuhan
berbeda pada setiap negara, bahkan berbeda-beda dalam satu negara sekalipun. Struktur
tersebut demikian beragamnya dan disebabkan oleh latar belakang sejarah, lingkungan
politik, ekonomi dan sosial di mana pelabuhan menjalankan fungsinya.

2. Peran Umum Pelabuhan dan Kontribusinya bagi Negara


Pelabuhan merupakan salah satu prasarana ekonomi yang sangat penting bagi negara
Indonesia karena dapat menyumbangkan pendapatan devisa yang besar apabila kinerjanya
dilakukan secara optimal, efektif dan efisien dengan dukungan sarana dan prasarana yang
baik. Indonesia memiliki tidak kurang dari 560 pelabuhan besar dan kecil yang tersebar di
seluruh nusantara, 110 diantaranya merupakan pelabuhan-pelabuhan relatif besar yang
bersifat komersial, dan dikelola oleh empat PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia.
Pelabuhan menurut perannya antara lain;
a. Simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hirarkinya;
b. Pintu gerbang kegiatan perekonomian daerah, nasional dan internasional;
c. Tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. Penunjang kegiatan industri dan perdagangan;
e. Tempat distribusi, konsolidasi dan produksi.
Sebagai terminal dari moda angkutan laut, pelabuhan laut mempunyai kedudukan
yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi dari suatu negara, mengingat;
a. Pelabuhan laut dapat menyediakan suatu akses langsung ke pasaran dunia yang
merupakan kesempatan baik bagi negara sedang berkembang untuk berdagang
dengan banyak negara tanpa biaya perantara;
b. Pelabuhan laut juga dapat merupakan sumber untuk mendapatkan mata uang asing
(devisa) melalui barang atau komoditi yang diekspor;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 107

c. Dengan adanya suatu pelabuhan laut yang besar, dapat menjamin ketidaktergantungan
ekonomi atau politik kepada negara lain;
d. Kegiatan mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan modal dari negara
industri (negara maju) melalui pelabuhan laut.
Peran pelabuhan berbeda-beda tergantung dari fungsinya dalam melakukan kegiatan
yaitu;
a. Pelabuhan Komersial, dikelola oleh PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia, selanjutnya
disebut PT. (Persero) Pelindo, mempunyai arti penting sebagai penunjang langsung
pertumbuhan industri atau pertanian maupun perkebunan yang berorientasi
ekspor bagi daerah yang bersangkutan. Sebagai BUMN dengan status PT. (Persero),
pelabuhan di bawahnya harus dapat meraih keuntungan karena merupakan salah
satu sumber pendapatan negara bukan pajak
b. Pelabuhan yang dikelola langsung oleh pemerintah mempunyai arti penting untuk
pengembangan ekonomi, sosial budaya, demi berjalannya fungsi pemerintahan
maupun fungsi pertahanan dan keamanan dari daerah atau pulau terpencil. Karena
peranannya sebagai perintis, maka pelabuhan ini tidak akan meraih keuntungan
sehingga semua biaya pengelolaan pelabuhan ditanggung negara.
c. Pelabuhan khusus ini dikelola dan dibangun oleh industri yang bersangkutan. Bila
dilihat dari industri yang bersangkutan maka pelabuhan ini juga bersifat komersial.
Pengadaan atau pembangunan pelabuhan ini didasarkan atas pertimbangan
kepentingan industri yang bersangkutan karena lokasinya jauh dari pelabuhan
umum.
Pelabuhan memberikan kontribusi yang besar bagi negara apabila dalam menjalankan
fungsinya dengan efektif dan efisien. Kontribusi di sini tidak selalu dalam arti uang sebagai
keuntungan yang diperoleh suatu pelabuhan, tetapi berupa pengaruh positif terutama
terhadap kehidupan ekonomi hinterland (daerah industri belakang), karena keberadaan
suatu pelabuhan sebagai prasarana ekonomi terhadap hinterlandnya.
Peranan pelabuhan di masing-masing negara tidak sama dan bervariasi satu sama
lain. Demikian pula kontribusi pelabuhan terhadap ekonomi negara yang bersangkutan
tidak sama dan tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Contohnya saja; negara
Singapura dan Rotterdan sebagai pelabuhan transhipmen (pengalihan kapal-kapal)
terbesar dan teramai di Asean dan Eropa mempunyai peranan dan kontribusi yang sangat
besar terhadap ekonomi negaranya karena merupakan pusat distribusi kebutuhan banyak
negara-negara.
Indonesia sebgai negara kepulauan atau negara nusantara, peranan pelabuhan sangat
berbeda dengan peranan pelabuhan di atas dan tidak dapat disamakan dengan kedua
peranan pelabuhan didua negara di atas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri
dari belasan ribu pulau dengan penduduk lebih dari dua ratus juta yang tersebar secara
108 Hukum Pengangkutan Laut

tidak merata di ribuan pulau tersebut sebagai pemersatu dan merupakan jalan raya yang
akan menghubungkan ribuan pulau-pulau tersebut dengan menggunakan transportasi
laut. Apa pun jenis kapal sebagai sarana transportasi laut yang digunakan, mulai dari
kapal ukuran besar sebagai kapal penumpang maupun kapal untuk barang seperti kapal
peti kemas memerlukan pelabuhan sesuai dengan ukuran dan jenis kapal. Demikian juga
kapal ukuran kecil sampai pada perahu rakyat antar pulau yang mengangkut barang-
barang kebutuhan rakyat, dan sebaliknya membawa hasil pertanian atau hasil hutan dari
pulau-pulau terpencil , tentu juga membutuhkan pelabuhan walau hanya dengan fasilitas
sederhana sekalipun. Untuk itu pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting guna
menunjang transportasi laut baik antar pulau maupun angkutan internasional.

3. Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Industri dan Perdagangan


Posisi pelabuhan sebagai pintu gerbang dari masuknya kapal-kapal ke suatu negara
merupakan faktor utama dalam membangun kegiatan perekonomian nasional dan
internasional suatu negara. Dalam pembangunan kota bisnis atau kota pantai, posisi
pelabuhan dianggap sebagai faktor kunci dalam kegiatan perekonomian suatu negara, yang
berfungsi sebagai simpul dalam jaringan transportasi, sebagai tempat kegiatan bongkar
muat transportasi, dan sebagai tempat untuk mendukung pembangunan industri dan
pertumbuhan ekonomi daerah hinterland, di samping fungsinya sebagai tempat percepatan
pertumbuhan industri dan perdagangan, dan dalam beberapa situasi dapat berperan
sebagai stabilitator harga.
Fungsi pelabuhan dari segi industri sangat menguntungkan, ini dilihat dari kemudahan
melakukan hubungan langsung angkutan laut. Terdapat beberapa jenis industri tertentu
yang letaknya berada didekat atau di dalam pelabuhan. Hal ini pada umumnya dikaitkan
dengan pertimbangan transportasi dari bahan mentah yang diperlukan (raw material)
maupun pertimbangan transportasi dan distribusi dari hasil produksinya, yang pada
umumnya dalam jumlah yang sangat besar. Jenis industri tersebut antara lain industri baja,
industri pupuk, industri pengilangan minyak dan lain-lain.
Selain itu pelabuhan dalam konstelasi pertumbuhan ekonomi berfungsi sebagai pintu
gerbang bagi perekonomian suatu daerah dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi
daerah yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan keberadaan suatu pelabuhan akan diikuti
industri di hinterlandnya atau daerah belakang suatu daerah. Sehingga baik secara langsung
maupun tidak langsung akan memberi masukan dan pengaruh dari keberadaan pelabuhan
tersebut. Adapun tujuan akhirnya adalah agar segala aktivitas dan pelaku ekonomi yang
berada di daerah mempunyai nilai tambah. Fungsi pelabuhan di atas menunjukkan posis
pelabuhan sebagai tempat yang aman untuk berlabuh kapal dan sebagai terminal transfer
barang dan penumpang merupakan fungsi pelabuhan sebagai interface. Selain itu, fungsi
pelabuhan sebagai link, gateway, dan industry entity.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 109

1) Tempat Pertemuan (Interface);


Pelabuhan merupakan tempat pertemuan dua moda transportasi utama yaitu
darat dan laut serta berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang-barang yang
diangkut dengan kapal laut akan dibongkar dan dipindahkan ke angkutan darat
seperti truk atau kereta api, dan sebaliknya, barang-barang yang diangkut dengan
truk atau kereta api di pelabuhan dibongkar dan dimuat ke kapal. Oleh karena itu
di pelabuhan berbagai kepentingan bertemu, maka di pelabuhan berdiri beberapa
instansi yang berkepentingan untuk mengurus kegiatan-kegiatan yang berlangsung
di pelabuhan, seperti bank yang melayani pelayaran maupun kegiatan ekspor impor.
Pelabuhan merupakan tempat bagi instansi Bea Cukai untuk memungut bea masuk.
Di pelabuhan, syahbandar akan memeriksa keselamatan pelayaran. Selain itu, di
pelabuhan banyak berdiri perusahaan yang melayani pelayaran, seperti leveransir,
pemasok peralatan kapal, dan lain sebagainya.
2) Gapura atau gerbang (Gateway)
Pelabuhan berfungsi sebagai gapura atau pintu gerbang suatu negara. Warga negara
dan barang-barang dari warga negara asing yang memiliki pertalian ekonomi
masuk ke suatu negara akan melewati pelabuhan tersebut. Sebagai pintu gerbang
negara, citra negara sangat ditentukan oleh baikknya pelayaran, kelancaran serta
kebersihan di pelabuhan tersebut.
Pelayanan dan kebersihan di pelabuhan merupakan cermin negara yang
bersangkutan. Di banyak pelabuhan di luar negeri, ketika kapal sandar akan
segera dikunjungi oleh petugas pariwisata dari negara setempat. Petugas tersebut
akan membagikan brosur-brosur mengenai tempat pariwisata yang dekat dengan
pelabuhan serta informasi tempat-tempat berbelanja atau tempat makan. Selain itu,
ada juga brosur yang memberi informasi mengenai jumlah penduduk, adat istiadat,
serta sarana transportasi yang tersedia. Pelabuhan sebagai satu-satunya pintu masuk
atau keluarnya barang ke atau dari negara atau daerah tersebut. Dalam hal ini
pelabuhan memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian negara atau
daerah tersebut.
Pelabuhan sebagai pintu gerbang maka kapal-kapal yang memasuki pelabuhan
tersebut tentu terkena peraturan perundang-undangan dari negara atau daerah
di mana pelabuhan tersebut berada, antara lain: ketentuan-ketentuan bea cukai,
imigrasi, karantina, peraturan ekspor dan impor dan sebagainya.
3) Entitas Industri
Dari perkembangan industri yang berorientasi ekspor maka fungsi pelabuhan
menjadi sangat penting. Dengan adanya pelabuhan, hal itu akan memudahkan
industri mengirim produknya dan mendatangkan bahan baku melalui perantara
kapal. Dengan demikian, pelabuhan berkembang menjadi suatu jenis industri
110 Hukum Pengangkutan Laut

sendiri yang menjadi ajang bisnis berbagai jenis usaha, mulai dari transportasi,
perbankan, perusahaan sewa menyewa peralatan, dan sebagainya.
4) Mata Rantai Transportasi
Pelabuhan merupakan bagian dari rantai transportasi. Di pelabuhan berbagai moda
transportasi bertemu dan bekerja. Pelabuhan merupakan salah satu titik dari mata
rantai angkutan darat dengan angkutan laut. Orang dan barang yang diangkut
dengan kereta api bisa diangkut mengikuti rantai transportasi dengan menggunakan
kapal laut. Oleh karena itu, akses jalan mobil, rel kereta api, jalur dari dan ke bandar
udara sangatlah penting bagi suatu pelabuhan. Selain itu, sarana pendukung, seperti
perahu kecil dan tongkang akan sangat membantu kelancaran aktivitas pelabuhan
sebagai salah satu mata rantai transportasi. Dalam perkembangannya fungsi
pelabuhan mengalami penambahan fungsi yang merupakan tambahan terhadap
fungsi dasarnya, seperti; zona industri; tempat penimbunan dan distribusi barang
dalam sistem logistik; tempat atau depo penumpukan barang.
Dapat dikatakan fungsi pelabuhan sebagai tumpuan kegiatan-kegiatan ekonomi dan
pemerintahan merupakan suatu terminal uang melayani:
1). Kegiatan memuat atau membongkar barang dan naik turun penumpang,
memindahkan dari suatu kendaraan ke yang lain;
2). Untuk penampungan barang atau penumpang dari waktu datang sampai keluar,
tempat memproses barang dan membungkus untuk diangkut;
3). Untuk tempat dokumentasi, menimbang barang, persiapan surat-surat, pemilihan
rute, penjualan tiket, pemeriksaan, dan lain-lain;
4). Penampungan kendaraan dan komponen lain, perawatan dan pengaturan;
5). Tempat pengumpulan barang dan penumpang sehingga mencapai jumlah tertentu
yang ekonomis untuk diangkut;
6). Industri.

1. Fungsi Pemerintahan dan Fungsi Pengusahaan di Pelabuhan


Peran dan Fungsi pelabuhan tersebut di atas dapat disimpulkan tujuan dan sasaran utama
pelabuhan adalah:
a. Selaras dan menunjang kebijakan pemerintah terkait;
b. Menyediakan atau menyelenggarakan tingkat pelayanan yang optimal untuk daerah
terpencil;
c. Menghasilkan keseluruhan biaya transportasi terendah;
d. Menghasilkan kemanfaatan sistem-ekonomi yang maksimum;
e. Tingkat operasi yang efisien;
f. Layak secara finansial.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 111

Dalam pelaksanaan kegiatannya menurut fungsinya pelayanan kepelabuhanan


diarahkan pada:
a. Kegiatan Pemerintahan;
b. Kegiatan Jasa Kepelabuhanan;
c. Kegiatan Jasa Kawasan;
d. Kegiatan Penunjang Kepelabuhanan.
Selain itu melayani:
a. Angkutan laut yang selanjutnya disebut pelabuhan laut;
b. Angkutan sungai dan danau yang selanjutnya disebut pelabuhan sungai dan danau;
c. Angkutan penyeberangan yang selanjutnya disebut pelabuhan penyeberangan.
Fungsi yang terdapat dalam kegiatan pelabuhan meliputi, Fungsi pengusahaan
yang mencakup kegiatan usaha pelabuhan dalam menyediakan fasilitas dan memberikan
pelayanan kepada pemakai jasa pelabuhan baik pemilik kapal maupun pemilik barang.
Fungsi usaha ini tidak hanya dilakukan oleh pengelola pelabuhan tetapi juga dilaksanakan
oleh perusahaan swasta lainnya yang melaksanakan segmen usaha tertentu dalam kegiatan
pelabuhan sebagai sub fungsi dalam memberikan pelayanan terhadap kapal maupun
barang. Kegiatan utama dalam fungsi usaha ini dilaksanakan oleh PT. (Persero) Pelabuhan
Indonesia sebagai BUMN pengelola pelabuhan yang khusus didirikan untuk itu.
Fungsi usaha lainnya dilakukan oleh: perusahaan pelayaran atau agen perusahaan
pelayaran; perusahaan bongkar muat atau dapat juga disebut terminal operator; freight
forwarder atau lebih dikenal dengan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan per-veem-
an sebagai operator gudang lini II; dan perusahaan angkutan dengan menggunakan truk
(trucking company); perusahaan pemasok bahan bakar minyak (bunkers); dan perusahaan
lainnya yang terkait langsung atau tudak langsung dengan pelayanan terhadap kapal atau
barang di pelabuhan.
Sampai saat ini fasilitas yang disediakan dan pelayanan terhadap kapal sebagaian
besar dilaksanakan oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia, seperti: pelayanan pemanduan;
penyediaan kapal tunda dan pelayanan penundaan; serta kegiatan penyandaran kapal atau
mooring atau unmooring.
Fungsi pemerintahan merupakan fungsi strategis dan penting penunjang kegiatan
pelabuhan berupa tertib administratif yang mencakup beberapa kegiatan yang merupakan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan (law enforcement) di bidang;
a. Keselamatan Pelayaran, fungsi ini dilakukan oleh Syahbandar (harbour master)
sebagai instansi pemerintahan yang melaksanakan kegiatan dan mempunyai
wewenang pengawasan terhadap keselamatan kapal (safety of ship) dan pencegahan
dan penanggulangan pencemaran laur, serta persyaratan awak kapal. Dalam
melaksanakan fungsi pengawasan ini, syahbandar berwenang memeriksa apakah
kapal-kapal yang memasuki pelabuhan sudah memenuhi aturan yang berlaku dan
112 Hukum Pengangkutan Laut

apakah semua sertifikat kapal dan ijazah atau sertifikat awak kapal dah dan masih
berlaku, dan lain sebagainya. Tetapi terhadap kapal asing pemeriksaan tersebut harus
memuat aturan yang berlaku secara internasional baik berupa konvensi maupun
hukum internasional lainnya di mana Indonesia terikat atau mengakuinya.
b. Pabean, fungsi ini dilakukan oleh Bea dan Cukai sebagai instansi pemerintah yang
melaksanakan kegiatan dan mempunyai wewenang pengawasan terhadap lalu
lintas barang yang keluar masuk wilayah pabean Indonesia, termasuk baraang
terlarang, obat-obat berbahaya atau narkotik (drug trafficking) atau semacamnya,
dan memungut bea terhadap barang yang menurut aturannya dikenakan bea.
c. Keimigrasian, fungsi ini dilakukan oleh Kantor Imigrasi sebagai instansi pemerintah
yang melaksanakan kegiatan pengawasan lalu lintas orang yang keluar masuk
wilayah negara dengan atau tanpa visa, dan berwenang untuk memeriksa paspor
atau dokumen lainnya setiap orang yang keluar masuk wilayah negara.
d. Karantina, baik karantina terhadap penyakit menular bagi manusia, maupun
karantina terhadap hewan atau tumbuhan ini berwenang memeriksa setiap orang
yang memasuki wilayah Indonesia dan dapat menahan untuk dikarantina bila
diketahui terdapat adanya gejala penyakit menular, serta mengawasi lalu lintas
hewan dan tumbuhan di pelabuhan.
Keberadaan berbagai instansi pemerintahan di pelabuhan adalah karena pelabuhan
dengan fungsinya sebagai pintu gerbang, terutama dalam melayani kapal asing di mana
dimulai titik singgung melalui kedatangan kapal dari suatu negara yang memasuki negara
lain yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dengan peraturan yang
berbeda pula.
Pada dasarnya, tiap fungsi pemerintahan tersebut mempunyai landasan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang dijalankan serta mempunyai garis pertanggung
jawaban kepada instansi vertikal masing-masing hierarki. Tetapi dalam pelaksanaan
tugas di lapangan sering terjadi perbenturan kepentingan antar instansi, yang sangat
mempengaruhi kerja sama dan kinerja pelabuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Oleh
sebab itu di pelabuhan diperlukan koordinasi horisontal untuk mewujudkan kelancaran
dan ketertiban sebagai salah satu indikator tingkat efisiensi pelayanan di pelabuhan. Di
Indonesia wujud koordinasi ini diatur berdasarkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) PP No. 69 Tahun 2001 yang mengatur;
(1). Pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa kepelabuhanan di
pelabuhan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dikoordinasikan oleh Kepala
Kantor Pelabuhan;
(2). Pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan, dikoordinasikan oleh Pejabat yang
ditunjuk Menteri;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 113

(3). Pejabat Pemegang fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut;
(a). Mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah terkait dan kegiatan
pelayanan jasa pelabuhan, guna menjamin kelancaran tugas operasional di
pelabuhan;
(b). Menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan
operasional pelabuhan yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi pemerintah,
badan usaha dan unit kerja terkait lainnya.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi pelaksanaan kegiatan di pelabuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (a), ayat (b) dan ayat (c) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Dalam penjelasan pasal 27 ayat (1), dan ayat (2) huruf a, dinyatakan:
(1) Pelaksanaan kegiatan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini dilakukan sesuai fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Huruf a;
Pejabat pemegang fungsi koordinasi dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi
pemerintah terkait dengan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan, memperhatikan
dengan sungguh-sungguh upaya untuk mencegah terjadinya kegiatan atau tindakan
yang dapat mengakibatkan terganggunya kelancaran operasional kepelabuhanan.
Pejabat pemegang fungsi koordinasi dalam menjalankan wewenangnya tidak
mencampuri kewenangan bidang teknis dari instansi pemerintah terkait serta pelayanan
jasa kepelabuhanan oleh penyelenggaran pelabuhan.

C. Pelabuhan Sebagai Terminal Point Kegiatan Ekonomi


Pelabuhan sebagai terminal point mempunyai arti sebagai tempat bertemunya dua buah
moda transportasi yaitu transportasi darat dan transportasi laut. Merupakan tempat kapal
berlabuh dan bertambat untuk melaksanakan bongkar muat barang, penumpang atau
untuk kepentingan lainnya.

1. Pelabuhan Sebagai Sarana Penunjang Pengangkutan Laut


Pelabuhan sebagai tumpuan kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintah, merupakan
sarana untuk menyelenggarakan pelayanan jasa kepelabuhanan dalam menunjang
penyelenggaraan pengangkutan laut. Kapal-kapal membutuhkan pelabuhan sebagai
tempat bertambat dan berlabuh untuk melakukan kegiatannya yang meliputi bongkar
muat barang, menaikkan dan menurunkan penumpang. Seperti diketahui fungsi dari
pelabuhan adalah sebagai tumpuan tatanan kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintahan
114 Hukum Pengangkutan Laut

yang merupakan sarana untuk menyelenggarakan pelayanan jasa kepelabuhanan dalam


menunjang penyelenggaraan angkutan laut.
Sedangkan peranan pelabuhan bagi angkutan laut adalah sebagai berikut;
a. Total Sistem angkutan, yaitu; merupakan titik temu antar sub sistem angkutan darat
dan laut sehingga terjadi kegiatan peralihan muatan di pelabuhan;
b. Potensi Hinterland; merupakan pintu gerbang masuknya barang konsumen dan
keluarnya komoditi produksi yang diangkut dengan menggunakan kapal laut untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi daerah dan lingkungannya.
Pelabuhan sebagai terminal point untuk kapal laut serta kendaraan air lainnya,
merupakan komponen logistik teknis-teknis yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan
pengangkutan laut. Penggunaan fasilitas pelabuhan diperlukan untuk melayani kapal-
kapal laut dan kendaraan air lainnya untuk keperluan melabuh dan menambat kapal-kapal
guna embarkasi penumpang, bongkar barang-barang, hewan dan lain-lain; pemberian
fasilitas untuk berbagai keperluan kapal; pemeriksaan-pemeriksaan yang bertalian
dengan peraturan tertentu serta mempunyai fasilitas-fasilitas pelayaran, perkapalan dan
perdagangan internasional.
Pengusahaan kapal laut dapat diusahakan baik oleh pemiliknya sendiri maupun
dari menyewa atau persetujuan carter, untuk melakukan pengangkutan barang-barang
dan/atau penumpang. Makin banyak muatan atau penumpang yang diangkut oleh kapal,
maka keuntungan yang diraih semakin besar. Akan tetapi dalam praktik pelayaran niaga,
bukan hal itu saja yang mempengaruhi, namun banyak faktor-faktor lain yang menentukan
keuntungan tersebut. Lamanya kapal-kapal berada di pelabuhan, cara-cara penyelenggaraan
bongkar muat dan lain-lain dapat mengurangi keuntungan kapal yang bermuatan penuh.
Kapal yang berada di suatu pelabuhan lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan
merupakan suatu kerugian karena tiap-tiap hari kapal mengeluarkan biaya-biaya yang
besar untuk bahan-bahan bakar, gaji awak kapal dan sebagainya. Seorang pengusaha
pelayaran yang bijak akan berusaha agar kapalnya berada di suatu pelabuhan dalam waktu
sesingkat-singkatnya, memuat dan membongkar dengan cepat tetapi cermat dan setelah
semua kegiatan selesai segera berangkat menuju pelabuhan berikut dengan kecepatan yang
cukup.
Selama kapal berada dalam suatu pelabuhan tidak hanya melakukan pekerjaan
bongkar dan muat saja, tetapi di samping itu kapal juga akan mengurus penggantian surat-
surat izin, mengisi bahan bakar, reparasi, dan lain-lain. Kegiatan yang harus dilakukan
bersamaan dengan waktu yang seefisien dan seefektif mungkin. Untuk penyelenggaraan
tersebut diperlukan suatu pengorganisasian yang rapi dan keterampilan bertindak.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kapal yang bermacam-macam itu, suatu
pelabuhan yang baik haruslah mempunyai perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan
oleh kapal untuk memasuki pelabuhan tersebut untuk suatu keperluan, antara lain;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 115

a. Fasilitas-fasilitas pendukung, yaitu


1). Perairan yang cukup dalam di mana kapal-kapal dapat berlabuh dengan tenang;
2). Dermaga atau kade atau jembatan pendarat di mana kapal dapat bersandar
dengan stabil;
3). Pelampung-pelampung untuk menambatkan kapal yang sedang menunggu
giliran sandar atau untuk keperluan-keperluan lainnya;
4). Gudang-gudang dan/atau tempat atau lapangan penimbunan guna menyimpan
barang-barang yang akan diturunkan dari, atau dinaikkan ke atas kapal
(dibongkar atau dimuat);
5). Fasilitas penyediaan air tawar untuk keperluan kapal dan penumpang serta
anak buah kapal;
6). Fasilitas penyaluran tenaga listrik;
7). Fasilitas bahan bakar bagi kapal;
8). Fasilitas pandu kapal (loods, pilot), kapal tunda (tugboat) dan lain-lain
perlengkapan yang diperlukan untuk membawa kapal masuk atau keluar
pelabuhan atau memindahkan kapal yang sedang berada dalam pelabuhan;
9). Fasilitas cargo handling;
b. Organisasi yang baik, meliputi banyak bidang administrasi Pemerintahan yang
mengatur keperluan-keperluan administrasi dalam lingkungan masing-masing,
yang diwakili oleh masing-masing instansi yaitu;
1). Adimistrator Pelabuhan (Syahbandar);
2). Bea dan Cukai;
3). Imigrasi;
4). Karantina Hewan dan Tumbuhan.
Untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya dalam bongkar muat, mengisi bahan
bakar dan lain-lain, selama berada di pelabuhan kapal menggunakan bermacam-macam
fasilitas kepelabuhanan. Diantaranya;
a. Fasilitas Perairan Pelabuhan;
Pada waktu memasuki pelabuhan, sebuah kapal niaga telah mempergunakan
fasilitas perairan pelabuhan yang dihitung sejak kapal menyentuh perairan itu,
sampai meninggalkannya lagi.
b. Fasilitas tempat Tambatan;
Fasilitas-fasilitas tambatan dipergunakan bila kapal menginginkan bersandar
di dermaga, hal mana dilakukan untuk keperluan menyelenggarakan pekerjaan
pemuatan dan/atau pembongkaran, ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya.
Pada waktu hal ini dilakukan, dalam waktu yang bersamaan kapal juga menggunakan
fasilitas-fasilitas lain seperti fasilitas saluran tenaga listrik, bahan bakar, air tawar,
alat-alat bongkar muat, dan lain-lain.
116 Hukum Pengangkutan Laut

c. Fasilitas Pergudangan;
Untuk keperluan menyimpan barang-barang muatan yang baru dibongkar dari
kapal, atau yang segera akan dimuat ke atas kapal.
d. Fasilitas formalitas;
Berupa jasa imigrasi, kesehatan pelabuhan, bea cukai, dan lain-lain.

2. Pelabuhan Sebagai Terminal Bongkar Muat Barang


Telah diuraikan di atas bahwa fungsi pelabuhan sebagai mata rantai transportasi atau sebagai
titik temu moda transportasi sebenarnya diperankan oleh terminal. Terminal adalah unsur
utama dan merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kapal dan melaksanakan
bongkar muat barang. Kinerja suatu pelabuhan ditentukan oleh kinerja dari terminal-
terminal yang ada di pelabuhan tersebut dalam melaksanakan kegiatan bongkar muat
barang disesuaikan dengan jenis barang, kemasan barang yang akan ditangani dan jenis
kapal yang akan dilayani. Terminal berperan di antara pelayaran sebagai operator kapal
dan pemilik barang sebagai pengirim atau penerima barang, dengan tugas melaksanakan
bongkar muat, menyusun dan menyimpan barang dalam gudang transit atau menyusun
barang atau peti kemas di lapangan penumpukan; menerima barang yang akan dikapalkan
dan menyerahkan barang yang baru dibongkar dari kapal.
Fungsi dan peranan terminal ini merupakan suatu segmen kegiatan atau usaha
berdiri sendiri yang disebut terminal operator dengan tanggung jawab dalam arti
responsibility maupun dalam arti liability terlepas dari tanggung jawab pelayaran. Dilihat
dari kepentingan pemilik kapal dan pemilik barang, maka peranan dan fungsi terminal
operator adalah bagaimana melayani kapal sesuai dengan karakteristik kapal, jenis barang
dan keinginan dalam arti menguntungkan pemilik kapal. Melayani pemilik barang baik
yang diwakili oleh freight forwarder, multimoda transpor operator, atau sarana angkutan
darat (trucking company) dan lain sebagainya.
Suatu pelabuhan yang sederhana mungkin hanya terdiri satu terminal saja sebagai
terminal umum yang melayani semua kapal yang masuk ke pelabuhan tersebut. Pelabuhan
khusus, pelabuhan yang didirikan oleh suatu industri, biasanya terdiri dari satu terminal
untuk melayani bongkar barang sebagai bahan baku atau memuat barang sebagai hasil
produksi industri tersebut. Disain dermaga dan jenis peralatan bongkar muat disesuaikan
dengan bahan baku yang diimpor atau produk yang dihasilkan. Tetapi pelabuhan umum
yang relatif cukup besar biasanya terdiri dari lebih satu terminal dan paling tidak memiliki
satu terminal umum untuk melayani sandar kapal dan melakukan kegiatan bongkar muat
barang umum secara konvensional. Ada berbagai jenis dan fungsi terminal, yaitu;
1. Terminal konvensional, di mana pelaksanaan bongkar muat barang umum (bread
bulk, neo bulk);
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 117

2. Terminal peti kemas, khusus untuk menangani bongkar muat, menarik (haulage)
dan menumpuk peti kemas di lapangan penumpukan;
3. Terminal barang curah kering, khusus menangani barang curah kering berupa
barang galian, hasil tambang, besi bekas, atau barang curah kering berupa bahan
makanan (agribulk);
4. Terminal curah cair; untuk bahan bakar minyak atau produk lainnya dari minyak
bumi, produk kimia cair, minyak kelapa sawit (CPO), dan lain sebagainya;
5. Terminal multiguna yang dapat menampung berbagai tipe kapal dan berbagai jenis
barang dalam berbagai kemasan termasuk kapal Ro-ro;
6. Terminal penumpang; terminal yang dilengkapi dengan fasilitas untuk melayani
naik dan turun penumpang.
Sebagaimana telah diuraikan, fasilitas (suprastruktur dan peralatan bongkar muat tiap
terminal berbeda sesuai kebutuhan dan jenis barang yang ditangani di terminal tersebut.
Konsekuensi fungsi interface suatu terminal, yang menghubungkan moda transpor laut
dengan moda transpor darat, terminal harus dilengkapi dengan peralatan dan sistem
operasi yang memungkinkan beralihnya barang dengan lancar dari moda transpor laut
ke moda transpor darat. Oleh karenanya kinerja suatu pelabuhan lebih ditentukan oleh
kinerja operasional dari terminal-terminal yang ada dalam pelabuhan tersebut.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan layout dan peralatan
bongkar muat yang akan digunakan di terminal, seperti;
1. Luas lahan yang tersedia untuk pembangunan suatu terminal;
2. Arus barang dan arus petikemas tahunan yang akan ditangani;
3. Jenis barang curah yang akan ditangani di pelabuhan tersebut;
4. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan memasuki dan akan dilayani terminal
bersangkutan.

3. Alat-alat Pelabuhan Penunjang Kegiatan Fungsi Pelabuhan


Pelabuhan adalah suatu kawasan daerah atau tempat berlabuh dan atau bertambatnya
kapal laut serta kendaraan air lainnya untuk menaikkan dan menurunkan penumpang,
bongkar muat barang dan hewan serta merupakan daerah lingkungan kerja kegiatan
ekonomi. Setiap kapal yang memasuki pelabuhan, tentu akan melakukan aktivitasnya
selama kapal itu berada di pelabuhan, misalnya kapal akan melakukan pemuatan dan
pembongkaran barang-barang dari atau ke kapal, kapal mengisi bahan bakar dan lain-lain
di mana kegiatan itu harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Untuk memenuhi kebutuhan kapal yang bermacam-macam itu sebuah pelabuhan
yang baik harus mempunyai beberapa fasilitas untuk menunjang kegiatan operasional yang
diperlukan oleh kapal yang memasuki pelabuhan untuk satu dan lain keperluan. Salah-satu
118 Hukum Pengangkutan Laut

fasilitas pelabuhan yang diperlukan bagi kapal tersebut adalah tersedianya fasilitas alat-alat
pelabuhan, yang ditujukan untuk melancarkan kegiatan usaha di pelabuhan.
Menurut PP No. 61 Tahun 2009, pengertian alat-alat pelabuhan dapat dirumuskan,
yaitu:
“Alat-alat pelabuhan ialah alat-alat perlengkapan pelabuhan selama tidak
dipergunakan untuk kepentingan negara, yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan
untuk diusahakan.”
Ditinjau dari sisi operasi pelabuhan, alat-alat tersebut terutama berwujud alat-alat
untuk melakukan kegiatan cargohandling baik yang berupa alat-alat untuk melakukan kerja
bongkar muat barang maupun untuk memindahkan barang-barang dari suatu tempat ke
tempat lain.
Jadi antara kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan yang meninggalkan pelabuhan,
kapal tersebut selalu membutuhkan alat-alat pelabuhan, misalnya untuk kebutuhan
bongkar muat barang maka kapal perlu menggunakan kran, forklift truck dan jenis alat-
alat lain untuk menunjang kegiatan tersebut.
Untuk melayani kapal dan barang sesuai fungsi pelabuhan dalam arti luas, suatu
pelabuhan perlu dilengkapi dengan fasilitas yang diperlukan sesuai dengan letak geographis,
tipe, aktivitas, jenis dan macam kapal dan barang yang ditangani serta volume arus barang
yang keluar atau masuk dari suatu pelabuhan.
Fasilitas pelabuhan dapat dibagi dalam:
Fasilitas untuk kapal, seperti; alur pelayaran; break waters; turning basin; pintu air
(locks) untuk menjaga kedalaman air di kolam pelabuhan sebagai akibat perbedaan pasang
surut yang sangat tinggi; kolam pelabuhan dan dermaga, fasilitas ini disebut infrastruktur;
Fasilitas untuk barang dan penumpang, antara lain; terminal sesuai dengan jenis barang
dan kemasan barang (barang curah kering atau cair atau peti kemas) dilengkapi dengan
gudang transit sebagai gudang lini I dan lapangan penumpukkan; terminal penumpang
dilengkapi fasilitas embarkasi dan debarkasi; gudang lini II; tankfarms dan jaringan pipa
untuk berbagai macam barang curah cair; lapangan terbuka untuk penumpukan barang
curah kering dan silo untuk penyimpanan barang curah kering makanan (grain); dan kran
dengan berbagai jenis, ukuran atau kapasitas. Fasilitas seperti ini disebut suprastruktur.
Termasuk dalam suprastruktur ini adalah; jaringan jalan; lapangan parkir untuk truk dan
mobil; jalan kereta api (railway truck).
Di samping itu, masih diperlukan fasilitas tambahan lainnya yang berfungsi juga
sebagai pelayanan untuk kapal, termasuk pelayanan untuk umum, antara lain; sarana Bantu
navigasi; informasi tentang navigasi;n pelayanan radio dan telepon; fasilitas perbaikan kapal
termasuk floating repairs; fasilitas penampungan limbah (reception facilities); pengadaan air
bersih dan permakanan; bunkering bahan bakar; penerangan listrik; pemadam kebakaran;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 119

sanitasi; fasilitas untuk buruh (kantin; tempat ganti pakaian, dan tempat istirahat) yang
disebut labor amenties.
Segala bentuk aktivitas yang dilakukan pasti berhubungan dengan faktor alat atau
peralatan. Hal ini dapat berperan sebagai faktor pembantu, yaitu di mana aktivitas utamanya
adalah manusia, dapat juga mengambil peran yang dominan, artinya sebagai aktivitas
utama dalam hal ini apabila tampa alat yang dimaksud berarti tidak bisa menyelesaikan
tugas atau kerja yang dikehendaki.
Demikian juga halnya kapal, untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang di
pelabuhan, di samping memerlukan faktor manusia sebagai tenaga buruh juga memerlukan
faktor peralatan atau alat-alat pelabuhan yang menunjang kegiatan tersebut. Jadi fasilitas
alat-alat pelabuhan yang diperlukan kapal untuk melakukan kegiatannya di pelabuhan
berfungsi sebagai;
a. Sarana untuk membantu memperlancar pelaksanaan bongkar muat barang-barang
dari atau ke atas kapal. Adanya sarana pelabuhan berupa peralatan bongkar muat
barang, maka kapal dapat menggunakannya dengan cara menyewa. Dengan
demikian maka kapal dapat melaksanakan kegiatan pemuatan dan pembongkaran
barang dengan cepat dan lancar.
b. Untuk efisiensi waktu dan tenaga.
c. Dalam kegiatan bongkar muat barang, barang yang dimuat dan dibongkar biasanya
dalam jumlah yang besar. Oleh karenanya tidak mungkin dilakukan oleh tenaga
manusia saja tetapi juga memerlukan alat-alat tersebut. Dengan memanfaatkan
alat-alat itu maka dapat mengurangi tenaga manusia sebagai buruh. Adanya alat-
alat pelabuhan itu maka dapat menghemat waktu. Barang-barang yang dimuat dan
dibongkar dengan alat yang lebih baik dan lebih canggih maka kegiatan itu dapat
dilaksanakan tepat pada waktunya, sehingga pengiriman barang tidak terlambat
sampai ke tangan penerima.
Alat-alat pelabuhan yang dibutuhkan oleh kapal yang melakukan kegiatannya selama
berada di pelabuhan itu beragam jenisnya. Alat-alat pelabuhan dan perlengkapannya dapat
dibagi menurut jenisnya:
a. Alat-alat pelayanan kapal;
b. Alat-alat bongkar muat;
c. Alat-alat penolong;
d. Alat-alat penjagaan atau penolong waktu bahaya, yang dititikberatkan pada alat-
alat pelabuhan yang digunakan untuk kelancaran kegiatan bongkar muat barang
muatan.
Pemuatan barang-barang ke dalam kapal melalui masing-masing pintu palka,
demikian juga pembongkarannya dari dalam kapal dilakukan dengan alat-alat bongkar
muat yang terdapat di kapal dan di pelabuhan. Ada berbagai jenis alat bongkar muat
120 Hukum Pengangkutan Laut

dengan daya angkut (kapasitas) dengan kecepatan mengangkat atau menurunkan barang-
barang yang berbeda satu sama lain.
Jenis-jenis alat yang dipakai untuk kegiatan bongkar muat barang yang dinamakan
cargo handling equipments dibagi atas dua bagian:
a. Alat atau wadah, di mana muatan yang hendak dimuat atau dibongkar diletakkan
atau ditangani sebelum diangkat ke atau dari atas kapal;
b. Alat atau pesawat yang harus mengangkat muatan yang telah dipersiapkan tadi.
Alat-alat yang dipergunakan untuk mempersiapkan muatan guna diangkat ke atau
dari atas kapal terdiri dari bermacam-macam sling, jala-jala.
Ada beberapa alat pembantu bongkar muat;
a. Untuk mengangkat peti yang cukup kuat dapat dipergunakan semacam tali manila
atau sling kawat baja, yaitu semacam tali besar yang kedua ujungnya diikatkan satu
sama lain sehingga tidak berujung pangkal;
b. Untuk peti yang tidak kuat (dibuat dari bahan tipis atau lunak) dipergunakan bak
pemuat atau laadbak, yaitu semacam rakit berukuran 2 x 2 meter dibuat dari papan
tebal pada keempat ujungnya diikatkan tali manila atau tali kawat baja. Peti-peti
yang hendak diangkat diletakkan di atas laadbak, kemudian barulah laadbaknya
dimuat atau dibongkar ke atau dari kapal.
c. Untuk peti-peti kecil tetapi kokoh, digunakan jala-jala tali atau jala-jala kawat baja.
d. Untuk kantong-kantong semen, karus beras, kopi, jagung, pupuk, dan lain-lain
digunakan sling kanvas, yaitu sling yang padanya diikatkan selembar kain terpal
atau kanvas panjang. Kantong atau karung yang akan dimuat atau dibongkar
diletakkan di atas kanvas, barulah kedua sling disangkutkan pada tackle kapal.
Dengan cara ini kantong atau karung dilindungi dari tekanan tali sling yang dapat
mengakibatkan pecahnya karung atau kantong itu. Bila sling kanvas tersebut tidak
tersedia, untuk pemuatan karung-karung dapat juga dipergunakan jala-jala tali,
tetapi penggunaannya bagi pemuatan atau pembongkaran semen atau pupuk tidak
dapat dibenarkan, karena kantong-kantong yang terbuat dari kertas itu dapat pecah
oleh tekanan selama jala-jala tergantung pada tackle kapal.
Di samping alat-alat tersebut masih ada jenis-jenis alat-alat bongkar muat lainnya:
a. Can hook (kait untuk kaleng), digunakan untuk memuat atau membongkar drum,
kaleng, tong kayu, biasa disebut barel hook.
b. Stevedore’s hand hook (ganco tangan stuwador), digunakan untuk muatan yang
dipak dalam kantong atau besi;
c. Two – wheeled barrow (gerobak dorong beroda dua), digunakan untuk mengangkut
muatan dari kade ke gudang atau sebaliknya;
d. Forklift truck, kendaraan beroda empat untuk mengangkut muatan dari gudang ke
dermaga atau lambung kapal dan sebaliknya;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 121

e. Dunnage mats, tikar yang digunakan untuk melindungi muatan (untuk alas atau
pembungkus muatan);
f. Vehicle sling (sling mobil), digunakan untuk memuat atau membongkar kendaraan
beroda empat;
g. Dunnage wood, papan tipis yang berfungsi banyak dalam pemadatan di kapal,
misalnya untuk melindungi muatan, untuk meluruskan susunan muatan.
Alat-alat bongkar muat seperti yang telah disebutkan di atas merupakan alat bongkar
muat yang digunakan khusus untuk melayani kapal konvensional.
Sehubungan dengan usaha untuk memberikan perlindungan atas muatan selama
operasi pemuatan, pengangkutan dan pembongkarannya kembali, dalam dunia pelayaran
modern sekarang sudah banyak digunakan container, yaitu sejenis peti besar terbuat dari
plat baja. Dengan memasukkan peti-peti ke dalam kontener, diberikan perlindungan
maksimal pada muatan terhadap kerusakan, pencurian, kehilangan atas muatan dan di
samping itu sistem kontenerisasi inipun sangat mempercepat pekerjaan bongkar muat
yang dengan sendirinya dapat menekan biaya eksploitasi kapal.
Sistem kontenerisasi sesungguhnya menguntungkan kedua belah pihak dalam
pengangkutan di laut, yaitu pihak pemilik muatan dan pihak pengangkut. Keuntungan
yang sama diperoleh oleh kedua pihak adalah dipercepat dan dipermudahnya handling atas
muatan yang sudah dimasukkan dalam kontener. Dengan dipakainya kontener pemakaian
peti konvensional dapat dikurangi, demikian juga keperluan akan alat-alat bongkar muat
dapat disederhanakan (tidak diperlukan lagi jala-jala, laadbak dan lain-lain).
Mengenai pesawat-pesawat yang dapat dipergunakan untuk menggerakkan
pengangkatan muatan meliputi;
Derek kapal; dipergunakan untuk mengangkat koli yang tidak terlalu berat dan
pengangkatan itu berlaku pada radius kecil, kira-kira 6 meter dari lambung kapal. Derek
kapal adalah pesawat yang terdiri dari batang pemuat, kerek-kerek dan kabel baja yang
digerakkan (dilepaskan dan ditarik dengan bantuan pesawat lain yang disebut winch. Pada
sebuah kapal biasanya terdapat beberapa buah Derek dengan kapasitas rendah: ½ ton, 2 ½
ton atau 5 ton tergantung besar kecilnya kapal. Kapal yang agak besar biasanya mempunyai
juga satu atau beberapa buah derek besar yang berkapasitas 10 ton, 20 ton, bahkan ada
yang 50 ton atau 70 ton. Berapapun besarnya kapasitas daya angkat Derek, namun radius
pengangkatan dari atau ke samping kapal tidaklah dapat jauh benar, sebab luasnya radius
pengangkatan muatan dapat membahayakan stabilitas kapal, khususnya kalau yang
diangkat berupa muatan berat misalnya gerbong kereta api. Berhubung dengan adanya
keberatan itu untuk mengangkat muatan dari dalam kapal yang diletakkan di tempat yang
jaraknya dari kapal cukup jauh, digunakan pesawat lain yang berasal dari luar kapal.
Shore crane (kran darat), yaitu pesawat yang ditempatkan di atas dermaga pelabuhan,
di pinggir permukaan perairan pelabuhan. Kran ini dapat dipindahkan ke sana ke mari
122 Hukum Pengangkutan Laut

sepanjang rel kereta api di atas mana kran ditempatkan bertumpu pada rodanya. Daya
angkat kran darat ini bermacam-macam antara 2 ½ ton, 5 ton, 12 ton, 20 ton atau lebih.
Schore crane ini dipergunakan untuk memuat atau membongkar koli-koli yang berat dan
besar yang tidak bisa diangkat oleh derek kapal.
Floating crane (kran terapung), yaitu pesawat yang dibangun di atas rakit besar yang
terbuat dari baja yang dapat bergerak di atas air. Rakit itu ada yang mempunyai mesin
sendiri, untuk berpindah atau bergerak dari tempatnya ke tempat lain. Floating crane
biasanya berkapasitas besar yaitu 10 ton, 25 ton, 50 ton, 200 ton, dan seterusnya. Kran
terapung ini digunakan untuk mengangkat koli-koli berat yang membahayakan kapal
kalu diangkat dengan Derek kapal. Begitu pula kalau peti yang berat itu diangkat dengan
kran darat, dapat menimbulkan tekanan terlalu besar pada lantai dermaga sehingga
dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan pada dermaga. Dengan menggunakan
floating crane maka dapat membawa muatan berat yang telah dibongkar untuk diletakkan
pada tempatnya yang tepat tanpa perlu mengganggu barang-barang atau kegiatan lain yang
berada di sekitar kapal.
Dalam sistem kontenerisasi, pemuatan dan pembongkaran peti kemas menggunakan
alat-alat yang khusus untuk itu. Jenis alat-alat bongkar muat untuk peti kemas antara lain;
a. Quary containaer atau container crane; pesawat pengangkat ini letaknya selalu di
tepi dermaga, memiliki bagian menjorok ke laut yang menjembatani antara sisi laut
(bagian kapal) dengan darat, di mana peti kemas dimuat atau dibongkar dari kapal
dan sebaliknya. Container crane berfungsi untuk membongkar dan memuat peti
kemas, jadi menjembatani antara kapal dan darat.
b. Transteiner merupakan jenis kran gentry type jembatan yang memiliki roda dari
ban karet. Transteiner bergerak menurut jalur khusus atau tetap biasanya dengan
rel sebagai peralatan crane untuk menyusun kontener isi sampai 3 (tiga) susun.
Transteiner penggunaannya di lapangan penumpukan peti kemas. Pemilihan
penggunaannya dipertimbangan dasar efisiensi ruang ruang penumpukkan. Dengan
mempergunakan alat ini, maka penumpukkan atau pengambilan peti kemas di
lapangan dapat dilakukan dengan lebih cepat, teratur dan terencana, sehingga dari
segi bisnis diperoleh manfaat keuntungan yang tidak kecil.
c. Gantry crane yaitu crane darat khusus untuk pembongkaran kontener dari kapal,
juga untuk pemuatan dengan kapasitas angkut mencapai 50 ton. Gantry crane
dilengkapi dilengkapi dengan spreader yaitu batangan besi segi empat yang dibuat
khusus yang ukurannya sama dengan ekuran panjang lebar kontener.
d. Straddle carrier; peralatan crane di lingkungan kontener yang dapat mengangkat
minimal 1 buah kontener ke tempat tumpukan kontener atau dibongkar dari kapal.
Kontener dari kapal dengan gentry crane kemudian diteruskan dengan straddle
carrier ke tempat timbun.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 123

e. Forklift toploader merupakan suatu alat yang bekerja menurut sistem mekanik,
hidrolik dan elektrik yang dipergunakan untuk mengangkat dan menurunkan
kontener pada posisi atas;
f. Forklift sideloader yang berfungsi untuk menarik dan mengangkat kontener dari
berbagai tumpukan 2 basis;
g. Head truck mempunyai fungsi membawa peti kemas atau kontener untuk dikirim
ke lokasi yang dikehendaki di dalam terminal peti kemas. Dengan demikian lokasi
head truck mencakup seluruh lapangan dan dermaga yang ada;
h. Chasis merupakan chasis pengikut di mana muatan kontener diletakkan di atasnya
untuk dibawa oleh head truck.
TKBM bukanlah bagian dari institusi dan asset pengelola pelabuhan, tetapi dilihat
dari sisi keberadaan dan fungsinya dalam suatu pelabuhan, TKBM merupakan fasilitas
pelabuhan yang tidak bisa terlepas dari kegiatan operasional dan pelayanan pelabuhan
yang memberikan jasa bongkar muat, maupun jasa pelayanan lainnya yang memerlukan
jasa TKBM. Bagaimanapun modern peralatan pelabuhan, seperti pelabuhan di negara-
negara industri maju, tetap ada peranan TKBM. Tetapi berbeda dengan Indonesia, di
luar negeri TKBM yang disebut dock workers, dock labors, atau longshoremen termasuk
juga operator peralatan pelabuhan (forklift, operator atau crane operator). Biila terjadi
pemogokan TKBM ini, maka seluruh kegiatan pelabuhan akan lumpuh. Sebaliknya apabila
TKBM bekerja baik sesuai standar kerja kinerja yang tinggi akan meningkatkan efisiensi,
dan mengangkat kinerja operasional pelabuhan yang bersangkutan. Di masing-masing
negara tidak sama sistem pembinaan TKBM ini, tergantung pandangan politik pemerintah
yang bersangkutan terhadap tenaga kerja atau buruh.
Tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan terjadi kongesti di pelabuhan Tanjung Priok,
di mana barang-barang bertumpuk di mana-mana. Dampak yang diakibatkan sangat
banyak antara lain terhadap pelabuhan yang melayani pembongkaran barang, yaitu citranya
menjadi buruk di mata pengguna jasa pelabuhan untuk melakukan aktivitasnya dan bagi
para pengguna jasa adalah dampak kerugian karena barang-barangnya tidak dapat langsung
ditangani dan sangat memperlambat waktu, bagi negara, karena citra pelabuhannya buruk
akan berdampak pada perekonomian negara yaitu pendapatan devisa menjadi turun. Jadi
jelas kinerja suatu pelabuhan sangat mempengaruhi perekonomian negara karena dengan
melihat fungsi dan perannya di atas adalah untuk memajukan perekonomian negara.
Kongesti adalah suatu kondite yang terburuk dari suatu pelabuhan karena dampak
negatifnya sangat luas, baik terhadap kelancaran lalu lintas pelayaran dan perdagangan
(nasional dan internasional), maupun terhadap ekonomi negara yang bersangkutan.
Kelambatan atau menunggu terlalu lama di pelabuhan (port delays) merupakan hal
yang sangat menakutkan bagi para pemilik atau pengusaha kapal. Keadaan kongesti
tersebut menyebabkan terhambatnya kelancaran lalu lintas angkutan laut dan bahkan
124 Hukum Pengangkutan Laut

mempengaruhi perekonomian negara-negara yang bersangkutan. Sebab-sebab utama


kongesti atau kelambatan (delays) pada hakikatnya antara lain;
a. Rendahnya produktivitas pelabuhan yang bersangkutan karena perencanaan yang
kurang baik, kurangnya fasilitas teknis kepelabuhanan bagi kapal dan peralatan
bongkar muat;
b. Kondisi buruh di pelabuhan yang mempunyai produktivitas rendah atau adanya
pemogokan-pemogokan atau sengaja memperlambat pekerjaan (slowdown);
c. Kurang kerjasama antara unsur-unsur kegiatan di pelabuhan dan para penyelenggara
pengangkutan dalam mengatur secara baik kedatangan, keberangkatan dan bongkar
muat kapal, terutama pada periode-periode yang sibuk;
d. Berliku-likunya prosedur penyelesaian dokumen-dokumen yang diperlukan.
e. Selain citra buruk dari pelabuhan yang melayani kapal-kapal tersebut, akan
berakibat pula pada pembentukan harga barang di pasar dan dapat berakibat pada
kesejahteraan rakyat banyak.
Bab Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai
Barometer Industri dan Perdagangan
7

A. Pelabuhan Sebagai Terminal Ekspor dan Impor Barang (PP NO. 61 Tahun
2009 jo Pasal 10 KM NO. 53 Tahun 2002 Tentang Tatanan Kepelabuhanan
Nasional)
Untuk memperkuat ekonomi suatu negara harus dilakukan dengan memperkuat dan
memajukan industri dan perdagangan. Pelaksanaan kedua kegiatan ini pada hakikatnya
tidak terlepas dari kegiatan ekspor dan impor, baik atas barang maupun jasa, yang
mengakibatkan adanya hubungan antar negara.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan, sangat membutuhkan angkutan laut
yang dapat menjangkau seluruh tempat di wawasan nusantara. Disinilah letak pentingnya
fungsi pelabuhan dalam sistem angkutan laut, pelabuhan merupakan pintu gerbang
perdagangan luar negeri atau Internasional (ekspor-impor). Oleh karena itu pelabuhan
dapat diibaratkan pintu depan suatu negara yang apabila fungsinya ditata dengan baik
dengan didukung oleh fasilitas yang baik dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang
memadai, pelaksanaan di lapangan tidak bertele-tele, tanpa birokrasi panjang maka kapal-
kapal asing sebagai pemakai jasa dapat terus memakai jasa pelabuhan Indonesia, tentu saja
bila fungsi pelabuhan suatu negara positif akan berakibat pada pendapatan devisa yang
menjadi kebutuhan negara akan tinggi otomatis berakibat pada kesejahteraan rakyat dan
meningkatkan ekonomi nasional.
Pelabuhan sebagai pintu gerbang negara memegang peranan yang sangat menentukan
bagi kelancaran arus barang dan penumpang. Indonesia sebagai negara maritim, dengan
sendirinya menjadikan pelabuhan laut sebagai posisi yang sangat strategis dalam
perekonomian nasional dibandingkan dengan pelabuhan darat dan udara. Kelancaran
urusan perdagangan di pelabuhan akan sangat membatu kelancaran ekspor impor pada
khususnya dan memberi dampak positif bagi kelancaran pembangunan khususnya dan
perekonomian nasional pada umumnya.
Peranan suatu pelabuhan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Menyediakan suatu hubungan langsung ke pasaran dunia yang merupakan
kesempatan baik bagi negara yang sedang berkembang untuk berdagang dengan
banyak negara lain tanpa biaya perantara;

125
126 Hukum Pengangkutan Laut

b. Melayani kebutuhan perdagangan terutama perdagangan internasional dari daerah


belakang (hinterland) pelabuhan tersebut berada;
c. Membantu berjalannya roda perdagangan dan pengembangan industri nasional;
d. Menampung pangsa pasar yang semakin meningkat guna melayani perdagangan
internasional baik tran’shipment maupun transit traffic;
e. Menyediakan fasilitas transit untuk tujuan daerah belakang (hinterland) atau daerah
atau negara tetangga;
f. Menyediakan fasilitas pengembangan industri di sekitar pelabuhan bagi industri
yang berorientasi ekspor;
g. Merupakan penyedia tenaga kerja;
h. Merupakan sumber untuk mendapatkan mata uang asing (devisa) melalui barang
yang diekspor;
i. Dengan adanya pelabuhan yang besar, dapat menjamin ketidak tergantungan
ekonomi atau politik kepada negara lain;
j. Negara berkembang umumnya mengimpor barang konsumsi dan modal dari negara
industri melalui pelabuhan laut
Dengan Peran demikian, terjadi hubungan interdependensi antara pelabuhan dengan
perdagangan dan perindustrian antara lain;
a. Transportasi
Pengertian Pelabuhan yang dapat disimpulkan dari Pasal 1 PP 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan menyatakan bahwa “ Pelabuhan sebagai tumpuan tatanan kegiatan
ekonomi dan kegiatan pemerintah merupakan sarana untuk menyelenggarakan
pelayanan jasa kepelabuhanan dalam menunjang penyelenggaraan angkutan laut”
Jelas bahwa peran pelabuhan yang utama adalah sebafai sarana penunjang angkutan
laut. Tetapi dengan berkembangnya sistem antar moda, maka sudah saatnya
pelabuhan dipandang sebagai mata rantai dalam pergerakan barang sejak dari
pengirim sampai penerima barang.
b. Perdagangan
Keberadaan suatu pelabuhan mempengaruhi kegiatan perdagangan suatu negara.
Dalam kegiatan perdagangan internasional, suatu pelabuhan merupakan titik yang
mempunyai akses langsung perdagangan dunia, sehingga melepaskan suatu negara
dari ketergantungan kepada pelabuhan transit di negara lain. Tanpa suatu pelabuhan,
perdagangan menjadi bersifat tidak langsung dan seringkali menimbulkan biaya
tinggi serta menyita waktu distribusi. Lebih jauh, keberadaan suatu pelabuhan yang
memadai fasilitasnya, akan memberi kesempatan yang lebih luas dalam menentukan
hubungan perdagangan, baik internasional maupun regional. Dalam arti bahwa
posisi suatu negara menjadi lebih baik, dalam membeli barang import di negara asal
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 127

yang memberikan persyaratan yang paling menguntungkan, dan eksport barang


produksi domestik langsung kepada pasar yang paling diinginkan.
c. Industri
Peran pelabuhan dalam kegiatan industri dapat dilihat dari beradanya industri di
dalam ataupun di sekitar pelabuhan. Terdapat tiga kelompok industri, yaitu:
1). Industri yang berkaitan langsung dengan transportasi ataupun operasional
pelabuhan. Yang paling menonjol adalah industri pembangunan dan
pemeliharaan kapal, yang memerlukan tepi laut atau daerah pelabuhan
(Waterfront), buruh dalam jumlah relatif besar, dekat dari kota besar, dan yang
paling penting adalah dekat dengan pelabuhan di mana kapal berkunjung.
Keberadaan industri tersebut dan pelabuhan adalah saling menguntungkan.
Di mana keberadaan industri tersebut memberikan pengaruh positif kepada
pelabuhan sehingga pelabuhan menjadi lebih menarik untuk kapal berkunjung.
2). Industri yang berorientasi ekspor ataupun industri yang bergantung pada
bahan baku atau produk setengah jadi yang diimport atau didatangkan dari luar
pulau. Pilihan lokasi yang dekat dengan pelabuhan adalah untuk meringankan
biaya transportasi. Lebih-lebih bila industri tersebut terletak dalam pelabuhan
bebas (Freeport).
3). Industri yang sama sekali tidak berkaitan dengan angkutan laut.

B. Pengusahaan EMKL dan Per-veem-an


Pelabuhan sebagai terminal point bagi kapal-kapal dan pula sebagai tempat bongkar
muat barang-barang harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan di dalam PP No.
69 Tahun 2001. Di dalam praktik pengangkutan barang-barang di laut, pemilik barang,
jika akan mengirimkan barang-barangnya untuk diangkut dengan kapal pemilik barang
tidak langsung berhadpan dengan pihak pengangkut, melainkan lewat suatu perusahaan
ekspedisi yang dikenal sebagai Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL).
EMKL itu suatu usaha yang ditujukan kepada pengurusan dokumen-dokumen dan
pekerjaan yang menyangkut penerimaan penyerahan muatan yang diangkut melalui laut
untuk diserahkan kepada atau diterima perusahaan pelayaran untuk kepentingan pihak
pemilik barang. Pada hakikatnya EMKL merupakan kegiatan perantara dalam mengurus
kepentingan Pemilik kapal/pengangkut (Shippers) atau pemilik barang (Consigneer).
Penyelenggaraan pengusahaan EMKL dibina dan diarahkan sebagai unsur penunjang
dalam kelancaran angkutan laut yang tertib dan teratur. Pada dasarnya tugas atau usaha
pokok EMKL adalah pekerjaan administrasi pembuatan surat-surat yang menyangkut bea
dan cukai yang diperlukan serfta yang menyangkut barang-barang, verivikasi, kalim serta
128 Hukum Pengangkutan Laut

pengawasan atau penelitian dalam pengeluaran atau pengangkutan barang-barang dari


gudang perusahaan pelayaran ke tempat di luar daerah pelabuhan (inklaring) dan pekerjaan
administrasi, pembuatan dokumen yanbg bersangkutan dengan pekerjaan di kantor bea
dan cukai, pembuatan dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan pengapalan barang-
barang, verifikasi serta pengawasan atau penelitian dalam pemasukan barang-barang
dalam gudang untuk dikapalkan (uitklaring).
Penyelenggaraan usaha EMKL diberikan kepada perusahaan nasional yang berbentuk
badan hukum, termasuk perusahaan pelayaran, yang memiliki izin, serta perusahaan
ekspor-impor dan perusahaan-perusahaan perniagaan antar pulau yang telah mendapatkan
izin dari pemerintah. EMKL ada 2 macam yaitu EMKL Umum yang dalam usahanya
dititikberatkan atau mengkhususkan pada barang-barang sendiri adalah bagi perusahaan
ekspor impor, perusahaan perdagangan antar pulau serta perusahaan-perusahaan industri
dan pertambangan. Sedangkan EMKL Khusus adalah bagi perusahaan pelayaran yang
dalam usahanya dititik beratkan atau mengkhususkan pada barang yang diangkut oleh
kapal-kapal milik atau dioperasikan sendiri dengan kapal-kapal yang diageni.
Masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan masalah
kepelabuhanan adalah masalah Veem atau per-veem-an yaitu usaha yang ditujukan pada
penampungan atau penumpukan barang-barang (ware housing), yang dilakukan dengan
mengusakan gudang-gudang, lapangan penumpukan di mana dikerjakan dan disiapkan
barang-barang yang diterima dari kapal-kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan
untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan meliputi antara lain
kegiatan ekspedisi muatan, pengepakan-pengepakan kembali, penyimpanan, pengukuran,
pemindahan dan lain-lain pekerjaan yang bersifat teknis, ekonomis yanbg diperlukan
perdagangan dan pelayaran.
Perbedaan khusus antara EMKL dan Veem terutama terletak pada sifat dan ruang
lingkup tanggung jawabnya terhadap barang-barang milik orang lain yang diurusnya
terutama bahwa barang-barang yang diserahkan oleh pemilik barang kepada perusahaan
perusahaan Veem harus benar-benar terjamin pengurusannya dan Veem harus bertanggung
jawab secara pisik atau material atas barang-barang yang dipercayakan kepadanya.
Penyelenggaraan usaha per-veem-an hanya diberikan kepada usaha nasional yang
berbentuk perseroan terbatas dan tidak bertujuan untuk melakukan kegiatan perniagaan.
Perusahaan per-veem-an tidak boleh berfungsi sebagai agen perusahaan pelayaran ataupun
yang dapat mendominasi kedudukan perusahaan pelayaran dalam kegiatan usahanya.

C. Pengusahaan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelayanan Kapal


Tujuan dari pengusahaan pelabuhan adalah menyediakan tempat berlabuh, tempat
bertambatnya kapal, tempat menumpuk barang, menyediakan alat bongkar muat,
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 129

menyediakan tanah untuk gudang atau kantor dan lain-lain. Eksploitasi bangunan
pelabuhan tersebut dapat dikerjakan oleh penguasa pelabuhan.
Pelabuhan merupakan faktor yang tidak terpisahkan dalam sistem ekonomi negara
secara keseluruhan maka pelabuhan perlu disesuaikan dengan landasan baru tentang
kebijaksanaan umum dalam ekonomi dan keuangan serta pelabuhan sebagai prasarana
ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan industri, perdagangan maupun
pelayaran, karena itu pengelolaannya harus sesuai dengan fungsinya.
Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai transportasi yang menunjang secara
langsung perekonomian suatu negara atau daerah di mana pelabuhan tersebut berada.
Perindustrian, pertambangan, pertanian dan perdagangan pada umumnya membutuhkan
jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan. Oleh karena itu perencanaan suatu pelabuhan
bukan hanya menjadi kepentingan pelabuhan itu sendiri tetapi juga akan mempengaruhi
dan memerlukan perhatian dari berbagai sektor yang ditunjangnya.
Beberapa faktor yang menjadi perhatian dan petimbangan dalam perencanaan
pelabuhan, yaitu;
a. Pertumbuhan atau perkembangan ekonomi daerah belakang dari pelabuhan yang
bersangkutan;
b. Perkembangan industri yang terkait dengan pelabuhan;
c. Data arus barang yang sekarang dan perkiraan yang akan datang serta jenis dan
macam komoditi yang akan keluar atau masuk;
d. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan akan memasuki pelabuhan;
e. Jaringan jalan atau prasarana dan sarana angkutan dari atau ke hinterland;
f. Alur masuk atau keluar menuju laut;
g. Analisis ekonomi dan keuangan.
Dalam merencanakan pengusahaan suatu pelabuhan, maka terlebih dahulu harus
dilakukan pengumpulan bahan-bahan setempat yang perlu bagi rencana tersebut, baik
teknis maupun ekonomis. Tidak semua angka dan keterangan yang diperlukan terdapat
begitu saja. Untuk itu diperlukan adanya penyelidikan setempat, menyelenggarakan
pengukuran-pengukuran dan sebagainya serta bahan-bahan yang diperlukan tergantung
pada keadaan setempat.
Pada umumnya yang diperlukan untuk pengusahaan pelabuhan adalah;
a. Peta Nautis dari daerah yang bersangkutan yang menunjukkan bagian-bagian yang
perlu untuk membuat daerah pelayaran dan navigasi. Peta ini harus dilengkapi
dengan zee-mansgids, yaitu suatu buku yang memuat hal ikhwal yang penting bagi
seorang nakhoda dan yang sulit dilihat dalam peta, misalnya mengenai angin,
gelombang dan lain-lain. Pada umumnya masih terpaksa mengadakan pengukuran
dalamnya laut, karena peta itu kurang mencukupi.
130 Hukum Pengangkutan Laut

b. Pengamatan angin, diperlukan untuk merencanakan gerbang pelabuhan dengan


sebaik-baiknya. Apalagi bila nantinya banyak kapal-kapal singgah di pelabuhan itu.
Dengan diketahuinya keadaan itu, maka dapat diketahui pula keadaan gelombang
sehingga dapat diperkirakan tentang pelaksanaan pekerjaan seperti pengukuran-
pengukuran yang pada umumnya menggunakan alat-alat terapung.
c. Pengamatan gelombang sangat diperlukan karena besarnya gelombang
sangat mempengaruhi pemilihan jenis-jenis pembangunan pelabuhan serta
pelaksanaannya. Demikian pula pemilihan lokasi untuk bangunan baru harus
memperhatikan besarnya gelombang yang mungkin terjadi.
d. Arus laut, harus diketahui tentang kecepatan, arahnya berganti atau tidak. Apabila
dikhawatirkan bahwa bangunan yang akan dibuat itu akan merintangi atau merubah
arus yang ada, maka terpaksa harus mengadakan penyelidikan yang lebih teliti agar
dapat diketahui secara jelas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
e. Air laut harus diselidiki untuk mengetahui tentang kadar garam serta bagaimana
pengaruhnya terhadap bahan-bahan bangunan, sehingga berapa dapat bertahannya
bangunan pelabuhan tersebut.
f. Pengendapan lumpur, walau agak sulit namun harus diperkirakan berapa
pembawaan Lumpur yang akan masuk ke dlaam kolam pelabuhan. Pengendapan
Lumpur dapat diketahui dengan pengukuran dalamnya air laut dan dibandingkan
dengan tenggang waktu tertentu. Dapat juga dengan mengambil contoh air untuk
mengetahui banyaknya Lumpur dengan datangnya gelombang, maka dapat
diketahui Lumpur yang akan mengganggu dasar pelabuhan. untuk mengetahui
datangnya lumpur dapat diselidiki dengan zat-zat radio aktif.
g. Kekuatan dasar tanah dapat diketahui dengan melakukan pengeboran tanah di
tempat yang akan didirikan bangunan. Pengeboran ini dikerjakan pada jarak 50 –
100 m. Keadaan dasar laut itu dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu dasar lembek seperti
Lumpur; dasar pasir dan , dasar keras dan kekal seperti karang, lapisan kerikil
dan lain-lain. Macam dan tebalnya lapisan dapat ditentukan dengan penyelidikan
di laboratorium (mekanika tanah) dengan percobaan muatan seperti ditentukan
tekanan dasar yang diizinkan.
Pertimbangan ekonomi merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka
pengusahaan pelabuhan ialah adanya pertimbangan ekonomis. Pertimbangan
ekonomis ini mengharuskan pembuatan perkiraan dan besarnya lalu lintas dan
arus barang di kemudian hari. Perkiraan lalu lintas barang dengan memperhatikan
penghasilan daerah belakang (hinterland), kebutuhan daerah industri, kebutuhan
masyarakat dan lain-lain.
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 131

D. Pengaturan Kepelabuhanan Penunjang Kelancaran Kegiatan Ekonomi di


Pelabuhan
1. Dasar Hukum Penyelenggaraan Kegiatan di Pelabuhan
Undang-undang Pelayaran No. 17 tahun 2008 mengatur secara luas tentang masalah
pelabuhan, baik mengenai aspek kebijaksanaan maupun aspek operasional kepelabuhanan.
Menurut UU tersebut pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan
disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,
naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra dan antar moda transportasi. Selanjutnya dibedakan antara jenis pelabuhan yang
terdiri dari pelabuhan umum yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan
masyarakat umum dan pelabuhan khusus yang diselenggarakan untuk kepentingan sendiri
guna menunjang kegiatan tertentu. Dalam hubungannya dengan perdagangan pelabuhan
dibedakan pula antara pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri (yang selama
ini disebut pula pelabuhan laut) dan pelabuhan lainnya, yaitu pelabuhan yang tidak terbuka
untuk perdagangan luar negeri.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan tentang unsur-unsur pokok pelaksana
kegiatan di pelabuhan yang terdiri dari unsur pemerintahan yang meliputi fungsi
keselamatan pelayaran mewakili Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Departemen
Perhubungan) diwakili oleh Administrator Pelabuhan, bea dan cukai mewakili
Departemen Keuangan, imigrasi mewakili Departemen Kehakiman dan HAM, karantina
mewakili Departemen Kesehatan yang terdiri dari Karantina Hewan dan Tumbuhan, serta
keamanan dan ketertiban dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan oleh BUMN yaitu
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia. Dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing
instansi mempunyai tugas dan tanggung jawab.
Dalam melaksanakan tugasnya di pelabuhan, masing-masing instansi bekerja menurut
peraturan-peraturan yang berlaku dari masing-masing instansinya, dan melakukan
kewajibannya sesuai dengan pokok-pokok atau ketentuan-ketentuan yang mewajibkannya
untuk melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan yang telah tertulis dan ditegaskan
dalam suatu bentuk peraturan perundangan, dan harus dipatuhi, dilaksanakan dan
ditegakkan dalam melaksanakan tugasnya.
Banyak pihak yang melakukan kegiatan ekonomi di pelabuhan, antara lain para
pengguna jasa pelabuhan serta penyedia jasa pelabuhan, antara lain badan swasta yang
memberikan jasa pengurusan barang yaitu forwarding, EMKL, agen pelayaran, dan
lain sebagainya. Sehingga diperlukan suatu kondisi keamananan dan ketertiban serta
kenyamanan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat penting karena berhubungan
dengan masalah kegiatan perekonomian.
132 Hukum Pengangkutan Laut

Keberhasilan pembangunan nasional sangat bergantung pada keikutsertaan dan


partisipasi masyarakat pelabuhan. Sejalan dengan hal tersebut, maka keberhasilan
Perhubungan Laut dalam mengemban tugas dan misinya menunjang pembangunan
nasional, juga sangat bergantung pada keikutsertaan masyarakat mendukung pelaksanaan
kebijaksanaan dan program yang ditempuh, serta memberikan sumbangan pemikiran
untuk pengembangan dan pemantapan pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, dengan
mencakup aspek-aspek yuridisnya.
Pelaksanaan hukum khususnya di bidang kepelabuhanan ini menjadi sangat penting
artinya, yakni sebagai sarana untuk menunjang kegiatan-kegiatan pelabuhan untuk
meningkatkan ekonomi nasional, karena segala kegiatan-kegiatan yang berlangsung di
pelabuhan berhubungan dengan kegiatan ekonomi, sehingga fungsi dari hukum yang
berwujud peraturan-peraturan adalah untuk menjaga keharmonian pelaksanaan kegiatan
di lapangan perlu di tegakkan dalam rangka menunjang keberhasilan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang ekspor-impor barang dan keberhasilan pembangunan nasional.
Penegakan Hukum di pelabuhan Indonesia, berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang berlaku sebagai penunjang segala kegiatan di pelabuhan. Hukum berfungsi sebagai
peraturan pokok yang mengatur tentang ketertiban dan keamanan di pelabuhan Indonesia
dan sangat berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan internasional yang menyangkut
administrasi negara bendera kapal berbagai kebangsaan.
Pelaksanaan penegakan hukum di pelabuhan Indonesia berdasarkan undang-undang
atau peraturan-peraturan umum yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang terdiri
dari Hakim, Jaksa dan Polisi, disamping itu masih terdapat produk-produk hukum lainnya
berupa undang-undang atau peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan khusus dan
keputusan-keputusan pada instansi pemerintah lainnya sebagai landasan pengaturan
tugasnya.
Sebagai Undang-undang ataupun peraturan-peraturan, di dalamnya telah ditetapkan
sanksi dan ancaman hukuman, bersifat sebagai pelanggaran ataupun kejahatan yang
dikenakan kepada setiap orang yang melakukannya. Dengan terdapatnya Undang-
undang atau peraturan-peraturan khusus pada instansi pemerintah tertentu sebagaimana
dimaksud pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka guna kepentingan
pelaksanaan ataupun penegakannya, harus ditunjuk pejabat-pejabat khusus pada aparat
instansi yang bersangkutan yang telah diberikan wewenang polisionil sebagaimana
dimaksudkan dalam Peraturan Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim No. 525 stb 1935
dan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, wewenang penyidikan kepada
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pasal 6 huruf b
UU No. 8 tahun 1981. Diberikannya wewenang polisionil dan penyidikan kepada aparat
Pemerintah sejauh mungkin pengawasan terhadap ditaatinya peraturan atau UU di
lingkungannya dapat dilakukan oleh instansi tersebut.
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 133

Penegakan hukum di pelabuhan dalam menunjang kelancaran angkutan laut di mana


kapal sebagai sarana angkutan yang pokok dan murah, dapat digunakan oleh masyarakat
Indonesia sebagai alat penghubung melalui laut yang serba guna, patutlah mendapat
perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh aparat kesyahbandaran yang meliputi jaminan
hukum atas: Status hukum kapal, konstruksi bangunan kapal, keamanan dan keselamatan
berlayar serta keamanan dan ketertiban di pelabuhan atau Bandar sebagai terminal poin
dalam melakukan kegiatan bongkar muat barang; manusia; hewan dan lain sebagainya
yang pengaturannya telah dituangkan di dalam berbagai peraturan sesuai kegiatannya.
Di dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban menegakkan peraturan-peraturan
atau undang-undang maka sebagai manifestasi atas pelaksanaan itu, Syahbandar secara
langsung berwenang terhadap UU yang bersangkutan dalam hal:
1. Melaksanakan UU (Uitvoering);
2. Mengawasi berlakunya UU (Toezicht);
3. Mengadakan penyidikan atau pengusutan terhadap yang melawan hukum
(Opsporing);
4. Menegakkan UU (Handhaving en neleving).
Tugas terpokok dari hukum adalah untuk menciptakan ketertiban oleh karena
ketertiban merupakan syarat terpokok daripada adanya suatu masyarakat yang teratur ,
hal mana berlaku bagi masyarakat manusia di dalam segala bentuknya.
Hukum dengan tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah
dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan para warga masyarakat. Khususnya di dalam menciptakan keseimbangan
tersebut bukanlah berarti bahwa tujuan daripada hukum adalah semata-mata untuk
menghilangkan konflik dalam masyarakat. Hal ini tidak mungkin terpenuhi, oleh karena
konflik merupakan gejala yang ada di dalam setiap masyarakat . Keadaan ini disebabkan
oleh karena setiap warga masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan pribadi. Kecuali daripada itu, di dalam masyarakat dijumpai pula kepentingan-
kepentingan dari aneka macam golongan. Selain itu dalam setiap masyarakat pasti akan
dijumpai segolongan warga-warga yang pada dasarnya mempunyai pola-pola perikelakuan
yang menyimpang dari tata kelakuan yang umum dalam masyarakat.
Jadi, suatu masyarakat tanpa konflik merupakan masyarakat yang mati, atau hanya
merupakan masyarakat berdasarkan angan-angan belaka. Hukum bertujuan untuk
menetralisir atau mengalihkan konflik tersebut ke arah suatu keseimbangan yang dapat
diterima oleh masyarakat . Kecuali itu hukum mempunyai sifat yang memaksa dan
mengikat walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur yang terpenting dari
hukum, oleh karena tidak semua perbuatan atau larangan dapat dipaksakan. Memaksa
disini diartikan sebagai suatu perintah yang ada sanksinya apabila tidak ditaati dan sanksi
tersebut berwujud sebagai suatu penderitaan bagi si pelanggar.
134 Hukum Pengangkutan Laut

2. Fungsi Pengaturan Untuk Kelancaran Kegiatan Ekonomi


Kaidah-kaidah peraturan diperlukan sebagai penunjang kegiatan ekonomi yang menyangkut
industrialisasi, serta untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam
masyarakat yang melakukan interaksi kegiatan ekonomi. Fungsi Pengaturan dapat berupa
peraturan perundangan yang berfungsi untuk mengukuhkan struktur kegiatan ekonomi
dan memberi landasan yang baik dalam pelaksanaannya. Antara pengaturan hukum
dan kegiatan ekonomi di pelabuhan sangat terkait erat dan terdapat adanya pengaruh
timbal balik, yaitu di satu pihak pembaharuan dasar-dasar pemikiran bidang ekonomi
ekut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka
penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar jalannya kegiatan
perekonomian di suatu tempat, dalam hal ini adalah pelabuhan
Hukum sangat berfungsi dalam perkembangan atau pembangunan ekonomi suatu
bangsa. Menurut Leonard J Theberge dalam tulisannya Law and Economic Development
yang mengadakan penelitian terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia
ketiga, yang mempunyai kesimpulan bahwa fungsi dari hukum dalam meningkatkan
perekonomian negara melalui penanaman modal asing sangat diperlukan kerangka hukum
yang memadai dan baik serta diyakini oleh para investor asing, karena para investor
dalam melakukan suatu kerjasama sangat berpatokan pada hukum yang berlaku di negara
tersebut, dan kestabilan kebijakan politik negara, untuk kepastian dan keamanan bahwa
mereka tidak perlu khawatir dalam menanamkan modal mereka di negara dunia ketiga,
yang sampai saat ini mereka ragukan karena berlakunya hukum di negara dunia ketiga
belum ada kepastian yang dapat menyakinkan para investor dengan aman menanamkan
modalnya.
Dikatakan pula dalam tulisannya bahwa;
“With the emergence of scores of new nations in the third world over the last twenty years
governments, foundations, and legal scholars have been trying incessantly to determine
the extent to which the role of law influences economi development in less developed
countries (LDC’S). Empirical evidence is elusive. Nevertheless, the foreign investor and
his lawyer act upon the assumption that there is such a relationship, and they rank it in
importance next to economic opportunity, political stability, and investment incentive
. Early on, it was recognized that the rapid economic development sought by Third
World countries would require an effective legal framework. But conceptions of how
such a framework can be created have changed over the course of two decades research
in the field of law and development”

Law, it has been suggested, can have three possible functions in societal development:
“tinkering,” “following,” or “leading.” During the colonial period the tinkering and
following function prevailed in most Third World countries. Independence and the
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 135

desire for rapid development foetered the idea that law could lead in the process of
growth.

This concept was the outgrowth of Western economic development it stemmed from
Max Weber’s formulation that consistency and reinforcement of norms provided by the
law were essensial elements in the industrial development of Europe. Burg’s study of the
law and development literature cites five qualities in law which render it conducive to
development: (1). Stability; (2) . Predictability; (3). Fairness ; (4). Education; (5). The
special development abilities of the lawyer. The first two qualities are prerequisites for
any kind of economic system to function.

The need for predictability is especially great in countries where most people are
entering for the first time into economic relationships beyond their traditional social
environment. Includewd in the stability function is the potential of law to balance and
accommodate competing interests.

Aspects of fairness, such as due process, equality of treatment, and standards for
government behaviour, have been emphasized by other writers as necessary for both
the maintenance of the market mechanism and the prevention of bureaucratic excesses

Leonard menggunakan konsep dari Max Weber yang dianggapnya dapat membantu
perkembangan ekonomi dunia barat bahwa kemantapan dan penguatan dari norma-
norma hukum merupakan hal-hal yang sangat penting dalam pertumbuhan industri di
Eropa. Literatur hukum dan pembangunan dari Burg’s Study menyatakan ada lima kualitas
yang hukum sumbangkan dalam pembangunan antara lain:
a. Kemantapan atau keseimbangan;
b. Kemungkinan atau ramalan;
c. Kejujuran atau keadilan;
d. Pendidikan dan;
e. Kemampuan atau ketangkasan para Pengacara. Dan kemantapan serta kemungkinan
merupakan prasyarat utama dalam fungsi sistem ekonomi.

3. Fungsi Hukum Sebagai Pengatur Dalam Kegiatan Operasional di Pelabuhan


Kegiatan pelabuhan meliputi kegiatan fungsi usaha dan pemerintahan yang berhubungan
dengan ekonomi, sehingga perannya untuk meningkatkan perekonomian nasional sangat
besar. Untuk menunjang kegiatan tersebut, peran hukum berupa peraturan-peraturan
sangat diperlukan sebagai penyeimbang kegiatan ekonomi di pelabuhan.
136 Hukum Pengangkutan Laut

Pelaksanaan kegiatan pelabuhan banyak melibatkan pihak-pihak yang mempunyai


tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lain sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Tentu saja dalam pelaksanaannya sering terjadi benturan-
benturan antar kepentingan. Oleh karena itu dalam sub pokok bahasan ini akan dibahas
fungsi hukum dalam kegiatan pelabuhan. Seperti yang dijelaskan dalam Hukum di dalam
masyarakat modern oleh Satjipto Rahardjo tidak luput dari pengaruh birokratisasi.
Diciptakanlah diferensiasi dalam fungsi-fungsi dengan masing-masing mendapatkan
tugas-tugasnya sendiri meliputi berbagai segi bekerjanya hukum. Diferensiasi dalam
fungsi-fungsi serta penetapan tugas-tugas yang harus dilaksanakan ditetapkan di dalam
peraturan-peraturan hukum. Setiap lingkungan pekerjaan yang tersusun di dalam
organisasi itu bekerja dengan tujuan yang telah ditentukan. Tujuan-tujuan ini ditetapkan
dalam ketentuan hukum positif yang sekaligus juga menentukan hubungan-hubungan
antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain.
Satjipto juga menegaskan bahwa pada hakikatnya hukum mengandung ide atau
konsep. Dengan demikian ia dapat digolongkan pada suatu yang abstrak. Jadi hukum di sini
tidak boleh hanya diartikan sebagai undang-undang, tetapi ia meliputi juga falsafah, asas,
norma, peraturan, kebiasaan masyarakat, dan sebagainya. Dengan demikian, yang disebut
dengan penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan ide-ide serta konsep-konsep
yang menjadi kenyataan.
Jadi untuk melindungi kepentingan berbagai pihak dalam melaksanakan kegiatannya
di pelabuhan diperlukan pengaturan di bidang hukum yang berfungsi untuk menegakkan
peraturan-peraturan. Menurut Roscoe Pound, hukum bukan sebagai kumpulan norma-
norma abstrak tertib hukum saja, tetapi lebih merupakan untuk membagun struktur
masyarakat sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan yang sama dengan yang bertentangan dengan fungsi menjadi pemuasan
kebutuhan-kebutuhan semata-mata, mungkin dengan pergeseran mirip yang dianalogikan
dengan istilah sosial engineering, dikatakannya juga bahwa hukum merupakan suatu sarana
yang dapat merekayasa masyarakat (a tool of social engieering).
Dalam hal budaya hukum, Daniel S Lev membagi budaya hukum dalam nilai
hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif, bahwa nilai-nilai hukum prosedural
mempersoalkan tentang bagaimana cara mengatur tertib masyarakat dan manajemen
dari konflik. Dengan demikian ia akan membantu menentukan bagaimana tempat yang
diberikan kepada lembaga-lembaga masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan nilai
substantif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-
sumber di dalam masyarakat tentang apa yang dianggap adil atau tidak boleh oleh
masyarakat yang bersangkutan.
Apabila kita hendak berbicara penegakan hukum, maka tidak dapat dipisahkan
hubungan hukum dan ketertiban. Eugen Erlich mengatakan bahwa hukum tunduk pada
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 137

kekuatan-kekuatan sosial tertentu, hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena
ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan
bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Erlich, tertib sosial didasarkan
pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen
Erlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan
sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran ini harus ada pada setiap anggota profesi hukum
yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan lingkup positif dalam
hubungannya dengan hukum yang hidup.
Hukum juga dapat berfungsi memaksa masyarakat yang tidak taat hukum, seperti
pendapat dari Max Weber, bahwa hukum merupakan suatu tertib memaksa yang mempunyai
dukungan potensial dari kekuatan negara dan menurut Eugen Erlich bahwa hukum sebagai
aturan-aturan formal merupakan norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law) yaitu hukum
yang dilaksanakan dalam masyarakat, sebagai lawan dari hukum yang diterapkan.
Penegakan hukum tak kalah pentingnya perlu diketahui tentang budaya hukum.
Bahwa budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Sekalipun hal tersebut
memang merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan dalam wacana hukum. Hal itu
menjadi sangat kelihatan manakala diproyeksikan kepada latar belakang kehidupan hukum
di Indonesia dewasa ini. Kita menyaksikan betapa budaya dan perilaku hukum menjadi
faktor penentu yang penting. Dalam kegiatan di pelabuhan banyak terdapat pihak-pihak
yang mempunyai masing-masing kepentingan dan mendahulukan kepentingannya, sudah
pasti terdapat berbagai perilaku yang merupakan suatu kebiasaan yang terjadi dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatannya di pelabuhan.
Cita-cita hukum, tujuan pembangunan hukum tidak dapat dicapai dengan
mengabaikan peranan dan sumbangan budaya hukum. Wibawa hukum melengkapi
kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum, ia merupakan semacam aura yang
melingkupi hukum, sehingga hukum memancarkan kekuatan ke masyarakat di mana ia
berlaku. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum, karena hukum berwibawa,
maka perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya
berkaitan dengan hal-hal yang personal, tetapi lebih dari itu mengandung unsur spiritual,
yaitu kepercayaan. Sekalipun secara teknis suatu peradilan sudah dijalankan menurut
prosedur yang digariskan, tetapi apabila masyarakat tidak lagi mempercayainya, maka
kewibawaan hukum sudah jatuh. Selain harus berpedoman kepada hal yang diuraikan di
atas, maka tugas pelabuhan laut di Indonesia (pelabuhan utama) secara garis besar meliputi
aspek pemerintahan dan pengusahaan.
Membicarakan penegakan hukum yang akan dilakukan untuk menertibkan keadaan
di pelabuhan guna menunjang pembangunan fungsinya agar dapat berjalan dengan optimal
138 Hukum Pengangkutan Laut

perlu diperhatikan tentang hukum yang baik adalah yang dapat memberikan sesuatu
yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan
juga adil; hukum seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen
terhadap tercapainya keadilan substantif. Keberhasilan hukum akan sangat ditentukan oleh
tersedianya modal sosial dalam masyarakat bersangkutan. Hukum memperkuat cara-cara
di mana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan
di antara keduanya. Lembaga hukum menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber
pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Ciri khas hukum adalah bahwa tugas
dari hukum adalah mencari tujuan-tujuan yang dapat memecahkan masalah-masalah,
berusaha untuk mengatasi ketegangan-ketegangan dan menunjukkan suatu kapasitas
beradaptasi yang bertanggung jawab, melalui adaptasi yang selektif dan tidak serampangan.
Suatu institusi yang responsif memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan
kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan oleh hukum melalui
cara memperkuat integritas dan keterbukaan sehingga saling menopang walau ada benturan
di antara keduanya. Tekanan-tekanan sosial dianggap sebagai sumber pengetahuan dan
kesempatan untuk mengoreksi diri. Institusi harus memiliki tujuan-tujuan yang menjadi
panduan yang menjadi standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan, sehingga memberi
kesempatan untuk terjadinya suatu perubahan. Tujuan jika dipedomani pada saat yang
bersamaan dapat juga dijadikan untuk mengkontrol diskresi administratif sehingga dapat
mengurangi risiko terjadinya penyerahan institusional, sebaliknya tidak adanya tujuan
akan mengakibatkan pada kekakuan serta oportunisme.
Institusi formalitas yang terikat pada peraturan-peraturan merupakan institusi yang
tidak memiliki kelengkapan yang memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan
dalam konfliknya dengan lingkungan sekitarnya, cenderung beradaptasi secara opotunitis
karena kekurangan kriteria yang secara rasional merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang
sudah ketinggalan jaman atau yang sudah tidak layak lagi. Berbeda dengan institusi yang
sudah mempunyai tujuan, terdapat integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi.
Jadi hukum responsive beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup
berkuasa untuk mengkontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Ciri khas yang penting
dari hukum adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 139

Bab ASURANSI WAJIB PENGANGKUTAN LAUT

A. Sejarah Asuransi Sosial


Dalam pengertian yang luas, asuransi sosial dimaksudkan untuk menutup risiko-risiko
sosial, yaitu semua jenis risiko yang terdapat dalam masyarakat, misalnya kehilangan
penghasilan disebabkan usia tua, pengangguran, kematian, atau karena kehilangan
kemampuan untuk bekerja.
Timbulnya risiko sosial berkaitan dengan makin meningkatnya permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat. Semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks pula
permasalahan yang terdapat didalamnya. Pada waktu manusia hidup dalam kelompok,
baik berupa suku maupun keluarga besar, benih-benih dari jaminan sosial sudah mulai
tampak. Dalam kehidupan masyarakat sudah dirasakan ada solidaritas sosial.
Setiap anggota kelompok mempunyai kewajiban moral untuk membantu anggota
keluarganya yang sudah tua atau kurang beruntung dalam kehidupannya. Apabila
kewajiban sosial tersebut tidak dilaksanakan, akan terdapat sanksi dalam masyarakat.
Beberapa bantuan juga diusahakan oleh lembaga keagamaan, para majikan atau raja-raja
kecil.
Beberapa negara Eropa pada abad ke-19, juga terdapat peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan pemberian bantuan bagi orang miskin. Sebagai contoh, dalam Grondwet
Nederland (art. 141) serta Grondwet 1815 (art. 228) ditentukan bahwa pengurusan orang
miskin sebagai suatu kepentingan yang tinggi dianjurkan dilakukan oleh negara. Selanjutnya,
dalam Grondwet 1848, dinyatakan bahwa pengurusan orang miskin merupakan suatu
beban pengurusan negara yang harus diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan
hal tersebut, lahirlah Armenwet 28 Juni 1854 yang pada prinsipnya menentukan bahwa
pengurusan orang miskin diserahkan kepada gereja dan lembaga-lembaga partikulir.
Dengan dilakukannya usaha-usaha jaminan sosial seperti di atas, masalah-masalah
sosial tidak terlalu tampak muncul ke permukaan. Keadaan ini berubah setelah pada
pertengahan abad ke-19 di negara-negara Eropa Barat terjadi industrialisasi sebagai akibat
dari revolusi industri. Pada Era industrialisasi tersebut, lahirlah golongan pekerja yang
terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Para pekerja sangat menggantungkan
kehidupannya kepada upah yang diperoleh dari pekerjaan mereka.

139
140 Hukum Pengangkutan Laut

Apabila terjadi hal-hal yang mengganggu penghasilannya, misalnya sakit, kecelakaan,


pemutusan hubungan kerja, usia tua dan sebagainya sangat berpengaruh kepada usaha
mengurus kehidupannya. Adakalanya apabila terjadi kemalangan yang menimpa pekerja
seperti tersebut, oleh pengusaha diberikan bantuan kepada yang bersangkutan berdasarkan
tanggung jawabnya sebagai majikan. Dalam hal teori, tanggung jawab majikan untuk
memberikan ganti kerugian diterapkan kepada pekerja yang ditimpa kecelakaan kerja
juga kurang berjalan lancar. Hal itu disebabkan pekerja sebagai yang berkedudukan lemah
akan sulit menunjukkan bukti-bukti untuk menunjang pelaksanaan hak mereka dalam
mendapatkan ganti kerugian.
Terdapat juga pengusaha yang menutup asuransi komersial dalam upaya mengalihkan
tanggung jawab mereka memberikan ganti kerugian kepada pekerjanya, namun asuransi
yang demikian bersifat sukarela, sehingga pelaksanaanya hanya terbatas kepada beberapa
perusahaan saja.
Untuk melakukan penutupan asuransi yang demikian, perusahaan asuransi bersifat
selektif, sehingga tidak semua risiko bersedia menanggungnya, walaupun demikan adanya
usaha untuk menutup asuransi komersial (sukarela) tersebut merupakan bayangan dari
asuransi wajib sosial. Hal itu disebabkan dengan ditutupnya asuransi yang di maksud
sudah terdapat usaha untuk mengatasi risiko sosial yang dihadapi buruh.
Dari keadaan di atas, dapat ditarik suatu pengalaman bahwa bentuk sukarela dari
asuransi yang telah dilakukan tidak cukup untuk memberikan jaminan sosial yang
memadai bagi pekerja dan keluarganya. Bertalian dengan hal tersebut, timbul suatu
gagasan untuk membentuk suatu asuransi sosial wajib bagi pekerja. Dengan diberikan sifat
wajib diharapkan pekerja akan mendapatkan hak-hak mereka untuk memperoleh jaminan
sosial sebagaimana mestinya.
Sifat wajib tersebut mengakibatkan pengusaha tidak dapat melepaskan diri dari
tanggung jawabnya kepada pekerja, namun demikan; untuk tidak memberatkan pihak
pengusaha saja, dalam beberapa hal dituntut pula kewajiban pekerja membayar premi
dalam pelaksanaan asuransi sosial wajib tersebut. Dengan demikan, tampak adanya gotong-
royong antara pengusaha dan pekerja dalam mengatasi masalah sosial yang menimpa
pekerja.
Gagasan tersebut diwujudkan dalam kenyataan menjadi asuransi sosial pertama kali
adalah diJerman pada waktu pemerintahan Otto Von Bismark yang hidup antara tahun
1815 - tahun 1898, mula-mula pekerja diwajibkan menjadi peserta dari asuransi sakit
pada tahun 1883, kemudian diselenggarakan pula asuransi kecelakaan tahun 1884, dan
dilanjutkan dengan asuransi cacat dan hari tua. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa asuransi sosial tumbuh dan berkembang sebagai sarana yang dibutuhkan masyarakat
disamping asuransi komersial disebabkan makin bertambahnya masalah-masalah sosial,
terutama setelah revolusi industri. Hal itu tidak terlepas pula dari timbulnya ide negara
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 141

kesejahteraan (welfare state), sehingga pemerintah menganggap perlu untuk campur


tangan lebih luas dalam kehidupan masyarakat. Tindakan demikan dilakukan dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Alasan diperlukannya asuransi sosial
menurut Mehr dan Cammack (1972:380) adalah sebagai berikut ;
‘ Why after hunderds, perhaps thousands of years without any form of social insurance,
such program are now regarded as a governement obligation? The reasonare discussed
under three headings; (1) changes in economy, (2) increasing age of population, and (3)
social change.”
Ketiga Alasan yang dikemukan Mehr dan Cammack tersebut dapat dipahami sebab
dari sejarah perkembangan yang diuraikan jelas bahwa pada umumnya hal-hal yang
demikianlah yang merupakan penyebab tumbuh dan berkembangnya asuransi sosial.
Di Indonesia, pertanggungan sosial dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian karena
mengandung unsur menabung. Jadi ada pertanggungan yang bersifat menabung dan ada
yang bersifat yang tidak menabung bagi tertanggung.
Pertanggungan sosial yang mengandung unsur menabung mempunyai makna
bahwa pada saat nanti dikemudian hari, peserta yang diharuskan dan telah membayar
iuran pada saat-saat yang ditetapkan akan menerima sejumlah uang tertentu yang dapat
dirasakan sebagai hasil penabungan dari iuran-iuran yang telah dibayar berangsur-angsur
sebelumnya. Termasuk dalam golongan ini ialah ;
1. Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau dengan istilah yang dikenal umum
Taspen;
2. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau dikenal dengan nama
Asabri;
3. Asuransi Sosial Tenaga Kerja, dikenal dengan sebutan Astek.
Pertanggungan sosial yang tidak mengandung unsur menabung mengandung
pengertian bahwa peserta yang membayar iuran, pada saat tertentu yang telah ditetapkan,
tidak selalu harus atau pasti akan menikmati sejumlah uang sebagai hasil dari iuran-iuran
yang telah lama atau berkali-kali disetorkan. Termasuk kedalam golongan ini adalah ;
1. Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri, dikenal dengan nama Askes atau H.I. (Health
Insurance);
2. Pertanggungan Kecelakaan Penumpang (Undang-Undang No. 33 Tahun 1964);
3. Pertanggungan Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Undang-Undang No. 34 Tahun 1964).

B. Dasar Hukum Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep)


Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) diatur dalam Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Lembaran Negara
142 Hukum Pengangkutan Laut

No.137 Tahun 1964 yang mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964. Undang-Undang ini
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1965 yang mulai berlaku tanggal
10 April 1965. Undang-Undang ini beserta peraturan pelaksanaannya merupakan dasar
berlakunya Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep).
Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) termasuk jenis asuransi wajib
(compulsory insurance). Dikatakan asuransi wajib karena:
1. Berlakunya Askep karena diwajibkan oleh Undang-Undang, bukan karena
perjanjian. Undang-undangnya sendiri berjudul Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang;
2. Pihak penyelenggara asuransi ini adalah pemerintah yang didelegasikan kepada
Badan Usaha Milik Negara (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992);
3. Askep bermotif perlindungan masyarakat (social security) yang dananya dihimpun
dari masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat yang diancam
bahaya kecelakaan;
4. Dana yang sudah terkumpul dari masyarakat tetapi belum digunakan sebagai
dana kecelakaan, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat melalui program
investasi.

C. Definisi Asuransi Wajib atau Pertanggungan Wajib


Asuransi wajib (Compulsory Insurance) adalah asuransi yang penutupannya merupakan
suatu kewajiban berdasarkan ketetapan peraturan perundang-undangan. Kewajiban
tersebut perlu karena menyangkut kepentingan orang banyak atau kepentingan nasional.
Asuransi wajib diselenggarakan dalam bentuk asuransi sosial, misalnya Asuransi Kerugian
Jasa Raharja.
Dikatakan wajib, oleh karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada pihak
lainnya dalam mengadakan pertanggungan itu. Pihak yang mewajibkan ini biasanya ialah
Pemerintah. Pihak Pemerintah dalam hubungan hukum pertanggungan ini adalah sebagai
penanggung. Pemerintah dalam mengambil tindakan mewajibkan itu biasanya didasarkan
atas pertimbangan untuk melindungi golongan-golongan lemah dari bahaya-bahaya yang
menimpanya atau memberikan jaminan sosial atau social security bagi masyarakat.
Tidak dapat kita pungkiri disamping tujuan untuk melindungi tadi tercapai, terdapat
juga tujuan lainnya yaitu pengumpulan sejumlah uang (premi) yang dapat dipergunakan
oleh Pemerintah untuk sesuatu tujuan/keperluan yang penting. Jika dilihat lebih lanjut,
maka tujuan pertanggungan ini adalah untuk melindungi masyarakat, oleh karena itu
pertanggungan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1964 itu dapat kita sebut sebagai pertanggungan sosial.
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 143

Di Indonesia, sejak Tahun 1963, kita sudah mengenal adanya pertanggungan wajib
ini, hal ini kemudian ditambah dengan jenis lainnya pada Tahun 1964. Pertanggungan
wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah diIndonesia ialah sebagai berikut:
1. Sejak Tahun 1963 kita telah mengenal Peraturan Pemerintah yang menetapkan bahwa
atas setiap Pegawai Negeri harus ditarik sejumlah uang tertentu dari gajinya tiap
bulan sebagai premi pertanggungan atas dirinya. Peraturan tersebut dikenal dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963 Lembaran Negara 1963 Nomor 15.
Pelaksanaan dari pertanggungan ini diserahkan kepada PN Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963
tanggal 17 April 1963 dan yang sekarang disebut dengan nama Perum Taspen sesuai
dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara;
2. Kemudian pada Tahun 1964 terdapat suatu gagasan dari Pemerintah yang akhirnya
pada tahun itu juga diwujudkan dalam suatu Undang-Undang yang disebut: Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Undang-Undang No. 33 Tahun 1969
LN. 1964 No. 137 mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964;
3. Pada tahun yang sama Pemerintah juga mengadakan peraturan mengenai: Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1964 LN. 1964
No. 138 mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964.

Penggantian kerugian di dalam Pertanggungan Wajib yang diatur didalam Undang-


Undang Nomor 33 Tahun 1964 adalah sebagai hasil dari penentuan Pemerintah sendiri
tanpa memperhitungkan betapa arti kematian dan cacat tetap itu “sesungguhnya” pada
tiap-tiap korban, karena arti kehilangan seseorang dari suatu keluarga, atau cacat pada
tubuh seseorang, hanya dapat dirasakan berat atau ringan oleh orang yang berkepentingan
itu sendiri dengan sesungguhnya.
Hal inilah yang membedakan dengan pertanggungan kerugian yang sesungguhnya.
Pada pertanggungan kerugian bahwa hakikatnya ialah penggantian kerugian itu
diseimbangkan dengan kerugian yang sesungguhnya diderita, sedangkan pada benda-
benda pada hakikatnya dapat dihitung atau ditentukan.
Pertanggungan Wajib disebut juga sebagai pertanggungan orang oleh karena objek
pertanggungan itu adalah orang, sedangkan dia disebut pertanggungan jumlah oleh karena
ganti rugi yang akan diterima oleh tertanggung sudah ditentukan jumlahnya sebelumnya;
disebutkan sebagai social insurance atau pertanggungan sosial oleh karena tujuan
mewajibkan atau mengadakan pertanggungan itu adalah untuk memberikan jaminan
sosial tertentu bagi anggota masyarakat.
144 Hukum Pengangkutan Laut

D. Pihak-Pihak Dalam Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep)


1. Penanggung
Pemerintah meletakkan titik berat kedudukan penguasa disini adalah sebagai penguasa
dari seluruh kumpulan iuran-iuran yang terkumpul. Kumpulan iuran-iuran ini menurut
Pasal 1 sub (c) disebutkan “Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang”. Menurut
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964, hubungan hukum pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang diciptakan antara pembayar iuran dan penguasa dana.
Berdasarkan ketentuan ini dapat dipahami dari segi hukum asuransi bahwa penguasa
dana berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan pembayar iuran berkedudukan
sebagai tertanggung. Penguasa dana sebagai penanggung memikul risiko kecelakaan yang
mungkin dialami oleh pembayar iuran sebagai tertanggung.
Pihak penanggung (penguasa dana) pada suatu saat akan memberikan penggantian
kerugian yang diambil dari dana yang dikuasainya jika terjadi evenement (peristiwa
yang tidak tertentu), yang pada garis besarnya evenement itu mengakibatkan kerugian.
Kerugian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan menurut Pasal 3 sub (c ) Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 yaitu:
a. Kematian;
b. Cacat tetap.
Penguasa dana sebagai penanggung ditentukan dalam Pasal 1 huruf (e) dan (f)
Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1965. Menurut ketentuan pasal tersebut pertanggungan
adalah hubungan hukum antar penanggung, yaitu Perusahaan Negara yang dimaksud
dalam Pasal 8, dan penumpang alat angkutan umum yang sah.
Perusahaan Negara yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 17
Tahun 1965 adalah Perusahaan Negara menurut Undang-Undang No. 19 Prp Tahun 1960
yang ditunjuk secara khusus oleh Menteri Keuangan untuk itu.
Bahwa baik didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 maupun didalam PP
Nomor 17 Tahun 1965 (Peraturan Pelaksana), ditetapkan bahwa Menteri yang dimaksud
ialah; Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, Pengawasan/Menteri P3, yang saat ini
Menteri yang dimaksud ialah Menteri Keuangan.
Penunjukkan Perusahaan Negara oleh Menteri itu dilakukan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Republik Indonesia
Nomor BAPNI-3-3 yang menetapkan menunjuk Perusahaan Negara Asuransi Kerugian
Jasa Raharja untuk melaksanakan penyelenggaraan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 33 Tahun 1964, Undang-Undang No. 34 Tahun
1964 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1965.
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 145

Surat Keputusan Menteri tersebut ditetapkan pada tanggal 30 Maret 1965, namun
mulai berlaku dengan daya surut pada tanggal 1 Januari 1965. Perusahaan Negara Jasa
Raharja itu sendiri telah didirikan berdasarkan Undang-Undang No 19 Prp 1960 dengan
suatu Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1965 (Lembaran
Negara Tahun 1964 No.14) yang juga mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1965.
Sejak Tahun 1969, berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1965 tentang bentuk-
bentuk Usaha Negara, semua usaha-usaha Negara yang berbentuk perusahaan dibedakan
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Perusahaan Jawatan, disingkat Perjan;
b. Perusahaan Umum, disingkat Perum;
c. Perusahaan Perseroan, disingkat Persero.
Pembayaran iuran sebagai tertanggung, diatur dalam Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 1965 yang
menentukan bahwa “setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta
api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional, dan kapal perusahaan perkapalan/
pelayaran nasional wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik perusahaan yang
bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang
dalam perjalanan”; akan tetapi penumpang kendaraan bermotor umum dalam kota
dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib. Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa
yang berkedudukan sebagai tertanggung adalah setiap penumpang yang sah, yang wajib
membayar iuran melalui perusahaan angkutan yang bersangkutan, kecuali penumpang
angkutan dalam kota.

2. Tertanggung
Berdasarkan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), maka tertanggung
ialah pihak yang menerima penggantian kerugian, namun sebaliknya dialah juga orang
yang harus membayar premi.
Berdasarkan Perbandingan antara Pasal 2 dan 3 dari Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 1965, maka tertanggung didalam
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ialah ;
a. Tiap penumpang dari kendaraan bermotor umum;
b. Tiap penumpang dari kereta api;
c. Tiap penumpang dari pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional;
d. Tiap penumpang dari kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional.
146 Hukum Pengangkutan Laut

E. Iuran
Dalam hukum asuransi, premi adalah sejumlah uang yang dibayar tertanggung kepada
penanggung sebagai imbalan risiko yang ditanggungnya; karena Asuransi Sosial
Kecelakaan Penumpang (Askep) adalah asuransi, maka dalam Asuransi Sosial Kecelakaan
Penumpang (Askep) dikenal juga dengan istilah premi. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965, ”untuk jaminan pertanggungan
diri, tiap penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan
penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional untuk tiap
perjalanan, wajib membayar suatu iuran”. Jumlah Iuran Wajib yang dimaksud ditentukan
oleh Menteri Keuangan menurut suatu tarif yang bersifat progresif, dengan demikian
premi Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) adalah Iuran Wajib yang dibayar
oleh setiap penumpang yang jumlahnya ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Iuran sebagai premi Askep harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya angkutan
penumpang kepada pengusaha alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan.
Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum tersebut wajib memberi pertanggung-
jawaban hasil pungutan Iuran Wajib para penumpangnya dan menyetorkannya kepada
penanggung, yaitu PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) tiap bulannya, selambat-
lambatnya pada tanggal 27 secara langsung melalui Bank atau badan asuransi lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan menurut cara yang ditentukan oleh Direksi (Pasal 3 ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964).
Iuran Wajib yang dibayar oleh setiap penumpang digunakan untuk mengganti
kerugian berhubung dengan kematian dan cacat tetap/cedera akibat dari kecelakaan
penumpang. Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum dilarang menjual karcis
atau tiket penumpang umum, tanpa sekaligus memungut iuran wajib (Pasal 5 Peraturan
Pemerintah No.17 Tahun 1965).
Iuran Wajib sebagai premi Askep semata-mata dibuktikan dengan kupon
pertanggungan yang bentuk dan hal-hal lainnya ditentukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 4
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964). Setiap kali diminta, kupon tersebut wajib diperlihatkan kepada
petugas yang berwenang oleh setiap penumpang bagi perjalanan yang hendak, sedang,
atau baru saja selesai ditempuh (Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965). Dalam
praktik sekarang, kupon tanda bukti tersebut tidak diterbitkan tersendiri, melainkan sudah
tertulis pada karcis atau tiket penumpang.
Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 21 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, perusahaan angkutan penumpang umum
yang melakukan tindakan sebagai inkaso, bilamana melakukan kelalaian menjalankan
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 147

kewajibannya tidak memungut iuran kepada penumpang dan atau tidak menyetorkan
hasil pendapatannya pada waktu yang ditentukan, dikenakan hukuman setinggi-tingginya
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965
menambah lagi dengan sangsi pencabutan ijin usaha untuk paling lama 3 (tiga) bulan bagi
pengusaha/pemilik alat penumpang angkutan umum yang bersangkutan.
Jadi sebenarnya posisi dari pengusaha-pengusaha pengangkutan itu bukanlah sebagai
penanggung, melainkan hanya sebagai orang yang diberi kuasa oleh penanggung (dalam hal
ini Pemerintah) untuk mengumpulkan premi yang diwajibkan itu, seperti dimungkinkan
oleh Pasal 259 KUHD untuk pertanggungan kerugian pada umumnya.

F. Sifat Pembayaran Premi/Iuran


Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 sifat pembayaran iuran itu adalah wajib. Sifat wajib ini terlihat dari ketentuan
Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964, serta Pasal 5 dan Pasal 6 dari
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 berbunyi:
“Tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat
terbang perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan pelayaran
nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik yang bersangkutan “.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 berbunyi;
“Tiada Karcis atau tiket alat angkutan penumpang umum boleh dijual atau
dikeluarkan kepada seseorang atau petugas yang berwenang dari pengusaha alat
angkutan penumpang umum yang bersangkutan tanpa sekaligus memungut iuran
wajib”.

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 berbunyi;


“ Tiap penumpang alat angkutan umum wajib setiap kali diminta oleh petugas yang
berwenang, pengusaha dari alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan
dan/atau petugas lain dapat ditunjuk oleh menteri memperlihatkan kupon
pertanggungannya bagi perjalanan yang hendak, sedang, atau baru saja selesai
ditempuh”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 di atas, sifat wajib dari pembayaran
premi itu ditekankan pada pihak tertanggung. Pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965, sifat “wajib” itu ditekankan pada pihak pengusaha alat angkutan
148 Hukum Pengangkutan Laut

umum (sebagai kuasa dari pemerintah/penanggung) untuk tidak menjual karcis kepada
penumpang, kecuali penumpang membayar dana atau premi.

G. Dokumen Bukti Pertanggungan


Pada pertanggungan wajib didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, jelas bahwa tidak ada satupun pasal yang
menyebut “polis”. Hal ini terlihat juga didalam PP Nomor 17 Tahun 1965 tidak ada pasal
yang menyebut istilah polis.
Bahwa menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, menetapkan
bahwa Iuran Wajib semata-mata dibuktikan dengan kupon pertanggungan yang bentuk dan
hal-hal lain yang ditentukan oleh Menteri. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa kupon
adalah sebagai alat bukti dari Iuran Wajib bukan alat bukti dari perjanjian pertanggungan
antara penumpang dan pengusaha dana, sedangkan polis adalah alat bukti dari perjanjian
pertanggungan, akan tetapi dalam UU Nomor 33 Tahun 1964 dan PP Nomor 17 Tahun
1965 telah diletakkan suatu inti utama dari tujuan Pemerintah bahwa setiap penumpang
harus membayar Iuran Wajib, dan justru karena ia membayar Iuran Wajib itulah dia
mengikatkan diri didalam hubungan pertanggungan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kupon itu adalah sekaligus
membuktikan adanya hubungan pertanggungan antara penguasa dana dan pembayar
iuran, namun demikian didalam hal klaim penggantian kerugian disamping adanya
kupon itu, tertanggung (penumpang) masih diharuskan menyerahkan beberapa alat-alat
bukti lainnya tergantung pada evenement yang timbul itu apakah menyebabkan kematian,
cedera ataupun cacat tetap.
Dalam hal kematian misalnya diharuskan adanya ;
1. Proses verbal polisi atau yang lain berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi
dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan;
2. Keputusan hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang mengenai pewarisan
yang bersangkutan;
3. Surat- surat keterangan dokter dan bukti lain yang dianggap perlu guna pengesahan
fakta kematian yang terjadi, hubungan sebab musabab kematian tersebut dengan
penggunaan alat angkutan penumpang umum.
Dalam hal cacad tetap atau cedera;
1. Proses verbal polisi lalu-lintas atau lain yang berwenang tentang kecelakaan yang
telah terjadi dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan yang
mengakibatkan cacad/cedera pada sipenuntut;
2. Surat keterangan dokter tentang jenis cacad tetap/cedera yang telah terjadi sebagai
akibat kecelakaan;
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 149

3. Surat-surat bukti lain yang dianggap perlu guna pengesahan fakta cacad tetap/
cedera yang terjadi, hubungan sebab musabab antara cacad tetap/cedera tersebut
dengan menggunakan alat angkutan penumpang umum sebagai demikian, dan hal-
hal lain yang menentukan jumlah penggantian kerugian pertanggungan yang harus
diberikan.

H. Unsur Kepentingan
Didalam Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang ini, faktor kepentingan tidak selalu
harus ada pihak yang mengikatkan diri dengan penguasa dana (penanggung). Ini dapat
dijumpai bilamana peristiwa yang menimpanya itu menimbulkan kematian pembayar
Iuran Wajib.
Dalam hal demikian pembayar Iuran Wajib itu sendiri tidak akan mendapat ganti
kerugian. Yang memperoleh ganti kerugian ialah orang lain, didalam Pasal 12 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 disebutkan pihak yang dapat menjadi ahli
waris ialah:
1. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
3. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Lain halnya apabila kecelakaan itu mengakibatkan cedera/cacad. Dalam hal demikian,
maka orang yang berkepentingan itu adalah korban sendiri menurut Pasal 12 ayat (2). Dalam
pengertian “korban” harus kita artikan dengan “pembayar iuran” itu sendiri, jadi pihak
tertanggung. Jika kembali meneliti materi Pasal 12 dari Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 di atas yang memberi ketetapan dan yang membatasi pemberian penggantian
kerugian hanya pada orang-orang tertentu saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
pembatasan tersebut berarti faktor ”kepentingan” berhubungan dengan kecelakaan yang
menimpa diri pembayar Iuran Wajib ini juga sangat dipentingkan didalam pertanggungan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964.
Perbedaan dengan pertanggungan kerugian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) buku 1 title 9, bahwa kepentingan itu dalam hal kematian tidak
diharuskan melekat pada orang yang sungguh-sungguh berhak atas objek pertanggungan.
Sebab pembayar Iuran Wajib itu sendirilah yang sungguh-sungguh berhak atas dirinya
sendiri, sehingga kepentingan didalam pertanggungan wajib itu dapat berada pada orang
lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hubungan hukum pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang itu.
150 Hukum Pengangkutan Laut

I. Evenement Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep)


Evenement adalah bahaya yang menjadi beban penanggung. Dalam Askep yang dimaksud
dengan bahaya adalah kecelakaan penumpang alat angkutan umum yang mengancam
keselamatan penumpang sebagai tertanggung. Apabila kecelakaan penumpang ini benar-
benar terjadi, maka mengakibatkan timbulnya kerugian karena kematian, cacat tetap atau
luka yang dialami oleh penumpang sebagai tertanggung.
Kerugian penumpang inilah yang wajib diganti oleh PT Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero) sebagai penanggung. Pengertian kecelakaan penumpang alat angkutan
umum dalam undang-undang terdapat penjelasan, namun yang menjadi perhatian adalah
akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan itu, yaitu kerugian karena kematian, cacat tetap,
cedera yang diderita oleh penumpang sebagai tertanggung.
Pengaturan saat mulai dan berakhirnya ancaman bahaya kecelakaan yang dijamin
oleh penanggung menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 17
Tahun 1965 ialah ”setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta
api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional, kapal perusahaan perkapalan/
pelayaran nasional, termasuk penumpang angkutan kota yang dibebaskan dari kewajiban
membayar iuran, diberi jaminan pertanggungan kecelakaan diri selama penumpang
tersebut berada dalam alat angkutan yang disediakan oleh perusahaan angkutan, untuk
jangka waktu antara penumpang saat penumpang naik alat angkutan yang bersangkutan
ditempat berangkat dan saat turun dari alat angkutan tersebut ditempat tujuan menurut
karcis/tiket yang berlaku untuk perjalanan/penerbangan yang bersangkutan”.
Jaminan pertanggungan kecelakaan diri yang dimaksud berupa pembayaran ganti
kerugian pertanggungan diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 adalah sebagai berikut:
1. Korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam jangka
waktu 365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan;
2. Korban mendapat cacat tetap karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam waktu
365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan dengan cacat
tetap adalah bila suatu anggota badan hilang atau tidak dapat dipergunakan sama
sekali atau tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya;
3. Adanya biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk
korban karena akibat langsung dari kecelakaan, yang diperlukan dari hari pertama
setelah terjadi kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari;
4. Korban meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, kepada yang
menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya penguburan (Pasal
10 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965).
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 151

Menurut ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965, pertanggungan


yang dimaksud Pasal 10 di atas tidak menjamin sebagai berikut:
1. Bunuh diri, percobaan bunuh diri, atau suatu kesengajaan lain pada pihak korban
atau ahli warisnya;
2. Kecelakaan yang terjadi pada waktu korban dalam keadaan mabuk atau tidak
sadar, melakukan perbuatan kejahatan, diakibatkan oleh atau terjadi karena korban
mempunyai cacat badan atau goncangan jiwa;
3. Kecelakaan yang tidak mempunyai hubungan dengan risiko lalu-lintas modern, atau
tidak langsung disebabkan oleh penggunaan alat angkutan penumpang umum yang
bersangkutan dalam fungsinya misalnya karena turut perlombaan kecakapan atau
kecepatan, huru hara, pemogokkan buruh, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat
politik, dipakai untuk tugas ABRI, dan sebagainya.

J. Ganti Kerugian Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep)


Pengaturan mengenai besar pemberian ganti kerugian akibat kecelakaan yang dibayar oleh
penanggung diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965. Pasal ini
menentukan besarnya pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal kematian,
cacat tetap, maksimum penggantian biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter serta
biaya penggantian biaya penguburan, ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Ganti kerugian akan diberikan kepada penumpang sendiri, jika penumpang yang
mengalami kecelakaan tersebut tidak meninggal dunia; akan tetapi apabila penumpang yang
menjadi korban itu meninggal dunia, maka yang menerima ganti kerugian pertanggungan
adalah:
1. Janda/dudanya yang sah, atau ;
2. Jika ini tidak ada, anak-anaknya yang sah, atau;
3. Jika ini tidak ada, orangtuanya yang sah.
Menurut ketentuan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965, pembayaran
ganti kerugian pertanggungan tidak mengurangi tanggung jawab dari pihak pengangkut
dan/atau pihak lain yang dapat dipersalahkan menurut hukum pidana, perdata, atau
perjanjian internasional yang bersangkutan untuk kecelakaan yang terjadi. Dengan
demikian, menurut ketentuan pasal ini ganti kerugian pertanggungan tidak menghapuskan
tanggung jawab pidana, perdata, atau perjanjian internasional terhadap pihak lain yang
dirugikan.
Tuntutan ganti kerugian pertanggungan diajukan kepada PT Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero) setempat dengan/tanpa perantaraan pengusaha/pemilik angkutan umum
yang bersangkutan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah terjadinya kecelakaan
yang bersangkutan (Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965).
152 Hukum Pengangkutan Laut

Hak atas ganti kerugian pertanggungan seperti yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) di atas menjadi gugur jika:
1) Jika tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan tidak diajukan dalam
waktu 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan;
2) Jika tidak diajukan gugatan terhadap PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja pada
pengadilan perdata yang berwenang dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah tuntutan
pembayaran ganti kerugian pertanggungan ditolak secara tertulis oleh Direksi;
3) Jika hak atas ganti kerugian pertanggungan tidak direalisasikan dengan suatu
penagihan kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja atau kepada instansi
pemerintah atau pihak lain yang ditunjuk, dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah hak
tersebut diakui ditetapkan atau disahkan.

K. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penggantian Kerugian


1. Saat-Saat Kecelakaan Terjadi
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 telah diadakan ketentuan
mengenai saat-saat terjadinya kecelakaan itu, yaitu didalam Pasal 10 ayat (1) adalah
sebagai berikut;
a. Dalam hal kendaraan bermotor umum;
Antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan ditempat berangkat
dan saat turunnya dari kendaran tersebut ditempat tujuan.
b. Dalam hal kereta api;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan kereta api ditempat berangkat
dan saat turunnya dari alat angkutan perusahaan kereta api ditempat tujuan
menurut karcis yang berlaku untuk perjalanan yang bersangkutan.
c. Dalam hal pesawat terbang;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan penerbangan yang bersangkutan
atau agennya ditempat berangkat dan saat meninggalkan tangga pesawat
terbang yang ditumpanginya ditempat tujuan menurut tiketnya yang berlaku
untuk penerbangan yang bersangkutan.
d. Dalam hal kapal;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan perkapalan/pelayaran yang
bersangkutan ditempat berangkat dan saat turun didaratan pelabuhan tujuan
menurut tiket yang berlaku untuk perjalanan kapal yang bersangkutan.
Apabila kecelakaan terjadi sudah diluar saat-saat yang ditentukan oleh Pasal 10
tersebut, maka PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) tidak lagi berkewajiban
untuk mengganti kerugian dan sebaliknya pihak yang cacat atau cedera atau ahli
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 153

waris dari orang yang meninggal dunia tidaklah mempunyai hak atas penggantian
kerugian.
2. Sifat-Sifat yang Terdapat Pada Diri Penumpang
Walau seorang penumpang dari suatu kendaraan angkutan umum adalah penumpang
yang telah memegang kupon secara sah namun tidaklah berarti bahwa PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan memberikan santunan jika penumpang itu
mengalami kecelakaan didalam angkutan yang sedang berjalan. Santunan akan
diberikan dengan memperhatikan hal-hal tertentu dari seorang penumpang.
Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan dari orang-orang tertentu
dan menghilangkan keragu-raguan yang dapat timbul pada pihak penanggung.
Tindakan Pemerintah untuk mencegah hal-hal tersebut ialah dengan menetapkan
beberapa hal yang tidak ditanggung oleh penanggung yang berhubungan dengan
sifat-sifat yang terdapat pada diri penumpang sendiri.
Hak-hak atau sifat-sifat tersebut diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1965 yang pada pokoknya menentukan:
a. Adanya kesengajaan atau percobaan pada pihak korban, termasuk bunuh diri,
percobaan bunuh diri, ataupun kesengajaan lainnya;
b. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang;
1) Mabuk atau tidak sadar;
2) Melakukan perbuatan kejahatan;
Khusus mengenai sub 2), apabila seorang penumpang yang sah dari suatu kapal
terbang yang sedang membajak penumpang-penumpang lainnya ditengah
perjalanan, tetapi ternyata karena cuaca buruk pesawat terbang itu mendapat
kecelakaan yang mengakibatkan pembajak tersebut turut menderita luka-luka
dan menjadi cacad tetap, sudah barang tentu pembajak tersebut tidak wajar
kalau diberi ganti rugi;
c. Ataupun diakibatkan oleh/atau karena korban mempunyai cacad badan atau
keadaan badaniah/rokhaniah luar biasa lain.

3. Hal-Hal Diluar Risiko Pertanggungan Kecelakaan Penumpang dengan Pengangkutan


Umum
Keadaan yang terjadi tidak mempunyai hubungan dengan risiko atau tidak langsung
disebabkan oleh penggunaan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan
dalam fungsinya sebagai demikian, tidak menjadi tanggungan dari penanggung.
Penumpang tidak berhak menuntut ganti kerugian. Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1965 Pasal 13 sendiri telah memberikan beberapa hal diluar risiko
pertanggungan kecelakaan penumpang ketika terjadi kecelakaan yang tidak menjadi
tanggungan penanggung yaitu:
154 Hukum Pengangkutan Laut

a. Kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan sedang


dipergunakan untuk turut serta dalam suatu perlombaan kecakapan atau
kecepatan;
b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu didekat kendaraan bermotor penumpang
umum yang bersangkutan ternyata ada akibat-akibat gempa bumi atau letusan
gunung berapi, angin puyuh atau suatu gejala geologie atau metereologie lain;
c. Kecelakaan yang terjadi dari akibat sebab yang langsung atau tidak langsung
yang mempunyai hubungan dengan: perang, bencana perang, atau sesuatu
keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh sekalipun Indonesia tidak
termasuk dalam Negara-Negara yang tidak berperang, pendudukan, perang
saudara, pemberontakan, huru-hara, pemogokkan dan penolakan kaum buruh,
perbuatan sabot, perbuatan terror, kerusuhan kekacauan yang bersifat politis
atau bersifat lain;
d. Kecelakan perang akibat dari senjata-senjata perang;
e. Kecelakaan akibat dari suatu perbuatan dalam penyelenggaraan suatu perintah,
tindakan atau peraturan dari pihak ABRI atau asing yang diambil berhubungan
dengan sesuatu keadaan tersebut di atas: kecelakaan akibat dari melalaikan
sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut;
f. Kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan penumpang umum yang
dipakai atau di konfiskasi (dirampas) atau direkwisisi atau disita untuk tujuan-
tujuan tindakan ABRI seperti tersebut di atas;
g. Kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan penumpang umum yang
khusus dipakai oleh atau untuk tujuan-tujuan Angkatan Bersenjata;
h. Kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi inti atom.
Kecelakaan-kecelakaan di atas inilah yang dapat kita golongkan pada peristiwa
atau evenement-evenement yang tidak termasuk menjadi tanggungan
penanggung didalam Pertanggungan Wajib menurut Undang-Undang Nomor
33 Tahun 1964.

L. Proses Penggantian Kerugian


1. Wewenang Mengatur
Pemerintah telah menentukan suatu sikap bahwa kepada Direksi PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) diberi wewenang mengatur cara melaksanakan
pembayaran itu. Hal ini diatur didalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965. Wewenang yang diberikan untuk mengatur itu harus
dilandasi oleh suatu ketentuan yaitu:
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 155

a. Secara mudah tanpa pembebanan kepada pihak yang berhak, artinya tidak
dengan pungutan biaya-biaya;
b. Menurut petunjuk atau persetujuan Menteri.
2. Badan-Badan atau Instansi Pembantu
Tugas dari instansi-instansi yang diikutsertakan didalam proses pelaksanaan
penggantian kerugian itu hanyalah sebagai tugas membantu melayani tuntutan-
tuntutan pembayaran ganti kerugian. Badan-badan pembantu ini menurut Pasal 15
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ialah:
a. Pengusaha/pemilik angkutan;
b. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan persetujuan
dengan Menteri yang bersangkutan;
c. Pihak-Pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Direksi Perusahaan.
Bantuan dari semua pihak dimaksudkan untuk memperlancar proses pelaksanaan
penggantian kerugian oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), jadi bukan
supaya jalannya proses itu menjadi lambat karena melalui beberapa instansi.
Bantuan-Bantuan yang dimaksudkan tidak hanya berupa pemberian keterangan-
keterangan mengenai kecelakaan itu sendiri tetapi juga mengenai diri korban itu
sendiri; sehingga dengan adanya keterangan itu pihak dari PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero) memperoleh keyakinan bahwa orang yang mengajukan
tuntutan penggantian kerugian itu berhak menerima penggantian kerugian. Contoh
dari instansi-instansi tersebut antara lain:
a. Kepolisian;
b. Instansi Perhubungan;
c. DLLAJ
d. Rumah sakit, Dokter praktik, apotik;
e. Kantor Desa/Kelurahan atau Kecamatan.
3. Pihak yang dituntut
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yaitu dalam Pasal 16, telah
dengan tegas ditentukan bahwa:

“Tuntutan-tuntutan ganti kerugian pertanggungan harus diajukan kepada


Perusahaan dengan/tanpa perantaraan pengusaha/pemilik alat angkutan
penumpang umum yang bersangkutan dalam waktu 6 bulan sesudah terjadinya
kecelakaan yang bersangkutan”.

Tuntutan dalam hal pemberian ganti kerugian berlaku daluarsa, artinya bahwa hak
untuk menuntut ganti kerugian hanya diberikan selama tenggang 6 (enam) bulan.
Apabila dalam tenggang 6 (enam) bulan tuntutan tidak dimajukan maka hak atas
156 Hukum Pengangkutan Laut

ganti kerugian menjadi gugur. Demikanlah bunyi dari Pasal 18 ayat (1) (a) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 tahun 1965.
4. Pihak Yang Berhak Mengajukan Tuntutan
Pihak yang berhak atas penggantian kerugian jika korban meninggal dunia ialah:
a. Janda/dudanya yang sah;
b. Bilamana tidak ada janda atau dudanya, oleh anaknya yang sah;
c. Bilamana tidak ada golongan a dan b, oleh orang tuanya yang sah.
Dalam hal korban tidak meninggal dunia, tuntutan dapat diajukan oleh sikorban
sendiri. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian pertanggungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan wajib
Kecelakaan ini tidak boleh digadaikan atau dibuat tanggungan pinjaman, pun tidak
boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.
5. Besarnya Ganti Kerugian
Bahwa penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada didalam
alat angkutan umum didarat, sungai/danau, ferry/penyeberangan, dan dilaut atau
ahli warisnya berhak memperoleh santunan. Jumlah santunan ini diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 415/KMK.06./2001,
yaitu menjadi:
a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak memperoleh
santunan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
b. Penumpang yang mendapat cacat tetap berhak memperoleh santunan yang
besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 dari besar
santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a);
c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh
penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter maksimum sebesar Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pemberian santunan bagi korban cacad, tetap berlaku bila sesuatu anggota badan
hilang atau tidak dapat dipergunakan sama sekali, atau berkurang fungsi, dan tidak
dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya, yang terjadi dalam jangka waktu 365
(tiga ratus enam puluh lima) hari setelah terjadinya kecelakaan.
Untuk pelaksanaan cacad tetap ini didasarkan atas penelitian dokter perusahaan
yang antara lain memperhatikan faktor usia korban, keadaan kesehatan, dan
sebagainya. Apabila orang yang menderita cacad tetap adalah orang yang kidal,
maka prosentase-prosentase yang telah ditetapkan untuk anggota-anggota badan
kanan berlaku untuk anggota-anggota badan kiri, begitu pula sebaliknya.
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 157

6. Ganti Kerugian bagi Penumpang yang Bebas dari Iuran Wajib


Dalam Pasal 3 ayat (1) b dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 telah ditetapkan bahwa penumpang
dari kendaraan atau alat angkutan penumpang umum tertentu dibebaskan oleh
pemerintah dari membayar Iuran Wajib, termasuk didalam hal ini ialah:
a. Penumpang kendaraan bermotor umum didalam kota;
b. Penumpang kereta api dalam kota;
c. Penumpang kereta api ringbaan;
d. Penumpang kereta api jarak pendek kurang dari 50 Kilometer
Pembebasan pembayaran Iuran Wajib ini tidak berarti bahwa penumpang-
penumpang apabila mengalami kecelakaan selama berjalannya pengangkutan tidak
mendapat bantuan atau ganti kerugian dari pemerintah. Dengan tegas didalam Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ditetapkan bahwa penumpang-
penumpang yang mendapat kecelakaan selama dalam angkutan alat angkutan
penumpang yang disebut di atas diberi hak menikmati penggantian kerugian
berdasarkan pertanggungan kecelakaan menurut syarat-syarat sebagaimana
diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
7. Beberapa Ketentuan Mengenai Hukuman
Ancaman hukuman merupakan suatu denda dan perbuatannya dianggap sebagai
pelanggaran. Bahwa atas pelanggaran yang dilakukan mereka mendapatkan denda
sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) menurut ketentuan Pasal 21 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. Ancaman ini ditujukan kepada:
a. Penjual karcis penumpang;
b. Orang yang mengangkut penumpang tanpa memungut Iuran Wajib;
c. Penumpang yang tidak membayar Iuran Wajib.
Ancaman yang lebih besar yaitu sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), yaitu
ditujukan kepada:
a. Pengusaha atau pemilik alat angkutan penumpang umum yang biasanya
menjual atau mengeluarkan atau menyuruh/membiarkan petugas-petugasnya
menjual atau mengeluarkan karcis atau tiket penumpang tanpa memungut
Iuran Wajib dan memberi kupon pertanggungan;
b. Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum yang biasanya
mengangkut, menyuruh atau membiarkan petugas-petugasnya mengangkut
penumpang tanpa memungut Iuran Wajib dan memberi kupon;
c. Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum yang melalaikan
kewajibannya untuk menyetor hasil pungutan Iuran Wajib para penumpangnya;
d. Pihak yang menjual pertanggungan kecelakaan kepada penumpang-
penumpang alat angkutan penumpang umum selain yang diusahakan oleh
”Perusahaan Umum (Perum)’ (Sic!) Jasa Raharja (Lihat Pasal 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965).
158 Hukum Pengangkutan Laut

Golongan-golongan a, b, dan c di atas diatur dalam Pasal 21 ayat (2), sedangkan


perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka dan golongan d dianggap sebagai
pelanggaran (lihat Pasal 21 ayat (3)). Disamping denda terhadap pengusaha-
pengusaha atau pemilik alat angkutan umum di atas juga dapat dikenakan hukuman
pencabutan ijin usahanya untuk selama-lamanya 3 (tiga) bulan. Tindakan ini diatur
dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.

M. Perbandingan Asuransi Komersial dan Asuransi Sosial


Vaughan dan Elliot (1978:47), asuransi sosial dilawankan dengan private Insurance.
Adapun yang dimaksud dengan private insurance ialah suatu perjanjian asuransi yang
besifat sukarela, diselenggarakan atas kehendak pribadi dengan maksud untuk melindungi
dirinya dari kemungkinan terjadi kerugian karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.
Asuransi sosial mempunyai sifat yang wajib dan besarnya santunan (benefit)
pada umumnya ditetapkan Pemerintah. Golongan Asuransi ini tidak ditujukan untuk
memperoleh keuntungan, tetapi lebih ditekankan kepada kepantasan masyarakat (social
adequancy). Penyelenggaraannya biasanya oleh Pemerintah, sehingga disebut pula Social
Government Insurance (Emmy Panggaribuan Simanjuntak,1979:17).
Tidak berarti bahwa asuransi yang diadakan oleh Pemerintah, selalu merupakan
asuransi sosial, sebab ada juga asuransi sosial atau asuransi sukarela yang diselenggarakan
oleh Pemerintah. Unsur-Unsur asuransi sosial adalah sebagai berikut:
1. Diselenggarakan karena ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan;
2. Perikatan yang terjadi diantara para pihak, lahir karena undang-undang
mengharuskan;
3. Mempunyai sifat wajib bagi mereka yang memenuhi persyaratan perundang-
undangan yang bersangkutan;
4. Pada umumnya yang bertindak sebagai penyelenggara atau penanggung adalah
pemerintah;
5. Lebih diutamakan kepada hal-hal yang berkaitan dengan risiko sosial daripada
risiko individual;
6. Ditujukan untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat atau sekelompok
masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan;
7. Perbandingan antara premi dan santunan (benefit) diatur secara progresif;
8. Besarnya premi ditetapkan oleh Pemerintah dengan peraturan perundang-
undangan;
9. Besarnya santunan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan lebih
ditekankan kepada kepantasan masyarakat (social adequency) daripada keadilan
pribadi (private equity).
10. Tidak ada pilihan mengenai masalah kepentingan dan peristiwa (evenement).
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 159

N. Persamaan dan Perbedaan Asuransi Komersial Dengan Asuransi Sosial


Bahwa pada dasarnya asuransi sosial berkembang sebagai bentuk lanjutan dari asuransi
komersial. Hal itu disebabkan asuransi sosial diselenggarakan sebagai usaha untuk
memberikan jaminan sosial kepada masyarakat. Semula jaminan sosial merupakan
program yang bersifat sosial (welfare program), yaitu memberikan bantuan baik yang
bersifat finansial, medikal, maupun pelayanan lainnya bagi mereka yang tidak mampu
(Sentanoe Kertonegoro, 1989; 23), dikatakan selanjutnya oleh Sentanoe bahwa konsep
ini dipengaruhi oleh paham paternalisme, baik dari penguasa terhadap rakyat maupun
pengusaha terhadap karyawannya.
Dengan perkembangan masyarakat pada arah modernisasi sebagai akibat dari
industrialisasi pada abad 19, terjadi pergeseran konsep jaminan sosial dan jaminan yang
lebih ekonomis (Sentanoe Kertonegoro,1989:23). Sehubungan dengan hal yang demikian
diperlukan, diperlukan bentuk jaminan sosial yang dapat memenuhi perkembangan
masyarakat. Akhirnya diterapkan prinsip-prinsip asuransi terhadap konsep jaminan sosial,
sehingga melahirkan asuransi sosial sebagai salah satu jenis bantuan sosial.
Dipandang dari sudut asuransi, dasar hukum dari asuransi-asuransi sosial adalah
asuransi pada umumnya, sehingga terdapat persamaan antara asuransi sosial dan
ketentuan asuransi tersebut. Dikarenakan asuransi sosial mempunyai sifat sebagai jaminan
sosial kemungkinan terdapat ketentuan asuransi sosial yang menyimpang dari ketentuan
asuransi pada umumnya. Hal-hal tersebut akan melahirkan persamaan dan perbedaan
antara asuransi sosial dengan asuransi komersial.
Adapun persamaan antara asuransi sosial dengan asuransi komersial adalah sebagai
berikut:
1. Adanya unsur premi yang merupakan kewajiban tertanggung dan berkaitan erat
dengan haknya untuk menerima pembayaran dari penanggung;
2. Penanggung mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasi berupa pembayaran
kepada tertanggung. Maksud dari prestasi penanggung tersebut agar pihak
tertanggung kembali kepada kedudukan semula seperti sebelum peristiwa kerugian
terjadi;
3. Adanya suatu peristiwa yang belum pasti terjadi; dengan demikian peristiwa yang
dimaksud merupakan bahaya atau risiko yang dapat menimbulkan kerugian kepada
tertanggung;
4. Adanya suatu kepentingan, yaitu kekayaan atau bagian kekayaan, termasuk hak-
hak subjektif yang dapat terkena bahaya, sehingga menimbulkan kerugian kepada
tertanggung;
5. Bertujuan mengalihkan atau membagi risiko;
160 Hukum Pengangkutan Laut

6. Menimbulkan suatu perikatan bagi kedua belah pihak;


7. Terkandung prinsip gotong-royong seperti dikatakan Sentanoe Kertonegoro
(1989:20) bahwa terjadi gotong-royong antara mereka yang menghadapi risiko yang
rendah, yang muda membantu yang lebih tua, yang sehat membantu yang sakit,
yang tidak terkena musibah membantu yang terkena musibah.
Penyimpangan asuransi sosial yang berfungsi sebagai jaminan sosial terhadap
ketentuan asuransi komersial, diantaranya ialah:
1. Kepesertaan yang bersifat sukarela pada asuransi komersial diubah menjadi
kepesertaan yang bersifat wajib dalam asuransi sosial;
2. Perikatan yang terjadi antara para pihak dalam asuransi komersial bersumber
kepada perjanjian, berlainan dengan perikatan pada asuransi sosial yang bersumber
kepada undang-undang;
3. Penutupan perjanjian asuransi komersial yang bersifat individual, pada asuransi
sosial diubah menjadi bersifat kolektif (pada umumnya);
4. Dalam asuransi komersial mengenai masalah risiko dan evenement merupakan hak
tertanggung untuk memilihnya. Dalam asuransi sosial tentang risiko dan evenement
sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
5. Dalam asuransi komersial diadakan perimbangan antara uang asuransi dan premi
yang dititik beratkan kepada keadilan individu (individual equity), untuk asuransi
sosial hal tersebut dengan mempergunakan sistem progresif. Hal ini berarti uang
asuransi (santunan) dalam asuransi sosial tidak selalu proporsional dengan besarnya
premi yang dibayar oleh peserta (tertanggung);
6. Untuk ditutup perjanjian asuransi komersial oleh penanggung diadakan seleksi
mengenai risiko yang dihadapi, serta syarat-syarat lain yang akan menentukan
dilangsungkan tidaknya perjanjian tersebut, dalam asuransi sosial, bagi mereka
yang sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tidak
dilakukan seleksi oleh penyelenggara.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 161

Bab URAIAN KASUS-KASUS


TENTANG PENGANGKUTAN DI LAUT
9

A. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Awak Kapal


Sebuah kapal tanker pengangkut minyak milik Perushaan terbakar saat dalam pelayaran dari
Surabaya menuju Cilacap, Jawa Tengah. Kapal Tanker yang mengangkut minyak mentah
dengan 35 Anak Buah Kapal (ABK) yang baru mengirim MFO sebanyak 23.000 kilo liter
ke Surabaya dan Gresik tersebut mengalami sedikit gangguan di bagian mesin pada saat
berangkat dari Surabaya, atau beberapa mil dari pelabuhan Semampir, Surabaya, namun
masalah itu masih bisa di atasi oleh awak kapal, dan perjalanan masih dapat dilanjutkan.
Pada saat kapal melintas di perairan selatan Yogyakarta dengan kecepatan 10,5 knot, tanpa
diketahui penyebabnya tiba-tiba muncul asap hitam dari ruang mesin yang menyebabkan
enam Anak Buah Kapal (ABK) yang berada di ruang tersebut terjebak kobaran api.
Musibah tersebut mengakibatkan seorang Anak Buah Kapal (ABK) meninggal dunia,
satu orang kritis akibat luka bakar serius hingga 95%, sedangkan empat orang lainnya
menderita luka bakar ringan. Korban tewas adalah Mudrik yang bertindak sebagai masinis
1, yang tewas setelah terjebak kobaran api di ruang mesin. Sementara 6 korban luka bakar
diantaranya adalah juru mesin, teknisi listrik, mekanik, dan kadet mesin. Keenam korban
luka dibawa ke Rumah Sakit, untuk mendapatkan perawatan, sedangkan jenazah dibawa
ke ruang forensik. Korban luka maupun tewas dievakuasi oleh Tim Search and Rescue
(SAR) Gunungkidul, dibantu nelayan setempat sejak Rabu petang setelah berkoordinasi
dengan Kepolisian Resor Gunungkidul dan TNI Angkatan Laut di Pantai Sadeng, dan
pihak Perusahaan sendiri langsung mengirimkan dua tim yang terdiri dari 40 orang untuk
berangkat menuju lokasi kejadian guna melakukan penyelamatan.
Kapal tanker buatan tahun 1974 tersebut baru dapat dievakuasi keesokan harinya yaitu
hari Jumat tanggal 7 Maret 2008 sekitar pukul 17.30 WIB, dan merapat di Dermaga Area
70 di Cilacap. Evakuasi baru dapat dilakukan keesokan harinya dikarenakan Tim sempat
terkendala gelombang tinggi, dan kurangnya penerangan. Kapal ditarik dari pantai Wedi
Ombo, Kelurahan Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul DIY oleh dua

161
162 Hukum Pengangkutan Laut

kapal tunda yakni TB Patra Tunda 4202 dan TB Musala dengan kecepatan 3,8 kilometer per
jam. Kapal tersebut datang satu jam lebih awal dari jadwal yang diperkirakan. Sesampainya
di dermaga tersebut, kapal segera dipasang garis polisi oleh Polres Cilacap sebagai barang
bukti yang dititipkan hingga kedatangan tim identifikasi dari Polres Gunungkidul.
Tim gabungan yang memeriksa kapal tanker yang terdiri dari KPLP Pelabuhan
Tanjung Cilacap, Satpol Air, TNI AL, dan Security Pertamina, menduga penyebab kebakaran
berasal dari generator nomor dua, karena sebelum terjadinya peristiwa kebakaran tersebut
generator mengeluarkan percikan api. Informasi tersebut didapatkan dari Nakhoda kapal.
Untuk mengungkap penyebab terbakarnya kapal tanker itu, tim gabungan telah berbagi
tugas pada pemeriksaan sebelumnya dengan Adpel, yang bertugas memeriksa tempat
munculnya kobaran api yang berada di ruang mesin. Adpel juga meminta keterangan
terhadap nakhoda kapal tanker, terutama terkait dengan berita acara kronologi kejadian
dan laporan kecelakaan dari nakhoda, serta memeriksa dokumen kapal.
Hasil pemerikasaan yang dilakukan oleh tim gabungan terkait dengan terbakarnya
Kapal Tanker mengungkapkan data dan fakta sebagai berikut:
1. Kronologis Kejadian Kapal.
a. Sebelum Kejadian
1) Pada tanggal 5 Maret 2008, jam 12.00 telah dilakukan serah terima tugas
jaga dari Masinis III kepada penggantinya yaitu Masinis II, dan Masinis II
melakukan pengontrolan ke seluruh pesawat dan peralatan yang sedang
bekerja diantaranya mesin induk, mesin pembantu, pompa-pompa, dan
pesawat bantu lainya.
2) Masinis II sebagai Perwira Jaga di Kamar Mesin dari jam 12.00 sampai
dengan jam 16.00 dibantu oleh seorang juru mesin dalam melakukan
tugas jaga bersama.
3) Masinis II disamping melakukan tugas jaga, juga sedang melakukan
pekerjaan perbaikan kebocoran pipa pendingin bahan bakar pada mesin
bantu nomor 2.
b. Saat Kejadian
1) Sekitar pukul 14.30 WIB:
a) Kapal masih dalam pelayaran dari Surabaya menuju Cilacap.
b) Informasi adanya api berasal dari Juru Mesin jaga dilaporkan kepada
Masinis jaga (Masinis II) namun sewaktu berusaha untuk melakukan
tindakan pemadaman, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan mengingat
kondisi panik dan pemadaman akhirnya dilakukan oleh awak kapal yang
berada di luar kamar mesin.
2) Sekitar pukul 15.10 WIB:
Api berhasil dipadamkan dengan air yang selama ini ditampung di drum-drum
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 163

oleh awak kapal karena sering kehabisan air tawar dari tangki air tawar yang
tersedia di kapal. Hal tersebut disebabkan karena Emergency Power Pump tidak
terpasang di atas kapal pada saat perbaikan di darat.
c. Setelah Kejadian
1) Dilakukan pengamanan terhadap kamar mesin dengan membuka jendela-
jendela untuk mengurangi asap tebal dan juga proses pendinginan.
2) Mematikan mesin pembantu nomor 1 yang saat itu masih berjalan karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan api kembali.
3) Kapal pada saat itu mati, dan tidak dapat meneruskan perjalanan dan
melakukan lego jangkar.
4) Perkapalan Jakarta pada tanggal 5 Maret 2008 jam 14.30 WIB meminta
kepada Kepala Depot Kaparang untuk membantu evakuasi.
5) Pada pukul 21.00 WIB, kepala Depot Kaparang dengan Dokter Perusahaan
Pertamina dibantu petugas dari Lanud Adisucipto menuju pantai Sadeng
di mana tim SAR Gunung Kidul, Polres, Kodim, dan SAR TNI Angkatan
Laut telah siap membantu evakuasi.
6) Karena kondisi cuaca yang sangat buruk sehingga evakuasi baru dapat
dilakukan pada tanggal 6 Maret 2008 pada jam 06.30 sampai dengan pukul
09.20 WIB.
7) Kapal Tanker ditarik ke Cilacap dengan menggunakan kapal Patra Tunda.
2. Data dan Fakta
Berdasarkan hasil wawancara tim investigasi dan survei lapangan, ditemukan data-
data sebagai berikut:
a. Data Kegiatan
Pada hari Kamis tanggal 28 Februari 2008 dilaksanakan pekerjaan pada mesin
bantu nomor 2. Pada tanggal 3 Maret 2008 pukul 06.12 kapal siap untuk
berangkat dari Gresik (Surabaya) ke Cilacap. Pada saat kapal sedang bergerak
dan berlayar di alur pelayaran Surabaya, kepala kamar mesin melaporkan
kepada Nakhoda bahwa ada kebocoran pada pipa bahan bakar pada generator
nomor 2 dan harus dilakukan perbaikan pada pipa bahan bakar yang bocor
tersebut, namun karena kondisi pelayaran saat itu sedang di alur pelayaran
wajib pandu untuk itu Nakhoda memutuskan untuk bertahan dengan kondisi
yang ada sambil mencari tempat yang aman setelah kapal berada di luar alur
wajib pandu.
Pada pukul 09.22 Mesin Induk dimatikan untuk dilaksanakan perbaikan pipa
bahan bakar yang bocor tersebut dan kapal hanya dibiarkan mengapung tanpa
jangkar di sekitar perairan Laut Jawa di utara kota Sapulu Pulau Madura, karena
perbaikan tersebut diperkirakan hanya berlangsung selama 1 jam. Perbaikan
164 Hukum Pengangkutan Laut

tersebut ternyata tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 jam, dan oleh
sebab itu Nakhoda memutuskan untuk berlabuh jangkar sekitar pukul 08.30
WIB. Pada pukul 12.20 WIB kapal memeruskan perjalanan ke Cilacap.
Pada tanggal 4 Maret 2008 dilakukan latihan keadaan darurat dalam pelayaran
tersebut secara simulasi diantaranya Tank Over Pollution, Fire Fighting, dan
Abandon ship. Latihan Fire Fighting tidak dapat dilaksanakan karena Emergency
Fire Pump tidak terpasang.
b. Potensi Sumber Minyak
Setelah kejadian, ditemukan adanya genangan minyak pelumas di sekitar lokasi
kejadian yang tersembur melalui pipa tekanan tinggi pada lubang termometer
yang terlepas dari dudukannya.
3. Analisis Penyebab
Dengan mengevaluasi data dan fakta, serta hasil wawancara dengan saksi, kemudian
dilakukan analisis penyebab kejadian yang diuraikan sebagai berikut:
a. Penyebab langsung
Dapat ditentukan penyebab langsung kejadian yaitu oleh terbakarnya minyak
pelumas yang tersembur dari lubang termometer yang terlepas mengenai
langsung exhaust gas manifold.
b. Penyebab Dasar
Dapat ditentukan penyebab dasarnya yaitu:
1) Terlepasnya thermometer berikut tabung pembungkus sehingga
mengakibatkan semburan minyak pelumas dari saluran pipa dengan
tekanan tinggi dan hal ini mengakibatkan terbentuknya uap minyak.
2) Kurangnya kepedulian terhadap perawatan exhaust gas manifold turbo
sebagai mesin bantu, di mana mesin bantu tersebut berfungsi sebagai
peredam panas yang sudah terlepas.

PERMASALAHAN
Dalam penulisan ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab pengangkut (perusahaan) terhadap awak kapal yang
meninggal dunia dan luka-luka dalam hal terjadi kecelakaan kapal minyak ?
2. Bagaimana prosedur ganti rugi perusahaan kepada awak kapal yang meninggal
dunia dan luka-luka dalam hal terjadi kecelakaan kapal minyak?

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP AWAK KAPAL YANG


MENINGGAL DUNIA DAN LUKA-LUKA
Peristiwa terbakarnya Kapal Tanker yang menimbulkan korban jiwa dan korban luka-luka
membawa pihak pengangkut ke dalam suatu tanggung jawab untuk memberikan ganti
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 165

rugi materil atas hilangnya nyawa dan luka-luka yang dialami oleh pekerjanya. Musibah
terbakarnya Kapal Tanker tersebut mengakibatkan 1 orang anak buah kapal meninggal
dunia, dan 6 anak buah kapal lainnya mengalami luka bakar. Korban yang meninggal dunia
bertindak sebagai Masinis 1 yang meninggal dunia setelah terjebak dalam kobaran api di
ruang mesin dengan luka bakar 95%, sementara 6 korban luka bakar.
Perusahaan sebagai pemilik kapal bertanggung jawab penuh terhadap ABK yang
menjadi korban terbakarnya Kapal Tanker.
Berdasarkan keterangan yang diberikan, dapat diperoleh informasi bahwa terhadap
korban meninggal dunia dan luka-luka, perusahaan bertanggung jawab dengan
memberikan santunan kepada ahli waris korban berupa uang duka cita yang disampaikan
langsung oleh wakil dari perusahaan, disamping pemberian santunan, perusahaan juga
memberikan biaya pemakaman, karangan bunga, dan pembayaran terhadap hasil forensik
dari Rumah Sakit.
Tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan terhadap ABK yang meninggal dunia
juga diberikan kepada ABK yang luka-luka. Korban luka-luka mendapatkan perawatan
secara intensif di beberapa Rumah Sakit diantaranya Rumah Sakit Sardjito dan Rumah Sakit
Bethesda. Setiap biaya yang dikeluarkan dari perawatan ditanggung seluruhnya oleh pihak
perusahaan sampai kondisi korban pulih kembali. Korban luka-luka juga mendapatkan
santunan tambahan yang diberikan oleh perusahaan.
Pemberian tanggung jawab oleh perusahaan merupakan suatu bentuk nyata
berjalannya program CSR (Corporate Social Responsibility). Program CSR adalah
program yang dimiliki oleh perusahaan , di mana program ini adalah perwujudan dari
kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap setiap kondisi yang berhubungan
dengan kesejahteraan sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Operasionalisasinya
dilaksanakan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang juga merupakan
bagian dari program yang dimiliki oleh perusahaan .
Awak kapal yang menjadi korban terbakarnya kapal tanker adalah pegawai
perusahaan yang bekerja untuk perusahaan , yang tergabung didalam Federasi Serikat
Pekerja perusahaan berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dengan
FSPPB. Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dengan FSPPB terbentuk dan
terlaksana dengan terpenuhinya ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat sahnya
perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1320 KUH Perdata adalah dasar dapat bekerjasamanya perusahaan dengan FSPPB melalui
suatu perjanjian.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan “untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan
empat syarat yaitu kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan sebab yang halal”. Kesepakatan dan
166 Hukum Pengangkutan Laut

kecakapan merupakan syarat subjektif, jika dilanggar menyebabkan dapat dibatalkannya


perjanjian, sedangkan suatu hal tertentu dan kecakapan merupakan syarat objektif, jika
dilanggar menyebabkan batalnya perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan
perjanjian pengangkutan tersebut tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan saja,
asalkan ada persetujuan kehendak (consensus) dari para pihak, dan dengan terpenuhinya
syarat sahnya perjanjian maka perjanjian tersebut adalah sah dan dapat dilaksanakan oleh
pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Ketentuan perundang-undangan pertama kali yang harus diperhatikan dalam
menentukan tanggung jawab pengangkut terhadap awak kapal yang dipekerjakannya
adalah ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal didalam KUH
Perdata ini mengatur tanggung jawab seseorang kepada orang yang dipekerjakannya
secara umum. Pasal 1367 ayat (1) menyebutkan “seseorang tidak hanya bertanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
disebabkan perbuatan-perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Terbentuknya Perjanjian Kerja
Bersama antara perusahaan dengan FSPPB, menimbulkan tanggung jawab yang harus
diemban oleh perusahan sebagai pengusaha terhadap para pekerja perusahaan pada
umumnya, dan awak kapal yang menjadi korban terbakarnya kapal pada khususnya.
Kapal adalah kapal tanker yang melakukan pengangkutan bahan bakar minyak
milik perusahaan. Didalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, terdapat dua jenis pengangkutan barang yaitu pengangkutan barang
khusus dan pengangkutan barang berbahaya. Ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 menyebutkan “pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Pengangkutan bahan bakar
minyak yang dilakukan oleh perusahaan termasuk pada jenis pengangkutan barang
berbahaya sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf c Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menyatakan “barang berbahaya
sebagaimana yang termasuk dalam pasal 44 berbentuk bahan cair; bahan padat; dan bahan
gas”, dan didalam ayat (3) Pasal 45 dipertegas lagi bahwa “barang berbahaya sebagaimana
termaksud dalam ayat (2) diklasifikasikan sebagai bahan atau barang peledak; gas yang
dimampatkan; dicairkan; atau dilarutkan; cairan mudah menyala atau terbakar; bahan atau
barang padat mudah menyala atau terbakar; bahan atau barang pengoksidasi; bahan atau
barang beracun dan mudah menular; bahan atau barang radioaktif; bahan atau barang
perusak; dan berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya”. Minyak yang diangkut oleh
perusahaan merupakan bahan cair yang mudah menyala atau terbakar sesuai dengan Pasal
45 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 167

Terbakarnya kapal tanker disebabkan oleh kurangnya perawatan terhadap mesin


bantu kapal yaitu mesin exhaust gas manifold turbo charge, yang terbakar akibat adanya
semburan minyak atau pelumas dari lubang termometer yang mengenai isolasi yang sudah
rusak karena kurangnya perawatan tadi, sehingga berpotensi menjadi sumber nyala api
dalam kebakaran. Kurangnya perawatan dan kewaspadaan para awak kapal yang juga
merupakan pekerja perusahaan pada mesin bantu kapal tersebut menyebabkan kerugian
berupa terbakarnya kapal, dan terbakarnya kapal menyebabkan korban jiwa dan luka-luka
atas ABK kapal.
Berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, maka pengusaha bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Relevansi
Pasal 1367 dengan tanggung jawab pengangkut terhadap awak kapal adalah perawatan
terhadap kapal adalah tanggung jawab perusahaan sebagai pemilik kapal. Penyelenggaraan
perawatan kapal tersebut dilakukan oleh Nakhoda kapal sebagai pemimpin kapal di
mana segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan yang digunakan dalam rangka
perawatan kapal harus dilaporkan terlebih dahulu kepada perusahaan atau pengusaha
seperti yang diatur didalam ketentuan Pasal 360 KUHD yang menyebutkan “nakhoda
berhak memperlengkapi kapalnya dengan segala apa yang diperlukan dan melakukan
segala tindakan yang perlu, berhubung dengan pemakaian kapal itu sesuai dengan
tujuan yang oleh pengusaha diberikan kepada kapal tersebut atau yang diperlukan untuk
menyelamatkan kapal itu”, dan Pasal 364 KUHD yang menyatakan “ia pun senantiansa
harus melaporkan kepada pengusaha tentang segala apa yang mengenai kapal dan
muatannya, dan meminta perintahnya, sebelum ia melakukan suatu tindakan yang
mempunyai kepentingan keuangan”.
Kurangnya perawatan terhadap mesin exhaust gas manifold turbo charge,
mengakibatkan terbakarnya kamar mesin dan membakar keseluruhan kapal. Kerugian
berupa terbakarnya kapal yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka
membawa perusahaan bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh
orang yang dipekerjakannya, dan perusahaan telah menjalankan ketentuan yang terdapat
didalam KUH Perdata Pasal 1367 dengan pemberian santunan, pembayaran segala biaya-
biaya yang dikeluarkan atas pengobatan dan perawatan korban, serta biaya lain yang terkait
seperti biaya pemakaman, forensik, dan lain sebagainya.
Ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap orang yang
dipekerjakannya yaitu awak kapal yang meninggal dunia dan luka-luka, diatur lebih
khusus didalam KUHD Pasal 416 ayat (1 dan 2), dan Pasal 447 KUHD. Pasal 416 ayat
(1) menyatakan “apabila seorang buruh yang telah membuat suatu perjanjian kerja untuk
paling sedikit satu tahun, atau selama satu setengah tahun terus menerus telah melakukan
pekerjaan bagi pengusaha, ditimpa oleh sakit atau suatu kecelakaan pada waktu ia sedang
bekerja di kapal, makapun apabila perhubungan kerja itu berakhir lebih dahulu, berhaklah
168 Hukum Pengangkutan Laut

ia sepenuhnya atas bagian upahnya yang harus dibayar dalam uang, dan berhaklah ia pula
sepenuhnya atas perawatan dan pengobatan selama ia berada di kapal”. Pasal 416 ayat (2)
menyebutkan “Pengusaha dapat menurunkan si buruh yang ditimpa oleh penyakit atau
kecelakaan tadi dari kapal, disetiap tempat di wilayah Indonesia, di mana si buruh tersebut
dapat meminta perawatan bagi dirinya tanpa mengeluarkan biaya-biaya yang luar biasa.
Pengusaha juga dapat menurunkan si buruh ditempat-tempat lain, asal ia menawarkan
kepadanya perawatan dan pengobatan yang pantas atas biaya pengusaha sampai ia menjadi
lebih baik, tetapi bagaimanapun tidak lebih dari 52 minggu”. Pasal 447 menyatakan “apabila
seorang anak kapal meninggal dalam pekerjaannya dikapal, maka bagian upahnya yang
ditetapkan menurut waktu harus dibayarkan sampai akhir bulan dalam mana ia meninggal
itu, namun tidak sekali-kali lebih lama dari pada sampai hari yang mana perhubungan
kerja itu menurut perjanjian sedianya sudah harus berakhir”.
Ketentuan dalam Pasal-Pasal yang terdapat didalam KUHD tersebut menyebutkan
tanggung jawab pengangkut terhadap buruh yang mengalami kecelakaan kerja pada saat
ia melakukan pekerjaannya di atas kapal. Tanggung jawab pengusaha dapat diketahui dari
Pasal di atas, yaitu pemberian sepenuhnya atas perawatan dan pengobatan yang segala
biaya luar biasa yang dikeluarkan adalah menjadi tanggung jawab pihak pengusaha sampai
keadaan dan kondisi dari buruh tersebut pulih kembali.
Pasal 416, dan 447 KUHD dapat diterapkan dalam terbakarnya kapal tanker yang
menyebabkan hilangnya nyawa dan luka-luka yang dialami oleh ABK kapal. Status
perusahaan adalah sebagai perusahaan yang dalam menjalankan segala urusan perusahaan
diwakilkan oleh Direksi perusahaan, yang dalam hal ini disebut dengan pengusaha dan
ABK yang menjadi korban tergabung dalam FSPPB, berstatus sebagai pekerja yang bekerja
untuk perusahaan sesuai dengan Pasal 2 Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan
dengan FSPPB yang menyebutkan “perjanjian kerja bersama ini dibuat antara perusahaan
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 dan didirikan
berdasarkan Akta Notaris selanjutnya disebut pengusaha, dengan Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu atau disingkat FSPPB yang dibentuk oleh serikat Pekerja-Serikat Pekerja
di lingkungan Pertamina, yang tercatat pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kotamadya Jakarta Pusat nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003selanjutnya disebut
Wakil Pekerja”.
Korban meninggal dunia dan luka-luka adalah pekerja perusahaan yang terikat
Perjanjian Kerja Bersama dengan perusahaan. Apabila disesuaikan dengan Pasal 416
ayat (1 dan 2), maka ABK kapal tanker adalah buruh, sedangkan pengusaha adalah
perusahaan yang diwakilkan oleh Direksi perusahaan. Perusahaan sebagai pengusaha
yang mempekerjakan ABK yang menjadi korban terbakarnya kapal, bertanggung jawab
sepenuhnya memberikan perawatan dan pengobatan terhadap ABK yang luka-luka sampai
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 169

kondisi korban pulih kembali dan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pengobatan
korban ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan sebagai pengusaha sekaligus pengangkut.
Disamping penanggungan terhadap segala biaya yang dikeluarkan sampai korban
luka-luka pulih kembali, perusahaan sebagai pengusaha sekaligus pengangkut yang
memiliki kapal juga bertanggung jawab atas korban meninggal dunia, yang kehilangan
nyawanya akibat musibah terbakarnya kapal. Pemberian santunan, uang duka, biaya
pemakaman, biaya forensik, dan biaya-biaya lain yang terkait menunjukkan pelaksanaan
tanggung jawab perusahaan terhadap awak kapal atau pekerjanya.
Sistem tanggung jawab yang diterapkan dalam pasal 416 KUHD adalah sistem
tanggung jawab Presumption of Liability karena dalam Pasal 416 huruf f ayat (1) ditentukan
bahwa “pengusaha dapat menolak memberikan tunjangan uang atau mengurangi tunjangan
itu apabila sakit atau kecelakaan itu akibat kesengajaan atau kesalahan kasar si buruh”.
Ketentuan ini berarti Perusahaan sebagai pengangkut sekaligus pengusaha dianggap
selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh pengangkut sebagai
akibat dari suatu perjanjian, akan tetapi apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka pengangkut dibebaskan dari tanggung
jawab. Apabila pasal ini dikaitkan dengan kasus, maka Perusahaan tidak bertanggung
jawab terhadap luka yang diderita oleh pekerjanya apabila luka tersebut disebabkan
oleh kecelakaan yang disengaja oleh pekerja yang bersangkutan, sedangkan Pasal 447
KUHD menerapkan sistem tanggung jawab Absolute Liability. Sistem tanggung jawab ini
menyatakan bahwa pengangkut harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap
setiap kerugian yang timbul dari penyelenggaraan pengangkutan yang mengakibatkan
kematian dan luka-luka. Dalam Absolute Liability, pengangkut bersalah ataupun tidak
bersalah tetap harus bertanggung jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa
mengelak atau membebaskan diri dari tanggung jawab, dan sistem tanggung jawab ini tidak
mengenal beban pembuktian, karena musibah kebakaran Kapal Tanker MT Cendrawasih
menyebabkan korban meninggal dunia, maka berlakulah sistem tanggung jawab Absolute
Liability terhadap Perusahaan. Pasal 447 KUHD ini tidak menyebutkan beban pembuktian
yang harus dipikul oleh pengangkut, pekerja atau awak kapal, dan pengangkut bersalah
ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung jawab.
Peraturan perundang-undangan tentang pelayaran tidak hanya diatur dalam KUHD
Buku Kedua tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran, tetapi
juga diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mencabut ketentuan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Berdasarkan Pasal 354 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 yang menyatakan “pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 3493) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
170 Hukum Pengangkutan Laut

Ketentuan Pasal 354 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 diperkuat dengan


asas lex posterior derogat legi priori yang berarti Undang-Undang yang berlaku kemudian
membatalkan Undang-Undang yang terdahulu, sejauh Undang-Undang itu mengatur
objek yang sama.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tidak terdapat ketentuan mengenai
tanggung jawab pengangkut terhadap awak kapal yang meninggal dunia dan luka-luka
akibat kecelakaan kerja secara spesifik. Pasal-pasal yang terkait dengan tanggung jawab
pengangkut terhadap awak kapal adalah Pasal 151 ayat (1 dan 2). Pasal 151 ayat (1)
menyebutkan “setiap awak kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi gaji,
jam kerja dan jam istirahat, jaminan keberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke
tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan,
kesempatan mengembangkan karier, pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan
atau minuman, dan pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi
kecelakaan kerja”, dan Pasal 151 ayat (2) menyebutkan “kesejahteraan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara awak kapal dengan
pemilik kapal atau operator kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Hak awak kapal merupakan kewajiban pemilik kapal. Pemilik kapal wajib memenuhi
hak awak kapal sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang dan
Perjanjian Kerja yang dibuat oleh masing-masing pihak dalam perjanjian. Salah satu
hak awak kapal yaitu pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi
kecelakaan kerja dari pemilik kapal demi pemenuhan kesejahteraan bagi awak kapal.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tidak mengatur secara khusus mengenai
tanggung jawab pengangkut terhadap awak kapal yang meninggal dunia dan luka-luka,
tetapi bukan berarti tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai tanggung jawab
tersebut. Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori yang berarti Undang-Undang
yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi, sehingga
apabila terdapat dua macam Undang-Undang yang tidak sederajat mengatur objek yang
sama maka Undang-Undang yang harus diterapkan adalah Undang-Undang yang lebih
tinggi, dan dalam hal ini ketentuan yang diterapkan adalah ketentuan yang terdapat dalam
KUHD yaitu Pasal 416 ayat (1 dan 2), dan Pasal 447, selama Undang-Undang yang lebih
rendah yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tidak mengatur.
Tanggung jawab yang diberikan oleh pihak Perusahaan terhadap Anak Buah Kapal
(ABK) yang meninggal dunia dan luka-luka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kapal Tanker adalah armada milik Perusahaan, yang awaknya juga merupakan pekerja
Perusahaan yang bekerja untuk Perusahaandi bawah Federasi Serikat Pekerja Pertamina
Bersatu (FSPPB) berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Periode tahun 2007 − 2009,
apabila terdapat kecelakaan atau musibah didalam atau selama bekerja maka Perusahaan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 171

yang bertanggung jawab sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui
antara PT PERTAMINA dengan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui antara Perusahaan dengan Federasi
Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) merupakan dasar hukum yang paling khusus
dari ketentuan-ketentuan umum yang tersebut di atas seperti KUH Perdata, KUHD,
maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. Perusahaan sebagai pemilik kapal dan
pengusaha yang mempekerjakan awak kapal yang menjadi korban terbakarnya kapal,
dapat menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja Bersama ini. Dasar
pemberlakuan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja Bersama ini adalah
berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis yang berarti ketentuan yang khusus
mengesampingkan ketentuan umum, selama ketentuan umum tidak mengatur mengenai
suatu ketentuan, dan selama ketentuan tersebut mengatur mengenai objek yang sama.
Perusahaan sebagai pemilik armada Kapal Tanker atau pengangkut yang juga
mempekerjakan kru yang berada didalamnya, telah melaksanakan tanggung jawabnya
yang juga sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Periode tahun 2007 − 2009 antara
Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja perusahaan tidak terlepas dari tanggung jawab
karena terdapat Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui dan disepakati oleh masing-
masing pihak dalam perjanjian. Pasal 43 ayat (1 sampai dengan 5) berbunyi:
1. Perusahaan menjamin pengangkutan yang diperlukan Pekerja yang mendapat
kecelakaan kerja ke Rumah Sakit atau ke rumahnya.
2. Perusahaan menanggung semua biaya pengobatan dan perawatan pekerja yang
mendapat kecelakaan kerja, sejak kecelakaan terjadi sampai berakhirnya keadaan
sementara pekerja yang bersangkutan tidak mampu bekerja.
3. Pekerja yang mendapat kecelakaan kerja dan berakibat salah satu anggota badannya
cacat permanen dan atau berkurangnya fungsi sesuai keterangan dokter, diberikan
kompensasi sebesar 2 (dua) kali upah bulanan disamping ketentuan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
4. Dalam hal Pekerja mendapat kecelakaan karena melaksanakan tugas seperti tersebut
dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1992 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang
mengakibatkan seorang Pekerja untuk sementara waktu tidak mampu bekerja, maka
diberikan kompensasi sebagaimana termaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan
tersebut di atas atau kepada Pekerja diberikan kompensasi sebagai berikut:
a. 100 persen dari upah terakhir yang diterimanya selama 18 bulan pertama dari
ketidak mampuannya bekerja.
b. 50 persen dari upah terakhir yang diterimanya sesudah 18 bulan sampai ketidak
mampuannya bekerja berakhir.
172 Hukum Pengangkutan Laut

c. Dalam hal Pekerja tidak mampu bekerja untuk selama-lamanya setelah


melewati jangka waktu yang dimaksud pada huruf a, maka akan diproses oleh
Majelis Pertimbangan Kesehatan (MPK) dengan keputusan maksimal pada
bulan ke duapuluh empat (24).
5. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku bilamana
kecelakaan itu terjadi akibat dari kesengajaan Pekerja yang bersangkutan.
6. Yang dimaksud dengan kecelakaan kerja dan meninggal dunia mendadak di tempat
kerja adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku.

Tanggung jawab yang diberikan oleh Perusahaan terhadap ABK yang meninggal
dunia juga telah sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama Pasal 104 ayat (1), yang secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam hal seorang Pekerja meninggal dunia akibat
dari suatu kecelakaan kerja, maka kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan santunan
sebesar 72 (tujuh puluh dua) bulan upah termasuk di dalamnya santunan kematian akibat
kecelakaan kerja dari PT. JAMSOSTEK atau perusahaan Asuransi yang ditunjuk oleh
Perusahaan.
Perusahaan telah memberikan santunan kepada korban meninggal dunia sesuai
dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1), tetapi Perusahaan tidak menyebutkan besaran uang
duka atau santunan yang diberikan secara spesifik. Perusahaan hanya memberikan santunan
berdasarkan kebijakan perusahaan dan tidak mengikuti besaran santunan yang ditetapkan
oleh Perjanjian Kerja Bersama antara Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina
Bersatu (FSPPB), dalam arti Perusahaan belum menuntaskan hak yang seharusnya diterima
oleh ahli waris korban meninggal dunia yaitu santunan sebesar 72 (tujuh puluh dua) bulan
upah, termasuk di dalammya santunan kematian dari PT JAMSOSTEK.
Sistem tanggung jawab dalam Pasal 43 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Periode tahun
2007 − 2009 antara Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
yang diterapkan adalah sistem tanggung jawab Presumption of Liability karena dalam Pasal
43 ayat 5 ditentukan bahwa apabila kecelakaan tersebut terjadi akibat kesengajaan pekerja
yang bersangkutan, maka pihak pengusaha dapat menolak untuk memberikan ketentuan
yang terdapat dalam ayat (4). Ketentuan ini berarti Perusahaan sebagai pengangkut sekaligus
pengusaha dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh
pengangkut sebagai akibat dari suatu perjanjian, akan tetapi apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka pengangkut
dibebaskan dari tanggung jawab. Apabila pasal ini dikaitkan dengan kasus, maka
Perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap luka yang diderita oleh pekerjanya apabila
luka tersebut disebabkan oleh kecelakaan yang disengaja oleh pekerja yang bersangkutan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 173

Sistem tanggung jawab yang diterapkan dalam Pasal 104 ayat (1) Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) Periode tahun 2007 − 2009 antara Perusahaan dan Federasi Serikat
Pekerja adalah sistem tanggung jawab Absolute Liability. Perusahaan telah melaksanakan
tanggung jawab berdasarkan sistem tanggung jawab yang terdapat dalam pengangkutan
yaitu sistem Absolute Liability. Sistem tanggung jawab ini menyatakan bahwa pengangkut
harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari
penyelenggaraan pengangkutan yang mengakibatkan kematian dan luka-luka. Dalam
Absolute Liability, pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung
jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa mengelak atau membebaskan diri dari
tanggung jawab, dan sistem tanggung jawab ini tidak mengenal beban pembuktian, karena
musibah kebakaran Kapal Tanker menyebabkan korban meninggal dunia maka berlakulah
Prinsip Absolute Liability terhadap Perusahaan. Pasal 104 ayat (1) ini tidak menyebutkan
beban pembuktian yang harus dipikul oleh pengangkut ataupun pekerja atau awak kapal,
dan pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung jawab.

B. Tanggung Jawab Perusahaan Bongkar Muat Atas Kekurangan Jumlah


Barang Dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut (Studi Kasus: PT. Daisy
Mutiara Samudra)
Pelabuhan sebagai mata rantai transportasi atau sebagai titik temu moda transportasi, selain
itu pelabuhan juga sebagai terminal point bagi kapal-kapal dan sebagai tempat bongkar
muat barang-barang. Kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan yang meninggalkan
pelabuhan dalam kegiatan ekspor impor barang selalu membutuhkan jasa pengurusan
bongkar muat barang dari dan ke kapal. Pengertian barang adalah semua jenis komoditi
termasuk hewan dan peti kemas yang di bongkar/dimuat dari dan ke kapal.
Jasa kepengurusan bongkar muat barang dari dan ke kapal dilakukan oleh perusahaan
bongkar muat (PBM). Perusahaan bongkar muat dalam melakukan kegiatan pemuatan
barang ke kapal dapat disebut juga sebagai pengatur muatan, dalam bahasa Inggrisnya
disebut “stevedore”. Perusahaan bongkar muat (stevedoring) adalah perusahaan yang
menjalankan bisnis bidang jasa pemuatan barang ke kapal (loading) dan pembongkaran
barang dari kapal (unloading).
Menurut ketentuan Pasal 321 ayat (2) KUHD adalah apabila perusahaan bongkar
muat merupakan bagian dari perusahaan pelayaran (pengangkut), maka dari segi
hukum perbuatan perusahaan bongkar muat adalah perbuatan pengangkut dalam
menyelenggarakan pengangkutan. Segala perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pengusaha bongkar muat dan tenaga kerjanya menjadi tanggung jawab pengangkut,
tetapi apabila perusahaan bongkar muat itu merupakan perusahaan yang berdiri sendiri,
maka perbuatannya dapat sebagai pelaksana kuasa dari pengirim dalam hal pemuatan,
174 Hukum Pengangkutan Laut

atau pelaksana kuasa dari penerima dalam hal pembongkaran. Namun demikian, segala
perbuatan yang dilakukan di atas kapal oleh perusahaan bongkar muat tunduk pada
peraturan yang berlaku di kapal itu.
Perusahaan bongkar muat adalah badan hukum Indonesia yang khusus didirikan
untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan
ke kapal. Usaha bongkar muat barang merupakan salah satu usaha jasa terkait dengan
angkutan di perairan yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a UU nomor 17 tahun
2008 tentang Palayaran, dan juga merupakan salah satu jenis kegiatan usaha penunjang
angkutan laut yang disebutkan dalam Pasal 43 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 82
tahun 1999 tentang Angkutan Di Perairan. Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke
kapal adalah kegiatan yang meliputi stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery di
pelabuhan.
Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/
tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai
dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat.
Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di dermaga
dan mengangkut dari dermaga ke gudang atau lapangan penumpukan selanjutnya
menyusun di gudang atau lapangan penumpukan atau sebaliknya. Receiving/delivery
adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di gudang
atau lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu
gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
Perusahaan bongkar muat dalam melakukan pelayanan harus bekerjasama dengan
berbagai pihak seperti PT Pelabuhan Indonesia, perusahaan pelayaran, EMKL, pemilik
barang, penyedia tenaga kerja buruh dan sebagainya. Para pihak memiliki tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Perusahaan bongkar muat memiliki tanggung jawab
atas:
1. Kelancaran kegiatan bongkar muat,
2. Keselamatan penerimaan dan penyerahan barang,
3. Kebenaran laporan yang disampaikan,
4. Mengatur penggunaan tenaga kerja bongkar muat dan peralatan sesuai kebutuhan.
Penulisan skripsi ini mengangkat PBM PT. Daisy Mutiara Samudra (PT. DMS)
sebagai sumber data penelitian karena berdasarakan akta pendiriannya perusahaan ini
bergerak dalam bidang jasa pengurusan bongkar muat barang dari dan ke kapal yang telah
mendapat izin untuk menyelenggarakan kegiatan usahanya dari Gubernur Provinsi DKI
Jakarta atas nama Menteri Perhubungan.
Dalam rangka melakukan kegiatan usahanya, PBM PT. DMS membuat perjanjian
kerja sama dengan PT. Gunung Raja Paksi untuk melakukan pembongkaran muatan
milik PT. Gunung Raja Paksi berupa lempengan baja (steel slabs) dari atas kapal Genco
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 175

Warrior milik perusahaan pelayaran Fayette. Sesuai dengan kesepakatan yang tercantum
dalam surat perjanjian kerja sama antara PBM PT. DMS dengan PT. Gunung Raja Paksi
telah disepakati bahwa setelah pembongkaran barang dari atas kapal selanjutnya akan
diserahkan ke gudang PT. Gunung Raja Paksi dengan cara truck lossing. Truck lossing adalah
pembongkaran muatan dari kapal dan langsung diangkut ke gudang penerima barang.
Pada proses pembongkaran muatan dari atas kapal dilakukan penghitungan, dan
membuat catatan mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut.
Kegiatan tersebut disebut dengan kegiatan tally. Kegiatan tally adalah kegiatan usaha
menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai muatan, untuk
kepentingan pemilik muatan dan atau pengangkut. Dalam proses pembongkaran tersebut
dilakukan penghitungan oleh petugas tally PBM dan perusahaan surveyor independent yang
ditunjuk oleh pemilik barang dan pengangkut. Pengangkut menunjuk sebuah perusahaan
independent tally surveyor untuk melakukan pencatatan dan penghitungan jumlah muatan
yang dibongkar dari atas kapal Genco Warrior, sedangkan PT. Gunung Raja Paksi menunjuk
Sucofindo untuk melakukan pengawasan serta penghitungan jumlah barang yang diterima
di gudangnya. Hasil penghitungan jumlah muatan yang dibongkar dari atas kapal antara
masing-masing pengawas berbeda. Menurut penghitungan petugas tally perusahaan
bongkar muat mencatat adanya kekurangan jumlah muatan yang dibongkar, tetapi
menurut penghitungan independent tally surveyor menyatakan bahwa jumlah barang yang
dibongkar tidak mengalami kekurangan. Petugas pengawas maupun perusahaan bongkar
muat harus membuat daftar barang yang kurang apabila terjadi kekurangan jumlah muatan
yang dibongkar. PT. Gunung Raja Paksi selaku penerima barang mengklaim PBM PT. DMS
selaku perusahaan bongkar muat untuk menuntut jumlah barang yang kurang.

Pokok Permasalahan
Perumusan masalah merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam penelitian
hukum (maupun di dalam ilmu-ilmu sosial lainnya). Suatu masalah sebenarnya merupakan
suatu proses yang mengalami halangan di dalam mencapai tujuannya. Biasanya halangan
tersebut hendak di atasi, dan hal inilah yang antara lain menjadi tujuan suatu penelitian.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang, maka pokok
permasalahan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab yang diberikan oleh PBM PT. DMS dalam hal terjadi
kekurangan jumlah barang yang dibongkar?
2. Bagaimana penyelesaian klaim antara PT. Gunung Raja Paksi tehadap PBM PT.
Daisy Mutiara Samudra ?
Tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan bongkar muat dalam hal terjadi
kekurangan jumlah barang.
176 Hukum Pengangkutan Laut

Kegiatan perdagangan antar pulau maupun antar Negara yang menggunakan kapal
laut sebagai alat angkutannya memerlukan jasa stevedore (perusahaan bongkar muat)
untuk melakukan pembongkaran maupun pemuatan barang dari dan ke kapal. Pemilik
barang tidak mungkin melakukan kegiatan pembongkaran dan atau pemuatan barang-
barang miliknya sendiri karena hal tersebut memerlukan alat-alat dan keahlian khusus
dalam mengeluarkan ataupun menempatkan muatan di dalam palka kapal. Perusahaan
bongkar muat (PBM) adalah badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk
menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal.
Perusahaan bongkar muat dapat ditunjuk oleh perusahaan pelayaran, pemilik barang,
maupun oleh EMKL yang mewakili pemilik barang untuk mengurus muatannya. Pemilik
barang dalam pengangkutan barang melalui laut adalah pengirim barang (shipper) dan/
atau penerima barang (consignee). Pengirim adalah salah satu pihak dalam perjanjian
pengangkutan yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Pada perjanjian
pengangkutan, penerima mungkin pengirim barang itu sendiri mungkin juga pihak ketiga
yang berkepentingan. Penerima barang (consignee) dalam perjanjian pengangkutan barang
melalui laut adalah pihak yang namanya tercantum dalam konosemen sebagai pihak
tertentu kepada siapa barang-barang yang diangkut itu harus diserahkan oleh pengangkut.
PT. Daisy Mutiara Samudra (PT. DMS) merupakan perusahaan bongkar muat yang
secara yuridis berdiri sejak tanggal 19 Agustus 1998 yang dituangkan dalam akta notaris R.
Muh. Hendarmawan, SH. No. 17 tanggal 19 Agustus 1998, dalam akta tersebut disebutkan
bahwa pendirian perseroan didirikan untuk jangka waktu tujuh puluh lima tahun. Dengan
ini, berarti PBM PT. DMS merupakan perusahaan bongkar muat yang telah memperoleh
izin usaha tetap dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta atas nama Menteri Perhubungan.
Pada tanggal 23-25 Januari 2008 PBM PT. DMS melakukan pembongkaran muatan
berupa lempengan baja (steel slabs) milik PT. Gunung Raja Paksi dari atas kapal cargo Genco
Warrior. PT. Gunung Raja Paksi adalah pihak penerima barang (consignee) yang tertera
pada Bill of Lading yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran Fayette yang mengangkut
muatan tersebut. PT. Gunung Raja Paksi menunjuk seorang ekspeditur, yaitu EMKL PT.
Daisy Mutiara Nusantara (PT. DMN) untuk mewakilinya dalam pengurusan dokumen-
dokumen yang diperlukan serta pekerjaan yang menyangkut penerimaan barangnya.
Perjanjian yang dibuat antara PT. Gunung Raja Paksi dengan EMKL PT. DMN selaku
EMKL yang ditunjuk adalah perjanjian ekspedisi (perantaraan) dalam hal pengurusan
penerimaan barang-barang milik consignee. Perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu sepakat antara mereka yang mengikatkan diri, kecakapan para pihak untuk membuat
suatu perikatan, suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 177

Sifat hukum perjanjian ekspedisi adalah pelayanan berkala dan pemberian kuasa.
Sifat hukum pelayanan berkala ada karena hubungan hukum antara ekspeditur dan pemilik
barang tidak tetap, hanya kadang kala saja, yakni bila pemilik barang membutuhkan seorang
wakil untuk mengurus keperluan penerimaan atau pengiriman barangnya. Sifat hukum
pemberian kuasa ini ada karena si pemilik barang telah memberikan kuasanya kepada
ekspeditur untuk mengurus segala hal guna keperluan barang-barangnya. Ekspeditur
dalam kedudukannya sebagai penerima perintah (kuasa) dari pemilik barang memiliki
hak retensi menurut Pasal 1812 KUHPerdata apabila belum dilunasinya segala apa yang
dapat dituntut sebagai akibat pemberian kuasa tersebut, dan memiliki hak mendahului
menurut Pasal 1139 KUHPerdata apabila ekspeditur telah membayar terlebih dahulu pihak
pengangkut sehingga mensubrogasi hak tagihannya dari pihak pengangkut.
Perjanjian pengangkutan antara pemilik barang (PT. Gunung Raja Paksi) dengan
pengangkut (Fayette) menggunakan ketentuan FIOS term dan mengunakan time charter
dalam hal penyewaan kapalnya, maka yang berkewajiban membayar biaya pembongkaran
muatan dari atas kapal dan penunjukkan perusahaan bongkar muatnya adalah pemilik
barang. Kewenangan PT. Gunung Raja Paksi untuk menunjuk perusahaan bongkar muatnya
digantikan oleh EMKL PT. DMN sebagai wakilnya. Ekspeditur sebagai pihak yang mewakili
consignee memberikan kuasanya kepada PBM untuk melakukan pembongkaran tersebut,
berarti hubungan antara EMKL PT. DMN dengan PBM PT. DMS merupakan hubungan
pemberian kuasa. Faktor lain yang menyebabkan penunjukan PBM dilakukan oleh EMKL
PT. DMN adalah karena ongkos angkut serta pengurusan dokumen dan Bea Cukai yang
ditawarkan oleh EMKL PT. DMN kepada PT. Gunung Raja Paksi sudah meliputi ongkos
pembongkaran muatan dari atas kapal Genco Warrior.
EMKL PT. DMN selaku perantara bagi consignee bertindak atas nama sendiri dalam
melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk kepentingan muatan consignee.
Hal ini dibuktikan dalam surat penunjukan PBM yang dibuat oleh EMKL PT. DMN kepada
PBM PT. DMS, artinya ekspeditur bertindak sebagai komisioner dalam hubungan dengan
pihak ketiga. Pengertian komisioner yang diatur dalam Pasal 76 KUHD adalah seorang
yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup
persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain
dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu. Surat penunjukkan PBM yang dibuat
oleh EMKL PT. DMN disebutkan pula kedudukan EMKL PT. DMN selaku penerima kuasa
dari PT. Gunung Raja Paksi. Selanjutnya dalam Pasal 77 ayat (1) KUHD disebutkan bahwa
kepada pihak dengan siapa komisioner bertindak, komisioner itupun tidak diwajibkan
menyebut akan pihak atas tanggungan siapa tindakan itu dilakukannya. Dengan demikian,
menurut peneliti, kedudukan ekspeditur sebagai komisioner tetap berlaku, karena dalam
Pasal 77 ayat (1) disebutkan “tidak diwajibkan” bukan berarti “dilarang” menyebutkan
pihak atas tanggungan siapa tindakan itu dilakukan.
178 Hukum Pengangkutan Laut

Kontrak kerja antara PT. Gunung Raja Paksi dengan EMKL PT. DMN dan PBM PT.
DMS dibuatkan dalam satu kontrak kerja. EMKL PT. DMN dan PBM PT. DMS bertindak
sebagai pihak pertama yang menyelenggarakan pekerjaan pembongkaran muatan dari atas
kapal dan pengangkutan barang impor dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke gudang
PT. Gunung Raja Paksi sebagai pihak kedua dalam kontrak kerja tersebut.
Pada pengangkutan barang melalui laut selain diperlukan adanya ekspeditur bagi
pemilik barang, perusahaan bongkar muat untuk melakukan pembongkaran dan/atau
pemuatan barang, juga diperlukan adanya petugas penghitung jumlah barang-barang yang
dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal. Sesuai ketentuan Pasal 481 ayat (1) KUHD yang
menyatakan bahwa:
“Apabila disesuatu tempat oleh pemerintah setempat telah diangkat pegawai-
pegawai yang ditugaskan mengawasi penghitungan, pengukuran atau penimbangan
barang-barang yang harus diserahkan disitu maka atas perintah si pengangkut atau
si penerima, pada waktu barang-barang itu diterimanya, bolehlah penghitungan,
pengukuran atau penimbangan tersebut dilakukan atau diawasi oleh seorang
pegawai seperti itu.”

Selanjutnya di dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD menyatakan “hasil penghitungan,
pengukuran atau penimbangan yang dilakukan, atau yang diawasi oleh pegawai tersebut,
adalah mengikat bagi kedua belah pihak, kecuali apabila dibuktikan ketidakbenarannya. “
Kegiatan penghitungan tersebut disebut dengan kegiatan tally. Kegiatan tally adalah
kegiatan usaha menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai
muatan, untuk kepentingan pemilik muatan dan atau pengangkut. Pihak-pihak penghitung
dan pencatat dalam pembongkaran lempengan baja dari atas kapal Genco Warrior
terdiri dari independent tally surveyor yang ditunjuk oleh pengangkut, Sucofindo sebagai
pengawas dan penghitung muatan yang diterima consignee pada saat sampai digudangnya,
dan petugas tally perusahaan bongkar muat.
Perusahaan bongkar muat dalam melaksanakan jasa pembongkaran dan/atau
pemuatan barang-barang ada kemungkinan ketika barang yang diterima oleh penerima
barang (consignee) atau perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang ditunjuk ternyata
barang yang diterima dalam keadaan tidak selamat yaitu terdapat kekurangan atau
kerusakan pada barang tersebut. Bila terdapat kekurangan atau kerusakan barang
perusahaan bongkar muat harus membuat laporan-laporan atau catatan-catatan tentang
adanya kekurangan atau kerusakan barang-barang yang dibongkar dari kapal. Kekurangan
dan/atau kerusakan barang selain disebabkan oleh pengangkutannya dapat juga terjadi
karena proses pembongkaran dari kapal.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 179

Sebelum melaksanakan kegiatan pembongkaran dan pemuatan barang dari


dan ke kapal perusahaan bongkar muat harus terlebih dahulu melakukan persiapan
administrasinya untuk memudahkan dalam membuat laporan tentang kondisi dan jumlah
barang yang dibongkar ataupun yang dimuat dari dan ke kapal. Persiapan administrasi
perusahaan bongkar muat ketika mengerjakan kapal adalah:
1. Tally yang akurat, baik di kapal dan di darat. Tally disini adalah pencatatan
penghitungan jumlah barang.
2. Menyiapkan dan mengerjakan labour & time sheet, short landed and overlanded list,
damage cargo list dan lainnya dan usahakan agar ditanda tangani oleh kapal pada
waktu yang tepat.
3. Menyusun statement of fact dan time sheet
Statement of fact mencatat semua kejadian, sejak kapal tiba sampai dengan kapal
berangkat, mulai muat atau bongkar, berhenti bekerja karena hujan atau kerusakan,
perselisihan (dispute), survei, perbaikan (repair), dan sebagainya. Dari statement of
fact dibuatkan time sheet yang memuat perhitungan waktu dan akan terlihat waktu
yang diizinkan dan yang terpakai, kelebihan, atau penghematan waktu.
4. Mempersiapkan semua dokumen-dokumen yang diperlukan dari bagian stevedoring
untuk menyusun nota-nota tagihan dalam batas waktu dan sesuai ketentuan yang
berlaku.
Apabila terdapat kerusakan ataupun kekurangan pada barang-barang yang dibongkar
atau dimuat dari dan/atau ke kapal petugas tally akan membuat catatan-catatan tentang
adanya kerusakan atau kekurangan jumlah barang yang akan menentukan apakah consignee
akan mengajukan klaim terhadap PBM atau perusahaan pelayaran yang mengangkut
barangnya. Petugas tally bersama petugas klaim membuat surat klaim (claim report)
jika terdapat kerusakan atau kekurangan muatan yang dibongkar. Kekurangan barang
bisa terjadi karena masih tertinggal dikapal akibat terjepit muatan lain atau tertinggal
di pelabuhan lain akibat terbawa dengan muatan lain. Data dari tally dan pergudangan
digunakan oleh petugas klaim untuk membuat surat yang dinamakan cargo tracers ke
pelabuhan berikut dan sebelumnya dari persinggahan kapal.
Hasil dari penghitungan yang dilakukan oleh petugas tally (tally clerk) PBM terhadap
lempengan baja yang dibongkar dari kapal Genco Warrior terdapat selisih antara jumlah
barang yang tertera pada cargo manifestnya. Jumlah barang yang tertera pada cargo manifest
adalah 2.068 buah lempengan baja, sedangkan jumlah barang yang dibongkar dari kapal
hanya berjumlah 2.066 buah lempengan baja yang tertera pada statement of fact yang dibuat
oleh petugas tally PBM, tetapi menurut penghitungan yang dilakukan oleh independent
tally surveyor jumlah barang yang dibongkar dengan jumlah barang yang tertera pada cargo
manifest adalah sesuai artinya tidak terdapat kekurangan jumlah barang yang dibongkar.
Pada saat barang diterima di gudang consignee kemudian dilakukan pengawasan tentang
180 Hukum Pengangkutan Laut

kondisi barang dan penghitungan jumlah barang yang dilakukan oleh Sucofindo terdapat
kekurangan dua buah lempengan baja.
Catatan jumlah barang yang dibongkar dari kapal disebut dengan tally sheet bongkar
atau disebut juga dengan tally report. Petugas tally berkewajiban membuat laporan kegiatan
harian yang tertera dalam tally report. Tally report dibuat setiap shift per hari dan setelah
ditandatangani oleh pihak kapal dikirim ke kantor PBM untuk dievaluasi. Tally report
tersebut kemudian dibuatkan dalam bentuk statement of fact setelah pembongkaran atau
pemuatan ditambah dengan catatan seperlunya. Hasil dari statement of fact yang dibuat
oleh PBM menunjukkan adanya kekurangan jumlah muatan yang dibongkar, oleh karena
itu petugas tally membuat laporan bukti kekurangan jumlah barang.
Tally report yang dibuat oleh Independent tally surveyor menunjukkan kesesuaian
antara jumlah barang yang dibongkar dengan jumlah barang yang terdapat pada
cargo manifestnya, sedangkan hasil dari tally report yang dibuat oleh petugas tally PBM
menunjukkan kekurangan dua buah lempengan baja, kemudian petugas tally PBM
membuat laporan kekurangan jumlah barang yang disebut dengan shortlanded list. Tally
report yang dibuat oleh independent tally surveyor mendapat pengesahan dari kapten
kapal Genco Warrior, sedangkan shortlanded list yang dibuat oleh PBM tidak mendapat
pengesahan dari kapten kapal maupun agen pelayarannya. Hal ini disebabkan karena antara
tally report yang dibuat oleh independent tally surveyor dengan tally report yang dibuat oleh
PBM tidak dicocokkan terlebih dahulu sebelum dilaporkan kepada kapten kapal Genco
Warrior. Berdasarkan tally report yang sudah disahkan oleh kapten kapal Genco Warrior
yang dibuat oleh independent tally surveyor yang menyatakan bahwa barang yang dibongkar
dari atas kapal sesuai dengan jumlah barang yang tertera pada cargo manifestnya, maka PT.
Gunung Raja Paksi mengajukan klaim kepada PBM PT. DMS selaku perusahaan bongkar
muat yang melaksanakan pembongkaran muatannya dari atas kapal Genco Warrior.
Seperti yang telah disebutkan di atas, jika terjadi kekurangan jumlah muatan yang
dibongkar dari kapal dapat disebabkan oleh terjepit muatan lain, tertinggal di pelabuhan
lain akibat terbawa muatan lain, atau dapat disebabkan juga oleh proses pembongkaran
yang tidak mematuhi prosedur proses pembongkaran muatan dari atas kapal. Pada
pengangkutan ini kapal Genco Warior tidak berlabuh di pelabuhan pembongkaran lain
selain di pelabuhan pembongkaran Tanjung Priok, Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari
stowage plan yang dikeluarkan oleh petugas kapal Genco Warrior. Adapun prosedur proses
pembongkaran yang terdapat pada PBM PT. DMS adalah sebagai berikut:
1. memeriksa dokumen salinan manifest dan stowage plan yang dikirim dari pihak
agen;
2. melakukan koordinasi dengan pihak chief officer setelah kapal bersandar untuk
membuka palka yang sesuai dengan stowage plan tersebut;
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 181

3. setelah palka kapal dibuka, foreman kapal akan memerintahkan anak buahnya
untuk membuka cargo lashingan;
4. setelah cargo lashing lepas, barulah melakukan pembongkaran;
5. melakukan pembongkaran mulai dari barang yang paling atas dan yang paling
mudah dijangkau;
6. barang yang dibongkar diperiksa secara fisik dan diseleksi mana barang yang harus
disimpan dalam gudang tertutup atau terbuka;
7. melakukan penumpukkan barang dengan cara yang sesuai yang memudahkan dalam
penghitungan dan pengidentifikasian serta kemudahan dalam proses pengangkutan
selanjutnya (pengeluaran dari gudang);
8. melakukan pemisahan barang berdasarkan merek dan jenis barang;
9. melakukan pencatatan terhadap barang yang sudah dibongkar dalam dokumen tally
sheet yang ditanda tangani oleh chief officer;
10. bila barang yang dibongkar harus langsung diangkut ke luar untuk dikirim ke lokasi
pemilik barang, melakukan pengecekan lebih teliti lagi;
11. petugas tally memberikan bon pengantar barang kepada sopir ekspedisi yang
kemudian diserahkan kepada petugas yang bertanggung jawab membuat surat jalan;
12. setelah surat jalan telah dibuat, barang boleh diangkut untuk diantar ke lokasi
pemilik barang;
13. melaporkan dokumen tally sheet kepada chief checker;
14. chief checker bertanggung jawab untuk membuat dokumen daily report of discharged
yang ditanda tangani oleh chief officer (mualim I);
15. dokumen daily report didistribusikan kepada beberapa pihak sebagai berikut:
a. Perusahaan agen perkapalan
b. Chief officer (Mualim I)
c. PPSA (Pusat Pelayanan Satu Atap)
d. Perum pangkalan
e. ADPEL (administrasi pelabuhan) (lalu lintas laut)
16. melakukan pemeriksaan ulang terhadap barang yang sudah disimpan di dalam
gudang atau di lapangan, untuk memastikan barang yang dibongkar telah sesuai
dengan yang tertulis di dalam manifest atau untuk mengetahui apakah terdapat
barang yang rusak atau barang yang hilang;
17. apabila diketahui terdapat barang yang rusak, maka chief checker bertanggung jawab
untuk membuat laporan kerusakan barang damaged cargo list yang ditanda tangani
oleh chief officer;
18. apabila diketahui terdapat barang yang hilang, maka chief checker bertanggung
jawab untuk membuat dokumen short landed atau over landed yang ditanda tangani
oleh chief officer;
182 Hukum Pengangkutan Laut

19. setelah selesai proses bongkar muat, chief checker membuat statement of fact yang
ditanda tangani oleh chief officer.
PBM PT. DMS dalam melakukan kegiatan usahanya berpedoman pada instruksi
kerja prosedur pembongkaran barang yang berlaku pada PBM PT. DMS. Pembongkaran
lempengan baja dari atas kapal Genco Warrior PBM PT. DMS membuat dokumen atau
laporan pembongkaran barang dari atas kapal, yaitu daily report dari tanggal 23-25
Januari 2008, statement of fact, tally report, dan shortlanded list yang menunjukkan adanya
kekurangan jumlah barang.
Lingkup kegiatan pembongkaran barang dari atas kapal Genco Warrior yang
dilakukan oleh PBM PT. DMS meliputi stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery,
berarti tanggung jawab PBM PT. DMS sejak barang dibongkar dari kapal sampai barang
tersusun di atas kendaraan di pintu lapangan penumpukan. Selanjutnya pengangkutan
barang dari pelabuhan sampai ke gudang PT. Gunung Raja Paksi menjadi tangung jawab
EMKL, apabila kekurangan tersebut terjadi karena proses pembongkaran dan juga pada
saat pengangkutan dari pelabuhan ke gudang pemilik barang maka PBM dan EMKL
bersama-sama bertanggung jawab atas kekurangan tersebut.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perjanjian kerja antara PT. Gunung Raja
Paksi dengan EMKL PT. DMN serta PBM PT. DMS dibuatkan dalam satu surat perjanjian
kerja. Penyebutan PBM PT. DMS sebagai salah satu pihak dalam surat perjanjian tersebut
semata-mata hanya untuk memberikan batasan tentang tanggung jawab EMKL PT. DMN
dan PBM PT. DMS. Tanggung jawab EMKL PT. DMN selaku ekspeditur lebih bersifat
umum, yaitu meliputi:
1. dokumen kepabeanan;
2. pengadaan angkutan (trucking delivery);
3. bertanggung jawab penuh terhadap bongkar muat barang serta jumlah barang;
4. menjaga keutuhan barang sampai ke gudang pemilik.

PBM PT. DMS sebagai salah satu pihak dalam perjanjian tersebut yang bertindak
sebagai perusahaan bongkar muatnya bertanggung jawab terhadap proses
pembongkaran muatan dari atas kapal serta jumlah dan kondisi barang yang
dibongkar.
Tanggung jawab perusahaan bongkar muat yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1)
Keputusan Menteri Perhubungan nomor 14 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan
Dan Penguasaan Bongkar Muat Barang Dari Dan Kapal adalah “kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam suatu perjanjian antara pihak-pihak terkait, PBM
bertanggung jawab terhadap fasilitas pelabuhan yang digunakan, dan bagian dari
kapal dan peralatan bongkar muat kapal yang digunakan dalam kegiatan operasional
bongkar muat”. Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (2) KM 14 tahun 2002 menyebutkan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 183

“apabila kesalahan atau kelalaian perusahaan bongkar muat dalam melaksanakan


kegiatannya, perusahaan bongkar muat juga bertanggung jawab terhadap kerugian
dan cidera, dan kerugian dari akibat hilang atau kerusakan harta benda milik pihak
ketiga “.
PT. Gunung Raja Paksi sebagai pemberi kuasa kepada EMKL PT. DMN untuk
mewakilinya menunjuk perusahaan bongkar muat berhak mengajukan klaim secara
langsung kepada PBM PT. DMS sesuai ketentuan Pasal 1799 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan
siapa si kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, dan menuntut daripadanya
pemenuhan perjanjiannya. Selain itu, meskipun PBM PT. DMS merupakan
penerima kuasa dari EMKL PT. DMN juga terlibat secara langsung dalam surat
perjanjian kerja tersebut. Pasal 1338 KUHPerdata dapat dijadikan dasar pengajuan
klaim PT. Gunung Raja Paksi kepada PBM PT. DMS karena diantara keduanya ada
hubungan kontraktual.
Menurut peneliti, ketentuan Pasal 78 KUHD yang menyatakan bahwa “pihak pemberi
amanat kepada seorang komisioner tidak mempunyai hak menuntut terhadap pihak
yang dengan mana komisioner telah bertindak (pihak ketiga), dan pihak ketiga ini
pun tidak mempunyai hak menuntut terhadap pemberi kuasa komisioner”, tidak
dapat diberlakukan pada kasus ini, karena dalam surat penunjukkan PBM yang dibuat
oleh EMKL PT. DMN disebutkan atas kuasa siapa EMKL PT. DMN menunjuk PBM
PT. DMS. Pendapat ini didasarkan pada Pasal 79 ayat (1) KUHD yang menyatakan
bahwa jika seorang komisioner bertindak atas nama pengamanatnya, maka segala
hak dan kewajibannya terhadap pihak ketiga dikuasai oleh ketentuan-ketentuan
dalam KUHPerdata pada bab tentang “pemberian kuasa”.
Menurut peneliti, EMKL PT. DMN juga bertanggung jawab atas kesalahan ataupun
kelalaian yang dilakukan oleh PBM PT. DMS atas dasar ketentuan Pasal 1367 ayat
(1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan


perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya.”

Pendapat ini didasarkan atas provisi yang diterima oleh PBM merupakan bagian
dari provisi yang diterima oleh ekspeditur dari pemilik barang, karena provisi
yang ditawarkan oleh ekspeditur dalam mewakili pemilik barang untuk mengurus
dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan muatannya sudah termasuk
biaya pembongkaran muatan dari atas kapal. Berarti yang membayarkan provisi
184 Hukum Pengangkutan Laut

kepada PBM PT. DMS adalah EMKL PT. DMN karena merupakan sifat hukum
pemberian kuasa dari EMKL PT. DMN untuk melakukan pembongkaran muatan
milik PT. Gunung Raja Paksi dari atas kapal Genco Warrior. PT. Gunung Raja Paksi
dapat juga mengajukan klaim kepada EMKL PT. DMN atas dasar perbuatan yang
dilakukan PBM PT. DMS juga merupakan tanggung jawab EMKL PT. DMN. Jika
PBM PT. DMS terbukti bersalah, EMKL PT. DMN selaku pemberi kuasa kepada
PBM PT. DMS berhak untuk mengklaim PBM PT. DMS atas dasar wanprestasi
karena tidak melaksanakan kewajibanya dengan sebaik-baiknya.
PBM PT. DMS tidak menerima klaim yang diajukan oleh consignee kepadanya,
karena dalam melakukan tugasnya PBM PT. DMS telah mengikuti instruksi kerja
prosedur pembongkaran barang yang berlaku. PBM PT. DMS mempunyai bukti
yang menunjukkan bahwa kekurangan jumlah muatan tersebut bukan dikarenakan
proses pembongkaran yang dilakukannya, melainkan pada waktu dibongkar dari
kapal memang jumlahnya kurang. Hal ini dibuktikan dalam statement of fact, tally
report dan surat jalan beserta bon muat yang dibuat oleh PBM.
Selain mengajukan klaim langsung kepada PBM PT. DMS, PT. Gunung Raja Paksi juga
melakukan pengecekan ulang kepada pengirim (shipper) mengenai jumlah barang
yang dikirim, dan kemudian pengirim barang mengecek pihak pengangkut yaitu
Fayette mengenai jumlah muatan yang dimuat ke atas kapal. Perusahaan bongkar
muat PT. Daisy Mutiara Samudra bersedia bertanggung jawab atas kekurangan
jumlah steel slabs yang dibongkar dari kapal Genco Warrior apabila PT. Gunung
Raja Paksi dapat membuktikan bahwa kekurangan jumlah muatannya diakibatkan
karena kesalahan PBM, besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan oleh PBM PT.
DMS adalah total nilai barang yang rusak dalam rupiah sesuai dengan harga satuan
yang tercantum dalam “invoice” dikurangi 2% (dua persen) dari total nilai barang
yang diangkut untuk setiap truk. Besarnya pemberian ganti rugi materiil tersebut
sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam surat perjanjian kerja.
Sebagai pemberi kuasa kepada PBM PT. DMS tanggung jawab yang akan diberikan
oleh EMKL PT. DMN adalah berupa tanggung jawab moril kepada PT. Gunung Raja
Paksi.
Penyelesaian klaim antara PT. Gunung Raja Paksi dengan PT. Daisy Mutiara
Samudra Pengangkut (Carrier) bertanggung jawab untuk menyerahkan barang
dalam jumlah dan kondisi yang sama seperti pada waktu diterima dari pengirim
(shipper). Kerusakan dan kehilangan barang yang terjadi sejak barang diterima
sampai dengan barang diserahkan menjadi tanggung jawab pengangkut. Perusahaan
bongkar muat selaku badan usaha yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan
dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal juga memiliki
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 185

peranan penting dalam kegiatan perdagangan melalui laut. Perusahaan bongkar


muat memiliki tanggung jawab atas:
5. kelancaran kegiatan bongkar muat;
6. keselamatan penerimaan dan penyerahan barang;
7. kebenaran laporan yang disampaikan;
8. mengatur penggunaan tenaga kerja bongkar muat dan peralatan sesuai kebutuhan.

Kekurangan atau kerusakan barang yang terjadi karena kesalahan ataupun kelalaian
pengangkut, pemilik barang atau EMKL berhak mengajukan klaim kepada pengangkut
atau agen pelayarannya. Adapun yang dimaksud dengan klaim dalam pengangkutan laut
(shipping) adalah tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pengirim muatan atau wakilnya,
atau oleh penerima muatan, kepada pengangkut berhubung dengan kekurangan atau
kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari bermacam-macam risiko selama pengangkutan
muatan itu dari pelabuhan pemuatannya sampai ke pelabuhan tujuannya. Tata cara
mengurus kekurangan atau kerusakan barang dan klaim adalah sebagai berikut:
1. Bukti kekurangan barang
Barang diserahkan oleh pihak gudang atau PBM kepada consignee atau EMKL.
Jumlah ataupun spesifikasinya harus sesuai dengan yang tertera dalam D/O. Pihak
gudang akan mengeluarkan “bukti kekurangan sementara” apabila barang yang
diserahkan ternyata kurang jumlahnya. Bukti kekurangan sementara diserahkan
kepada agen pelayaran untuk diganti dengan bukti kekurangan (notice of shortage).
2. Bukti pendapat atau bukti kerusakan
Pihak penerima dapat meminta agar sebelum barang yang rusak diserahkan agar
diadakan pemeriksaan bersama (joint survey) yang disaksikan oleh penerima,
gudang dan pelayaran. Hasil joint survey dituangkan dalam joint survey report dan
selanjutnya oleh agen pelayaran dibuat survey report.
Kehilangan atau kerusakan barang dalam pengangkutan di laut menimbulkan klaim
terhadap pengangkut. Pemberitahuan tentang hilang atau rusaknya barang harus dilakukan
secara tertulis kepada pengangkut atau agennya di pelabuhan bongkar pada saat:
1. Sebelum atau pada saat barang diambil oleh penerima.
2. Tiga hari setelah barang diambil, apabila kerusakan tidak tampak ketika dibongkar.
Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka barang yang diambil oleh penerima
dianggap tidak ada kerusakannya. Pernyataan tertulis tidak diperlukan bila pada saat
penyerahan barang telah diadakan joint-survey. Pihak-pihak yang dapat melakukan
klaim barang adalah sebagai berikut:
1. Consignee seperti yang disebut dalam B/L.
2. Shipper bila B/L belum di-endorse.
186 Hukum Pengangkutan Laut

3. Pihak lain yang telah diberi wewenang telah diberi wewenang untuk menjadi
pemilik B/L dengan cara di-endorse.
4. Perusahaan asuransi yang menanggung barang, di mana shipper atau consignee
telah memindahkan haknya (subrogate) kepada perusahaan asuransi.
Pernyataan tertulis dalam bentuk shortlanded list tentang adanya kekurangan jumlah
barang yang dilaporkan PBM kepada kapten kapal atau agen pelayarannya tidak mendapat
persetujuan karena telah diadakan joint-survey dalam penghitungan jumlah muatan yang
dibongkar dari atas kapal Genco Warrior antara independent tally surveyor dengan petugas
tally PBM.
Consignee ataupun EMKL yang ditunjuk sebaiknya mengajukan klaim di tempat
kejadian. Sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat antara PBM PT. DMS dan EMKL
PT. DMN dengan PT. Gunung Raja Paksi telah disepakati bahwa pembongkaran barang
dilakukan dengan cara truck lossing, berarti penerima barang dapat langsung mengajukan
klaim di gudang consignee, apabila kekurangan atau kerusakan tersebut akibat dari
pengangkutan di laut PBM berkewajiban membuat dokumen kerusakan (damaged cargo
list) atau dokumen kekurangan jumlah barang (shortlanded list) yang akan dilaporkan
kepada kapten kapalnya. EMKL berhak mengajukan klaim kepada pengangkut jika
pemilik barang telah menyerahkan pengurusan muatannya kepada EMKL. Klaim yang
bisa diajukan kepada pengangkut adalah:
1. Klaim kerusakan yang merupakan tuntutan ganti rugi karena barang diserahkan
dalam keadaan rusak (damaged cargo).
2. Klaim kekurangan yang merupakan tuntutan ganti rugi atas tidak diserahkannya
sejumlah barang (except/short delivery).
Perusahaan pelayarannya yaitu Fayette tidak mau bertanggung jawab atas kekurangan
tersebut, karena jumlah barang yang dimuat di atas kapalnya adalah 2.068 buah lempengan
baja yang tertera pada stowage plannya. Pengangkut juga menolak bahwa kekurangan
tersebut diakibatkan karena kesalahan dan/atau kelalaiannya selama pengangkutan dari
pelabuhan muat sampai ke pelabuhan bongkar, karena tally report yang disahkan oleh
kapten kapal yang dibuat oleh independent tally surveyor sesuai dengan jumlah barang yang
tercantum pada stowage plannya.
Pasal 321 ayat (2) KUHD pada kasus ini tidak berlaku karena PBM PT. DMS
merupakan perusahaan yang berdiri sendiri, ia bukan bagian ataupun penerima kuasa dari
perusahaan pelayaran. Walaupun PBM bukan merupakan bagian ataupun penerima kuasa
dari pengangkut, namun pengangkut juga harus membuktikan bahwa jumlah barang yang
diangkut sampai di pelabuhan bongkar dengan selamat.
PT. Gunung Raja Paksi mengajukan klaim kepada PBM PT. DMS atas dasar wanprestasi
karena tidak melakukan kewajiban yang telah disepakati dalam surat perjanjian kerja
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 187

tersebut. Adapun prosedur pengajuan klaim yang terdapat pada PBM PT. DMS adalah
sebagai berikut:
1. Pengaju klaim membicarakan dan melihat dengan petugas PBM mengenai besarnya
kerusakan atau kehilangan, dan sedapat mungkin di tempat kejadian.
2. Pengaju klaim membuat surat pengajuan klaim yang ditujukkan kepada General
Manager dan Manager Operasional PBM PT. DMS.
3. Klaim yang diterima oleh PBM PT. DMS kemudian diadakan rapat evaluasi untuk
menelusuri penyebab kerusakan atau kekurangan tersebut.
4. Kemudian dilakukan musyawarah antara pengaju klaim dengan PBM PT. DMS
untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dalam surat perjanjian kerja tersebut ada
klausul yang menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat akan dilakukan
musyawarah untuk mufakat.
Untuk mengajukan klaim, pengaju klaim (claimant) harus menyertakan dokumen
pendukung. Dokumen pendukung yang penting untuk mengajukan klaim tersebut antara lain:
1. Bukti kekurangan atau kerusakan barang
2. Copy B/L
3. Packing list
4. Invoice pembelian barang
5. Polis asuransi
6. Surat tuntutan yang menyebutkan besarnya tuntutan.
PBM PT. DMS juga tidak bersedia bertanggung jawab atas kekurangan jumlah barang
yang dibongkar karena mereka memiliki tanda bukti berupa keterangan rinci tentang
waktu dan jumlah barang yang dibongkar dalam bentuk statement of fact. Dari statement
of fact tersebut dapat dilihat mengenai keterangan rinci jumlah keseluruhan barang
yang dibongkar. Upaya yang telah dilakukan PBM PT. DMS untuk membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan merupakan kesalahannya adalah melakukan investigasi internal
dengan mencocokkan antara surat jalan yang keluar dengan tally sheetnya.
Menurut peneliti, apabila dalam surat penunjukkan PBM yang dibuat oleh ekspeditur
menggunakan ketentuan Pasal 77 ayat (1) KUHD yaitu tidak menyebutkan atas kuasa siapa
penunjukkan itu dilakukan dan PBM tidak disebutkan dalam surat perjanjian kerja antara
pemilik barang dengan ekspeditur, maka alur pengajuan klaimnya adalah penerima barang
(consignee) mengklaim ekspeditur, kemudian ekspeditur mengklaim perusahaan bongkar
muat (stevedorering). Pengajuan gugatan terhadap ekspeditur maupun pengangkut terdapat
ketentuan mengenai batas waktunya yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHD, yaitu:
1. Dalam waktu satu tahun terhadap pengiriman-pengiriman dalam wilayah Indonesia
mulai hari di mana barang-barang itu tiba di tempat tujuan dalam hal kerusakan,
dan mulai saat barang-barang itu telah harus selesai diangkutnya (diserahkan)
dalam hal kehilangan.
188 Hukum Pengangkutan Laut

2. Dalam waktu dua tahun terhadap pengiriman dari wilayah Indonesia mulai hari
di mana barang-barang itu tiba di tempat tujuan dalam hal kerusakan, dan mulai
saat barang-barang itu telah harus selesai diangkutnya (diserahkan) dalam hal
kehilangan.

Selain batas waktu yang telah ditentukan tersebut, menurut Hague-Visby Rules, waktu
pengajuan klaim bisa diperpanjang bila kedua belah pihak menyetujuinya.
Menurut peneliti, tanggung jawab moril yang harus dilakukan EMKL PT. DMN
adalah turut serta menyelesaikan perselisihan ini, karena EMKL PT. DMN yang menunjuk
PBM PT. DMS untuk melakukan pembongkaran tersebut, dengan kata lain EMKL PT.
DMN yang mempertemukan PT. Gunung Raja Paksi dengan PBM PT. DMS. Selain alasan
tersebut ketentuan Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata dapat dijadikan dasar tanggung jawab
EMKL PT. DMN terhadap perbuatan orang yang ditanggungnya.
Dalam penyelesaian klaim kekurangan jumlah barang ini, PT. Gunung Raja Paksi dan
PBM PT. DMS tidak menggunakan jalur hukum. Berdasarkan surat perjanjian kerja antara
PBM PT. DMS dan EMKL PT. DMN dengan PT. Gunung Raja Paksi disebutkan bahwa
apabila dikemudian hari terjadi perselisihan maka kedua belah pihak bersedia untuk
bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Mereka tidak mau menggunakan jalur hukum
karena dikhawatirkan akan merusak nama baik kedua belah pihak, selain itu penyelesaian
perkara melalui jalur hukum memakan waktu yang cukup lama, membutuhkan biaya
yang besar dan belum tentu hasilnya memuaskan kedua belah pihak. Perundingan untuk
menyelesaikan permasalahan ini telah dilakukan melalui mediasi diantara keduabelah
pihak, di mana EMKL PT. DMN sebagai penerima kuasa dari PT. Gunung Raja Paksi
dan juga sebagai pemberi kuasa kepada PBM PT. DMS bertindak sebagai mediator dalam
penyelesaian kasus ini. Apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak di mana barang
tersebut harus diserahkan, maka pengajuan klaim consignee menjadi daluwarsa, kecuali
jika telah diperjanjikan lain di dalam surat perjanjian kerja tersebut.
PT Putera Sejahtera Abadi selaku transporter tanggal 6 Mei 1998 menyerahkan 2.139
party drum minyak pelumas untuk dimuat di kapal motor (KM) Iramuar milik PT PELNI
untuk diangkut ke pelabuhan tujuan Banjarmasin dari pelabuhan Tanjung Priok, dengan
pembayaran Freight lunas sebesar Rp. 10.267.200,-. Muatan berupa minyak pelumas
tersebut telah diterima dan dimuat di atas KM Iramuar dengan konosemen sebanyak 2.139
party drum tanpa catatan/clean document.
KM Iramuar berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta tertanggal 7 Mei 1998
dan tiba di Pelabuhan Banjarmasin tanggal 11 Mei 1998. Pembongkaran muatan baru
dilakukan atau dimulai tanggal 12 Mei 1998 jam 08.00 WITA dan selesai tanggal 14 Mei
1998 jam 02.20 (dini hari) WITA. Pembongkaran tersebut dilakukan dengan alat bongkar
muat seperti jaring-jaring dan langsung diturunkan ke dermaga dan diletakan di lapangan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 189

penumpukan dengan kurang hati-hati yang mengakibatkan kerusakan sebagian dari


muatan tersebut.
Tanggal 14 Mei itu pula dilakukan pemeriksaan terhadap muatan oleh PT Maju Dolok
Mas Sakti sebagai Ekspeditur/Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) yang ditunjuk oleh
PT Putera Sejahtera Abadi yang disaksikan oleh PT PELNI sendiri. Dalam pemeriksaan
tersebut terdapat kerusakan dan kekurangan minyak pelumas yang diangkut KM Iramuar
tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan dibuatlah berita acara kerusakan dan kekurangan
muatan oleh Kepala Cabang PT PELNI Banjarmasin (sebagai wakil PT PELNI) dengan PT
Maju Dolok Mas Sakti selaku EMKL yang ditunjuk oleh PT Putera Sejahtera Abadi.
Dengan adanya kekurangan dan kerusakan muatan tersebut, PT Putera Sejahtera
Abadi menderita kerugian sebesar Rp. 74.455.566,- sesuai faktur atau invoice. Setelah party
drum minyak pelumas itu diperiksa dan dibuat berita acara kerusakan dan kekurangan
muatan, maka pada tanggal 14 Mei 1998 sampai dengan tanggal 8 Juni 1998 EMKL PT Maju
Dolok Mas Sakti menyerahkannya kepada Depot Pertamina Banjarmasin dan pada tanggal
18 Juni 1998 dibuat berita acara penerimaan oleh Kepala Depot Pertamina dan EMKL PT
Dolok Mas Sakti dengan kondisi rincian yang sama dengan berita acara kerusakan dan
kekurangan muatan tadi. Oleh pihak Pertamina, muatan yang rusak, isi kurang dan mutu
berubah tersebut dihanguskan karena tidak sesuai dengan standar Pertamina dan hal ini
menjadi beban bagi PT Putera Sejahtera Abadi selaku transportir.
Sebelumnya PT Putera Sejahtera Abadi sebagai pengusaha transporter dan rekanan
PT Pertamina sudah lama mepergunakan jasa angkutan laut untuk muatan sejenis ke
berbagai pelabuhan dengan kapal milik PT PELNI dan kapal-kapal milik swasta lainnya,
namun tidak pernah timbul klaim mengenai kerusakan muatan/barang akibat pekerjaan
yang kurang hati-hati.
PT Maju Dolok Mas Sakti selaku Consignee yang ditunjuk oleh PT Putera Sejahtera
Abadi telah mengajukan permintaan agar PT PELNI sebagai pengangkut membuat
surat bukti kerusakan Claim Constatering Bewijs atau CCB, namun ditolak dengan dalih
menunjuk pada klausula konosemen. Karena pihak dari PT PELNI tidak memperdulikan
kasus tersebut, maka PT Putera Sejahtera Abadi mengajukan klaim atas kerugian tersebut
sebesar Rp. 74.455.556,-
PT Putera Sejahtera Abadi menegur pihak dari PT PELNI dengan Surat Nomor
192/Dir/PSA/IX/1998 tanggal 25 September 1998 yang ditanggapi dengan Surat Nomor
TH.168/HK/X/1998 tanggal 1 Oktober 1998 yang isinya melemparkan dan mengalihkan
klaim tersebut menjadi tanggung jawab EMKL PT Maju Dolok Mas Sakti. Dengan Surat
Nomor 229/Dir/PSA/XI/1998 tanggal 5 November 1998, PT PELNI akhirnya menunjuk
pada ketentuan yang ada dalam konosemen hanya megakui 8 party drum minyak pelumas
saja dengan harga sesuai faktur sebesar Rp. 6.696.360,- yang tidak diserahkan dari 2.139
party drum karena kehilangan di atas kapal selama pelayaran, namun tuntutan klaim dari
190 Hukum Pengangkutan Laut

PT Putera Sejahtera Abadi yaitu sebanyak 70 party drum minyak pelumas yang rusak,
bocor atau berubah mutu. Hal ini berarti bahwa pihak PT PELNI masih harus dan wajib
membayar PT Putera Sejahtera Abadi sebesar Rp. 67.759.206,- karena kurang 62 party
drum.
Pada tanggal 24 Mei 1999 PT Putera Sejahtera Abadi menghubungi PT PELNI
sehubungan dengan klaim yang diajukannya dengan surat klaim tertanggal 29 April 1999
dan terakhir sampai dengan tanggal 6 September 1999, namun hal ini tidak ditanggapi.
Akhirnya pada tanggal 14 Oktober 1999 PT PELNI memberikan tanggapan yang prinsipnya
tetap menolak tunutan klaim dari PT Putera Sejahtera Abadi tersebut dengan menunjuk
pada klausula konosemen PT PELNI itu sendiri dan KUHD.
Sehubungan dengan ditolaknya klaim tersebut melalui surat gugatan tertanggal 25
Februari 2000, PT Putera Sejahtera Abadi mendaftarkan gugtannya ke panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 29 Februari 2000 dengan pendaftaran Nomor 69/PDT.G/2000.
PN.JKT.PST yang isi gugatannya agar PT PELNI sebagai tergugat dapat memenuhi atau
membayar ganti kerugian yang dituntut oleh PT Putera Sejahtera Abadi sebesar Rp.
67.759.206,- ditambah dengan Compensation For Immediate Financial Loss sebesar 4% per
bulan dari Rp. 67.759.206,- terhitung sejak timbulnya klaim dan selambat-lambatnya 8 hari
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

C. Uraian Kasus Mengenai Kecelakaan Kapal KM Senopati Nusantara


KM Senopati Nusantara merupakan kapal ferry jenis roro. Kapal ini mempunyai tonase
kotor sebanyak 2.718 dengan panjang kapal 73,10 meter, lebar 12,75 meter, dan mempunyai
dalam 5,10 meter serta mempunyai daya dorong sebesar 4x1.450. Kapal melakukan dock
terakhir di Cirebon pada tanggal 30 Agustus 2006 sampai dengan tanggal 27 September
2006.
Kapal juga mempunyai tanda pendaftaran atau register number yaitu 1996 Ga Nomor
3497/1 dengan jenis ANT III tahun 2003 dengan nomor ijasah 6200041399N30303 dengan
kebangsaan Indonesia. Pembuatan kapal ini dilakukan di Jepang pada tahun 1990.
Pada hari Kamis tanggal 28 Desember Tahun 2006 pukul 20.00 WIB Lintang Timur.
Kapal bertolak dari pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah menuju Tanjung Emas,
Semarang, mengangkut 545 (lima ratus empat puluh lima) orang penumpang dan 16
(enam belas) unit kendaraan campuran. Kondisi cuaca cerah sementara Kondisi mesin
dalam keadaan baik dan Normal.
Pada Tanggal 29 Desember 2006 sejak pukul ± 03.00 Lintang Timur, laut mulai
berombak dan Mualim I dibantu beberapa Kelasi menambah Lashing kendaraan di car
deck, sementara halauan kapal mengarah 197o- 200o. Saat itu kondisi cuaca mendung,
tinggi ombak mencapai 6-7 Meter, dan kecepatan angin antara 30-40 knot. Pukul 12.00
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 191

Lintang Timur (siang hari) Nahkoda mengambil alih komando dari Mualim II dan halauan
kapal mengarah ke Tenggara menuju Rembang dengan halauan 150o untuk penyelamatan
kapal dan penumpang.
Pukul 18.00 Lintang Timur semua perwira deck dan KKM standby dianjungan untuk
antisipasi cuaca semakin tambah buruk, pada saat itu sudah ada sebagian penumpang yang
telah mempersiapkan diri dengan menggunakan baju renang. Pada pukul 22.00 Lintang
Timur kapal merubah halauan ke 250o mengarah ke pelabuhan Semarang. Deviasi ke
pelabuhan Surabaya tidak memungkinkan karena faktor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
semakin menipis.
Setelah merubah halauan menuju Semarang kecepatan angin antara 30-40 knot dan
gelombang tinggi mencapai 7-9 Meter menghantam KM Senopati Nusantara secara terus
menerus dan kapal terombang-ambing ke kanan dan ke kiri, sehingga memungkinkan
muatan kendaraan dapat bergeser secara tiba-tiba.
Pada pukul 23.00 Lintang Timur, tiba-tiba jangkar halauan kiri jatuh dari stopernya.
Nahkoda memerintahkan KKM untuk stop mesin dan maju pelan-pelan, sementara
Mualim I berusaha menurunkan jangkar tetapi switch ON/OFF pada winch jangkar konslet
terkena air laut, lalu Nahkoda perintahkan Mualim 1 dan Anak Buah Kapal (ABK) cek
muatan kendaraan di car deck dengan laporan ada kendaraan bergeser ke kiri sehingga
kapal miring ± 12o-20o.
Kapal semakin miring ke kiri dihantam ombak terus menerus sehingga kondisi kapal
semakin kritis. Pukul ± 23.15 Lintang Timur nahkoda perintahkan Abandon Ship ke semua
ABK untuk membagikan Life Jacket kepada penumpang dan melepas Automatic Release
Lifecraft dan alat-alat keselamatan lainnya yang berada di KM Senopati Nusantara karena
kondisi cuaca kapal tidak mungkin lagi untuk diselamatkan dan akhirnya KM Senopati
Nusantara tenggelam digulung ombak, sehingga menyebabkan:
a. 12 (dua belas) orang Anak Buah kapal (ABK) selamat dan 15 (lima belas) orang
Anak Buah Kapal (ABK) hilang;
b. 221 (dua ratus dua puluh satu) orang penumpang selamat, 45 (empat puluh lima)
orang penumpang meninggal dunia, dan 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan)
orang penumpang belum diketemukan.
c. Permasalahan
d. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka pokok permasalahan yang dapat
diajukan adalah:
e. 1.Bagaimana ketentuan asuransi wajib kecelakaan penumpang menurut Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964?
f. 2.Bagaimana tanggung jawab PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) terhadap
penumpang KM Senopati dalam hal pengangkut tidak menyetor Iuran Wajib kepada
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)?
192 Hukum Pengangkutan Laut

Ketentuan Asuransi Wajib Kecelakaan Penumpang Menurut Undang-Undang Nomor


33 Tahun 1964
Asuransi wajib kecelakaan penumpang diatur tersendiri dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan
didalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 mengenai Ketentuan-Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan penumpang. Undang-Undang Nomor
33 Tahun 1964 terdiri dari 10 Pasal. Adapun pembagian Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai
berikut;
1. Pasal 1 memuat mengenai istilah;
2. Pasal 2 - Pasal 6 mengatur mengenai dana dan iuran;
3. Pasal 7 mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pelaksanaan;
4. Pasal 8 dan Pasal 9 memuat mengenai ketentuan-ketentuan hukum dan;
5. Pasal 10 mengatur mengenai penutup.

Ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 diatur lebih


lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1965 ini terdiri dari 26 Pasal. Adapun pembagian Pasal-Pasal tersebut adalah
sebagai berikut ;
1. Pasal 1 memuat mengenai istilah;
2. Pasal 2 - Pasal 6 mengatur mengenai Iuran Wajib;
3. Pasal 7 - Pasal 9 mengatur hal-hal mengenai Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang;
4. Pasal 10 - Pasal 14 mengatur mengenai Jaminan Pertanggungan Kecelakaan Diri
bagi Penumpang;
5. Pasal 15 - Pasal 19 mengatur mengenai penuntutan pembayaran ganti kerugian
pertanggungan;
6. Pasal 20 mengatur mengenai larangan-larangan;
7. Pasal 21 - Pasal 24 mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum dan;
8. Pasal 25 - Pasal 26 mengatur mengenai penutup.

1. Pihak-Pihak Dalam Asuransi Wajib Kecelakaan Penumpang


a. Pihak Penanggung (Penguasa Dana)
Penanggung/penguasa dana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 jo Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. Undang-Undang ini
menyebutkan penguasa dana adalah suatu Perusahaan Negara yang khusus ditunjuk
oleh Menteri, dalam hal ini ialah Menteri Keuangan, yaitu PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero), yang telah berubah dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi
Persero berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 1980.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 193

Pasal 2 ini mengatur mengenai “hubungan hukum pertanggungan wajib kecelakaan


penumpang diciptakan antara pembayar iuran dan penguasa dana”. Dalam hal ini
dapat dipahami bahwa penguasa dana berkedudukan sebagai penanggung yang
memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran sebagai
tertanggung.
b. Tertanggung (Pembayar Iuran dana)
Tertanggung didalam pertanggungan wajib kecelakaan penumpang menurut Pasal 3
ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 adalah ;
1) Tiap penumpang dari kendaraan bermotor umum;
2) Tiap penumpang dari kereta api;
3) Tiap penumpang dari pesawat terbang Perusahaan Penerbangan Nasional;
4) Tiap penumpang dari kapal Perusahaan Perkapalan/Pelayaran Nasional.
Penumpang yang dimaksud disini adalah setiap penumpang yang sah yang
wajib membayar iuran melalui perusahaan angkutan yang bersangkutan, kecuali
penumpang angkutan dalam kota. Pertanggungan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 menjadi sah apabila penumpang tersebut sebagai penumpang
yang sah dan telah membayar Iuran Wajib yang dijadikan satu dengan ongkos
angkut serta mendapat tanda bukti.
Tertanggung pada suatu saat akan menerima penggantian kerugian, yaitu ketika
terjadi evenement (peristiwa yang menimbulkan kerugian). Asuransi wajib
berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 terdapat 3 (tiga) pihak yang
mempunyai hubungan hukum, yaitu:
a. Perusahaan Negara yang ditunjuk oleh Menteri; dalam hal ini PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero);
b. Penumpang;
c. Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum.
Hubungan hukum yang terjadi diantara 3 (tiga) pihak tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Hubungan hukum antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan
penumpang sah alat angkutan umum yaitu hubungan hukum pertanggungan,
dalam hal ini PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berkedudukan
sebagai penanggung dan penumpang sah berkedudukan sebagai tertanggung;
b. Hubungan hukum antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
dengan pemilik/pengusaha alat angkutan adalah hubungan inkaso (semacam
pemberian kuasa, tetapi berdasarkan ketentuan hukum publik);
194 Hukum Pengangkutan Laut

c. Hubungan hukum antara pengangkut dengan penumpang, yaitu perjanjian


pengangkutan antara pemilik/pengusaha alat angkutan dengan penumpang
yang sah.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak (Penanggung dan Tertanggung)


Dengan terciptanya hubungan hukum antara pembayar iuran/tertanggung/penumpang
kendaraan umum dengan penguasa dana/penanggung, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964, maka timbullah hak dan kewajiban antara
penanggung dengan tertanggung.
Tertanggung berhak atas penggantian kerugian yang diderita, sebaliknya ia
berkewajiban untuk membayar premi/Iuran Wajib. Disisi lain, penanggung berhak atas
pembayaran iuran/premi dari pembayar iuran/tertanggung, selain itu ia juga berkewajiban
untuk mengganti kerugian apabila terjadi evenement.
a. Kewajiban Tertanggung
Tertanggung yang dalam hal ini penumpang kendaraan umum, diwajibkan untuk
membayar iuran dalam setiap perjalanannya. Jadi dapat dikatakan bahwa sifat
pembayaran iuran tersebut adalah wajib. Sifat wajib ini terlihat dalam Pasal 3 ayat
(1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yaitu “Untuk jaminan pertanggungan kecelakaan
diri dalam Peraturan Pemerintah ini tiap penumpang kendaraan bermotor umum,
kereta api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional, dan kapal perusahaan
perkapalan/pelayaran nasional, untuk tiap perjalanan wajib membayar suatu iuran”.
Pembayaran iuran tersebut dilakukan bersama dengan biaya angkutan, kepada
pengusaha angkutan, yang dalam hal ini bertindak sebagai kuasa dari PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) untuk mengumpulkan premi/Iuran Wajib yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (1) sub a Undang-Undang No
33 Tahun 1964 jo Pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, yang
menyatakan bahwa “Iuran Wajib harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya
pengangkutan penumpang kepada pengusaha alat angkutan penumpang umum
yang bersangkutan”. Karena pembayaran iuran tersebut bersifat wajib, maka sebagai
konsekuensinya terhadap penumpang dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965 yaitu “… seorang penumpang alat pengangkut penumpang
umum yang tidak membayar Iuran Wajib dan minta kupon pertanggungan untuk
itu, diancam dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 25.000,00 (dua puluh
lima ribu rupiah)”.
Adapun besarnya jumlah Iuran Wajib ini bersifat progresif artinya besarnya dapat
berubah-ubah. Besarnya Iuran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang
ditentukan oleh Surat Keputusan Menteri Keuangan, dengan perubahan terakhir
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 195

yaitu Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 415/KMK.06/2001


didalam Pasal 4 ayat (4) adalah sebagai berikut:
1) Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan sampai dengan Rp
750,00 (tujuh ratus lima puluh rupiah) sebesar Rp 60,00 (enam puluh rupiah);
2) Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 750,00
(tujuh ratus lima puluh rupiah) sampai dengan Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah)
sebesar Rp 100,00 (seratus rupiah);
3) Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 5.000,00
(lima ribu rupiah) sampai dengan Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebesar
Rp 200,00 (dua ratus rupiah);
4) Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu
rupiah) sebesar Rp 400,00 (empat ratus rupiah);
5) Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 25.000,00
(dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah).
Pembayaran ganti kerugian pertanggungan yang dilakukan oleh Penanggung dalam
hal ini PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), menurut ketentuan Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tidak mengurangi tanggung jawab dari
pihak pengangkut dan/atau pihak lain yang dapat dipersalahkan menurut hukum
pidana, perdata, atau perjanjian internasional yang bersangkutan untuk kecelakaan
yang terjadi.

b. Hak Tertanggung
Tertanggung mempunyai hak untuk mendapatkan santunan asuransi apabila
mengalami peristiwa yang menyebabkan kecelakaan. Peristiwa yang menyebabkan
kecelakaan tersebut dapat berupa kematian, cacat tetap, maupun cedera/luka-luka.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965
disebutkan orang-orang yang layak untuk mendapatkan santunan yaitu;
1) Korban kecelakaan, apabila korban tidak meninggal dunia;
2) Apabila korban meninggal dunia, maka yang berhak mendapatkan santunan
adalah ahli warisnya yang sah yang terdiri dari ;
a) Janda/dudanya yang sah;
b) Anak-anaknya yang sah, dalam hal ini tidak ada janda/dudanya yang sah;
c) Orang tuanya yang sah, dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah.
Pasal ini juga memberikan ketentuan bahwa hak untuk memperoleh santunan
asuransi tidak boleh diserahkan kepada pihak lain. Hal ini berarti terdapat suatu
pembatasan hak untuk memperoleh santunan hanya kepada orang-orang tertentu
saja, disamping itu juga santunan asuransi tidak boleh digadaikan, dijadikan
196 Hukum Pengangkutan Laut

jaminan, disita ataupun untuk menjalankan putusan hakim. (Pasal 12 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi arti yang sebenarnya dari tujuan
asuransi sosial yang bersifat wajib yang diadakan oleh Pemerintah untuk
memberikan jaminan sosial kepada setiap anggota masyarakat yang mengalami
kecelakaan angkutan umum, karena jika tidak ditentukan seperti demikian tujuan
sebenarnya dari asuransi wajib ini akan hilang.
Tuntutan ganti kerugian pertanggungan diajukan kepada PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero) setempat dengan/tanpa perantaraan pengusaha/pemilik
angkutan umum yang bersangkutan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
terjadinya kecelakaan yang bersangkutan (Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965).
c. Kewajiban Penanggung
Kewajiban penanggung dalam hal ini adalah PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) adalah untuk memberikan santunan kepada pihak tertanggung/pihak
yang mengalami cacat, cidera ataupun kematian; akan tetapi untuk memenuhi
kewajiban tersebut penanggung harus memastikan terlebih dahulu hal-hal sebagai
berikut;
1) Apakah kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan kematian, cacat tetap,
ataupun cidera terjadi pada saat yang ditentukan?
2) Apakah pada saat terjadinya kecelakaan itu merupakan salah satu faktor yang
menentukan?
3) Apakah pihak penumpang yang mengalami kecelakaan itu mempunyai hak,
dalam arti mempunyai kepentingan atau tidak untuk menuntut ganti kerugian
kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)?.
Faktor-faktor inilah yang harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penanggung untuk
memberikan santunan kepada pihak tertanggung/penumpang kendaraan umum
yang mengalami kecelakaan, walaupun tertanggung telah memegang tiket/karcis
secara sah.
Kewajiban pembayaran jumlah besarnya ganti kerugian ditentukan dalam Pasal
11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 jo Pasal10 ayat (2), (3), dan (4).
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ini berbunyi ”besarnya
jumlah pembayaran ganti kerugian dalam hal kematian, cacat tetap, maksimum
penggantian biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter dan penggantian biaya
penguburan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) di atas ditentukan oleh
Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan”; Menteri yang maksud
saat ini ialah Menteri Keuangan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 197

Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa: ”Jaminan yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) yaitu berupa pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal-hal sebagai
berikut:
1) Korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam jangka
waktu 365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan;
2) Korban mendapat cacat tetap karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam
waktu 365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan
dengan cacat tetap adalah bila suatu anggota badan hilang atau tidak dapat
dipergunakan sama sekali atau tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-
lamanya;
3) Adanya biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk
korban karena akibat langsung dari kecelakaan, yang diperlukan dari hari
pertama setelah terjadi kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari;
4) Korban meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, kepada yang
menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya penguburan
Dalam hal cacat tetap yang dimaksudkan dalam ayat (2) sub b Pasal ini, ganti
kerugian pertanggungan dihitung menurut daftar dan perhitungan-perhitungan
lebih lanjut sebagai berikut ;
1). Dalam hal cacat tetap dari: Kanan Kiri
Kedua lengan atau kedua kaki... 100% -
Satu Lengan dan satu kaki... 100% -
Penglihatan dari kedua mata... 100% -
Akal budi seluruhnya dan tidak dapat sembuh yang menyebabkan 100%
tidak dapat melakukan suatu pekerjaan,...
Lengan dari sendi bahu... 70% -
Lengan dari atau di atas sendi siku... 65% -
Tangan dari atau di atas sendi pergelangan tangan... 60% -
Satu kaki... 50% -
Penglihatan dari satu mata... 30% -
Ibu jari tangan... 25% -
Telunjuk tangan... 15% -
Kelingking tangan... 10% -
Jari tengah atau jari manis tangan... 10% -
Tiap-tiap jari kaki... 5% -
198 Hukum Pengangkutan Laut

1). Dalam hal cacat Kanan Kiri


tetap dari:
Kedua lengan atau 100% -
kedua kaki...
Satu Lengan dan
satu kaki... 100% -
Penglihatan dari
kedua mata... 100% -
Akal budi seluruhnya
dan tidak dapat -
sembuh yang
menyebabkan tidak
dapat melakukan 100%
suatu pekerjaan,...

Lengan dari sendi


bahu... 70% - 60%
Lengan dari atau di
atas sendi siku... 65% - 55%
Tangan dari atau
di atas sendi
pergelangan
tangan... 60% - 50%
Satu kaki... 50% - 50%
Penglihatan dari
satu mata... 30% - 30%
Ibu jari tangan... 25% - 20%
Telunjuk tangan...
15% - 10%
Kelingking tangan... 10% - 5%
Jari tengah atau jari
manis tangan... 10% - 5%
Tiap-tiap jari kaki...
5% - 5%

2) Jika korban orang kidal, maka presentasi-presentasi yang ditetapkan di atas


untuk anggota-anggota badan kanan berlaku untuk anggota-anggota badan
kiri, dan begitu pula sebaliknya;
3) Untuk sesuatu cacat tetap yang tidak tercantum dalam daftar tersebut di atas,
presentasi ditetapkan oleh Direksi Perusahaan, seimbang dengan tingkatan
cacat tetap yang tercantum dalam daftar;
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 199

4) Dalam hal cacat tetap beberapa anggota badan yang disebut di atas ini, besarnya
ganti kerugian pertanggungan ditetapkan dengan menjumlahkan presentasi-
presentasi dari tiap-tiap anggota badan itu, akan tetapi ganti kerugian tersebut
adalah dibatasi sampai setinggi-tingginya 100%;
5) Dalam hal cacat tetap dari jari-jari sesuatu tangan, pembayaran ganti kerugian
pertanggungan tidak akan diberikan lebih dari presentasi yang ditetapkan
untuk cacat tetap suatu tangan;
6) Untuk kehilangan sesuatu anggota badan yang sudah sejak semula tidak dapat
dipergunakan, tidak diberikan ganti kerugian pertanggungan;
7) Dalam hal cacat tetap yang telah diakui kemudian menimbulkan cacat tetap
selanjutnya yang sifatnya merupakan rangkaian dan lebih luas dari cacat tetap
semula dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, maka diberikan
tambahan pembayaran ganti kerugian sebesar selisih dari jumlah yang telah
ditetapkan semula;
8) Dalam hal cacat tetap yang telah diakui kemudian menyebabkan kematian dalam
waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, maka kematianlah yang dianggap
sebagai satu-satunya sebab pembayaran ganti kerugian pertanggungan dan yang
dibayarkan adalah setinggi-tingginya jumlah ganti kerugian pertanggungan
untuk kematian seperti dimaksudkan dalam ayat (2) sub a pasal ini.
Penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan korban untuk biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter diatur dalam Pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa ;
1) Ganti kerugian pertanggungan untuk penggantian biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter yang dimaksudkan pada ayat (2) sub c Pasal ini, adalah
tidak terlepas dari soal apakah korban mempunyai hak atau tidak atas ganti
kerugian pertanggungan untuk kematian dan cacat tetap yang dimaksudkan
pada ayat (2) sub a dan b Pasal ini;
2) Ganti kerugian pertanggungan untuk penggantian biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter, adalah sebagai tambahan dan tidak dikurangkan dari ganti
kerugian pertanggungan untuk kematian dan cacat tetap yang dimaksudkan
pada ayat (2) sub a dan b pasal ini;
3) Untuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pengobatan dokter
sesudah 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, tidak diberikan ganti kerugian
pertanggungan.
Biaya rawatan yang dijamin adalah yang dilaksanakan oleh dokter, rumah sakit,
puskesmas, yang diperlukan untuk penyembuhan atau pengobatan cidera yang
diderita korban akibat kecelakaan yang dialami, dimulai dari hari pertama
kecelakaan sampai dengan 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari yang berupa ;
200 Hukum Pengangkutan Laut

1) Honor dokter;
2) Pertolongan Pertama Pada kecelakaan (P 3 K);
3) Biaya ambulance dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) sampai dengan Rumah
Sakit (RS), dapat dibayarkan sesuai dengan kebijakan yang berlaku;
4) Rawat inap selama di rumah sakit ;
5) Foto Rontgen;
6) Pembedahan/operasi;
7) Obat-obatan atas resep dokter;
8) Rawat jalan ke rumah sakit/puskesmas/dokter, sepanjang ada rujukan/
persetujuan dari rumah sakit/puskesmas/dokter yang merawat korban pertama
kali;
9) Pemeriksaan dokter pertama kali dengan indikasi yang tepat untuk
penyembuhan korban yang diperlukan menurut pendapat dokter, kecuali biaya
pembelian anggota badan buatan, seperti kaki, tangan buatan, gigi, dan/atau
mata palsu dan lain sebagainya.
d. Hak Penanggung
Hak penanggung didalam pertanggungan wajib kecelakaan penumpang adalah
menuntut pembayaran premi dari penumpang kendaraan umum tersebut. Hak
untuk menuntut dari penanggung bukanlah merupakan masalah yang sulit, karena
tertanggung apabila ingin melakukan suatu perjalanan dan akan menumpang
kendaraan umum, secara otomatis sudah membayar iuran bersama-sama dengan
biaya angkutan.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 menyatakan bahwa ”tiada karcis
atau tiket alat angkutan penumpang umum boleh dijual atau dikeluarkan kepada seseorang
oleh petugas yang berwenang dari pengusaha alat angkutan penumpang umum yang
bersangkutan, tanpa sekaligus memungut Iuran Wajib”.

3. Pengecualian Pembayaran Premi


Dalam Pasal 3 ayat (1) sub b dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 telah ditetapkan bahwa ”penumpang
kendaraan bermotor umum didalam kota dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib”
Selain itu, kendaraan atau alat angkutan penumpang umum lain yang dibebaskan
oleh Pemerintah dari membayar Iuran Wajib, ialah:
a. Penumpang kendaraan bermotor umum didalam kota;
b. Penumpang kereta api dalam kota;
c. Penumpang kereta api ringbaan;
d. Penumpang kereta api jarak pendek kurang dari 50 Kilometer
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 201

Pembebasan pembayaran Iuran Wajib ini tidak berarti bahwa apabila penumpang
yang mengalami kecelakaan selama berjalannya pengangkutan tidak mendapat bantuan
atau ganti kerugian dari Pemerintah. Dengan tegas didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965 ditetapkan bahwa ”penumpang-penumpang yang mendapat
kecelakaan selama dalam alat angkutan penumpang tersebut tetap diberi hak menikmati
penggantian kerugian”. Hal ini berdasarkan pertanggungan kecelakaan menurut syarat-
syarat sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Selanjutnya menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ”pembayaran Iuran Wajib harus dilakukan
selambat-lambatnya tanggal 27 setiap bulannya secara langsung melalui Bank atau badan
asuransi lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menurut cara yang ditentukan oleh
Direksi”.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 22
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 menyatakan “perusahaan yang melakukan
kelalaian dalam melakukan kewajiban untuk memungut Iuran Wajib ataupun tidak
menyetorkan hasil pendapatannya akan dijatuhi hukuman setinggi-tingginya Rp
1.000.000,00 dan ditambah lagi dengan pencabutan ijin usaha untuk paling lama 3 (tiga)
bulan bagi pengusaha/pemilik angkutan umum yang bersangkutan”.

4. Unsur Kepentingan
Didalam Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang ini, faktor kepentingan tidak selalu
harus ada antara pihak yang mengikatkan diri dengan penguasa dana (penanggung). Ini
dapat dijumpai bilamana peristiwa yang menimpanya itu menimbulkan kematian bagi
pembayar Iuran Wajib.
Dalam hal demikian pembayar Iuran Wajib itu sendiri tidak akan mendapat ganti
kerugian, yang memperoleh ganti kerugian ialah orang lain. Ketentuan ini terdapat didalam
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 disebutkan:
a. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
b. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
c. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Penumpang disini adalah orang yang berkepentingan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yang menyebutkan
”dalam hal korban tidak meninggal dunia, ganti kerugian pertanggungan diberikan kepada
korban”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa unsur kepentingan
dapat muncul jika penumpang tidak meninggal dunia tetapi mengalami cedera.
202 Hukum Pengangkutan Laut

5. Evenement
Pengaturan saat mulai dan berakhirnya ancaman bahaya kecelakaan yang dijamin oleh
penanggung menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965
ialah ”setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat
terbang perusahaan penerbangan nasional, kapal perusahaan perkapalan/pelayaran
nasional, termasuk penumpang angkutan kota yang dibebaskan dari kewajiban membayar
iuran, diberi jaminan pertanggungan kecelakaan diri selama penumpang tersebut berada
dalam alat angkutan yang disediakan oleh perusahaan angkutan, untuk jangka waktu
antara penumpang saat penumpang naik alat angkutan yang bersangkutan ditempat
berangkat dan saat turun dari alat angkutan tersebut ditempat tujuan menurut karcis/tiket
yang berlaku untuk perjalanan/penerbangan yang bersangkutan”.
Berdasarkan ketentuan ini berarti bahwa jika terjadi kecelakaan-kecelakaan diluar
saat-saat yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1965, maka pihak asuransi tidak lagi berkewajiban untuk memberikan santunan, dan
sebaliknya pihak korban yang mengalami cacat, luka/cidera dan ahli waris dari korban
yang meninggal dunia tidak mempunyai hak/kepentingan atas santunan asuransi.
Peristiwa yang ditanggung didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 adalah
pada saat penumpang naik alat angkutan/berada di atas alat angkut dan pada saat dia turun
dari alat angkut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965 yaitu:
a. Dalam hal kendaraan bermotor umum;
Antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan ditempat berangkat dan
saat turunnya dari kendaran tersebut ditempat tujuan.
b. Dalam hal kereta api;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan kereta api ditempat berangkat dan saat
turunnya dari alat angkutan perusahaan kereta api ditempat tujuan menurut karcis
yang berlaku untuk perjalanan yang bersangkutan.
c. Dalam hal pesawat terbang;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan penerbangan yang bersangkutan atau
agennya ditempat berangkat dan saat meninggalkan tangga pesawat terbang yang
ditumpanginya ditempat tujuan menurut tiketnya yang berlaku untuk penerbangan
yang bersangkutan.
d. Dalam hal kapal;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan perkapalan/pelayaran yang bersangkutan
ditempat berangkat dan saat turun didaratan pelabuhan tujuan menurut tiket yang
berlaku untuk perjalanan kapal yang bersangkutan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 203

6. Proses Penggantian Kerugian


Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada Direksi PT Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero) untuk mengatur cara melaksanakan pembayaran santunan. Hal ini
diatur didalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. Wewenang
yang diberikan untuk mengatur itu harus dilandasi oleh suatu ketentuan yaitu:
a. Petunjuk atau persetujuan Menteri.
b. Secara mudah tanpa pembebanan kepada pihak yang berhak, artinya tidak dengan
pungutan biaya-biaya;
Instansi terkait/instansi pembantu juga diperlukan dalam proses penggantian
kerugian/proses penyelesaian santunan. Tugas dari instansi-instansi yang dikutsertakan
didalam proses pelaksanaan penggantian kerugian itu hanyalah sebagai tugas untuk
membantu melayani tuntutan-tuntutan pembayaran ganti kerugian. Badan-badan
pembantu ini menurut Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ialah:
a. Pengusaha/pemilik angkutan;
b. Instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan persetujuan dengan
Menteri yang bersangkutan;
c. Pihak-Pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Direksi Perusahaan.
Bantuan dari semua pihak di atas dimaksudkan untuk memperlancar proses
pelaksanaan penggantian kerugian oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero), jadi bukan supaya jalannya proses itu menjadi lambat karena melalui
beberapa instansi. Bantuan-Bantuan yang dimaksudkan tidak hanya merupakan
pemberian keterangan-keterangan mengenai kecelakaan itu sendiri tetapi juga
mengenai diri korban itu sendiri, sehingga dengan adanya keterangan itu, pihak
dari Jasa Raharja memperoleh keyakinan bahwa orang yang mengajukan tuntutan
penggantian kerugian itu berhak menerima penggantian kerugian.
Proses penggantian kerugian dapat dilakukan dengan cara melengkapi hal-hal sebagai
berikut;
a. Kelengkapan Dokumen Santunan. Dokumen santunan harus diajukan oleh ahli
waris ataupun oleh korban itu sendiri. Dokumen santunan terdiri dari dokumen
dasar dan dokumen pendukung;
b. Pengisian dan penandatanganan pengajuan dokumen santunan. Pengisian dan
penandatanganan dokumen santunan ini dilakukan sebagaimana formulir yang
sudah disiapkan, yaitu lembar pertama (formulir pengajuan santunan) diisi oleh
pihak yang mengajukan ganti kerugian; lembar kedua (formulir kesehatan korban)
diisi oleh dokter yang merawat korban/dokter rumah sakit; dan lembar ketiga
(formulir singkat kejadian) yang berupa keterangan mengenai ahli waris, diisi oleh
Pamong Praja atau pihak lain yang berwenang sesuai dengan domisili ahli waris;
204 Hukum Pengangkutan Laut

c. Pengisian dan penandatanganan formulir keterangan singkat kecelakaan. Formulir


ini diisi dan ditandatangani oleh petugas Jasa Raharja (Sub Perwakilan/Penanggung
Jawab Samsat/Ajun Surveyor/PA Pelayanan dan diketahui oleh Kepala Bagian/
Kepala Unit/Kepala Perwakilan);
d. dan yang terakhir ialah penerimaan berkas santunan oleh PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero)

7. Tunggakan Iuran Wajib


Adanya tunggakan pembayaran Iuran Wajib dari pengusaha alat angkutan umum tidak
mempengaruhi hak penumpang kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
sebagai penanggung untuk mendapatkan santunan. Santunan tetap akan diberikan oleh PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) kepada penumpang yang mengalami kecelakaan.
Pemberian santunan didasarkan karena adanya pemisahan hubungan hukum antara PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), dengan penumpang alat angkutan umum, dan
dengan pengangkut.
Hubungan hukum yang terjadi antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
dengan pemilik/pengusaha alat angkutan adalah hubungan inkso, di mana pengangkut
bertindak sebagai kuasa dari penumpang. Dilain pihak, hubungan hukum yang timbul
antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan penumpang merupakan suatu
hubungan pertanggungan; dalam hal ini PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
berkedudukan sebagai penanggung sedangkan penumpang berkedudukan sebagai
tertanggung.
Dengan demikian, apabila penumpang alat angkutan umum tersebut sudah terbukti
sebagai penumpang yang sah dan telah memenuhi kewajibannya, maka penumpang
tersebut terjamin berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 apabila alat angkutan yang dinaikinya mengalami
kecelakaan dalam perjalanan.

D. Tanggung Jawab PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) terhadap


penumpang KM Senopati Nusantara dalam hal pengangkut tidak
menyetor Iuran Wajib kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Sebagaimana telah dijelaskan, penguasa dana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
33 Tahun 1964 jo Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, yang menyebutkan
bahwa ”penguasa dana adalah suatu perusahaan negara yang ditunjuk oleh Menteri, dalam
hal ini yaitu Menteri Keuangan adalah PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)”. Pasal
2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 juga mengatur mengenai “hubungan hukum
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang diciptakan antara pembayar iuran dan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 205

penguasa dana”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa penguasa dana berkedudukan sebagai
penanggung yang memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran
sebagai tertanggung. Penumpang yang sah dari alat angkutan umum yang disebut sebagai
tertanggung atau pembayar Iuran Wajib menurut Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965
adalah ;
1. Penumpang dari kendaraan bermotor umum;
2. Penumpang dari kereta api;
3. Penumpang dari pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional;
4. Penumpang dari kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional.
Penanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan santunan kepada pihak
tertanggung ketika mengalami kecelakaan yang berakibat kematian dan cacat tetap.
Besarnya ganti kerugian ditentukan dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 jo Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4), ditentukan oleh Menteri Keuangan. Disisi
lain, penanggung mempunyai hak untuk menuntut pembayaran premi dari penumpang
kendaraan umum tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964. Pembayaran santunan akan diberikan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana yang tercantum pada hal.74.
Tertanggung mempunyai kewajiban untuk membayar Iuran Wajib dalam setiap
perjalanannya. Pembayaran iuran ini bersifat wajib sebagaimana tercantum dalam Pasal 3
ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965. Pembayaran Iuran wajib tersebut dilakukan bersama-sama dengan
pembayaran biaya angkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Adapun besarnya Iuran Wajib yang harus dibayar oleh tertanggung ditentukan dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001, yaitu didalam Pasal 4 ayat (4).
Tertanggung mempunyai hak untuk mendapatkan santunan dari penanggung (PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)) ketika ia mengalami kecelakaan yang berakibat
kematian dan cacat tetap. Tuntutan ganti kerugian pertanggungan dapat diajukan kepada
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) setempat oleh korban/ahli warisnya seperti
yang tercantum dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 baik tanpa/
melalui perantaraan perusahaan angkutan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
terjadinya kecelakaan yang bersangkutan. Pengaturan jangka waktu ini diatur dalam Pasal
16 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pada kasus kecelakaan KM Senopati Nusantara yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2006, di mana kapal tersebut mengangkut 545 (lima ratus empat puluh lima) orang
penumpang dan 27 (dua puluh tujuh) orang Anak Buah Kapal/ABK; peristiwa tersebut
menyebabkan;
206 Hukum Pengangkutan Laut

1. Sebanyak 12 (dua belas) orang Anak Buah Kapal/ABK ditemukan selamat dan
sebanyak 15 (lima belas) orang Anak Buah Kapal/ABK tidak diketemukan;
2. Sebanyak 221 (dua ratus dua puluh satu) orang penumpang selamat, 45 (empat
puluh lima) orang penumpang meninggal dunia, serta menyebabkan 279 (dua ratus
tujuh puluh sembilan) orang penumpang tidak diketemukan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada kasus KM Senopati Nusantara ini, yaitu
ternyata tidak semua penumpang tercantum dalam manifest dan uang hasil pemungutan
Iuran Wajib tersebut tidak disetorkan kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero);
namun demikian kenyataannya santunan tetap dibayar oleh PT Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero).
Dalam kaitannya dengan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), maka PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang harus memberikan
santunan kepada korban ataupun kepada ahli warisnya.
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) sebelum memberikan santunan harus
meneliti terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan dengan kecelakaan, misalnya
apakah penumpang yang mengalami kecelakaan itu mempunyai hak untuk menuntut ganti
kerugian kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bahwa hubungan hukum yang
terjadi antara penumpang dengan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan
penumpang merupakan hubungan pertanggungan, dalam hal ini penumpang berkedudukan
sebagai tertanggung, sedangkan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berkedudukan
sebagai penanggung, misalnya apabila sudah dapat dibuktikan bahwa penumpang tersebut
adalah sah sebagai penumpang Kapal Motor Senopati Nusantara, maka PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan membayarkan santunannya, walaupun KM Senopati
Nusantara secara sengaja tidak menyetorkan jumlah Iuran Wajib yang telah dikumpulkan
oleh pengangkut dan yang harus dibayarkan.
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berhak untuk melakukan penuntutan
kepada KM Senopati Nusantara akibat tidak disetorkannya Iuran Wajib Kepada PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 8
UU Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pemerintah juga dapat memberikan sanksi tegas kepada KM Senopati Nusantara
akibat tidak menyetorkan Iuran Wajib Kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
yaitu berupa denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sesuai dengan
Pasal 8 UU Nomor 33 Tahun 1964 ataupun dapat berupa pencabutan ijin usaha untuk
selama-lamanya 3 (tiga) bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 207

Selanjutnya hubungan hukum yang terjadi antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) dengan pengangkut merupakan suatu hubungan inkso, di mana KM Senopati
Nusantara hanya sebagai perantara dari penumpang untuk menyetorkan Iuran Wajib
kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Jumlah iuran wajib yang harus dibayarkan oleh KM Senopati Nusantara adalah
sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah) perpenumpang. Besar iuran wajib ini sudah sesuai
dengan Pasal 4 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001. Iuran
Wajib ini pada praktiknya dapat disetorkan langsung kepada Bank atau Badan Asuransi
yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1965, jika jumlah
Iuran Wajib yang dibayarkan oleh pengangkut besar; ataupun dapat dilakukan oleh petugas
dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan mendatangi tempat pengangkut
jika jumlah Iuran Wajib yang disetorkannya kecil.
Kelalaian KM Senopati Nusantara untuk menyetorkan Iuran Wajib dapat dikenakan
sanksi yaitu berupa hukuman denda setinggi-tingginya sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964
dan juga dapat dikenakan pencabutan ijin usaha untuk selama-lamanya 3 (tiga) bulan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pada praktiknya jika pengangkut lalai atau sengaja tidak menyetorkan Iuran Wajibnya
tidak akan diberikan suatu hukuman. Tindakan yang dilakukan hanya berupa musyawarah
antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan pengangkut, dalam kasus ini
yaitu KM Senopati Nusantara. Pada kasus ini PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 dikarenakan KM Senopati
Nusantara lalai untuk menyetorkan Iuran Wajib.
Pada praktiknya untuk menentukan seseorang termasuk kedalam korban kecelakaan
alat angkutan umum dan berhak untuk menerima santunan, perlu dilakukan survei. Survei
dilakukan oleh petugas PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan mendatangi
tempat tinggal korban ataupun ahli warisnya. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi dari saksi disekitar lokasi kejadian dan saksi dari orang-orang disekitar
tempat tinggal korban, mendapatkan informasi dari pejabat atau rekan korban maupun
mendapatkan informasi kecelakaan dari rumah sakit. Pelaksanaan survei terhadap ahli
waris korban dilakukan guna mendapatkan informasi terkait dari pihak-pihak yang
terdekat dengan ahli waris korban seperti ;
1. Tetangga korban;
2. Ketua Rukun Tetangga/RT, Rukun Warga/RW di tempat domisili korban;
3. Bagian Personalia tempat korban bekerja;
4. Keluarga korban.
208 Hukum Pengangkutan Laut

Untuk korban yang namanya tidak tercantum dalam manifest, hasil survei yang telah
dilakukan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan dikonfirmasi kepada
KM Senopati Nusantara apakah penumpang yang bersangkutan termasuk kedalam korban
kecelakaan tersebut. PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan menolak untuk
memberikan santunan jika pengangkut (KM Senopati Nusantara) menyatakan bahwa
korban tidak termasuk kedalam penumpang yang mengalami kecelakaan.
Untuk mengajukan klaim/santunan, seorang ahli waris atau korban kecelakaan
tersebut harus mengajukan beberapa dokumen. Dokuemen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Formulir pengajuan santunan, diisi dan ditandatangani oleh pihak yang mengajukan
santunan;
2. Formulir kesehatan korban akibat kecelakaan; diisi dan ditandatangani oleh dokter
yang merawat korban/dokter/rumah sakit;
3. Keterangan ahli waris; lembaran ini diisi dan ditandatangani oleh Pamong Praja
sesuai dengan domisili ahli waris, atau pihak lain yang berwenang dalam menetapkan
ahli waris;
4. Keterangan singkat kejadian; diisi dan ditandatangani oleh petugas Jasa Raharja (Sub
Perwakilan/Penanggung Jawab Samsat/Ajun Surveyor/PA Pelayanan dan diketahui
oleh Kepala Bagian/Kepala Unit/Kepala Perwakilan).
Selain dokumen dasar di atas, diperlukan juga dokumen pendukung yang menjadi
syarat dalam mengajukan santunan. Adapun dokumen-dokumen pendukung tersebut
antara lain;
1. Laporan polisi berikut sketsa Tempat Kejadian Perkara/TKP atau laporan kecelakaan
pihak yang berwenang lainnya;
2. Kwitansi asli biaya rawatan;
3. Kartu Tanda Penduduk/KTP atau identitas lain yang berlaku;
4. Akte Kelahiran/Akte Kenal Lahir;
5. Surat Nikah;
6. Kartu Keluarga/KK
7. Keterangan cacat tetap dari dokter; serts
8. dokumen lain yang dianggap perlu.

Pada kasus KM Senopati Nusantara ini, cara pengajuan klaim/santunan yang dapat
dilakukan oleh Ny Sumirah selaku ahli waris dari Bapak Muhammad Nur yang merupakan
salah satu korban dari kecelakaan KM Senopati Nusantara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengisi formulir pengajuan santunan. Formulir pengajuan santunan ini dapat
dilakukan oleh pihak yang mengajukan santunan baik dilakukan oleh korban sendiri
maupun oleh ahli warisnya. Untuk kasus ini pengisian formulir santunan dilakukan
oleh Ny Sumirah selaku ahli waris dari Bapak Muhammad Nur/Nawir. Formulir ini
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 209

ditandatangani oleh Ny Sumirah dan diterima serta ditandatangani pada tanggal 9


April 2007 oleh Petugas Jasa Raharja yang bernama Lelly;
2. Mengisi formulir keterangan ahli waris. Ny Sumirah harus membuat formulir ini
dikarenakan suaminya yaitu Bapak Muhammad Nur/Nawir merupakan korban
meninggal dunia dalam kecelakaan KM Senopati Nusantara. Formulir keterangan
ahli waris ini diisi dan ditandatangani oleh Pamong Praja sesuai dengan domisili ahli
waris, dalam hal ini dilakukan oleh Bapak Budi Santoso selaku Kepala Kelurahan
Penjaringan;
3. Mengisi formulir keterangan singkat kejadian kecelakaan. Formulir ini berisi
keterangan singkat kejadian kapal serta diisi dan ditandatangani oleh petugas
Jasa Raharja, dalam hal ini diisi oleh Bapak H Darsono S.E dan diketahui oleh
Kepala Bagian/Kepala Unit/Kepala Perwakilan dalam hal ini yaitu Bapak Miskam
Setiawan S.H pada bulan Januari 2007 di Semarang. Formulir ini antara lain berisi
kasus kecelakaan KM Senopati Nusantara berdasarkan laporan Nahkoda Wiratna,
identitas dan sifat cidera korban akibat kecelakaan serta kesimpulan kecelakaan.
Selain dokumen-dokumen tersebut di atas sebagai dokumen dasar, dalam pengajuan
santunan juga diperlukan dokumen pendukung. Dokumen-dokumen yang diperlukan
tersebut antara lain ;
1. Kartu Tanda Penduduk Ny Sumirah selaku ahli waris korban yang beralamat di Jalan
Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan Kartu Tanda
Penduduk Bapak Muhammad Nur/Nawir yang merupakan korban KM Senopati
Nusantara yang beralamat di Dusun Canbai, Lampung Selatan;
2. Surat Nikah antara Ny Sumirah dengan Bapak Muhammad Nur Dari Kantor Urusan
Agama di Kecamatan Batu Jaya, Kabupaten Kerawang, Provinsi Jawa Barat;
3. Surat Pernyataan dari Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara mengenai
pernyataan bahwa Ny Sumirah merupakan isteri dari Bapak Muhammad Nur yang
merupakan salah satu korban dari KM Senopati Nusantara;
4. Blanko Ante Moetem (laporan kehilangan) Korban KM Senopati Nusantara yang
berisi laporan Ny Sumirah mengenai Bapak Muhammad Nur yang merupakan
korban KM Senopati Nusantara;
5. Formulir isian data korban dan keluarga korban (eks penumpang KM Senopati
Nusantara), yang menyatakan bahwa pelapor dalam hal ini Ny Sumirah yang
merupakan isteri dari Bapak Muhammad Nur di mana suaminya (Bapak Muhammad
Nur) merupakan penumpang korban KM Senopati Nusantara yang mengalami
musibah pada tanggal 29 Desember 2006.

Dengan dipenuhinya persyaratan-persyaratan pengajuan klaim/santunan oleh Ny


Sumirah di atas, maka dia berhak untuk mendapatkan uang santunan; selain itu juga dalam
210 Hukum Pengangkutan Laut

pemberian santunan juga harus diperhatikan unsur kepentingan. Unsur kepentingan ini
menjadi penting terkait dengan pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian.
Pihak yang berkepentingan ini adalah korban ataupun ahli waris korban (jika korban
meninggal dunia) yang mengalami kecelakaan, sehingga berdasarkan hal tersebut maka Ny
Sumirah berhak menerima santunan dikarenakan dia sebagai pihak yang berkepentingan
dikarenakan suaminya meninggal dunia dalam kecelakaan KM Senopati Nusantara.
Praktik dilapangan, selain hal-hal di atas terhadap korban yang jasadnya tidak
diketemukan diperlukan persyaratan lain yang harus diberikan oleh ahli waris. Ahli waris
harus menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa ahli waris bersedia
menerima Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Pesero), yang
mana apabila dikemudian hari korban yang namanya dicantumkan didalam surat
pernyataan tersebut diketemukan hidup, maka ahli waris bersedia untuk mengembalikan
dana santunan tersebut. Surat Pernyataan ini dilengkapi dengan materai Rp 6.000,00 (enam
ribu rupiah) dan disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala Kelurahan di mana ahli waris
berdomisili.
Ny Sumirah selaku isteri (ahli waris) dari Bapak Muhammad Nuh yang merupakan
korban KM Senopati Nusantara yang jasadnya tidak diketemukan, maka sebelum menerima
uang santunan ia harus membuat surat pernyataan. Surat pernyataan ini menyatakan
kesanggupan Ny Sumirah untuk mengembalikan uang santunan kepada PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) jika dikemudian hari Bapak Muhammad Nuh diketemukan
selamat, maka dia sanggup untuk mengembalikan uang santunan. Pernyataan tersebut
ditandatangani oleh Ny Sumirah di atas materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) serta
disaksikan, dibenarkan, ditandatangani, dan diberi cap oleh Kepala Kelurahan Penjaringan
yaitu Bapak Budi Santoso dan pernyataan tersebut dikuatkan dan ditandatangani oleh
Kepala Kecamatan Penjaringan, yaitu Dra Yudhi Dwi Dharma. Dengan demikian, hal yang
dilakukan Ny Sumirah ini telah sesuai dengan persyaratan dalam mendapatkan santunan
dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 mengatur mengenai pihak-
pihak yang berhak pemberian santunan. Pasal ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang
berhak memperoleh santunan ialah;
1. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
3. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, maka Ny Sumirah adalah ahli waris yang
sah dari Bapak Muhammad. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965; oleh karena itu dia berhak untuk mendapatkan uang santunan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 211

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) sub a Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/
KMK.06/2001 bahwa terhadap korban meninggal akan diberikan santunan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Akibat kecelakaan KM Senopati Nusantara, PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) memberikan santunan kepada Ny Sumirah
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dikarenakan suaminya meninggal dunia
akibat peristiwa kecelakaan tersebut.
Unsur kepentingan terhadap korban meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli
waris, maka akan diberikan uang penggantian biaya penguburan kepada pihak yang
menyelenggarakan penguburan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Pasal 3
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001. Salah satu contohnya ialah
Fajar Rakhman (19 tahun) warga Jalan Abdul Azis RT 04 RW 01, Kelurahan Kumai Hulu,
Kecamatan Kumai, Pangkalan Bun. Dikarenakan dia tidak mempunyai ahli waris yang
sah, maka uang penggantian biaya penguburan diberikan kepada pihak yang melakukan
penguburan. Hal ini juga telah sesuai dengan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
415/KMK.06/2001.
Terhadap korban yang tidak mempunyai ahli waris diberikan uang penggantian
biaya penguburan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pihak yang melakukan
penguburan; sehingga terhadap Fajar Rakhman diberikan uang penggantian biaya
penguburan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada pihak yang melakukan
penguburan diakibatkan dia tidak mempunyai ahli waris. Pemberian santunan yang
dilakukan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001.
Pada akhirnya santunan dilihat dari sudut pandang perusahaan terdapat 2 (dua) tujuan
penyelesaian yaitu; pertama adalah untuk memverifikasi kerugian yang dapat ditanggung
dan yang kedua adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kecepatan penyelesaian
santunan.
1. Tujuan pertama adalah untuk memverifikasi kerugian yang dapat ditanggung, yakni
untuk menilai kerugian apakah kerugian yang dapat ditanggung tersebut benar-
benar terjadi;
2. Tujuan kedua adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kecepatan penyelesaian
santunan. Hal ini bahwa perusahaan harus menghindari penyelesaian santunan
yang lebih besar daripada yang seharusnya, selain itu mencegah pemberian santunan
yang tidak sah.
212 Hukum Pengangkutan Laut
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 213

DAFTAR PUSTAKA

Buku
[1] Abdulkadir Muhammad, “Hukum Pengangkutan Niaga”, Citra Aditya Bakti, Bandung,
( 2013)
[2] Andi Hamzah, Kamus Hukum , Jakarta, ( 1986)
[3] Bryan A Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, ED. 8, St. Paul Minnesota: Thomson
West
[4] Direktorat Perhubungan Laut Indonesia, Tol Laut, Jakarta, Percetakan Direktorat
Perhubungan Laut, , Juni 2017
[5] H. Djafar Al Bram, “Pengantar Hukum Pengangkutan Laut”, Cetakan Ke – II, Fakultas
Hukum Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, (2011)
[6] H.M.N. Purwosutjipto,, “Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia”, Jilid III,
Djambatan, Jakarta, (2013)
[7] H.M.N. Purwosutjipto, “Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengangkutan
Darat dan Perairan Darat 5”, Jakarta: Djambatan, ( 2000).
[8] Jenny Barmawi, “Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Barang Melalui
Lautan”, Diktat Seminar, Universitas Airlangga, 20 Agustus – 2 September 1989.
[9] Mahmud Siregar dan M Iqbal Asnawi, 2012, “Cabotage Principle Pada Regulasi Jasa
Angkutan dalam Perairan Indonesia dari Perspektif Sistem Perdagangan Multilateral
WTO/GATS
[10] Martono dan Eka Budi Tjahjono, “Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, (2011)
[11] PT. Pelabuhan Indonesia (Persero), Pelabuhan Indonesia Jilid I-V, Jakarta, Percetakan
Pelabuhan Indonesia, 2002
[12] Sution Usman Adji, et.all, Transport Constitution in Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta,
1990
[13] Subekti, “Hukum Perjanjian”, Jakarta (2002)
[14] Suyono, RP. (2003). Pengangkutan Intermodal Eksport-Import Melalui Laut, Jakarta,
PPM
[15] Siti Utari, “Pengangkutan Laut Di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis)”, Jakarta: Balai
Pustaka, (1994)
[16] Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, Jakarta: PT. Intermasa, (1994)
[17] Touwen, Jeroen. (2001). Shipping and Trade in The Java Sea Region: a Collection of
Statistics on The Major Java Sea Part, Leiden. KITLV Press

213
214 Hukum Pengangkutan Laut

[18] Tim Penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ( 1990)
[19] The American Heritage Distionary of the English Language, Fourth Edition
[20] Umar M.Husseyn, Umar Chandra, Motik Yusuf, Peraturan Angkutan Laut, Dalam
Deregulasi, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992)
[21] Umar, M. Hussein, 2016. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di
Indonesia, Buku ke I, Penerbit: Fikahati Aneska, Jakarta
[22] Umar, M. Hussein, 2016. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di
Indonesia, Buku ke II, Penerbit: Fikahati Aneska, Jakarta

Artikel Jurnal
[1] Adnandaka Nurvigya, Alfian Nanung dan Rizki Nur Annisa, “Menelaah Waktu
Terjadinya Risiko (Kehilangan/Kerusakan Barang) Dalam Praktik Proses Pengangkutan
Laut”, Jurnal Gema, Tahun XXVII/50/Februari-Juli 2015, ISSN:0215-3092, (2015),
pp. 1993-2000.
[2] Bambang Winarso, “Peran Angkutan Laut dalam Meningkatkan Distribusi Ternak
Sapi Potong dari Daerah Produsen ke wilayah Konsumen”, Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan Vol. 14(2), ISSN 1410-5020, (2017), pp. 82-96.
[3] Donald Supit, “Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Kargo Udara
Domestik, Jurnal Hukum Unsrat” , Vol. I/No.3/Juli-September/2013, Https://ejournal.
unsrat.ac.id, Diakses pada tanggal 3 Februari 2020
[4] Hari Utomo,” Siapa Yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan
Kapal”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 01,(Maret 2017), pp. 57-76
[5] Herman Susetyo,” Tanggung Jawab Nakhoda Pada Kecelakaan Kapal Dalam
Pengangkutan Penumpang dan Barang Melalui Laut di Indonesia”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Jilid 39 No. 1, Maret (2010) h.8-16
[6] Nober Marthen, “Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Nakhoda dalam Pengangkutan
Barang di Laut”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 6, Volume 3, (Tahun 2015)
[7] Samuel Ronatio Adinugroho dan Anung Aditya Tjahja, Tanggung Jawab Nakhoda
Atas Keselamatan Muatan Dalam Perspektif Hukum Pelayaran, Jurnal Dunia Hukum,
Program Doktor Ilmu Hukum- Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Semarang,
Volume 3 Nomor 1, Oktober (2018), Https://Jurnal.untagsmg.ac.id
[8] Surahman, “Tanggung Jawab Pidana Terhadap Nakhoda Kapal yang Melayarkan
Kapalnya Tanpa Laik Laut Sesuai Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari Syahbandar
Berdasarkan Peraturan-Perundang-Undangan (Studi di Kantor Kesyahbandaran dan
Otoritas Pelabuhan Pontianak, Jurnal Nestor Magister Hukum,Vol. 4, No. 4, Https://
jurnal.untan.ac.id , (2018), Diakses pada Tanggal 6 Februari 2020
[9] Suwardi, “ Tanggung Jawab Pengangkut Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang”,
Universitas Narotama Surabaya, Volume XX , 20 April 2011, Https://journalnarotama.
ac.id , (2011)Diakses pada Tanggal 2 Februari 2020
[10] Vicky Hanggara Alexandro dan Mety Rahmawaty, “ Pertanggung jawaban Pidana
Terhadap Kecelakaan Kapal Akibat Tidak Laik Laut”, E-Journal Untar, http E-Journal
Untar, Https://journal.untar.ac.id , (2019)Diakses pada Tanggal 6 Februari 2020
Daftar Pustaka 215

Peraturan
[1] SOLAS (Safety Of Life At Sea) 1974/1978
[2] Hague Rules 1924
[3] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[4] Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
[5] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
[6] Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
[7] Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan
dan Pengusahaan

Website
[1] Http://id.wikipedia.org/wiki/pelaut. Sejarah Pendidikan Pelaut di Indonesia, 12
Februari 2010, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020).
[2] Sumber Wikipedia, melalui , https://id.wikipedia.org/ Daftar Kecelakaan dan Insiden
Kapal di Indonesia, Update 26 Maret 2019, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[3] Https://m.hukumonline.com , Kamis, 9 Februari 2017, Problema Hukum
Transportasi Laut, Mendudukkan Syahbandar, Nakhoda, Pemilik Kapal, dan ABK
Ketika Kecelakaan,
[4] Https://m.liputan6.com , Tragedi Kapal Tenggelam di Danau Toba, Edmiraldo Siregar,
26 Juni 2018). Kedua kasus di atas hanyalah sebagian kecil peristiwa kecelakaan kapal
laut di Indonesia, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[5] Https://google.com, Data Kecelakaan Kapal menurut KNKT (SUMBER KNKT
Tahun 2017, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[6] Departemen Perhubungan Laut, , http://setkab.go.id/program-tol-laut-presiden-
telah-dijalankan-disparitas harga, 2017, Diakses pada Tanggal 15 Agustus 2019
[7] Andika, 25 Oktober 2014: http://www.kompasiana.com/bobby-andhika/tol-laut-
jokowi-bagaimana-cara-meng-implementasikannya , Diakses pada Tanggal 20
September 2019
[8] Dhirta Parera Arsa, Narasumber: Prof. Dr. Ir, Bambang Triatmojo DEA http://www.
clapeyronmedia.com/tol-laut-solusikah/ , 2017, Diakses pada Tanggal 15 Juli 2019
[9] Fitri,2015http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/25/asean-economic-community-
aec-2015-peluang-dan-tantangan-indonesia-are-u-ready-649427.html , Diakses
pada tanggal 16 Juli 2019
[10] Sekretariat Kabinet, http://setkab.go.id/optimalisasi-pembangunan-tol-laut-untuk-
memperkuat-sistem-logistik-kelautan-nasional/, Diakses pada Tanggal, 20 September 2019
[11] https://www.google.com , Poros Maritim, Diakses Pada Tanggal 21 Oktober 2019
[12] Kementerian Perindustrian ,2015 www.kemenperin.go.id/artikel/6371/Kadin-
Ragukan-Kesiapan-RI-Sambut-AEC-2015 (diakses pada tanggal 16 Juli 2019)
[13] Nugasdulubosku di 15.12 http://habibahsalma.blogspot.co.id/2015/11/optimalisasi-
tol-laut-dalam.html, (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019)
[14] Notohamijoyo, A, Penerapan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pada
Sertifikat Ekolabel Perikanan Studi Kasus Kegagalan Penerapan Sertifikat Marine
216 Hukum Pengangkutan Laut

Stewardship Cauncil di Indonesia, Disertasi- Universitas Indonesia, Http://lib.ui.ac.


id , 2016, Diakses pada Tanggal 21 November 2019
[15] Ramdhani,Rus http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-economy/2117290-
pengertian-ketahanan-ekonomi/#ixzz21bbnD5Lt (diakses pada tanggal 16 November
2019)
[16] Wijayanto, 2014, http://politik.rmol.co/read/2014/06/17/159948/Inilah-Penjelasan-
Tim-JokowiMengenai-Tol-Laut- (diakses pada tanggal 19 September 2019)
[17] Akhyari Hananto, Republish dari Mongabay.co.id , https://www.
goodnewsfromindonesia.id , Yuk Kenali 10 Fakta Menarik tentang Lautan Indonesia,
Diakses pada Tanggal 30 November 2019.
[18] Databoks.katadata.co.id 2019, http://databoks.katadata.co.id, Diakses tanggal 28
Agustus 2019
[19] Dewi Destiani Andilas dan Liana Angelia Yanggana.(2017). Pelaksanaan Program Tol
Laut PT. Pelayaran Nasional Indonesia, Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik-
Vol.04 No. 01, Maret 2017, ISSN 2355-4721
[20] Hendra Maujana Saragih. (2017). Makna Penting Tol Laut Bagi Pembangunan
Nasional Indonesia Pada Masa Pemerintahan Joko Widodo-JK, Jurnal. UPNYK.ac.id.
index.php.jsdk.article.download, Vol.9. No.2
[21] Forum Rektor Indonesia. 2015. Naskah Akademik 2015. [diakses]. http://fri2016.uny.
ac.id/sites/fri2016 , Diakses Pada Tanggal 3 September 2019
[22] R. Pratikto dan N. Juliawati.( 2015). Peningkatan Konektivitas Domestik Melalui
Infrastruktur Laut dan Dampaknya Terhadap Stabilitas Harga Makanan (Research
Report-Humanities and Social Science), Jurnal Universitas Parahyangan.ac.id, Vol
2-2015
[23] Nugroho A. 2014. Indonesia Poros Maritim Dunia Menuju Ekonomi Berbasis
Kelautan. Jurnal Maritim. [diakses] https://jurnalmaritim.com/2014 , Diakses Pada
Tanggal 14 November 2019
[24] Wikipedia https://id.wikipedia.org/ Berkas:Konsep Konsep Tol Laut, Diakses Tanggal
20 Desember 2019).
[25] Sigit Eka Pribadi. 2019. Mimpi Tol Laut, Sudah Terwujudkah?, Kompasiana [diakses]
Https://kompasiana.com , Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2019
[26] Warta Ekonomi Online. 2019, Menteri Perhubungan Ungkap Manfaat Tol Laut Bagi
Wilayah Indonesia Timur, Https://Wartaekonomi.co.id , Diakses Pada Tanggal 27
Desember 2019
[27] Anto Kurniawan. 2019. Ekonomi Bisnis Tol Laut [diakses] Https://sindonews.com ,
Diakses Pada Tanggal 19 November 2019
[28] Ichsan Amin. 2019. Dalam empat tahun, Jumlah Rute Tol Laut Naik Tiga Kali Lipat
[diakses], Https://sindonews.com , Diakses Pada Tanggal 27 Desember 2019
[29] M.Faizal. 2019. Ini Strategi Kementerian Perhubungan Tingkatkan Efektivitas Tol
Laut [diakses], Http://sindonews.com , Diakses Pada Tanggal 27 Desember 2019
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 217

INDEKS

A Container cargo ship 21


Cukai 42, 68, 71, 103, 104, 106, 111, 114, 117, 182
Act of god 92 Custom port 104
Administrator pelabuhan 105, 133
Air port 103
Akomodasi penumpang 21 D
Alat pengangkutan 12, 15, 43
Angkutan laut asing 17 Damaged cargo 68, 186, 190
Arbitrase 40 Delivery order 74
Archipelago state 1 Delivery permit 73
Asas konsensual 39 Deviation clause 91, 92
Asas manfaat 36 Disembarkasi 38
Asuransi wajib 144, 196, 197 Dock receipt 74
Avarai 60 Dry port 103

B E

Based on fault 30, 33 ekspor 3, 4, 17, 109, 111, 127, 128, 130, 134, 178
Bea cukai 68, 71, 104, 106, 111, 182 embarkasi 38, 116, 120
Benua asia 1 Entitas Industri 111
Benua australia 1 Extra Cover 18
Bill of lading 73
F
Bill of lading 67, 69, 75, 78, 92, 181
Biro perjalanan 41 Fault liabilty principle 31
Board-stevedoring 70 Field reseach 7
Breakable limit 87 Force majeur 39
Bulk cargo 43 Foreman 65
Bulk cargo ship 21 Forklift toploader 124
Burg’s study 137 Freeport 129
Freight contract 73
C
Freight forwarding 107
Cacat fisik 35 Freight prepaid 76
Cacat mental 35 Fungsi pengangkutan 2, 11, 13, 15
Cargo documentation 79
G
Cargodoring 61, 62, 65, 66, 179
Cargo handling 80, 108, 117, 121 Gantry crane 124
Cargo list 67, 68, 69 Gateway 111
Cargo manifest 69, 74 General Cargo 43
Cargo ship 20, 21 Grove schuld 57
Cessie 47
Compulsory insurance 144 H

217
218 Hukum Pengangkutan Laut

Hague Rules 14, 56, 77, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92 N
Hak retensi 37, 39, 40, 181
Hand Baggage 32 Negara kepulauan 1, 2, 11
Hatch List 69 Negligence Clause 91
Head truck 125
O
Hinterland 109, 110, 128, 131, 132
Homogenous cargo 43 Outturn Report 68

P
I
Passanger 19
Imigrasi 106, 114, 117 Passenger ship 21
Impor 3, 4, 17, 71, 78, 84, 104, 106, 111, 127, 130, 134, Pelaku 12, 15
178, 182 Pelayaran 3, 4, 5, 6, 7, 10, 81, 82, 83, 84, 86, 93, 99,
Interinsuler 104 100, 101, 102, 104, 169, 172, 197
Izin Pelayaran 44 Pelayaran Khusus 102
Pelayaran Lokal 16, 83
J
Pelayaran Nusantara 16
Jenis angkutan 21 Pelayaran Pedalaman 16
Pelayaran Penundaan Laut 16
K Pelayaran Rakyat 16, 83, 104
Pelayaran Samudera 17
Kapal barang 20, 21 Pemilik Kapal 13
Kapal Barang 44, 45 Pencarter 14
Kapal Penumpang 44 Pengangkutan niaga 20, 23, 36, 37, 38, 39
kausa yang halal 22 Pengatur muatan 42
Kesadaran hukum 36 Pengusaha Kapal 13
Keterpaduan 36 Penumpang 2, 3, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 32,
Kitab Undang-undang Hukum Dagang 2, 9, 19 33, 34, 44, 57, 68, 86, 110, 112, 115, 116, 117,
Konosemen 47, 75 119, 120, 127, 133, 157, 158, 159, 195, 196,
Konsensual 37 Perjanjian pengangkutan 2, 12, 14, 17, 18, 19, 20, 21,
Koordinatif 37 22, 23, 24, 25, 26, 39, 40, 41, 43, 45, 46, 47, 48,
49, 51, 52, 53, 78, 93, 168, 180, 198
L
Perusahaan Jawatan 18, 147
Landing Order 68, 74 Perusahaan Umum 18, 147, 159, 197
Landing Order” 74 Presumption of liability 30
Law enforcement 113 Presumption of non liability 30, 86
Liability 29, 30, 31, 32, 33, 85, 86, 87, 171, 172, 175 Prinsip Limitation of Liability 33
Library Reseach 6 Prinsip Praduga 31
Lighterage 80 Private Insurance. 159
Limitation of Liability 30, 33, 85, 86, 87
Q
Limitation of Liabilty Principle 32
Liner term 70 Quary containaer 124
Quay supervisor 65
M
R
Manifest 69, 74
Maritim 3, 127 Railway truck 120
Mistry 65 Receiving 62, 65, 66, 179
Moda transportasi 3, 4, 60, 112, 115, 118, 133, 178 Responsibility 29, 167
Muatan Barang 20 Retensi 37
Muatan Penumpang 20, 43
S
Indeks 219

Samudra Hindia 1 W
Samudra Indonesia 1
Sea port 103 Waktu angkutan 21
Shipper 19, 73, 74, 76, 190 Wanprestasi 72, 188, 191
Shipping Documents 73 Warehousing 79
Shipping mark 80, 81, 93 Watchman 65
Shipping Permit 73 Waterfront 129
Sifat muatan 21 Welfare program 160
Special designed ship 21 Welfare state 142
Stevedoring 61, 62, 64, 66, 79, 178 Wire net 62
Stowage Plan 67, 74
Z
Straddle carrier; 124
Strict Liability 30, 85 Zee-mansgids 131
Zona industri 112
T

Tally clerk 65
Tanker ship 21
Time Charter 13
Transit traffic 128
Transshipment 100
Transteiner 124
Truck loosing 107

Veem 130
Voyage charter 63
Voyage Charter 13
220 Hukum Pengangkutan Laut
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 221

TENTANG PENULIS

Dr. Elfrida R. Gultom., S.H.,M.Hum., M.Kn, lahir di Jakarta, 29 Agustus.


Dosen Tetap di FH USAKTI sejak Tahun 1995-sekarang, Lektor
Kepala, Golongan IV-B. Selain itu juga berprofesi sebagai
Konsultan Hukum. Pendidikan Strata I di FH Universitas Trisakti,
Lulus Tahun 1994, Strata II Program Pascasarjana Ilmu Hukum
di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Lulus Tahun 1996. Strata III
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Lulus Tahun 2005.
Magister Kenotariatan di UNTAG Semarang Lulus Tahun 2016.
Buku yang diterbitkan tentang Hukum Pengangkutan berseries,
Hukum Waris Adat, Hukum Acara Perdata dan Praktik Acara Perdata. Mengajar di berbagai
Universitas dan melakukan penelitian-penelitian baik di dalam maupun luar negeri.

221
222 Hukum Pengangkutan Laut

Anda mungkin juga menyukai