Hukum Pengangkutan Laut Haki Compressed
Hukum Pengangkutan Laut Haki Compressed
PENGANGKUTAN LAUT
Edisi Asli
Hak Cipta © 2020 : Penulis
Diterbitkan : Penerbit Mitra Wacana Media
Telp. : (021) 824-31931
Faks. : (021) 824-31931
Website : http//www.mitrawacanamedia.com
E-mail : mitrawacanamedia@gmail.com
Office : Vila Nusa Indah 3 Blok KE.2 No.14
Bojongkulur-Gunung Putri. Bogor
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, mer-
ekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Edisi Pertama
—Jakarta: Mitra Wacana Media, 2020
1 jil., 17 × 24 cm, 228 hal.
Anggota IKAPI No: 410/DKI/2010
ISBN: 978-602-318-450-7
P uji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkatnya sehingga buku
Hukum Pengangkutan Laut ini dapat diselesaikan dengan baik. Rasa terima kasih juga
penulis haturkan bagi orang-orang tercinta yang memberikan dukungan, juga semua pihak
sehingga dapat menerbitkan buku ini. Sebagai dosen dan peneliti baik dalam dan luar
negeri yang mendorong penulis berusaha menerbitkan buku hukum pengangkutan laun
ini. Buku Hukum Pengangkutan Laut ini merupakan hasil dari penelitian, artikel, jurnal
yang telah dilakukan penulis, sehingga dengan penerbitan buku ini akan memberi manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum pengangkutan
laut.
Perkembangan hukum yang begitu cepat dan dinamis mendorong penulis untuk
melakukan penelitian dan penulisan buku secara berkesinambungan, materi yang dibahas
dalam buku ini juga disajikan pembahasan yang up-date bagi mahasiswa dan pembaca
lainnya peminat masalah hukum pengangkutan laut. Dengan hadirnya buku ini diharapkan
akan memberikan sumbangan signifikan dalam kualitas pembelajaran bagi mahasiswa
fakultas hukum. Selain itu hadirnya buku ini, diharapkan mahasiswa akan lebih mudah
dalam mengikuti perkuliahan hukum pengangkutan dengan lebih mudah.
Semoga buku ini dapat memberi manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca.
Kritik dari pembaca buku ini sangat kami nantikan untuk kesempurnaan buku ini di masa
datang.
Penulis
iii
iv Hukum Pengangkutan Laut
DAFTAR ISI
v
vi Hukum Pengangkutan Laut
BAB 7 Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 125
A. Pelabuhan Sebagai Terminal Ekspor dan Impor Barang
(PP NO. 61 Tahun 2009 jo pasal 10 KM NO. 53 Tahun 2002
Tentang Tatanan Kepelabuhanan Nasional) 125
B. Pengusahaan EMKL dan Per-veem-an 127
C. Pengusahaan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelayanan Kapal 128
D. Pengaturan Kepelabuhanan Penunjang Kelancaran Kegiatan
Ekonomi di Pelabuhan 131
Bab PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
Keadaan geografis Indonesia terdiri dari daratan yang membentuk beribu-ribu pulau,
baik besar maupun kecil yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Keadaan
geografis tersebut didukung dengan adanya perluasan pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah, yang salah satunya mecakup bidang perhubungan, maka di Indonesia
dimungkinkan melakukan pengangkutan melaui darat, laut dan udara, sehingga dengan
adanya pengangkutan, akan tercipta suatu sarana dan prasarana yang efektif dan efisien
dalam berhubungan dan berkomunikasi. Sesuai dengan wilayah di Indonesia yang terdiri
darat, laut dan udara, maka pengangkutan dapat dilakukan dengan menggunakan mobil,
bus, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang.
Untuk melaksanakan aktivitas dan kegiatan sehari-hari, kebutuhan akan sarana dan
prasarana pengangkutan merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat.
Dengan adanya sarana dan prasarana pengangkutan yang baik dan memadai maka dapat
mempercepat dan memperlancar arus lalu lintas pengangkutan.
Pengangkutan dapat mendukung pembangunan di berbagai sektor pemerintahan
baik di bidang politik, ekonomi, siosial, budaya maupun hukum. Dengan adanya sarana
dan prasarana pengangkutan yang baik dan memadai juga akan menunjang terciptanya
hubungan informasi secara timbal balik antara desa dan kota, pengangkutan ini juga
memiliki peranan yng bersifat mutlak dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat.
Pengangkutan itu sendiri mempunyai fungsi “Memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.
“Sesuai dengan keadaan geografis di Indonesia di mana wilayah Indonesia ini sebagaimana
diketahui sebagian besar terdiri dari wilayah laut atau perairan, maka pengangkutan melalui
darat dengan menggunakan kapal laut merupakan salah satu pilihan angkutan yang biasa
digunakan oleh masyarakat dalam pengangkutan antar pulau. Dilihat dari ongkosnya yang
cukup terjangkau dan kapasitas daya angkut yang cukup besar, maka kapal laut merupakan
salah satu alat angkut antar pulau yang cukup diandalkan oleh masyarakat luas.
Negara Indonesia yang merupakan Negara kepulauan (archipelago state) menduduki
posisi silang antara dua samudra, yaitu Samudra Indonesia dan Samudra Hindia serta dua
benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Disinilah kemampuan penggunaan dan
1
2 Hukum Pengangkutan Laut
penguasaan atas lautan akan dapat merupakan faktor yang dominan bagi peningkatan
kehidupan bangsa dan Negara Indonesia. Berdasarkan keadaan Negara Indonesia yang
merupakan Negara kepulauan, maka dalam rangka menciptakan komunikasi antar pulau
dan hubungan antar daerah yang luas Indonesia membutuhkan sarana transportasi, baik
darat, laut, maupun udara. Sarana untuk menghubungkan kota yang satu dengan kota yang
lain dan juga antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, pengangkutan merupakan
sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim,
di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelengarakan pengangkutan barang dan/
atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Sebagai Negara kepulauan yang terdiri
dari daratan, lautan, dan udara, pengangkutan di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis
angkutan, yaitu angkutan darat, angkutan laut, dan angkutan udara. Dalam pengangkutan
dikenal ada dua macam pengangkutan, yaitu pengangkutan orang-orang atau penumpang
dan pengangkutan barang-barang.
Tujuan dari pengangkutan adalah tujuan pihak-pihak dalam pengangkutan yang
diakui sah oleh hukum. Tujuan pihak-pihak yang diakui sah oleh hukum pengangkutan
adalah ”tiba di tempat akhir pengangkutan dengan selamat” dan ”lunas pembayaran
biaya pengangkutan”. Tiba di tempat akhir pengangkutan artinya sampai di tempat yang
ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan. Dengan selamat artinya barang yang diangkut
tidak mengalami kerusakan, kahilangan, kekurangan, kemusnahan, tetap seperti semula.
Hubungan antara Negara Indonesia dengan Negara lain, khususnya di bidang
perniagaan, membuat Negara Indonesia untuk berperan sacara aktif dan positif dalam
mewujudkan komunikasi yang aman, lancar, murah, dan intensif. Peranan pengangkutan
dalam dunia perniagaan bersifat mutlak, tanpa pengangkutan perusahaan tidak mungkin
berjalan lancar. Para pedagang mempergunakan jasa pengangkutan sebagai salah satu
cara untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Berdasarkan penjelasan tersebut, fungsi
pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang
lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai, yang berarti bila daya guna
dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang
demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang
pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan angkutan laut yang
dapat menjangkau seluruh tempat di wawasan nusantara. Pengangkutan melalui laut
dengan mengunakan kapal laut dapat memuat barang dan/atau orang dalam jumlah
yang besar dengan biaya murah, hal ini tentu sangat menguntungkan bagi pengguna jasa
pengangkutan. Pengertian kapal laut yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-
Bab 1: Pendahuluan 3
undang Hukum Dagang (KUHD) adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di
laut atau yang diperuntukan untuk itu. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri
atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim.
Hal-hal yang akan dibahas di dalam penulisan buku ini antara lain mengenai:
1. Pengangkutan barang dan orang melalui laut
Analisis tentang pengangkutan melalui laut adalah hal penting dan merupakan bidang
kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital
karena didasari oleh beberapa faktor disamping faktor keadaan geografis Indonesia,
seperti yang disebutkan sebelumnya. Faktor pertama adalah pengangkutan sebagai
penunjang pembangunan berbagai sektor. Kemajuan dan kelancaran pengangkutan
akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan
pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan
berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan,
pariwisata, dan pendidikan. Faktor kedua adalah pengangkutan mendekatkan jarak
antara desa dan kota. Lancarnya pengangkutan berarti mendekatkan jarak antara
desa dan kota dan ini akan memberi dampak bahwa untuk bekerja di kota tidak
harus pindah ke kota, karena informasi timbal balik yang cukup cepat antara desa
dan kota. Faktor ketiga adalah pengangkutan sebagai penunjang perkembangan ilmu
dan teknologi. Perkembangan dibidang pengangkutan mendorong perkembangan
pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pengangkutan modern, sarana dan
prasarana angkutan modern, dan hukum pengangkutan modern.
Pengangkutan berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya
peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Menyadari
peran taransportasi, maka pelayaran sebagai salah satu moda transportasi,
penyelenggaraannya harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional
secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan dengan
selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang
wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
2. Tentang Kapal
Setiap kapal yang menyelenggarakan pengangkutan, baik yang diangkut itu barang
atau orang pasti memerlukan pelabuhan. Di sinilah letak pentingnya fungsi
pelabuhan dalam sistem angkutan laut. Pelabuhan merupakan pintu gerbang
perdagangan luar negeri atau internasional (ekspor-impor). Seperti diketahui
pelabuhan itu berfungsi sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal, baik kapal-kapal
dalam negeri maupun kapal-kapal luar negeri. Selain itu, juga berfungsi sebagai
4 Hukum Pengangkutan Laut
tempat untuk naik turunnya penumpang dan bongkar muat barang-barang. Untuk
melakukan kegiatan tersebut diperlukan pelabuhan yang sangat berfungsi sebagai
perantara mata rantai segala pengangkutan yang ada.
3. Tentang Fungsi Pelabuhan Laut
Pengertian pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan/atau perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang berupa terminal dan tempat berlabuh
kapal yang dilengkapai dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan
kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar
moda transportasi (Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran,
Pasal 1 angka 4).
Pelabuhan yang dimaksud disini adalah sebatas pelabuhan laut, bukan pelabuhan
sungai, danau, atau pelabuhan penyeberangan, seperti yang diatur dalam Pasal 6
ayat (1) PP nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhan dan ditegaskan dalam Pasal
6 ayat (3) yaitu pelabuhan utama primer. Telah diuraikan di atas bahwa pelabuhan
sebagai mata rantai transportasi atau sebagai titik temu moda transportasi, selain itu
pelabuhan juga sebagai terminal point bagi kapal-kapal dan sebagai tempat bongkar
muat barang-barang Kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan yang meninggalkan
pelabuhan dalam kegiatan ekspor impor barang selalu membutuhkan jasa pengurusan
bongkar muat barang dari dan ke kapal. Pengertian barang adalah semua jenis
komoditi termasuk hewan dan peti kemas yang di bongkar/dimuat dari dan ke kapal.
4. Tentang Pelayaran
Pelayaran bagi negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan
salah satu moda transportasi yang ditata dalam sistem transportasi nasional
yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai
karakteristik mampu melakukan pengangkutan secara masal, menghubungkan, dan
menjangkau seluruh wilayah melalui perairan, perlu lebih dikembangkan potensinya
dan ditingkatkan peranannya baik secara nasional maupun internasional, sebagai
penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan
kesejahteraan rakyat, tetapi dalam perkembangannya beberapa tahun ini, Indonesia
selalu saja dirundung oleh permasalahan dalam dunia transportasi. Kecelakaan
demi kecelakaan transportasi terjadi silih berganti, bukan saja dalam pengangkutan
orang tetapi juga dalam pengangkutan barang.
5. Kecelakaan di Laut
Permasalahan kecelakaan yang terjadi dalam moda transportasi ini dirasakan
kurang sesuai dengan tujuan pengembangan potensi dan peningkatan peran moda
transportasi nasional, yaitu kesejahteraan rakyat, seperti tersebut di atas. Kecelakaan
Bab 1: Pendahuluan 5
dan permasalahan yang terjadi bukan saja mengakibatkan penderitaan bagi rakyat,
tetapi juga mengakibatkan hilangnya kepercayaan dunia internasional terhadap
transportasi di Indonesia. Sebagai contoh adanya pencekalan terhadap maskapai
penerbangan Indonesia ke beberapa negara pada waktu yang lalu. Pencekalan dan
masalah-masalah transportasi lainnya seharusnya dapat dijadikan pembelajaran
bagi pemerintah sebagai pembuat peraturan, agar dapat lebih memperhatikan
penegakan hukum transportasi di Indonesia.
6. Tanggung Jawab Pengangkut
Berdasarkan alasan tersebut di atas, diperlukan pengkajian secara yuridis terhadap
tanggung jawab pengangkut, melalui studi kepustakaan dengan mempelajari
literatur-literatur yang ada, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pengangkutan laut yang mendasarinya, sehingga dibuatlah buku
yang menganalisis tentang pengangkutan laut, yang saat ini dirasakan kurangnya
buku-buku yang menulis tentang hal itu.
Adapun buku ini dilengkapi dengan berbagai kasus yang terjadi dalam penyelenggaraan
pengangkutan laut, di mana kasus-kasus tersebut diambil dari mahasiswa-mahasiswa
bimbingan Skripsi yang mengambil Hukum Pengangkutan Laut. Di samping itu, buku
ini juga dilengkapi dengan peraturan-peraturan pengangkutan laut yang bertujuan untuk
memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami lagi tentang Hukum Pengangkutan Laut.
Pembahasan dalam pengangkutan laut pada umumnya adalah tentang:
a. Bagaimana tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dan pemilik barang
yang diangkutnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku?
b. Bagaimana tanggung jawab pengangkut tentang ketentuan kewajiban
mengasuransikan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang berlaku?
c. Bagaimana santunan yang layak diberikan kepada korban yang mengalami kerugian
baik materiil dan immateriil?
d. Bagaimana prosedur ganti kerugian yang dilakukan?
Adalah berbagai pokok bahasan yang akan dibahas di dalam buku hukum
Pengangkutan laut ini.
2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang, mengenai angkutan laut diatur dalam Buku
II Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran, yaitu:
a. Bab Va (tentang pengangkutan barang) dan
b. Bab Vb (tentang pengangkutan orang).
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dengan ketentuan antara
lain:
Ketentuan umum (Bab I pasal 1), asas dan tujuan (Bab II Pasal 2 dan Pasal 3), ruang
lingkup berlakunya undang-undang (Bab III pasal 4), pembinaan (Bab IV Pasal
5 dan Pasal 6), kenavigasian (Bab V Pasal 7 s/d Pasal 20), kepelabuhan (Bab VI
Pasal 21 s/d Pasal 34), perkapalan (Bab VII Pasal 35 s/d Pasal 64), pencegahan dan
penanggulangan pencemaran oleh kapal (Bab VIII Pasal 65 s/d Pasal 68), angkutan
(Bab IX Pasal 69 dan Pasal 70), kecelakaan kapal pencarian dan pertolongan (Bab
X pasal 88 s/d pasal 94), sumber daya manusia (Bab XI Pasal 95 s/d Pasal 98),
penyidikan (Bab XII Pasal 99), ketentuan pidana (Bab XIII Pasal 100 s/d Pasal 129),
ketentuan peralihan (Bab XIV Pasal 130) dan ketentuan penutup (Bab XV Pasal 131
dan Pasal 132).
Bab 1: Pendahuluan 7
A. Pengertian Pengangkutan
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan, sehingga diperlukan suatu sarana
perhubungan yang dapat menjangkau hubungan antar daerah, dan antar pulau yang satu
dengan yang lainnya. Bahkan hubungan-hubungan tersebut dewasa ini sudah semakin
berkembang, yang tidak hanya dilakukan antar daerah atau antar pulau di Indonesia saja
tetapi juga sudah dilakukan pengangkutan dari Indonesia ke negara lainnya.
Sarana perhubungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan jasa
perhubungan melalui pengangkutan udara, pengangkutan laut dan untuk daerah tertentu
saat dilakukan melalui angkutan darat.
Fungsi pengangkutan sendiri adalah memindahkan barang atau orang dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. R.
Soekardono mengatakan bahwa: “Pengangkutan pada umumnya berisikan perpindahan
tempat, baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang karena perpindahan
itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi”.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada dasarnya
dalam pengertian pengangkutan terkandung unsur perpindahan tempat dengan
menggunakan alat pengangkut dengan tujuan untuk mencapai dan meninggikan manfaat
serta efisiensi, sedang yang menjadi objek yang diangkut adalah dapat berupa barang
maupun orang.
Pengangkutan menurut Purwosutjipto adalah Perjanjian timbal balik antara
pengangkut dengan pengirim, di mana si pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar
uang angkutan.
Menurut Pasal 466 KUHD yang dimaksud dengan Pengangkutan adalah seseorang
(atau suatu badan) yang berdasarkan suatu perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian
charter waktu maupun perjanjian charter perjalanan ataupun perjanjian lainnya,
mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang melalui laut
baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagiannya.
9
10 Hukum Pengangkutan Laut
3. Barang atau penumpang yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan yang diangkut
adalah barang perdagangan yang sah menurut Undang-Undang. Dalam pengertian
juga hewan.
4. Perbuatan yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan
sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau
penumpang (tenaga kerja).
6. Tujuan pengangkutan yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan
dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.
B. Pengertian Pengangkut
Pengertian Pengangkut (dalam hal ini bukan pada pengangkutan orang melainkan
pada pengangkutan barang) dapat kita lihat dalam Pasal 466 KUHD yang menyatakan:
”Pengangkut adalah barang siapa yang, baik dengan persetujuan carter menurut waktu
atau carter menurut perjalanan, baik dengan suatu perjanjian yang lainnya, mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya ataupun sebagian
melalui lautan”.
Maksud Time Charter atau carter menurut waktu adalah suatu perjanjian di mana
pemilik kapal mengikatkan diri dalam suatu waktu tertentu, kepada si pencarter untuk
dipergunakan dalam pelayaran di lautan dengan pembayaran suatu harga yang dihitung
menurut lamanya waktu (Pasal 453 ayat (2) KUHD).
Voyage Charter atau carter menurut perjalanan adalah suatu perjanian dengan mana
si pemilik kapal mengikatkan diri untuk menyediakan sebuah kapal tertentu, seluruhnya
atau sebagian kepada si pencarter untuk dipergunakan mengangkut barang atau orang
melalui lautan dalam suatu perjalanan atau lebih, dengan pembayaran suatu harga pasti
untuk pengangkutan ini (Pasal 453 ayat (3) KUHD).
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 466 KUHD ini dapat kita simpulkan bahwa yang
dapat bertindak sebagai pengangkut adalah:
1. Pemilik Kapal
Pemilik kapal dapa tmencarterkan kapalnya kepada pihak ketiga, apabila terjadi
hal yang demikian maka pemilik kapal ini akan dapat bertindak pula sebagai
pengangkut menurut pasal 466 KUHD ini.
2. Pengusaha Kapal
Pengusaha kapal adalah merupakan inti dari pengangkutan ini. Pengusaha kapal
ini apabila kita perhatikan Pasal 320 KUHD tidak harus perlu pemilik kapal
karena apabila telah dipenuhinya dua syarat dalam pasal tersebut maka ia dapat
dikualifikasikan sebagai pengusaha kapal. Syarat-syarat tersebut adalah:
12 Hukum Pengangkutan Laut
C. Pengangkutan Laut
1. Definisi Pengangkutan
Sebelum membahas mengenai perjanjian pengangkutan perairan (pelayaran)
sebaiknya diketahui terlebih dahulu mengenai definisi pengangkutan pada umumnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyatakan bahwa “pengangkutan
berasal dari kata: angkut dan bawa, muat dan bawa/kirimkan, mengangkut berarti
mengangkut dan membawa, memuat dan membawa/mengirimkan”.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 13
Undang Nomor 17 Tahun 2008 yaitu memperlancar arus perpindahan orang dan/
atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran
nasional dalam rangka menunjang, menggerakkan dan mendorong pencapaian
tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara
serta memperkukuh ketahanan nasional.
Pengangkutan itu sendiri menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang
Pelayaran dan peraturan pelaksana Nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan di
Perairan, dibagi dalam dua bagian, antara lain:
a. Pengangkutan Laut Dalam Negeri
Menurut Pasal 73 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran,
yang dimaksud dengan pengangkutan laut dalam negeri adalah:
“Penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri dilakukan dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia“.
Menurut Pasal 3 Peraturan Pelaksana Nomor 82 tahun 1999 Tentang Angkutan
di Perairan, yang dimaksudkan dengan pengangkutan laut dalam negeri adalah:
“Pelayaran yang dilakukan oleh perusahaan laut nasional dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia, untuk menghubungkan pelabuhan laut antar
pulau dan angkutan laut lepas pantai di wilayah perairan Indonesia“.
Pengangkutan laut dalam negeri bertujuan untuk menghubungkan wilayah
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang memiliki jarak yang berjauhan,
selain itu bertujuan pula untuk menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok
yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh daerah yang bersangkutan.
Jenis-jenis pengangkutan dalam negeri, antara lain:
1) Pelayaran Nusantara, adalah pelayaran yang dilakukan untuk kegiatan
usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia tanpa memandang
jurusan yang ditempuh, sesuai dengan ketentuan yang ada;
2) Pelayaran Lokal, adalah pelayaran yang dilakukan untuk kegiatan
usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia dan ditujukan untuk
menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri
dengan menggunakan kapal-kapal berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah;
3) Pelayaran Rakyat, adalah pelayaran nusantara dengan menggunakan
perahu layar;
4) Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, adalah pelayaran yang dilakukan
untuk melakukan kegiatan usaha pengangkutan di perairan darat;
5) Pelayaran Penundaan Laut, adalah pelayaran nusantara dengan
menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal tunda.
b. Pengangkutan Laut Luar Negeri
Menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 15
D. Pengertian Penumpang
Penumpang merupakan salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan. Penumpang
mempunyai 2 (dua) kedudukan yaitu penumpang sebagai subjek dan penumpang sebagai
objek.
Penumpang sebagai subjek dari hukum pengangkutan, karena ia merupakan pihak
dalam perjanjian pengakutan. Penumpang sebagai objek karena ia merupakan muatan
yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus cakap
dalam hukum, sudah dewasa dan mapu membuat perjanjian.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad “Penumpang adalah orang yang mengikatkan
diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut”.
16 Hukum Pengangkutan Laut
Menurut Pasal 1 butir (8) Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelayaran Nasional
Indonesia dengan PT. Jasa Raharja (persero) dan PT. Jasa Raharja serta PT. asuransi
Purna Artanugraha tentang penutupan asuransi kecelakaan penumpang kapal laut, yang
dimaksud dengan “Penumpang ialah setiap penumpang kapal yang terdaftar secara sah
dan mempunyai tiket dari kapal-kapal yang dioperasikan pihak pertama yang membayar
iuran wajib dan premi asuransi tambahan (Extra Cover).”
terpenuhinya kewajiban dan hak para pihak dalam pengangkutan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan hukum pengangkutan, maka yang menjadi objek hukum pengangkutan,
antara lain:
1. Muatan Barang
Muatan barang lazimnya disebut barang. Barang yang dimaksud disini adalah
barang yang sah menurut undang-undang, termasuk pengertian barang adalah
hewan. Barang diangkut dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan menggunakan
alat pengangkutan.
2. Muatan Penumpang
Muatan penumpang lazimnya disebut penumpang. Sama halnya dengan barang,
penumpang tidak terdapat definisinya dalam undang-undang. Tetapi dilihat dari
perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang adalah setiap orang
yang berada dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket penumpang dan yang
diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.
Setiap penumpang yang diangkut memperoleh pelayanan yang wajar dari pengangkut
dan hal ini tergantung dari jenis pengangkutan, jarak pengangkutan dan jumlah
biaya pengangkutan. Kemudian pelayanan tersebut difokuskan pada tersedianya
makanan dan minuman serta perawatan kesehatan ringan selama perjalanan.
3. Alat Pengangkutan
Sebagai pengusaha yang menjalankan perusahaan pengangkutan, pengangkut
memiliki alat pengangkut sendiri atau alat pengangkut milik orang lain dengan
perjanjian sewa. Dalam hal ini yang berhubungan dengan fokus bahasan dalam
skripsi ini adalah alat pengangkutan diperairan yang lazim disebut kapal niaga
yang dijalankan oleh nakhoda. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 36 Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, kapal adalah kendaraan dengan bentuk
dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah
permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah.
Berdasarkan definisi tersebut, beberapa jenis kapal yang relevan digunakan dalam
pengangkutan niaga, sebagai berikut:
a. Kapal yang digerakkan oleh tenaga mekanik, digunakan untuk mengangkut
barang dan/atau penumpang;
b. Kapal yang berdaya dukung dinamis, digunakan untuk mengangkut penumpang
saja.
Ditinjau dari konstruksi bangunan kapal dan sifat muatan yang diangkut, ada empat
jenis kapal niaga, sebagai berikut:
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 19
a. Kapal barang (cargo ship), yaitu kapal yang dibangun khusus untuk mengangkut
barang menurut jenisnya. Berdasarkan jenis barang yang diangkut, kapal
barang dibedakan menjadi:
1) Kapal muatan umum (general cargo ship);
2) Kapal muatan curah (bulk cargo ship);
3) Kapal tanki (tanker ship);
4) Kapal pengangkut khusus (special designed ship);
5) Kapal peti kemas (container cargo ship).
b. Kapal penumpang (passenger ship), yaitu kapal yang dibangun khusus untuk
mengangkut penumpang. Kapal ini terdiri dari beberapa geladak dan tiap
geladak terdiri dari kamar-kamar penumpang berbagai kelas.
c. Kapal barang penumpang (cargo-passenger ship), yaitu kapal yang dibangun
untuk mengangkut barang dan penumpang bersama-sama. Kapal ini terdiri
dari beberapa geladak untuk barang dan kamar untuk penumpang.
d. Kapal barang dengan akomodasi penumpang yang terbatas, yaitu kapal barang
biasa tetapi diizinkan membawa penumpang dalam jumlah terbatas maksimum
12 orang yang ditempatkan dalam kamar dan bukan digeladak atau dek.
4. Biaya Pengangkutan
Dalam undang-undang yang mengatur tentang angkutan tidak dijumpai rumusan
biaya angkutan secara umum. Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya
angkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan angkutan yang dibayar
oleh pengirim/penerima barang atau penumpang kepada pengangkut.
Perhitungan jumlah biaya angkutan ditentukan juga oleh beberapa hal sebagai
berikut:
a. Jenis angkutan, yaitu: angkutan darat, perairan dan udara;
b. Jenis alat pengangkut, yaitu: kereta api, bus, truk, kapal dan pesawat udara dan
dengan pelayanan serta kenikmatan yang berbeda sehingga berbeda pula tarif
biaya angkutan;
c. Jarak angkutan, yaitu: jauh dekatnya angkutan menentukan juga tarif biaya
angkutan;
d. Waktu angkutan, yaitu: cepat atau lambat menentukan besar dan kecilnya tarif
biaya angkutan;
e. Sifat muatan, yaitu: berbahaya, mudah rusak, mudah pecah, mudah terbakar,
mudah meledak, risiko kerugian lebih besar, dengan demikian menentukan
pula besarnya tarif biaya angkutan.
5. Tujuan Hukum Pengangkutan
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan hukum pengangkutan
adalah terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak dalam pengangkutan. Kewajiban
20 Hukum Pengangkutan Laut
G. Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan terjadi dengan didahului serangkaian pernuatan penawaran dan
penerimaan yang oleh pengangkut dan penumpang secara timbal balik. Dalam perjanjian
pengangkutan penumpang/orang melalui laut yang menjadi pihak dalam perjanjian
tersebut adalah pengangkut dan penumpang. Perjanjian pengangkutan ini tidak diatur
secara rinci di dalam undang-undang, melainkan hanya suatu “peryataan kehendak” yang
merupakan salah satu unsur dari Pasal 1320 KUHPdt.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 21
Dua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan
cakap untuk membuat suatu perjanjian dinamakan syarat subjektif. Syarat subjektif
ini mengenai subjek-subjek atau orang-orang yang membuat perjanjian. Artinya
syarat subjektifini bila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut tetap merupakan
perjanjian yang sah tapi dapat diminta pembatalannya. “ Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. “
Dua syarat terkahir yaitu mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal dinamakan syarat objektif. Syarat objektif ini mengenai objek perjanjian
dan perjanjian itu sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut
batal demi hukum.
Dalam perjanjian juga menganut asas kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1338 KUHPer, yang menyatakan bahwa:
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
merekea yang membuatnya. Artinya dalam membuat perjanjian tersebut para
pihak bebas menentukan isi dan bentuknya. Perjanjian ini mengikat para pihak
dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Suatu perjkanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Artinya perjanjian ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak tanpa
adanya persetujuan dario pihak yang lain, karena perjanjian tersebut mengikat bagi
mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian tersebut dibatalkan maka harus ada
persetujuan atau kesepakatan bersama dari para pihak yang membuat perjanjian.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya dalam
perjanjian tersebut tidak boleh berisi sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.
2. Cara Terjadinya Perjanjian Pengangkutan
Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu cara langsung dan cara tidak langsung.
a. Penawaran dari pihak pengangkut
Pertama dengan cara langsung, di mana pengangkut menghubungi
langsung pihak penumpang dalam hal ini berarti kapal menyinggahi
pelabuhan untuk memuat penumpang, atau yang kedua dengan cara
tidak langsung di mana pengangkut memasang pengumuman atau iklan
sehingga pengangkut hanya menunggu permintaan dari penumpang.
b. Penawaran dari pihak penumpang
Pertama dengan cara langsung, di mana penumpang menghubungi
langsung pihak pengangkut, atau dengan cara yang kedua, di mana dalam
hal ini menggunakan jasa agen perjalanan.
Bab 2: Dasar Hukum Pengangkutan Laut 25
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPdt menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “tanggung jawab adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya”. Tanggung jawab dalam hukum pengangkutan, antara lain:
1. Liability, merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang dapat dikaitkan dengan
kewajiban pemberian ganti rugi oleh pengangkut, akibat kelalaiannya dalam
pengangkutan yang diselenggarakannya;
2. Responsibility, merupakan tanggung jawab yang dapat dikaitkan dengan kewajiban
atau tanggung jawab individu (perseorangan) dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
tanggung jawab orang tua terhadap putra-putrinya, tanggung jawab anak terhadap
orang tua, dan sebagainya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “Perjanjian adalah persetujuan
(tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji
akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “pengangkutan adalah proses,
cara, perbuatan mengangkut dan usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang
dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain.”
Proses pengangkutan dapat juga didefinisikan merupakan gerakan dari tempat asal
darimana kegiatan angkutan dimulai ketempat tujuan kemana kegiatan angkutan diakhiri.
Di mana kewajiban pihak pengangkut adalah wajib menyelenggarakan pengangkutan
sesuai dengan tingkat pelayanan, sedangkan kewajiban pengguna jasa adalah wajib
membayar harga tiket.
27
28 Hukum Pengangkutan Laut
juga dengan fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ketempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna nilai dari prinsip-
prinsip tanggung jawab dalam bidang pengangkutan.
Tanggung Jawab
Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut terlebih dahulu
harus mengetahui defenisi dari tanggung jawab tersebut.
“Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan dengan
selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya.”
oleh penumpang dalam pengangkutan tersebut kecuali apabila terbukti luka tersebut
disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dihindari atau diluar kekuasaan
manusia atau merupakan kesalahan/kelalaian dari penumpang itu sendiri.
Pengangkut juga bertanggung jawab mengganti kerugian apabila terjadi kematian
penumpang hal ini diatur dalam Pasal 522 ayat (3) KUHD. Besarnya ganti rugi yang
diberikan oleh pengangkut diatur dalam Pasal 525 KUHD yang berbunyi:
“ Apabila si pengangkut itu adalah si pengusaha kapal maka tanggung jawabnya
tentang kerugian yang disebabkan karena luka yang didapat oleh para penumpang
yang diangkut oleh kapal tersebut, adalah terbatas hingga lima puluh rupiah tiap-
tiap meter kubik daripada isi bersih kapal tersebut, ditambah sekadar mengenai
kapal-kapal yang digerakkan dengan tenaga mesin, dengan apa yang menentukan isi
tersebut, telah dikurangi dari isi kotor bagi ruangan yang ditempati mesin-mesinnya.
Apabila baik kepada barang-barang yang diangkut maupun kepada penumpang-
penumpang atau para ahli warisnya telah diterbitkan suatu kerugian, maka tanggung
jawab si pengangkut itu seluruhnya dibatasi sampai jumlah yang disebutkan di sini,
dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal-pasal 476 dan 527 “.
Berdasarkan Pasal 525 KUHD menyatakan bahwa apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa luka atau matinya penumpang tersebut bukan akbat
darikesalahannya, maka tanggung jawabnya dapat dibatasi sampai suatu jumlah
tertentu yaitu Rp. 50,- (lima puluh rupiah) tiap-tiap meter kubik dari isi bersih kapal
tersebut. Tetapi dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 527 KUHD yang menyatakan
bahwa:
“Dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal 525 dan 526 maka
dituntutnya penggantian sepenuhnya, apabila luka tersebut disebabkan karena
kesengajaan atau kesalahan kasar dari si pengangkut sendiri “.
Berdasarkan ketentuan pasal ini menyetakan apabila terbukti kecelakaan yang
menimbulkan luka atau matinya penumpang tersebut merupakan kesalahan atau
kesengajaan dari pihak pengangkut maka pengangkut harus bertanggung jawab
sepenuhnya.
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang
berisi tentang tanggung jawab:
“Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan
oleh pengoperasian kapalnya berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut;
d. Kerugian pihak ketiga.”
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 33
9) Keselamatan penumpang
Pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.
b. Asas-asas yang bersifat perdata
1) Konsensual
Pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup
dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa
perjanjian itu sudah ada, harus dibuktikan dengan atau didukung oleh
dokumen angkutan.
2) Koordinatif
Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau
sejajar. Tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.
Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah
penumpang atau pengirim barang, pengangkut bukan bawahan
penumpang atau pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian
pemberian kuasa.
3) Campuran
Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada
pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan,
kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
4) Retensi
Pengangkutan tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi
bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkut hanya
mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
5) Pembuktian dengan dokumen
Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen pengangkutan.
Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan,
kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum.
sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian
pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena kewajiban dan hak pihak-
pihak telah ditentukan dalam Undang-Undang. Mereka hanya menunjuk atau
menerapkan ketentuan Undang-Undang. Tetapi apabila Undang-Undang tidak
menentukan (tidak mengatur) kewajiban dan hak yang wajib mereka penuhi,
diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan. Apabila terjadi perselisihan
mereka selesaikan melalui musyawarah, atau melalui arbitrase, atau melalui
pengadilan. Tetapi kenyataannya, sedikit sekali atau hampir tidak ada perkara
mereka yang diselesaikan melalui arbitrase atau pengadilan. Mereka memegang
prinsip lebih baik rugi dari pada rugi banyak karena biaya pengadilan, yang
belum tentu pula memuaskan semua pihak.
b. Asas koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam
perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan
“pelayanan jasa“, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian
perburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. Berdasarkan hasil
penelitian dalam perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara ternyata pihak
pengangkut bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.
c. Asas campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu
perjanjian pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan
barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan
pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Dengan
demikian, ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam
perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah
yang berlaku. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka
diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada
hubungnannya dengan asas konsensual.
d. Asas tidak ada hak retensi
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan.
Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan
pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya
penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 39
e. Pengatur muatan
Pengatur muatan adalah orang yang menjalankan usaha dalam bidang
permuatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari kapal. Pengangkut
muatan adalah orang yang ahli dan pandai menempatkan barang-barang
dalam ruangan kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang
dibutuhkan, dan barang-barang tidak mudah bergerak.
f. Perusahaan Pergudangan
Perusahaan pergudangan adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha
penyimpanan barang-barang di dalam gudang pelabuhan selama barang
yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu
pengeluarannya dari gudang, yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan
Cukai.
3. Definisi objek hukum pengangkutan
Objek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai
tujuan hukum pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya
kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan.
4. Klasifikasi objek hukum pengangkutan
Objek hukum pengangkutan adalah muatan barang, muatan penumpang, alat
pengangkutan, dan biaya pengangkutan.
a. Muatan barang
Muatan barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah
yang sah menurut Undang-Undang. Dalam pengertian barang termasuk juga
hewan.
Barang terdiri dari berbagai jenis menurut keperluan atau kegunaannya:
1) Barang sandang, misalnya tekstil, sarung, dan baju.
2) Barang pangan, misalnya beras, gula, dan buah-buahan.
3) Barang perlengkapan rumah tangga, misalnya mebeler.
4) Barang perlengkapan pendidikan, misalnya buku, lab.
5) Barang cair, misalnya minyak, dan gas alam.
6) Barang industri, misalnya zat kimia, carbide, semen, dan besi.
7) Hewan, misalnya sapi potong, sapi ternak, dan ikan hias.
Secara fisik, muatan barang dibagi dalam enam golongan, yaitu:
1) Muatan barang biasa, misalnya tekstil, dan kelontong.
2) Muatan barang berbahaya, misalnya carbide, dan bahan racun.
3) Muatan barang cair, misalnya minyak tanah, dan minyak sawit.
4) Muatan barang berharga, misalnya komputer dan emas.
5) Muatan barang khusus, misalnya ikan dingin, dan tembakau.
6) Muatan barang curah, misalnya kacang, dan minyak mentah.
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 41
F. DOKUMEN ANGKUTAN
Perjanjian pengangkutan pada asasnya tidak tertulis, tetapi harus dibuktikan dengan
dokumen angkutan. Dokumen angkutan diatur dalam Undang-Undang Pengangkutan.
Karena ada dua jenis muatan yang diangkut, maka ada dua jenis pula dokumen angkutan,
yaitu:
1. Dokumen angkutan penumpang yang disebut karcis penumpang untuk angkutan
darat dan perairan, dan tiket penumpang untuk angkutan udara.
2. Dokumen angkutan barang yang disebut surat angkutan barang untuk angkutan
darat, dokumen muatan untuk angkutan perairan (di dalam KUHD disebut
konosemen), tiket bagasi untuk barang bawaan penumpang. Mengenai surat
angkutan barang diatur dalam pasal 90 KUHD, menurut ketentuan pasal ini, surat
angkutan barang memuat keterangan berikut ini:
44 Hukum Pengangkutan Laut
G. PENGANGKUTAN LAUT
1. Definisi kapal
Kapal menurut Pasal 309 KUHD ayat 1 adalah semua perahu, dengan nama apapun,
dan macam apapun juga.
2. Pendaftaran kapal
Di dalam Pasal 310 KUHD, terdapat maksud dari “kapal“ itu sendiri. Yang dimaksud
dengan kapal menurut KUHD adalah hanya kapal laut. Sebuah kapal dapat dikatakan
sebagai kapal laut apabila kapal tersebut memiliki syarat-syarat tertentu yaitu kapal
laut yang sudah didaftarkan sebagai kapal Indonesia, menurut hukum Indonesia.
Tujuan pendaftaran kapal adalah untuk mendapatkan kebangsaan kapal, yaitu
kebangsaan kapal Indonesia. Sebuah kapal dapat didaftarkan dan dapat dianggap
sebagai kapal Indonesia apabila kapal tersebut mempunyai bobot minimal 20 meter
kubik, didaftarkan menurut hukum Indonesia, dan kapal tersebut benar-benar
dimiliki oleh warga negara Indonesia.
3. Kewajiban dan hak pada pengangkutan laut
Dalam perjanjian pengangkutan laut, kewajiban pokok pengangkut adalah sebagai
berikut:
a. Menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari pelabuhan
pemuatan sampai di pelabuhan tujuan dengan selamat.
b. Merawat, memelihara, menjaga barang atau penumpang yang diangkut dengan
sebaik-baiknya.
c. Menyerahkan barang yang yang diangkut kepada penerima dengan sebaik-
baiknya dalam keadaan lengkap, utuh, tidak rusak, atau tidak terlambat.
d. Melepaskan dan menurunkan penumpang di pelabuhan tujuan dengan sebaik-
baiknya.
Kewajiban pokok ini diimbangi dengan hak atas biaya pengangkutan yang diterima
dari pengirim, atau penerima, atau penumpang. Apabila barang yang diangkut itu
tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab
mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab
mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya
seluruh atau sebagian atau rusaknya barang itu karena:
a. Suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi.
b. Sifat, keadaan, atau cacat barang itu sendiri.
c. Kesalahan atau kelalaian pengirim sendiri.
(Pasal 468 ayat 2 KUHD)
Pengangkut bertanggung jawab terhadap segala perbuatan mereka yang dipekerjakan
untuk kepentingan pengangkutan dan terhadap segala alat yang dipakai pada
Bab 3: Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Laut 47
Dalam Pasal 525 KUHD dinyatakan bahwa apabila kapal tersebut mempergunakan
alat penggerak (mesin), maka jumlah tersebut ditambah dengan isi ruangan mesin.
Dalam Pasal 526 KUHD dinyatakan bahwa apabila si pengangkut bukan pengusaha
kapal, maka tuntutan ganti kerugian kepada si pengangkut dibatasi sampai jumlah dan
dengan mana pengangkut dapat menuntut pengusaha kapal. Jika timbul perselisihan, maka
si pengangkut diwajibkan membuktikan sampai jumlah berapa tanggung jawabnya yang
telah dibatasi.
Dalam Pasal 527 KUHD dinyatakan bahwa apabila luka atau kematian tersebut
disebabkan karena kesengajaan atau kesalahan kasar (grove schuld) dari pengangkut
sendiri, maka pengangkut dapat dituntut ganti kerugian sepenuhnya.
Pasal 525 KUHD dan Pasal 526 KUHD membedakan kedudukan pengangkut yang
merangkap menjadi pengusaha kapal dan pengangkut yang bukan pengusaha kapal. Perlu
ketahui bahwa pengusaha kapal adalah selalu pengangkut, akibatnya ia selalu bertanggung
jawab terhadap semua penumpang yang diangkut dalam kapal sedangkan pengangkut
yang bukan pengusaha kapal adalah pengangkut yang tidak lebih daripada sebagian atau
beberapa bagian dari penumpang kapal. Dipandang dari sudut pengusaha kapal, maka
pengangkut yang merupakan pengusaha kapal menguasai kapal secara penuh kapal,
sedangkan pengangkut yang bukan pengusaha kapal tidak menguasai kapal.
Dari pembatasan tanggung jawab pengangkut yang bukan pengusaha kapal tidak
digantungkan pada kemampuan kapal untuk mengangkut, tetapi dihubungkan dengan
jumlah tuntutan yang dapat diajukan kepada pengusaha kapal.
Dari ketentuan Pasal 525 KUHD dan Pasal 526 KUHD tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa pembatasan ganti kerugian tidak berlaku pada tiap-tiap peristiwa.
Tetapi terhadap semua penumpang yang diangkut dalam waktu yang sama. Hal ini menjadi
penting bila selama dalam perjalanan telah terjadi beberapa peristiwa yang menimbulkan
kerugian dan tiap-tiap kali mengenai penumpang yang lain. Keseluruhan kerugian yang
harus dibebankan kepada pengangkut dibatasi dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-
undang, di mana ketentuan tersebut dapat memenuhi tujuannya, hanya bila pengangkut
dapat memperhitungkan risikonya.
56 Hukum Pengangkutan Laut
Bab HAL-HAL DALAM PENGANGKUTAN LAUT
A. Pencarteran Kapal
Pencarteran kapal adalah penggunaan atau pengoperasian kapal milik orang lain yang
sudah diperlengkapi dengan alat perlengkapan kapal besarta pelautnya, yang siap untuk
menjalankan kapal sesuai dengan instruksi pencarter. Sedangkan carter kapal itu sendiri
mempunyai arti suatu perjanjian timbal balik antara tercarter denga pencarter, dengan
mana tercarter mengikatkan diri untuk membayar uang carter.
1. Carter menurut waktu
adalah suatu perjanjian timbal balik, dalam mana pihak tercarter mengikatkan
diri untuk dalam jangka waktu tertentu menyediakan sebagian atau sebuah atau
beberapa buah kapal tertentu pada pihak pencarter untuk dioperasikannya, dengan
pembayaran suatu jumlah uang carter, yang dihitung menurut waktu lamanya
pengoperasian (Pasal 453 ayat 2 KUHD).
2. Carter menurut perjalanan adalah suatu perjanjian timbal balik, dalam mana
pihak tercarter mengikatkan diri untuk menyediakan sebagian ruang atau sebuah
atau beberapa buah kapal tertentu kepada pihak pencarter, dengan maksud untuk
dipergunakan mengangkut orang atau barang dalam suatu perjalanan atau lebih,
dengan pembayaran sejumlah uang carter, yang dihitung berdasarkan beberapa kali
perjalanan (trayek) kapal itu dipergunakan Pasal 453 ayat 3 KUHD).
Sedangkan pihak tercarter berkewajiban memelihara kapalnya dengan baik, dan
memperlengkapi dengan alat perlengkapan dan pelaut yang baik ( Pasal 460 KUHD).
57
58 Hukum Pengangkutan Laut
3. Pengertian Avarai
Definisi avarai terdapat dalam Pasal 696 KUHD. avarai adalah segala biaya luar
biasa yang dikeluarkan demi kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang
dimuatnya, baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri, serta
pula segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, selama
waktu, yang dalam bagian ketiga dari bab ke sembilan ditetapkan sebagai saat mulai
berlaku dan berakhirnya risiko, kesemuanya itu termasuk avarai.
C. Bongkar Muat
Kapal dagang dalam pelayaran yang singgah di pelabuhan akan memuat atau membongkar
muatannya. Kegiatan pembongkaran dan pemuatan barang dari dan ke kapal dagang
disebut kegiatan bongkar muat.
1. Pengertian kegiatan bongkar muat
Kegiatan bongkar muat adalah serangkaian kegiatan untuk melaksanakan bongkar
muat peti kemas dan barang-barang yang tidak dimasukkan dalam peti kemas
(uncontainerized cargo) dari dan ke kapal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tujuan adanya bongkar muat adalah untuk memberi kemudahan kepada masyarakat
yang melakukan usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
2. Definisi perusahaan bongkar muat
Kegiatan bongkar muat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi yang didirikan khusus untuk itu dan mempunyai
izin usaha. Jasa pengurusan bongkar muat barang dari dan ke kapal dilaksanakan
oleh perusahaan bongkar muat (PBM). Fungsi PBM adalah memindahkan barang
dari moda transportasi laut ke moda transportasi darat dan sebaliknya.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Nomor 14 tahun 2002, Pasal 1 angka 14 yang
dimaksud perusahaan bongkar muat (PBM) adalah badan hukum Indonesia yang
khusus didirikan untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar
muat barang dari dan ke kapal. Perusahaan bongkar muat merupakan pengusaha
sendiri yang melakukan tugas pemuatan dan pembongkaran muatan dari dan ke
kapal. Untuk melakukan tugasnya itu perusahaan bongkar muat mempunyai anak
buah sendiri yang disebut dengan tenaga kerja bongkar muat (TKBM). Tenaga kerja
bongkar muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan
setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan.
3. Dasar hukum berdirinya PBM
Dasar hukum berdirinya PBM adalah sebagai berikut:
a. UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 31-34 tentang “Usaha Jasa
Terkait dengan Angkutan di Perairan”
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 59
b. PP No. 82 tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan, Pasal 43-44 tentang “Jenis
Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Laut”
c. INPRES No. IV tahun 1985 tentang “Kebijakan Kelancaran Arus Barang untuk
Menunjang Kegiatan Ekonomi”
d. KEPMENHUB RI No. KP/6/AL/Phb.89 tentang “Penetapan Berdirinya
APBMI”
e. KEPMENHUB RI No. 14 tahun 2002 tentang “Penyelenggaraan dan
Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan Ke Kapal.
4. Izin usaha PBM
Perusahaan bongkar muat untuk menjalankan usahanya wajib mempunyai izin
usaha yang dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi setempat atas nama Menteri
Perhubungan. Izin ini pada dasarnya ada dua jenis, yaitu:
a. izin usaha tetap
Izin usaha tetap diberikan sesuai dengan jangka waktu pendirian perusahaan.
b. izin usaha sementara
Izin usaha sementara diberikan untuk jangka waktu satu tahun.
Pertimbangan pemberian izin kegiatan bongkar muat diberikan oleh gubernur
provinsi setempat atas nama menteri perhubungan sebagai pelaksanaan tugas
dekonsentrasi dengan pertimbangan:
1. Rekomendasi dari asosiasi bongkar muat dan administrator pelabuhan atau
kepala kantor pelabuhan setempat.
2. Keseimbangan volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah perusahaan
bongkar muat yang ada di pelabuhan.
3. Kesempatan dan kemampuan serta perkembangan usaha bongkar muat yang
mengajukan permohonan.
PBM pemegang izin usaha, sesuai persyaratan, dapat melakukan kegiatan bongkar
muat di semua pelabuhan dalam provinsi yang bersangkutan.
5. Ruang lingkup kegiatan perusahaan bongkar muat
Perusahaan bongkar muat (PBM) adalah perusahaan yang secara khusus berusaha
di bidang bongkar muat dari dan ke kapal, baik dari dan ke gudang Lini I maupun
langsung ke alat angkutan yang meliputi kegiatan:
a. Stevedoring
Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga
atau tongkang atau truk atau memuat barang dari dermaga atau tongkang
atau truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan
menggunakan derek kapal atau derek darat.
b. Cargodoring
Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali atau jala-jala (ex
60 Hukum Pengangkutan Laut
c. Receiving/delivery
1) Gerobak dorong
2) Palet
3) Mesin pengangkat barang (forklift)
7. Penunjukan PBM
Sesuai dengan Mapel 1439 tanggal 21 April 1986, penunjukan PBM diatur sebagai berikut:
a. Untuk barang diangkut kapal liner/nusantara/samudera dan lokal. Penunjukan
PBM dilakukan oleh perusahaan pelayaran.
b. Untuk kapal time charter, penunjukan dilakukan oleh pemilik barang.
c. Untuk kapal voyage charter, penunjukan PBM oleh perusahaan pelayaran,
kecuali ada perjanjian lain sesuai kontraknya.
d. Untuk kapal dalam kontrak charter apa pun di mana ada klausul demurrage dan
dispatch, penunjukan oleh pemilik barang yang menanggung demurrage.
e. Untuk kelancaran pelaksanaan bongkar muat, bila terjadi perbedaan pendapat
dalam hal penunjukan PBM antara pemilik barang dan perusahaan pelayaran
maupun antar para pencharter maka administrator palabuhan (Adpel) setempat
menetapkan penunjukan PBM.
8. Kewajiban PBM
Selama melakukan usahanya perusahaan bongkar muat memiliki kewajiban yang
harus dipenuhi. Kewajiban tersebut adalah sebagai berikut:
a. melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin usaha dalam
keputusan ini, dan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang penyelenggaraan
kegiatan bongkar muat dari dan ke kapal;
b. memenuhi batas minimal kecepatan bongkar muat barang yang telah ditetapkan
pada setiap pelabuhan;
c. mengenakan/memberlakukan tarif yang berlaku sesuai peraturan;
d. meningkatkan keterampilan kerja;
e. bertanggung jawab terhadap barang selama berada di bawah pengawasannya;
f. bertanggung jawab kepada kerusakan alat bongkar muat (gear) kapal yang
disebabkan oleh kesalahan, kelalaian orang-orang yang bekerja dibawah
pengawasannya;
g. menyampaikan laporan kegiatan usahanya secara berkala kepada:
1) Administrator pelabuhan setempat berupa laporan harian, bulanan, dan
tahunan;
2) Direktur Jenderal Perhubungan Laut, dalam hal ini adalah Kepala
Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kakanwilhubla setempat
berupa laporan bulanan dan tahunan;
h. mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
62 Hukum Pengangkutan Laut
b. Supervisi
Tenaga supervisi bongkar muat adalah tenaga pengawas bongkar muat yang
disediakan oleh perusahaan bongkar muat (PBM). Tenaga supervisi bongkar
muat terdiri dari:
1. Stevedoring
a) Stevedoring adalah pelaksana penyusun rencana dan pengendalian
kegiatan bongkar muat di atas kapal.
b) Chief tally clerk adalah penyusun rencana pelaksana dan pengendali
perhitungan fisik, pencatatan dan survei kondisi barang pada setiap
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 63
Gambar 4.2
Keterangan:
I. Barang masuk ruang penumpukan
A : Selama barang ada di kapal, tanggung jawab atas barang ada pada
pelayaran.
B, C, E : Selama bongkar/muat barang (stevedoring, cargodoring, dan delivery/
receiving, termasuk shifting) tanggung jawab atas barang pada perusahaan
bongkar muat.
II. Bongkar muat langsung
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 65
5) Stowage Plan
Stowage plan adalah gambar tata letak dan susunan semua barang yang
telah dimuat di atas kapal. Stowage plan dibuat oleh petugas kapal atau
petugas tally.
b. Dokumen pembongkaran barang
1) Pemberitahuan kepada Bea Cukai
Sebelum kedatangan kapal, agen pelayaran memberi tahu kepada bea
cukai tentang rencana kedatangan kapal. Selambatnya dalam tempo 24
jam setelah kapal tiba, harus diserahkan kepada bea cukai dokumen-
dokumen berikut:
(a) Cargo manifest dari semua barang yang akan diimpor/dibongkar.
(b) Cargo manifest dari semua barang yang mempunyai tujuan di luar
Indonesia.
(c) Daftar penumpang dan ABK
(d) Daftar pembekalan.
(e) Daftar senjata api dan obat-obat terlarang.
2) Landing Order
Apabila terjadi perubahan bongkar muat dari suatu partai barang, agen
pelayaran akan mengeluarkan landing order. Landing order adalah
pemberitahuan dari agen pelayaran kepada kapal tentang adanya
perubahan pelabuhan bongkar satu partai barang dengan menyebutkan
pelabuhan bongkar sebelumnya dan pelabuhan bongkar seharusnya.
3) Tally Bongkar
Pada waktu barang dibongkar diadakan pencatatan jumlah colli dan kondisinya
sebagaimana terlihat dan hasilnya dicatat dalam tally sheet bongkar. Tally Sheet
harus di-countersign oleh nahkoda atau mualim yang berwenang.
4) Outturn Report
Outturn report adalah daftar dari semua barang dengan mencatat jumlah
colli dan kondisinya barang itu pada waktu dibongkar. Barang yang kurang
jumlahnya atau rusak diberi tanda (remark) pada outturn report.
5) Short and Overlanded List
Khusus barang yang mengalami kekurangan atau kelebihan dibuat daftar
sendiri yang disebut short and overlanded list.
6) Damaged Cargo List
Khusus untuk barang yang mengalami kerusakan dibuatkan daftar
tersendiri berupa damaged cargo list. Untuk barang-barang yang
mengalami kerusakan dalam damaged cargo list diberi penjelasan rinci
mengenai di mana kerusakan terjadi, sebelum dibongkar atau selama
pembongkaran. Dijelaskan pula sejauh mana kerusakan yang dialami.
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 67
7) Cargo Traces
Dengan memperhatikan short and overlanded list, agen pelayaran mengeluarkan
tracer. Tracer merupakan pemberitahuan kepada semua pihak pelabuhan muat
dan bongkar tentang adanya kekurangan atau kelebihan barang yang terjadi
di pelabuhan pengirim. Tracer juga menanyakan apakah barang yang kurang
tersebut ada dipelabuhan penerima tracer atau sebaliknya.
Pelabuhan penerima tracer akan menyelidiki isi tracer dan segera menyampaikan
hasil penyelidikannya ke pengirim. Apabila tracer pertama tidak dijawab,
setelah 15 hari akan disusul tracer berikutnya, dan demikian seterusnya sampai
mendapat jawaban. Penerima tracer memiliki kewajiban untuk segera meneliti
danmenjawab tracer yang diterima mengingat akan timbulnya klaim dari
pemilik barang.
8) Cargo Manifest
Cargo manifest adalah keterangan rinci mengenai barang-barang yang diangkut
oleh kapal. Jadi ini merupakan daftar barang dari semua Bill of Lading dari
barang yang diangkut kapal dan dijabrakan secara rinci.
9) Special Cargo List
Special cargo list adalah daftar dari semua barang khusus yang dimuat oleh
kapal, misalnya barang berbahaya, barang berharga, barang berat, dan barang
yang membutuhkan pengawasan khusus termasuk refrigerated cargo.
10) Dangerous Cargo List
Dangerous cargo list adalah daftar muatan barang berbahaya, baik yang
ditetapkan oleh IMO ataupun yang ditetapkan oleh yang berwenang di
pelabuhan.
11) Hatch List
Setiap kapal mempunyai muatan sendiri. Hatch list merinci muatanyang ada
pada tiap palka. Hatch list dibuat oleh pihak kapal.
12) Parcel list
Karena sering ada barang kiriman yang bukan barang dagangan dikirim melalui
kapal laut sebagai barang titipan, misalnya personal effect, maka barang tersebut
didaftar dalam suatu daftar yang disebut sebagai parcel list.
1. Perusahaan pelayaran
Perusahaan pelayaran adalah pihak yang mengusahakan tersedianya angkutan laut/
kapal guna kelancaran arus lalu lintas barang. Ruang lingkup usaha pelayaran adalah
sebagai berikut:
a. Usaha pokok pelayaran berupa penyelenggaraan angkutan barang dengan
mempergunakan kapal.
b. Usaha keagenan yang merupakan usaha pelayanan atas kapal orang lain.
c. Usaha penunjang kegiatan pelayaran.
Dalam pengangkutan dan pembongkaran barang oleh kapal, terdapat beberapa
ketentuan tanggung jawab biaya, yaitu:
a. Liner term
pihak yang menanggung biaya adalah perusahaan pelayaran atau pemilik kapal.
Perusahaan pelayaran bertanggung jawab dari pelabuhan ke pelabuhan (from
tackle to tackle) terhadap:
1) Keselamatan barang
Kerusakan atau kehilangan barang yang terjadi sejak tackle kapal di
pelabuhan muat sampai dengan tackle kapal di pelabuhan bongkar
menjadi tanggung jawab pelayaran.
2) Biaya bongkar muat
Pelayaran bertanggung jawab terhadap biaya board-stevedoring baik pada
waktu muat maupun pada waktu bongkar. Biaya cargodoring menjadi
tanggung jawab pemilik barang.
b. FIOS term
FIOS ( Free In Out Ship) term diberlakukan bila kapal disewa oleh penyewa dan
semua biaya bongkar/muat barang akan dibayar oleh penyewa kapal, terhadap:
1) Keselamatan barang
Pelayaran hanya bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
barang sejak barang berada di atas kapal di pelabuhan muat sampai dengan
barang berada di atas kapal sebelum dibongkar di pelabuhan bongkar.
2) Biaya bongkar muat
Pelayaran hanya menyediakan ruang kapal, sedangkan biaya bongkar
muat menjadi tanggung jawab pencharter atau pemilik barang. Terdapat
kombinasi antara liner dan FIOS dengan kemungkinan Liner In/Free Out
(LIFO) yang berarti memuat barang dilakukan secara liner dan bongkar
barang dilakukan secara FIOS. Free In/Liner Out (FILO) merupakan
kebalikan dari kombinasi LIFO.
Bab 4: Tanggung Jawab Pengangkut 69
A. Dokumen-Dokumen Pengangkutan
Semua dokumen-dokumen yang diperlukan dalam proses pengiriman barang dalam
pengangkutan laut dinamakan dokumen pengapalan (Shipping Documents). Pada dasarnya
dokumen-dokumen tersebut berfungsi untuk melindungi muatan sejak dipersiapkan
untuk dimuat ke atas kapal di pelabuhan pemuatan, sampai muatan itu diserahkan
kepada pemiliknya atau mereka yang berhak atas dokumen tersebut di pelabuhan tujuan.
Dokumen-dokumen yang terdapat dalam pelayaran dalam negeri dapat digolongkan ke
dalam beberapa kumpulan, menurut penggunaan dan keperluannya, maka akan diuraikan
beberapa dokumen yang paling umum dipakai atau dikenal, yaitu:
1. Kontrak Pengiriman (Freight Contract)
Kontrak ini merupakan persetujuan resmi antara pihak pengangkut atau wakilnya
dengan pengirim (shipper), untuk menggunakan sebuah kapal untuk mengangkut
barang dalam suatu pelayaran tertentu. Dalam kontrak ini akan dicantumkan jenis
barangnya, berat, volume, uang tambang, pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar,
cara penyerahan, nama kapal, tanggal keberangkatan kapal dan sebagainya.
Didalamnya terdapat sebuah klausula yang menyatakan bahwa booking tersebut
harus tunduk pada semua syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang dicantumkan
dalam konosemen (bill of lading) dari perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
2. Shipping Permit atau adakalanya disebut Delivery Permit
Bagi pihak Shipper atau wakilnya, maka shipping permit ini merupakan sebuah
dokumen yang memberitahukan kepadanya tentang batas waktu, selama mana
muatannya itu harus diserahkan kepada pegawai perusahaan pelayaran di terminal/
dermaga yang ditunjuk dalam shipping permit tersebut. Shipping permit ini memberi
pertunjuk kepada “pegawai penerima muatan” (keluar) di terminal di mana kapal
akan memuat, agar menerima dari pihak yang disebutkan (shipper atau wakilnya),
barang-barang yang disebutkan di dalamnya untuk diperiksa menurut penjelasan
tentang jumlah, macam, pembungkus, isi, berat dan ukuran pada suatu hari atau
waktu tertentu, barang mana yang akan dikirim ke pelabuhan tujuan yang disebutkan
di dalamnya, dengan kapal yang disebutkan.
72 Hukum Pengangkutan Laut
3. Dock Receipt
Tanda terima penyerahan dari barang-barang yang diterima di terminal untuk
pengapalan di suatu kapal tertentu atau untuk penyimpanan di gudang (hold on
dock) diberikan tanda terima berupa dock receipt ini. Biasanya dokumen ini
diberikan kepada pihak shipper atau wakilnya oleh perusahaan pelayaran itu
sendiri menurut keterangan-keterangan muatan yang diperoleh dari pemeriksaan
peusahaan pelayaran.
4. Dock Sheet (Returns) dan Tally Sheets
Dock Sheets ini dibuat oleh bagian terminal dari perusahaan pelayaran, merupakan
daftar yang mencatat semua pengiriman yang telah diterima untuk dikapalkan.
Sedangkan Tally Sheets adalah merupakan bukti hitungan (tally) dari muatan yang
dimuat atau dibongkar ke dan dari atas kapal, hitungan mana biasanya didasarkan
atas jumlah muatan tiap-tiap sling.
5. Stowage Plan (Rencana Pernyusunan Muatan)
Memperlihatkan secara grafis tentang letak dan pembagian muatan-muatan di
dalam palka-palka dan ruang-ruang muat serta dek kapal.
6. Manifest
Daftar muatan yang dimuat oleh kapal pada pelabuhan pemuatan dan akan
dibongkar di pelabuhan tujuan masing-masing. Ada dua jenis manifest yang sering
digunakan yaitu Cargo Manifest dan Freight Manifest (dalam hal-hal tertentu sering
digabung menjadi Cargo & Freight Manifest).
7. Landing Order
Jika Shipper telah dapat menetapkan pelabuhan tujuan pasti bagi barang muatannya,
maka ia harus segera memberitahukannya kepada perwakilannya untuk segera
membongkar muatan tersebut di pelabuhan yang ditunjuk, dengan sebuah dokumen
yang disebut “Landing Order”.
8. Delivery Order
Adakalanya merupakan dokumen yang dipakai oleh perusahaan pelayaran untuk
memerintahkan kepada bagian muatan masuk di terminal agar barang muatan yang
disebutkan di dalamnya dapat diserahkan kepada si penerima.
9. Certificate of Non Delivery dan Certificate of Damage
Adalah keterangan atau bukti yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan pelayaran
mengenai ketidakcocokan baik tentang jumlah maupun tentang keadaan dari
barang.
Bukti/keterangan tersebut adalah:
b. Bukti “kekurangan” jumlah penyerahan (in delivery certicate) yang dalam
praktik dinamakan “except bewijs” (E.B).
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 73
mencari alat pengangkutnya saja. Mengenai siapa saja yang dimaksudkan dengan
pihak pengirim barang itu KUHD sama sekali tidak memberikan rumusannya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengirim barang itu bisa pemilik barang itu
sendiri, bisa juga orang lain. Tetapi lazimnya dalam praktik seperti telah disebutkan
di atas pengirim barang itu adalah bukan pemilik barang itu sendiri.
The Hague Rules 1924 tidak memberikan definisi mengenai siapa yang diartikan
sebagai pengirim barang itu.
The Hamburg Rules 1978 memberikan suatu definisi tentang apa yag dimaksudkan
dengan pengirim barang, yaitu:
“Shiper means any person by whom or ini whose name or on whose behalf a contract
of carriage of goods by sea has been concluded with a carrier, or any person by whom
or in whose name or on whose behalf the goods are actually delivered to the carrier in
relation to the carrier in relation to the contract of carriage by sea”.
2. Penerima Barang (Consignee)
Dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut, si penerima barang adalah
pihak yang namanya tercantum dalam konosemen sebagai pihak tertentu kepada
barang yang diangkut itu harus diserahkan oleh pengangkut. Sesuai dengan ketentuan
pasal 506 KUHD alinea kedua penerima barang ini boleh disebutkan namanya (“op
naam”), boleh juga disebutkan sebagai pihak yang ditunjuk oleh pengirim maupun
orang ketiga (“op order”) dan boleh juga disebutkan sebagai pembawa (‘aan toonder”)
baik dengan atau tanpa penyebutan seseorang tertentu disampingnya.
Sesuai dengan pasal 510 KUHD alenia kesatu maka setiap pemegang konosemen
yang sah berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di
tempat tujuan sesuai dengan isi konosemen, kecuali apabila ia telah menjadi
pemegang konosemen dangan cara melawan hukum. Jadi “sah” disini berarti bahwa
memperoleh konosemen itu tidak dengan cara melawan hukum.
Dalam The Hague Rules 1924 tidak dimuat definisi tentang penerima barang tersebut.
Sedangkan The Hamburg Rules 1978 dalam pasal 1 ayat (4) menyebutkannya sebagai
berikut: “consignee means the person entitled to take the delivery of the goods”.
3. Barangnya itu sendiri
Tentang apa yang diartikan dengan barangnya itu sendiri KUHD dalam Buku II Bab
V a tidak memberikan rumusannya. Disitu hanya disebutkan “barang” saja.
The Hague Rules 1924 dalam pasal 1 (c) memberi pengertian tentang “barang”, yaitu:
“Goods includes words, wares, merchandise and articles of every kind whatsoever
except live animals and cargo which by the contract of carriage is stated as being carried
on the deck and is to be carried”.
76 Hukum Pengangkutan Laut
Jadi menurut pasal tersebut yang termasuk pengertian barang yaitu barang-barang
yang dibuat dari tanah atau besi (schotel), terbuat dari kayu dan tembaga, barang-barang
dagangan dan macam-macam hal apa saja, kecuali hewan-hewan yang hidup dan muatan
yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian pengangkutan untuk diangkut di atas dek
(palka).
Sedangkan menurut The Hamburg Rules 1978 pengertian barang adalah lebih luas,
yaitu meliputi juga binatang-binatang yang hidup dan barang-barang yanag dimasukan
dalam container (peti kemas) atau pallet (pembungkus). The Hamburg Rules 1978 memberi
rumusan tentang pengertian barang dalam pasal 1 ayat 5 yaitu:
“Goods includes live animals, where the goods are consolidated in a container, pallet
or a similar articles of transport or where they are packed, “goods” includes such articles of
transport or packaging if supplied by the shipper”.
Disamping ketiga pihak tersebut di atas dalam suatu kegiatan pelayaran niaga terlibat
juga kegiatan atau jasa pihak-pihak lain tetapi pihak-pihak lain itu tidak saling mempunyai
hubungan hukum karena mereka hanyalah merupakan wakil (lastnemer) saja dari adalah
satu pihak tersebut. Oleh karena itu, kegiatan mereka dalam hubungannya dengan
pengapalan barang, dan juga dalam kegiatan pelayaran pada umumnya, tidak diatur oleh
undang-undang.
Adapun pihak-pihak yang dimaksud terakhir ini adalah:
a. Ekspeditur (perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut atau forwarding agent) yaitu
orang atau perusahaan yang menyelenggarakan usaha mengurus berbagai macam
dokumen dan formalitas yang diperlukan guna memasukan dan mengeluarkan
barang dari kapal atau pelabuhan.
Ekspeditur tidak bekerja sendiri, melainkan menjadi wakil (=lastnemer) bagi
pengirim atau penerima muatan kapal laut. Dalam hal mengekspedisi muatan keluar
(ekspor) tugas dan kewajiban ekspeditur sudah selesai kalau barang sudah dimuat
ke dalam kapal dan Bill of Lading (B/L) sudah diambil olehnya untuk diserahkan
kepada orang yang memberinya kuasa untuk mengurus pemuatan (pengapalan) itu.
Dalam hal mengurus pengeluaran muatan impor dari pelabuhan, pekerjaan
ekspeditur dimulai dengan pembuatan dokumen-dokumen impor berupa
Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD), sampai membayar bea masuk yang
berkenaan serta biaya dan pengeluaran lainnya sampai barang dapat dikeluarkan
dari gudang pabean untuk diserahkan kepada pemiliknya.
Berhubung dengan jenis pekerjaannya itu maka perusahaan Ekspedisi Muatan
Kapal Laut (EMKL) biasanya mempunyai armada angkutan darat sendiri, agar
pengangkutan barang dari dan ke gudang pemilik barang di luar pelabuhan dapat
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 77
diselenggarakan dengan lebih mudah dan lebih murah. Juga, usaha sampingan
trucking ini dapat menambah pendapatan EMKL.
Perkembangan selanjutnya dari usaha Ekspedisi ini tumbuh berupa usaha freight
forwarding (FF) yang tidak hanya mengurus dokumentasi dan pengangkutan
muatan sebelum dan sesudah pengapalannya, melainkan meliputi semua keperluan
pengapalan mulai dari sortasi barang (pemilahan-milahan jenis barang sesuai dengan
klasifikasi tarif bea dan uang tambang), packing (pengemasan barang dalam kemasan
yang sesuai dengan pengangkutan samudara), cargo documentation (penyiapan dan
pembuatan dokumen-dokumen pengapalan sampai kepada perolehan izin ekspor
kalau diperlukan).
b. Warehousing (usaha pergudangan), yaitu usaha penimbunan dan penyimpanan
barang di dalam gudang atau lapangan penumpukan pelabuhan, selama barang yang
bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu pembebasannya
dari pengawasan pabean.
Perlu diketahui bahwa dalam sebuah pelabuhan lazimnya terdapat tiga macam
gudang, yaitu: gudang pabean (disebut juga: gudang lini I), gudang entrepot (bonded
warehouse) dan gudang bebas.
Dalam rangka kegiatan pengapalan muatan, gudang pabean merupakan yang
terpenting karena di gudang pabean inilah disimpan barang yang baru saja
dibongkar dari kapal, atau segera dimuat ke kapal. Di sini instansi pabean perlu
campur tangan, sebab barang yang akan/baru dimuat/dibongkar dari/ke kapal itu
harus menyelesaikan terlebih dahulu formalitas pabeannya dan membayar bea-bea
sebelum diizinkan keluar dari gudang pabean.
c. Stevedoring, yaitu usaha pemuatan dan pembongkaran barang-barang muatan kapal
laut. Perusahaan stevedoring dapat merupakan sebuah perusahaan yang berdiri
sendiri, sebagai sebuah PBM (Perusahaan Bongkar Muat), atau dapat juga merupakan
anak perusahaan, atau agen dari sebuah perusahaan pelayaran. Seringkali juga
perusahaan stevedoring ini bergabung dengan perusahaan pengangkutan muatan
kapal, yang dimuat ke dan dibongkar dari kapal yang bertambat atau berlabuh di
luar dermaga.
Seperti diketahui dermaga-dermaga yang terdapat pada sebuah pelabuhan tidak
selalu dapat memenuhi kebutuhan penyandaran kapal dan arena kapal, demi
efisiensi operasi, tidak dapat menunggu giliran penyandaran terlalu lama, akan
melakukan kegiatan di perairan pelabuhan (kolam pelabuhan, rede, roads) dan
dari sana barang-barang yang telah dibongkar ke atas tongkang akan diantarkan ke
gudang. Begitu juga sebaliknya bagi barang yang akan dimuat ke kapal, diantarkan
ke kapal dengan tongkang guna dimuat di kolam pelabuhan.
78 Hukum Pengangkutan Laut
lain perusahaan veem mengurusi kemasan barang yang akan dikapalkan dan
perusahaan transport melaksanakan pengangkutannya, maka perusahaan freight
forwarding menyelenggarakan semua kegiatan tersebut secara terpadu.
Di negara-negara lain perkembangan usaha freight forwarding sudah sedemikian
maju, di mana perusahaan tersebut menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Konsolidasi muatan yang dikapalkan oleh shippers yang masing –masing
mengapalkan dalam jumlah kecil.Perusahaan freight forwarding menerima
pengiriman muatan dalam jumlah kecil (sedikit) dari banyak shippers, lalu
muatan-muatan kecil tersebut dikonsolidasikan (dikumpulkan; disatukan)
menjadi muatan satu peti kemas penuh.
2. Kegaiatan konsolidasi muatan tersebut dilakukan di dalam gudang
yang dimilikinya/dioperasikannya, yang berlokasi di luar pelabuhan dan
dinamakan Gudang CFS (Container Freight Station).
3. Mengatur pembungkusan barang sesuai dengan persyaratan pengapalan
“seaworthy package” dan memberi shipping mark sesuai dengan kebutuhan.
4. Mengurus surat-surat dan dokumen-dokumen pengapalan barang termasuk
surat izin ekspor kalau diperlukan.
5. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari gudang eksportir (pengirim)
sampai gudang CFS dan dari situ ke container yard di pelabuhan pemuatan
barang.
6. Mencarikan kapal yang sesuai bagi pengapalan yang bersangkutan dan
membayar uang tambang yang bersedia.
tingkat angkutan (freight) yang layak dan stabil serta tersedianya ruangan
angkutan secara tetap dan teratur (liner system). Disamping penyelenggaraan
pelayaran luar negeri dengan liner system dapat pula dilakukan dengan kapal-
kapal yang menyelenggarakan pelayaran tidak tetap, hal ini dimaksudkan untuk
mengatasi kebutuhan angkutan pelayaran luar negeri yang dapat dilayari oleh
kapal-kapal liner system.
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin operasional usaha pelayaran samudera
pada hakikatnya adalah sama dengan usaha pelayaran samudera pada
hakikatnya adalah sama dengan usaha pelayaran dalam negeri hanya saja kapal
yang dipergunakan adalah seberat minimal 28.000 m3, dan harus melaksanakan
kebijaksanaan umum pemerintah di bidang penyelenggaraan luar negeri .
Dengan demikian maka tanggung jawab pengangkut itu berakhir sejak barang
dibongkar diserahkan dekat kapal (“delivery of goods alongside the ships”). Jadi
berdasarkan The Hague Rules 1924 periode dari tanggung jawab pengangkut itu
adalah “from tackle to tackle”, atau yang lebih jelas lagi adalah sejak barang-barang
muatan itu dikaitkan pada tackle/sling (tali derek) di pelabuhan pemuatan, selama
berlangsungnya pelayaran dari pelabuhan pembongkaran pada saat barang-barang
menyentuh permukaan dermaga atau perahu, dan kait pada sling tersebut dilepas.
Dalam The Hamburg Rules 1978 mengenai periode tanggung jawab pengangkut
dirumuskan lebih terperinci. Hal ini kita dapat jumpai pada article 4 (period of
responsibility), yaitu article 4 ayat (1) yang meyebutkan bahwa:
“The responsibiltity of the carrier for the goods under this rules is the period during
which the carrier is in charge of the goods at the port of loading, during the carriage
and at the port of discharge”.
Jadi menurut pasal ini tanggung jawab pengangkut adalah pada saat barang itu
berada di bawah kekuasaannya yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama
berlangsungnya pengangkutan sampai di pelabuhan pembongkaran, atau dapat
ditafsirkan bahwa tanggung jawab pengangkut adalah pada saat barang ada dalam
penguasaan pengangkut sampai pada saat barang-barang tersebut diserahkan
kepada consignee. Adapun yang dimaksud dengan consignee tersebut adalah mereka
yang mempunyai hak atas penyerahan barang-barang (“consignee means any person
entitled to take delivery of the goods”).
Selanjutnya article 4 ayat (2) dari The Hamburg Rules 1978 menetapkan tentang
sejak kapan barang berada di dalam peguasaan pengangkut sehubungan dengan
article (1) tersebut, yaitu:
A. Sejak barang diserahkan kepadanya oleh:
1. Pengirim atau orang lain yang bertindak atas namanya
2. Seseorang yang dikuasakan atau pihak ketiga yang terhadapnya hukum
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 87
jawab atas akibat daripada hilang dan rusaknya barang, bahkan diperluas lagi
dengan tanggung jawab atas kelambatan penyerahan barang-barang tersebut
ada di dalam penguasaan pengangkut (“the carrier is liable for loss resulting from
loss or damage to the goods, as well as from delay in delivery, if the occurrence
which cause the loss, damage of delay took place while the goods were in his
charge”).
Dalam Article II The Hague Rules, dinyatakan bahwa pengangkut mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab terhadap muatan yang diangkut dengan
kapalnya, dalam hal: pemuatan, penanganan (handling), pemadatan (stowage),
pengangkutan (carriage), penjagaan (custody), pemeliharaan (care) serta
pembongkaran barang muatan kapal, yang diserahkan kepadanya untuk
diangkut.
Di pihak lain pengangkut mempunyai kebebasan serta hak, kekebalan (immunities),
yang memberi perlindungan kepada pengangkut terhadap tuntutan ganti rugi atas
kerusakan/kerugian pada muatan, bila kerusakan atau kerugian itu telah terjadi bukan
karena kesalahan pengangkut. Pokok-pokok ketentuan yang membatasi tanggung jawab
dari pengangkut menurut The Hague Rules 1924 adalah:
1. Due Dilligence Clause
Pengangkut terbebas dari kewajiban dan tanggung jawab atas kerugian dari barang
yang diangkutnya apabila ia (pengangkut) dapat membuktikan bahwa ia telah benar-
benar melakukan “due diligence”, yaitu usaha-usaha untuk membuat kapalnya layak
laut dan siap untuk mengangkut muatan; di samping itu kapal pun harus diawaki
secukupnya, membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh
pelayaran yang direncanakan dan untuk keperluan penyelenggaraan muatan maka
semua palka, kamar pendingin dan lain-lain harus berada dalam keadaan siap
untuk menerima muatan, memadatnya dengan baik dan mengangkutnya sampai ke
tempat tujuan dengan aman dan selamat.
Ketentuan The Hague Rules yang mengatur masalah itu terdapat dalam Article III
(ayat 1) yang berbunyi:
“Sebelum dan pada saat dimulainya pelayaran kapal, pengangkut terikat untuk
menyelenggarakan dengan sewajarnya usaha-usaha yang perlu untuk:
a. Membuat kapalnya layak laut,
b. Mengawaki, memperlengkapi dan memberikan bekal kapal secukupnya,
c. Membuat palka, ruang beku dan ruang dingin dan semua bagian kapal lainnya
di mana muatan diangkut, cocok dan aman bagi penempatan, pengangkutan
dan pemeliharaan muatan tersebut”.
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 89
Kalau selama pelayaran terjadi suatu kerugian atau kerusakan pada muatan, atau
terjadi bencana pada kapal secara keseluruhan, pertama-tama akan dinilai apakah
pengangkut sudah berusaha secara wajar untuk memenuhi kewajibannya itu. Kalau
terbukti bahwa pengangkut lalai dalam memenuhi kewajibannya itu, pengangkut
bertanggung jawab penuh atas semua kerugian atau kerusakan yang terjadi sebagai
akibat kelalaian tersebut. Tetapi sebaliknya kalau terbukti bahwa pengangkut sudah
berusaha sewajarnya, pengangkut dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti rugi
yang mungkin diajukan kepadanya.
2. Prima Facie Evidence
Pengangkut akan sanggup untuk mengangkut sejumlah muatan atas dasar
penglihatan/keadaan barang yang tampak dari luar. Hal tersebut antara lain memberi
pengertian bahwa kalau sebuah peti keadaannya baik tetapi pada waktu dibuka
kedapatan isinya rusak atau kurang, maka pengangkut dapat menolak tuntutan ganti
rugi yang diajukan oleh pemilik muatan tersebut kepadanya. Sebagai argumentasi
bagi penolakan itu dinyatakan bahwa pengangkut menerima barang dalam keadaan
baik – in sound condition – dan barang yang sama diserahkan kepada consignee
juga dalam keadaan yang baik, sama seperti keadaannya pada waktu diterima dari
shipper. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka bila ternyata setelah peti dibuka
isinya rusak atau hilang, maka kerusakan atau kehilangan itu harus dianggap telah
terjadi sebelum pengapalan, kecuali kalau ternyata kemudian, bahwa sebenarnya
peti telah dibuka oleh pencuri yang telah mencuri isinya dan kemudian menutupnya
kembali dengan sempurna.
3. Negligence Clause
Tanggung jawab pengangkut dibatasi yaitu tidak meliputi atau termasuk kerugian
atau kerusakan yang terjadi karena ketidakwaspadaan dan kelalaian nahkoda, anak
buah kapal atau orang lain yang bekerja dalam dinas pengangkut dalam hal navigasi
atau manajemen. Menurut ketentuan ini, kerugian/kerusakan yang terjadi karena
kesalahan navigasi atau manajemen kapal, semata-mata merupakan tanggung jawab
nahkoda atau orang-orang lain, yang bekerja di kapal sesuai dengan profesinya
masing-masing. Rasionya adalah bahwa nahkoda dan orang lain itu menjalankan
pekerjaan yang memang menjadi keahliannya dan mereka mempunyai sertifikat
yang menyatakan kecakapan dan wewenang masing-masing untuk menjalankan
pekerjaan itu dengan bebas tanpa ikatan perintah oleh siapapun, termasuk oleh
pemilik kapal yang bersangkutan yang telah memperkerjakan mereka dalam jabatan
dan keahlian mereka masing-masing.
4. Deviation Clause
Pengangkut tidak diharuskan untuk berlayar di jalur yang biasa dilayari atau sudah
umum dilayari tetapi juga tidak boleh seenaknya melakukan penyimpangan yang
90 Hukum Pengangkutan Laut
dapat merugikan pemilik barang. Penyimpangan ini sudah barang tentu dapat
menimbulkan akibat-akibat yang merugikan, khususnya bagi pemilik muatan
kapal yang dengan adanya penyimpangan ini barangnya menjadi terlambat tiba
di pelabuhan tujuan dan mungkin juga mengalami kerusakan karena kering atau
busuk.
Untuk dapat menetapkan kepada siapakah akibat-akibat dari penyimpangan arah
kapal itu harus dibebankan, The Hague Rules telah menegaskan penyimpangan
manakah yang dinyatakan sah (lawful) dan penyimpangan mana yang dianggap
tidak sah sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab dari pengangkut.
Suatu penyimpangan arah pelayaran kapal dinyatakan sah (sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dicantumkan dalam syarat B/L), kalau penyimpangan tersebut
dilakukan dalam rangka usaha untuk:
- Menyelamatkan/berusaha untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda di laut
- Menjaga kepentingan pengangkut dan pemilik barang, misalnya untuk
menghindari badai.
Menurut ketentuan The Hague Rules, segala risiko dan kerusakan yang terjadi
sebagai akibat dari penyimpangan arah pelayaran seperti yang diterangkan di atas,
berada di luar tanggung jawab pengangkut. Pengangkut atau kapal tidak dapat
dituntut untuk mengganti kerugian yang terjadi sebagai akibat dari dilakukannya
penyimpangan arah secara sah (lawful deviation). Kalau penyimpangan arah
dilakukan misalnya dengan tujuan mengambil muatan di pelabuhan yang tidak
dilindungi oleh Deviation Clause, pengangkut atau kapal bertanggung jawab penuh
atas semua akibat dari penyimpangan itu, kalau menimbulkan kerusakan atau
kerugian pada muatan.
5. Un-acquaintance Clause
Pengangkut menyatakan bahwa ia menerima barang untuk dikapalkan dalam
bungkusan dan tidak menghitung isi atau jumlah barang yang terdapat dalam
kemasan yang dikapalkan biasanya dinyatakan dalam Bill of Lading misalnya:”Said
to Contain…” atau “Said to weight...”.
6. Paramount Clause
Ini adalah ketentuan tentang syarat tanggung jawab tertinggi (maksimum) yang
dapat dipikul oleh pengangkut. Ketentuan ini dibuat untuk memberikan batas yang
pasti, sampai seberapa besar maksimum pengangkut harus mengganti kerugian,
bila muatan yang diangkutnya mengalami kerugian atau kerusakan yang menjadi
tanggung jawab pengangkut.
Menurut The Hague Rules, tanggung jawab tertinggi yang dapat dipikul oleh
pengangkut adalah sebesar ₤ 100,- per-colli muatan, bila muatan tidak diberitahukan sifat,
nilai atau harganya kepada pengangkut sebelum pengapalan. Selanjutnya oleh The Hague
Bab 5: Pengangkutan Barang Melalui Laut 91
Rules ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas
kerugian atau kerusakan yang terjadi karena atau disebabkan oleh:
1. Kebakaran, kecuali kalau kebakaran itu terjadi karena kesalahan pengangkut, atau
kalau kesalahan itu terjadi dan pengangkut mengetahuinya tetapi merahasiakan itu.
2. Bahaya/bencana dan malapetaka laut atau perairan pelayaran lainnya (perils,
dangers and accidents of the sea or other navigable waters).
3. Kejadian lain yang berada di luar kekuasan manusia untuk mengatasinya (Act of God)
4. Tindakan peperangan
5. Tindakan permusuhan dari rakyat setempat
6. Penahanan oleh raja, pemerintah atau orang-orang (rakyat), atau penyitaan
karena tuntutan hukum
7. Pembatasan karantina
8. Tindakan atau kealpaan pengirim atau pengirum barang, agennya atau wakilnya.
9. Pemogokan dan tindakan-tindakan lain yang menyerupai pemogokan.
10. Kerusuhan atau pemberontakan
11. Kerugian karena susut isi atau susut berat barang, atau kerugian lainnya, kerusakan
sebagai akibat dari cacat, menurunnya kualitas atau kerusakan karena sifat
barangnya itu sendiri.
12. Pembungkus yang tidak mencukupi atau tidak memenuhi syarat sebagai suatu
seaworthy package.
13. Merk yang tidak jelas atau tidak baik catnya – yang dipergunakan untuk membuat
shipping mark – sehingga tidak dapat dibaca.
14. Cacat yang tersembunyi, yang tidak dapat diketahui dengan pengamatan yang
sewajarnya.
15. Setiap sebab lainnya yang terjadi di luar kesalahan atau diluar pengetahuan
pengangkut, kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa kesalahan atau kelalaian
pengangkut turut membantu mengakibatkan kerugian atau kerusakan itu.
Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Tanggung Jawab
Pengangkut tersebut terdapat dalam pasal 86, yang bunyinya adalah:
1. Perusahaan pengangkutan di perairan bertanggung jawab akibat yang ditimbulkan
oleh pengoperasian kapal berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut;
d. Kerugian pihak ketiga.
2. Jika perusahaan pengangkutan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c bukan disebabkan oleh kesalahannya maka
ia dapat dibebaskan dari sebagian atau seluruhnya dari tanggung jawab.
92 Hukum Pengangkutan Laut
Ribuan tahun yang lalu pelabuhan-pelabuhan yang ada pada awalnya dibangun di sungai-
sungai dan perairan pedalaman, kemudian berkembang secara bertahap, pelabuhan
dibangun ditepi laut terbuka seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Peran
dan fungsi pelabuhan pada masa tersebut hanya sebagai tempat aktivitas perdagangan,
sehingga fasilitas dan pengelolaannya belum merupakan kelembagaan yang dikelola secara
terstruktur dan terencana seperti pelabuhan yang ada dewasa ini.
Menurut tujuannya, kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan
kepentingan ekonomi dan kepentingan pemerintah, yang dalam perkembangannya
ditandai dengan perkembangan teknologi kemasan barang dan peralatannya yang
semakin baik disertai teknologi sarana angkutan laut cenderung meningkat. Pengelolaan
pelabuhan juga mengikutsertakan peran dari pihak swasta yaitu dalam pembangunan atau
penyelenggaraan sarana dan prasarana pelabuhan, sehingga hal ini mempengaruhi pola
investasi dan sistem pengelolaannya serta mendorong peran dan fungsi pelabuhan yang
semakin kompleks dibandingkan dengan sebelumnya.
93
94 Hukum Pengangkutan Laut
dapat digunakan untuk tempat berlindung kapal dan melakukan aktivitas bongkar muat
barang, manusia ataupun hewan serta dilengkapi dengan fasilitas terminal yang terdiri dari
tambatan, gudang dan tempat penumpukan lainnya, di mana kapal melakukan transfer
muatannya.
Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang
kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau
barang, keselamatan berlayar, serta tempat perpindahan intra dan atau antar moda.
Pengertian pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan
disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun
penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan
antar moda transportasi.
Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang
dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda
serta mendorong perekonomian nasional dan daerah.
Pelabuhan sebagai “terminal point” bagi kapal merupakan hal yang utama.
Dikeluarkannya PP Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan diperbaharui
dengan PP Nomor 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan karena masalah kepelabuhan
merupakan bagian yang tidak terpisah dalam sistem ekonomi yang merupakan penunjang
bagi perkembangan industri, perdagangan maupun pelayaran. Dalam PP tersebut yang
dimaksud dengan pelabuhan ialah lingkungan kerja dan tempat berlabuh bagi kapal-kapal
dan kendaraan air lainnya untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan, dan
penumpang. PP tersebut menyebut adanya beberapa macam pelabuhan, yaitu:
a. Pelabuhan yang diusahakan yaitu: Pelabuhan yang dalam pembinaan Pemerintah
sesuai dengan kondisi, kemampuan dan perkembangan potensi pelabuhan yang
diusahakan menurut asas-asas hukum perusahaan atas ketetapan Menteri.
b. Pelabuhan yang tidak diusahakan yaitu: Pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah,
sesuai dengan kondisi kemampuan dan perkembangan potensinya, dan belum
ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan.
c. Pelabuhan otonom yaitu: Pelabuhan yang berwenang untuk mengatur diri sendiri
sesuai dengan suatu peraturan perundangan yang ada.
d. Pelabuhan Khusus yaitu: Pelabuhan yang khusus melayani suatu kegiatan industri
yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 95
e. Pelabuhan laut dan pelabuhan pantai yaitu: pelabuhan yang diatur menurut undang-
undang pelayaran Indonesia tahun 1936 dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pelabuhan sebagai terminal point untuk kapal laut serta kendaraan air lainnya
merupakan komponen logistik teknis yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan
angkutan laut. Dalam fungsinya sebagai terminal point, pelabuhan merupakan lingkungan
kerja khusus yang penyelenggaraan dan pengusahaannya dalam bentuk penanggung jawab
tunggal dan umum di bawah Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Selanjutnya PP
tersebut menetapkan:
a. Pelabuhan meliputi:
1). Lingkungan kerja yang terdiri atas luas perairan termasuk batas-batas
pelabuhan dan luas daratan untuk keperluan terminal;
2). Lingkungan kepentingan
b. Lingkungan kerja pelabuhan meliputi segala fasilitas teknisnya pelaksanaan dan
penyelenggaraan angkutan laut maupun usaha-usaha terminal
c. Lingkungan kepentingan pelabuhan ialah, lingkungan di mana penggunaan tanah
dan pembangunan gedung-gedung dan lain bangunan yang dilakukan setelah
mendapat persetujuan pejabat yang ditunjuk menteri dan mendengar pendapat
Menteri dalam negeri atau pejabat yang ditunjuknya. Demikian juga hal yang
mencakup lingkungan untuk penyelenggaraan angkutan melalui sungai dan terusan.
Pelabuhan laut dan pantai menurut PP 69 Tahun 2001 itu pengertiannya sesuai
dengan undang-undang pelayaran Indonesia 1936 (Indonesche Scheepsvaartwet 1936 S
1936 no. 700) yaitu:
a. Pelabuhan laut ialah tempat yang menurut peraturan pemerintah ditunjuk di
Indonesia yang dapat dikunjungi oleh kapal-kapal laut;
b. Pelabuhan pantai ialah setiap tempat lainnya di Indonesia yang dapat dikunjungi
kapal-kapal laut.
Pelabuhan-pelabuhan laut itu terbuka untuk perdagangan luar negeri untuk kapal-
kapal laut berbendera Indonesia dan negara-negara sahabat dengan syarat timbal balik
dan mentaati peraturan-peraturan setempat. Berdasarkan PP dapat ditunjuk pelabuhan-
pelabuhan pantai yang terbuka untuk perdagangan luar negeri untuk kapal-kapal laut serta
dengan penentuan jenis atau besarnya kapal.
Menurut tujuannya, kegiatan suatu pelabuhan dapat dihubungkan dengan kepentingan
ekonomi dan kepentingan pemerintah lainnya, di mana secara signifikan pelabuhan
ditempatkan sebagai akselator (pemacu) pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu pelabuhan dengan segala aktivitasnya mempunyai keterkaitan yang sangat erat
(linkage) dengan sektor industri, pertanian, pariwisata dan sektor perdagangan. Pelabuhan
juga merupakan titik simpul dari mata rantai sistem transportasi serta merupakan pintu
96 Hukum Pengangkutan Laut
gerbang (gate way) khususnya bagi transportasi laut dalam rangka kegiatan lalu lintas
barang, peti kemas, pergerakan penumpang dan hewan, dengan demikian pelabuhan
mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Berkembangnya lalu lintas laut, teknologi bongkar muat, meningkatnya perdagangan antar
pulau dan luar negeri, maka kualitas peran dan fungsi pelabuhan sebagai terminal bagi
barang dan kapal, sebagaimana diuraikan tersebut di atas perlu ditingkatkan kualitasnya
secara konsisten dan berkesinambungan untuk mengimbangi laju pertumbuhan kegiatan
ekonomi dan perdagangan dari tahun ke tahun.
2. Fasilitas Pelabuhan
Seperti disebutkan dalam PP No. 69 Tahun 2001, maka pelabuhan adalah suatu lingkungan
kerja di mana kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman dan murah, terhindar dari bahaya-
bahaya yang mungkin mengancam kapal yang ditimbulkan oleh gelombang angin dan
sebagainya, untuk menyelenggarakan bongkar muat barang, hewan dan penumpang.
Untuk maksud itu seharusnya di pelabuhan tersebut harus terdapat alat-alat yang
diperlukan guna mempermudah dan memperlancar pembongkaran dan pemuatan
barang-barang dari atau ke kapal atau alat perlengkapan untuk mengambil bahan bakar,
perbekalan, air dan sebagainya. Sedapat mungkin di dalam pelabuhan ada dok (bengkel
kapal) untuk mengadakan perbaikan terhadap kapal, mengecat dan sebagainya, karena
pelabuhan dilihat dari fungsinya merupakan tempat bertemunya orang-orang asing dalam
melakukan perniagaan, maka agar mereka merasa senang pelayanan harus memuaskan.
Pelabuhan sebagai terminal point bagi kapal-kapal harus dapat menyediakan tempat
supaya kapal-kapal dapat merapat secara mudah dan aman serta dilengkapi dengan alat-
alat bongkar muat barang dan fasilitas-fasilitas lainnya. Di pelabuhan harus tersedia
fasilitas yang cukup tentang pandu-pandu laut, rambu-rambu suar demi keselamatan
pelayaran kapal. Rambu-rambu suar tersebut harus menyala dari saat matahari terbenam
hingga terbit atau bila jarak penglihatan kurang dari 2 mill laut. Juga di pelabuhan itu harus
ada gudang-gudang dan tempat penimbunan barang-barang, jalan dan jembatan, saluran
pembuangan air, listrik, air minum, pemadam kebakaran dan lain-lain.
Suatu pelabuhan yang dimasukkan dalam lalu lintas internasional terikat pada
perjanjian-perjanjian yang diadakan. Orang tidak dapat bebas memasuki pelabuhan bila
pelabuhan itu tidak termasuk dalam perjanjian. Perjanjian umum mengenai kedudukan
pelabuhan internasional dibuat di Jenewa pada 8 Desember 1923, yang disebut “Algemene
Zee-haven tractaat van Geneve” yang antara lain disebutkan:
a. Daerah mana perjanjian tersebut berlaku, ialah pelabuhan samudera yang dalam
waktu-waktu tertentu disinggahi oleh kapal-kapal samudera;
b. Asas-asas perjanjian. Kapal-kapal dari negara-negara lain harus mendapat perlakuan
yang sama misalnya mengenai diperbolehkannya masuk kedalam pelabuhan
pemakaian fasilitas pelayaran atau alat-alat, tarif-tarif seperti uang berlabuh, tambat
dan sebagainya. Tidak diperbolehkan menyewa seluruh panjang dermaga kepada
satu perusahaan, sebab akan atau menjadi monopoli dari perusahaan tersebut.
Dalam perjanjian jika suatu dermaga disewakan kepada satu perusahaan, maka tidak
boleh seluruh dermaga dikuasai oleh perusahaan tersebut. Yang boleh disewakan
kepada satu perusahaan hanya sebagian saja. Tarip pemasukan barang tidak boleh
didasarkan bendera bendera kapal yang mengangkut (nasionalitet kapal) tetapi
didasarkan atas macamnya barang.
c. Suatu negara yang terjadi sesuatu peristiwa yang menyangkut keamanan dan
kehidupan negara itu diperbolehkan mengambil langkah-langkah yang menyimpang
dan mungkin bertentangan dengan peraturan-peraturan dalam perjanjian tersebut.
Jadi harus berlandaskan demi keamanan dan kehidupan negara. Di dalam,
perjanjian internasional disebut juga jenis kapal yang tidak terikat oleh perjanjian
tersebut seperti kapal-kapal perang, kapal-kapal polisi, kapal-kapal ikan dengan
hasil tangkapannya, dan kapal dinas tunda.
hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batubara, biji
besi, biji nikel, timah, bauskit dan barang-barang bulk lainnya. Penyelenggaraan
pelayaran khusus diarahkan kepada sasaran untuk dapat dikuasainya angkutan
barang-barang bulk tersebut oleh armada kapal-kapal niaga Indonesia. Pengaturan
dan penyelenggaraan pelayaran khusus hingga kini belum diatur secara khusus.
2). Pelabuhan yang tidak diusahakan, yaitu pelabuhan yang hanya merupakan
tempat persinggahan kapal atau perahu, tanpa fasilitas-fasilitas bongkar muat,
Bea dan Cukai dan lain-lain.
c. Alamnya
Menurut alamnya, pelabuhan laut dibagi menjadi pelabuhan terbuka dan pelabuhan
tertutup. Pelabuhan terbuka adalah pelabuhan di mana kapal-kapal bisa masuk dan
merapat secara langsung tanpa bantuan pintu-pintu air. Pelabuhan di Indonesia
pada umumnya adalah pelabuhan terbuka. Pelabuhan tertutup adalah pelabuhan di
mana kapal-kapal yang masuk harus melalui beberapa pintu air. Pelabuhan tertutup
ini dibuat pada pantai di mana terdapat perbedaan pasang surut yang besar dan
waktu pasang surutnya berdekatan. Pelabuhan tertutup dapat ditemui di Liverpool
Inggris dan Terusan Panama.
d. Berdasarkan Lokasinya
1). Pelabuhan Pesisir;
2). Pelabuhan Sungai Muara;
3). Pelabuhan Danau;
4). Pelabuhan Kanal.
e. Lingkup pelayaran yang dilayani dibagi menjadi:
1) Pelabuhan Internasional yaitu pelabuhan yang melayani perdagangan dan
pelayaran internasional, contoh: pelabuhan Singapura, Tanjung Priok.
2) Pelabuhan Regional adalah pelabuhan yang melayani kegiatan perdagangan
di wilayah Asia, Eropa Barat, atau Amerika Latin. Contoh: Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya.
3) Pelabuhan Lokal adalah pelabuhan yang melayani kegiatan perdagangan atau
pelayaran daerah.Contoh: Pelabuhan Tegal di Jawa Tengah dan Pelabuhan
Pare-Pare di Sulawesi.
f. Kegiatan Perdagangan Luar Negeri
Terbagi atas Pelabuhan impor yaitu pelabuhan yang melayani masuknya barang-
barang dari luar negeri dan pelabuhan ekspor adalah pelabuhan yang melayani
penjualan barang-barang ke luar negeri.
g. Wilayah Pengawasan Bea dan Cukai
Dari segi pembagian wilayah Bea cukai, jenis pelabuhan dibagi menjadi custom port
adalah pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Bea Cukai. Sedangkan free port
(pelabuhan bebas) adalah pelabuhan yang berada di luar pengawasan Bea Cukai.
h. Menurut kegiatan Pelayaran dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu Pelabuhan Samudera
seperti pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak; Pelabuhan Nusantara
(Interinsuler) seperti pelabuhan Banjarmasin di Kalimantan Selatan; Pelabuhan
Pelayaran Rakyat adalah pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan, Jakarta.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 103
c. Dengan adanya suatu pelabuhan laut yang besar, dapat menjamin ketidaktergantungan
ekonomi atau politik kepada negara lain;
d. Kegiatan mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan modal dari negara
industri (negara maju) melalui pelabuhan laut.
Peran pelabuhan berbeda-beda tergantung dari fungsinya dalam melakukan kegiatan
yaitu;
a. Pelabuhan Komersial, dikelola oleh PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia, selanjutnya
disebut PT. (Persero) Pelindo, mempunyai arti penting sebagai penunjang langsung
pertumbuhan industri atau pertanian maupun perkebunan yang berorientasi
ekspor bagi daerah yang bersangkutan. Sebagai BUMN dengan status PT. (Persero),
pelabuhan di bawahnya harus dapat meraih keuntungan karena merupakan salah
satu sumber pendapatan negara bukan pajak
b. Pelabuhan yang dikelola langsung oleh pemerintah mempunyai arti penting untuk
pengembangan ekonomi, sosial budaya, demi berjalannya fungsi pemerintahan
maupun fungsi pertahanan dan keamanan dari daerah atau pulau terpencil. Karena
peranannya sebagai perintis, maka pelabuhan ini tidak akan meraih keuntungan
sehingga semua biaya pengelolaan pelabuhan ditanggung negara.
c. Pelabuhan khusus ini dikelola dan dibangun oleh industri yang bersangkutan. Bila
dilihat dari industri yang bersangkutan maka pelabuhan ini juga bersifat komersial.
Pengadaan atau pembangunan pelabuhan ini didasarkan atas pertimbangan
kepentingan industri yang bersangkutan karena lokasinya jauh dari pelabuhan
umum.
Pelabuhan memberikan kontribusi yang besar bagi negara apabila dalam menjalankan
fungsinya dengan efektif dan efisien. Kontribusi di sini tidak selalu dalam arti uang sebagai
keuntungan yang diperoleh suatu pelabuhan, tetapi berupa pengaruh positif terutama
terhadap kehidupan ekonomi hinterland (daerah industri belakang), karena keberadaan
suatu pelabuhan sebagai prasarana ekonomi terhadap hinterlandnya.
Peranan pelabuhan di masing-masing negara tidak sama dan bervariasi satu sama
lain. Demikian pula kontribusi pelabuhan terhadap ekonomi negara yang bersangkutan
tidak sama dan tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Contohnya saja; negara
Singapura dan Rotterdan sebagai pelabuhan transhipmen (pengalihan kapal-kapal)
terbesar dan teramai di Asean dan Eropa mempunyai peranan dan kontribusi yang sangat
besar terhadap ekonomi negaranya karena merupakan pusat distribusi kebutuhan banyak
negara-negara.
Indonesia sebgai negara kepulauan atau negara nusantara, peranan pelabuhan sangat
berbeda dengan peranan pelabuhan di atas dan tidak dapat disamakan dengan kedua
peranan pelabuhan didua negara di atas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri
dari belasan ribu pulau dengan penduduk lebih dari dua ratus juta yang tersebar secara
108 Hukum Pengangkutan Laut
tidak merata di ribuan pulau tersebut sebagai pemersatu dan merupakan jalan raya yang
akan menghubungkan ribuan pulau-pulau tersebut dengan menggunakan transportasi
laut. Apa pun jenis kapal sebagai sarana transportasi laut yang digunakan, mulai dari
kapal ukuran besar sebagai kapal penumpang maupun kapal untuk barang seperti kapal
peti kemas memerlukan pelabuhan sesuai dengan ukuran dan jenis kapal. Demikian juga
kapal ukuran kecil sampai pada perahu rakyat antar pulau yang mengangkut barang-
barang kebutuhan rakyat, dan sebaliknya membawa hasil pertanian atau hasil hutan dari
pulau-pulau terpencil , tentu juga membutuhkan pelabuhan walau hanya dengan fasilitas
sederhana sekalipun. Untuk itu pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting guna
menunjang transportasi laut baik antar pulau maupun angkutan internasional.
sendiri yang menjadi ajang bisnis berbagai jenis usaha, mulai dari transportasi,
perbankan, perusahaan sewa menyewa peralatan, dan sebagainya.
4) Mata Rantai Transportasi
Pelabuhan merupakan bagian dari rantai transportasi. Di pelabuhan berbagai moda
transportasi bertemu dan bekerja. Pelabuhan merupakan salah satu titik dari mata
rantai angkutan darat dengan angkutan laut. Orang dan barang yang diangkut
dengan kereta api bisa diangkut mengikuti rantai transportasi dengan menggunakan
kapal laut. Oleh karena itu, akses jalan mobil, rel kereta api, jalur dari dan ke bandar
udara sangatlah penting bagi suatu pelabuhan. Selain itu, sarana pendukung, seperti
perahu kecil dan tongkang akan sangat membantu kelancaran aktivitas pelabuhan
sebagai salah satu mata rantai transportasi. Dalam perkembangannya fungsi
pelabuhan mengalami penambahan fungsi yang merupakan tambahan terhadap
fungsi dasarnya, seperti; zona industri; tempat penimbunan dan distribusi barang
dalam sistem logistik; tempat atau depo penumpukan barang.
Dapat dikatakan fungsi pelabuhan sebagai tumpuan kegiatan-kegiatan ekonomi dan
pemerintahan merupakan suatu terminal uang melayani:
1). Kegiatan memuat atau membongkar barang dan naik turun penumpang,
memindahkan dari suatu kendaraan ke yang lain;
2). Untuk penampungan barang atau penumpang dari waktu datang sampai keluar,
tempat memproses barang dan membungkus untuk diangkut;
3). Untuk tempat dokumentasi, menimbang barang, persiapan surat-surat, pemilihan
rute, penjualan tiket, pemeriksaan, dan lain-lain;
4). Penampungan kendaraan dan komponen lain, perawatan dan pengaturan;
5). Tempat pengumpulan barang dan penumpang sehingga mencapai jumlah tertentu
yang ekonomis untuk diangkut;
6). Industri.
apakah semua sertifikat kapal dan ijazah atau sertifikat awak kapal dah dan masih
berlaku, dan lain sebagainya. Tetapi terhadap kapal asing pemeriksaan tersebut harus
memuat aturan yang berlaku secara internasional baik berupa konvensi maupun
hukum internasional lainnya di mana Indonesia terikat atau mengakuinya.
b. Pabean, fungsi ini dilakukan oleh Bea dan Cukai sebagai instansi pemerintah yang
melaksanakan kegiatan dan mempunyai wewenang pengawasan terhadap lalu
lintas barang yang keluar masuk wilayah pabean Indonesia, termasuk baraang
terlarang, obat-obat berbahaya atau narkotik (drug trafficking) atau semacamnya,
dan memungut bea terhadap barang yang menurut aturannya dikenakan bea.
c. Keimigrasian, fungsi ini dilakukan oleh Kantor Imigrasi sebagai instansi pemerintah
yang melaksanakan kegiatan pengawasan lalu lintas orang yang keluar masuk
wilayah negara dengan atau tanpa visa, dan berwenang untuk memeriksa paspor
atau dokumen lainnya setiap orang yang keluar masuk wilayah negara.
d. Karantina, baik karantina terhadap penyakit menular bagi manusia, maupun
karantina terhadap hewan atau tumbuhan ini berwenang memeriksa setiap orang
yang memasuki wilayah Indonesia dan dapat menahan untuk dikarantina bila
diketahui terdapat adanya gejala penyakit menular, serta mengawasi lalu lintas
hewan dan tumbuhan di pelabuhan.
Keberadaan berbagai instansi pemerintahan di pelabuhan adalah karena pelabuhan
dengan fungsinya sebagai pintu gerbang, terutama dalam melayani kapal asing di mana
dimulai titik singgung melalui kedatangan kapal dari suatu negara yang memasuki negara
lain yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda dengan peraturan yang
berbeda pula.
Pada dasarnya, tiap fungsi pemerintahan tersebut mempunyai landasan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang dijalankan serta mempunyai garis pertanggung
jawaban kepada instansi vertikal masing-masing hierarki. Tetapi dalam pelaksanaan
tugas di lapangan sering terjadi perbenturan kepentingan antar instansi, yang sangat
mempengaruhi kerja sama dan kinerja pelabuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Oleh
sebab itu di pelabuhan diperlukan koordinasi horisontal untuk mewujudkan kelancaran
dan ketertiban sebagai salah satu indikator tingkat efisiensi pelayanan di pelabuhan. Di
Indonesia wujud koordinasi ini diatur berdasarkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) PP No. 69 Tahun 2001 yang mengatur;
(1). Pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa kepelabuhanan di
pelabuhan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dikoordinasikan oleh Kepala
Kantor Pelabuhan;
(2). Pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan, dikoordinasikan oleh Pejabat yang
ditunjuk Menteri;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 113
(3). Pejabat Pemegang fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut;
(a). Mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah terkait dan kegiatan
pelayanan jasa pelabuhan, guna menjamin kelancaran tugas operasional di
pelabuhan;
(b). Menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan
operasional pelabuhan yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi pemerintah,
badan usaha dan unit kerja terkait lainnya.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi pelaksanaan kegiatan di pelabuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (a), ayat (b) dan ayat (c) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Dalam penjelasan pasal 27 ayat (1), dan ayat (2) huruf a, dinyatakan:
(1) Pelaksanaan kegiatan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini dilakukan sesuai fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Huruf a;
Pejabat pemegang fungsi koordinasi dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi
pemerintah terkait dengan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan, memperhatikan
dengan sungguh-sungguh upaya untuk mencegah terjadinya kegiatan atau tindakan
yang dapat mengakibatkan terganggunya kelancaran operasional kepelabuhanan.
Pejabat pemegang fungsi koordinasi dalam menjalankan wewenangnya tidak
mencampuri kewenangan bidang teknis dari instansi pemerintah terkait serta pelayanan
jasa kepelabuhanan oleh penyelenggaran pelabuhan.
c. Fasilitas Pergudangan;
Untuk keperluan menyimpan barang-barang muatan yang baru dibongkar dari
kapal, atau yang segera akan dimuat ke atas kapal.
d. Fasilitas formalitas;
Berupa jasa imigrasi, kesehatan pelabuhan, bea cukai, dan lain-lain.
2. Terminal peti kemas, khusus untuk menangani bongkar muat, menarik (haulage)
dan menumpuk peti kemas di lapangan penumpukan;
3. Terminal barang curah kering, khusus menangani barang curah kering berupa
barang galian, hasil tambang, besi bekas, atau barang curah kering berupa bahan
makanan (agribulk);
4. Terminal curah cair; untuk bahan bakar minyak atau produk lainnya dari minyak
bumi, produk kimia cair, minyak kelapa sawit (CPO), dan lain sebagainya;
5. Terminal multiguna yang dapat menampung berbagai tipe kapal dan berbagai jenis
barang dalam berbagai kemasan termasuk kapal Ro-ro;
6. Terminal penumpang; terminal yang dilengkapi dengan fasilitas untuk melayani
naik dan turun penumpang.
Sebagaimana telah diuraikan, fasilitas (suprastruktur dan peralatan bongkar muat tiap
terminal berbeda sesuai kebutuhan dan jenis barang yang ditangani di terminal tersebut.
Konsekuensi fungsi interface suatu terminal, yang menghubungkan moda transpor laut
dengan moda transpor darat, terminal harus dilengkapi dengan peralatan dan sistem
operasi yang memungkinkan beralihnya barang dengan lancar dari moda transpor laut
ke moda transpor darat. Oleh karenanya kinerja suatu pelabuhan lebih ditentukan oleh
kinerja operasional dari terminal-terminal yang ada dalam pelabuhan tersebut.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan layout dan peralatan
bongkar muat yang akan digunakan di terminal, seperti;
1. Luas lahan yang tersedia untuk pembangunan suatu terminal;
2. Arus barang dan arus petikemas tahunan yang akan ditangani;
3. Jenis barang curah yang akan ditangani di pelabuhan tersebut;
4. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan memasuki dan akan dilayani terminal
bersangkutan.
fasilitas pelabuhan yang diperlukan bagi kapal tersebut adalah tersedianya fasilitas alat-alat
pelabuhan, yang ditujukan untuk melancarkan kegiatan usaha di pelabuhan.
Menurut PP No. 61 Tahun 2009, pengertian alat-alat pelabuhan dapat dirumuskan,
yaitu:
“Alat-alat pelabuhan ialah alat-alat perlengkapan pelabuhan selama tidak
dipergunakan untuk kepentingan negara, yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan
untuk diusahakan.”
Ditinjau dari sisi operasi pelabuhan, alat-alat tersebut terutama berwujud alat-alat
untuk melakukan kegiatan cargohandling baik yang berupa alat-alat untuk melakukan kerja
bongkar muat barang maupun untuk memindahkan barang-barang dari suatu tempat ke
tempat lain.
Jadi antara kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan yang meninggalkan pelabuhan,
kapal tersebut selalu membutuhkan alat-alat pelabuhan, misalnya untuk kebutuhan
bongkar muat barang maka kapal perlu menggunakan kran, forklift truck dan jenis alat-
alat lain untuk menunjang kegiatan tersebut.
Untuk melayani kapal dan barang sesuai fungsi pelabuhan dalam arti luas, suatu
pelabuhan perlu dilengkapi dengan fasilitas yang diperlukan sesuai dengan letak geographis,
tipe, aktivitas, jenis dan macam kapal dan barang yang ditangani serta volume arus barang
yang keluar atau masuk dari suatu pelabuhan.
Fasilitas pelabuhan dapat dibagi dalam:
Fasilitas untuk kapal, seperti; alur pelayaran; break waters; turning basin; pintu air
(locks) untuk menjaga kedalaman air di kolam pelabuhan sebagai akibat perbedaan pasang
surut yang sangat tinggi; kolam pelabuhan dan dermaga, fasilitas ini disebut infrastruktur;
Fasilitas untuk barang dan penumpang, antara lain; terminal sesuai dengan jenis barang
dan kemasan barang (barang curah kering atau cair atau peti kemas) dilengkapi dengan
gudang transit sebagai gudang lini I dan lapangan penumpukkan; terminal penumpang
dilengkapi fasilitas embarkasi dan debarkasi; gudang lini II; tankfarms dan jaringan pipa
untuk berbagai macam barang curah cair; lapangan terbuka untuk penumpukan barang
curah kering dan silo untuk penyimpanan barang curah kering makanan (grain); dan kran
dengan berbagai jenis, ukuran atau kapasitas. Fasilitas seperti ini disebut suprastruktur.
Termasuk dalam suprastruktur ini adalah; jaringan jalan; lapangan parkir untuk truk dan
mobil; jalan kereta api (railway truck).
Di samping itu, masih diperlukan fasilitas tambahan lainnya yang berfungsi juga
sebagai pelayanan untuk kapal, termasuk pelayanan untuk umum, antara lain; sarana Bantu
navigasi; informasi tentang navigasi;n pelayanan radio dan telepon; fasilitas perbaikan kapal
termasuk floating repairs; fasilitas penampungan limbah (reception facilities); pengadaan air
bersih dan permakanan; bunkering bahan bakar; penerangan listrik; pemadam kebakaran;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 119
sanitasi; fasilitas untuk buruh (kantin; tempat ganti pakaian, dan tempat istirahat) yang
disebut labor amenties.
Segala bentuk aktivitas yang dilakukan pasti berhubungan dengan faktor alat atau
peralatan. Hal ini dapat berperan sebagai faktor pembantu, yaitu di mana aktivitas utamanya
adalah manusia, dapat juga mengambil peran yang dominan, artinya sebagai aktivitas
utama dalam hal ini apabila tampa alat yang dimaksud berarti tidak bisa menyelesaikan
tugas atau kerja yang dikehendaki.
Demikian juga halnya kapal, untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang di
pelabuhan, di samping memerlukan faktor manusia sebagai tenaga buruh juga memerlukan
faktor peralatan atau alat-alat pelabuhan yang menunjang kegiatan tersebut. Jadi fasilitas
alat-alat pelabuhan yang diperlukan kapal untuk melakukan kegiatannya di pelabuhan
berfungsi sebagai;
a. Sarana untuk membantu memperlancar pelaksanaan bongkar muat barang-barang
dari atau ke atas kapal. Adanya sarana pelabuhan berupa peralatan bongkar muat
barang, maka kapal dapat menggunakannya dengan cara menyewa. Dengan
demikian maka kapal dapat melaksanakan kegiatan pemuatan dan pembongkaran
barang dengan cepat dan lancar.
b. Untuk efisiensi waktu dan tenaga.
c. Dalam kegiatan bongkar muat barang, barang yang dimuat dan dibongkar biasanya
dalam jumlah yang besar. Oleh karenanya tidak mungkin dilakukan oleh tenaga
manusia saja tetapi juga memerlukan alat-alat tersebut. Dengan memanfaatkan
alat-alat itu maka dapat mengurangi tenaga manusia sebagai buruh. Adanya alat-
alat pelabuhan itu maka dapat menghemat waktu. Barang-barang yang dimuat dan
dibongkar dengan alat yang lebih baik dan lebih canggih maka kegiatan itu dapat
dilaksanakan tepat pada waktunya, sehingga pengiriman barang tidak terlambat
sampai ke tangan penerima.
Alat-alat pelabuhan yang dibutuhkan oleh kapal yang melakukan kegiatannya selama
berada di pelabuhan itu beragam jenisnya. Alat-alat pelabuhan dan perlengkapannya dapat
dibagi menurut jenisnya:
a. Alat-alat pelayanan kapal;
b. Alat-alat bongkar muat;
c. Alat-alat penolong;
d. Alat-alat penjagaan atau penolong waktu bahaya, yang dititikberatkan pada alat-
alat pelabuhan yang digunakan untuk kelancaran kegiatan bongkar muat barang
muatan.
Pemuatan barang-barang ke dalam kapal melalui masing-masing pintu palka,
demikian juga pembongkarannya dari dalam kapal dilakukan dengan alat-alat bongkar
muat yang terdapat di kapal dan di pelabuhan. Ada berbagai jenis alat bongkar muat
120 Hukum Pengangkutan Laut
dengan daya angkut (kapasitas) dengan kecepatan mengangkat atau menurunkan barang-
barang yang berbeda satu sama lain.
Jenis-jenis alat yang dipakai untuk kegiatan bongkar muat barang yang dinamakan
cargo handling equipments dibagi atas dua bagian:
a. Alat atau wadah, di mana muatan yang hendak dimuat atau dibongkar diletakkan
atau ditangani sebelum diangkat ke atau dari atas kapal;
b. Alat atau pesawat yang harus mengangkat muatan yang telah dipersiapkan tadi.
Alat-alat yang dipergunakan untuk mempersiapkan muatan guna diangkat ke atau
dari atas kapal terdiri dari bermacam-macam sling, jala-jala.
Ada beberapa alat pembantu bongkar muat;
a. Untuk mengangkat peti yang cukup kuat dapat dipergunakan semacam tali manila
atau sling kawat baja, yaitu semacam tali besar yang kedua ujungnya diikatkan satu
sama lain sehingga tidak berujung pangkal;
b. Untuk peti yang tidak kuat (dibuat dari bahan tipis atau lunak) dipergunakan bak
pemuat atau laadbak, yaitu semacam rakit berukuran 2 x 2 meter dibuat dari papan
tebal pada keempat ujungnya diikatkan tali manila atau tali kawat baja. Peti-peti
yang hendak diangkat diletakkan di atas laadbak, kemudian barulah laadbaknya
dimuat atau dibongkar ke atau dari kapal.
c. Untuk peti-peti kecil tetapi kokoh, digunakan jala-jala tali atau jala-jala kawat baja.
d. Untuk kantong-kantong semen, karus beras, kopi, jagung, pupuk, dan lain-lain
digunakan sling kanvas, yaitu sling yang padanya diikatkan selembar kain terpal
atau kanvas panjang. Kantong atau karung yang akan dimuat atau dibongkar
diletakkan di atas kanvas, barulah kedua sling disangkutkan pada tackle kapal.
Dengan cara ini kantong atau karung dilindungi dari tekanan tali sling yang dapat
mengakibatkan pecahnya karung atau kantong itu. Bila sling kanvas tersebut tidak
tersedia, untuk pemuatan karung-karung dapat juga dipergunakan jala-jala tali,
tetapi penggunaannya bagi pemuatan atau pembongkaran semen atau pupuk tidak
dapat dibenarkan, karena kantong-kantong yang terbuat dari kertas itu dapat pecah
oleh tekanan selama jala-jala tergantung pada tackle kapal.
Di samping alat-alat tersebut masih ada jenis-jenis alat-alat bongkar muat lainnya:
a. Can hook (kait untuk kaleng), digunakan untuk memuat atau membongkar drum,
kaleng, tong kayu, biasa disebut barel hook.
b. Stevedore’s hand hook (ganco tangan stuwador), digunakan untuk muatan yang
dipak dalam kantong atau besi;
c. Two – wheeled barrow (gerobak dorong beroda dua), digunakan untuk mengangkut
muatan dari kade ke gudang atau sebaliknya;
d. Forklift truck, kendaraan beroda empat untuk mengangkut muatan dari gudang ke
dermaga atau lambung kapal dan sebaliknya;
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 121
e. Dunnage mats, tikar yang digunakan untuk melindungi muatan (untuk alas atau
pembungkus muatan);
f. Vehicle sling (sling mobil), digunakan untuk memuat atau membongkar kendaraan
beroda empat;
g. Dunnage wood, papan tipis yang berfungsi banyak dalam pemadatan di kapal,
misalnya untuk melindungi muatan, untuk meluruskan susunan muatan.
Alat-alat bongkar muat seperti yang telah disebutkan di atas merupakan alat bongkar
muat yang digunakan khusus untuk melayani kapal konvensional.
Sehubungan dengan usaha untuk memberikan perlindungan atas muatan selama
operasi pemuatan, pengangkutan dan pembongkarannya kembali, dalam dunia pelayaran
modern sekarang sudah banyak digunakan container, yaitu sejenis peti besar terbuat dari
plat baja. Dengan memasukkan peti-peti ke dalam kontener, diberikan perlindungan
maksimal pada muatan terhadap kerusakan, pencurian, kehilangan atas muatan dan di
samping itu sistem kontenerisasi inipun sangat mempercepat pekerjaan bongkar muat
yang dengan sendirinya dapat menekan biaya eksploitasi kapal.
Sistem kontenerisasi sesungguhnya menguntungkan kedua belah pihak dalam
pengangkutan di laut, yaitu pihak pemilik muatan dan pihak pengangkut. Keuntungan
yang sama diperoleh oleh kedua pihak adalah dipercepat dan dipermudahnya handling atas
muatan yang sudah dimasukkan dalam kontener. Dengan dipakainya kontener pemakaian
peti konvensional dapat dikurangi, demikian juga keperluan akan alat-alat bongkar muat
dapat disederhanakan (tidak diperlukan lagi jala-jala, laadbak dan lain-lain).
Mengenai pesawat-pesawat yang dapat dipergunakan untuk menggerakkan
pengangkatan muatan meliputi;
Derek kapal; dipergunakan untuk mengangkat koli yang tidak terlalu berat dan
pengangkatan itu berlaku pada radius kecil, kira-kira 6 meter dari lambung kapal. Derek
kapal adalah pesawat yang terdiri dari batang pemuat, kerek-kerek dan kabel baja yang
digerakkan (dilepaskan dan ditarik dengan bantuan pesawat lain yang disebut winch. Pada
sebuah kapal biasanya terdapat beberapa buah Derek dengan kapasitas rendah: ½ ton, 2 ½
ton atau 5 ton tergantung besar kecilnya kapal. Kapal yang agak besar biasanya mempunyai
juga satu atau beberapa buah derek besar yang berkapasitas 10 ton, 20 ton, bahkan ada
yang 50 ton atau 70 ton. Berapapun besarnya kapasitas daya angkat Derek, namun radius
pengangkatan dari atau ke samping kapal tidaklah dapat jauh benar, sebab luasnya radius
pengangkatan muatan dapat membahayakan stabilitas kapal, khususnya kalau yang
diangkat berupa muatan berat misalnya gerbong kereta api. Berhubung dengan adanya
keberatan itu untuk mengangkat muatan dari dalam kapal yang diletakkan di tempat yang
jaraknya dari kapal cukup jauh, digunakan pesawat lain yang berasal dari luar kapal.
Shore crane (kran darat), yaitu pesawat yang ditempatkan di atas dermaga pelabuhan,
di pinggir permukaan perairan pelabuhan. Kran ini dapat dipindahkan ke sana ke mari
122 Hukum Pengangkutan Laut
sepanjang rel kereta api di atas mana kran ditempatkan bertumpu pada rodanya. Daya
angkat kran darat ini bermacam-macam antara 2 ½ ton, 5 ton, 12 ton, 20 ton atau lebih.
Schore crane ini dipergunakan untuk memuat atau membongkar koli-koli yang berat dan
besar yang tidak bisa diangkat oleh derek kapal.
Floating crane (kran terapung), yaitu pesawat yang dibangun di atas rakit besar yang
terbuat dari baja yang dapat bergerak di atas air. Rakit itu ada yang mempunyai mesin
sendiri, untuk berpindah atau bergerak dari tempatnya ke tempat lain. Floating crane
biasanya berkapasitas besar yaitu 10 ton, 25 ton, 50 ton, 200 ton, dan seterusnya. Kran
terapung ini digunakan untuk mengangkat koli-koli berat yang membahayakan kapal
kalu diangkat dengan Derek kapal. Begitu pula kalau peti yang berat itu diangkat dengan
kran darat, dapat menimbulkan tekanan terlalu besar pada lantai dermaga sehingga
dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan pada dermaga. Dengan menggunakan
floating crane maka dapat membawa muatan berat yang telah dibongkar untuk diletakkan
pada tempatnya yang tepat tanpa perlu mengganggu barang-barang atau kegiatan lain yang
berada di sekitar kapal.
Dalam sistem kontenerisasi, pemuatan dan pembongkaran peti kemas menggunakan
alat-alat yang khusus untuk itu. Jenis alat-alat bongkar muat untuk peti kemas antara lain;
a. Quary containaer atau container crane; pesawat pengangkat ini letaknya selalu di
tepi dermaga, memiliki bagian menjorok ke laut yang menjembatani antara sisi laut
(bagian kapal) dengan darat, di mana peti kemas dimuat atau dibongkar dari kapal
dan sebaliknya. Container crane berfungsi untuk membongkar dan memuat peti
kemas, jadi menjembatani antara kapal dan darat.
b. Transteiner merupakan jenis kran gentry type jembatan yang memiliki roda dari
ban karet. Transteiner bergerak menurut jalur khusus atau tetap biasanya dengan
rel sebagai peralatan crane untuk menyusun kontener isi sampai 3 (tiga) susun.
Transteiner penggunaannya di lapangan penumpukan peti kemas. Pemilihan
penggunaannya dipertimbangan dasar efisiensi ruang ruang penumpukkan. Dengan
mempergunakan alat ini, maka penumpukkan atau pengambilan peti kemas di
lapangan dapat dilakukan dengan lebih cepat, teratur dan terencana, sehingga dari
segi bisnis diperoleh manfaat keuntungan yang tidak kecil.
c. Gantry crane yaitu crane darat khusus untuk pembongkaran kontener dari kapal,
juga untuk pemuatan dengan kapasitas angkut mencapai 50 ton. Gantry crane
dilengkapi dilengkapi dengan spreader yaitu batangan besi segi empat yang dibuat
khusus yang ukurannya sama dengan ekuran panjang lebar kontener.
d. Straddle carrier; peralatan crane di lingkungan kontener yang dapat mengangkat
minimal 1 buah kontener ke tempat tumpukan kontener atau dibongkar dari kapal.
Kontener dari kapal dengan gentry crane kemudian diteruskan dengan straddle
carrier ke tempat timbun.
Bab 6: Fungsi Pelabuhan Sebagai Terminal Ekonomi 123
e. Forklift toploader merupakan suatu alat yang bekerja menurut sistem mekanik,
hidrolik dan elektrik yang dipergunakan untuk mengangkat dan menurunkan
kontener pada posisi atas;
f. Forklift sideloader yang berfungsi untuk menarik dan mengangkat kontener dari
berbagai tumpukan 2 basis;
g. Head truck mempunyai fungsi membawa peti kemas atau kontener untuk dikirim
ke lokasi yang dikehendaki di dalam terminal peti kemas. Dengan demikian lokasi
head truck mencakup seluruh lapangan dan dermaga yang ada;
h. Chasis merupakan chasis pengikut di mana muatan kontener diletakkan di atasnya
untuk dibawa oleh head truck.
TKBM bukanlah bagian dari institusi dan asset pengelola pelabuhan, tetapi dilihat
dari sisi keberadaan dan fungsinya dalam suatu pelabuhan, TKBM merupakan fasilitas
pelabuhan yang tidak bisa terlepas dari kegiatan operasional dan pelayanan pelabuhan
yang memberikan jasa bongkar muat, maupun jasa pelayanan lainnya yang memerlukan
jasa TKBM. Bagaimanapun modern peralatan pelabuhan, seperti pelabuhan di negara-
negara industri maju, tetap ada peranan TKBM. Tetapi berbeda dengan Indonesia, di
luar negeri TKBM yang disebut dock workers, dock labors, atau longshoremen termasuk
juga operator peralatan pelabuhan (forklift, operator atau crane operator). Biila terjadi
pemogokan TKBM ini, maka seluruh kegiatan pelabuhan akan lumpuh. Sebaliknya apabila
TKBM bekerja baik sesuai standar kerja kinerja yang tinggi akan meningkatkan efisiensi,
dan mengangkat kinerja operasional pelabuhan yang bersangkutan. Di masing-masing
negara tidak sama sistem pembinaan TKBM ini, tergantung pandangan politik pemerintah
yang bersangkutan terhadap tenaga kerja atau buruh.
Tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan terjadi kongesti di pelabuhan Tanjung Priok,
di mana barang-barang bertumpuk di mana-mana. Dampak yang diakibatkan sangat
banyak antara lain terhadap pelabuhan yang melayani pembongkaran barang, yaitu citranya
menjadi buruk di mata pengguna jasa pelabuhan untuk melakukan aktivitasnya dan bagi
para pengguna jasa adalah dampak kerugian karena barang-barangnya tidak dapat langsung
ditangani dan sangat memperlambat waktu, bagi negara, karena citra pelabuhannya buruk
akan berdampak pada perekonomian negara yaitu pendapatan devisa menjadi turun. Jadi
jelas kinerja suatu pelabuhan sangat mempengaruhi perekonomian negara karena dengan
melihat fungsi dan perannya di atas adalah untuk memajukan perekonomian negara.
Kongesti adalah suatu kondite yang terburuk dari suatu pelabuhan karena dampak
negatifnya sangat luas, baik terhadap kelancaran lalu lintas pelayaran dan perdagangan
(nasional dan internasional), maupun terhadap ekonomi negara yang bersangkutan.
Kelambatan atau menunggu terlalu lama di pelabuhan (port delays) merupakan hal
yang sangat menakutkan bagi para pemilik atau pengusaha kapal. Keadaan kongesti
tersebut menyebabkan terhambatnya kelancaran lalu lintas angkutan laut dan bahkan
124 Hukum Pengangkutan Laut
A. Pelabuhan Sebagai Terminal Ekspor dan Impor Barang (PP NO. 61 Tahun
2009 jo Pasal 10 KM NO. 53 Tahun 2002 Tentang Tatanan Kepelabuhanan
Nasional)
Untuk memperkuat ekonomi suatu negara harus dilakukan dengan memperkuat dan
memajukan industri dan perdagangan. Pelaksanaan kedua kegiatan ini pada hakikatnya
tidak terlepas dari kegiatan ekspor dan impor, baik atas barang maupun jasa, yang
mengakibatkan adanya hubungan antar negara.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan, sangat membutuhkan angkutan laut
yang dapat menjangkau seluruh tempat di wawasan nusantara. Disinilah letak pentingnya
fungsi pelabuhan dalam sistem angkutan laut, pelabuhan merupakan pintu gerbang
perdagangan luar negeri atau Internasional (ekspor-impor). Oleh karena itu pelabuhan
dapat diibaratkan pintu depan suatu negara yang apabila fungsinya ditata dengan baik
dengan didukung oleh fasilitas yang baik dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang
memadai, pelaksanaan di lapangan tidak bertele-tele, tanpa birokrasi panjang maka kapal-
kapal asing sebagai pemakai jasa dapat terus memakai jasa pelabuhan Indonesia, tentu saja
bila fungsi pelabuhan suatu negara positif akan berakibat pada pendapatan devisa yang
menjadi kebutuhan negara akan tinggi otomatis berakibat pada kesejahteraan rakyat dan
meningkatkan ekonomi nasional.
Pelabuhan sebagai pintu gerbang negara memegang peranan yang sangat menentukan
bagi kelancaran arus barang dan penumpang. Indonesia sebagai negara maritim, dengan
sendirinya menjadikan pelabuhan laut sebagai posisi yang sangat strategis dalam
perekonomian nasional dibandingkan dengan pelabuhan darat dan udara. Kelancaran
urusan perdagangan di pelabuhan akan sangat membatu kelancaran ekspor impor pada
khususnya dan memberi dampak positif bagi kelancaran pembangunan khususnya dan
perekonomian nasional pada umumnya.
Peranan suatu pelabuhan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Menyediakan suatu hubungan langsung ke pasaran dunia yang merupakan
kesempatan baik bagi negara yang sedang berkembang untuk berdagang dengan
banyak negara lain tanpa biaya perantara;
125
126 Hukum Pengangkutan Laut
menyediakan tanah untuk gudang atau kantor dan lain-lain. Eksploitasi bangunan
pelabuhan tersebut dapat dikerjakan oleh penguasa pelabuhan.
Pelabuhan merupakan faktor yang tidak terpisahkan dalam sistem ekonomi negara
secara keseluruhan maka pelabuhan perlu disesuaikan dengan landasan baru tentang
kebijaksanaan umum dalam ekonomi dan keuangan serta pelabuhan sebagai prasarana
ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan industri, perdagangan maupun
pelayaran, karena itu pengelolaannya harus sesuai dengan fungsinya.
Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai transportasi yang menunjang secara
langsung perekonomian suatu negara atau daerah di mana pelabuhan tersebut berada.
Perindustrian, pertambangan, pertanian dan perdagangan pada umumnya membutuhkan
jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan. Oleh karena itu perencanaan suatu pelabuhan
bukan hanya menjadi kepentingan pelabuhan itu sendiri tetapi juga akan mempengaruhi
dan memerlukan perhatian dari berbagai sektor yang ditunjangnya.
Beberapa faktor yang menjadi perhatian dan petimbangan dalam perencanaan
pelabuhan, yaitu;
a. Pertumbuhan atau perkembangan ekonomi daerah belakang dari pelabuhan yang
bersangkutan;
b. Perkembangan industri yang terkait dengan pelabuhan;
c. Data arus barang yang sekarang dan perkiraan yang akan datang serta jenis dan
macam komoditi yang akan keluar atau masuk;
d. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan akan memasuki pelabuhan;
e. Jaringan jalan atau prasarana dan sarana angkutan dari atau ke hinterland;
f. Alur masuk atau keluar menuju laut;
g. Analisis ekonomi dan keuangan.
Dalam merencanakan pengusahaan suatu pelabuhan, maka terlebih dahulu harus
dilakukan pengumpulan bahan-bahan setempat yang perlu bagi rencana tersebut, baik
teknis maupun ekonomis. Tidak semua angka dan keterangan yang diperlukan terdapat
begitu saja. Untuk itu diperlukan adanya penyelidikan setempat, menyelenggarakan
pengukuran-pengukuran dan sebagainya serta bahan-bahan yang diperlukan tergantung
pada keadaan setempat.
Pada umumnya yang diperlukan untuk pengusahaan pelabuhan adalah;
a. Peta Nautis dari daerah yang bersangkutan yang menunjukkan bagian-bagian yang
perlu untuk membuat daerah pelayaran dan navigasi. Peta ini harus dilengkapi
dengan zee-mansgids, yaitu suatu buku yang memuat hal ikhwal yang penting bagi
seorang nakhoda dan yang sulit dilihat dalam peta, misalnya mengenai angin,
gelombang dan lain-lain. Pada umumnya masih terpaksa mengadakan pengukuran
dalamnya laut, karena peta itu kurang mencukupi.
130 Hukum Pengangkutan Laut
Law, it has been suggested, can have three possible functions in societal development:
“tinkering,” “following,” or “leading.” During the colonial period the tinkering and
following function prevailed in most Third World countries. Independence and the
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 135
desire for rapid development foetered the idea that law could lead in the process of
growth.
This concept was the outgrowth of Western economic development it stemmed from
Max Weber’s formulation that consistency and reinforcement of norms provided by the
law were essensial elements in the industrial development of Europe. Burg’s study of the
law and development literature cites five qualities in law which render it conducive to
development: (1). Stability; (2) . Predictability; (3). Fairness ; (4). Education; (5). The
special development abilities of the lawyer. The first two qualities are prerequisites for
any kind of economic system to function.
The need for predictability is especially great in countries where most people are
entering for the first time into economic relationships beyond their traditional social
environment. Includewd in the stability function is the potential of law to balance and
accommodate competing interests.
Aspects of fairness, such as due process, equality of treatment, and standards for
government behaviour, have been emphasized by other writers as necessary for both
the maintenance of the market mechanism and the prevention of bureaucratic excesses
Leonard menggunakan konsep dari Max Weber yang dianggapnya dapat membantu
perkembangan ekonomi dunia barat bahwa kemantapan dan penguatan dari norma-
norma hukum merupakan hal-hal yang sangat penting dalam pertumbuhan industri di
Eropa. Literatur hukum dan pembangunan dari Burg’s Study menyatakan ada lima kualitas
yang hukum sumbangkan dalam pembangunan antara lain:
a. Kemantapan atau keseimbangan;
b. Kemungkinan atau ramalan;
c. Kejujuran atau keadilan;
d. Pendidikan dan;
e. Kemampuan atau ketangkasan para Pengacara. Dan kemantapan serta kemungkinan
merupakan prasyarat utama dalam fungsi sistem ekonomi.
kekuatan-kekuatan sosial tertentu, hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena
ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan
bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Erlich, tertib sosial didasarkan
pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen
Erlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan
sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran ini harus ada pada setiap anggota profesi hukum
yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan lingkup positif dalam
hubungannya dengan hukum yang hidup.
Hukum juga dapat berfungsi memaksa masyarakat yang tidak taat hukum, seperti
pendapat dari Max Weber, bahwa hukum merupakan suatu tertib memaksa yang mempunyai
dukungan potensial dari kekuatan negara dan menurut Eugen Erlich bahwa hukum sebagai
aturan-aturan formal merupakan norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law) yaitu hukum
yang dilaksanakan dalam masyarakat, sebagai lawan dari hukum yang diterapkan.
Penegakan hukum tak kalah pentingnya perlu diketahui tentang budaya hukum.
Bahwa budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Sekalipun hal tersebut
memang merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan dalam wacana hukum. Hal itu
menjadi sangat kelihatan manakala diproyeksikan kepada latar belakang kehidupan hukum
di Indonesia dewasa ini. Kita menyaksikan betapa budaya dan perilaku hukum menjadi
faktor penentu yang penting. Dalam kegiatan di pelabuhan banyak terdapat pihak-pihak
yang mempunyai masing-masing kepentingan dan mendahulukan kepentingannya, sudah
pasti terdapat berbagai perilaku yang merupakan suatu kebiasaan yang terjadi dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatannya di pelabuhan.
Cita-cita hukum, tujuan pembangunan hukum tidak dapat dicapai dengan
mengabaikan peranan dan sumbangan budaya hukum. Wibawa hukum melengkapi
kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum, ia merupakan semacam aura yang
melingkupi hukum, sehingga hukum memancarkan kekuatan ke masyarakat di mana ia
berlaku. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum, karena hukum berwibawa,
maka perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya
berkaitan dengan hal-hal yang personal, tetapi lebih dari itu mengandung unsur spiritual,
yaitu kepercayaan. Sekalipun secara teknis suatu peradilan sudah dijalankan menurut
prosedur yang digariskan, tetapi apabila masyarakat tidak lagi mempercayainya, maka
kewibawaan hukum sudah jatuh. Selain harus berpedoman kepada hal yang diuraikan di
atas, maka tugas pelabuhan laut di Indonesia (pelabuhan utama) secara garis besar meliputi
aspek pemerintahan dan pengusahaan.
Membicarakan penegakan hukum yang akan dilakukan untuk menertibkan keadaan
di pelabuhan guna menunjang pembangunan fungsinya agar dapat berjalan dengan optimal
138 Hukum Pengangkutan Laut
perlu diperhatikan tentang hukum yang baik adalah yang dapat memberikan sesuatu
yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan
juga adil; hukum seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen
terhadap tercapainya keadilan substantif. Keberhasilan hukum akan sangat ditentukan oleh
tersedianya modal sosial dalam masyarakat bersangkutan. Hukum memperkuat cara-cara
di mana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan
di antara keduanya. Lembaga hukum menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber
pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Ciri khas hukum adalah bahwa tugas
dari hukum adalah mencari tujuan-tujuan yang dapat memecahkan masalah-masalah,
berusaha untuk mengatasi ketegangan-ketegangan dan menunjukkan suatu kapasitas
beradaptasi yang bertanggung jawab, melalui adaptasi yang selektif dan tidak serampangan.
Suatu institusi yang responsif memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan
kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan oleh hukum melalui
cara memperkuat integritas dan keterbukaan sehingga saling menopang walau ada benturan
di antara keduanya. Tekanan-tekanan sosial dianggap sebagai sumber pengetahuan dan
kesempatan untuk mengoreksi diri. Institusi harus memiliki tujuan-tujuan yang menjadi
panduan yang menjadi standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan, sehingga memberi
kesempatan untuk terjadinya suatu perubahan. Tujuan jika dipedomani pada saat yang
bersamaan dapat juga dijadikan untuk mengkontrol diskresi administratif sehingga dapat
mengurangi risiko terjadinya penyerahan institusional, sebaliknya tidak adanya tujuan
akan mengakibatkan pada kekakuan serta oportunisme.
Institusi formalitas yang terikat pada peraturan-peraturan merupakan institusi yang
tidak memiliki kelengkapan yang memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan
dalam konfliknya dengan lingkungan sekitarnya, cenderung beradaptasi secara opotunitis
karena kekurangan kriteria yang secara rasional merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang
sudah ketinggalan jaman atau yang sudah tidak layak lagi. Berbeda dengan institusi yang
sudah mempunyai tujuan, terdapat integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi.
Jadi hukum responsive beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup
berkuasa untuk mengkontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Ciri khas yang penting
dari hukum adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
Bab 7: Kegiatan Fungsi Pelabuhan Sebagai Barometer Industri dan Perdagangan 139
139
140 Hukum Pengangkutan Laut
No.137 Tahun 1964 yang mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964. Undang-Undang ini
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1965 yang mulai berlaku tanggal
10 April 1965. Undang-Undang ini beserta peraturan pelaksanaannya merupakan dasar
berlakunya Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep).
Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) termasuk jenis asuransi wajib
(compulsory insurance). Dikatakan asuransi wajib karena:
1. Berlakunya Askep karena diwajibkan oleh Undang-Undang, bukan karena
perjanjian. Undang-undangnya sendiri berjudul Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang;
2. Pihak penyelenggara asuransi ini adalah pemerintah yang didelegasikan kepada
Badan Usaha Milik Negara (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992);
3. Askep bermotif perlindungan masyarakat (social security) yang dananya dihimpun
dari masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat yang diancam
bahaya kecelakaan;
4. Dana yang sudah terkumpul dari masyarakat tetapi belum digunakan sebagai
dana kecelakaan, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat melalui program
investasi.
Di Indonesia, sejak Tahun 1963, kita sudah mengenal adanya pertanggungan wajib
ini, hal ini kemudian ditambah dengan jenis lainnya pada Tahun 1964. Pertanggungan
wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah diIndonesia ialah sebagai berikut:
1. Sejak Tahun 1963 kita telah mengenal Peraturan Pemerintah yang menetapkan bahwa
atas setiap Pegawai Negeri harus ditarik sejumlah uang tertentu dari gajinya tiap
bulan sebagai premi pertanggungan atas dirinya. Peraturan tersebut dikenal dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963 Lembaran Negara 1963 Nomor 15.
Pelaksanaan dari pertanggungan ini diserahkan kepada PN Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963
tanggal 17 April 1963 dan yang sekarang disebut dengan nama Perum Taspen sesuai
dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara;
2. Kemudian pada Tahun 1964 terdapat suatu gagasan dari Pemerintah yang akhirnya
pada tahun itu juga diwujudkan dalam suatu Undang-Undang yang disebut: Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Undang-Undang No. 33 Tahun 1969
LN. 1964 No. 137 mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964;
3. Pada tahun yang sama Pemerintah juga mengadakan peraturan mengenai: Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1964 LN. 1964
No. 138 mulai berlaku tanggal 31 Desember 1964.
Surat Keputusan Menteri tersebut ditetapkan pada tanggal 30 Maret 1965, namun
mulai berlaku dengan daya surut pada tanggal 1 Januari 1965. Perusahaan Negara Jasa
Raharja itu sendiri telah didirikan berdasarkan Undang-Undang No 19 Prp 1960 dengan
suatu Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1965 (Lembaran
Negara Tahun 1964 No.14) yang juga mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1965.
Sejak Tahun 1969, berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1965 tentang bentuk-
bentuk Usaha Negara, semua usaha-usaha Negara yang berbentuk perusahaan dibedakan
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Perusahaan Jawatan, disingkat Perjan;
b. Perusahaan Umum, disingkat Perum;
c. Perusahaan Perseroan, disingkat Persero.
Pembayaran iuran sebagai tertanggung, diatur dalam Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 1965 yang
menentukan bahwa “setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta
api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional, dan kapal perusahaan perkapalan/
pelayaran nasional wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik perusahaan yang
bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang
dalam perjalanan”; akan tetapi penumpang kendaraan bermotor umum dalam kota
dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib. Berdasarkan ketentuan ini, jelaslah bahwa
yang berkedudukan sebagai tertanggung adalah setiap penumpang yang sah, yang wajib
membayar iuran melalui perusahaan angkutan yang bersangkutan, kecuali penumpang
angkutan dalam kota.
2. Tertanggung
Berdasarkan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), maka tertanggung
ialah pihak yang menerima penggantian kerugian, namun sebaliknya dialah juga orang
yang harus membayar premi.
Berdasarkan Perbandingan antara Pasal 2 dan 3 dari Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 1965, maka tertanggung didalam
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ialah ;
a. Tiap penumpang dari kendaraan bermotor umum;
b. Tiap penumpang dari kereta api;
c. Tiap penumpang dari pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional;
d. Tiap penumpang dari kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional.
146 Hukum Pengangkutan Laut
E. Iuran
Dalam hukum asuransi, premi adalah sejumlah uang yang dibayar tertanggung kepada
penanggung sebagai imbalan risiko yang ditanggungnya; karena Asuransi Sosial
Kecelakaan Penumpang (Askep) adalah asuransi, maka dalam Asuransi Sosial Kecelakaan
Penumpang (Askep) dikenal juga dengan istilah premi. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965, ”untuk jaminan pertanggungan
diri, tiap penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan
penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional untuk tiap
perjalanan, wajib membayar suatu iuran”. Jumlah Iuran Wajib yang dimaksud ditentukan
oleh Menteri Keuangan menurut suatu tarif yang bersifat progresif, dengan demikian
premi Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) adalah Iuran Wajib yang dibayar
oleh setiap penumpang yang jumlahnya ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Iuran sebagai premi Askep harus dibayar bersama dengan pembayaran biaya angkutan
penumpang kepada pengusaha alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan.
Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum tersebut wajib memberi pertanggung-
jawaban hasil pungutan Iuran Wajib para penumpangnya dan menyetorkannya kepada
penanggung, yaitu PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) tiap bulannya, selambat-
lambatnya pada tanggal 27 secara langsung melalui Bank atau badan asuransi lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan menurut cara yang ditentukan oleh Direksi (Pasal 3 ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964).
Iuran Wajib yang dibayar oleh setiap penumpang digunakan untuk mengganti
kerugian berhubung dengan kematian dan cacat tetap/cedera akibat dari kecelakaan
penumpang. Pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum dilarang menjual karcis
atau tiket penumpang umum, tanpa sekaligus memungut iuran wajib (Pasal 5 Peraturan
Pemerintah No.17 Tahun 1965).
Iuran Wajib sebagai premi Askep semata-mata dibuktikan dengan kupon
pertanggungan yang bentuk dan hal-hal lainnya ditentukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 4
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964). Setiap kali diminta, kupon tersebut wajib diperlihatkan kepada
petugas yang berwenang oleh setiap penumpang bagi perjalanan yang hendak, sedang,
atau baru saja selesai ditempuh (Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965). Dalam
praktik sekarang, kupon tanda bukti tersebut tidak diterbitkan tersendiri, melainkan sudah
tertulis pada karcis atau tiket penumpang.
Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 21 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, perusahaan angkutan penumpang umum
yang melakukan tindakan sebagai inkaso, bilamana melakukan kelalaian menjalankan
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 147
kewajibannya tidak memungut iuran kepada penumpang dan atau tidak menyetorkan
hasil pendapatannya pada waktu yang ditentukan, dikenakan hukuman setinggi-tingginya
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965
menambah lagi dengan sangsi pencabutan ijin usaha untuk paling lama 3 (tiga) bulan bagi
pengusaha/pemilik alat penumpang angkutan umum yang bersangkutan.
Jadi sebenarnya posisi dari pengusaha-pengusaha pengangkutan itu bukanlah sebagai
penanggung, melainkan hanya sebagai orang yang diberi kuasa oleh penanggung (dalam hal
ini Pemerintah) untuk mengumpulkan premi yang diwajibkan itu, seperti dimungkinkan
oleh Pasal 259 KUHD untuk pertanggungan kerugian pada umumnya.
umum (sebagai kuasa dari pemerintah/penanggung) untuk tidak menjual karcis kepada
penumpang, kecuali penumpang membayar dana atau premi.
3. Surat-surat bukti lain yang dianggap perlu guna pengesahan fakta cacad tetap/
cedera yang terjadi, hubungan sebab musabab antara cacad tetap/cedera tersebut
dengan menggunakan alat angkutan penumpang umum sebagai demikian, dan hal-
hal lain yang menentukan jumlah penggantian kerugian pertanggungan yang harus
diberikan.
H. Unsur Kepentingan
Didalam Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang ini, faktor kepentingan tidak selalu
harus ada pihak yang mengikatkan diri dengan penguasa dana (penanggung). Ini dapat
dijumpai bilamana peristiwa yang menimpanya itu menimbulkan kematian pembayar
Iuran Wajib.
Dalam hal demikian pembayar Iuran Wajib itu sendiri tidak akan mendapat ganti
kerugian. Yang memperoleh ganti kerugian ialah orang lain, didalam Pasal 12 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 disebutkan pihak yang dapat menjadi ahli
waris ialah:
1. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
3. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Lain halnya apabila kecelakaan itu mengakibatkan cedera/cacad. Dalam hal demikian,
maka orang yang berkepentingan itu adalah korban sendiri menurut Pasal 12 ayat (2). Dalam
pengertian “korban” harus kita artikan dengan “pembayar iuran” itu sendiri, jadi pihak
tertanggung. Jika kembali meneliti materi Pasal 12 dari Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 di atas yang memberi ketetapan dan yang membatasi pemberian penggantian
kerugian hanya pada orang-orang tertentu saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
pembatasan tersebut berarti faktor ”kepentingan” berhubungan dengan kecelakaan yang
menimpa diri pembayar Iuran Wajib ini juga sangat dipentingkan didalam pertanggungan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964.
Perbedaan dengan pertanggungan kerugian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) buku 1 title 9, bahwa kepentingan itu dalam hal kematian tidak
diharuskan melekat pada orang yang sungguh-sungguh berhak atas objek pertanggungan.
Sebab pembayar Iuran Wajib itu sendirilah yang sungguh-sungguh berhak atas dirinya
sendiri, sehingga kepentingan didalam pertanggungan wajib itu dapat berada pada orang
lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hubungan hukum pertanggungan
wajib kecelakaan penumpang itu.
150 Hukum Pengangkutan Laut
Hak atas ganti kerugian pertanggungan seperti yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) di atas menjadi gugur jika:
1) Jika tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan tidak diajukan dalam
waktu 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan;
2) Jika tidak diajukan gugatan terhadap PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja pada
pengadilan perdata yang berwenang dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah tuntutan
pembayaran ganti kerugian pertanggungan ditolak secara tertulis oleh Direksi;
3) Jika hak atas ganti kerugian pertanggungan tidak direalisasikan dengan suatu
penagihan kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja atau kepada instansi
pemerintah atau pihak lain yang ditunjuk, dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah hak
tersebut diakui ditetapkan atau disahkan.
waris dari orang yang meninggal dunia tidaklah mempunyai hak atas penggantian
kerugian.
2. Sifat-Sifat yang Terdapat Pada Diri Penumpang
Walau seorang penumpang dari suatu kendaraan angkutan umum adalah penumpang
yang telah memegang kupon secara sah namun tidaklah berarti bahwa PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan memberikan santunan jika penumpang itu
mengalami kecelakaan didalam angkutan yang sedang berjalan. Santunan akan
diberikan dengan memperhatikan hal-hal tertentu dari seorang penumpang.
Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan dari orang-orang tertentu
dan menghilangkan keragu-raguan yang dapat timbul pada pihak penanggung.
Tindakan Pemerintah untuk mencegah hal-hal tersebut ialah dengan menetapkan
beberapa hal yang tidak ditanggung oleh penanggung yang berhubungan dengan
sifat-sifat yang terdapat pada diri penumpang sendiri.
Hak-hak atau sifat-sifat tersebut diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1965 yang pada pokoknya menentukan:
a. Adanya kesengajaan atau percobaan pada pihak korban, termasuk bunuh diri,
percobaan bunuh diri, ataupun kesengajaan lainnya;
b. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang;
1) Mabuk atau tidak sadar;
2) Melakukan perbuatan kejahatan;
Khusus mengenai sub 2), apabila seorang penumpang yang sah dari suatu kapal
terbang yang sedang membajak penumpang-penumpang lainnya ditengah
perjalanan, tetapi ternyata karena cuaca buruk pesawat terbang itu mendapat
kecelakaan yang mengakibatkan pembajak tersebut turut menderita luka-luka
dan menjadi cacad tetap, sudah barang tentu pembajak tersebut tidak wajar
kalau diberi ganti rugi;
c. Ataupun diakibatkan oleh/atau karena korban mempunyai cacad badan atau
keadaan badaniah/rokhaniah luar biasa lain.
a. Secara mudah tanpa pembebanan kepada pihak yang berhak, artinya tidak
dengan pungutan biaya-biaya;
b. Menurut petunjuk atau persetujuan Menteri.
2. Badan-Badan atau Instansi Pembantu
Tugas dari instansi-instansi yang diikutsertakan didalam proses pelaksanaan
penggantian kerugian itu hanyalah sebagai tugas membantu melayani tuntutan-
tuntutan pembayaran ganti kerugian. Badan-badan pembantu ini menurut Pasal 15
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ialah:
a. Pengusaha/pemilik angkutan;
b. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan persetujuan
dengan Menteri yang bersangkutan;
c. Pihak-Pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Direksi Perusahaan.
Bantuan dari semua pihak dimaksudkan untuk memperlancar proses pelaksanaan
penggantian kerugian oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), jadi bukan
supaya jalannya proses itu menjadi lambat karena melalui beberapa instansi.
Bantuan-Bantuan yang dimaksudkan tidak hanya berupa pemberian keterangan-
keterangan mengenai kecelakaan itu sendiri tetapi juga mengenai diri korban itu
sendiri; sehingga dengan adanya keterangan itu pihak dari PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero) memperoleh keyakinan bahwa orang yang mengajukan
tuntutan penggantian kerugian itu berhak menerima penggantian kerugian. Contoh
dari instansi-instansi tersebut antara lain:
a. Kepolisian;
b. Instansi Perhubungan;
c. DLLAJ
d. Rumah sakit, Dokter praktik, apotik;
e. Kantor Desa/Kelurahan atau Kecamatan.
3. Pihak yang dituntut
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yaitu dalam Pasal 16, telah
dengan tegas ditentukan bahwa:
Tuntutan dalam hal pemberian ganti kerugian berlaku daluarsa, artinya bahwa hak
untuk menuntut ganti kerugian hanya diberikan selama tenggang 6 (enam) bulan.
Apabila dalam tenggang 6 (enam) bulan tuntutan tidak dimajukan maka hak atas
156 Hukum Pengangkutan Laut
ganti kerugian menjadi gugur. Demikanlah bunyi dari Pasal 18 ayat (1) (a) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 tahun 1965.
4. Pihak Yang Berhak Mengajukan Tuntutan
Pihak yang berhak atas penggantian kerugian jika korban meninggal dunia ialah:
a. Janda/dudanya yang sah;
b. Bilamana tidak ada janda atau dudanya, oleh anaknya yang sah;
c. Bilamana tidak ada golongan a dan b, oleh orang tuanya yang sah.
Dalam hal korban tidak meninggal dunia, tuntutan dapat diajukan oleh sikorban
sendiri. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian pertanggungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan wajib
Kecelakaan ini tidak boleh digadaikan atau dibuat tanggungan pinjaman, pun tidak
boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.
5. Besarnya Ganti Kerugian
Bahwa penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada didalam
alat angkutan umum didarat, sungai/danau, ferry/penyeberangan, dan dilaut atau
ahli warisnya berhak memperoleh santunan. Jumlah santunan ini diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 415/KMK.06./2001,
yaitu menjadi:
a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak memperoleh
santunan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
b. Penumpang yang mendapat cacat tetap berhak memperoleh santunan yang
besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 dari besar
santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a);
c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh
penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter maksimum sebesar Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pemberian santunan bagi korban cacad, tetap berlaku bila sesuatu anggota badan
hilang atau tidak dapat dipergunakan sama sekali, atau berkurang fungsi, dan tidak
dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya, yang terjadi dalam jangka waktu 365
(tiga ratus enam puluh lima) hari setelah terjadinya kecelakaan.
Untuk pelaksanaan cacad tetap ini didasarkan atas penelitian dokter perusahaan
yang antara lain memperhatikan faktor usia korban, keadaan kesehatan, dan
sebagainya. Apabila orang yang menderita cacad tetap adalah orang yang kidal,
maka prosentase-prosentase yang telah ditetapkan untuk anggota-anggota badan
kanan berlaku untuk anggota-anggota badan kiri, begitu pula sebaliknya.
Bab 8: Asuransi Wajib Pengangkutan Laut 157
161
162 Hukum Pengangkutan Laut
kapal tunda yakni TB Patra Tunda 4202 dan TB Musala dengan kecepatan 3,8 kilometer per
jam. Kapal tersebut datang satu jam lebih awal dari jadwal yang diperkirakan. Sesampainya
di dermaga tersebut, kapal segera dipasang garis polisi oleh Polres Cilacap sebagai barang
bukti yang dititipkan hingga kedatangan tim identifikasi dari Polres Gunungkidul.
Tim gabungan yang memeriksa kapal tanker yang terdiri dari KPLP Pelabuhan
Tanjung Cilacap, Satpol Air, TNI AL, dan Security Pertamina, menduga penyebab kebakaran
berasal dari generator nomor dua, karena sebelum terjadinya peristiwa kebakaran tersebut
generator mengeluarkan percikan api. Informasi tersebut didapatkan dari Nakhoda kapal.
Untuk mengungkap penyebab terbakarnya kapal tanker itu, tim gabungan telah berbagi
tugas pada pemeriksaan sebelumnya dengan Adpel, yang bertugas memeriksa tempat
munculnya kobaran api yang berada di ruang mesin. Adpel juga meminta keterangan
terhadap nakhoda kapal tanker, terutama terkait dengan berita acara kronologi kejadian
dan laporan kecelakaan dari nakhoda, serta memeriksa dokumen kapal.
Hasil pemerikasaan yang dilakukan oleh tim gabungan terkait dengan terbakarnya
Kapal Tanker mengungkapkan data dan fakta sebagai berikut:
1. Kronologis Kejadian Kapal.
a. Sebelum Kejadian
1) Pada tanggal 5 Maret 2008, jam 12.00 telah dilakukan serah terima tugas
jaga dari Masinis III kepada penggantinya yaitu Masinis II, dan Masinis II
melakukan pengontrolan ke seluruh pesawat dan peralatan yang sedang
bekerja diantaranya mesin induk, mesin pembantu, pompa-pompa, dan
pesawat bantu lainya.
2) Masinis II sebagai Perwira Jaga di Kamar Mesin dari jam 12.00 sampai
dengan jam 16.00 dibantu oleh seorang juru mesin dalam melakukan
tugas jaga bersama.
3) Masinis II disamping melakukan tugas jaga, juga sedang melakukan
pekerjaan perbaikan kebocoran pipa pendingin bahan bakar pada mesin
bantu nomor 2.
b. Saat Kejadian
1) Sekitar pukul 14.30 WIB:
a) Kapal masih dalam pelayaran dari Surabaya menuju Cilacap.
b) Informasi adanya api berasal dari Juru Mesin jaga dilaporkan kepada
Masinis jaga (Masinis II) namun sewaktu berusaha untuk melakukan
tindakan pemadaman, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan mengingat
kondisi panik dan pemadaman akhirnya dilakukan oleh awak kapal yang
berada di luar kamar mesin.
2) Sekitar pukul 15.10 WIB:
Api berhasil dipadamkan dengan air yang selama ini ditampung di drum-drum
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 163
oleh awak kapal karena sering kehabisan air tawar dari tangki air tawar yang
tersedia di kapal. Hal tersebut disebabkan karena Emergency Power Pump tidak
terpasang di atas kapal pada saat perbaikan di darat.
c. Setelah Kejadian
1) Dilakukan pengamanan terhadap kamar mesin dengan membuka jendela-
jendela untuk mengurangi asap tebal dan juga proses pendinginan.
2) Mematikan mesin pembantu nomor 1 yang saat itu masih berjalan karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan api kembali.
3) Kapal pada saat itu mati, dan tidak dapat meneruskan perjalanan dan
melakukan lego jangkar.
4) Perkapalan Jakarta pada tanggal 5 Maret 2008 jam 14.30 WIB meminta
kepada Kepala Depot Kaparang untuk membantu evakuasi.
5) Pada pukul 21.00 WIB, kepala Depot Kaparang dengan Dokter Perusahaan
Pertamina dibantu petugas dari Lanud Adisucipto menuju pantai Sadeng
di mana tim SAR Gunung Kidul, Polres, Kodim, dan SAR TNI Angkatan
Laut telah siap membantu evakuasi.
6) Karena kondisi cuaca yang sangat buruk sehingga evakuasi baru dapat
dilakukan pada tanggal 6 Maret 2008 pada jam 06.30 sampai dengan pukul
09.20 WIB.
7) Kapal Tanker ditarik ke Cilacap dengan menggunakan kapal Patra Tunda.
2. Data dan Fakta
Berdasarkan hasil wawancara tim investigasi dan survei lapangan, ditemukan data-
data sebagai berikut:
a. Data Kegiatan
Pada hari Kamis tanggal 28 Februari 2008 dilaksanakan pekerjaan pada mesin
bantu nomor 2. Pada tanggal 3 Maret 2008 pukul 06.12 kapal siap untuk
berangkat dari Gresik (Surabaya) ke Cilacap. Pada saat kapal sedang bergerak
dan berlayar di alur pelayaran Surabaya, kepala kamar mesin melaporkan
kepada Nakhoda bahwa ada kebocoran pada pipa bahan bakar pada generator
nomor 2 dan harus dilakukan perbaikan pada pipa bahan bakar yang bocor
tersebut, namun karena kondisi pelayaran saat itu sedang di alur pelayaran
wajib pandu untuk itu Nakhoda memutuskan untuk bertahan dengan kondisi
yang ada sambil mencari tempat yang aman setelah kapal berada di luar alur
wajib pandu.
Pada pukul 09.22 Mesin Induk dimatikan untuk dilaksanakan perbaikan pipa
bahan bakar yang bocor tersebut dan kapal hanya dibiarkan mengapung tanpa
jangkar di sekitar perairan Laut Jawa di utara kota Sapulu Pulau Madura, karena
perbaikan tersebut diperkirakan hanya berlangsung selama 1 jam. Perbaikan
164 Hukum Pengangkutan Laut
tersebut ternyata tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu 1 jam, dan oleh
sebab itu Nakhoda memutuskan untuk berlabuh jangkar sekitar pukul 08.30
WIB. Pada pukul 12.20 WIB kapal memeruskan perjalanan ke Cilacap.
Pada tanggal 4 Maret 2008 dilakukan latihan keadaan darurat dalam pelayaran
tersebut secara simulasi diantaranya Tank Over Pollution, Fire Fighting, dan
Abandon ship. Latihan Fire Fighting tidak dapat dilaksanakan karena Emergency
Fire Pump tidak terpasang.
b. Potensi Sumber Minyak
Setelah kejadian, ditemukan adanya genangan minyak pelumas di sekitar lokasi
kejadian yang tersembur melalui pipa tekanan tinggi pada lubang termometer
yang terlepas dari dudukannya.
3. Analisis Penyebab
Dengan mengevaluasi data dan fakta, serta hasil wawancara dengan saksi, kemudian
dilakukan analisis penyebab kejadian yang diuraikan sebagai berikut:
a. Penyebab langsung
Dapat ditentukan penyebab langsung kejadian yaitu oleh terbakarnya minyak
pelumas yang tersembur dari lubang termometer yang terlepas mengenai
langsung exhaust gas manifold.
b. Penyebab Dasar
Dapat ditentukan penyebab dasarnya yaitu:
1) Terlepasnya thermometer berikut tabung pembungkus sehingga
mengakibatkan semburan minyak pelumas dari saluran pipa dengan
tekanan tinggi dan hal ini mengakibatkan terbentuknya uap minyak.
2) Kurangnya kepedulian terhadap perawatan exhaust gas manifold turbo
sebagai mesin bantu, di mana mesin bantu tersebut berfungsi sebagai
peredam panas yang sudah terlepas.
PERMASALAHAN
Dalam penulisan ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab pengangkut (perusahaan) terhadap awak kapal yang
meninggal dunia dan luka-luka dalam hal terjadi kecelakaan kapal minyak ?
2. Bagaimana prosedur ganti rugi perusahaan kepada awak kapal yang meninggal
dunia dan luka-luka dalam hal terjadi kecelakaan kapal minyak?
rugi materil atas hilangnya nyawa dan luka-luka yang dialami oleh pekerjanya. Musibah
terbakarnya Kapal Tanker tersebut mengakibatkan 1 orang anak buah kapal meninggal
dunia, dan 6 anak buah kapal lainnya mengalami luka bakar. Korban yang meninggal dunia
bertindak sebagai Masinis 1 yang meninggal dunia setelah terjebak dalam kobaran api di
ruang mesin dengan luka bakar 95%, sementara 6 korban luka bakar.
Perusahaan sebagai pemilik kapal bertanggung jawab penuh terhadap ABK yang
menjadi korban terbakarnya Kapal Tanker.
Berdasarkan keterangan yang diberikan, dapat diperoleh informasi bahwa terhadap
korban meninggal dunia dan luka-luka, perusahaan bertanggung jawab dengan
memberikan santunan kepada ahli waris korban berupa uang duka cita yang disampaikan
langsung oleh wakil dari perusahaan, disamping pemberian santunan, perusahaan juga
memberikan biaya pemakaman, karangan bunga, dan pembayaran terhadap hasil forensik
dari Rumah Sakit.
Tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan terhadap ABK yang meninggal dunia
juga diberikan kepada ABK yang luka-luka. Korban luka-luka mendapatkan perawatan
secara intensif di beberapa Rumah Sakit diantaranya Rumah Sakit Sardjito dan Rumah Sakit
Bethesda. Setiap biaya yang dikeluarkan dari perawatan ditanggung seluruhnya oleh pihak
perusahaan sampai kondisi korban pulih kembali. Korban luka-luka juga mendapatkan
santunan tambahan yang diberikan oleh perusahaan.
Pemberian tanggung jawab oleh perusahaan merupakan suatu bentuk nyata
berjalannya program CSR (Corporate Social Responsibility). Program CSR adalah
program yang dimiliki oleh perusahaan , di mana program ini adalah perwujudan dari
kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap setiap kondisi yang berhubungan
dengan kesejahteraan sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Operasionalisasinya
dilaksanakan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang juga merupakan
bagian dari program yang dimiliki oleh perusahaan .
Awak kapal yang menjadi korban terbakarnya kapal tanker adalah pegawai
perusahaan yang bekerja untuk perusahaan , yang tergabung didalam Federasi Serikat
Pekerja perusahaan berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dengan
FSPPB. Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dengan FSPPB terbentuk dan
terlaksana dengan terpenuhinya ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat sahnya
perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1320 KUH Perdata adalah dasar dapat bekerjasamanya perusahaan dengan FSPPB melalui
suatu perjanjian.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan “untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan
empat syarat yaitu kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan sebab yang halal”. Kesepakatan dan
166 Hukum Pengangkutan Laut
ia sepenuhnya atas bagian upahnya yang harus dibayar dalam uang, dan berhaklah ia pula
sepenuhnya atas perawatan dan pengobatan selama ia berada di kapal”. Pasal 416 ayat (2)
menyebutkan “Pengusaha dapat menurunkan si buruh yang ditimpa oleh penyakit atau
kecelakaan tadi dari kapal, disetiap tempat di wilayah Indonesia, di mana si buruh tersebut
dapat meminta perawatan bagi dirinya tanpa mengeluarkan biaya-biaya yang luar biasa.
Pengusaha juga dapat menurunkan si buruh ditempat-tempat lain, asal ia menawarkan
kepadanya perawatan dan pengobatan yang pantas atas biaya pengusaha sampai ia menjadi
lebih baik, tetapi bagaimanapun tidak lebih dari 52 minggu”. Pasal 447 menyatakan “apabila
seorang anak kapal meninggal dalam pekerjaannya dikapal, maka bagian upahnya yang
ditetapkan menurut waktu harus dibayarkan sampai akhir bulan dalam mana ia meninggal
itu, namun tidak sekali-kali lebih lama dari pada sampai hari yang mana perhubungan
kerja itu menurut perjanjian sedianya sudah harus berakhir”.
Ketentuan dalam Pasal-Pasal yang terdapat didalam KUHD tersebut menyebutkan
tanggung jawab pengangkut terhadap buruh yang mengalami kecelakaan kerja pada saat
ia melakukan pekerjaannya di atas kapal. Tanggung jawab pengusaha dapat diketahui dari
Pasal di atas, yaitu pemberian sepenuhnya atas perawatan dan pengobatan yang segala
biaya luar biasa yang dikeluarkan adalah menjadi tanggung jawab pihak pengusaha sampai
keadaan dan kondisi dari buruh tersebut pulih kembali.
Pasal 416, dan 447 KUHD dapat diterapkan dalam terbakarnya kapal tanker yang
menyebabkan hilangnya nyawa dan luka-luka yang dialami oleh ABK kapal. Status
perusahaan adalah sebagai perusahaan yang dalam menjalankan segala urusan perusahaan
diwakilkan oleh Direksi perusahaan, yang dalam hal ini disebut dengan pengusaha dan
ABK yang menjadi korban tergabung dalam FSPPB, berstatus sebagai pekerja yang bekerja
untuk perusahaan sesuai dengan Pasal 2 Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan
dengan FSPPB yang menyebutkan “perjanjian kerja bersama ini dibuat antara perusahaan
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 dan didirikan
berdasarkan Akta Notaris selanjutnya disebut pengusaha, dengan Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu atau disingkat FSPPB yang dibentuk oleh serikat Pekerja-Serikat Pekerja
di lingkungan Pertamina, yang tercatat pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kotamadya Jakarta Pusat nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003selanjutnya disebut
Wakil Pekerja”.
Korban meninggal dunia dan luka-luka adalah pekerja perusahaan yang terikat
Perjanjian Kerja Bersama dengan perusahaan. Apabila disesuaikan dengan Pasal 416
ayat (1 dan 2), maka ABK kapal tanker adalah buruh, sedangkan pengusaha adalah
perusahaan yang diwakilkan oleh Direksi perusahaan. Perusahaan sebagai pengusaha
yang mempekerjakan ABK yang menjadi korban terbakarnya kapal, bertanggung jawab
sepenuhnya memberikan perawatan dan pengobatan terhadap ABK yang luka-luka sampai
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 169
kondisi korban pulih kembali dan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pengobatan
korban ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan sebagai pengusaha sekaligus pengangkut.
Disamping penanggungan terhadap segala biaya yang dikeluarkan sampai korban
luka-luka pulih kembali, perusahaan sebagai pengusaha sekaligus pengangkut yang
memiliki kapal juga bertanggung jawab atas korban meninggal dunia, yang kehilangan
nyawanya akibat musibah terbakarnya kapal. Pemberian santunan, uang duka, biaya
pemakaman, biaya forensik, dan biaya-biaya lain yang terkait menunjukkan pelaksanaan
tanggung jawab perusahaan terhadap awak kapal atau pekerjanya.
Sistem tanggung jawab yang diterapkan dalam pasal 416 KUHD adalah sistem
tanggung jawab Presumption of Liability karena dalam Pasal 416 huruf f ayat (1) ditentukan
bahwa “pengusaha dapat menolak memberikan tunjangan uang atau mengurangi tunjangan
itu apabila sakit atau kecelakaan itu akibat kesengajaan atau kesalahan kasar si buruh”.
Ketentuan ini berarti Perusahaan sebagai pengangkut sekaligus pengusaha dianggap
selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh pengangkut sebagai
akibat dari suatu perjanjian, akan tetapi apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka pengangkut dibebaskan dari tanggung
jawab. Apabila pasal ini dikaitkan dengan kasus, maka Perusahaan tidak bertanggung
jawab terhadap luka yang diderita oleh pekerjanya apabila luka tersebut disebabkan
oleh kecelakaan yang disengaja oleh pekerja yang bersangkutan, sedangkan Pasal 447
KUHD menerapkan sistem tanggung jawab Absolute Liability. Sistem tanggung jawab ini
menyatakan bahwa pengangkut harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap
setiap kerugian yang timbul dari penyelenggaraan pengangkutan yang mengakibatkan
kematian dan luka-luka. Dalam Absolute Liability, pengangkut bersalah ataupun tidak
bersalah tetap harus bertanggung jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa
mengelak atau membebaskan diri dari tanggung jawab, dan sistem tanggung jawab ini tidak
mengenal beban pembuktian, karena musibah kebakaran Kapal Tanker MT Cendrawasih
menyebabkan korban meninggal dunia, maka berlakulah sistem tanggung jawab Absolute
Liability terhadap Perusahaan. Pasal 447 KUHD ini tidak menyebutkan beban pembuktian
yang harus dipikul oleh pengangkut, pekerja atau awak kapal, dan pengangkut bersalah
ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung jawab.
Peraturan perundang-undangan tentang pelayaran tidak hanya diatur dalam KUHD
Buku Kedua tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran, tetapi
juga diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mencabut ketentuan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Berdasarkan Pasal 354 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 yang menyatakan “pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 3493) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
170 Hukum Pengangkutan Laut
yang bertanggung jawab sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui
antara PT PERTAMINA dengan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui antara Perusahaan dengan Federasi
Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) merupakan dasar hukum yang paling khusus
dari ketentuan-ketentuan umum yang tersebut di atas seperti KUH Perdata, KUHD,
maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. Perusahaan sebagai pemilik kapal dan
pengusaha yang mempekerjakan awak kapal yang menjadi korban terbakarnya kapal,
dapat menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja Bersama ini. Dasar
pemberlakuan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja Bersama ini adalah
berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis yang berarti ketentuan yang khusus
mengesampingkan ketentuan umum, selama ketentuan umum tidak mengatur mengenai
suatu ketentuan, dan selama ketentuan tersebut mengatur mengenai objek yang sama.
Perusahaan sebagai pemilik armada Kapal Tanker atau pengangkut yang juga
mempekerjakan kru yang berada didalamnya, telah melaksanakan tanggung jawabnya
yang juga sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Periode tahun 2007 − 2009 antara
Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja perusahaan tidak terlepas dari tanggung jawab
karena terdapat Perjanjian Kerja Bersama yang telah disetujui dan disepakati oleh masing-
masing pihak dalam perjanjian. Pasal 43 ayat (1 sampai dengan 5) berbunyi:
1. Perusahaan menjamin pengangkutan yang diperlukan Pekerja yang mendapat
kecelakaan kerja ke Rumah Sakit atau ke rumahnya.
2. Perusahaan menanggung semua biaya pengobatan dan perawatan pekerja yang
mendapat kecelakaan kerja, sejak kecelakaan terjadi sampai berakhirnya keadaan
sementara pekerja yang bersangkutan tidak mampu bekerja.
3. Pekerja yang mendapat kecelakaan kerja dan berakibat salah satu anggota badannya
cacat permanen dan atau berkurangnya fungsi sesuai keterangan dokter, diberikan
kompensasi sebesar 2 (dua) kali upah bulanan disamping ketentuan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
4. Dalam hal Pekerja mendapat kecelakaan karena melaksanakan tugas seperti tersebut
dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1992 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang
mengakibatkan seorang Pekerja untuk sementara waktu tidak mampu bekerja, maka
diberikan kompensasi sebagaimana termaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan
tersebut di atas atau kepada Pekerja diberikan kompensasi sebagai berikut:
a. 100 persen dari upah terakhir yang diterimanya selama 18 bulan pertama dari
ketidak mampuannya bekerja.
b. 50 persen dari upah terakhir yang diterimanya sesudah 18 bulan sampai ketidak
mampuannya bekerja berakhir.
172 Hukum Pengangkutan Laut
Tanggung jawab yang diberikan oleh Perusahaan terhadap ABK yang meninggal
dunia juga telah sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama Pasal 104 ayat (1), yang secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam hal seorang Pekerja meninggal dunia akibat
dari suatu kecelakaan kerja, maka kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan santunan
sebesar 72 (tujuh puluh dua) bulan upah termasuk di dalamnya santunan kematian akibat
kecelakaan kerja dari PT. JAMSOSTEK atau perusahaan Asuransi yang ditunjuk oleh
Perusahaan.
Perusahaan telah memberikan santunan kepada korban meninggal dunia sesuai
dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1), tetapi Perusahaan tidak menyebutkan besaran uang
duka atau santunan yang diberikan secara spesifik. Perusahaan hanya memberikan santunan
berdasarkan kebijakan perusahaan dan tidak mengikuti besaran santunan yang ditetapkan
oleh Perjanjian Kerja Bersama antara Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina
Bersatu (FSPPB), dalam arti Perusahaan belum menuntaskan hak yang seharusnya diterima
oleh ahli waris korban meninggal dunia yaitu santunan sebesar 72 (tujuh puluh dua) bulan
upah, termasuk di dalammya santunan kematian dari PT JAMSOSTEK.
Sistem tanggung jawab dalam Pasal 43 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Periode tahun
2007 − 2009 antara Perusahaan dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
yang diterapkan adalah sistem tanggung jawab Presumption of Liability karena dalam Pasal
43 ayat 5 ditentukan bahwa apabila kecelakaan tersebut terjadi akibat kesengajaan pekerja
yang bersangkutan, maka pihak pengusaha dapat menolak untuk memberikan ketentuan
yang terdapat dalam ayat (4). Ketentuan ini berarti Perusahaan sebagai pengangkut sekaligus
pengusaha dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh
pengangkut sebagai akibat dari suatu perjanjian, akan tetapi apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka pengangkut
dibebaskan dari tanggung jawab. Apabila pasal ini dikaitkan dengan kasus, maka
Perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap luka yang diderita oleh pekerjanya apabila
luka tersebut disebabkan oleh kecelakaan yang disengaja oleh pekerja yang bersangkutan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 173
Sistem tanggung jawab yang diterapkan dalam Pasal 104 ayat (1) Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) Periode tahun 2007 − 2009 antara Perusahaan dan Federasi Serikat
Pekerja adalah sistem tanggung jawab Absolute Liability. Perusahaan telah melaksanakan
tanggung jawab berdasarkan sistem tanggung jawab yang terdapat dalam pengangkutan
yaitu sistem Absolute Liability. Sistem tanggung jawab ini menyatakan bahwa pengangkut
harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari
penyelenggaraan pengangkutan yang mengakibatkan kematian dan luka-luka. Dalam
Absolute Liability, pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung
jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa mengelak atau membebaskan diri dari
tanggung jawab, dan sistem tanggung jawab ini tidak mengenal beban pembuktian, karena
musibah kebakaran Kapal Tanker menyebabkan korban meninggal dunia maka berlakulah
Prinsip Absolute Liability terhadap Perusahaan. Pasal 104 ayat (1) ini tidak menyebutkan
beban pembuktian yang harus dipikul oleh pengangkut ataupun pekerja atau awak kapal,
dan pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah tetap harus bertanggung jawab.
atau pelaksana kuasa dari penerima dalam hal pembongkaran. Namun demikian, segala
perbuatan yang dilakukan di atas kapal oleh perusahaan bongkar muat tunduk pada
peraturan yang berlaku di kapal itu.
Perusahaan bongkar muat adalah badan hukum Indonesia yang khusus didirikan
untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan
ke kapal. Usaha bongkar muat barang merupakan salah satu usaha jasa terkait dengan
angkutan di perairan yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a UU nomor 17 tahun
2008 tentang Palayaran, dan juga merupakan salah satu jenis kegiatan usaha penunjang
angkutan laut yang disebutkan dalam Pasal 43 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 82
tahun 1999 tentang Angkutan Di Perairan. Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke
kapal adalah kegiatan yang meliputi stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery di
pelabuhan.
Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/
tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai
dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat.
Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di dermaga
dan mengangkut dari dermaga ke gudang atau lapangan penumpukan selanjutnya
menyusun di gudang atau lapangan penumpukan atau sebaliknya. Receiving/delivery
adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di gudang
atau lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu
gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
Perusahaan bongkar muat dalam melakukan pelayanan harus bekerjasama dengan
berbagai pihak seperti PT Pelabuhan Indonesia, perusahaan pelayaran, EMKL, pemilik
barang, penyedia tenaga kerja buruh dan sebagainya. Para pihak memiliki tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Perusahaan bongkar muat memiliki tanggung jawab
atas:
1. Kelancaran kegiatan bongkar muat,
2. Keselamatan penerimaan dan penyerahan barang,
3. Kebenaran laporan yang disampaikan,
4. Mengatur penggunaan tenaga kerja bongkar muat dan peralatan sesuai kebutuhan.
Penulisan skripsi ini mengangkat PBM PT. Daisy Mutiara Samudra (PT. DMS)
sebagai sumber data penelitian karena berdasarakan akta pendiriannya perusahaan ini
bergerak dalam bidang jasa pengurusan bongkar muat barang dari dan ke kapal yang telah
mendapat izin untuk menyelenggarakan kegiatan usahanya dari Gubernur Provinsi DKI
Jakarta atas nama Menteri Perhubungan.
Dalam rangka melakukan kegiatan usahanya, PBM PT. DMS membuat perjanjian
kerja sama dengan PT. Gunung Raja Paksi untuk melakukan pembongkaran muatan
milik PT. Gunung Raja Paksi berupa lempengan baja (steel slabs) dari atas kapal Genco
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 175
Warrior milik perusahaan pelayaran Fayette. Sesuai dengan kesepakatan yang tercantum
dalam surat perjanjian kerja sama antara PBM PT. DMS dengan PT. Gunung Raja Paksi
telah disepakati bahwa setelah pembongkaran barang dari atas kapal selanjutnya akan
diserahkan ke gudang PT. Gunung Raja Paksi dengan cara truck lossing. Truck lossing adalah
pembongkaran muatan dari kapal dan langsung diangkut ke gudang penerima barang.
Pada proses pembongkaran muatan dari atas kapal dilakukan penghitungan, dan
membuat catatan mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut.
Kegiatan tersebut disebut dengan kegiatan tally. Kegiatan tally adalah kegiatan usaha
menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai muatan, untuk
kepentingan pemilik muatan dan atau pengangkut. Dalam proses pembongkaran tersebut
dilakukan penghitungan oleh petugas tally PBM dan perusahaan surveyor independent yang
ditunjuk oleh pemilik barang dan pengangkut. Pengangkut menunjuk sebuah perusahaan
independent tally surveyor untuk melakukan pencatatan dan penghitungan jumlah muatan
yang dibongkar dari atas kapal Genco Warrior, sedangkan PT. Gunung Raja Paksi menunjuk
Sucofindo untuk melakukan pengawasan serta penghitungan jumlah barang yang diterima
di gudangnya. Hasil penghitungan jumlah muatan yang dibongkar dari atas kapal antara
masing-masing pengawas berbeda. Menurut penghitungan petugas tally perusahaan
bongkar muat mencatat adanya kekurangan jumlah muatan yang dibongkar, tetapi
menurut penghitungan independent tally surveyor menyatakan bahwa jumlah barang yang
dibongkar tidak mengalami kekurangan. Petugas pengawas maupun perusahaan bongkar
muat harus membuat daftar barang yang kurang apabila terjadi kekurangan jumlah muatan
yang dibongkar. PT. Gunung Raja Paksi selaku penerima barang mengklaim PBM PT. DMS
selaku perusahaan bongkar muat untuk menuntut jumlah barang yang kurang.
Pokok Permasalahan
Perumusan masalah merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam penelitian
hukum (maupun di dalam ilmu-ilmu sosial lainnya). Suatu masalah sebenarnya merupakan
suatu proses yang mengalami halangan di dalam mencapai tujuannya. Biasanya halangan
tersebut hendak di atasi, dan hal inilah yang antara lain menjadi tujuan suatu penelitian.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang, maka pokok
permasalahan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab yang diberikan oleh PBM PT. DMS dalam hal terjadi
kekurangan jumlah barang yang dibongkar?
2. Bagaimana penyelesaian klaim antara PT. Gunung Raja Paksi tehadap PBM PT.
Daisy Mutiara Samudra ?
Tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan bongkar muat dalam hal terjadi
kekurangan jumlah barang.
176 Hukum Pengangkutan Laut
Kegiatan perdagangan antar pulau maupun antar Negara yang menggunakan kapal
laut sebagai alat angkutannya memerlukan jasa stevedore (perusahaan bongkar muat)
untuk melakukan pembongkaran maupun pemuatan barang dari dan ke kapal. Pemilik
barang tidak mungkin melakukan kegiatan pembongkaran dan atau pemuatan barang-
barang miliknya sendiri karena hal tersebut memerlukan alat-alat dan keahlian khusus
dalam mengeluarkan ataupun menempatkan muatan di dalam palka kapal. Perusahaan
bongkar muat (PBM) adalah badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk
menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal.
Perusahaan bongkar muat dapat ditunjuk oleh perusahaan pelayaran, pemilik barang,
maupun oleh EMKL yang mewakili pemilik barang untuk mengurus muatannya. Pemilik
barang dalam pengangkutan barang melalui laut adalah pengirim barang (shipper) dan/
atau penerima barang (consignee). Pengirim adalah salah satu pihak dalam perjanjian
pengangkutan yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Pada perjanjian
pengangkutan, penerima mungkin pengirim barang itu sendiri mungkin juga pihak ketiga
yang berkepentingan. Penerima barang (consignee) dalam perjanjian pengangkutan barang
melalui laut adalah pihak yang namanya tercantum dalam konosemen sebagai pihak
tertentu kepada siapa barang-barang yang diangkut itu harus diserahkan oleh pengangkut.
PT. Daisy Mutiara Samudra (PT. DMS) merupakan perusahaan bongkar muat yang
secara yuridis berdiri sejak tanggal 19 Agustus 1998 yang dituangkan dalam akta notaris R.
Muh. Hendarmawan, SH. No. 17 tanggal 19 Agustus 1998, dalam akta tersebut disebutkan
bahwa pendirian perseroan didirikan untuk jangka waktu tujuh puluh lima tahun. Dengan
ini, berarti PBM PT. DMS merupakan perusahaan bongkar muat yang telah memperoleh
izin usaha tetap dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta atas nama Menteri Perhubungan.
Pada tanggal 23-25 Januari 2008 PBM PT. DMS melakukan pembongkaran muatan
berupa lempengan baja (steel slabs) milik PT. Gunung Raja Paksi dari atas kapal cargo Genco
Warrior. PT. Gunung Raja Paksi adalah pihak penerima barang (consignee) yang tertera
pada Bill of Lading yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran Fayette yang mengangkut
muatan tersebut. PT. Gunung Raja Paksi menunjuk seorang ekspeditur, yaitu EMKL PT.
Daisy Mutiara Nusantara (PT. DMN) untuk mewakilinya dalam pengurusan dokumen-
dokumen yang diperlukan serta pekerjaan yang menyangkut penerimaan barangnya.
Perjanjian yang dibuat antara PT. Gunung Raja Paksi dengan EMKL PT. DMN selaku
EMKL yang ditunjuk adalah perjanjian ekspedisi (perantaraan) dalam hal pengurusan
penerimaan barang-barang milik consignee. Perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu sepakat antara mereka yang mengikatkan diri, kecakapan para pihak untuk membuat
suatu perikatan, suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 177
Sifat hukum perjanjian ekspedisi adalah pelayanan berkala dan pemberian kuasa.
Sifat hukum pelayanan berkala ada karena hubungan hukum antara ekspeditur dan pemilik
barang tidak tetap, hanya kadang kala saja, yakni bila pemilik barang membutuhkan seorang
wakil untuk mengurus keperluan penerimaan atau pengiriman barangnya. Sifat hukum
pemberian kuasa ini ada karena si pemilik barang telah memberikan kuasanya kepada
ekspeditur untuk mengurus segala hal guna keperluan barang-barangnya. Ekspeditur
dalam kedudukannya sebagai penerima perintah (kuasa) dari pemilik barang memiliki
hak retensi menurut Pasal 1812 KUHPerdata apabila belum dilunasinya segala apa yang
dapat dituntut sebagai akibat pemberian kuasa tersebut, dan memiliki hak mendahului
menurut Pasal 1139 KUHPerdata apabila ekspeditur telah membayar terlebih dahulu pihak
pengangkut sehingga mensubrogasi hak tagihannya dari pihak pengangkut.
Perjanjian pengangkutan antara pemilik barang (PT. Gunung Raja Paksi) dengan
pengangkut (Fayette) menggunakan ketentuan FIOS term dan mengunakan time charter
dalam hal penyewaan kapalnya, maka yang berkewajiban membayar biaya pembongkaran
muatan dari atas kapal dan penunjukkan perusahaan bongkar muatnya adalah pemilik
barang. Kewenangan PT. Gunung Raja Paksi untuk menunjuk perusahaan bongkar muatnya
digantikan oleh EMKL PT. DMN sebagai wakilnya. Ekspeditur sebagai pihak yang mewakili
consignee memberikan kuasanya kepada PBM untuk melakukan pembongkaran tersebut,
berarti hubungan antara EMKL PT. DMN dengan PBM PT. DMS merupakan hubungan
pemberian kuasa. Faktor lain yang menyebabkan penunjukan PBM dilakukan oleh EMKL
PT. DMN adalah karena ongkos angkut serta pengurusan dokumen dan Bea Cukai yang
ditawarkan oleh EMKL PT. DMN kepada PT. Gunung Raja Paksi sudah meliputi ongkos
pembongkaran muatan dari atas kapal Genco Warrior.
EMKL PT. DMN selaku perantara bagi consignee bertindak atas nama sendiri dalam
melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk kepentingan muatan consignee.
Hal ini dibuktikan dalam surat penunjukan PBM yang dibuat oleh EMKL PT. DMN kepada
PBM PT. DMS, artinya ekspeditur bertindak sebagai komisioner dalam hubungan dengan
pihak ketiga. Pengertian komisioner yang diatur dalam Pasal 76 KUHD adalah seorang
yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup
persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain
dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu. Surat penunjukkan PBM yang dibuat
oleh EMKL PT. DMN disebutkan pula kedudukan EMKL PT. DMN selaku penerima kuasa
dari PT. Gunung Raja Paksi. Selanjutnya dalam Pasal 77 ayat (1) KUHD disebutkan bahwa
kepada pihak dengan siapa komisioner bertindak, komisioner itupun tidak diwajibkan
menyebut akan pihak atas tanggungan siapa tindakan itu dilakukannya. Dengan demikian,
menurut peneliti, kedudukan ekspeditur sebagai komisioner tetap berlaku, karena dalam
Pasal 77 ayat (1) disebutkan “tidak diwajibkan” bukan berarti “dilarang” menyebutkan
pihak atas tanggungan siapa tindakan itu dilakukan.
178 Hukum Pengangkutan Laut
Kontrak kerja antara PT. Gunung Raja Paksi dengan EMKL PT. DMN dan PBM PT.
DMS dibuatkan dalam satu kontrak kerja. EMKL PT. DMN dan PBM PT. DMS bertindak
sebagai pihak pertama yang menyelenggarakan pekerjaan pembongkaran muatan dari atas
kapal dan pengangkutan barang impor dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ke gudang
PT. Gunung Raja Paksi sebagai pihak kedua dalam kontrak kerja tersebut.
Pada pengangkutan barang melalui laut selain diperlukan adanya ekspeditur bagi
pemilik barang, perusahaan bongkar muat untuk melakukan pembongkaran dan/atau
pemuatan barang, juga diperlukan adanya petugas penghitung jumlah barang-barang yang
dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal. Sesuai ketentuan Pasal 481 ayat (1) KUHD yang
menyatakan bahwa:
“Apabila disesuatu tempat oleh pemerintah setempat telah diangkat pegawai-
pegawai yang ditugaskan mengawasi penghitungan, pengukuran atau penimbangan
barang-barang yang harus diserahkan disitu maka atas perintah si pengangkut atau
si penerima, pada waktu barang-barang itu diterimanya, bolehlah penghitungan,
pengukuran atau penimbangan tersebut dilakukan atau diawasi oleh seorang
pegawai seperti itu.”
Selanjutnya di dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD menyatakan “hasil penghitungan,
pengukuran atau penimbangan yang dilakukan, atau yang diawasi oleh pegawai tersebut,
adalah mengikat bagi kedua belah pihak, kecuali apabila dibuktikan ketidakbenarannya. “
Kegiatan penghitungan tersebut disebut dengan kegiatan tally. Kegiatan tally adalah
kegiatan usaha menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai
muatan, untuk kepentingan pemilik muatan dan atau pengangkut. Pihak-pihak penghitung
dan pencatat dalam pembongkaran lempengan baja dari atas kapal Genco Warrior
terdiri dari independent tally surveyor yang ditunjuk oleh pengangkut, Sucofindo sebagai
pengawas dan penghitung muatan yang diterima consignee pada saat sampai digudangnya,
dan petugas tally perusahaan bongkar muat.
Perusahaan bongkar muat dalam melaksanakan jasa pembongkaran dan/atau
pemuatan barang-barang ada kemungkinan ketika barang yang diterima oleh penerima
barang (consignee) atau perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang ditunjuk ternyata
barang yang diterima dalam keadaan tidak selamat yaitu terdapat kekurangan atau
kerusakan pada barang tersebut. Bila terdapat kekurangan atau kerusakan barang
perusahaan bongkar muat harus membuat laporan-laporan atau catatan-catatan tentang
adanya kekurangan atau kerusakan barang-barang yang dibongkar dari kapal. Kekurangan
dan/atau kerusakan barang selain disebabkan oleh pengangkutannya dapat juga terjadi
karena proses pembongkaran dari kapal.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 179
kondisi barang dan penghitungan jumlah barang yang dilakukan oleh Sucofindo terdapat
kekurangan dua buah lempengan baja.
Catatan jumlah barang yang dibongkar dari kapal disebut dengan tally sheet bongkar
atau disebut juga dengan tally report. Petugas tally berkewajiban membuat laporan kegiatan
harian yang tertera dalam tally report. Tally report dibuat setiap shift per hari dan setelah
ditandatangani oleh pihak kapal dikirim ke kantor PBM untuk dievaluasi. Tally report
tersebut kemudian dibuatkan dalam bentuk statement of fact setelah pembongkaran atau
pemuatan ditambah dengan catatan seperlunya. Hasil dari statement of fact yang dibuat
oleh PBM menunjukkan adanya kekurangan jumlah muatan yang dibongkar, oleh karena
itu petugas tally membuat laporan bukti kekurangan jumlah barang.
Tally report yang dibuat oleh Independent tally surveyor menunjukkan kesesuaian
antara jumlah barang yang dibongkar dengan jumlah barang yang terdapat pada
cargo manifestnya, sedangkan hasil dari tally report yang dibuat oleh petugas tally PBM
menunjukkan kekurangan dua buah lempengan baja, kemudian petugas tally PBM
membuat laporan kekurangan jumlah barang yang disebut dengan shortlanded list. Tally
report yang dibuat oleh independent tally surveyor mendapat pengesahan dari kapten
kapal Genco Warrior, sedangkan shortlanded list yang dibuat oleh PBM tidak mendapat
pengesahan dari kapten kapal maupun agen pelayarannya. Hal ini disebabkan karena antara
tally report yang dibuat oleh independent tally surveyor dengan tally report yang dibuat oleh
PBM tidak dicocokkan terlebih dahulu sebelum dilaporkan kepada kapten kapal Genco
Warrior. Berdasarkan tally report yang sudah disahkan oleh kapten kapal Genco Warrior
yang dibuat oleh independent tally surveyor yang menyatakan bahwa barang yang dibongkar
dari atas kapal sesuai dengan jumlah barang yang tertera pada cargo manifestnya, maka PT.
Gunung Raja Paksi mengajukan klaim kepada PBM PT. DMS selaku perusahaan bongkar
muat yang melaksanakan pembongkaran muatannya dari atas kapal Genco Warrior.
Seperti yang telah disebutkan di atas, jika terjadi kekurangan jumlah muatan yang
dibongkar dari kapal dapat disebabkan oleh terjepit muatan lain, tertinggal di pelabuhan
lain akibat terbawa muatan lain, atau dapat disebabkan juga oleh proses pembongkaran
yang tidak mematuhi prosedur proses pembongkaran muatan dari atas kapal. Pada
pengangkutan ini kapal Genco Warior tidak berlabuh di pelabuhan pembongkaran lain
selain di pelabuhan pembongkaran Tanjung Priok, Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari
stowage plan yang dikeluarkan oleh petugas kapal Genco Warrior. Adapun prosedur proses
pembongkaran yang terdapat pada PBM PT. DMS adalah sebagai berikut:
1. memeriksa dokumen salinan manifest dan stowage plan yang dikirim dari pihak
agen;
2. melakukan koordinasi dengan pihak chief officer setelah kapal bersandar untuk
membuka palka yang sesuai dengan stowage plan tersebut;
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 181
3. setelah palka kapal dibuka, foreman kapal akan memerintahkan anak buahnya
untuk membuka cargo lashingan;
4. setelah cargo lashing lepas, barulah melakukan pembongkaran;
5. melakukan pembongkaran mulai dari barang yang paling atas dan yang paling
mudah dijangkau;
6. barang yang dibongkar diperiksa secara fisik dan diseleksi mana barang yang harus
disimpan dalam gudang tertutup atau terbuka;
7. melakukan penumpukkan barang dengan cara yang sesuai yang memudahkan dalam
penghitungan dan pengidentifikasian serta kemudahan dalam proses pengangkutan
selanjutnya (pengeluaran dari gudang);
8. melakukan pemisahan barang berdasarkan merek dan jenis barang;
9. melakukan pencatatan terhadap barang yang sudah dibongkar dalam dokumen tally
sheet yang ditanda tangani oleh chief officer;
10. bila barang yang dibongkar harus langsung diangkut ke luar untuk dikirim ke lokasi
pemilik barang, melakukan pengecekan lebih teliti lagi;
11. petugas tally memberikan bon pengantar barang kepada sopir ekspedisi yang
kemudian diserahkan kepada petugas yang bertanggung jawab membuat surat jalan;
12. setelah surat jalan telah dibuat, barang boleh diangkut untuk diantar ke lokasi
pemilik barang;
13. melaporkan dokumen tally sheet kepada chief checker;
14. chief checker bertanggung jawab untuk membuat dokumen daily report of discharged
yang ditanda tangani oleh chief officer (mualim I);
15. dokumen daily report didistribusikan kepada beberapa pihak sebagai berikut:
a. Perusahaan agen perkapalan
b. Chief officer (Mualim I)
c. PPSA (Pusat Pelayanan Satu Atap)
d. Perum pangkalan
e. ADPEL (administrasi pelabuhan) (lalu lintas laut)
16. melakukan pemeriksaan ulang terhadap barang yang sudah disimpan di dalam
gudang atau di lapangan, untuk memastikan barang yang dibongkar telah sesuai
dengan yang tertulis di dalam manifest atau untuk mengetahui apakah terdapat
barang yang rusak atau barang yang hilang;
17. apabila diketahui terdapat barang yang rusak, maka chief checker bertanggung jawab
untuk membuat laporan kerusakan barang damaged cargo list yang ditanda tangani
oleh chief officer;
18. apabila diketahui terdapat barang yang hilang, maka chief checker bertanggung
jawab untuk membuat dokumen short landed atau over landed yang ditanda tangani
oleh chief officer;
182 Hukum Pengangkutan Laut
19. setelah selesai proses bongkar muat, chief checker membuat statement of fact yang
ditanda tangani oleh chief officer.
PBM PT. DMS dalam melakukan kegiatan usahanya berpedoman pada instruksi
kerja prosedur pembongkaran barang yang berlaku pada PBM PT. DMS. Pembongkaran
lempengan baja dari atas kapal Genco Warrior PBM PT. DMS membuat dokumen atau
laporan pembongkaran barang dari atas kapal, yaitu daily report dari tanggal 23-25
Januari 2008, statement of fact, tally report, dan shortlanded list yang menunjukkan adanya
kekurangan jumlah barang.
Lingkup kegiatan pembongkaran barang dari atas kapal Genco Warrior yang
dilakukan oleh PBM PT. DMS meliputi stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery,
berarti tanggung jawab PBM PT. DMS sejak barang dibongkar dari kapal sampai barang
tersusun di atas kendaraan di pintu lapangan penumpukan. Selanjutnya pengangkutan
barang dari pelabuhan sampai ke gudang PT. Gunung Raja Paksi menjadi tangung jawab
EMKL, apabila kekurangan tersebut terjadi karena proses pembongkaran dan juga pada
saat pengangkutan dari pelabuhan ke gudang pemilik barang maka PBM dan EMKL
bersama-sama bertanggung jawab atas kekurangan tersebut.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perjanjian kerja antara PT. Gunung Raja
Paksi dengan EMKL PT. DMN serta PBM PT. DMS dibuatkan dalam satu surat perjanjian
kerja. Penyebutan PBM PT. DMS sebagai salah satu pihak dalam surat perjanjian tersebut
semata-mata hanya untuk memberikan batasan tentang tanggung jawab EMKL PT. DMN
dan PBM PT. DMS. Tanggung jawab EMKL PT. DMN selaku ekspeditur lebih bersifat
umum, yaitu meliputi:
1. dokumen kepabeanan;
2. pengadaan angkutan (trucking delivery);
3. bertanggung jawab penuh terhadap bongkar muat barang serta jumlah barang;
4. menjaga keutuhan barang sampai ke gudang pemilik.
PBM PT. DMS sebagai salah satu pihak dalam perjanjian tersebut yang bertindak
sebagai perusahaan bongkar muatnya bertanggung jawab terhadap proses
pembongkaran muatan dari atas kapal serta jumlah dan kondisi barang yang
dibongkar.
Tanggung jawab perusahaan bongkar muat yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1)
Keputusan Menteri Perhubungan nomor 14 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan
Dan Penguasaan Bongkar Muat Barang Dari Dan Kapal adalah “kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam suatu perjanjian antara pihak-pihak terkait, PBM
bertanggung jawab terhadap fasilitas pelabuhan yang digunakan, dan bagian dari
kapal dan peralatan bongkar muat kapal yang digunakan dalam kegiatan operasional
bongkar muat”. Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (2) KM 14 tahun 2002 menyebutkan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 183
Pendapat ini didasarkan atas provisi yang diterima oleh PBM merupakan bagian
dari provisi yang diterima oleh ekspeditur dari pemilik barang, karena provisi
yang ditawarkan oleh ekspeditur dalam mewakili pemilik barang untuk mengurus
dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan muatannya sudah termasuk
biaya pembongkaran muatan dari atas kapal. Berarti yang membayarkan provisi
184 Hukum Pengangkutan Laut
kepada PBM PT. DMS adalah EMKL PT. DMN karena merupakan sifat hukum
pemberian kuasa dari EMKL PT. DMN untuk melakukan pembongkaran muatan
milik PT. Gunung Raja Paksi dari atas kapal Genco Warrior. PT. Gunung Raja Paksi
dapat juga mengajukan klaim kepada EMKL PT. DMN atas dasar perbuatan yang
dilakukan PBM PT. DMS juga merupakan tanggung jawab EMKL PT. DMN. Jika
PBM PT. DMS terbukti bersalah, EMKL PT. DMN selaku pemberi kuasa kepada
PBM PT. DMS berhak untuk mengklaim PBM PT. DMS atas dasar wanprestasi
karena tidak melaksanakan kewajibanya dengan sebaik-baiknya.
PBM PT. DMS tidak menerima klaim yang diajukan oleh consignee kepadanya,
karena dalam melakukan tugasnya PBM PT. DMS telah mengikuti instruksi kerja
prosedur pembongkaran barang yang berlaku. PBM PT. DMS mempunyai bukti
yang menunjukkan bahwa kekurangan jumlah muatan tersebut bukan dikarenakan
proses pembongkaran yang dilakukannya, melainkan pada waktu dibongkar dari
kapal memang jumlahnya kurang. Hal ini dibuktikan dalam statement of fact, tally
report dan surat jalan beserta bon muat yang dibuat oleh PBM.
Selain mengajukan klaim langsung kepada PBM PT. DMS, PT. Gunung Raja Paksi juga
melakukan pengecekan ulang kepada pengirim (shipper) mengenai jumlah barang
yang dikirim, dan kemudian pengirim barang mengecek pihak pengangkut yaitu
Fayette mengenai jumlah muatan yang dimuat ke atas kapal. Perusahaan bongkar
muat PT. Daisy Mutiara Samudra bersedia bertanggung jawab atas kekurangan
jumlah steel slabs yang dibongkar dari kapal Genco Warrior apabila PT. Gunung
Raja Paksi dapat membuktikan bahwa kekurangan jumlah muatannya diakibatkan
karena kesalahan PBM, besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan oleh PBM PT.
DMS adalah total nilai barang yang rusak dalam rupiah sesuai dengan harga satuan
yang tercantum dalam “invoice” dikurangi 2% (dua persen) dari total nilai barang
yang diangkut untuk setiap truk. Besarnya pemberian ganti rugi materiil tersebut
sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam surat perjanjian kerja.
Sebagai pemberi kuasa kepada PBM PT. DMS tanggung jawab yang akan diberikan
oleh EMKL PT. DMN adalah berupa tanggung jawab moril kepada PT. Gunung Raja
Paksi.
Penyelesaian klaim antara PT. Gunung Raja Paksi dengan PT. Daisy Mutiara
Samudra Pengangkut (Carrier) bertanggung jawab untuk menyerahkan barang
dalam jumlah dan kondisi yang sama seperti pada waktu diterima dari pengirim
(shipper). Kerusakan dan kehilangan barang yang terjadi sejak barang diterima
sampai dengan barang diserahkan menjadi tanggung jawab pengangkut. Perusahaan
bongkar muat selaku badan usaha yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan
dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal juga memiliki
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 185
Kekurangan atau kerusakan barang yang terjadi karena kesalahan ataupun kelalaian
pengangkut, pemilik barang atau EMKL berhak mengajukan klaim kepada pengangkut
atau agen pelayarannya. Adapun yang dimaksud dengan klaim dalam pengangkutan laut
(shipping) adalah tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pengirim muatan atau wakilnya,
atau oleh penerima muatan, kepada pengangkut berhubung dengan kekurangan atau
kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari bermacam-macam risiko selama pengangkutan
muatan itu dari pelabuhan pemuatannya sampai ke pelabuhan tujuannya. Tata cara
mengurus kekurangan atau kerusakan barang dan klaim adalah sebagai berikut:
1. Bukti kekurangan barang
Barang diserahkan oleh pihak gudang atau PBM kepada consignee atau EMKL.
Jumlah ataupun spesifikasinya harus sesuai dengan yang tertera dalam D/O. Pihak
gudang akan mengeluarkan “bukti kekurangan sementara” apabila barang yang
diserahkan ternyata kurang jumlahnya. Bukti kekurangan sementara diserahkan
kepada agen pelayaran untuk diganti dengan bukti kekurangan (notice of shortage).
2. Bukti pendapat atau bukti kerusakan
Pihak penerima dapat meminta agar sebelum barang yang rusak diserahkan agar
diadakan pemeriksaan bersama (joint survey) yang disaksikan oleh penerima,
gudang dan pelayaran. Hasil joint survey dituangkan dalam joint survey report dan
selanjutnya oleh agen pelayaran dibuat survey report.
Kehilangan atau kerusakan barang dalam pengangkutan di laut menimbulkan klaim
terhadap pengangkut. Pemberitahuan tentang hilang atau rusaknya barang harus dilakukan
secara tertulis kepada pengangkut atau agennya di pelabuhan bongkar pada saat:
1. Sebelum atau pada saat barang diambil oleh penerima.
2. Tiga hari setelah barang diambil, apabila kerusakan tidak tampak ketika dibongkar.
Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka barang yang diambil oleh penerima
dianggap tidak ada kerusakannya. Pernyataan tertulis tidak diperlukan bila pada saat
penyerahan barang telah diadakan joint-survey. Pihak-pihak yang dapat melakukan
klaim barang adalah sebagai berikut:
1. Consignee seperti yang disebut dalam B/L.
2. Shipper bila B/L belum di-endorse.
186 Hukum Pengangkutan Laut
3. Pihak lain yang telah diberi wewenang telah diberi wewenang untuk menjadi
pemilik B/L dengan cara di-endorse.
4. Perusahaan asuransi yang menanggung barang, di mana shipper atau consignee
telah memindahkan haknya (subrogate) kepada perusahaan asuransi.
Pernyataan tertulis dalam bentuk shortlanded list tentang adanya kekurangan jumlah
barang yang dilaporkan PBM kepada kapten kapal atau agen pelayarannya tidak mendapat
persetujuan karena telah diadakan joint-survey dalam penghitungan jumlah muatan yang
dibongkar dari atas kapal Genco Warrior antara independent tally surveyor dengan petugas
tally PBM.
Consignee ataupun EMKL yang ditunjuk sebaiknya mengajukan klaim di tempat
kejadian. Sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat antara PBM PT. DMS dan EMKL
PT. DMN dengan PT. Gunung Raja Paksi telah disepakati bahwa pembongkaran barang
dilakukan dengan cara truck lossing, berarti penerima barang dapat langsung mengajukan
klaim di gudang consignee, apabila kekurangan atau kerusakan tersebut akibat dari
pengangkutan di laut PBM berkewajiban membuat dokumen kerusakan (damaged cargo
list) atau dokumen kekurangan jumlah barang (shortlanded list) yang akan dilaporkan
kepada kapten kapalnya. EMKL berhak mengajukan klaim kepada pengangkut jika
pemilik barang telah menyerahkan pengurusan muatannya kepada EMKL. Klaim yang
bisa diajukan kepada pengangkut adalah:
1. Klaim kerusakan yang merupakan tuntutan ganti rugi karena barang diserahkan
dalam keadaan rusak (damaged cargo).
2. Klaim kekurangan yang merupakan tuntutan ganti rugi atas tidak diserahkannya
sejumlah barang (except/short delivery).
Perusahaan pelayarannya yaitu Fayette tidak mau bertanggung jawab atas kekurangan
tersebut, karena jumlah barang yang dimuat di atas kapalnya adalah 2.068 buah lempengan
baja yang tertera pada stowage plannya. Pengangkut juga menolak bahwa kekurangan
tersebut diakibatkan karena kesalahan dan/atau kelalaiannya selama pengangkutan dari
pelabuhan muat sampai ke pelabuhan bongkar, karena tally report yang disahkan oleh
kapten kapal yang dibuat oleh independent tally surveyor sesuai dengan jumlah barang yang
tercantum pada stowage plannya.
Pasal 321 ayat (2) KUHD pada kasus ini tidak berlaku karena PBM PT. DMS
merupakan perusahaan yang berdiri sendiri, ia bukan bagian ataupun penerima kuasa dari
perusahaan pelayaran. Walaupun PBM bukan merupakan bagian ataupun penerima kuasa
dari pengangkut, namun pengangkut juga harus membuktikan bahwa jumlah barang yang
diangkut sampai di pelabuhan bongkar dengan selamat.
PT. Gunung Raja Paksi mengajukan klaim kepada PBM PT. DMS atas dasar wanprestasi
karena tidak melakukan kewajiban yang telah disepakati dalam surat perjanjian kerja
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 187
tersebut. Adapun prosedur pengajuan klaim yang terdapat pada PBM PT. DMS adalah
sebagai berikut:
1. Pengaju klaim membicarakan dan melihat dengan petugas PBM mengenai besarnya
kerusakan atau kehilangan, dan sedapat mungkin di tempat kejadian.
2. Pengaju klaim membuat surat pengajuan klaim yang ditujukkan kepada General
Manager dan Manager Operasional PBM PT. DMS.
3. Klaim yang diterima oleh PBM PT. DMS kemudian diadakan rapat evaluasi untuk
menelusuri penyebab kerusakan atau kekurangan tersebut.
4. Kemudian dilakukan musyawarah antara pengaju klaim dengan PBM PT. DMS
untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dalam surat perjanjian kerja tersebut ada
klausul yang menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat akan dilakukan
musyawarah untuk mufakat.
Untuk mengajukan klaim, pengaju klaim (claimant) harus menyertakan dokumen
pendukung. Dokumen pendukung yang penting untuk mengajukan klaim tersebut antara lain:
1. Bukti kekurangan atau kerusakan barang
2. Copy B/L
3. Packing list
4. Invoice pembelian barang
5. Polis asuransi
6. Surat tuntutan yang menyebutkan besarnya tuntutan.
PBM PT. DMS juga tidak bersedia bertanggung jawab atas kekurangan jumlah barang
yang dibongkar karena mereka memiliki tanda bukti berupa keterangan rinci tentang
waktu dan jumlah barang yang dibongkar dalam bentuk statement of fact. Dari statement
of fact tersebut dapat dilihat mengenai keterangan rinci jumlah keseluruhan barang
yang dibongkar. Upaya yang telah dilakukan PBM PT. DMS untuk membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan merupakan kesalahannya adalah melakukan investigasi internal
dengan mencocokkan antara surat jalan yang keluar dengan tally sheetnya.
Menurut peneliti, apabila dalam surat penunjukkan PBM yang dibuat oleh ekspeditur
menggunakan ketentuan Pasal 77 ayat (1) KUHD yaitu tidak menyebutkan atas kuasa siapa
penunjukkan itu dilakukan dan PBM tidak disebutkan dalam surat perjanjian kerja antara
pemilik barang dengan ekspeditur, maka alur pengajuan klaimnya adalah penerima barang
(consignee) mengklaim ekspeditur, kemudian ekspeditur mengklaim perusahaan bongkar
muat (stevedorering). Pengajuan gugatan terhadap ekspeditur maupun pengangkut terdapat
ketentuan mengenai batas waktunya yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHD, yaitu:
1. Dalam waktu satu tahun terhadap pengiriman-pengiriman dalam wilayah Indonesia
mulai hari di mana barang-barang itu tiba di tempat tujuan dalam hal kerusakan,
dan mulai saat barang-barang itu telah harus selesai diangkutnya (diserahkan)
dalam hal kehilangan.
188 Hukum Pengangkutan Laut
2. Dalam waktu dua tahun terhadap pengiriman dari wilayah Indonesia mulai hari
di mana barang-barang itu tiba di tempat tujuan dalam hal kerusakan, dan mulai
saat barang-barang itu telah harus selesai diangkutnya (diserahkan) dalam hal
kehilangan.
Selain batas waktu yang telah ditentukan tersebut, menurut Hague-Visby Rules, waktu
pengajuan klaim bisa diperpanjang bila kedua belah pihak menyetujuinya.
Menurut peneliti, tanggung jawab moril yang harus dilakukan EMKL PT. DMN
adalah turut serta menyelesaikan perselisihan ini, karena EMKL PT. DMN yang menunjuk
PBM PT. DMS untuk melakukan pembongkaran tersebut, dengan kata lain EMKL PT.
DMN yang mempertemukan PT. Gunung Raja Paksi dengan PBM PT. DMS. Selain alasan
tersebut ketentuan Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata dapat dijadikan dasar tanggung jawab
EMKL PT. DMN terhadap perbuatan orang yang ditanggungnya.
Dalam penyelesaian klaim kekurangan jumlah barang ini, PT. Gunung Raja Paksi dan
PBM PT. DMS tidak menggunakan jalur hukum. Berdasarkan surat perjanjian kerja antara
PBM PT. DMS dan EMKL PT. DMN dengan PT. Gunung Raja Paksi disebutkan bahwa
apabila dikemudian hari terjadi perselisihan maka kedua belah pihak bersedia untuk
bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Mereka tidak mau menggunakan jalur hukum
karena dikhawatirkan akan merusak nama baik kedua belah pihak, selain itu penyelesaian
perkara melalui jalur hukum memakan waktu yang cukup lama, membutuhkan biaya
yang besar dan belum tentu hasilnya memuaskan kedua belah pihak. Perundingan untuk
menyelesaikan permasalahan ini telah dilakukan melalui mediasi diantara keduabelah
pihak, di mana EMKL PT. DMN sebagai penerima kuasa dari PT. Gunung Raja Paksi
dan juga sebagai pemberi kuasa kepada PBM PT. DMS bertindak sebagai mediator dalam
penyelesaian kasus ini. Apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak di mana barang
tersebut harus diserahkan, maka pengajuan klaim consignee menjadi daluwarsa, kecuali
jika telah diperjanjikan lain di dalam surat perjanjian kerja tersebut.
PT Putera Sejahtera Abadi selaku transporter tanggal 6 Mei 1998 menyerahkan 2.139
party drum minyak pelumas untuk dimuat di kapal motor (KM) Iramuar milik PT PELNI
untuk diangkut ke pelabuhan tujuan Banjarmasin dari pelabuhan Tanjung Priok, dengan
pembayaran Freight lunas sebesar Rp. 10.267.200,-. Muatan berupa minyak pelumas
tersebut telah diterima dan dimuat di atas KM Iramuar dengan konosemen sebanyak 2.139
party drum tanpa catatan/clean document.
KM Iramuar berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta tertanggal 7 Mei 1998
dan tiba di Pelabuhan Banjarmasin tanggal 11 Mei 1998. Pembongkaran muatan baru
dilakukan atau dimulai tanggal 12 Mei 1998 jam 08.00 WITA dan selesai tanggal 14 Mei
1998 jam 02.20 (dini hari) WITA. Pembongkaran tersebut dilakukan dengan alat bongkar
muat seperti jaring-jaring dan langsung diturunkan ke dermaga dan diletakan di lapangan
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 189
PT Putera Sejahtera Abadi yaitu sebanyak 70 party drum minyak pelumas yang rusak,
bocor atau berubah mutu. Hal ini berarti bahwa pihak PT PELNI masih harus dan wajib
membayar PT Putera Sejahtera Abadi sebesar Rp. 67.759.206,- karena kurang 62 party
drum.
Pada tanggal 24 Mei 1999 PT Putera Sejahtera Abadi menghubungi PT PELNI
sehubungan dengan klaim yang diajukannya dengan surat klaim tertanggal 29 April 1999
dan terakhir sampai dengan tanggal 6 September 1999, namun hal ini tidak ditanggapi.
Akhirnya pada tanggal 14 Oktober 1999 PT PELNI memberikan tanggapan yang prinsipnya
tetap menolak tunutan klaim dari PT Putera Sejahtera Abadi tersebut dengan menunjuk
pada klausula konosemen PT PELNI itu sendiri dan KUHD.
Sehubungan dengan ditolaknya klaim tersebut melalui surat gugatan tertanggal 25
Februari 2000, PT Putera Sejahtera Abadi mendaftarkan gugtannya ke panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 29 Februari 2000 dengan pendaftaran Nomor 69/PDT.G/2000.
PN.JKT.PST yang isi gugatannya agar PT PELNI sebagai tergugat dapat memenuhi atau
membayar ganti kerugian yang dituntut oleh PT Putera Sejahtera Abadi sebesar Rp.
67.759.206,- ditambah dengan Compensation For Immediate Financial Loss sebesar 4% per
bulan dari Rp. 67.759.206,- terhitung sejak timbulnya klaim dan selambat-lambatnya 8 hari
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lintang Timur (siang hari) Nahkoda mengambil alih komando dari Mualim II dan halauan
kapal mengarah ke Tenggara menuju Rembang dengan halauan 150o untuk penyelamatan
kapal dan penumpang.
Pukul 18.00 Lintang Timur semua perwira deck dan KKM standby dianjungan untuk
antisipasi cuaca semakin tambah buruk, pada saat itu sudah ada sebagian penumpang yang
telah mempersiapkan diri dengan menggunakan baju renang. Pada pukul 22.00 Lintang
Timur kapal merubah halauan ke 250o mengarah ke pelabuhan Semarang. Deviasi ke
pelabuhan Surabaya tidak memungkinkan karena faktor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
semakin menipis.
Setelah merubah halauan menuju Semarang kecepatan angin antara 30-40 knot dan
gelombang tinggi mencapai 7-9 Meter menghantam KM Senopati Nusantara secara terus
menerus dan kapal terombang-ambing ke kanan dan ke kiri, sehingga memungkinkan
muatan kendaraan dapat bergeser secara tiba-tiba.
Pada pukul 23.00 Lintang Timur, tiba-tiba jangkar halauan kiri jatuh dari stopernya.
Nahkoda memerintahkan KKM untuk stop mesin dan maju pelan-pelan, sementara
Mualim I berusaha menurunkan jangkar tetapi switch ON/OFF pada winch jangkar konslet
terkena air laut, lalu Nahkoda perintahkan Mualim 1 dan Anak Buah Kapal (ABK) cek
muatan kendaraan di car deck dengan laporan ada kendaraan bergeser ke kiri sehingga
kapal miring ± 12o-20o.
Kapal semakin miring ke kiri dihantam ombak terus menerus sehingga kondisi kapal
semakin kritis. Pukul ± 23.15 Lintang Timur nahkoda perintahkan Abandon Ship ke semua
ABK untuk membagikan Life Jacket kepada penumpang dan melepas Automatic Release
Lifecraft dan alat-alat keselamatan lainnya yang berada di KM Senopati Nusantara karena
kondisi cuaca kapal tidak mungkin lagi untuk diselamatkan dan akhirnya KM Senopati
Nusantara tenggelam digulung ombak, sehingga menyebabkan:
a. 12 (dua belas) orang Anak Buah kapal (ABK) selamat dan 15 (lima belas) orang
Anak Buah Kapal (ABK) hilang;
b. 221 (dua ratus dua puluh satu) orang penumpang selamat, 45 (empat puluh lima)
orang penumpang meninggal dunia, dan 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan)
orang penumpang belum diketemukan.
c. Permasalahan
d. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka pokok permasalahan yang dapat
diajukan adalah:
e. 1.Bagaimana ketentuan asuransi wajib kecelakaan penumpang menurut Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964?
f. 2.Bagaimana tanggung jawab PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) terhadap
penumpang KM Senopati dalam hal pengangkut tidak menyetor Iuran Wajib kepada
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)?
192 Hukum Pengangkutan Laut
b. Hak Tertanggung
Tertanggung mempunyai hak untuk mendapatkan santunan asuransi apabila
mengalami peristiwa yang menyebabkan kecelakaan. Peristiwa yang menyebabkan
kecelakaan tersebut dapat berupa kematian, cacat tetap, maupun cedera/luka-luka.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965
disebutkan orang-orang yang layak untuk mendapatkan santunan yaitu;
1) Korban kecelakaan, apabila korban tidak meninggal dunia;
2) Apabila korban meninggal dunia, maka yang berhak mendapatkan santunan
adalah ahli warisnya yang sah yang terdiri dari ;
a) Janda/dudanya yang sah;
b) Anak-anaknya yang sah, dalam hal ini tidak ada janda/dudanya yang sah;
c) Orang tuanya yang sah, dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah.
Pasal ini juga memberikan ketentuan bahwa hak untuk memperoleh santunan
asuransi tidak boleh diserahkan kepada pihak lain. Hal ini berarti terdapat suatu
pembatasan hak untuk memperoleh santunan hanya kepada orang-orang tertentu
saja, disamping itu juga santunan asuransi tidak boleh digadaikan, dijadikan
196 Hukum Pengangkutan Laut
jaminan, disita ataupun untuk menjalankan putusan hakim. (Pasal 12 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi arti yang sebenarnya dari tujuan
asuransi sosial yang bersifat wajib yang diadakan oleh Pemerintah untuk
memberikan jaminan sosial kepada setiap anggota masyarakat yang mengalami
kecelakaan angkutan umum, karena jika tidak ditentukan seperti demikian tujuan
sebenarnya dari asuransi wajib ini akan hilang.
Tuntutan ganti kerugian pertanggungan diajukan kepada PT Asuransi Kerugian
Jasa Raharja (Persero) setempat dengan/tanpa perantaraan pengusaha/pemilik
angkutan umum yang bersangkutan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
terjadinya kecelakaan yang bersangkutan (Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965).
c. Kewajiban Penanggung
Kewajiban penanggung dalam hal ini adalah PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) adalah untuk memberikan santunan kepada pihak tertanggung/pihak
yang mengalami cacat, cidera ataupun kematian; akan tetapi untuk memenuhi
kewajiban tersebut penanggung harus memastikan terlebih dahulu hal-hal sebagai
berikut;
1) Apakah kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan kematian, cacat tetap,
ataupun cidera terjadi pada saat yang ditentukan?
2) Apakah pada saat terjadinya kecelakaan itu merupakan salah satu faktor yang
menentukan?
3) Apakah pihak penumpang yang mengalami kecelakaan itu mempunyai hak,
dalam arti mempunyai kepentingan atau tidak untuk menuntut ganti kerugian
kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)?.
Faktor-faktor inilah yang harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penanggung untuk
memberikan santunan kepada pihak tertanggung/penumpang kendaraan umum
yang mengalami kecelakaan, walaupun tertanggung telah memegang tiket/karcis
secara sah.
Kewajiban pembayaran jumlah besarnya ganti kerugian ditentukan dalam Pasal
11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 jo Pasal10 ayat (2), (3), dan (4).
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ini berbunyi ”besarnya
jumlah pembayaran ganti kerugian dalam hal kematian, cacat tetap, maksimum
penggantian biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter dan penggantian biaya
penguburan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) di atas ditentukan oleh
Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan”; Menteri yang maksud
saat ini ialah Menteri Keuangan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 197
Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa: ”Jaminan yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) yaitu berupa pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal-hal sebagai
berikut:
1) Korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam jangka
waktu 365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan;
2) Korban mendapat cacat tetap karena akibat langsung dari kecelakaan, dalam
waktu 365 hari setelah terjadi kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan
dengan cacat tetap adalah bila suatu anggota badan hilang atau tidak dapat
dipergunakan sama sekali atau tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-
lamanya;
3) Adanya biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk
korban karena akibat langsung dari kecelakaan, yang diperlukan dari hari
pertama setelah terjadi kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari;
4) Korban meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, kepada yang
menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya penguburan
Dalam hal cacat tetap yang dimaksudkan dalam ayat (2) sub b Pasal ini, ganti
kerugian pertanggungan dihitung menurut daftar dan perhitungan-perhitungan
lebih lanjut sebagai berikut ;
1). Dalam hal cacat tetap dari: Kanan Kiri
Kedua lengan atau kedua kaki... 100% -
Satu Lengan dan satu kaki... 100% -
Penglihatan dari kedua mata... 100% -
Akal budi seluruhnya dan tidak dapat sembuh yang menyebabkan 100%
tidak dapat melakukan suatu pekerjaan,...
Lengan dari sendi bahu... 70% -
Lengan dari atau di atas sendi siku... 65% -
Tangan dari atau di atas sendi pergelangan tangan... 60% -
Satu kaki... 50% -
Penglihatan dari satu mata... 30% -
Ibu jari tangan... 25% -
Telunjuk tangan... 15% -
Kelingking tangan... 10% -
Jari tengah atau jari manis tangan... 10% -
Tiap-tiap jari kaki... 5% -
198 Hukum Pengangkutan Laut
4) Dalam hal cacat tetap beberapa anggota badan yang disebut di atas ini, besarnya
ganti kerugian pertanggungan ditetapkan dengan menjumlahkan presentasi-
presentasi dari tiap-tiap anggota badan itu, akan tetapi ganti kerugian tersebut
adalah dibatasi sampai setinggi-tingginya 100%;
5) Dalam hal cacat tetap dari jari-jari sesuatu tangan, pembayaran ganti kerugian
pertanggungan tidak akan diberikan lebih dari presentasi yang ditetapkan
untuk cacat tetap suatu tangan;
6) Untuk kehilangan sesuatu anggota badan yang sudah sejak semula tidak dapat
dipergunakan, tidak diberikan ganti kerugian pertanggungan;
7) Dalam hal cacat tetap yang telah diakui kemudian menimbulkan cacat tetap
selanjutnya yang sifatnya merupakan rangkaian dan lebih luas dari cacat tetap
semula dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, maka diberikan
tambahan pembayaran ganti kerugian sebesar selisih dari jumlah yang telah
ditetapkan semula;
8) Dalam hal cacat tetap yang telah diakui kemudian menyebabkan kematian dalam
waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, maka kematianlah yang dianggap
sebagai satu-satunya sebab pembayaran ganti kerugian pertanggungan dan yang
dibayarkan adalah setinggi-tingginya jumlah ganti kerugian pertanggungan
untuk kematian seperti dimaksudkan dalam ayat (2) sub a pasal ini.
Penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan korban untuk biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter diatur dalam Pasal 10 ayat (4) menyatakan bahwa ;
1) Ganti kerugian pertanggungan untuk penggantian biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter yang dimaksudkan pada ayat (2) sub c Pasal ini, adalah
tidak terlepas dari soal apakah korban mempunyai hak atau tidak atas ganti
kerugian pertanggungan untuk kematian dan cacat tetap yang dimaksudkan
pada ayat (2) sub a dan b Pasal ini;
2) Ganti kerugian pertanggungan untuk penggantian biaya-biaya perawatan dan
pengobatan dokter, adalah sebagai tambahan dan tidak dikurangkan dari ganti
kerugian pertanggungan untuk kematian dan cacat tetap yang dimaksudkan
pada ayat (2) sub a dan b pasal ini;
3) Untuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pengobatan dokter
sesudah 365 hari setelah terjadinya kecelakaan, tidak diberikan ganti kerugian
pertanggungan.
Biaya rawatan yang dijamin adalah yang dilaksanakan oleh dokter, rumah sakit,
puskesmas, yang diperlukan untuk penyembuhan atau pengobatan cidera yang
diderita korban akibat kecelakaan yang dialami, dimulai dari hari pertama
kecelakaan sampai dengan 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari yang berupa ;
200 Hukum Pengangkutan Laut
1) Honor dokter;
2) Pertolongan Pertama Pada kecelakaan (P 3 K);
3) Biaya ambulance dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) sampai dengan Rumah
Sakit (RS), dapat dibayarkan sesuai dengan kebijakan yang berlaku;
4) Rawat inap selama di rumah sakit ;
5) Foto Rontgen;
6) Pembedahan/operasi;
7) Obat-obatan atas resep dokter;
8) Rawat jalan ke rumah sakit/puskesmas/dokter, sepanjang ada rujukan/
persetujuan dari rumah sakit/puskesmas/dokter yang merawat korban pertama
kali;
9) Pemeriksaan dokter pertama kali dengan indikasi yang tepat untuk
penyembuhan korban yang diperlukan menurut pendapat dokter, kecuali biaya
pembelian anggota badan buatan, seperti kaki, tangan buatan, gigi, dan/atau
mata palsu dan lain sebagainya.
d. Hak Penanggung
Hak penanggung didalam pertanggungan wajib kecelakaan penumpang adalah
menuntut pembayaran premi dari penumpang kendaraan umum tersebut. Hak
untuk menuntut dari penanggung bukanlah merupakan masalah yang sulit, karena
tertanggung apabila ingin melakukan suatu perjalanan dan akan menumpang
kendaraan umum, secara otomatis sudah membayar iuran bersama-sama dengan
biaya angkutan.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 menyatakan bahwa ”tiada karcis
atau tiket alat angkutan penumpang umum boleh dijual atau dikeluarkan kepada seseorang
oleh petugas yang berwenang dari pengusaha alat angkutan penumpang umum yang
bersangkutan, tanpa sekaligus memungut Iuran Wajib”.
Pembebasan pembayaran Iuran Wajib ini tidak berarti bahwa apabila penumpang
yang mengalami kecelakaan selama berjalannya pengangkutan tidak mendapat bantuan
atau ganti kerugian dari Pemerintah. Dengan tegas didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965 ditetapkan bahwa ”penumpang-penumpang yang mendapat
kecelakaan selama dalam alat angkutan penumpang tersebut tetap diberi hak menikmati
penggantian kerugian”. Hal ini berdasarkan pertanggungan kecelakaan menurut syarat-
syarat sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Selanjutnya menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ”pembayaran Iuran Wajib harus dilakukan
selambat-lambatnya tanggal 27 setiap bulannya secara langsung melalui Bank atau badan
asuransi lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menurut cara yang ditentukan oleh
Direksi”.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 22
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 menyatakan “perusahaan yang melakukan
kelalaian dalam melakukan kewajiban untuk memungut Iuran Wajib ataupun tidak
menyetorkan hasil pendapatannya akan dijatuhi hukuman setinggi-tingginya Rp
1.000.000,00 dan ditambah lagi dengan pencabutan ijin usaha untuk paling lama 3 (tiga)
bulan bagi pengusaha/pemilik angkutan umum yang bersangkutan”.
4. Unsur Kepentingan
Didalam Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang ini, faktor kepentingan tidak selalu
harus ada antara pihak yang mengikatkan diri dengan penguasa dana (penanggung). Ini
dapat dijumpai bilamana peristiwa yang menimpanya itu menimbulkan kematian bagi
pembayar Iuran Wajib.
Dalam hal demikian pembayar Iuran Wajib itu sendiri tidak akan mendapat ganti
kerugian, yang memperoleh ganti kerugian ialah orang lain. Ketentuan ini terdapat didalam
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 disebutkan:
a. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
b. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
c. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Penumpang disini adalah orang yang berkepentingan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yang menyebutkan
”dalam hal korban tidak meninggal dunia, ganti kerugian pertanggungan diberikan kepada
korban”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa unsur kepentingan
dapat muncul jika penumpang tidak meninggal dunia tetapi mengalami cedera.
202 Hukum Pengangkutan Laut
5. Evenement
Pengaturan saat mulai dan berakhirnya ancaman bahaya kecelakaan yang dijamin oleh
penanggung menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965
ialah ”setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat
terbang perusahaan penerbangan nasional, kapal perusahaan perkapalan/pelayaran
nasional, termasuk penumpang angkutan kota yang dibebaskan dari kewajiban membayar
iuran, diberi jaminan pertanggungan kecelakaan diri selama penumpang tersebut berada
dalam alat angkutan yang disediakan oleh perusahaan angkutan, untuk jangka waktu
antara penumpang saat penumpang naik alat angkutan yang bersangkutan ditempat
berangkat dan saat turun dari alat angkutan tersebut ditempat tujuan menurut karcis/tiket
yang berlaku untuk perjalanan/penerbangan yang bersangkutan”.
Berdasarkan ketentuan ini berarti bahwa jika terjadi kecelakaan-kecelakaan diluar
saat-saat yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1965, maka pihak asuransi tidak lagi berkewajiban untuk memberikan santunan, dan
sebaliknya pihak korban yang mengalami cacat, luka/cidera dan ahli waris dari korban
yang meninggal dunia tidak mempunyai hak/kepentingan atas santunan asuransi.
Peristiwa yang ditanggung didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 adalah
pada saat penumpang naik alat angkutan/berada di atas alat angkut dan pada saat dia turun
dari alat angkut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965 yaitu:
a. Dalam hal kendaraan bermotor umum;
Antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan ditempat berangkat dan
saat turunnya dari kendaran tersebut ditempat tujuan.
b. Dalam hal kereta api;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan kereta api ditempat berangkat dan saat
turunnya dari alat angkutan perusahaan kereta api ditempat tujuan menurut karcis
yang berlaku untuk perjalanan yang bersangkutan.
c. Dalam hal pesawat terbang;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan penerbangan yang bersangkutan atau
agennya ditempat berangkat dan saat meninggalkan tangga pesawat terbang yang
ditumpanginya ditempat tujuan menurut tiketnya yang berlaku untuk penerbangan
yang bersangkutan.
d. Dalam hal kapal;
Antara saat naik alat angkutan perusahaan perkapalan/pelayaran yang bersangkutan
ditempat berangkat dan saat turun didaratan pelabuhan tujuan menurut tiket yang
berlaku untuk perjalanan kapal yang bersangkutan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 203
penguasa dana”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa penguasa dana berkedudukan sebagai
penanggung yang memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran
sebagai tertanggung. Penumpang yang sah dari alat angkutan umum yang disebut sebagai
tertanggung atau pembayar Iuran Wajib menurut Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965
adalah ;
1. Penumpang dari kendaraan bermotor umum;
2. Penumpang dari kereta api;
3. Penumpang dari pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional;
4. Penumpang dari kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional.
Penanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan santunan kepada pihak
tertanggung ketika mengalami kecelakaan yang berakibat kematian dan cacat tetap.
Besarnya ganti kerugian ditentukan dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 jo Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4), ditentukan oleh Menteri Keuangan. Disisi
lain, penanggung mempunyai hak untuk menuntut pembayaran premi dari penumpang
kendaraan umum tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964. Pembayaran santunan akan diberikan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana yang tercantum pada hal.74.
Tertanggung mempunyai kewajiban untuk membayar Iuran Wajib dalam setiap
perjalanannya. Pembayaran iuran ini bersifat wajib sebagaimana tercantum dalam Pasal 3
ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965. Pembayaran Iuran wajib tersebut dilakukan bersama-sama dengan
pembayaran biaya angkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) sub a Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Adapun besarnya Iuran Wajib yang harus dibayar oleh tertanggung ditentukan dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001, yaitu didalam Pasal 4 ayat (4).
Tertanggung mempunyai hak untuk mendapatkan santunan dari penanggung (PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)) ketika ia mengalami kecelakaan yang berakibat
kematian dan cacat tetap. Tuntutan ganti kerugian pertanggungan dapat diajukan kepada
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) setempat oleh korban/ahli warisnya seperti
yang tercantum dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 baik tanpa/
melalui perantaraan perusahaan angkutan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
terjadinya kecelakaan yang bersangkutan. Pengaturan jangka waktu ini diatur dalam Pasal
16 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pada kasus kecelakaan KM Senopati Nusantara yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2006, di mana kapal tersebut mengangkut 545 (lima ratus empat puluh lima) orang
penumpang dan 27 (dua puluh tujuh) orang Anak Buah Kapal/ABK; peristiwa tersebut
menyebabkan;
206 Hukum Pengangkutan Laut
1. Sebanyak 12 (dua belas) orang Anak Buah Kapal/ABK ditemukan selamat dan
sebanyak 15 (lima belas) orang Anak Buah Kapal/ABK tidak diketemukan;
2. Sebanyak 221 (dua ratus dua puluh satu) orang penumpang selamat, 45 (empat
puluh lima) orang penumpang meninggal dunia, serta menyebabkan 279 (dua ratus
tujuh puluh sembilan) orang penumpang tidak diketemukan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada kasus KM Senopati Nusantara ini, yaitu
ternyata tidak semua penumpang tercantum dalam manifest dan uang hasil pemungutan
Iuran Wajib tersebut tidak disetorkan kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero);
namun demikian kenyataannya santunan tetap dibayar oleh PT Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero).
Dalam kaitannya dengan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), maka PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang harus memberikan
santunan kepada korban ataupun kepada ahli warisnya.
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) sebelum memberikan santunan harus
meneliti terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan dengan kecelakaan, misalnya
apakah penumpang yang mengalami kecelakaan itu mempunyai hak untuk menuntut ganti
kerugian kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bahwa hubungan hukum yang
terjadi antara penumpang dengan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan
penumpang merupakan hubungan pertanggungan, dalam hal ini penumpang berkedudukan
sebagai tertanggung, sedangkan PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berkedudukan
sebagai penanggung, misalnya apabila sudah dapat dibuktikan bahwa penumpang tersebut
adalah sah sebagai penumpang Kapal Motor Senopati Nusantara, maka PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan membayarkan santunannya, walaupun KM Senopati
Nusantara secara sengaja tidak menyetorkan jumlah Iuran Wajib yang telah dikumpulkan
oleh pengangkut dan yang harus dibayarkan.
PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) berhak untuk melakukan penuntutan
kepada KM Senopati Nusantara akibat tidak disetorkannya Iuran Wajib Kepada PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 8
UU Nomor 33 Tahun 1964 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pemerintah juga dapat memberikan sanksi tegas kepada KM Senopati Nusantara
akibat tidak menyetorkan Iuran Wajib Kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
yaitu berupa denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sesuai dengan
Pasal 8 UU Nomor 33 Tahun 1964 ataupun dapat berupa pencabutan ijin usaha untuk
selama-lamanya 3 (tiga) bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 207
Selanjutnya hubungan hukum yang terjadi antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero) dengan pengangkut merupakan suatu hubungan inkso, di mana KM Senopati
Nusantara hanya sebagai perantara dari penumpang untuk menyetorkan Iuran Wajib
kepada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Jumlah iuran wajib yang harus dibayarkan oleh KM Senopati Nusantara adalah
sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah) perpenumpang. Besar iuran wajib ini sudah sesuai
dengan Pasal 4 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001. Iuran
Wajib ini pada praktiknya dapat disetorkan langsung kepada Bank atau Badan Asuransi
yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 jo Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1965, jika jumlah
Iuran Wajib yang dibayarkan oleh pengangkut besar; ataupun dapat dilakukan oleh petugas
dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan mendatangi tempat pengangkut
jika jumlah Iuran Wajib yang disetorkannya kecil.
Kelalaian KM Senopati Nusantara untuk menyetorkan Iuran Wajib dapat dikenakan
sanksi yaitu berupa hukuman denda setinggi-tingginya sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964
dan juga dapat dikenakan pencabutan ijin usaha untuk selama-lamanya 3 (tiga) bulan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965.
Pada praktiknya jika pengangkut lalai atau sengaja tidak menyetorkan Iuran Wajibnya
tidak akan diberikan suatu hukuman. Tindakan yang dilakukan hanya berupa musyawarah
antara PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan pengangkut, dalam kasus ini
yaitu KM Senopati Nusantara. Pada kasus ini PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero)
dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 dikarenakan KM Senopati
Nusantara lalai untuk menyetorkan Iuran Wajib.
Pada praktiknya untuk menentukan seseorang termasuk kedalam korban kecelakaan
alat angkutan umum dan berhak untuk menerima santunan, perlu dilakukan survei. Survei
dilakukan oleh petugas PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) dengan mendatangi
tempat tinggal korban ataupun ahli warisnya. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi dari saksi disekitar lokasi kejadian dan saksi dari orang-orang disekitar
tempat tinggal korban, mendapatkan informasi dari pejabat atau rekan korban maupun
mendapatkan informasi kecelakaan dari rumah sakit. Pelaksanaan survei terhadap ahli
waris korban dilakukan guna mendapatkan informasi terkait dari pihak-pihak yang
terdekat dengan ahli waris korban seperti ;
1. Tetangga korban;
2. Ketua Rukun Tetangga/RT, Rukun Warga/RW di tempat domisili korban;
3. Bagian Personalia tempat korban bekerja;
4. Keluarga korban.
208 Hukum Pengangkutan Laut
Untuk korban yang namanya tidak tercantum dalam manifest, hasil survei yang telah
dilakukan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan dikonfirmasi kepada
KM Senopati Nusantara apakah penumpang yang bersangkutan termasuk kedalam korban
kecelakaan tersebut. PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) akan menolak untuk
memberikan santunan jika pengangkut (KM Senopati Nusantara) menyatakan bahwa
korban tidak termasuk kedalam penumpang yang mengalami kecelakaan.
Untuk mengajukan klaim/santunan, seorang ahli waris atau korban kecelakaan
tersebut harus mengajukan beberapa dokumen. Dokuemen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Formulir pengajuan santunan, diisi dan ditandatangani oleh pihak yang mengajukan
santunan;
2. Formulir kesehatan korban akibat kecelakaan; diisi dan ditandatangani oleh dokter
yang merawat korban/dokter/rumah sakit;
3. Keterangan ahli waris; lembaran ini diisi dan ditandatangani oleh Pamong Praja
sesuai dengan domisili ahli waris, atau pihak lain yang berwenang dalam menetapkan
ahli waris;
4. Keterangan singkat kejadian; diisi dan ditandatangani oleh petugas Jasa Raharja (Sub
Perwakilan/Penanggung Jawab Samsat/Ajun Surveyor/PA Pelayanan dan diketahui
oleh Kepala Bagian/Kepala Unit/Kepala Perwakilan).
Selain dokumen dasar di atas, diperlukan juga dokumen pendukung yang menjadi
syarat dalam mengajukan santunan. Adapun dokumen-dokumen pendukung tersebut
antara lain;
1. Laporan polisi berikut sketsa Tempat Kejadian Perkara/TKP atau laporan kecelakaan
pihak yang berwenang lainnya;
2. Kwitansi asli biaya rawatan;
3. Kartu Tanda Penduduk/KTP atau identitas lain yang berlaku;
4. Akte Kelahiran/Akte Kenal Lahir;
5. Surat Nikah;
6. Kartu Keluarga/KK
7. Keterangan cacat tetap dari dokter; serts
8. dokumen lain yang dianggap perlu.
Pada kasus KM Senopati Nusantara ini, cara pengajuan klaim/santunan yang dapat
dilakukan oleh Ny Sumirah selaku ahli waris dari Bapak Muhammad Nur yang merupakan
salah satu korban dari kecelakaan KM Senopati Nusantara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengisi formulir pengajuan santunan. Formulir pengajuan santunan ini dapat
dilakukan oleh pihak yang mengajukan santunan baik dilakukan oleh korban sendiri
maupun oleh ahli warisnya. Untuk kasus ini pengisian formulir santunan dilakukan
oleh Ny Sumirah selaku ahli waris dari Bapak Muhammad Nur/Nawir. Formulir ini
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 209
pemberian santunan juga harus diperhatikan unsur kepentingan. Unsur kepentingan ini
menjadi penting terkait dengan pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian.
Pihak yang berkepentingan ini adalah korban ataupun ahli waris korban (jika korban
meninggal dunia) yang mengalami kecelakaan, sehingga berdasarkan hal tersebut maka Ny
Sumirah berhak menerima santunan dikarenakan dia sebagai pihak yang berkepentingan
dikarenakan suaminya meninggal dunia dalam kecelakaan KM Senopati Nusantara.
Praktik dilapangan, selain hal-hal di atas terhadap korban yang jasadnya tidak
diketemukan diperlukan persyaratan lain yang harus diberikan oleh ahli waris. Ahli waris
harus menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa ahli waris bersedia
menerima Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Pesero), yang
mana apabila dikemudian hari korban yang namanya dicantumkan didalam surat
pernyataan tersebut diketemukan hidup, maka ahli waris bersedia untuk mengembalikan
dana santunan tersebut. Surat Pernyataan ini dilengkapi dengan materai Rp 6.000,00 (enam
ribu rupiah) dan disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala Kelurahan di mana ahli waris
berdomisili.
Ny Sumirah selaku isteri (ahli waris) dari Bapak Muhammad Nuh yang merupakan
korban KM Senopati Nusantara yang jasadnya tidak diketemukan, maka sebelum menerima
uang santunan ia harus membuat surat pernyataan. Surat pernyataan ini menyatakan
kesanggupan Ny Sumirah untuk mengembalikan uang santunan kepada PT Asuransi
Kerugian Jasa Raharja (Persero) jika dikemudian hari Bapak Muhammad Nuh diketemukan
selamat, maka dia sanggup untuk mengembalikan uang santunan. Pernyataan tersebut
ditandatangani oleh Ny Sumirah di atas materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) serta
disaksikan, dibenarkan, ditandatangani, dan diberi cap oleh Kepala Kelurahan Penjaringan
yaitu Bapak Budi Santoso dan pernyataan tersebut dikuatkan dan ditandatangani oleh
Kepala Kecamatan Penjaringan, yaitu Dra Yudhi Dwi Dharma. Dengan demikian, hal yang
dilakukan Ny Sumirah ini telah sesuai dengan persyaratan dalam mendapatkan santunan
dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 mengatur mengenai pihak-
pihak yang berhak pemberian santunan. Pasal ini menyatakan bahwa pihak-pihak yang
berhak memperoleh santunan ialah;
1. Jandanya/dudanya yang sah dari orang yang jadi korban;
2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah maka anak-anaknya yang sah;
3. Kepada orang tuanya yang sah apabila janda/duda dan anak-anak yang sah tidak
ada.
Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, maka Ny Sumirah adalah ahli waris yang
sah dari Bapak Muhammad. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1965; oleh karena itu dia berhak untuk mendapatkan uang santunan.
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 211
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) sub a Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/
KMK.06/2001 bahwa terhadap korban meninggal akan diberikan santunan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Akibat kecelakaan KM Senopati Nusantara, PT
Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) memberikan santunan kepada Ny Sumirah
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dikarenakan suaminya meninggal dunia
akibat peristiwa kecelakaan tersebut.
Unsur kepentingan terhadap korban meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli
waris, maka akan diberikan uang penggantian biaya penguburan kepada pihak yang
menyelenggarakan penguburan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Pasal 3
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001. Salah satu contohnya ialah
Fajar Rakhman (19 tahun) warga Jalan Abdul Azis RT 04 RW 01, Kelurahan Kumai Hulu,
Kecamatan Kumai, Pangkalan Bun. Dikarenakan dia tidak mempunyai ahli waris yang
sah, maka uang penggantian biaya penguburan diberikan kepada pihak yang melakukan
penguburan. Hal ini juga telah sesuai dengan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
415/KMK.06/2001.
Terhadap korban yang tidak mempunyai ahli waris diberikan uang penggantian
biaya penguburan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pihak yang melakukan
penguburan; sehingga terhadap Fajar Rakhman diberikan uang penggantian biaya
penguburan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada pihak yang melakukan
penguburan diakibatkan dia tidak mempunyai ahli waris. Pemberian santunan yang
dilakukan oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 415/KMK.06/2001.
Pada akhirnya santunan dilihat dari sudut pandang perusahaan terdapat 2 (dua) tujuan
penyelesaian yaitu; pertama adalah untuk memverifikasi kerugian yang dapat ditanggung
dan yang kedua adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kecepatan penyelesaian
santunan.
1. Tujuan pertama adalah untuk memverifikasi kerugian yang dapat ditanggung, yakni
untuk menilai kerugian apakah kerugian yang dapat ditanggung tersebut benar-
benar terjadi;
2. Tujuan kedua adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kecepatan penyelesaian
santunan. Hal ini bahwa perusahaan harus menghindari penyelesaian santunan
yang lebih besar daripada yang seharusnya, selain itu mencegah pemberian santunan
yang tidak sah.
212 Hukum Pengangkutan Laut
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 213
DAFTAR PUSTAKA
Buku
[1] Abdulkadir Muhammad, “Hukum Pengangkutan Niaga”, Citra Aditya Bakti, Bandung,
( 2013)
[2] Andi Hamzah, Kamus Hukum , Jakarta, ( 1986)
[3] Bryan A Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, ED. 8, St. Paul Minnesota: Thomson
West
[4] Direktorat Perhubungan Laut Indonesia, Tol Laut, Jakarta, Percetakan Direktorat
Perhubungan Laut, , Juni 2017
[5] H. Djafar Al Bram, “Pengantar Hukum Pengangkutan Laut”, Cetakan Ke – II, Fakultas
Hukum Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, (2011)
[6] H.M.N. Purwosutjipto,, “Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia”, Jilid III,
Djambatan, Jakarta, (2013)
[7] H.M.N. Purwosutjipto, “Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengangkutan
Darat dan Perairan Darat 5”, Jakarta: Djambatan, ( 2000).
[8] Jenny Barmawi, “Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Barang Melalui
Lautan”, Diktat Seminar, Universitas Airlangga, 20 Agustus – 2 September 1989.
[9] Mahmud Siregar dan M Iqbal Asnawi, 2012, “Cabotage Principle Pada Regulasi Jasa
Angkutan dalam Perairan Indonesia dari Perspektif Sistem Perdagangan Multilateral
WTO/GATS
[10] Martono dan Eka Budi Tjahjono, “Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, (2011)
[11] PT. Pelabuhan Indonesia (Persero), Pelabuhan Indonesia Jilid I-V, Jakarta, Percetakan
Pelabuhan Indonesia, 2002
[12] Sution Usman Adji, et.all, Transport Constitution in Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta,
1990
[13] Subekti, “Hukum Perjanjian”, Jakarta (2002)
[14] Suyono, RP. (2003). Pengangkutan Intermodal Eksport-Import Melalui Laut, Jakarta,
PPM
[15] Siti Utari, “Pengangkutan Laut Di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis)”, Jakarta: Balai
Pustaka, (1994)
[16] Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, Jakarta: PT. Intermasa, (1994)
[17] Touwen, Jeroen. (2001). Shipping and Trade in The Java Sea Region: a Collection of
Statistics on The Major Java Sea Part, Leiden. KITLV Press
213
214 Hukum Pengangkutan Laut
[18] Tim Penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ( 1990)
[19] The American Heritage Distionary of the English Language, Fourth Edition
[20] Umar M.Husseyn, Umar Chandra, Motik Yusuf, Peraturan Angkutan Laut, Dalam
Deregulasi, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992)
[21] Umar, M. Hussein, 2016. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di
Indonesia, Buku ke I, Penerbit: Fikahati Aneska, Jakarta
[22] Umar, M. Hussein, 2016. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di
Indonesia, Buku ke II, Penerbit: Fikahati Aneska, Jakarta
Artikel Jurnal
[1] Adnandaka Nurvigya, Alfian Nanung dan Rizki Nur Annisa, “Menelaah Waktu
Terjadinya Risiko (Kehilangan/Kerusakan Barang) Dalam Praktik Proses Pengangkutan
Laut”, Jurnal Gema, Tahun XXVII/50/Februari-Juli 2015, ISSN:0215-3092, (2015),
pp. 1993-2000.
[2] Bambang Winarso, “Peran Angkutan Laut dalam Meningkatkan Distribusi Ternak
Sapi Potong dari Daerah Produsen ke wilayah Konsumen”, Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan Vol. 14(2), ISSN 1410-5020, (2017), pp. 82-96.
[3] Donald Supit, “Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Kargo Udara
Domestik, Jurnal Hukum Unsrat” , Vol. I/No.3/Juli-September/2013, Https://ejournal.
unsrat.ac.id, Diakses pada tanggal 3 Februari 2020
[4] Hari Utomo,” Siapa Yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan
Kapal”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 01,(Maret 2017), pp. 57-76
[5] Herman Susetyo,” Tanggung Jawab Nakhoda Pada Kecelakaan Kapal Dalam
Pengangkutan Penumpang dan Barang Melalui Laut di Indonesia”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Jilid 39 No. 1, Maret (2010) h.8-16
[6] Nober Marthen, “Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Nakhoda dalam Pengangkutan
Barang di Laut”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 6, Volume 3, (Tahun 2015)
[7] Samuel Ronatio Adinugroho dan Anung Aditya Tjahja, Tanggung Jawab Nakhoda
Atas Keselamatan Muatan Dalam Perspektif Hukum Pelayaran, Jurnal Dunia Hukum,
Program Doktor Ilmu Hukum- Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Semarang,
Volume 3 Nomor 1, Oktober (2018), Https://Jurnal.untagsmg.ac.id
[8] Surahman, “Tanggung Jawab Pidana Terhadap Nakhoda Kapal yang Melayarkan
Kapalnya Tanpa Laik Laut Sesuai Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari Syahbandar
Berdasarkan Peraturan-Perundang-Undangan (Studi di Kantor Kesyahbandaran dan
Otoritas Pelabuhan Pontianak, Jurnal Nestor Magister Hukum,Vol. 4, No. 4, Https://
jurnal.untan.ac.id , (2018), Diakses pada Tanggal 6 Februari 2020
[9] Suwardi, “ Tanggung Jawab Pengangkut Akibat Keterlambatan Pengiriman Barang”,
Universitas Narotama Surabaya, Volume XX , 20 April 2011, Https://journalnarotama.
ac.id , (2011)Diakses pada Tanggal 2 Februari 2020
[10] Vicky Hanggara Alexandro dan Mety Rahmawaty, “ Pertanggung jawaban Pidana
Terhadap Kecelakaan Kapal Akibat Tidak Laik Laut”, E-Journal Untar, http E-Journal
Untar, Https://journal.untar.ac.id , (2019)Diakses pada Tanggal 6 Februari 2020
Daftar Pustaka 215
Peraturan
[1] SOLAS (Safety Of Life At Sea) 1974/1978
[2] Hague Rules 1924
[3] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[4] Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
[5] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
[6] Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
[7] Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan
dan Pengusahaan
Website
[1] Http://id.wikipedia.org/wiki/pelaut. Sejarah Pendidikan Pelaut di Indonesia, 12
Februari 2010, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020).
[2] Sumber Wikipedia, melalui , https://id.wikipedia.org/ Daftar Kecelakaan dan Insiden
Kapal di Indonesia, Update 26 Maret 2019, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[3] Https://m.hukumonline.com , Kamis, 9 Februari 2017, Problema Hukum
Transportasi Laut, Mendudukkan Syahbandar, Nakhoda, Pemilik Kapal, dan ABK
Ketika Kecelakaan,
[4] Https://m.liputan6.com , Tragedi Kapal Tenggelam di Danau Toba, Edmiraldo Siregar,
26 Juni 2018). Kedua kasus di atas hanyalah sebagian kecil peristiwa kecelakaan kapal
laut di Indonesia, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[5] Https://google.com, Data Kecelakaan Kapal menurut KNKT (SUMBER KNKT
Tahun 2017, Diakses pada Tanggal 20 Januari 2020
[6] Departemen Perhubungan Laut, , http://setkab.go.id/program-tol-laut-presiden-
telah-dijalankan-disparitas harga, 2017, Diakses pada Tanggal 15 Agustus 2019
[7] Andika, 25 Oktober 2014: http://www.kompasiana.com/bobby-andhika/tol-laut-
jokowi-bagaimana-cara-meng-implementasikannya , Diakses pada Tanggal 20
September 2019
[8] Dhirta Parera Arsa, Narasumber: Prof. Dr. Ir, Bambang Triatmojo DEA http://www.
clapeyronmedia.com/tol-laut-solusikah/ , 2017, Diakses pada Tanggal 15 Juli 2019
[9] Fitri,2015http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/25/asean-economic-community-
aec-2015-peluang-dan-tantangan-indonesia-are-u-ready-649427.html , Diakses
pada tanggal 16 Juli 2019
[10] Sekretariat Kabinet, http://setkab.go.id/optimalisasi-pembangunan-tol-laut-untuk-
memperkuat-sistem-logistik-kelautan-nasional/, Diakses pada Tanggal, 20 September 2019
[11] https://www.google.com , Poros Maritim, Diakses Pada Tanggal 21 Oktober 2019
[12] Kementerian Perindustrian ,2015 www.kemenperin.go.id/artikel/6371/Kadin-
Ragukan-Kesiapan-RI-Sambut-AEC-2015 (diakses pada tanggal 16 Juli 2019)
[13] Nugasdulubosku di 15.12 http://habibahsalma.blogspot.co.id/2015/11/optimalisasi-
tol-laut-dalam.html, (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019)
[14] Notohamijoyo, A, Penerapan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pada
Sertifikat Ekolabel Perikanan Studi Kasus Kegagalan Penerapan Sertifikat Marine
216 Hukum Pengangkutan Laut
INDEKS
B E
Based on fault 30, 33 ekspor 3, 4, 17, 109, 111, 127, 128, 130, 134, 178
Bea cukai 68, 71, 104, 106, 111, 182 embarkasi 38, 116, 120
Benua asia 1 Entitas Industri 111
Benua australia 1 Extra Cover 18
Bill of lading 73
F
Bill of lading 67, 69, 75, 78, 92, 181
Biro perjalanan 41 Fault liabilty principle 31
Board-stevedoring 70 Field reseach 7
Breakable limit 87 Force majeur 39
Bulk cargo 43 Foreman 65
Bulk cargo ship 21 Forklift toploader 124
Burg’s study 137 Freeport 129
Freight contract 73
C
Freight forwarding 107
Cacat fisik 35 Freight prepaid 76
Cacat mental 35 Fungsi pengangkutan 2, 11, 13, 15
Cargo documentation 79
G
Cargodoring 61, 62, 65, 66, 179
Cargo handling 80, 108, 117, 121 Gantry crane 124
Cargo list 67, 68, 69 Gateway 111
Cargo manifest 69, 74 General Cargo 43
Cargo ship 20, 21 Grove schuld 57
Cessie 47
Compulsory insurance 144 H
217
218 Hukum Pengangkutan Laut
Hague Rules 14, 56, 77, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92 N
Hak retensi 37, 39, 40, 181
Hand Baggage 32 Negara kepulauan 1, 2, 11
Hatch List 69 Negligence Clause 91
Head truck 125
O
Hinterland 109, 110, 128, 131, 132
Homogenous cargo 43 Outturn Report 68
P
I
Passanger 19
Imigrasi 106, 114, 117 Passenger ship 21
Impor 3, 4, 17, 71, 78, 84, 104, 106, 111, 127, 130, 134, Pelaku 12, 15
178, 182 Pelayaran 3, 4, 5, 6, 7, 10, 81, 82, 83, 84, 86, 93, 99,
Interinsuler 104 100, 101, 102, 104, 169, 172, 197
Izin Pelayaran 44 Pelayaran Khusus 102
Pelayaran Lokal 16, 83
J
Pelayaran Nusantara 16
Jenis angkutan 21 Pelayaran Pedalaman 16
Pelayaran Penundaan Laut 16
K Pelayaran Rakyat 16, 83, 104
Pelayaran Samudera 17
Kapal barang 20, 21 Pemilik Kapal 13
Kapal Barang 44, 45 Pencarter 14
Kapal Penumpang 44 Pengangkutan niaga 20, 23, 36, 37, 38, 39
kausa yang halal 22 Pengatur muatan 42
Kesadaran hukum 36 Pengusaha Kapal 13
Keterpaduan 36 Penumpang 2, 3, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 32,
Kitab Undang-undang Hukum Dagang 2, 9, 19 33, 34, 44, 57, 68, 86, 110, 112, 115, 116, 117,
Konosemen 47, 75 119, 120, 127, 133, 157, 158, 159, 195, 196,
Konsensual 37 Perjanjian pengangkutan 2, 12, 14, 17, 18, 19, 20, 21,
Koordinatif 37 22, 23, 24, 25, 26, 39, 40, 41, 43, 45, 46, 47, 48,
49, 51, 52, 53, 78, 93, 168, 180, 198
L
Perusahaan Jawatan 18, 147
Landing Order 68, 74 Perusahaan Umum 18, 147, 159, 197
Landing Order” 74 Presumption of liability 30
Law enforcement 113 Presumption of non liability 30, 86
Liability 29, 30, 31, 32, 33, 85, 86, 87, 171, 172, 175 Prinsip Limitation of Liability 33
Library Reseach 6 Prinsip Praduga 31
Lighterage 80 Private Insurance. 159
Limitation of Liability 30, 33, 85, 86, 87
Q
Limitation of Liabilty Principle 32
Liner term 70 Quary containaer 124
Quay supervisor 65
M
R
Manifest 69, 74
Maritim 3, 127 Railway truck 120
Mistry 65 Receiving 62, 65, 66, 179
Moda transportasi 3, 4, 60, 112, 115, 118, 133, 178 Responsibility 29, 167
Muatan Barang 20 Retensi 37
Muatan Penumpang 20, 43
S
Indeks 219
Samudra Hindia 1 W
Samudra Indonesia 1
Sea port 103 Waktu angkutan 21
Shipper 19, 73, 74, 76, 190 Wanprestasi 72, 188, 191
Shipping Documents 73 Warehousing 79
Shipping mark 80, 81, 93 Watchman 65
Shipping Permit 73 Waterfront 129
Sifat muatan 21 Welfare program 160
Special designed ship 21 Welfare state 142
Stevedoring 61, 62, 64, 66, 79, 178 Wire net 62
Stowage Plan 67, 74
Z
Straddle carrier; 124
Strict Liability 30, 85 Zee-mansgids 131
Zona industri 112
T
Tally clerk 65
Tanker ship 21
Time Charter 13
Transit traffic 128
Transshipment 100
Transteiner 124
Truck loosing 107
Veem 130
Voyage charter 63
Voyage Charter 13
220 Hukum Pengangkutan Laut
Bab 9: Uraian Kasus-Kasus Tentang Pengangkutan di Laut 221
TENTANG PENULIS
221
222 Hukum Pengangkutan Laut