Anda di halaman 1dari 81

PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II):

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT,


ASURANSI, DAN INCOTERM

Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.

Pusat Kajian Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP)

i
Judul:
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II):
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT,
ASURANSI, DAN INCOTERM

Penulis:
Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.

Editor:
Endra Wijaya
Deni Bram

Hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang pada penulis.

Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP).

Alamat PKIH FHUP:


Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 2,
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640.

Cetakan ke-1: Oktober 2011.

ISBN: 978 – 602 – 99279 – 2 – 4 (No. Jil. Lengkap)


ISBN: 978 – 602 – 99279 – 4 – 8 (Jil. II)

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk
diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan
untuk membuat karya tulis ilmiah dengan
menyebutkan buku ini sebagai sumbernya.

ii
KATA PENGANTAR

Seiring mengucapkan Alhamdulillahi Rabil Alamin, segala


kemuliaan, ilmu pengetahuan, dan kebenaran berpikir serta bertindak
hanyalah milik Allah Subhanahu Wa’ala, sedangkan milik penulis
hanyalah kekeliruan dan kesalahan. Oleh sebab itu, perkenankanlah
permohonan penulis bila terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam buku
yang diberi judul Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II):
Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm yang sangat
sederhana ini kiranya dimaafkan sepenuh hati oleh pembaca yang
berbahagia.

Buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II):


Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm ialah suatu
kajian teoretis tentang hukum dalam praktik pengangkutan laut, yang
juga merupakan kelanjutan dari penjelasan yang telah diberikan melalui
buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian, Asas-
Asas, Hak dan Kewajiban Para Pihak.

Hal terpenting ialah perpaduan antara praktisi dan akademisi


yang dimiliki penulis sebagai dosen di berbagai Akademi Ilmu
Pelayaran, seperti Akademi Maritim Indonsia (AMI), Bitung, Medan,
dan Makassar, serta Politeknik Ilmu Pelayaran dan Transportasi Laut
Kementerian Perhubungan Makassar, dan Jakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang diperoleh ialah atas


berkat bantuan dan dukungan dari berbagai fihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang kepada:

1. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTM,


S.H., Sp.A. (K), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU),
Medan.

iii
2. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S., Direktur
Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU),
Medan.
3. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab,
S.H. dkk. selaku pembimbing.
4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution,
S.H.,M.H. dkk. selalu pembimbing.
5. Juga kepada Adinda Deni Bram yang berkenaan untuk
merampungkan naskah yang ada, serta kepada Pusat Kajian Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP)
sebagai lembaga penerbit dan wadah diskusi selama ini.

Merupakan suatu ekspektasi dan kehormatan penulis, jika buku


ini akan dipergunakan oleh para mahasiswa fakultas hukum yang
mendalami masalah pengangkutan laut, lain dari itu juga oleh para
stakeholder penguna jasa pengangkutan laut, agen pelayaran, penguna
jasa kepabeanan, serta pelaku bisnis pelayaran, perdagangan
internasional, ekspor impor, maupun masyarakat pada umumnya yang
ingin memahami permasalahan yang berkaitan dengan pengangkutan
laut.

Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat memberi


manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca. Selain itu, kritik dan
saran sangat diharapkan bagi kesempurnaan penulisan berikutnya.

Jakarta, Oktober 2011

Djafar Al Bram.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v

BAB I TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM


PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT 1
A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 1
1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 1
2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 3
3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 12
4. Batas Ganti Kerugian 17
B. Menurut The Hague Rules 23
1. Memahami Konosemen menurut
The Hague Rules 25
2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 27
3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 29
4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 32
5. Batas Ganti Kerugian 38
C. Menurut The Hamburg Rules 41
1. Periode Tanggung Jawab 44
2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 46
3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 51
4. Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian 53

BAB II PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT 56


A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan atas
.Adanya Unsur Kesalahan 56

v
B. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan
.Asas Praduga 57
C. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak 58
D. Prinsip Limitation of Liability 58

BAB III ASURANSI LAUT DALAM KAITANNYA


DENGAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT 60

BAB IV INCOTERM DALAM PENGANGKUTAN BARANG 65


A. Tujuan Incoterm 65
B. Pencantuman Incoterm ke dalam
.Kontrak Penjualan 66
C. Penyampaian Risiko dan Ongkos Berkaitan
.dengan Barang 66
D. Cost Insurance and Freight 67
E. Kewajiban Penjual 68
F. Kewajiban Pembeli 70

DAFTAR PUSTAKA 73

vi
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

BAB I
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM
PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang


Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yang
dalam hal ini ialah pengangkut dan pengirim barang. Di satu pihak,
pengangkut ingin memikul tanggung jawab yang sekecil-kecilnya,
sedangkan di lain pihak, pengirim barang mengharapkan
pertanggungjawaban yang besar-besarnya dari pengangkut. Oleh karena
itulah, baik dalam undang-undang nasional maupun konvensi
internasional telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab
dalam proses pengangkutan.

1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut


Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 468 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD), bahwa kewajiban pengangkut yang
utama ialah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan
barang yang diangkut mulai diterimanya dari pengirim sampai
diserahkannya kepada penerima barang. Hal itu berarti, periode (jangka
waktu) mulai dan berakhirnya tanggung jawab pengangkut tergantung
kepada saat penerimaan dan saat penyerahan barang.
Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut di atas, dengan
adanya istilah “saat diterima” dan “saat diserahkannya”, maka hal itu
dapat menimbulkan suatu masalah, yaitu saat kapankah dianggap telah
terjadi penerimaan oleh pengangkut? Dan selanjutnya, kapankah saat
terjadinya penyerahan oleh pengangkut?
Perlu diketahui, bahwa barang-barang yang diangkut dapat
diterima pengangkut melalui gudang, di samping kapal, atau bahkan di

-1-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

suatu tempat lain. Oleh karena ketentuan KUHD sebagaimana yang


telah disebutkan di atas tidak memberikan kejelasan yang rinci, maka
untuk itu perlu di dalam surat perjanjian pengangkutan ditegaskan
tentang:
1. Cara penerimaan barang dari pengirim barang kepada
pengangkut, serta;
2. Cara penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima
barang.
Apabila ditentukan penerimaan barang melalui gudang, hal ini
berarti barang-barang yang akan diangkut diserahterimakan oleh
pengirim barang kepada pengangkut di luar gudang pelabuhan
pemuatan atau gudang lini I. Maka, mulai dari pintu luar gudang
pemuatan barang-barang tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut
sampai barang diangkut serta diserahkan di pelabuhan tujuan.
Dengan demikian, apabila telah diperjanjikan, bahwa selama
barang itu masih di gudang, maka dia masih menjadi tanggung jawab
pengirim barang, pengangkut barulah mulai bertanggung jawab sejak
barang tadi dikeluarkan dari gudang untuk diangkut.
Demikian pula, jika penyerahan barang melalui gudang, maka
pengangkut bertanggung jawab sampai barang itu diserahkan kepada
penerima di pintu luar gudang pelabuhan atau gudang lini I. Selama
berada dalam gudang, maka pengangkut masih bertanggung jawab atas
barang tersebut.
Ketidakjelasan pengaturan oleh KUHD mengenai periode
tanggung jawab ini dalam praktiknya cukup mendapatkan perhatian.
Berkaitan dengan hal itu, maka perlu pula kiranya diperhatikan suatu
Peraturan Pemerintah (PP) yang pada saat ini sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi, yaitu PP Nomor 2 Tahun 1969 tentang Pengusahaan dan
Penyelenggaraan Angkutan Laut, yang di dalam Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2)-nya menjelaskan bahwa:
(1) Perusahaan pelayaran bertanggung jawab sebagai pengangkut
barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari
pengirim sampai menyerahkan barang yang diangkutnya
kepada penerima sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku atau syarat-syarat perjanjian

-2-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang


pelayaran.
(2) Dalam suatu perusahaan pelayaran menguasai gudang laut
seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan (3), perusahaan
pelayaran yang bersangkutan bertanggung jawab atas
kehilangan dan kerusakan barang selama barang-barang
tersebut berada dalam gudang laut.
Bunyi Pasal 14 ayat (1) tersebut dinyatakan lebih jelas dan tegas
dari bunyi pengaturan pada Pasal 468 ayat (1) KUHD. Masih terkait
dengan masalah penentuan secara pasti periode tanggung jawab, apabila
tidak ada pengaturannya dalam perundang-undangan, tidak diatur secara
jelas tentang periode tanggung jawab pengangkut, maka hal itu dapat
dilihat dari syarat perjanjian pengangkutan dan kelaziman yang berlaku
dalam bidang pelayaran.
Jika dalam perjanjian pengangkutan ada mengatur mengenai
periode tersebut secara jelas, maka dengan sendirinya masalah pada saat
kapan barang dianggap telah diterima dan diserahkan oleh pengangkut
tidak lagi menjadi persoalan antara pengangkut dengan pengirim
barang.
Pertanggungjawaban yang dipikul oleh pengangkut merupakan
suatu kenyataan (fakta) yang timbul akibat adanya pelaksanaan
perjanjian pengangkutan. Pengangkut dalam perjanjian pengangkutan
itu ialah pihak yang telah mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu
jasa kepada pihak lain (pihak pengirim dan penerima barang).

2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut


Dasar tanggung jawab pengangkut ialah kewajiban yang timbul
dari perjanjian pengangkutan. Sehubungan dengan itu perlu
diperhatikan ketentuan Pasal 1 KUHD yang menyatakan bahwa “Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh dari padanya dalam
kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku
juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 KUHD tersebut, maka ketentuan
umum mengenai perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berlaku pula bagi

-3-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

perjanjian pengangkutan laut kecuali ada ketentuan yang bersifat


khusus. Untuk itu perlu diperhatikan (dikutip) Pasal 1235 sampai
dengan Pasal 1238 KUHPerdata.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa “Dalam
tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub
kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang
baik, sampai pada saat penyerahan”.
Selanjutnya, Pasal 1236 menjelaskan bahwa “Si berhutang
adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si
berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak
mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya
sepatutnya guna menyelamatkannya”.
Kemudian, Pasal 1237 menjelaskan bahwa “Dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
Jika si berhutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat
kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.
Dan lebih lanjut Pasal 1238 menjelaskan bahwa “Si berhutang
adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah
jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Di samping pasal-pasal tersebut di atas, Pasal 1706 dan Pasal
1707 mengenai penitipan kiranya dapat pula diperlakukan sebagai dasar
pertanggungjawaban pihak pengangkutan. Pasal 1706 KUHPerdata
menjelaskan bahwa “Si penerima titipan diwajibkan mengenai
perawatan barang yang dipercayakan padanya, memeliharanya dengan
minat yang sama seperti ia memelihara barang-barangnya sendiri”.
Selanjutnya, Pasal 1707 KUHPerdata menjelaskan bahwa
“Ketentuan pasal yang lalu harus dilakukan lebih keras:
1. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk
menyimpan barangnya;
2. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah yang
menyimpan itu;

-4-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si


penerima titipan;
4. Jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan
menanggung segala macam kelalaian”.
Kemudian, menurut Pasal 468 ayat (3) KUHD, tanggung jawab
pengangkut juga meliputi segala perbuatan mereka yang dipekerjakan
bagi kepentingan pengangkutan itu dan segala barang (alat-alat) yang
dipakainya untuk menyelenggarakan pengangkutan itu.
Jadi, tanggung jawab pengangkut meliputi:
1. Perbuatan orang-orang yang dipekerjakan untuk pengangkutan
ini. Hal itu adalah wajar, karena orang-orang tersebut bekerja
untuk kepentingan pengangkut, bukan untuk orang lain.
Orang-orang yang dimaksud tadi termasuk juga nakhoda
kapal, anak buah kapal, serta cabang atau agen-agen dari
pengangkut.
Mengenai hal di atas, ialah sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 321 KUHD, yang menjelaskan bahwa
“Pengusaha adalah terikat oleh segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh mereka, yang bekerja tetap atau sementara pada
kapalnya, di dalam jabatan mereka dalam lingkungan
kekuasaan mereka. Dia adalah bertanggung jawab untuk
segala kerugian yang diterbitkan pada pihak ke tiga, oleh
sesuatu perbuatan melanggar hukum dari mereka yang bekerja
tetap atau sementara pada kapalnya atau yang melakukan
sesuatu pekerjaan di kapal guna kepentingan kapal atau
muatannya, asal perbuatan melanggar hukum tadi dilakukan
dalam jabatan mereka atau pada waktu mereka itu sedang
melakukan pekerjaan mereka”.
Ketentuan tersebut setidaknya memiliki arti bahwa ada 2 (dua)
macam tanggung jawab pengusaha kapal/pengangkut, yaitu:
a. Bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang
dilakukan oleh orang-orang pekerja dari kapal dalam
lingkungan kewenangannya.
b. Bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan
oleh perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam

-5-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatannya,


dengan syarat perbuatan itu dilakukan dalam lingkungan
pekerjaannya.
Pertanggungjawaban dalam hal yang pertama ialah suatu
hakekat hukum yang sudah termuat dalam Pasal 1792
KUHPerdata mengenai pemberian kuasa (lastgeving). Hakekat
hukum ini menurut Wirjono Prodjodikoro ialah “Bahwa
apabila seseorang memberi kuasa kepada orang lain guna
melakukan sesuatu untuk si pemberi kuasa, maka kini terselip
suatu perwakilan langsung dari si pemberi kuasa seolah-olah
melakukan sendiri perbuatan hukum itu”. 1 Oleh karena itu,
sudah semestinya bahwa tanggung jawab pengangkut terhadap
orang-orang yang dia pekerjakan itu dibatasi hanya dalam
lingkungan kewenangan untuk melakukan pekerjaan masing-
masing.
2. Penyelenggaraan atas kapalnya (to make the ship sea worthy)
dan penyelenggaraan ruang-ruang muatan, serta penempatan
barang yang untuk selanjutnya diangkut ke pelabuhan tujuan
(cargo worthiness of the ship).
Jadi, dalam hal ini kapal yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan itu harus layak melaut. Jika kapal secara teknis
cukup layak melaut, namun ternyata ruangan muatan tidak
cukup wajar untuk barang yang diangkut, maka kapal tersebut
menjadi tidak layak melaut.
Pengangkut yang melaksanakan pengangkutan tidak dengan
sewajarnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kehilangan barang-
barang, maka pengangkut itu harus bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian atas kerusakan atau kehilangan karena kelalaian atau
kesalahannya tadi.
Pasal 468 ayat (2) KUHD mewajibkan kepada pengangkut untuk
mengganti kerugian pengirim apabila barang yang diangkutnya tidak
dapat diserahkannya atau mengalami kerusakan, kecuali jika tidak dapat
diserahkannya atau rusaknya barang itu disebabkan oleh:
1. Suatu melapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya.
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut bagi Indonesia (Sumur, 1984), hal. 93.

-6-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

2. Sifat, keadaan, atau cacat dari barang itu sendiri.


3. Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri.
Mengenai hal tersebut di atas, maka terlihat adanya kesamaan
dengan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Perbedaannya hanya
terletak dalam perumusan keadaan memaksa. Untuk itu, sebaiknya perlu
disimak isi kedua pasal tersebut.
Pasal 1244 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Jika ada alasan
untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga
apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena
suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya”.
Kemudian, Pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si
berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan
yang terlarang”.
Pasal 1244 KUHPerdata menggunakan kata-kata “Suatu hal
yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabakan”, sedangkan
Pasal 1245 KUHPerdata menggunakan “keadaan memaksa atau lantaran
suatu kejadian tidak disengaja”, dan Pasal 468 KUHD menggunakan
“Suatu melapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun
dihindarkannya”.
Ketentuan Pasal 468 ayat (2) ini dapat memberikan pengertian
yang kabur, karena tidak jelas melapetaka yang mana dan yang berupa
apa yang tidak selayaknya dapat dicegah atau dihindarkan. Hal tersebut
tidak juga dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya. Dengan adanya
ketentuan yang demikian, sering dalam praktiknya pengangkut berdalih
bahwa telah terjadi force majeur untuk menolak tuntutan ganti kerugian
pemilik/penerima barang.
Namun sebenarnya peristiwa yang berupa force majeur tersebut
tidaklah membebaskan sama sekali pengangkut dari kewajiban
melakukan dengan sewajarnya untuk menghindarkan atau memperkecil

-7-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kehilangan atau kerusakan barang yang diangkut. Jadi, meskipun dalam


konosemen telah ditegaskan mengenai pembebasan tanggung jawab dari
kehilangan atau kerusakan barang yang disebabkan oleh force majeur,
pengangkut harus tetap membuktikan bahwa dia telah berusaha
menghindarkan atau mengurangi akibat dari force majeur itu secara
wajar. Misalnya, dalam hal terjadinya angin topan, maka harus tetap
dibuktikan apakah si pengangkut telah mengikat dengan sebaik-baiknya
(dengan erat) barang-barang yang diangkutnya. Jika pengangkut tidak
dapat membuktikan usahanya untuk mengikat dengan baik itu, maka
pengangkut harus tetap memberi ganti kerugian.
Selain itu, undang-undang memperbolehkan pengangkut untuk
tidak mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang-barang
yang diangkut yang disebabkan oleh sifat dan cacat barang itu sendiri
atau karena kesalahan pengirim. Misalnya, barang rusak karena akibat
pembungkusan yang tidak sempurna, atau apabila barang yang
dikirimkannya memang sudah terlalu matang, sedangkan jarak yang
akan ditempuh oleh kapal sangat jauh, sehingga menurut sifatnya
barang itu dapat menjadi busuk sesampainya di tempat consignee.
Maka, jika si pengangkut dapat membuktikan kesalahan si pengirim
dalam pembungkusan barang atau cacat barang tersebut ialah karena
faktor sifatnya, pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab
mengganti kerugian itu.
Pasal 469 KUHD menjelaskan bahwa “Untuk dicurinya atau
hilangnya emas, perak, permata dan lain-lain barang berharga, uang dan
surat-surat berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si
pengangkut bertanggung jawab, melainkan apabila tentang sifat dan
harga barang-barang tersebut, diberitahukan kepadanya, sebelum atau
sewaktu barang-barang tadi diterimanya”.
Dengan demikian, kalau orang mengirim barang berharga maka
dia harus memberitahukan kepada pengangkut, bahwa barang itu ialah
emas dan harus pula memberitahukan harganya. Apabila si pengirim
tidak memberitahukan sebelum barang itu diserahkannya untuk
diangkut, atau pada saat barang itu akan diangkut, maka jika barang itu
hilang atau rusak di dalam perjalanan, ini merupakan suatu hal yang
wajar saja kalau akhirnya si pengangkut tidak mau bertanggung jawab.

-8-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Apabila telah diberitahukan sifat dan harga barang yang menjadi objek
pengangkutan, maka barulah si pengangkut diwajibkan untuk memberi
ganti kerugian jika terjadi kerusakan atau kehilangan atas barang tadi.
Dengan adanya pemberitahuan kepada pengangkut, dia dapat
menentukan suatu tempat yang aman di dalam kapal untuk barang-
barang berharga tersebut. Demikian pula, dia dapat menentukan biaya
angkutannya (uang tambang). Dari sudut tuntutan ganti kerugian,
pengirim barang juga mempunyai kepentingan untuk memberitahukan
adanya barang berharga tersebut. Apabila tidak diberitahukan harganya,
jika barang berharga itu hilang, maka pengangkut hanya mengganti
kerugian berdasarkan harga barang-barang biasa saja. Sebaliknya, jika
diberitahukan harganya, maka penggantian kerugian didasarkan kepada
harga yang sebenarnya dari barang-barang berharga tersebut.
Dalam praktik, saat penyerahan barang-barang yang akan
diangkut dari pengirim kepada pengangkut, barang-barang itu telah
dikemas dalam koli-koli 2 dan diberi tanda merek atau tanda pengenal
lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerugian
karena kerusakan atau kehilangan barang dalam pengangkutan.
Merek atau tanda pengenal tersebut sangat penting bagi
pengangkut sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pengangkutan
barang. Mengenai kebenaran dari merek atau tanda pengenal
sebagaimana telah diberitahukan kepada pengangkut ialah menjadi
tanggung jawab pengirim barang.
Demikian juga tentang isi dan berat koli barang menjadi
tanggung jawab pengirim barang. Pengangkut hanya berpegang pada
keterangan dari pengirim barang, karena barang sudah dikemas dalam
koli. Oleh karena itu, pada konosemen dicantumkan perkataan “said to
weight” untuk berat koli dan “said to contain” untuk isi koli. Hal ini
berarti bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas isi dan berat
koli jika ternyata isi dan berat koli berkurang atau mengalami
kerusakan, asalkan koli barang diserahkan kepada penerima barang
dalam keadaan seperti ketika diterimanya dari pengirim barang.
Sebaliknya, jika pengangkut menerima barang dari pengirim
barang dalam keadaan utuh tetapi ketika menyerahkannya kepada
2
Dalam bahasa Belanda, “colli” berarti barang kiriman atau peti kiriman.

-9-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

penerima barang dalam keadaan rusak atau berkurang jumlahnya, maka


pengangkut harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian.
Di samping hal tersebut di atas, dalam Pasal 477 KUHD
ditetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
dialami oleh pemilik barang jika pengangkut terlambat menyerahkan
barang-barang kepada penerima, kecuali pengangkut dapat
membuktikan bahwa keterlambatan tadi disebabkan oleh kejadian yang
menurut kepantasan tidak dapat dihindari atau dicegah oleh pengangkut.
Kejadian yang dapat memperlambat penyerahan barang kepada
penerima yang bisa dianggap sebagai force majeur ialah dalam hal-hal
sebagai berikut: 3
1. Mesin atau baling-baling rusak sehingga terpaksa pelayaran
ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Bagian-bagian
kapal yang rusak yang dapat diperbaiki sampai kapal berlayar
tidak termasuk dalam kategori ini.
2. Kapal melakukan penyimpangan dari rute yang seharusnya
dilayari untuk menghindari topan.
3. Kapal menolong orang yang berada dalam keadaan bahaya di
lautan, misalnya penumpang kapal yang tenggelam.
4. Kapal terpaksa memasuki suatu pelabuhan yang bukan
pelabuhan yang akan disinggahi untuk meminta pertolongan
dokter atau untuk menurunkan penumpang atau awal kapal
yang perlu segera mendapatkan pertolongan dari dokter untuk
menyelamatkan jiwanya.
5. Kapal dihadang oleh kapal bajak laut, tetapi berhasil
melepaskan diri melalui perjuangan dan perlawanan yang
berat.
Kejadian-kejadian yang dialami kapal seperti yang disebutkan di atas
harus dibuktikan oleh nakhoda agar pengangkut dapat bebas dari
tanggung jawab untuk mengganti kerugian.
Selanjutnya, dalam Pasal 478 dan Pasal 479 KUHD ditetapkan
hak pengangkut atas tuntutan ganti kerugian terhadap pemilik barang
dalam hal pengangkut menderita kerugian:

3
Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid III (Jakarta: Bharata Karya
Ahsna, 1982), hal. 143.

- 10 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

1. Karena surat-surat yang perlu untuk pengangkutan barang-


barang tidak diberikan kepadanya sebagaimana mestinya.
Surat-surat tersebut ialah surat-surat yang harus disediakan
oleh pengirim barang. Misalnya, tembusan surat pemberitahuan
ekspor barang tidak diberikan, sehingga kapal tertunda
meninggalkan pelabuhan muat yang berarti ada tambahan
biaya bagi kapal untuk berlabuh.
2. Karena kepadanya tidak diberitahukan dengan sebenarnya
keadaan wujud dan sifat-sifat barang oleh pemilik barang.
Atas kerugian yang diderita oleh pengangkut, yaitu sebesar tambahan
biaya tersebut, pengangkut berhak memperoleh penggantian dari
pengirim barang.
Dalam hal ini pengangkut juga berhak memusnahkan atau
membuang barang-barang yang membahayakan barang-barang lain atau
membahayakan kapal, barang selundupan, tanpa mengganti kerugian
kepada pemilik barang. Barang-barang yang dapat membahayakan
kapal dan muatan kapal terdiri dari barang-barang bahaya seperti
dinamit, serta barang-barang yang mudah terbakar, misalnya korek api,
dan mesiu.
Pemilik barang harus memberitahukan kepada pengangkut
dengan lengkap dan sebenarnya mengenai keadaan wujud dan sifat-sifat
dari barang-barang tersebut. Jika dia tidak memberitahukan secara
lengkap dan sebenarnya kepada pengangkut, maka apabila pengangkut
menderita kerugian disebabkan barang-barang itu, pemilik barang wajib
mengganti kerugian yang diderita oleh pengangkut.
Pemberitahuan tersebut diperlukan agar pengangkut dapat
mengatur pemadatannya di dalam palka kapalnya sedemikian rupa,
sehingga barang-barang itu dan kapal pengangkutnya sendiri dapat
terhindar dari kerusakan. Hal yang demikian tentunya sesuai dengan
prinsip pada proses pengangkutan barang, yaitu bahwa tujuan terakhir
dari pengangkutan barang-barang ialah penyerahan barang-barang yang
diangkut oleh pengangkut kepada penerima barang di pelabuhan tujuan
dapat dilakukan dengan selamat.
Pasal 480 KUHD mengatur cara-cara penyerahan barang-barang
oleh pengangkut kepada penerima di pelabuhan tujuan (pembongkaran)

- 11 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

atau di suatu tempat yang berdekatan dengan pelabuhan tujuan, yaitu


tempat di mana kapal bisa dengan mudah, aman, dan tepat dalam
keadaan terapung melakukan pembongkaran. Jika penerima barang
menerima barang-barangnya di samping kapal, maka dia akan
menerimanya di dermaga atau dengan menggunakan perahu-perahu.
Dengan diserahkannya barang-barang oleh pengangkut kepada
penerima (consignee), maka menurut ketentuan Pasal 468 KUHD,
berakhir pula tanggung jawab pengangkut terhadap barang-barang
tersebut. Namun sebenarnya pengangkut masih belum lepas sama sekali
dari tanggung jawabnya. Atas permintaan penerima barang, maka
pengangkut dapat mengadakan pemeriksaan, pengukuran atau
penimbangan barang yang diserahkan oleh pengangkut kepada
penerima barang, atau mengawasi perhitungan, pengukuran atau
penimbangan barang-barang yang diserahkan itu.
Dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD, ditetapkan bahwa perhitungan,
pengukuran atau penimbangan mengikat pengangkut dan penerima
barang, kecuali kalau dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Hal tersebut
dapat terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak penerima barang
maupun pengangkut merasa tidak puas dengan hasil survei, maka yang
berkeberatan harus dapat membuktikan ketidakbenarannya. Biaya yang
timbul untuk pelaksanaan survei itu dipikul bersama, artinya oleh
pengangkut dan penerima barang. Akan tetapi, jika pemeriksaan barang
itu diminta oleh penerima barang saja, maka biayanya menjadi beban
penerima barang.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 482 KUHD, nakhoda dapat
menolak diadakannya survei dengan alasan akan menghambat
keberangkatan kapalnya. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, yaitu terkait
dengan kecepatan dalam melakukan pemuatan, pelayaran, dan
pembongkaran.

3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut


Apabila diperhatikan pasal-pasal di dalam KUHD, maka dapat
dibedakan 3 (tiga) macam pertanggungjawaban pengangkut:

- 12 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

1. Pengangkut wajib untuk menjaga keselamatan barang yang


harus diangkutnya, dan menjadi tanggung jawabnya apabila
barang itu seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan
atau menjadi rusak (Pasal 468 ayat (1) dan (2) KUHD). Dalam
hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi.
Kemungkinan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau
sebagian tidak dapat diserahkan.
b. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau
sebagian menjadi rusak.
c. Dia bertanggung jawab apabila dia terlambat
menyerahkan barang yang diangkutnya.
Jika ketiga hal tersebut di atas terjadi berarti si pengangkut
diwajibkan membayar ganti kerugian.
2. Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang
diangkutnya (Pasal 477 KUHD).
3. Pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari orang-
orang yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang
dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan.
Periode yang ditetapkan dalam undang-undang kepada
pengangkut untuk bertanggung jawab adalah cukup panjang, yaitu
mulai saat penerimaan sampai pada saat penyerahan barang. Berarti,
tanggung jawabnya tidak hanya selama barang di dalam kapal saja,
tetapi juga sebelum dimuat serta sesudah dibongkar ke dan dari kapal,
asal barang itu masih berada dalam kekuasaannya, baik di lapangan
terbuka maupun di dalam gudang, tetapi menjadi tanggung jawabnya.
Segala peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu
tersebut yang menyebabkan dia tidak dapat menyerahkan seluruh atau
sebagian barang, seluruh atau sebagian barang menjadi rusak karenanya,
serta yang mengakibatkan dia terlambat menyerahkan barang yang
diangkutnya, ialah merupakan tanggung jawabnya. Tentu saja hal ini
merupakan suatu hal yang berat bagi si pengangkut. Namun demikian,
dalam Pasal 468 ayat (2) KUHD juga dinyatakan bahwa pengangkut
dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan ganti kerugian apabila dia

- 13 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

dapat membuktikan bahwa kewajibannya tidak dapat dilakukan sebagai


akibat dari:
1. Suatu peristiwa yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun
dihindarkannya, atau;
2. Cacat dari barang itu sendiri, atau;
3. Oleh karena kesalahan dari pengirim.
Sebagai contoh, misalnya terjadi suatu peristiwa yang
menyebabkan kapal tenggelam, sehingga si pengangkut menderita
kerugian yang besar, maka dia harus tetap mengumpulkan bukti-bukti.
Bukti-bukti ini ialah agar dia dapat membuktikan bahwa dia tidak
bersalah, sehingga bisa dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
kerugian kepada pengirim barang. Dia (pengangkut) harus dapat
membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau rusaknya barang
tadi ialah karena suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah
ataupun dihindarkannya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penafsiran terhadap
kalimat “malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah” dapat
bermacam-macam, sehingga dapat mengundang pengertian yang kabur
(menimbulkan keragu-raguan). Tidak ada satu pasalpun di dalam
KUHD yang memberikan kejelasan tentang kalimat tersebut. Namun,
jika kerugian yang timbul itu terjadi sebagai akibat perbuatan dari orang
yang dipekerjakannya (pihak yang disuruh olehnya untuk melakukan
pekerjaan pengangkutan) dan diakibatkan penggunaan peralatan yang
tidak semestinya dalam menyelenggarakan pengangkutan tadi, maka
pengangkut tidaklah bebas dari pertanggungjawaban.
Mengingat beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh
pengangkut, maka diadakan pula ketentuan-ketentuan yang
memperkenankan pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya.
Hal ini dapat dimengerti, sebab jika pengangkut sama sekali tidak
diperkenankan membatasi tanggung jawabnya, maka ada kemungkinan
akan sangat kecil atau bahkan tidak ada pihak yang mau menyediakan
diri sebagai pengangkut. Akibat ketiadaan pihak pengangkut dalam
pengangkutan laut justru akan menimbulkan dampak yang sangat luas
bagi kehidupan negara pada umumnya, atau pada negara-negara
maritim khususnya.

- 14 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

KUHD mengadakan pembatasan pertanggungjawaban


pengangkut dalam beberapa pasalnya. Pasal 469 KUHD menetapkan
bahwa untuk dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lain-
lain barang berharga, uang dan surat-surat berharga, begitupun untuk
kerusakan pada barang-barang berharga yang mudah mendapat
kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab, melainkan
apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan
kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya.
Kemudian, Pasal 470 ayat (1) KUHD menjelaskan bahwa tidak
diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa
dia tidak bertanggung jawab atau tidak selamanya sampai suatu harga
yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang
diusahakannya akan pemeliharaan, perlengkapan alat pengangkutannya,
ataupun kurang diusahakannya kesanggupan alat pengangkut itu untuk
dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan, ataupun
yang disebabkan karena salah memperlakukannya atau kurang
penjagaannya terhadap barang yang diangkut. Janji-janji yang
bermaksud demikian ialah batal.
Salah memperlakukan barang dalam Pasal 470 ayat (1) tersebut
maksudnya ialah sebagai perlakuan yang salah atau keliru terhadap
barang itu sendiri, misalnya meletakkan atau menumpukkan berjenis-
jenis barang dalam satu tempat, yang menurut sifatnya sebenarnya tidak
boleh disatukan. Contohnya, seperti barang-barang besi yang disatukan
serta ditumpukkan pada barang-barang pecah belah. Demikian juga
dengan pemeliharaan yang kurang baik terhadap mesin pendingin,
sehingga menyebabkan buah-buahan yang diangkut menjadi busuk, hal
ini termasuk pula dalam perlakukan yang salah terhadap barang.
Dari pasal tersebut ditegaskan bahwa segala apa yang terjadi, si
pengangkut tidak dapat melepaskan kewajibannya yang utama, yaitu:
1. Untuk mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau
peranakbuahan alat pengangkutannya.
2. Untuk mengusahakan kesanggupan atau pengangkutan itu
untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut
persetujuan.

- 15 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Untuk memperlakukan dan menjaga barang yang diangkut


dengan baik.
Perjanjian yang bertujuan untuk melepaskan diri dari kewajiban-
kewajiban tersebut di atas tidaklah diperkenankan. Bahkan ditegaskan
lagi oleh Pasal 517b, bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan
dengan ketentuan Pasal 470 KUHD tidak boleh diberikan untuk
melakukan pengangkutan dari pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Selanjutnya, disebutkan pula bahwa pengangkut diperkenankan
untuk menjanjikan bahwa dia untuk suatu potong barang masing-masing
yang diangkut hanya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian
tidak boleh ditetapkan kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) kecuali
apabila sebelum barang diserahkan kepadanya dia diberitahu tentang
sifat dan harga dari barang tersebut.
Tentang jumlah tertentu yang disebutkan tidak boleh kurang dari
Rp. 600,- (enam ratus rupiah) sebenarnya tidaklah tepat, karena kata
“rupiah” itu diterjemahkan dari kata “gulden”, sedangkan nilai gulden
tidaklah sama dengan nilai rupiah. Terlihat bahwa ketentuan tersebut
sudah ditinggalkan di dalam praktik, karena tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman. Demikian pula ketentuan tersebut sudah tentu
tidak berlaku bagi muatan curah, misalnya minyak atau terigu, yang
dimuatkan di kapal tidak dalam unit-unit yang kecil, seperti kaleng
minyak, melainkan seluruh muatan tadi dicurahkan dalam ruangan
muatan kapal.
Kepada pengangkut diperkenankan pula untuk memperjanjikan,
bahwa dia tidak akan memberikan sesuatu ganti kerugian, apabila sifat
dan harga barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Ketentuan
ini ada hubungannya dengan asas pendaftaran yang mengatakan bahwa
apabila pengangkut telah diberitahu tentang sifat dan harga barang
muatan, maka pengangkut menerima tanggung jawab yang lebih besar
terhadap barang muatan tersebut dan akibatnya dia berhak menuntut
uang angkutan lebih tinggi. Dari pihak pengirim sendiri jika dia
memberitahukan secara khusus sifat dan harga barang muatan berarti
dia menginginkan pemeliharaan dan perhatian istimewa pula dari
pengangkut, sehingga dia pun akan merasa berkewajiban untuk
membayar uang angkutan yang lebih tinggi.

- 16 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Selanjutnya, Pasal 470a KUHD menentukan pula bahwa sejauh


manapun pertanggungjawaban pengangkut dibatasi dalam suatu
perjanjian pengangkut, pengangkut harus selalu membuktikan dia sudah
secara cukup agar alat-alat pengangkutannya dipelihara dan dilengkapi
secara baik serta agar alat-alat itu dapat digunakan sesuai dengan
perjanjian pengangkutan, apabila ternyata kerugian yang timbul itu
diakibatkan oleh sesuatu catatan dari alat pengangkut itu.
Ketentuan tersebut merupakan peraturan mutlak (dwingend
recht), artinya tidak dapat dikesampingkan walaupun dibuat dalam
perjanjian pengangkutan. Begitupun dalam Pasal 471, dikatakan bahwa
pengangkut selalu bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan, bahwa
dari pihak pengangkut atau dari orang-orang suruhannya ada kesalahan
atau kelalaian dalam melakukan tugas.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah “kesalahan dan
kelalaian” (schuld and nalatigheid) ini diartikan dalam tantangan
dengan kesengajaan dan kesalahan yang agak besar, opzet atau culpa
(grove schuld). Dengan demikian, harus disimpulkan, bahwa tidak
diperbolehkan pengangkut menjanjikan bebas dari pertanggungjawaban,
apabila dari pihaknya ada kesengajaan atas kelalaian yang agak besar
(culpa). 4

4. Batas Ganti Kerugian


Seperti yang telah dijelaskan di atas, KUHD dalam beberapa
pasalnya telah memberikan kesempatan kepada pengangkut untuk
membatasi tanggung jawabnya dengan membuat ketentuan-ketentuan
khusus dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan. Di samping
pembatasan-pembatasan itu, undang-undang juga telah memberikan
kemungkinan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya
dalam jumlah uang. Dalam Pasal 472 KUHD diatur tentang besarnya
ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pengangkut dalam hal
barang yang diangkutnya tidak sampai, baik seluruhnya ataupun untuk
sebagian.
Apabila pengangkut tidak dapat menyerahkan barang seluruhnya
atau sebagian, maka ganti kerugian itu harus dihitung menurut harga
4
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 134.

- 17 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

barang serta jenis dan keadaan yang sama di tempat penyerahan, pada
saat barang tersebut seharusnya diserahkan. Jumlah itu kemudian
dipotong dengan apa yang telah ditentukan dalam soal bea, biaya, dan
upah pengangkutan.
Sedangkan apabila terjadi kerusakan atas barang, ditetapkan oleh
Pasal 473 KUHD, bahwa jumlah yang harus diganti yaitu berdasarkan
harga barang sejenis, seharga dan seperti keadaan pada saat barang itu
seharusnya diserahkan, dikurangi dengan harga barang yang rusak itu,
serta selanjutnya dikurangi lagi dengan biaya lain, yaitu bea, uang
angkutan dan lain-lain, yang seharusnya dikeluarkan oleh penerima,
seandainya barang-barang itu telah diterima dengan utuh.

Contoh:

Harga barang seluruhnya jika sampai tidak rusak : Rp. 50.000.000,-


Harga barang yang sampai .: Rp. 40.000.000,-
Hilang/rusak : Rp. 10.000.000,-

Upah angkut, bea dan cukai untuk seluruh barang: Rp. 1.000.000,-

Upah angkut, bea dan cukai untuk


barang yang sampai/tidak rusak . : Rp. 700.000,-

Upah angkut, bea dan cukai untuk


barang yang tidak sampai/rusak . : Rp. 300.000,-

Jadi, yang harus diganti ialah:


Rp. 10.000.000,- - Rp. 300.000,- = Rp. 9.700.000,- 5

Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu peraturan yang


bersifat khusus dari peraturan-peraturan umum tentang hukum
perjanjian mengenai wanprestasi yang diatur dalam KUHPerdata,
seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, bahwa biaya

5
Sapto Sardjono, Hukum Dagang Laut bagi Indonesia (Jakarta: CV.
Simplex, 1985), hal. 86.

- 18 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan


penggantiannya, terdiri pada umumnya atas yang telah dideritakannya
dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.
Namun, sesuai dengan sifat yang tidak memaksa dari peraturan
mengenai hukum perjanjian pada umumnya, maka lazim besarnya ganti
kerugian terhadap tidak diserahkannya/kehilangan barang-barang yang
diangkut ditentukan berdasarkan hasil perundingan/negosiasi antara
pengangkut dengan penerima/pemilik barang. Artinya, untuk penentuan
jumlah penggantian kerugian, para pihak dapat membuat ketentuan-
ketentuan yang mereka sepakati bersama.
Sebelum menetapkan besarnya kerugian tersebut, maka atas
permintaan pengangkut atau penerima dapat menunjuk beberapa orang
ahli untuk menetapkan keadaan barang pada waktu sampai di
pelabuhan. Hasil pemeriksaannya, bagi hakim pada acara pemeriksaan
di muka persidangan, hanya dapat dibantah dengan membuktikan
kekeliruannya. Jika tidak diadakan pemeriksaan yang demikian, maka
barang-barang yang diserahkan kepada penerima dianggap sudah sesuai
dengan keadaan pada waktu mulai diangkut.
Apabila ada kekurangan atau cacat yang kelihatan dari luar pada
barangnya, penerima sebelum atau pada saat itu memberitahukan
kepada pengangkut atau wakilnya dan apabila kekurangan atau cacat
barang itu tidak kelihatan dari luar, diberitahukan dalam jangka waktu 3
(tiga) hari sesudah dia menerima barangnya. Dalam hal ini, penerima
ada kemungkinan mendapatkan ganti kerugian dari pengangkut.
Menurut Pasal 487 KUHD, gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian
tersebut hanya dapat diajukan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
barangnya diserahkan atau seharusnya diserahkan kepada si penerima.
Dalam Pasal 474 KUHD ditetapkan bahwa tanggung jawab
pengangkut yang sekaligus sebagai pemilik kapal terhadap kerugian
yang ditimbulkan pada barang-barang yang diangkutnya dengan kapal
yang bersangkutan terbatas sejumlah Rp. 50,- (lima puluh rupiah) per
meter kubik, isi bersih kapal tersebut ditambah dengan isi ruangan
mesin. Jadi, dalam hal ini dibedakan antara:
1. Pengangkut sebagai pemilik kapal.
2. Pengangkut bukan sebagai pemilik kapal.

- 19 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Pasal 474 KUHD hanya berlaku jika pengusaha kapal ialah


selaku pengangkut, dan oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas
semua barang yang diangkutnya dengan kapal tersebut.
Pengangkut tidak selalu merupakan pemilik kapal. Sebagai
pengangkut dia hanya mengangkut sebagian muatan kapal atau
beberapa potong darinya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pada
kemampuan kapal untuk memuat, tetapi dihubungkan dengan hak
tuntutannya kepada pemilik kapal. Dengan adanya ketentuan
pembatasan jumlah ganti kerugian yang demikian, maka pengangkut
yang pemilik kapal itu sejak semula sudah dapat memperhitungkan
risiko yang menjadi bebannya. Pemilik kapal tersebut dapat
mengasuransikan jumlah risiko tadi pada perusahaan asuransi yang
cukup bonafide.
Suatu dokumen yang sangat penting dalam pengangkutan
barang-barang melalui laut ialah apa yang dikenal dengan konosemen.
Mengenai hal itu, lazim juga dipergunakan nama lain seperti bill of
lading atau surat muatan. KUHD mengatur konosemen ini mulai dari
Pasal 504 sampai dengan Pasal 517d. Melihat cukup banyaknya pasal
yang memuat pengaturan tentang konosemen, kiranya dapat
menunjukkan pentingnya masalah konosemen ini.
Fungsi konosemen mempunyai kaitan dengan masalah tanggung
jawab pengangkut. Pertama-tama perlu diperhatikan ketentuan Pasal
504 KUHD yang menyatakan bahwa pengirim barang dapat meminta
suatu konosemen dengan menukarkannya dengan recu. Hal ini
menunjukkan bahwa penerbitan konosemen oleh pengangkut tidaklah
merupakan suatu keharusan.
Namun di dalam praktik pengangkutan laut, tidak dapat
disangkal lagi, konosemen senantiasa dipergunakan. Adapun yang
dimaksud dengan konosemen adalah suatu surat yang bertanggal dalam
mana si pengangkut menerangkan bahwa dia telah menerima barang
tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tertentu dan
menyerahkannya di situ kepada seorang tertentu, begitu pula
menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang itu akan
diserahkannya. Orang ini boleh disebutkan namanya, boleh disebutkan
sebagai si yang ditunjuk oleh si pengirim maupun seorang ke tiga, dan

- 20 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

boleh pula disebutkan sebagai pembawa, baik dengan, baik tanpa


penyebutan seorang tertentu di sampingnya.
Perkataan “atas tunjuk” saja harus dianggap sebagai bermaksud
atas penunjukan si pengirim. Apabila konosemen diberikannya setelah
barang-barang dimasukkan ke dalam kapal, maka haruslah di situ atas
permintaan pengirim disebutkan nama kapal tersebut. Apabila
konosemen diberikan sebelum barang-barang dimuat dalam kapal, tanpa
penyebutan nama kapal dalam mana barang-barang tadi akan
dimuatkannya, maka bolehlah pengirim meminta supaya dalam
konosemen tadi masih juga oleh pengangkut dituliskan nama kapal itu
dan hari dimuatnya barang-barang, segera setelah itu dilakukan.
Jadi, konosemen tersebut juga dapat memuat penetapan kepada
siapa barang-barang yang disebut dalam konosemen itu harus
diserahkan oleh pengangkut. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
1. Atas nama, dalam hal ini nama si penerima (op naam) disebut
dengan jelas dalam konosemen.
2. Kepada pembawa (aan loonder), dalam hal ini nama si
penerima tidak disebut dalam konosemen, atau meskipun
disebut satu nama di belakangnya ditambah dengan kata-kata
“atau pembawa”.
3. Kepada pengganti (aan order), artinya merupakan order dari
pengirim barang (orang yang akan ditunjuk oleh pengirim).
Berdasarkan Pasal 510 KUHD, setiap pemegang konosemen
berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di
tempat tujuan kecuali jika konosemen itu diperoleh berlawanan dengan
hukum. Surat-surat yang oleh si pemegang konosemen telah
diberikannya kepada orang-orang ke tiga untuk dipakai menerima
sebagian dari barang-barang yang tersebut dalam konosemen, tidak
memberikan suatu hak tersendiri kepada para pemegangnya untuk
menuntut penyerahan barang-barangnya dari si pengangkut.
Konosemen tersebut dikeluarkan dalam 2 (dua) lembaran yang
dapat diperdagangkan. Lembaran-lembaran itu berlaku kesemuanya
untuk 1 (satu) dan 1 (satu) untuk kesemuanya. Artinya, apabila yang 1
(satu) sudah digunakan untuk mengambil barang, maka yang lain tidak

- 21 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

berlaku lagi. Hal ini mempunyai hubungan dengan periode tanggung


jawab pengangkut, yang berakhir jika barang tersebut telah diserahkan
kepada si penerima.
Pengangkut tidak bertanggung jawab lagi atas apa yang terjadi
terhadap barang-barang yang pernah diangkutnya sejak konosemen itu
telah kembali kepadanya. Dikatakan dalam Pasal 509 KUHD, bahwa
penyerahan barang hanya dilakukan dengan mengembalikan semua
lembaran dari konosemen yang dapat dipergunakan atau apabila tidak
dapat dikembalikan seluruhnya, harus dibuat surat jaminan untuk
menanggung kerugian jika timbul akibat karena tidak diserahkannya
konosemen tersebut.
Ditegaskan lagi dalam Pasal 515 KUHD, bahwa setiap
pemegang konosemen yang telah melaporkan diri untuk menerima
barang-barang yang tersebut di dalamnya, apabila barang-barang ini
telah diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, wajiblah dia
memberikan konosemen tadi setelah dibubuhi tanda penerimaan.
Selanjutnya, dalam konosemen itu dapat pula dicantumkan hal-
hal yang membatasi tanggung jawab pengangkut. Misalnya, apabila
dalam konosemen dicantumkan perkataan mengenai isi, keadaan,
jumlah atau ukuran tertentu, maka segala penyebutan tentang isi,
keadaan, jumlah atau ukuran barang-barang yang dituliskan dalam
konosemen itu tidak akan mengikat pengangkut. Kecuali, apabila
pengangkut mengetahuinya atau dia mengadakan perhitungan,
penimbangan di depan pengangkut. Demikian pula apabila konosemen
tidak menyebutkan keadaan barangnya, maka selama tidak dibuktikan
sebaliknya, dianggap pengangkut telah menerima barang tersebut dalam
keadaan baik sekedar itu nampak dari luar. Dalam praktik hal ini disebut
dengan klausula the apparent order and condition of goods.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah
diuraikan tersebut di atas, maka terlihat bahwa konosemen itu
mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal
maupun penerimaan untuk dikapalkan.
2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan.

- 22 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Sebagai suatu surat berharga (document of title), yaitu dapat


diperdagangkan dengan cara mengalihkan hak pengambilan
barang orang lain, dengan menandatangani di bagian belakang
dari konosemen (di-endosir).
Ketentuan yang juga penting untuk diperhatikan mengenai
konosemen ini ialah bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan
dengan ketentuan Pasal 470 tidak boleh diberikan untuk melakukan
pengangkutan dari pelabuhan Indonesia (Pasal 517b). Maksudnya ialah,
bahwa si pengangkut tidak boleh memuat dalam konosemen ketentuan-
ketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa dia sama sekali tidak
bertanggung jawab (bebas sepenuhnya dari tanggung jawab sebagai
pengangkut).

B. Menurut The Hague Rules


Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan mengenai
pengangkutan laut yang diadakan oleh masing-masing negara secara
nasional tidak mampu menampung masalah-masalah internasional yang
timbul terkait praktik pengangkutan laut. Dalam perjanjian
pengangkutan laut, yang selalu menjadi permasalahan sejak dulu ialah
tentang tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
pengangkutan itu.
Di satu pihak, pengangkut berupaya untuk memikul tanggung
jawab sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim berkeinginan
agar pengangkut mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
barang-barang yang diangkutnya. Oleh karena itu, dibentuklah
peraturan di tingkat internasional (konvensi internasional), antara lain,
yaitu: International Convention for the Unification of Certain Rules
Relating to Bills of Lading, yang kemudian terkenal dengan nama The
Hague Rules.
The Hague Rules merupakan konvensi yang berisikan peraturan-
peraturan yang diciptakan untuk menyeragamkan ketentuan dalam
pengangkutan di laut. The Hague Rules dibuat atas usaha International
Law Association pada tahun 1921 di Den Haag, yang kemudian
disempurnakan lagi di Brussel pada tahun 1924. Jadi, The Hague Rules
itu sebenarnya merupakan hasil dari pertemuan para ahli hukum

- 23 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

internasional. Terhadap adanya The Hague Rules, dianjurkan agar


negara-negara yang ikut serta menyelenggarakan perdagangan
internasional juga menggunakan (mengadopsi) ketentuan ini.
The Hague Rules terdiri dari 16 (enam belas) artikel, yaitu:
Artikel I sampai dengan Artikel VIII mengatur tentang
pengangkutan laut yang dilindungi oleh konosemen (bill of lading), dan
tentang tanggung jawab pengangkut serta pembatasannya.
Artikel IX mengatur tentang mata uang seperti yang tersebut
dalam artikel IV (5), harus didasarkan pada nilai emas.
Artikel X sampai dengan Artikel XVI mengatur agar The Hague
Rules diterima sebagai undang-undang negara dan cara pengesahannya,
cara pengumumannya serta cara mengadakan amandemen terhadap
artikel-artikelnya.
Bagi Indonesia, Pasal 517c KUHD dapat dianggap telah
memberi kebebasan kepada The Hague Rules untuk diberlakukan di
Indonesia bagi barang-barang yang dimasukkan ke wilayah Indonesia.
Karena Indonesia tidak meratifikasi The Hague Rules, maka pasal-pasal
dalam KUHD yang mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban
pengangkut dalam pengangkutan laut, sampai saat ini masih dianggap
berlaku. Walaupun demikian, oleh perusahaan pelayaran Indonesia yang
melakukan pelayaran ke dan dari luar negeri digunakan ketentuan-
ketentuan dari The Hague Rules tersebut dengan maksud untuk
mempermudah dan memperlancar hubungan perdagangan dengan
negara-negara lain.
Berkenaan dengan perjanjian pengangkutan laut, The Hague
Rules memberikan pengertian tentang “pengangkut”, “perjanjian
pengangkutan barang”, dan “kapal pengangkut barang”.
Pengangkut adalah pemilik kapal atau pencarter kapal yang
mengadakan perjanjian dengan pengirim barang. Dalam pengertian ini,
maka pengangkut tidak harus merupakan seorang pemilik kapal, cukup
apabila dia ialah seorang pencarter kapal.
Yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan hanya
mengenai kontrak pengangkutan yang dilindungi oleh konosemen (bill
of lading) atau dokumen sejenis sepanjang dokumen tersebut mengenai
pengangkutan barang-barang melalui laut, termasuk setiap konosemen

- 24 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

atau setiap dokumen sejenis itu yang diterbitkan berdasarkan charter


party, sejak waktu mana konosemen atau dokumen sejenis itu mengatur
hubungan antara pengangkut dan pemegang konosemen.
Pengertian barang termasuk pula barang-barang buatan pabrik,
barang dagangan dan alat-alat setiap jenis apa saja, kecuali binatang
hidup dan barang muatan, yang menurut kontrak pengangkutan
dinyatakan sebagai barang yang diangkut di atas geladak dan memang
diangkut demikian.
Kemudian, kapal berarti adalah setiap kapal yang digunakan
untuk mengangkut barang-barang melalui laut. Sedangkan yang
dimaksud dengan pengangkut barang-barang meliputi suatu jangka
waktu sejak barang-barang mulai dimuat sampai pada waktu dibongkar
dari kapal.

1. Memahami Konosemen menurut The Hague Rules


Dalam The Hague Rules tidak ditemukan suatu pengertian
(definisi) tentang apa yang dimaksud dengan konosemen (bill of
lading). Tetapi secara sepintas istilah bill of lading itu telah disebutkan
dalam ketentuan-ketentuan berikut:
1. Artikel I (b): “Contract of carriage applies only to contract of
carriage covered by a bill of lading or any similar document of
title, in so far as such document relates to the carriage of
goods by sea, including any bill of lading or any similar
document as aforesaid issued under a pursuant to a charter-
party from the moment at which such bill of lading or similar
document of title regulates the relations between a carrier and
a holder of the same”.
2. Artikel III (3): “After receiving the goods into his charge the
carrier or the master or agent of the carrier shall on demand
of the shipper issue to the shipper a bill of lading showing
among other things:
(a) The leading marks necessary for identification of the
goods as the same are furnished in writing by the shipper
before loading of such goods starts, provided such marks
are stamped or otherwise shown clearly upon the goods

- 25 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

if uncovered, or on the case or coverings in which such a


manner as should ordinarily remain legible until the end
of the voyage.
(b) Either the number of packages or pieces or the quantity
or weight, as the case may be, as furnished in writing by
the shipper.
(c) The apparent order and condition of the goods. Provided
that to carrier, master or agent of the carrier shall be
bound to state or show in the bill of lading any marks,
number, quantity or weight which he has reasonable
ground for suspecting not accurately to represent the
goods actually received, or which he has no reasonable
means of checking.
3. Artikel III (4): “Such a bill of lading shall be prima facie
evidence of the receipt by the carrier of the goods as here in
described in accordance with paragraphs (3a), (3b), and (3c).
However, proof to the contrary shall not be admissible when
the bill of lading has been transferred to a third party acting in
good faith”.
Mengingat pentingnya fungsi bill of lading, maka di berbagai
negara telah diadakan peraturan perundang-undangan tersendiri
mengenai bill of lading. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat
Federal Bill of Lading Act 1916, yang kemudian dituangkan lagi dalam
Carriage of Goods by Sea Act 1936.
Kemudian, apakah fungsi dari konosemen (bill of lading)
tersebut? Walaupun The Hague Rules tidak memberikan batasan yang
tegas tentang apa yang dimaksud dengan konosemen, namun dari bunyi
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya, dapat disimpulkan
tentang fungsi dari konosemen. Konosemen sebagai suatu dokumen
perkapalan mempunyai 3 (tiga) macam fungsi, yaitu:
1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal
maupun penerimaan untuk dikapalkan, sebagaimana yang
tercantum dalam Artikel III (3) dan Artikel III (7).
2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan, sebagaimana
dinyatakan dalam Artikel I (b).

- 26 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Sebagai suatu surat berharga yang mungkin untuk dialihkan


kepada pihak ke tiga yang beritikad baik, seperti yang
dinyatakan dalam Artikel III (4).
Selain ketiga fungsi tersebut di atas, dalam kaitannya dengan
tanggung jawab pengangkut, dikeluarkannya konosemen juga akan ikut
mempengaruhi sampai seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung
jawab pengangkut. Dengan demikian, berdasarkan The Hague Rules,
konosemen juga dapat memberikan peluang bagi pengangkut untuk
membatasi tanggung jawabnya dalam proses pengangkutan barang
melalui klausula-klausula yang dimuat dalam konosemen.
Berdasarkan Artikel III (7), konosemen dapat dibagi atas:
1. Konosemen to be shipped yang berarti pengangkut telah
menerima barang-barang dari pengirim untuk diangkut dengan
kapal tertentu dan pada waktu tertentu. Namun dalam hal ini,
barang-barang tersebut belum dimuat di kapal. Jika barang-
barang telah dimuat di atas kapal, maka konosemen to be
shipped diubah menjadi konosemen shipped.
2. Konosemen shipped, yaitu mengandung pengakuan
pengangkut bahwa barang-barang seperti yang dicantumkan
dalam konosemen itu benar-benar telah dimuat di atas kapal
yang disebutkan namanya dan yang akan berangkat pada
tanggal tertentu.

2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut


The Hague Rules menempatkan tentang periode tanggung jawab
pengangkut di dalam Artikel I (e) yang berbunyi sebagai berikut:
“Carriage of goods covers the period from the time when the goods are
loaded on to the time when they are discharged from the ship”.
Jadi, pertanggungjawaban pengangkut tersebut ialah sejak saat
barang dimuat sampai barang itu dibongkar. Pertanggungjawaban pada
muatan tidak akan dibebankan kepada pengangkut sebelum pemuatan
dan sesudahnya pembongkaran muatan.
The Hague Rules memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
para pihak untuk membuat perjanjian mengenai hal-hal yang

- 27 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

mengangkut barang pada saat sebelum pemuatan dan sesudah


pembongkaran. Alasan-alasan untuk hal itu ialah:
1. Risiko-risiko di tengah laut lebih besar daripada di darat, dan
oleh karena itu prinsip-prinsip tanggung jawab harus berbeda.
2. Karena prosedur penanganan barang terkadang berbeda di
berbagai negara, sehingga sebaiknya dalam menentukan
periode sebelum pemuatan dan sesudah pembongkaran
diserahkan kepada ketentuan hukum dari masing-masing
negara yang berkontrak.
3. Kapal pengangkut menolak setiap usaha untuk menambah
tanggung jawab mereka atas kejadian-kejadian yang tidak
dapat mereka kuasai, misalnya hal-hal yang terjadi sesudah
pembongkaran dan sebelum pengiriman kepada alamat si
penerima.
Pada pokoknya, periode tanggung jawab pengangkut dimulai
sejak barang dimuat di kapal, selama barang dalam pelayaran, dan
berakhir sampai barang itu selesai dibongkar dari kapal. Sehubungan
dengan periode yang telah ditentukan tersebut, timbul masalah yang
berasal dari definisi tentang kapal yang diberikan The Hague Rules.
Konvensi ini menyatakan bahwa “Ship means any vessel used
for the carriage of goods by sea”. Apabila 1 (satu) tongkang membawa
barang-barang untuk dimuat di atas kapal, maka bagaimana tanggung
jawab atas muatan yang diangkut oleh tongkang tersebut?
Pengapalan tersebut merupakan bagian pemuatan yang telah
tercakup dalam periode tanggung jawab menurut The Hague Rules.
Sedangkan tongkang tidak termasuk dalam pengertian kapal, karena
tongkang tidak membawa barang di laut. Hal itu menimbulkan rasa
kurang puas terhadap periode tanggung jawab yang ditentukan oleh The
Hague Rules.
Pengertian kapal, menurut The Hague Rules, berarti setiap kapal
yang digunakan untuk mengangkut barang-barang melalui laut.
Kesulitan (kerancuan arti) yang demikian tidak akan ditemui dalam
pengaturan The Hamburg Rules, karena begitu carrier mengambil alih
barang-barang dia akan bertanggung jawab atas operasi/pelaksanaan
pemuatan dengan tongkang, sampan dan lain-lain.

- 28 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Dalam praktik, batas tanggung jawab pengangkut menurut The


Hague Rules lazim disebut dengan from end of the tackle to end of the
tackle atau sering disingkat from tackle to tackle. Artinya, batas
tanggung jawab pengangkut meliputi sejak saat barang dikaitkan pada
sling kemudian lepas dari dermaga pelabuhan pemuatan, selama
pengangkutan, dan terakhir sampai pada saat barang menyentuh
permukaan dermaga pelabuhan pembongkaran serta lepas dari sling. Di
luar batas tanggung jawab pengangkut itu barang-barang menjadi
tanggung jawab pengirim atau penerima barang.
Selama periode from end of the tackle to end of the tackle barang
dilindungi oleh surat muatan menurut The Hague Rules dengan syarat
bahwa dalam surat muatan dicantumkan berlakunya The Hague Rules
untuk perjanjian pengangkutan yang bersangkutan. Sehingga apabila
timbul masalah kehilangan atau kerusakan barang, akan diselesaikan
menurut The Hague Rules.

3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut


Dalam Artikel III (1) The Hague Rules ditentukan bahwa
sebelum atau pada waktu dimulainya pelayaran, pengangkut
berkewajiban melaksanakan dengan sewajarnya atau to exercise due
diligence untuk:
1. Menjadi kapal layak laut (sea worthy). Layak laut artinya
kondisi kapal harus memenuhi syarat-syarat untuk
menyelenggarakan pengangkutan di laut secara baik dan aman.
2. Mencukupkan anak buah, perlengkapan dan perbekalan kapal.
Dalam hal ini kapal diawaki dengan anak buah kapal,
dilengkapi dan diberi persediaan sebagaimana mestinya untuk
melakukan pelayaran.
3. Menyiapkan dan membereskan semua ruangan kapal tempat
pemadatan barang-barang agar barang-barang dapat disimpan
di dalamnya dan diangkut dalam keadaan aman (cargo
worthy).
Kewajiban-kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab
perwakilan-perwakilan agen dan semua pegawai pengangkut yang pada
hakekatnya disuruh pengangkut sehubungan dengan pelaksanaan

- 29 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

pengangkutan termasuk nakhoda. Apabila pengangkut menyerahkan


barang yang diangkut kepada pengangkut lain, maka pemenuhan
kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut lain itu juga.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa kewajiban pertama (yang
utama) pihak pengangkut ialah melakukan penyelenggaraan atas
kapalnya sehubungan dengan proses pengangkutan barang dengan
sebaik-baiknya (to make the ship sea worthy, properly man, equip and
supply the ship).
Sedangkan kewajiban ke dua pengangkut ialah penyelenggaraan
ruang-ruang muatan, di mana muatan akan ditempatkan dan untuk
selanjutnya akan dibawa ke pelabuhan tujuannya. Walaupun kapal itu
sendiri secara teknis telah cukup memenuhi persyaratan untuk berlayar,
namun jika ruang muatannya ternyata tidak siap sewajarnya, maka kapal
itu dapat dinyatakan tidak layak melaut. Berarti segala akibatnya pun
harus ditanggung oleh pengangkut.
Apabila terjadi suatu bencana atas kapal yang menyebabkan
timbulnya kerugian atau kerusakan pada muatan, maka hal pertama
yang akan dinilai ialah apakah pengangkut sudah berusaha dengan layak
untuk memenuhi kewajibannya tersebut? Jika dia lalai atau tidak
berusaha dengan layak untuk memenuhi kewajibannya, maka dia harus
bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan yang terjadi
akibat kelalaiannya itu. Sebaliknya, kalau terbukti bahwa si pengangkut
sudah berusaha dengan wajar, dia dapat membebaskan diri dari tuntutan
ganti kerugian yang diajukan kepadanya.
Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut atas kapal ini,
perlu diperhatikan bunyi Artikel III (1) yang memuat kata-kata “before
and at the beginning of the voyage”, yang justru dapat menimbulkan
keragu-raguan. Jangka waktu manakah yang dimaksud dengan
perkataan “sebelum dan pada permulaan pelayaran” itu?
Untuk masalah tersebut di atas, selanjutnya perlu pula
memperhatikan kutipan dalam perkara Maxine Footwear Co. Ltd. v.
Canadian Government Merchant Marine Ltd. (1959), yaitu “When the
cargo had been loaded on a vessel, she was destroyed by fire before she
sailed on her voyage. The fire had been caused by negligence when
some scupper pipes had been thawed out by an employee of an

- 30 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

independent contractor on the authority of the master of the ship. The


bill of lading incorporated The Hague Rules. The shippers claimed to
recover damages for non delivery of the goods. But the ship owners
contended that they had exercised due diligence to make the ship
seaworthy “before and at the beginning of the voyage” within the
meaning of art. III. r.1, since the ship was sea worthy at the time of
loading, and the moment of the beginning of the voyage was never
reached. Held, by the Judicial committee of the Privy Council, that the
obligation to exercise due diligence was a condition one which the ship
owners had not fulfilled since the negligence had occurred during the
relevant period”. 6
Dari kutipan pengadilan pada perkara tersebut, ternyata
diperoleh simpulan bahwa “Under The Rules the words “before and the
beginning of the voyage” mean the periode form at least the beginning
of lading until the vessel starts on her voyage”.
Selanjutnya, Artikel III (2) The Hague Rules menegaskan bahwa
“The carrier shall properly and carefully load, handle, stow, carry,
keep, care for and discharge the goods carried”. Dengan demikian,
artikel itu menekankan bahwa pihak pengangkut hendaknya memuat
dengan pantas dan berhati-hati, dalam menangani, memadati,
mengangkut, menyimpan, menjaga, serta membongkar barang-barang
yang diangkutnya itu.
Secara lebih rinci, pihak pengangkut bertanggung jawab atas
keselamatan dan keutuhan barang, yaitu saat:
1. Pada waktu pemuatan sejak barang-barang dikaitkan pada
derek (end of tackle) di pelabuhan pemuatan.
2. Dalam pemadatannya di palka-palka kapal.
3. Selama pengangkutan mulai dari pelabuhan pemuatan hingga
di pelabuhan pembongkaran.
4. Pada waktu pembongkaran sampai barang-barang berada di
atas dermaga atau perahu-perahu dalam posisi masih terkait
pada derek (end of tackle) di pelabuhan pembongkaran.

6
E.R. Hardy Ivamy, Case Book on Carriage by Sea (London: Lloyds of
London Press Ltd., 1985), hal. 101.

- 31 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga mempunyai


kewajiban untuk mengeluarkan bill of lading. Artikel III (3) The Hague
Rules menentukan bahwa “After receiving the goods into his charge the
carrier or the master or agent of the carrier shall on demand of the
shipper issue to the shipper a Bill of Lading”.

4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut


The Hague Rules mengatur pula beberapa klausula yang
membatasi tanggung jawab pengangkut:
1. Dalam Artikel III (1) mengenai due diligence clause. Yaitu
apabila terbukti pengangkut telah menyelenggarakan dengan
wajar agar kapal yang dipergunakan di dalam dinas
pelayarannya layak melaut, kapal telah diawaki secukupnya, dan
membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh
pelayaran yang direncanakan, serta untuk keperluan muatan,
semua palka, kamar pendingin dan lain-lain telah siap untuk
menerima muatan, memadatkannya dengan baik, serta
mengangkutnya sampai ke tempat tujuan dengan aman dan
selamat, maka dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti
kerugian yang mungkin diajukan kepadanya.
2. Dalam Artikel III (4) mengenai prima facie evidence. Dengan
adanya syarat-syarat ini dalam suatu perjanjian pengangkutan,
pengangkut menyatakan bahwa dia menyanggupi untuk
mengangkut sejumlah muatan berdasarkan penilaian atas barang
sebagaimana keadaan itu tampak dari luar. Artinya, pengangkut
dapat menolak tuntutan ganti kerugian apabila sebuah peti yang
keadaannya baik, akan tetapi pada waktu dibuka kedapatan
isinya rusak atau kurang. Alasan penolakannya ialah bahwa
pengangkut menerima barang dalam keadaan baik dan barang
yang sama diserahkan kepada consignee juga dalam keadaan
baik, sama seperti keadaan waktu untuk di kapal.
3. Dalam Artikel IV (2a) mengenai negligence clause. Dalam hal
ini, ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak
bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi
karena atau diakibatkan oleh tindakan, ketidakwaspadaan atau

- 32 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kelalaian nakhoda, anak buah kapal, pandu atau orang-orang lain


yang bekerja dalam dinas pengangkut, dalam hal navigasi dan
manajemen kapal. Dengan adanya ketentuan ini, apabila terjadi
kerugian atau kerusakan karena kesalahan navigasi atau
manajemen, hal itu semata-mata merupakan tanggung jawab
nakhoda atau orang-orang lain yang dimaksud. Latar belakang
pemikiran ketentuan ini ialah bahwa nakhoda serta orang-orang
lain itu menjalankan pekerjaan yang menjadi keahliannya, dan
merekapun mempunyai sertifikat (ijazah) yang mengatakan
kecakapan serta hak masing-masing untuk menjalankan
pekerjaan itu dengan bebas tanpa kata perintah oleh siapapun.
Pemilik kapal yang telah mempekerjakan mereka dalam
jabatannya masing-masing, tidak dapat memberi instruksi dalam
menjalankan navigasi dan manajemen kapal.
4. Dalam Artikel IV (4) mengenai deviation clause. Apabila
diperhatikan setiap lembaran bill of lading, maka akan selalu
ditemui ketentuan-ketentuan yang menetapkan bahwa kapal
tidak diharuskan untuk berlayar melalui jalur yang biasanya
dilayari atau yang sudah diumumkan akan dilayari. Mengenai
ketentuan itu, berikut salah satu contoh dari deviation clause
yang dimuat dalam suatu konosemen (bill of lading) yang
dikeluarkan oleh sebuah perusahaan pelayaran, yang berbunyi:
“The carrier does not contract to proceed by the shortest or by
she geographical or customary or advertised route (if any) and
the ship or other method of conveyance may for any purpose
what so ever whether on the current voyage or on a prior or
subsequent voyage or whether connected with the joint
adventure or not and whether before the beginning or at any
time or stage of the voyage proceed by any course or route what
so ever although in contrary direction to or out of or beyond the
direct or geographical or customary or advertised route to the
place of delivery once or more often in any order back wards
without notice to shippers or consignees and for any purpose
may all and/or remain or omit to call and/or remain at any port
or ports place what so ever and may carry the goods back to the

- 33 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

port of loading or to any port or place whether beyond the port


of delivery or not and may make any delay what so ever at or in
sailing from the port of lading or any port or place as
aforesaid”. Untuk dapat menetapkan kepada siapakah risiko
penyimpangan arah itu dibebankan telah ditegaskan pula dalam
The Hague Rules mengenai penyimpangan yang dianggap sah
dan penyimpangan yang dianggap tidak sah.
Penyimpangan-penyimpangan yang dianggap sah ialah jika
penyimpangan arah itu dilakukan dalam rangka usaha untuk:
a. Menyelamatkan atau berusaha menyelamatkan nyawa
dan harta benda di laut.
b. Menjaga kepentingan pengangkut dan para pemilik
muatan, misalnya kapal berlindung dalam pelabuhan
yang tidak termasuk dalam rencana perjalanan sebagai
usaha untuk menghindari topan yang sedang lewat di
daerah jalur pelayaran kapal yang bersangkutan.
Ini berarti, segala kerugian dan kerusakan yang terjadi sebagai
akibat dari penyimpangan arah seperti yang disebutkan di atas
berada di luar tanggung jawab pengangkut, sehingga pengangkut
tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian dan kerusakan
yang terjadi.
5. Dalam Artikel III (3) mengenai un-acquaintance clause. Dalam
hal pengangkut akan membawa barang-barang muatan yang
terdiri dari barang kecil, maka akan dibuatkan un-acquaintance
clause ini. Pengangkut menyatakan, bahwa dia menerima barang
untuk dikapalkan dalam bungkusan-bungkusan, tetapi tidak
menghitung isi atau jumlah barang-barang yang terdapat dalam
tiap-tiap bungkusan itu. Hal seperti ini juga terjadi dalam
pengiriman barang-barang yang terdiri dari biji-bijian, seperti
jagung atau beras, di mana pengangkut menyatakan tidak
mengetahui timbangan muatan itu dengan tepat. Yang menjadi
pegangan bagi pengangkut ialah jumlah timbangan yang
diberitahukan kepadanya oleh pengirim barang. Dalam
konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan untuk
pengangkutan barang kecil-kecil seperti itu biasanya ketentuan

- 34 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

yang menjadi pegangan bagi pengangkut dinyatakan sebagai


berikut (contoh):
50 casses Bicycle Spokes. Said to contain: 10.000 pieces.
500 bags of rice. Said to weight: 50.000 Kgs.
Kemudian, mengenai paramount clause. Paramount clause atau
basic contract ialah klausula yang menyebutkan hukum apa yang
digunakan sebagai dasar perjanjian pengangkutan. Klausula ini penting
sebagai pedoman apabila terjadi sengketa antara pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian pengangkutan, yaitu antara pengangkut dan
pengirim barang.
Misalnya, apabila di dalam bill of lading ditetapkan bahwa The
Hague Rules 1924 sebagai paramount clause, maka jika timbul
perselisihan akan digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
The Hague Rules 1924 itu untuk proses penyelesaian sengketa.
Ketentuan ini dibuat juga untuk memberikan batas pasti yang dapat
dipikul oleh pengangkut, yang artinya erat pula kaitannya dengan
masalah tanggung jawab maksimum dalam pemberian ganti kerugian
oleh pengangkut.
Dalam hubungannya dengan pembatasan tanggung jawab
pengangkut, telah ditegaskan pada Artikel III (8) bahwa setiap klausula,
janji atau persetujuan dalam kontrak pengangkutan yang meringankan
tanggung jawab pengangkut atau kapal terhadap kerugian atau
kerusakan atau dalam hubungannya dengan barang-barang yang timbul
dari kelalaian, kesalahan atau kegagalan dalam tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang telah ditetapkan atau mengurangi tanggung jawab
secara lain dari apa yang ditetapkan adalah batal dan tidak berlaku.
Namun untuk pengangkutan-pengangkutan yang bersifat khusus,
pengangkut diberi kebebasan untuk melepaskan seluruh atau sebagian
hak serta kekebalan atau kebebasannya itu, atau menambah sesuatu
kewajiban atau tanggung jawab di luar ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam The Hague Rules ini, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut
tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Misalnya, pengangkut
dapat menyatakan dalam surat perjanjian pengangkutan, bahwa dia
menyetujui untuk mengurus penyerahan barang sampai gudang pemilik

- 35 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

muatan di pelabuhan tujuannya (system door to door service). Tentang


penyerahan seperti itu harus dinyatakan di dalam bill of lading.
Tetapi selain hal tersebut, juga secara tegas, The Hague Rules
dalam Artikel IV telah mengatur tentang hak-hak dan kekebalan dari
pengangkut. Ditegaskan dalam Artikel IV (2), bahwa baik pengangkut
maupun kapal tidak bertanggung jawab terhadap kerugian atau
kerusakan yang timbul atau sebagai akibat dari:
1. Perbuatan, kelalaian atau kegagalan nakhoda, pelaut, pandu
atau buruh-buruh dari pengangkut bidang navigasi atau
pengurusan kapal.
2. Api, kecuali diakibatkan oleh kesalahan yang sesungguhnya
atau kesalahan pribadi pengangkut.
3. Bencana, bahaya dan kecelakaan laut atau diperairan yang
dapat dilayari lainnya.
4. Takdir Tuhan.
5. Tindakan perang.
6. Musuh masyarakat/negara.
7. Penangkapan atau penahanan oleh raja, pemerintahan atau
rakyat, atau penyita menurut hukum.
8. Pembatasan-pembatasan karantina.
9. Perbuatan atau kealpaan pengiriman atau pemilik barang-
barang, agennya atau perwakilan.
10. Pemogokan atau penutupan perusahaan, penghentian atau
perintangan pekerjaan dengan alasan apapun, apakah sebagian
atau seluruhnya.
11. Kerusuhan dan pemberontakan.
12. Penyelamatan atau usaha menyelamatkan jiwa manusia atau
harta benda di lautan.
13. Penyusutan dalam jumlah atau berat atau setiap kerugian atau
kerusakan lain yang timbul dari cacat yang melekat kualitas
atau sifat buruk dari barang-barang.
14. Pengepakan yang tidak baik.
15. Merk-merk yang tidak cukup jelas atau tahan lama.
16. Cacat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan.

- 36 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

17. Setiap sebab lain yang timbul tanpa kesalahan nyata dan
pribadi dari pengangkut dan tanpa kesalahan atau kelalaian
dari agen atau buruhnya pengangkut.
Jadi, The Hague Rules sudah memberikan suatu pedoman yang
jelas dalam hal mana pengangkut tidak dapat dibebani tanggung jawab
atas kehilangan atau kerusakan yang timbul.
Suatu hal penting yang mempunyai kaitan dengan tanggung
jawab pengangkut menurut The Hague Rules ialah tentang konosemen
(bill of lading). Perlu kembali diingat, bahwa The Hague Rules hanya
berlaku bagi pengangkutan melalui laut yang dilindungi konosemen.
Artikel III (7) menjelaskan bahwa “After the goods are loaded,
the bill of lading to be issued by the carrier, master or agent of the
carrier to the shipper shall, if the shipper so demands, be a “shipped”
bill of lading…”. Maksudnya ialah bahwa setelah menerima barang-
barang dalam kekuasaannya pengangkut berkewajiban mengeluarkan
konosemen (bill of lading) atas permintaan pengirim barang, yang
memuat antara lain:
1. Merk-merk utama yang diperlukan sebagai tanda pengenal atas
barang-barang seperti yang telah disiapkan oleh pengirim
secara tertulis sebelum pemuatan barang-barang itu dimulai.
Merk tersebut dapat dicap atau dengan cara lain, yang dapat
nampak jelas pada barang-barang jika tidak tertutup atau jika
ditaruh dalam peti atau dalam bungkusan, sedemikian rupa
sehingga dalam keadaan biasa merk-merk itu tetap dapat
dibaca sampai akhir perjalanan.
2. Jumlah koli atau potong barang, begitu juga banyaknya atau
beratnya, bagaimanapun keadaannya, sama seperti yang telah
diberitahukan pengirim secara tertulis.
3. Keadaan barang-barang tersebut seperti yang kelihatan dari
luar.
Demikianlah, jadi dapat dipahami bahwa konosemen tersebut
merupakan bukti penting penerimaan barang oleh pengangkut. Begitu
juga dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut,
dikeluarkannya sebuah konosemen merupakan suatu hal yang penting
pula. Hal ini disebabkan oleh karena dengan adanya klausula-klausula

- 37 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

yang tercantum dalam konosemen akan ikut mempengaruhi sampai


seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung jawab pengangkut.
Dengan perkataan lain, bahwa di samping adanya kewajiban-
kewajiban utama sebagaimana yang telah dijelaskan, The Hague Rules
ternyata juga telah memberikan kemungkinan bagi pengangkut untuk
membatasi tanggung jawabnya dengan (melalui) klausula-klausula yang
dimuat dalam konosemen.

5. Batas Ganti Kerugian


Dari uraian tersebut di atas telah diketahui bahwa pengangkut
dapat membatasi tanggung jawabnya dengan mengadakan klausula-
klausula yang bisa dicantumkan dalam bill of lading. Di samping hal
itu, The Hague Rules menetapkan pula batas ganti kerugian maksimum
yang harus dibayar oleh pengangkut apabila muatan yang diangkutnya
mengalami kerusakan atau kerugian yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketentuan tentang maximum liability (ganti kerugian maksimum) ini
akan berlaku dalam hal si pengirim barang tidak menerangkan sifat dan
nilai barang (keterangannya tidak tercantum di dalam bill of lading).
Mengenai penetapan maximum liability dari pihak pengangkut
terdapat perbedaan antara yang diatur dalam The Hague Rules 1924 dan
The Hague Visby Rules 1968.
Di dalam The Hague Rules 1924 ditetapkan maximum liability
tersebut adalah sebesar £ 100 per package atau unit (per collo muatan).
Artinya, pengangkut hanya bertanggung jawab sebesar £ 100 per collo
muatan, apabila muatan yang diangkutnya mengalami kerusakan atau
kerugian yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini berarti pula bahwa
The Hague Rules tidak mengatur tentang penggantian kerugian terhadap
muatan curah dan pengangkutan barang dengan memakai kontainer.
Ketentuan yang terdapat dalam The Hague Rules 1924 yang
membatasi tanggung jawab pengangkut hanya sampai pada jumlah 100
pound sterling untuk setiap bungkus/koli atau unit barang menimbulkan
ketidakpuasan bagi pihak negara-negara shipper. Ketidakpuasan
terhadap ketentuan yang membatasi penggantian kerugian itu menjadi
salah satu alasan bagi negara-negara shipper untuk mengadakan
perubahan terhadap The Hague Rules 1924.

- 38 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Selain ketidakpuasan terkait dengan masalah pembatasan ganti


kerugian tersebut, terdapat juga beberapa masalah lain yang mendorong
proses perubahan The Hague Rules 1924, antara lain, yaitu:
1. Beberapa negara peserta konvensi menginginkan agar
ketentuan-ketentuan dalam konvensi hendaknya dimasukkan
ke dalam surat muatan (bill of lading) dari negara-negara yang
menyelenggarakan pengangkutan barang-barang. Jadi,
maksudnya agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi tidak
hanya berlaku bagi negara-negara peserta konvensi saja.
2. Batas ganti kerugian maksimum £ 100 per package atau unit,
sebagai akibat adanya devaluasi dari pound sterling, tidak lagi
memuaskan pihak shipper.
3. Di tahun-tahun terakhir, sebagian besar pengangkut laut telah
menunjukkan kemajuan (perkembangan) dengan
menggunakan kontainer.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, mulai tahun 1968, di
Brussel, diadakan suatu protokol untuk menyempurnakan Artikel IV (5)
dari The Hague Rules. Nama lengkap protokol itu ialah Protocol to
Amend the International Convention for the Unification of Certain
Rules Relating to Bill of Lading. Hasil final protokol ditandatangani
pada tanggal 23 Februari 1968, di Visby, sehingga protokol tersebut
kemudian juga dikenal dengan sebutan The Hague Visby Rules.
Protokol tersebut membawa perubahan terhadap maximum
liability dari pengangkut dan ruang lingkup berlakunya ketentuan-
ketentuan konvensi. Protokol itu telah menambahkan suatu sistem yang
berdasarkan berat di samping per package atau unit. Sehingga, shipper
dapat memperoleh dalam jumlah yang pasti, berdasarkan per package
atau unit atau atas jumlah kilo (berat) dari barang yang rusak, terserah
mana yang lebih tinggi.
Maximum liability menurut protokol baru (The Hague Visby
Rules) tersebut ialah 10.000,- franc per koli atau 30 franc per kilo dari
berat kotor barang yang hilang atau rusak, mana saja yang lebih tinggi,
sebagaimana ditentukan dalam Artikel IV (5a) yang berbunyi: “Unless
the nature and value of such goods have been declared by the shipper
before shipment and inserted in the Bill of Lading, neither the carrier

- 39 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

nor the ship shall in any event be or become liable for any loss or
damage to or in connexion with the goods in amount exceeding the
equivalent of franc 10.000,- per package or unit or franc 30 per kilo of
gross weight of the goods lost or damage, whichever is the higher”.
Selanjutnya, dijelaskan pula dalam Artikel III (5a), bahwa “A
Franc means a unit consisting of 65,5 milligrams of gold of millesimal
fineness 900’. The date of conversion of the sum awarded in national
currencies shall be governed by the law of the court seized of the case”.
Maksudnya ialah bahwa 1 (satu) franc berarti 1 (satu) satuan uang yang
bernilai 65,6 miligram emas dari campuran 900’ per seribu. Tanggal
penukaran jumlah uang tersebut dengan uang nasional diatur oleh
hukum pengadilan mengenai perkara itu.
Selain menegaskan jumlah tersebut di atas, ditentukan pula baik
pengangkut maupun kapal tidak akan berhak untuk memanfaatkan
pembatasan tanggung jawab yang diberikan, apabila dapat dibuktikan
bahwa kerusakan itu akibat dari suatu tindakan atau kelalaian yang
dilakukan oleh pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan
kerusakan atau secara tidak hati-hati dan dengan kesadaran bahwa
perbuatan itu dapat menimbulkan kerusakan.
Dengan perkataan lain, kepada pengangkut tetap diberikan
kewajiban untuk menyelenggarakan pelayaran yang layak dan aman
untuk mengangkut barang sampai ke tujuan.
Kemudian, walaupun telah ditentukan jumlah maksimum tadi,
The Hague Rules tetap memberikan kemungkinan kepada pengangkut,
nakhoda, atau agen pengangkut untuk mengadakan persetujuan dengan
pengirim untuk lebih menetapkan jumlah maksimum yang lain, asalkan
lebih dari jumlah maksimum yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, pengangkut tidak akan bertanggung jawab terhadap
setiap peristiwa kerugian atau kerusakan pada atau yang berkaitan
dengan barang-barang, jika sifat atau nilai dengan sengaja telah ditulis
secara tidak benar oleh pengirim dalam konosemen.
Selain menentukan liability dari pengangkut, The Hague Rules
mengatur pula mengenai tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan
ganti kerugian. Dinyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan ganti
kerugian harus secara tertulis. Apabila kerusakan itu segera dapat

- 40 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

diketahui oleh penerima barang, maka harus dilakukannya sebelum atau


setelah penyerahan barang, yang ditujukan kepada pengangkut atau
kepada agennya di tempat pelabuhan pembongkaran.
Tetapi, kalau kerusakan itu tidak segera dapat diketahui, maka
tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian adalah 3
(tiga) hari setelah penyerahan barang, sebagaimana diatur dalam Artikel
III (6): “If the loss or damage is not apparent the notice must be given
within three days of the delivery”.
Selanjutnya, dinyatakan pula dalam Artikel III (6), bahwa
pengangkut dan kapal dalam setiap peristiwa dibebaskan dari semua
tanggung jawab apapun terhadap barang-barang, kecuali jika ada
gugatan jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah penyerahan atau sejak
barang-barang itu sedianya diserahkan. Jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak. Pihak pengangkut
juga dapat menolak gugatan (tuntutan) ganti kerugian yang diajukan
kepadanya, akan tetapi harus sesuai dengan alasan-alasan yang telah
ditegaskan oleh konvensi ini.

C. Menurut The Hamburg Rules


Sebagai sebuah konvensi yang mengatur pengangkutan laut, The
Hague Rules telah mengalami perubahan. Hal ini dimaksudkan agar The
Hague Rules tetap dapat memenuhi kebutuhan para pihak yang
berkepentingan dengan kegiatan pengangkutan laut. Perubahan terhadap
The Hague Rules 1924 diadakan di Visby pada tahun 1968, dan hasil
perubahannya dikenal dengan sebutan Protokol 1968 (The Hague Visby
Rules).
Ternyata The Hague Visby Rules belumlah memuaskan para
pihak yang ada, terutama mereka yang berasal dari negara-negara
berkembang yang sebagian besar bukanlah pihak pengangkut melainkan
sebagai pengirim yang mewakili pemilik barang.
Ketidakpuasan tersebut terjadi karena masih ada masalah-
masalah yang belum mampu dipecahkan oleh Protokol 1968, antara
lain, misalnya mengenai tanggung jawab pengangkut dalam
pengangkutan kontainer. Itulah sebabnya Protokol 1968 pada akhirnya

- 41 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

hanya diratifikasi oleh beberapa negara saja. Indonesia sendiri juga


tidak meratifikasinya.
Mengenai kelemahan yang dikandung oleh Protokol 1968
tersebut, Samin Mankabady mengatakan bahwa, “The reforms brought
by the Protocol were minor. They have not resolved the overlap between
cargo insurance and liability insurance, nor have they taken sufficient
account of the modern techniques in cargo handling. Consequently, the
Protocol was ratified by few countries. Many countries, especially the
developing States, which are non-carrier countries were waiting to see
the outcome of the Uncitral work. The Hamburg Rules brought radical
reforms and in general they satisfy modern commercial needs”. 7
Kemudian, berdasarkan keadaan tersebut di atas, United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1970
menerbitkan suatu usulan yang terperinci untuk mengadakan perubahan
lagi terhadap The Hague Visby Rules. UNCTAD mengundang The
United Nations Commission on International Trade Law untuk
mempelajari kekurangan-kekurangan yang ada, dan mengusahakan
perbaikan dari The Hague Visby Rules. Setelah melalui beberapa kali
penyempurnaan, bertempat di Hamburg, kemudian lahirlah United
Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, pada tanggal 31
Maret 1970. Konvensi ini dikenal pula dengan sebutan The Hamburg
Rules.
The Hamburg Rules, secara garis besar, terdiri dari 6 (enam)
bagian, yaitu:
I. General Provisions.
II. Liability of the Carrier.
III. Liability of the Shipper.
IV. Transport Document.
V. Claim and Actions.
VI. Supplementary Provisions.

7
Samir Mankabady, “The Hamburg Rules on the Carriage of Goods by Sea”,
dalam Samir Mankabady ed., Comments on the Hamburg Rules (Boston: Sythoff-
Leiden, 1978), hal. 34.

- 42 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Artikel 1 The Hamburg Rules memuat beberapa pengertian dari


istilah-istilah berikut:
1. Carrier (pengangkut) ialah setiap orang, yang olehnya atau
atas nama siapa telah ditutup kontrak pengangkutan barang
melalui laut dengan pengirim.
2. Actual carrier (pengangkut sesungguhnya) ialah mereka yang
melaksanakan pengangkutan barang atas sebagian
pengangkutan yang telah dipercayakan kepadanya oleh
pengangkut (carrier) dan termasuk pula orang lain terhadap
siapa pelaksanaannya telah dipercayakan kepadanya.
3. Shipper (pengirim) ialah setiap orang yang olehnya atau atas
nama siapa, atau bagi kepentingan siapa suatu kontrak
pengangkutan barang-barang melalui laut telah ditutup dengan
pengangkut atau setiap orang oleh siapa atau atas nama siapa
atau untuk kepentingan siapa nyata-nyata telah menyerahkan
barang-barang kepada pengangkut dalam hubungannya dengan
kontrak pengangkut laut.
4. Consignee (penerima) ialah orang yang berhak menerima
penyerahan barang-barang. Konvensi ini mengartikan barang
itu lebih luas, yaitu meliputi juga binatang-binatang yang hidup
dan barang-barang yang dimasukkan di dalam container
(tempat barang) atau seat (pembungkus).
5. Contract of carriage by sea (kontrak pengangkutan) ialah suatu
kontrak, dengan mana pengangkut melakukan pekerjaan
dengan pembayaran uang angkutan untuk mengangkut barang
melalui laut dari suatu kontrak yang meliputi pengangkutan
laut dan juga pengangkutan jenis lain, itu dianggap sebagai
kontrak pengangkutan laut. Sebagaimana yang dimaksudkan
oleh konvensi ini, hanya sepanjang ada hubungannya dengan
pengangkutan laut.
6. Bill of lading (konosemen) ialah dokumen yang membuktikan
adanya kontrak pengangkutan laut dan pengambilan alih atau
pemuatan barang-barang oleh pengangkut, dengan mana
pengangkut melakukan penyerahan barang-barang atas dasar
penyerahan dokumen. Suatu ketentuan dalam dokumen yang

- 43 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

menyatakan bahwa barang-barang diserahkan kepada orang


tertentu yang ditunjuk, atau kepada pengganti atau kepada
pembawa, menimbulkan wewenang untuk melakukan
perbuatan semacam itu.

1. Periode Tanggung Jawab


Artikel 4 (1) The Hamburg Rules menyatakan bahwa, “The
responsibility of the carrier for the goods under this convention covers
the period during which the carrier is in charge of the goods at the port
of loading, during the carriage and at the port of discharge”. Artinya,
tanggung jawab pengangkut terhadap barang meliputi jangka waktu
selama pengangkut menguasai barang-barang itu di pelabuhan muatan,
selama pengangkutan, dan di pelabuhan pembongkaran. Dengan
perkataan lain, periode pertanggungjawaban pengangkut dimulai sejak
saat barang ada di bawah penguasaan pengangkut sampai pada saat
barang-barang itu diserahkan kepada consignee.
Kemudian dijelaskan pula, bahwa pengangkut dianggap
menguasai barang-barang muatan:
1. Mulai pada waktu pengangkut mengambil alih barang-barang
itu dari:
a. Pengirim atau orang yang bertindak atas namanya, atau;
b. Penguasa berwenang atau pihak ke tiga lain yang
menurut hukum atau peraturan yang berlaku di pelabuhan
pemuatan, barang-barang harus diserahkan untuk
pengapalannya.
2. Sampai saat pengangkut menyerahkan barang-barang itu:
a. Kepada penerima;
b. Dalam hal penerima tidak menerima barang-barang dari
pengangkut, dengan cara menempatkan barang-barang
itu dalam pengurusan di penerima sesuai dengan kontrak
atau dengan hukum atau kebiasaan pada perdagangan
khusus, yaitu berlaku di pelabuhan pembongkaran, atau;
c. Dengan menyerahkan barang-barang kepada penguasa
yang berwenang atau pihak ke tiga lain, yang menurut
hukum atau peraturan yang berlaku di pelabuhan

- 44 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

pembongkaran barang-barang itu harus diserahkan


kepadanya.
Dengan adanya kata-kata “mengambil alih” (take over), berarti
pada saat itu tanggung jawab pengangkut juga menyangkut pengawasan
atas barang-barang. Dengan perkataan lain, pengawasan yang efektif
ialah unsur yang penting dalam pengambilalihan barang-barang.
Pengambilalihan barang-barang merupakan suatu faktor yang dapat
dibuktikan dengan jelas, dan ini biasanya terjadi apabila bill of lading
dikeluarkan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikatakan bahwa
apabila pengangkut atau pengangkut pelaksana menerima barang-
barang, atas permintaan pengirim, dia harus menyerahkan bill of lading
kepada pengirim, sebagaimana dinyatakan dalam Artikel 14 (1) The
Hamburg Rules, yaitu bahwa “When the carrier or the actual carrier
takes the goods in his charge, the carrier must, on demand of the
shipper, issue to the shipper a bill of lading”. Namun, dapat juga carrier
mengambil alih barang-barang di bawah pengawasannya sebelum
mengeluarkan bill of lading.
Apabila pengangkut mengambil alih barang dari pengirim atau
seorang yang berwenang, berarti dia kemudian bertanggung jawab
menangani, menyimpan, memuat, dan membongkar barang-barang,
tanggung jawab berlangsung sampai dia menyerahkan barang-barang ke
tujuan. Misalnya, pengangkut telah mengambil alih barang-barang itu
lalu diangkut dengan perahu-perahu kecil (tongkang) ke kapal, maka
periode pengangkut untuk bertanggung jawab meliputi juga sejak
barang-barang itu diterimanya, pemuatan ke tongkang-tongkang,
kepindahannya ke kapal, sampai barang itu diterima di pelabuhan
tujuan. Mengenai hal itu, perlu diperhatikan Artikel 23 The Hamburg
Rules yang mengatakan bahwa di dalam bill of lading atau dokumen
lain yang membuktikan adanya kontrak pengangkutan dapat
dicantumkan syarat-syarat, asalkan syarat itu tidak menghapus langsung
atau tidak langsung berlakunya ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini.

- 45 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Dalam hal pertanggungjawaban pengangkut, ditegaskan pula


bahwa dalam bill of lading diperkenankan untuk membuat syarat yang
tujuannya meningkatkan tanggung jawab pengangkut.
Jadi, periode tanggung jawab pengangkut dalam The Hamburg
Rules ini adalah lebih tegas dan sekaligus memberi tanggung jawab
yang besar kepada pengangkut. Pertanggungjawaban yang dipikul oleh
pengangkut tersebut ialah suatu kenyataan, bahwa pengangkut dalam
perjanjian pengangkutan itu merupakan pihak yang mengikatkan diri
untuk memberikan suatu jasa, sedangkan kepentingan pengirim sebagai
pihak pemakai jasa tentulah yang lebih diutamakan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menjadikan banyak
negara, terutama negara-negara Barat, menanggapi The Hamburg Rules
itu secara pasif, sehingga mereka lebih condong untuk tetap
menggunakan The Hague Rules atau The Hague-Visby Rules.
Sebaliknya, negara-negara berkembang yang pada umumnya bertindak
sebagai pemakai jasa justru menyambut baik hadirnya The Hamburg
Rules ini.

2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut


The Hamburg Rules menegaskan mengenai dasar tanggung
jawab pengangkut dalam Artikel 5 yang berbunyi: “The carrier is liable
for loss resulting from loss of or damage to the goods, as well as from
delay in delivery, if the occurrence which caused the loss, damage or
delay took place while the goods were in his charge as defined in article
4, unless the carrier proves that he, his servants and agents took all
measures that could reasonably be required to avoid the occurrence
and its consequences”.
Hal tersebut berarti, bahwa apabila selama jangka waktu
pertanggungjawabannya terjadi peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
kerugian atau kerusakan barang-barang atas keterlambatan, pengangkut
harus bertanggung jawab dan dapat dituntut untuk membayar ganti
kerugian. Jika terjadi peristiwa yang demikian itu, si pengangkutlah
yang harus membuktikan bahwa dia, buruh-buruhnya, atau agennya
telah melakukan langkah pantas yang dibutuhkan untuk menghindari

- 46 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

peristiwa dan akibatnya. Asas ini disebut juga dengan presumed fault
or neglect. Jadi, tanggung jawab pengangkut meliputi:
1. Kerugian sebagai akibat kerugian/kehilangan atau kerusakan
barang.
2. Kerugian karena keterlambatan penyerahan barang.
Mengenai hal keterlambatan, dijelaskan dalam Artikel 5 (2),
yaitu: “Delay in delivery occurs when the goods have not been
delivered at the port of discharge provided for in the contract of
carriage by sea within the time expressly agreed upon or, in the absence
of such agreement, within the time which it would be reasonable to
require of a deligent carrier, having regard to the circumstance of the
case”. Maksudnya ialah bahwa keterlambatan penyerahan dianggap
terjadi apabila barang-barang belum diserahkan di pelabuhan
pembongkaran yang telah ditentukan dalam perjanjian pengangkutan
laut dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama. Jika tidak
dibuat perjanjian yang tegas tentang jangka waktu tersebut, maka
menurut konvensi, diambil suatu jangka waktu yang layak dibutuhkan
oleh seorang pengangkut yang hati-hati dan berpengalaman terhadap
peristiwa-peristiwa dalam kasus itu.
Apabila pengangkut tidak menyerahkan barang-barang dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari berturut-turut sesudah jangka waktu
yang dijanjikan atau waktu yang layak dibutuhkan tersebut lewat, maka
orang yang berhak membuat tuntutan bagi kerugian barang, dapat
memperlakukan barang-barang sebagai hilang. Artinya, dia dapat
menuntut pertanggungjawaban si pengangkut akibat hilangnya barang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, pengangkut bertanggung
jawab pula:
1. Terhadap kerugian atau kerusakan barang yang disebabkan
karena api, jika penuntut dapat membuktikan bahwa api itu
timbul karena kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut,
buruh, atau agen-agennya.
2. Untuk kerugian, kerusakan atau keterlambatan penyerahan
yang dibutuhkan oleh penuntut sebagai akibat dari kesalahan
atau kelalaian pengangkut, buruh-buruh, atau agen-agennya
dalam mengambil tindakan-tindakan yang pantas dilakukan

- 47 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

untuk memadamkan api dan menghindari atau mengurangi


akibat-akibatnya.
Dalam peristiwa-peristiwa di atas, jika si penuntut atau pengangkut
menghendaki, dapat diadakan penelitian-penelitian terhadap sebab-
musabab dan keadaan yang sebenarnya.
Apabila yang diangkut adalah binatang hidup, pengangkut tidak
bertanggung jawab untuk kerugian, kerusakan, atau keterlambatan
penyerahan sebagai akibat dari risiko khusus dalam pengangkutan
hewan tersebut, apabila dia dapat membuktikan bahwa dia telah
mentaati instruksi khusus dari pengirim mengenai binatang itu.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian, kerusakan atau
keterlambatan apabila dibuktikan bahwa seluruh atau sebagian dari
kerugian, kerusakan atau keterlambatan penyerahan diakibatkan karena
kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut, buruh-buruh, atau agen-
agennya. Dalam hal ini pengirim yang harus membuktikan bahwa
pengangkut telah melakukan kesalahan atau kelalaian.
Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab, jika kerugian atau
keterlambatan penyerahan disebabkan tindakan-tindakan untuk
menolong jiwa manusia atau karena tindakan-tindakan yang
pantas/seperlunya untuk menyelamatkan harta benda di laut. Dengan
perkataan lain, pengangkut dapat melepaskan tanggung jawab atau
dikecualikan dari tanggung jawabnya apabila:
1. Dia (pengangkut) dapat membuktikan bahwa dia, buruh-
buruhnya, atau agen-agennya telah melakukan segala tindakan
yang layak untuk menghindari peristiwa-peristiwa dan akibat-
akibatnya. Dalam menentukan tindakan yang
layak/seperlunya, diperhatikan penilaian yang objektif
terhadap seorang carrier yang teliti (bon pere de famille).
2. Kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh kebakaran
dan penuntut tidak dapat membuktikan bahwa api berasal dari
kesalahan atau kelalaian dari pengangkut, buruh-buruhnya,
atau agen-agennya. Dalam hal ini, harus ada api, bukan hanya
panas, mungkin juga barang rusak karena air untuk
memadamkan api.

- 48 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Kerusakan atau kehilangan yang diakibatkan oleh binatang-


binatang hidup, yang disebabkan sifat risiko-risiko khusus
dalam pengangkutan hewan tersebut.
4. Kerusakan atau kehilangan yang diakibatkan oleh tindakan-
tindakan untuk menyelamatkan jiwa manusia atau karena
tindakan yang layak untuk menyelamatkan harta benda di laut.
Namun terhadap terjadinya avarai umum, pengangkut tetap
bertanggung jawab. Avarai umum adalah kerugian yang dalam
keadaan darurat telah dengan sengaja ditimbulkan dan yang
diderita sebagai akibat langsung dari tindakan itu dan biaya-
biaya luar biasa yang dalam keadaan darurat telah dikeluarkan
guna keselamatan dan kesejahteraan umum kapal serta
muatannya. Avarai umum ini dibebankan bersama kepada
kapal, uang angkutan, dan muatan.
Selain hal tersebut, Artikel 5 (7) The Hamburg Rules
menyatakan pula bahwa “Where fault or neglect on the part of the
carrier, his servants or agents combines with another cause to produce
loss, damage or delay in delivery, the carrier is liable only to the extent
that the loss, damage or delay in delivery is attributable to such fault or
neglect, provided that the carrier proves the amount of the loss, damage
or delay in delivery not attributable thereto”. Maksudnya ialah,
walaupun diberikan perkecualian-perkecualian seperti tersebut di atas,
tetapi jika terdapat kesalahan atau kelalaian dari pihak pengangkut,
buruh-buruh, atau agen-agennya yang bergabung dengan suatu sebab
lain yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atau keterlambatan
penyerahan, pengangkut tetap bertanggung jawab. Pihak pengangkut
bertanggung jawab hanya sejauh kesalahannya dalam menyebabkan
kerugian itu, asalkan dia dapat membuktikan jumlah kerugian,
kerusakan atau keterlambatan yang tidak diakibatkan olehnya.
The Hamburg Rules mengandung suatu kekhususan jika
dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUHD
dan The Hague Rules. Di samping mengatur tentang tanggung jawab
pengangkut, secara tersendiri diatur pula tentang tanggung jawab
pelaksana pengangkut (actual carrier). Untuk hal itu perlu diperhatikan
Artikel 10 (1) dari The Hamburg Rules yang menyatakan “Where the

- 49 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

performance of the carriage or part there of has been entrusted to an


actual carrier, whether or not in pursuance of a liberty under the
contract of carriage by sea to do so, the carrier nevertheless remains
responsible for the entire carriage according to the provisions of this
Conventions to the carriage performed by the actual carrier, for the
acts and omission of the actual carrier and of his servants and agents
acting within the scope of their employment”.
Dalam ketentuan tersebut di atas terdapat suatu prinsip yang
tegas, yaitu meskipun sebagian ataupun seluruh pelaksanaan
pengangkutan oleh pengangkut telah dipercayakan kepada pelaksana
pengangkut, namun pengangkut masih tetap bertanggung jawab
terhadap seluruh pelaksanaan pengangkutan sesuai dengan ketentuan
The Hamburg Rules ini. Ditegaskan lagi, bahwa carrier (pengangkut)
tetap bertanggung jawab sehubungan dengan pengangkutan di laut yang
dilaksanakan oleh actual carrier dan dari buruh-buruh atau agen-
agennya selama dalam lingkungan pekerjaannya.
Seluruh ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban carrier
berlaku pula bagi actual carrier. Namun apabila pengangkut
mengadakan suatu persetujuan khusus dengan pengirim, yang memuat
kewajiban yang tidak ditentukan oleh The Hamburg Rules, maka hal itu
hanya akan berlaku bagi actual carrier jika dia memberikan
persetujuannya secara tertulis dan tegas. Pengangkut (carrier) tetap
terkait oleh kewajiban-kewajiban atau pelepasan hak yang timbul dari
persetujuan khusus itu, tidak terpengaruh oleh apakah actual carrier
menyetujui atau tidak.
Selanjutnya, dalam Artikel 11 The Hamburg Rules mengatur
pula tentang pertanggungjawaban pengangkut dalam pengangkutan
terusan. The Hamburg Rules sebenarnya tidak memberikan penjelasan
secara tegas (eksplisit) mengenai apa yang dimaksud dengan istilah
“pengangkut terusan”.
Dalam Artikel 10 (1) diatur bahwa jika dalam suatu perjanjian
pengangkutan, secara tegas ditentukan bahwa sebagian khusus
pengangkutan yang ditutup oleh kontrak itu akan diselenggarakan bukan
oleh pengangkut (carrier), maka dapat ditentukan dalam kontrak itu
bahwa pengangkut (carrier) tidak bertanggung jawab atas kehilangan,

- 50 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kerusakan atau keterlambatan disebabkan oleh suatu peristiwa yang


terjadi sewaktu barang-barang itu dalam penguasaan pelaksana-
pelaksana pengangkut, selama dia melakukan pengangkutan yang
menjadi bagiannya. Sebenarnya, masalah pertanggungjawaban seperti
yang dinyatakan dalam pengangkutan terusan ini telah tercakup dalam
ketentuan Artikel 10 tersebut.

3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa The Hamburg
Rules telah menetapkan secara lebih tegas mengenai tanggung jawab
pengangkut daripada The Hague Rules. Pengangkut bertanggung jawab
atas akibat dari hilang dan rusaknya barang, juga diperluas dengan
bertanggung jawab atas keterlambatan penyerahan barang-barang, jika
hal itu terjadi selama barang-barang tadi ada dalam penguasaan
pengangkut.
Kalau terjadi kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan
penyerahan barang oleh pihak pengangkut, maka pihak pengangkutlah
yang harus membuktikan ketidaksalahan pengangkut, apabila terjadi
tuntutan ganti kerugian yang disebabkan oleh karena adanya
kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan dalam penyerahan barang-
barang tersebut.
Selain menegaskan tanggung jawab pengangkut, The Hamburg
Rules melalui Artikel 6 (1a) menjelaskan pula mengenai batas tanggung
jawab pihak pengangkut, yaitu bahwa “The liability of the carrier for
loss resulting from loss of or damage to goods according to the
provisions of article 5 is limited to an amount equivalent to 835 units of
account per package or other shipping unit or 2,5 units of account per
kilogram of gross weight of the goods lost or damaged, whichever is the
higher”.
Kemudian, Artikel 6 (1b) menjelaskan bahwa “The liability of
the carrier for delay in delivery according to the provisions of article 5
is limited to an amount equivalent to two and a half times the payable
for goods delayed, but not exceeding the total freight payable under the
contract of carriage of goods by sea”. Maksudnya ialah bahwa
pertanggungjawaban pengangkut atas kerugian yang diakibatkan karena

- 51 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kehilangan atau kerusakan barang-barang, dibatasi pada jumlah 835


satuan uang per koli atau 2,5 satuan uang per kilogram dari berat kotor
barang yang rusak atau hilang, mana yang lebih tinggi. Satuan uang ini,
menurut Artikel 26 The Hamburg Rules, adalah SDR yang nilainya
ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF).
Pertanggungjawaban pengangkut atas keterlambatan penyerahan
barang dibatasi pada jumlah 2,5 kali dari angkutan yang harus dibayar
bagi barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah seluruh uang
angkutan yang harus dibayar. Jadi, batas tanggung jawab didasarkan
atas per package (kemasan) unit pengapalan atau berat, yang mana yang
tertinggi. Tanggung jawab atas keterlambatan dikaitkan dengan jumlah
muatan.
Pengaturan batas tanggung jawab seperti tersebut di atas,
merupakan penyesuaian atas pengangkutan barang dengan
menggunakan container. Dalam Artikel 6 (2a) The Hamburg Rules
dinyatakan bahwa apabila suatu peti kemas besar atau alat pengangkut
sejenis yang dipergunakan untuk mengumpulkan barang-barang,
kemasan atau satuan-satuan lain barang kiriman dengan kapal yang
disebutkan satu per satu dalam bill of lading (konosemen), maka
dianggap sebagai kemasan atau satuan-satuan barang kiriman dengan
kapal, kecuali jika barang-barang dalam alat pengangkut tersebut
dianggap sebagai satu kesatuan kiriman dengan kapal.
Selanjutnya, dalam Artikel 6 (2b) dijelaskan bahwa dalam hal
alat pengangkut itu sendiri hilang atau rusak, maka alat pengangkutan
tersebut, jika tidak merupakan milik atau disediakan oleh pengangkut,
dipandang sebagai satuan perkapalan lain yang terpisah.
Artikel 6 (4) The Hamburg Rules memperkenankan juga adanya
perjanjian tersendiri antara pengangkut dan pengirim tentang
pembatasan tanggung jawab yang jumlahnya melebihi batas yang telah
ditentukan. Dalam hal ini, pengangkut kehilangan hak untuk membatasi
tanggung jawab apabila terbukti bahwa kehilangan, kerusakan, atau
keterlambatan penyerahan barang adalah akibat dari suatu perbuatan
atau kelalaian pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan
kehilangan, kerusakan atau keterlambatan.

- 52 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Demikian pula dalam hal penuntutan dilakukan terhadap seorang


buruh atau agen pengangkut yang melakukan perbuatan dalam batas
pekerjaannya, mereka tidak berhak memanfaatkan pembatasan
tanggung jawab yang telah ditetapkan tersebut apabila terbukti bahwa
kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan barang adalah
akibat dari suatu perbuatan atau kelalaian dari buruh atau agen itu yang
melakukan perbuatan dengan maksud untuk menimbulkan kehilangan,
kerusakan, atau keterlambatan.

4. Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian


Dalam Artikel 19 The Hamburg Rules ditentukan, bahwa dalam
hal tidak ada pemberitahuan tentang kerugian atau kerusakan tentang
sifat umum dari kerugian atau kerusakan itu oleh si penerima kepada
pengangkut dalam jangka waktu yang ditentukan, maka dianggap
barang-barang telah diterima dalam keadaan baik. The Hamburg Rules
ini menegaskan bahwa jika ada kerugian atau kerusakan yang jelas
kelihatan, maka pemberitahuan tersebut harus dilakukan oleh penerima
secara tertulis, paling lambat pada hari kerja berikutnya, setelah barang-
barang diserahkan kepada penerima.
Apabila kerugian atau kerusakan tidak tampak jelas, maka
pemberitahuan tersebut harus diberikan dalam waktu 15 (lima belas)
hari setelah hari penyerahan barang-barang kepada penerima.
Pemberitahuan secara tertulis itu tidak perlu dilakukan apabila pada saat
barang itu diserahkan kepada penerima sedang diadakan penelitian oleh
kedua belah pihak, dalam hal ini penerima sendiri dan pengangkut.
Dalam hal tuntutan ganti kerugian sebagai akibat keterlambatan
penyerahan barang, The Hamburg Rules mengharuskan si penerima
untuk membuat pemberitahuan tertulis kepada pengangkut dalam waktu
60 (enam puluh) hari berturut-turut sesudah barang-barang diserahkan
kepada penerima. Pemberitahuan yang telah dilakukan oleh penerima,
baik kepada pengangkut atau kepada pelaksana pengangkut, telah
merupakan pemenuhan kewajibannya itu. Artinya, pemberitahuannya
itu cukup diberitahukan penerima kepada salah satu saja, apakah dia
sebagai pengangkut atau sebagai pelaksana pengangkut.

- 53 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Selain memberikan hak untuk menuntut kepada penerima, The


Hamburg Rules mengatur pula tentang hak pengangkut atau pelaksana
pengangkut untuk menuntut pengirim. Pemberitahuan mengenai
kerugian atau kerusakan itu diberikan secara tertulis oleh pengangkut
atau pelaksana pengangkut kepada pengirim paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sesudah hari terjadinya kerugian atau kerusakan atau
sesudah penyerahan barang-barang, mana saja yang lebih akhir.
Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada pemberitahuan
yang demikian, maka dianggap bahwa kerugian atau kerusakan yang
diderita pengangkut tidaklah disebabkan oleh karena kesalahan atau
kelalaian pengirim, buruh-buruh, agen-agennya. Selanjutnya, setiap
klaim mengenai pengangkutan barang tidak diperbolehkan jika proses
pengadilan atau perwasitan belum diadakan dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun, seperti dinyatakan dalam Artikel 20 (1) bahwa “Any action
relating to carriage of goods under this convention is time barred if
judicial or arbitral proceedings have not been instituted within a period
of two years”.
Perkataan “any action” mengandung arti setiap klaim yang
berhubungan dengan pengangkutan barang-barang, apakah itu
berdasarkan kontrak, karena kesalahan atau karena hal lain. Sehubungan
dengan hal tersebut, perlu diperhatikan maksud dari Artikel 7 The
Hamburg Rules yang menyatakan bahwa perlindungan dan pembatasan
tanggung jawab yang telah ditetapkan dalam konvensi ini dapat
digunakan untuk setiap penuntutan terhadap pengangkut berkaitan
dengan kehilangan atau kerusakan pada barang-barang yang ditutup
dengan kontrak pengangkutan laut dan juga keterlambatan dalam
penyerahan, apakah penuntutan itu berdasarkan kontrak, karena
kesalahan atau karena hal lain.
Jadi, ada keseragaman mengenai batas waktu untuk mengajukan
semua klaim, yaitu 2 (dua) tahun. Maka, pembatasan itu dimulai pada
hari ketika pengangkut menyerahkan seluruh barang, atau sebagian
darinya, atau dalam hal tidak ada barang yang diserahkan pada hari
terakhir barang-barang itu seharusnya telah diserahkan. Jangka waktu
ini dapat diperpanjang, apabila oleh yang dituntut memberikan
pernyataan tertulis kepada penuntut.

- 54 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Meskipun batas waktu 2 (dua) tahun tersebut sudah lewat, suatu


tuntutan ganti kerugian masih mungkin dilakukan oleh shipper dengan
jangka waktu yang diizinkan oleh hukum dari suatu negara di mana
proses itu dilakukan. Namun, waktu yang diizinkan itu juga tidak boleh
kurang dari 90 (sembilan puluh) hari sejak hari orang yang melakukan
tuntutan ganti kerugian telah menyelesaikan gugatannya.
Suatu hal yang menarik, The Hamburg Rules memberikan juga
kemungkinan penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui lembaga
arbitrase (perwasitan), asalkan saja para pihak menetapkannya secara
tertulis.

***

- 55 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

BAB II
PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Pihak yang bertanggung jawab dalam pengangkutan laut, pada


dasarnya, ialah pengangkut. Secara garis besar, terdapat 4 (empat)
prinsip tanggung jawab pengangkut, yaitu: 8
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur
kesalahan (fault liability, liability based on fault principle).
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga (rebuttable
presumption of liability principle).
3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability,
absolute/strict liability principle).
4. Prinsip limitation of liability.

A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan atas Adanya Unsur


Kesalahan
Prinsip ini disebut juga prinsip presumption of non-liability.
Menurut prinsip ini, termasuk dalam pengertian kesalahan ialah
perbuatan yang disengaja maupun kelalaian.
Suatu hal yang sangat penting dalam prinsip ini ialah masalah
beban pembuktian. Sebagai ketentuan umum, jika ada sengketa, adalah
pihak pemilik barang (penggugat) yang berkewajiban untuk
membuktikan bahwa pihak pengangkut (tergugat) telah melakukan
perbuatan melanggar hukum, telah melakukan suatu kesalahan dan
akibat kesalahannya itu menimbulkan kerugian pada pihak pemilik
barang (penggugat).

8
E. Saefullah Wiradipradja, Tentang Tanggung Jawab Pengangkut dalam
Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional (Yogyakarta: Liberty, 1989),
hal. 19.

- 56 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Prinsip tersebut berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1365


KUHPerdata. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata ialah:
1. Adanya perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat.
2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya.
3. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat dari
kesalahan tersebut.
Jadi, pengertian kesalahan di sini ialah dalam yang pengertian
umum. Adapun yang menjadi ukuran perbuatan pelaku ialah perbuatan
manusia normal yang dapat membedakan kapan dia harus melakukan
sesuatu, dan kapan dia tidak boleh melakukan sesuatu.

B. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Asas Praduga


Prinsip ini disebut juga dengan prinsip presumption of liability.
Prinsip ini menyatakan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul, kecuali dia dapat membuktikan
pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk
menghindarkan kerugian tersebut atau bahwa hal tersebut tidak
mungkin dilakukannya. Dengan adanya kata “dianggap” tersebut, maka
jelas masih ada kemungkinan bagi penggugat untuk dapat
membebaskan diri dari tanggung jawab itu.
Pada prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga ini
terdapat suatu pembalikan beban pembuktian. Artinya, pihak yang
menderita kerugian tidak perlu membuktikan bahwa dia telah dirugikan,
akan tetapi sebaliknya, pihak pengangkut yang dianggap selalu
bertanggung jawab, kecuali apabila dia (pengangkut) dapat
membuktikan bahwa dia telah mengambil semua tindakan yang
diperlukan untuk menghindari terjadinya kerugian, atau dapat
membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan kesalahan
pengangkut, atau terjadinya kerugian itu dalam keadaan terpaksa dan
memang tidak dapat dihindarkan.
Jadi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga,
upaya pembuktian merupakan beban dari pihak pengangkut.

- 57 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

C. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak


Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability) sering disebut
juga dengan absolute liability atau strict liability. Yang dimaksud
dengan prinsip tanggung jawab mutlak ialah tanggung jawab tanpa
keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan
perkataan lain, tanggung jawab timbul dengan tidak memandang apakah
terdapat kesalahan atau tidak.
Pada prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak ada kemungkinan
bagi pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali
mungkin suatu hal telah terjadi, yaitu apabila kerugian yang timbul
justru disebabkan karena kesalahan dari pihak yang mengalami kerugian
itu sendiri.

D. Prinsip Limitation of Liability


Prinsip tanggung jawab terbatas artinya pihak pengangkut
tanggung jawabnya dibatasi sampai jumlah tertentu. Batas jumlah
tanggung jawab pengangkut pada pengangkutan barang melalui laut
telah diatur dalam KUHD dan beberapa konvensi internasional.
KUHD menetapkan batas maksimum tanggung jawab
pengangkut atas barang muatan ialah sejumlah Rp. 600,- (enam ratus
rupiah) per satu potong barang.
The Hague Rules 1924 membatasi tanggung jawab pengangkut
atas barang muatan hingga sejumlah £ 100 (seratus pound sterling
Inggris) per koli.
The Hague Visby Rules 1968, yang terkenal dengan Protokol
1968, menentukan batas tanggung jawab pengangkut tersebut menjadi
10.000,- france per koli atau 30 france per kilogram dari berat kotor
barang yang rusak atau hilang, mana saja yang lebih tinggi. Ditegaskan
pula bahwa 1 (satu) france berarti satu-satuan uang yang bernilai 65,5
(enam puluh lima koma lima) miligram emas dari campuran 900 per
seribu.
Carriage of Goods by Sea Act 1936, yang berlaku bagi barang
muatan yang diangkut dari/ke Amerika Serikat, menetapkan bahwa
tanggung jawab pengangkut dibatasi hingga sejumlah US $ 500 (lima
ratus dollar Amerika Serikat) per collo.

- 58 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Kemudian, menurut United Nations Convention on the Carriage


of Goods by Sea 1978, yang terkenal dengan The Hamburg Rules, batas
tanggung jawab pengangkut ialah 835 satuan uang per kilo atau 2,5
satuan per kilogram dari berat kotor barang yang rusak atau hilang.
Satuan uang ini menurut Pasal 26 konvensi tersebut ialah SDR yang
nilainya ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF).
Mengenai besarnya pembatasan jumlah ganti rugi yang
tercantum dalam ketentuan-ketentuan di atas, mungkin memang ada
yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan praktik masa kini.
Karena itu, khususnya untuk tingkat nasional, penentuan batas jumlah
ganti rugi sebaiknya dilakukan melalui suatu peraturan pemerintah, agar
mudah dilakukan perubahan sesuai dengan dinamika keadaan
perekonomian.

***

- 59 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

BAB III
ASURANSI LAUT DALAM KAITANNYA DENGAN
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Pada umumnya, barang-barang yang diangkut dengan kapal laut


diasuransikan oleh pemiliknya, dalam hal ini oleh pengirim atau
penerima, pada salah satu perusahaan asuransi. Hal tersebut
dikarenakan, di dalam pengangkutan laut, pemilik barang selalu
menghadapi risiko bahwa barang-barangnya yang diangkut itu
kemungkinan sampai di tempat tujuan akan dapat berkurang nilai dan
barangnya, baik karena hilang, karena kerusakan selama
berlangsungnya pengangkutan, karena musnah, ataupun karena sebab
yang lain. Pemilik barang dapat memperkecil risiko tadi dengan
mengalihkannya kepada pihak lain, yaitu perusahaan asuransi.
Untuk hal tersebut di atas, dibuatlah perjanjian pertanggungan
laut, di mana perusahaan asuransi sebagai penanggung, dan pemilik
barang sebagai tertanggung yang dalam hal ini berkewajiban untuk
membayar premi. Apabila terhadap barang-barang yang diasuransikan
itu terjadi kehilangan/kerusakan, maka pada hakekatnya pemilik barang
dapat menuntut ganti kerugian langsung kepada perusahaan asuransi
yang bersangkutan. Berhasil atau tidaknya tuntutan yang demikian
tentunya bergantung pula pada polis asuransi yang telah disetujui dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Apabila ternyata terhadap tuntutan tersebut telah dibayarkan
penggantian kerugian oleh pihak asuransi kepada penerima sebagai
pemilik barang tadi, maka selanjutnya pihak perusahaan asuransi dapat
bertindak atas nama penerima dan berhak kemudian menuntut
kemungkinan pembayaran ganti kerugian kepada pihak pengangkut.
Hal yang telah dijelaskan di atas disebut dengan hak subrogasi,
yang dinyatakan dalam Pasal 284 KUHD yang berbunyi sebagai
berikut: “Penanggung yang membayar kerugian dari suatu benda yang

- 60 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

dipertanggungkan mendapat semua hak-hak yang ada pada si


tertanggung terhadap orang-orang ke tiga mengenai kerugian itu dan
tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin
dapat merugikan hak dari penanggung terhadap orang-orang ke tiga
itu”.
Sebaliknya, pihak pengangkut berhak pula meminta kepada
pihak asuransi untuk menunjuk bukti yang sah, bahwa pengganti
kerugian benar-benar telah dilakukan pada pihak penerima. Bukti
keterangan ini disebut dengan subrogation form, di mana penerima
menyatakan telah menerima penggantian kerugian dari pihak asuransi
yang bersangkutan, dan dengan demikian hak menuntut kerugian telah
berpindah kepada pihak asuransi. Jika syarat-syarat tersebut telah
dipenuhi, maka penyelesaian tuntutan kerugian yang berhubungan
dengan itu akan berlangsung antara pihak asuransi dan pihak
pengangkut.
Oleh karena itu, apabila timbul sengketa mengenai tanggung
jawab pengangkut, maka yang muncul sebagai pihak-pihak ialah
perusahaan pelayaran selaku tergugat, sedangkan perusahaan asuransi
sebagai penggugat yang telah memperoleh hak subrogasi dari pemilik
barang.
Di samping asuransi yang ditutup oleh pemilik barang tadi,
maka perusahaan pelayaran sebagai pengangkut dapat pula mengikat
suatu perjanjian asuransi. Secara garis besar, di dalam asuransi terdapat
2 (dua) kelompok kepentingan yang berhubungan dengan kapal yang
digunakan untuk pengangkutan. Pertama, kepentingan yang secara
langsung berhubungan dengan kapalnya sendiri, berupa kerugian akibat
dari rusak kapal. Terhadap kerugian ini, maka pemilik kapal akan
memperoleh penggantian biaya kerusakan dari perusahaan asuransi
dengan menutup hull and machinery insurance. Demikian pula apabila
barang tidak sampai di tangan, sehingga pemilik kapal tidak menerima
freight, maka kerugian inipun akan ditutup oleh perusahaan asuransi.
Kepentingan yang ke dua, berupa kerugian pemilik kapal akibat
dari tanggung jawabnya kepada pihak ke tiga. Apa yang terjadi selama
dia mengoperasikan kapalnya, misalnya sebagai akibat dari adanya
suatu perjanjian pengangkutan, maka pengangkut mempunyai

- 61 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kewajiban untuk membawa barang muatan sampai ke tempat tujuan.


Pengangkutan melalui laut yang penuh bahaya dan kadang-kadang sulit
untuk diduga, menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh
pengangkut menjadi sangat berat.
Oleh karena itu, di samping membuat klausula-klausula yang
membatasi tanggung jawabnya tersebut, pengangkut dapat pula
mengalihkan tanggung jawabnya itu kepada pihak lain. Perusahaan
asuransi tidak selalu menyediakan diri sebagai penanggung. Untuk hal-
hal yang tidak dapat diadakan penutupan asuransi biasa, maka lazimnya
dalam praktik ditampung oleh Protection and Indemnity Club (P and I
Club). Tanggung jawab dari perusahaan pelayaran sebagai pengangkut
barang muatan dapat dibebankan kepada P and I Club tersebut.
Setiap pemilik kapal, terutama pemilik kapal yang beroperasi ke
luar negeri, pada dasarnya dapat menjadi anggota dari asosiasi dengan
membayar iuran setiap tahun. Besarnya iuran didasarkan atas tonase
(tonnage) kapal yang dimiliki anggota. Dari jumlah iuran yang
dikumpulkan itu P and I Club dapat membayar kerugian yang diderita
oleh anggotanya. Iuran yang dibayar anggota ini ialah semacam premi
dalam asuransi.
Sifat keanggotaannya ialah sukarela, sehingga perusahaan
perkapalan bebas untuk masuk atau keluar dari P and I Club ini.
Besarnya tanggung jawab P and I Club atas tanggung jawab yang
dihadapi perusahaan perkapalan (anggotanya) serta klaim-klaim yang
bagaimana yang akan diperoleh dari klub diatur dalam ketentuan
tersendiri yang disebut P and I Rules.
Jumlah klaim yang dibayar shipper hanya bisa diperolehnya dari
klub kalau jumlah itu dibayar sesuai dengan kontrak pengangkutan.
Oleh karenanya, klub pada umumnya selalu minta kepada pemilik kapal
agar sebelum menyetujui suatu tanggung jawab kepada pihak lain
memberitahukan hal tersebut terlebih dulu kepada Representatives dari
P and I Club setempat.

- 62 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

Di samping itu, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemilik


kapal agar klaim yang diajukan kepada klub dapat diterima ialah: 17
1. Keadaan kapal haruslah mengikuti syarat-syarat yang
ditentukan oleh Biro Klasifikasi, antara lain, kapal harus layak
laut (sea worthy). Apabila tidak, maka klaim yang terjadi tidak
akan dijamin oleh klub.
2. Pemilik kapal harus melakukan segala usaha untuk
memperkecil kerugian.
3. Pemilik kapal jangan menyelesaikan sesuatu klaim atau
menyetujui sesuatu tanggung jawab sebelum mendapatkan
persetujuan dari klub.
Jadi, untuk mengatasi masalah yang timbul berkaitan dengan
tanggung jawab pengangkut ini, maka perusahaan-perusahaan pelayaran
dapat menjadi anggota dari P and I Club. Apabila terjadi kerugian atas
barang muatan yang diangkutnya dan perusahaan pelayaran sebagai
pengangkut harus bertanggung jawab, maka dia harus melaporkan
kepada P and I Club di mana perusahaan pelayaran itu terdaftar sebagai
anggota P and I Club. Dan klub inilah yang akan mengambil alih risiko
yang dipikul oleh perusahaan pelayaran tadi.
Sebagai contohnya, pertanggungjawaban atas risiko kekurangan
dan/atau kerusakan terhadap barang/muatan yang diangkut oleh kapal-
kapal PT. Djakarta Lloyd telah diasuransikan kepada P and I Club,
yaitu The Britannia Steam Ship Association Ltd., di London. Untuk
setiap kasus yang bernilai lebih dari US $ 1.000.00 harus segera
dilaporkan kepada P and I Club yang bersangkutan atau melalui P and I
Local Correspondents untuk mendapatkan pengesahan dan penyelesaian
yang baik dan tepat.
Dengan demikian, apabila port claim agents menerima tuntutan
klaim yang bernilai lebih dari US $ 1.000.00 hendaklah segera
melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang diperlukan, dan segera
pula diteruskan kepada general claims agent. General claims agent
yang menerima klaim tersebut hendaklah meneliti lebih lanjut
kelengkapannya serta dokumen-dokumen yang mendukungnya, untuk

17
J. Tinggi Sianipar, Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance),
Prinsip-Prinsip Pokok dalam Pengurusan dan Penyelesaian Klaim (Jakarta), hal. 85.

- 63 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

kemudian diteruskan kepada P and I Club yang bersangkutan melalui


local correspondent yang ada. Selanjutnya, penyelesaian klaim ini
berada di tangan general claims agent melalui konsultasi P and I Club.
Pada akhir setiap tahun, general claims agent harus
memberitahukan P and I Club mengenai semua kasus klaim yang
diterima dan diselesaikan selama tahun itu dengan mengirimkan
tembusan dari semua claim sheets. Apabila nilai klaim yang
bersangkutan melebihi voyage deductible sebagaimana dinyatakan
dalam asuransi P and I yang ditutup, maka general claims agent
hendaklah mengurus dan melaksanakan claim re-imbursement langsung
dengan P and I Club serta tembusan kepada Biro Hukum, Klaim dan
Asuransi Kantor Pusat di Jakarta.
Bagi perusahaan pelayaran yang beroperasi di dalam negeri
kurang dirasakan manfaatnya menjadi anggota P and I Club ini. Hal
tersebut disebabkan, antara lain, tidak terdapatnya keseimbangan antara
pendapatan dan premi yang dirasakan cukup berat untuk dibayar oleh
pihak perusahaan pelayaran.

***

- 64 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

BAB IV
INCOTERM DALAM PENGANGKUTAN BARANG

A. Tujuan Incoterm
Tujuan incoterm ialah untuk menyediakan seperangkat aturan
internasional bagi penafsiran ketentuan perdagangan yang secara umum
banyak digunakan dalam perdagangan luar negeri. Dengan demikian,
ketidakpastian akibat perbedaan penafsiran ketentuan di negara-negara
yang berbeda dapat dihindari atau setidaknya dikurangi hingga suatu
tingkatan yang dapat dipertimbangkan. Cakupan incoterm hanyalah
terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan hak serta kewajiban
pihak-pihak yang terdapat dalam kontrak penjualan berkaitan dengan
pengiriman barang yang terjual. 9
Penting sekali bagi eksportir dan importir untuk
mempertimbangkan hubungan yang amat praktis antara berbagai
kontrak yang diperlukan untuk menampilkan suatu transaksi penjualan
internasional, di mana bukan hanya kontrak penjualan saja yang
dibutuhkan namun juga kontrak mengenai pengangkutan, asuransi, dan
pendanaan incoterm.
Incoterm diterapkan dengan suatu jumlah kewajiban yang
dikenali yang ditetapkan pada pihak-pihaknya, seperti misalnya
kewajiban penjual untuk menempatkan barang pada tempat yang
ditentukan pembeli, atau menyerahkan suatu barang itu untuk segera
diadakan pengangkutan, atau mengantar barang tadi pada suatu tujuan
serta dengan distribusi risiko di antara para pihak yang terikat dalam
perjanjian pengangkutan.
Incoterm diterapkan dengan kewajiban untuk mengurus barang
untuk ekspor dan impor, pengepakan barang, kewajiban pembeli untuk
pengambilan pengiriman, sebagaimana juga kewajiban untuk
9
R.P. Suyono, Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui
Laut (Jakarta: PPM, 2003), hal. 351.

- 65 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

menyerahkan bukti bahwa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan


telah sepenuhnya dipenuhi.
Secara umum, incoterm tidaklah diterapkan dengan maksud
menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaan kontrak dan/atau
bagi pembebasan manapun dari kewajiban karena adanya kendala dalam
pelaksanaan kontrak tersebut. Pertanyaan-pertanyaan (permasalahan)
yang kemudian timbul justru harus diselesaikan ulang dengan kondisi
yang lain (kondisi yang baru) dalam kontrak penjualan dan hukum yang
berlaku.
Incoterm sejak awal dimaksudkan untuk proses jual beli, di
mana barang yang dijual ialah untuk pengiriman lintas negara. Jadi, ini
sebenarnya merupakan terminologi dalam proses dagang internasional.
Akan tetapi, incoterm dalam praktiknya, di saat yang sama juga
diadopsi dalam kontrak untuk penjualan barang pada lingkup pasar yang
murni lokal.

B. Pencantuman Incoterm ke dalam Kontrak Penjualan


Dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang
dilakukan pada incoterm dari waktu ke waktu, maka adalah penting
untuk menjamin bahwa pihak-pihak dalam kontrak bermaksud untuk
mencantumkan incoterm dalam kontrak penjualan mereka, suatu
rujukan yang jelas selalu dibuat pada versi incoterm yang ada.
Kelalaian dalam mengacu suatu versi yang ada mungkin bisa
berdampak perselisihan berkaitan dengan apakah para pihak dalam
kontrak bermaksud untuk mencantumkan versi itu atau versi yang
sebelumnya sebagai bagian dari kontraknya. Para pedagang yang
bermaksud untuk menggunakan Incoterm 2000 oleh karenanya bisa
secara jelas menyebutkan bahwa kontrak mereka diatur oleh Incoterm
2000 tersebut. 10

C. Penyampaian Risiko dan Ongkos Berkaitan dengan Barang


Risiko hilang atau kerugian pada barang, sebagaimana
kewajiban untuk mengeluarkan ongkos berkaitan dengan barang, beralih

10
Amir M.S., Seluk-Beluk dan Tehnik Perdagangan Luar Negeri (Jakarta:
Victory Jaya Abadi, 2003), hal. 133.

- 66 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

dari penjual kepada pembeli ketika penjual telah memenuhi


kewajibannya dalam menyerahkan barang. Oleh karena pembeli tidak
boleh diberikan kemungkinan untuk menunda penyampaian risiko dan
pengeluarannya, semua tahap yang terkondisikan dalam penyampaian
risiko dan ongkos dapat terjadi bahkan sebelum pengapalan, jika
pembeli tidak melakukan pengiriman sebagaimana disetujui atau lalai
untuk memberi perintah demikian (berkenaan dengan waktu untuk
pengiriman dan/atau tempat pengiriman) sebagaimana diminta oleh
penjual dengan maksud untuk memenuhi kewajibannya untuk
mengirimkan barang.

D. Cost Insurance and Freight


Cost insurance and freight (CIF) artinya penjual melakukan
penyerahan barang-barang bila barang-barang melewati rel/pagar
(derek/crane menuju) kapal di pelabuhan pengapalan.
Penjual membayar semua ongkos dan biaya pengapalan yang
perlu untuk mengangkut barang sampai ke pelabuhan tujuan yang telah
ditetapkan, tetapi risiko kehilangan dan kerusakan barang, berikut setiap
biaya tambahan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi setelah
waktu penyerahan itu, dialihkan dari penjual ke pembeli. Akan tetapi,
dalam CIF, penjual juga wajib menutup asuransi laut terhadap risiko
kehilangan atau kerusakan barang yang mungkin diderita pembeli
selama dalam perjalanan.
Berdasarkan hal tersebut, penjual melakukan percukupan
asuransi dan membayar premi asuransi. Pembeli perlu mengetahui
bahwa berdasarkan ketentuan CIF, penjual diwajibkan menutup asuransi
hanya dengan syarat berhubungan minimum. Jika pembeli ingin
mendapatkan perlindungan penutupan yang lebih luas, maka pembeli
harus menyetujuinya dengan penjual secara jelas, atau pembeli sendiri
harus mengurus asuransi tambahan itu.
Ketentuan CIF mengharuskan penjual untuk mengurus segala
sesuatu sehingga barang siap untuk diekspor. Ketentuan ini hanya dapat
digunakan bagi pengangkutan lewat laut atau pengangkutan lewat
sungai atau danau saja.

- 67 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

E. Kewajiban Penjual
1. Ketentuan barang sesuai dengan kontrak. Penjual
menyediakan barang dan faktur dagang, atau pesan yang
dikirimkan melalui alat elektronik, yang sesuai dengan kontrak
penjualan dan bukti lain yang ditetapkan dalam kontrak.
2. Perizinan, kuasa dan formalitas. Penjual menyediakan atas
risiko dan biaya sendiri izin ekspor dan surat lainnya dari
pemerintah yang berwenang di mana dapat diterapkan semua
formalitas kepabeanan yang diperlukan untuk keperluan
eksportir barang.
3. Kontrak pengangkutan dan asuransi:
a. Kontrak pengangkutan. Penjual harus membuat
perjanjian sesuai dengan syarat-syarat yang lazim atas
biaya sendiri untuk pengangkutan barang-barang ke
pelabuhan tujuan yang ditetapkan melalui rute yang
lazim untuk pelayaran yang biasa di laut dengan yang
secara normal digunakan untuk pengangkutan barang
sesuai dengan rincian kontrak.
b. Kontrak asuransi. Penjual menutup atas biaya sendiri
asuransi muatan sebagaimana disepakati dalam kontrak,
bahwa pembeli, atau siapapun yang berkepentingan
terhadap pengasuransian barang yang bersangkutan, akan
berhak untuk mengajukan tuntutan secara langsung ke
perusahaan asuransi yang bersangkutan sepanjang
pembeli telah diberi polis asuransi atau bukti penutupan
asuransi lainnya. Asuransi ini diperjanjikan dengan
penanggung atau suatu perusahaan asuransi yang
mempunyai reputasi baik dan harus sesuai dengan
penutupan minimum dari Institute Cargo Clause atau
beberapa susunan clause yang hampir sama.
4. Penyerahan barang. Penjual mengirim barang di atas kapal di
pelabuhan pengapalan pada tanggal atau periode yang telah
disepakati.
5. Pengalihan risiko. Penjual, berdasar ketentuan, menanggung
semua risiko kehilangan atau kerusakan atas barang sampai

- 68 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

pada waktu barang-barang melewati rel/pagar kapal di


pelabuhan pengapalan.
6. Pembagian ongkos. Penjual, dengan ketentuan membayar:
a. Semua ongkos yang berkaitan dengan barang sampai
dengan barang tersebut dikirimkan sesuai ketentuan yang
disepakati, dan;
b. Ongkos pengangkutan dan semua biaya termasuk ongkos
pemuatan barang ke atas kapal, dan;
c. Ongkos sesuai yang ditentukan, dan;
d. Ongkos bongkar di pelabuhan pembongkaran yang
ditentukan yang merupakan beban penjual berdasarkan
kontrak pengangkutan, dan membayar biaya asuransi,
dan;
e. Jika dapat diterapkan, membayar semua ongkos
formalitas kepabeanan dan juga bea, pajak, dan biaya
lain yang dibayarkan saat ekspor, dan bagi pengalihan
barang itu melalui negara lain jika barang itu merupakan
beban penjual berdasarkan kontrak pengangkutan.
7. Pemberitahuan kepada pembeli. Penjual memberitahukan
dalam waktu yang cukup kepada pembeli bahwa barang telah
dikirimkan serta hal-hal lain yang perlu diberitahukan kepada
pembeli untuk melakukan langkah-langkah yang perlu untuk
mengambil barang yang bersangkutan.
8. Bukti pengiriman, dokumen pengangkutan atau pesan
elektronik sejenis. Penjual menyediakan untuk pembeli, atas
biaya penjual dengan secepatnya dokumen pengangkutan yang
lazim untuk persetujuan pelabuhan tujuan yang ditetapkan.
Dokumen yang bersangkutan (misalnya bill of lading yang
negotiable, atau dokumen pengangkutan barang) harus
memuat kontrak barang-barang tersebut, ditanggali dalam
periode yang disetujui untuk pengapalan, agar pembeli dapat
mengajukan tuntutan barang yang bersangkutan dari maskapai
pelayaran di pelabuhan tujuan dan, terkecuali jika sebaliknya
disepakati, yang menyerahkan pembeli dari menjual barang-
barang di pelabuhan transit dengan memindahkan dokumen

- 69 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

pada pembeli berikutnya (bill of lading yang negotiable) atau


dengan memberitahu pihak pengangkut. Apabila suatu
dokumen transit diterbitkan dalam beberapa lembar asli, 1
(satu) set asli harus diserahkan kepada pembeli. Jika penjual
dan pembeli telah menyepakati untuk berkomunikasi secara
elektronik, dokumen tersebut di atas dapat diganti dengan yang
sama yang dikirimkan secara electronic data interchange
(EDI).
9. Pemeriksaan, pengepakan, pemberian tanda. Penjual
membayar semua ongkos atas pemeriksaan (misalnya mutu,
kubikasi, berat, penghitungan) yang diperlukan sehubungan
dengan penyerahan barang. Penjual menanggung biaya
pengepakan sendiri (terkecuali jika perjanjian tidak
mensyaratkan pengepakan) yang diperlukan bagi
pengangkutan barang yang diatur oleh penjual. Pengepakan
diberi tanda secara benar.
10. Kewajiban lain. Penjual menyediakan untuk pembeli atas
permintaan, risiko dan biaya pembeli, setiap bantuan dalam
memperoleh dokumen atau pesan yang dikirim secara
elektronik yang diterbitkan atau dikirim/ditransmisikan dari
negara pengiriman dan/atau negara asal agar pembeli dapat
mengurus pengimporannya, termasuk jika perlu, untuk transit
melalui negara lain. Penjual harus menyediakan bagi pembeli,
atas permintaan informasi yang diperlukan untuk menyediakan
bagi mendapatkan asuransi.

F. Kewajiban Pembeli
1. Pembayaran harga. Pembeli harus membayar harga
sebagaimana yang terdapat pada kontrak penjualan.
2. Perizinan, kuasa dan formalitas. Pembeli harus memperoleh
atas risiko dan biaya sendiri setiap izin impor maupun kuasa
resmi lainnya yang dapat diterapkan dan menyelesaikan semua
formalitas kepabeanan dalam rangka pengimporan barang-
barang dan bagi pengalihannya melalui negara lain.

- 70 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

3. Kontrak pengangkutan dan asuransi:


a. Kontrak pengangkutan: tidak ada kewajiban.
b. Kontrak asuransi: tidak ada kewajiban.
4. Penerimaan barang. Pembeli menerima barang ketika barang
telah dikirim, dan menerimanya dari pengangkut di pelabuhan
tujuan yang disebutkan.
5. Pengalihan risiko. Pembeli harus menanggung semua risiko
kehilangan atau kerusakan barang sejak barang melalui
rel/pagar kapal pada pelabuhan muat pengapalan yang
disebutkan. Pembeli, jika gagal memberitahukan penjual
tentang waktu pengapalan dan/atau pelabuhan tujuan, maka
pembeli menanggung semua risiko kehilangan atau kerusakan
barang mulai dari tanggal disetujui atau tanggal berakhirnya
dari periode yang ditentukan untuk pengapalan barang yang
bersangkutan asalkan penyerahan barang tersebut tidak sesuai
dengan perjanjian yang dibuat.
6. Pembagian ongkos. Pembeli sejalan ketentuan, membayar:
a. Semua ongkos sejak barang tersebut dikirimkan sesuai
ketentuan perjanjian, dan;
b. Setiap ongkos dan biaya berkenaan dengan waktu transit
hingga di pelabuhan tujuan, kecuali ongkos-ongkos dan
biaya tersebut merupakan beban penjual sesuai kontrak
pengangkutan, dan;
c. Ongkos pembongkaran termasuk ongkos tongkang dan
dermaga, kecuali ongkos dan biaya tersebut merupakan
beban penjual berdasarkan kontrak pengangkutan, dan;
d. Setiap ongkos tambahan yang terjadi karena pembeli
telah lalai dalam memberikan pemberitahuan, untuk
barang sejak tanggal yang disepakati atau tanggal
berakhirnya dari periode yang ditentukan untuk
pengapalan asalkan pengapalan barang telah sesuai
dengan kontrak yang dibuat, dan;
e. Semua bea, pajak, dan biaya lain serta ongkos formalitas
kepabeanan yang dibayarkan saat pengimporan barang

- 71 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

dan bagi pengalihan melalui negara lain, kecuali


termasuk dalam biaya kontrak pengangkutan.
7. Pemberitahuan kepada penjual. Pembeli berhak untuk
menentukan waktu untuk pengapalan barang dan/atau
pelabuhan tujuan serta memberitahukan kepada penjual
mengenai hal tersebut.
8. Bukti pengiriman, dokumen pengangkutan, atau pesan
elektronik sejenis. Pembeli menerima bukti pengiriman barang
(dokumen pengapalan) sepanjang sesuai dengan kontrak.
9. Pemeriksaan barang. Pembeli membayar ongkos setiap
pemeriksaan prapengapalan, terkecuali mandat pemeriksaan
diperintahkan oleh pihak yang berwenang dari negara
pengekspor.
10. Kewajiban lain. Pembeli membayar semua ongkos dan biaya
yang terjadi dalam mendapatkan dokumen atau pesan secara
elektronik yang disebut dan membayar kembali semua biaya
yang ditanggung penjual atas bantuannya dalam pengurusan
tersebut. Atas permintaan, pembeli harus menyediakan untuk
penjual informasi yang diperlukan bagi penutupan asuransi. 11

***

11
International Chamber of Commerce, Incoterms 2000 (Paris: ICC, 1999),
hal. 57.

- 72 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)

DAFTAR PUSTAKA

International Chamber of Commerce. Incoterms 2000. Paris: ICC, 1999.

Ivamy, E.R. Hardy. Case Book on Carriage by Sea. London: Lloyds of


London Press Ltd., 1985.

Mankabady, Samir. “The Hamburg Rules on the Carriage of Goods by


Sea”. Dalam Mankabady, Samir, ed. Comments on the Hamburg
Rules. Boston: Sythoff-Leiden, 1978.

M.S., Amir. Seluk-Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta:


Victory Jaya Abadi, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Laut bagi Indonesia. Sumur, 1984.

Purba, Radiks. Angkutan Muatan Laut, Jilid III. Jakarta: Bharata Karya
Ahsna, 1982.

Sardjono, Sapto. Hukum Dagang Laut bagi Indonesia. Jakarta: CV.


Simplex, 1985.

Sianipar, J. Tinggi. Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance)


Prinsip-Prinsip Pokok dalam Pengurusan dan Penyelesaian
Klaim. Jakarta.

Suyono, R.P. Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor melalui


Laut. Jakarta: PPM, 2003.

UNCTAD. “Review of Maritime Transport 1987”. New York, 1988.

Wiradipradja, E. Saefullah. Tentang Tanggung Jawab Pengangkut


dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional.
Yogyakarta: Liberty, 1989.

***

- 73 -

Anda mungkin juga menyukai