Anda di halaman 1dari 15

Faisya Salsabila Nadhifa_30102100083

1. Bagaimana etiologic infeksi bakteri dari keluhan yang dialami pasien sesuai dengan
scenario (shindy)
Jawab :
PIODERMA  Merupakan radang kulit yang disebabkan oleh bakteri pembuat nanah,
seperti Streptococcus β hemolitycus, Staphylococcus aureus/albus,
Corynebacterium minutissimum, dan bakteri gram negatif lainnya.
Pada umumnya, sebanyak 60 % individu normal ditemukan S. aureus
yang tumbuh intermiten pada kulit dan mukosa. Pada umumnya bakteri ini akan
bertumbuh pada kulit yang lembab seperti area inguinal, aksila dan perirektal,
begitupun pada mukosa nasal, faring dan rektal. Faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan bertumbuhnya bakteri tersebut termasuk dermatitis atopi,
diabetes melitus, kelainan ginjal pada pasien hemodialisa, pengguna obat
intravena, disfungsi liver, dan penyakit genetik atau yang berhubungan dengan
menurunnya daya tahan tubuh termasuk didalamnya HIV, kekurangan gizi,
anemia dan keganasan. Kebersihan individu yang kurang dapat menjadi salah
satu faktor resiko. Penularan penyakit ini dapat terjadi akibat kontak langsung
dengan
penderita atau udara.
Klasifikasi :
- Pyoderma primer  Infeksi yang mengenai kulit yang normal.

- Pyoderma sekundr  Infeksi pada kulit yang sudah ada penyakit kulit lain
sebelumnya.
Sehingga dalam pioderma sekunder disebut impetigenisata, misal eczema
vulgaris impetigenisata, prurigo impetigenisata, varisela impetigenisata,
hidradenitis supurativa, intertrigo, ulkus. (Harlim, 2016)
Sumber : Harlim, A. (2016) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Dermatitis.
2. Bagaimana mekanisme timbulnya plenting plenting air yang dialami pasien disekitar
mulut dan hidung (rosemary)
Jawab :
Karena pada kasus ini terjadi infeksi oleh bakteri streptococcus dan staphylococcus,
maka akan memicu inflamasi. Yang mana pada prosesnya inflamasi akan
diperantarai oleh neutrophil yang nantinya berfungsi dalam membunuh
bakteri/merusak jaringan yang telah terinfeksi. Pembentukan cairan pus ini terjadi
ketika neutrophil menyatu dengan bakteri yang menginfeksi jaringan tersebut.
Bakteri ini nantinya akan mengakibatkan supurasi (pembentukan pus yang terdiri
dari campuran neutrophil dan bakteri) setempat. Bakteri yang menyebabkan
supurasi ini disebut sebagai “piogenik” (membentuk pus). Selain itu, pus juga terdiri
dari cairan edema, yang mana pada proses inflamasi dapat mengakibatkan
kebocoran pembuluh darah akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Sehingga dapat diasumsikan jika cairan pus ini merupakan akumulasi dari neutrophil,
bakteri, dan cairan edema.

Vesikel adalah suatu penonjolan kulit dengan batas tegas, berisi cairan serous dan
diameternya < 1 cm. Jika diameter > 1 cm disebut bula, vesikel terdiri atas dua jenis,
antara lain (Budimulja, 2007):
- Vesikel/bula intraepidermal atau suprabasal
a. Spongiosis
Vesikel atau bula yang terjadi karena proses spongiosis dimulai dengan
terjadinya edema interselular di antara sel-sel keratinosit yang terisi cairan.
Contoh: dermatitis kontak alergi (DKA).
b. Degenerasi balon
Vesikel atau bula terjadi karena proses degenerasi dimulai dengan
terjadinya edema intraselular biasanya karena adanya suatu proses infeksi.
Virus akan menginfeksi sel epidermis sehingga sel kulit akan mengalami
pembengkakan akibat adanya degenerasi, spongiosum maupun nekrosis
yang disebabkan virus sehingga akan terjadi akumulasi dari cairan yang
akan terbentuk dan tertumpuk di dalam jaringan, penumpukan cairan tadi
akan memicu terbentuk vesikel. Contoh: herpes zozter, herpes simplex.
c. Akantolisis
Vesikel atau bula terjadi karena adanya proses akantolisis, yakni hilangnya
spina atau akanta atau jembatan antar sel, sehingga ikatan antara sel
menjadi hilang atau lepas, dan akhirnya akan terbentuk celah atau rongga
yang berisi cairan. Contoh: pemphigus.
d. sub-corneal
Vesikel atau bula terbentuk karena lepasnya stratum korneum dari lapisan
di bawahnya. Contoh: impetigo, miliaria kristalina.
Terdapat edema intraseluler  dipicu inflamasi melisiskan dinding sel
 sitoplasma disekitar inflamasi terkumpul  vesikel
- Vesikel/bula subepidermal atau infrabasal atau intradermal
Vesikel atau bula infrabasal terjadi karena lepasnya lapisan basal dari membrana
basalis. Vesikel atau bula yang terbentuk biasanya akibat proses autoimun.

Plenting-plenting tersebut terjadi karena proses alkantolisis, terjadi ketika


penghubung antar keratinosit yaitu desmosome yang terdiri dari desmoglein dan
desmokolin ini berkurang dikarenakan gangguan dalam pembentukan desmoglein
sehingga mengakibatkan keratinosit terlepas dari kesatuannya (sel alkantolitik) yang
nantinya akan terisi pus dan menjadi vesikel atau bula. Kerusakan desmoglein ini
diakibatkan karena bakteri yang menginfeksi (Streptococcus Beta Hemolyticus)
mengeluarkan suatu toxin yaitu tokxin eritrogenik toxin A dan B.
Sumber =
Kumar, Abbas and Aster. 2013. Robbins Basic Pathology 9th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Shumba P., Shambat S.M., Siemens N. 2019. The Role of Streptococcal and
Staphylococcal Exotoxins and Proteases in Human Necrtotizing Soft Tissue
Infections.

3. Apa saja factor predisposisi dari penyakit pada pasien di scenario (ranti)
Jawab :
Factor yang meningkatkan risiko impetigo adalah :

- Kontak langsung dengan penderita impetigo atau dengan benda-benda yang


terkontaminasi seperti handuk, pakaian, atau tempat tidur
- Memiliki riwayat penyakit kulit lain
- Turunnya daya tahan tubuh seperti, malnutrisi, anemia, DM
- Kurangnya higienitas/kebersihan
Sumber= (Maharani, 2015).
https://erepository.uwks.ac.id/4376/3/BAB%20II%20PDF.pdf

4. Bagaimana manisfestasi klinis (tanda dan gejala) dari infeksi bakteri pada pasien di
scenario (fitria)
Jawab :
IMPETIGO BULOSA IMPETIGO NON BULOSA
 Impetigo bulosa dimulai dengan  Disebut juga impetigo krustosa /
vesikel kecil yang menjadi bula impetigo contagiosa.
lembek.
 Toksin eksfoliatif A yang diproduksi  Impetigo nonbulosa sering dimulai
oleh S. aureus menyebabkan sebagai vesikel atau pustula.
hilangnya adhesi sel pada epidermis
superfisial.  Beberapa vesikel sering menyatu
 Bula mengandung cairan bening dan pecah setelah itu eksudat
atau kuning yang akhirnya purulen membentuk kerak
berkembang menjadi purulen atau berwarna madu yang khas.
gelap.
 Tidak ditemukan eritema dan  Basis eritematosa juga ada.
edema disekitar lesi.
 Setelah bula pecah, dasar  Seringkali ada banyak lesi di wajah
eritematosa terdapat pinggiran dan ekstremitas, terutama di area
bersisik. di mana barrier kulit telah rusak.
 Impetigo bulosa tidak membentuk
kerak berwarna madu.
 Penyebaran yang cepat dan setiap
 Lesi paling sering terbentuk di
lesi berdiameter 1 hingga 2 cm dan
daerah intertriginosa dan pada
tumbuh secara sentrifugal.
batang tubuh dan, tidak seperti
impetigo nonbulosa, dapat terjadi
 Penemuan lesi satelit, yang
pada membran bukal.
disebabkan oleh inokulasi sendiri,
 Biasanya ada lebih sedikit lesi
sering terjadi seringkali di area kulit
daripada impetigo non-bulosa.
tanpa barier.
 Limfadenopati regional tidak ada.
 Gejala sistemik, seperti demam,
lebih sering terjadi.  Terdapat dominasi lesi di area yang
 Impetigo bulosa paling sering terjadi terpapar, terutama di tungkai dan
pada anak usia dua hingga lima wajah
tahun.
 Limfadenopati regional ringan
sering terjadi.

 Gejala sistemik seperti demam


biasanya tidak ada pada impetigo
nonbulosa. Namun bisa terjadi
pada kasus yang parah
(Impetigo bulosa di area genital -
pustula utuh dan lembek, eksulserasi
dan scaling di collarette) (Impetigo-vesikel berkerak, kerak
berwarna madu)

(Impetigo bulosa – collarette


deskuamasi dan lepuh lembek)
(impetigo berkerak di lengan)

(Impetigo bulosa di area popok)

(Impetigo berkrusta (non-bulosa) di


wajah) (Nardi and Schaefer, 2023)

Sumber : Nardi, N. M. and Schaefer, T. J. (2023) Impetigo, StatPearls. StatPearls


Publishing. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30582783 (Accessed:
13 April 2023).

5. Apa saja jenis wujud kelainan kulit lain (macam macam) yang disebabkan dari
infeksi bakteri? (faisya)
Jawab :
UKK PRIMER  (terjadi pada kulit yang UKK SEKUNDER  (akibat
semula normal/ kelainan yang pertama) perubahan yang terjadi pada
efloresensi primer)
- Makula  perubahan warna - Skuama  sisik berupa
pada kulit tanpa perubahan lapisan stratum korneum
bentuk, memiliki batas tegas, yang terlepas dari kulit.
terjadi karena:
hipo/hiperpigmentasi,
pigmentasi dermal (biru), dilatasi
kapiler (merah).

- Krusta  kerak atau


keropeng yang menunjukkan
adanya cairan
serum atau darah yang
mongering. Darah (hitam),
serum (kuning), pus (kunig
kecoklatan- kuning
- Papula  penonjolan padat di kehijauan).
atas permukaan kulit, diameter <
0.5 cm, berisikan zat padat.
Terjadi karena : deposit
metabolic, infiltrate pada dermis,
hyperplasia lokalisata elemen
seluler epidermis dan dermis. - Erosi  lecet kulit yang
diakibatkan kehilangan
lapisan kulit sebelum
stratum basalis, bisa ditandai
dengan keluarnya serum.

- Nodul  penonjolan padat di


atas permukaan kulit, diameter >
1 cm, berbatas tegas, jika lebih
kecil dari nodul disebut nodulus, - Ekskoriasi  lecet kulit yang
lokasi dapat di kutis maupun disebabkan kehilangan
sub kutis. lapisan kulit melampaui
stratum basalis (sampai
stratum papilare)
ditandai adanya bintik
perdarahan dan bisa juga
serum.

- Plakat  peninggian diatas


permukaan kulit seperti dataran
tinggi atau
mendatar (plateau-like) yang - Ulkus  tukak atau borok,
biasanya terbentuk dari disebabkan hilangnya
bersatunya (konfluen) beberapa jaringan lebih dalam dari
papul, diameter lebih ekskoriasi, memiliki tepi,
dari > 2 cm. dinding, dasar dan isi.
- Likenifikasi  Penebalan
- Urtika  penonjolan yang lapisan epidermis disertai
ditimbulkan akibat edema guratan garis kulit yang makin
jelas, akibat garukan atau
setempat yang
usapan yang bersifat kronis.
timbul mendadak dan hilang
perlahan.

- Vesikel  gelembung berisi - Fisura  hilangnya


cairan jernih (serum) diameter < epidermis dan dermis yang
0,5 cm berbatas tegas
berbentuk linier.

- Bula  Gelembung berisi cairan,


diameter > 0,5 cm - Atrofi  penipisan lapisan
epidermis ataupun dermis.

- Pustule --. Vesikel berisi nanah,


jika nanah mengendap di bagian - Skar  digantinya jaringan
bawah disebut vesikel hipopion. normal kulit dengan jaringan
fibrotic pada tempat
penyembuhan luka, contoh :
skar hipertrofi, skar atrofi,
keloid.

- Kista  ruangan/ kantong


berdinding dan berisi cairan atau
material
semi solid (sel atau sisa sel),
biasanya pada lapisan dermis.
(Irawanto et al., 2018)

- Purpura  warna merah dengan


batas tegas yang tidak hilang
jika
ditekan, terjadi karena adanya
ekstravasasi dari pembuluh
darah ke jaringan.

Sumber : Irawanto, E. et al. (2018) ‘Buku Manual Keterampilan Klinik: Keterampilan


Pemeriksaan Kulit’, 7(36), pp. 1–3.

6. Bagaimana pathomekanisme (pathofisiologi) timbulnya manifestasi klinis pada


scenario (chiba)
Jawab :
Streptococcus pyogenes ( streptococcus grup A ) adalah salah satu bakteri
penyebab infeksi kulit dan jaringan lunak terpenting di seluruh dunia. Selain itu, tidak
ada patogen lain yang menyebabkan entitas klinis yang beragam seperti S. pyogenes.
Secara khusus, organisme ini menyebabkan infeksi pada lapisan keratin superfisial
(impetigo), epidermis superfisial (erisipelas), jaringan subkutan (selulitis), fasia
(necrotizing fasciitis), atau otot (myositis dan myonecrosis). (Stevens and Bryant,
2016)
Sumber : Stevens, D. L. and Bryant, A. E. (2016) Impetigo, Erysipelas and Cellulitis,
Streptococcus pyogenes: Basic Biology to Clinical Manifestations. University of
Oklahoma Health Sciences Center. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26866211 (Accessed: 13 April 2023)

7. Bagaimana pathogenesis infeksi bakteri terjadinya penyakit pada di scenario


(danyco)
Jawab :
Lesi awal dari impetigo nonbulosa berupa makula eritematosa kecil berukuran
sekitar 2 mm  berubah menjadi vesikel atau pustula  cepat berevolusi menjadi
honey-colored crusted plaque, yang diameternya bisa meluas hingga 2 cm  Lesi
dapat dikelilingi oleh makula eritematosa.
Gejala konstitusi dapat terjadi; limfadenopati regional terjadi pada 90% pasien
dengan infeksi yang kronis dan tidak diterapi. Lesi yang tidak diterapi akan menjadi
semakin luas dan dapat timbul lesi satelit di sekitarnya. Rasa gatal dan tidak nyaman
dapat terjadi. Pada beberapa pasien, lesi dapat sembuh spontan; sedangkan pada
individu yang lain lesi dapat meluas hingga ke dermis dan membentuk suatu ulkus.
Impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus seringkali terjadi pada bagian tubuh
yang terpajan lingkungan luar, terbanyak di ekstremitas inferior atau di wajah.
Lesinya dapat terlokalisir, tetapi seringkali multipel. Walaupun limfadenitis regional
seringkali terjadi, gejala sistemik jarang tampak. (Los, 2019)
Sumber : Los, U. M. D. E. C. D. E. (2019) INFEKSI BAKTERI DI KULIT. 1st edn. Edited
by D. AFIF NURUL HIDAYATI. AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS

8. Jelaskan pemeriksaan fisik pada kasus diskenario serta intepretasi hasilnya (fahrul)
Jawab :
Impetigo Krustosa

- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
Penyakit ini disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus. Predileksi dari
penyakit ini pada daerah wajah, area sekitar hidung dan mulut dimana hal ini
dikarenakan daerah tersebut merupakan sumber infeksi. Kelainan kulit dimulai
dengan papul eritem yang menjadi vesikel atau pustul dengan dasar eritem yang
dengan mudah pecah sehingga meninggalkan bekas krusta tebal bewarna kuning
seperti madu. Apabila krusta tersebut di angkat tampak erosi dibawahnya.
- Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Gram dari cairan eksudat impetigo bulosa menunjukkan kuman
kokus Gram positif yang berkelompok. Kultur dan uji resistansi kuman terhadap
antibiotik yang diambil dari sediaan lesi/aspirat dilakukan apabila lesi tidak
responsif terhadap pengobatan empiris. Staphylococcus aureus didapatkan pada
bula yang intak. Apabila lesi impetigo bulosa tidak spesifik, dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologis, didapatkan gambaran histopatologis berupa
vesikel/celah di lapisan subkorneal atau stratum granulosum, sel akantolitik di
dalam celah (blister), dengan spongiosis, edema di papila dermis, dan infiltrasi
limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah di pleksus superfisialis.
Pemeriksaan Gram dari lesi impetigo bulosa menunjukkan kuman kokus Gram
positif yang berkelompok dapat berupa Staphylococcus aureus atau Group A
Streptococcus. Kultur dan uji resistansi kuman terhadap antibiotik yang diambil
dari sediaan lesi/aspirat dilakukan apabila tidak responsif terhadap pengobatan
empiris. Pemeriksaan histopatologis dapat dilakukan apabila lesi tidak spesifik.
(Los, 2019)
Sumber : Los, U. M. D. E. C. D. E. (2019) INFEKSI BAKTERI DI KULIT. 1st edn.
Edited by D. AFIF NURUL HIDAYATI. AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS
9. Bagaimana diagnosis dan diagnosis banding penyakit yang dialami pasien pada
scenario (faiz)
Jawab :
Diagnosis di tegakan melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan Gram, kultur kuman, uji resistansi kuman terhadap antibiotic  dari
tanda gejala serta manisfetasi klinis yang dialami pasien di scenario dapat ter
diagnosis mengalami impetigo non-bulosa karena terdapat tanda khas yaitu eksudat
purulen membentuk kerak berwarna madu yang khas.
Diagnosis banding : ektima, dermatitis atopik, herpes simplek, dan varisela.

- Diagnosis banding ektima disingkirkan karena pada ektima awalnya lesi dapat
berupa pustul atau bula yang cepat membesar menjadi ulkus. Lesi mudah pecah
dan berindurasi. Lesi berbentuk bulat atau oval dengan diameter 1-3 cm,
dikelilingi halo eritem dan edema. Ektima ditutupi krusta tebal yang melekat dan
berwarna coklat tua. Jika krusta diangkat terdapat ulkus purulen seperti cangkir
dengan pinggir menimbul. Ektima biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu
tempat yang relatif banyak mendapat trauma.

- Diagnosis banding herpes simpleks disingkirkan karena dari lesi pada bibir dan
rongga mulut yang gatal atau seperti rasa terbakar. Herpes simpleks biasanya
terjadi pada usia reproduktif dan ditandai dengan vesikel berkelompok di atas
dasar kulit yang eritema. Lesi dapat soliter atau multipel dan paling sering timbul
pada atau daerah perbatasan muko-kutan. Sebelum timbul, biasanya didahului
rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi dan kemerahan pada kulit.
- Diagnosis banding dermatitis atopic disingkirkan karena pada dermatitis atopic
dia hanya terjadi macula eritem berskuama dan adanya bula/vesikel tetapi tidak
berubah menjadi krusta

- Diagnosis banding varisela papul eritem berubah menjadi vesikel mirip tetesan
embun. Vesikel berubah menjadi keruh menyerupai pustule dan menjadi krusta.
Sering terdapat vesikula pada mukosa mulut dan kadang-kadang juga pada
mukosa lain seperti pada konjungtiva.
Khas infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi (delle) yaitu vesikula
yang ditengahnya cekung ke dalam.
Sumber= Djuanda, A., Hamzah, M., & Aisah, S. (2016). Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Depok : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

10. Apa saja terapi yang tepat diberikan kepada pasien di scenario (adam)
Jawab :
- Pengobatan non-medikamentosa termasuk menjaga kebersihan dan higiene
perorangan serta mengatasi faktor predisposisi.
- Topikal: bergantung pada stadium penyakit dan morfologi kelainan kulit,dapat
diberikan:
a. Kompres terbuka:larutan permanganas kalikus 1/5000,larutan rivanol 1 ‰.

b. Diberikan pada keadaan akut, madidans dan krusta tebal serta lekat.

- Antibiotik topikal: salap/krim asam fusidat 2%, salap mupirosin 2%, salap
basitrasin dan neomisin, dioles 2x/hr
- Antibiotik sistemik: Penisilin G prokain dan semisintetiknya: amoksisilin, 30- 50
mg/kgBB/hr, 3x/hr; flukloksasilin, 50 mg/kgBB/hr, 4x/hr; atau dikloksasilin, 25
mg/kg BB/hr, 4x/hr, selama 7 hari. Dapat juga diberikan eritromisin, 30-50
mg/kgBB/hr, 3x/hr, selama 7 hari. (Daili, Menaldi and Wisnu, 2005)

(Harlim, 2016)
Sumber : Harlim, A. (2016) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Dermatitis.

11. Jelaskan komplikasi yang dialami pasien pada scenario tersebut


Jawab :
Tanpa pengobatan, infeksi sembuh dalam 14-21 hari. Sekitar 20% kasus sembuh
secara spontan. Jaringan parut jarang terjadi tetapi beberapa pasien dapat
mengalami perubahan pigmentasi. Beberapa pasien dapat mengembangkan
ecthyma. Dengan pengobatan, penyembuhan terjadi dalam 10 hari. Neonatus dapat
mengalami meningitis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah glomerulonefritis
pasca streptokokus akut, yang terjadi 2-3 minggu setelah infeksi kulit.
Sementara sebagian besar pasien membaik dengan terapi, beberapa pasien
mungkin mengalami gagal ginjal. Ini lebih mungkin terjadi jika infeksi disebabkan
oleh streptokokus. Disfungsi ginjal muncul 7-14 hari setelah infeksi. Hematuria dan
proteinuria sementara dapat berlangsung beberapa minggu atau bulan. Komplikasi
lain termasuk septic arthritis, scarlet fever, sepsis, dan staphylococcal scalded skin
syndrome. (Nardi and Schaefer, 2023)
Sumber : Nardi, N. M. and Schaefer, T. J. (2023) Impetigo, StatPearls. StatPearls
Publishing. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30582783 (Accessed:
13 April 2023).

12. Bagaimana edukasi dan pencegahan yang diberikan kepada pasien di scenario
tersebut
Jawab :
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Impetigo krustosa :
- Jika krusta banyak, dilepas dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi
salep antibiotic seperti kloramfenikol 2% dan teramisin 3%. Jika lesi banyak dan
disertai gejala konstitusi (demam, dll), berikan antibiotic sistemik, misalnya
penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin.
- Konseling dan edukasi :
a. menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun 2 kali sehari

b. menjaga kebersihan lingkungan

c. mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita

d. perbaiki keadaan umum

e. menghilangkan faktor-faktor predisposisi

- Kriteria rujukan : jika terdapat tanda-tanda komplikasi Glomerulonefritis yang


ditandai dengan tekanan darah tinggi, bengkak pada wajah atau tubuh, dan air
seni berwarna merah.
Gejala timbul 10 hari setelah impetigo pertama kali muncul; namun dapat juga
timbul 1-5 minggu kemudian. (Tiyas, Basuki and Ratnaningrum, 2017)
Sumber : Tiyas, M., Basuki, R. and Ratnaningrum, K. (2017) Buku Ajar Sistim
Integumen.
Daili, E. S. S., Menaldi, S. L. and Wisnu, I. M. (2005) ‘Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia:
Sebuah Panduan Bergambar’, pp. 1–107.
Harlim, A. (2016) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Dermatitis.
Irawanto, E. et al. (2018) ‘Buku Manual Keterampilan Klinik: Keterampilan Pemeriksaan
Kulit’, 7(36), pp. 1–3.
Los, U. M. D. E. C. D. E. (2019) INFEKSI BAKTERI DI KULIT. 1st edn. Edited by D. AFIF
NURUL HIDAYATI. AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS.
Nardi, N. M. and Schaefer, T. J. (2023) Impetigo, StatPearls. StatPearls Publishing.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30582783 (Accessed: 13 April 2023).
Stevens, D. L. and Bryant, A. E. (2016) Impetigo, Erysipelas and Cellulitis, Streptococcus
pyogenes: Basic Biology to Clinical Manifestations. University of Oklahoma Health Sciences
Center. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26866211 (Accessed: 13 April
2023).
Tiyas, M., Basuki, R. and Ratnaningrum, K. (2017) Buku Ajar Sistim Integumen.

Anda mungkin juga menyukai