Anda di halaman 1dari 30

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Teori Hipospadia

A. Definisi Hipospadia

Hipospadia, berasal dari istilah yunani, hipo (dibawah) dan spadon

(celah). Hipospadia merupakan anomali kongenital pada genitalia eksterna

laki-laki yang sering terjadi (4,5).

Hipospadia merupakan salah satu kelainan kongenital saluran kemih.

Pada hipospadia terdapat gangguan perkembangan uretra yang mana meatus

uretra eksternus terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal

dari tempatnya yang normal pada ujung penis. Pada hipospadia didapatkan

tiga kelainan anatomi dari penis yaitu meatus uretra terletak di ventral,

terdapat korde, dan distribusi kulit penis di ventral lebih sedikit dibanding di
(16)
distal .
12

B. Anatomi Fisiologi Penis

Gambar 2.1 Anatomi Penis Penampang Koronal (A) dan Sagital (B)
( Moore &Agur, 2002 )

Penis merupakan genitalia eksterna pada laki-laki yang berisi saluran

keluar bersama untuk urin dan cairan sperma. Penis dibagi menjadi 3 bagian,

yaitu : bagian ujung (glans penis), bagian tengah (korpus penis) dan bagian

pangkal (radiks penis). Kulit pembungkusnya sangat tipis dan tidak

berhubungan dengan bagian permukaan dalam dari organ dan tidak memiliki

jaringan adiposa (18).

Di belakang orifisium uretrha eksterna, kulit ini membentuk perlipatan

kecil yang disebut frenulus preputium yaitu kulit yang menutupi glans penis

bersambung dengan membran mukosa uretra pada orifisium dan tidak

mempunyai rambut. Bangunan-bangunan yang ada pada penis, yaitu :

a. Fasia Superfisialis

Secara langsung berhubungan dengan fasia skrotum dengan lapisan otot

polos. Diantara fasia superfisialis dan profinda terdapat celah yang


13

membuat kulit dapat bergerak bebas. Bagian anterior, dari ujung muskulus

bulbi kavernosus dan muskulus iskiakavernosus terbelah menjadi lapisan

dalam dan lapisan luar. Lapisan luar menutupi permukaan superior otot-

otot ini dan fasia perinealis dari perinium sedangkan lapisan dalam

merupakan lapisan fasia dan lapisan profunda. Fasia profunda dari penis

menutupi organ dengan kapsul yang kuat.

b. Korposa Kavernosa Penis

Terdiri atas dua massa silinder yang erektif dan merupakan tigaperempat

dari bagian anterior batang penis. Bangunan ini ditutupi oleh kapsul yang

kuat yang terdiri atas benang-benang superfisial dan profunda. Masing-

masing mengelilingi korpora dan membentuk septum penis. Septum ini

tebal dan terdiri atas bangunan vertikal yang disebut septum pektini

formis. Pada permukaan atas terdapat celah kecil tempat vena dorssalis

penis profunda dan permukaan bawah terdapat celah yang dalam dan luas

berisi korpus kavernosa penis.

c. Korpus Kavernosa Penis

Bagian dari penis yang berisi urethra. Di dalam batang penis terlihat

berbentuk silinder lebih kecil dari kavernosa penis. Pada ujungnya agak

melebar, bagian anterior membentuk glans penis, sedangkan bagian

posterior membentuk bulbus urethra.


14

d. Glans Penis

Bagian akhir anterior dari korpus kavernosa urethra memanjang ke dalam

bentuknya seperti jamur. Glans penis licin dan kuat, bagian perifernya

lebih besar sehingga membentuk pinggir yang bundar disebut korona

glandis. Bagian perifer menyempit membentuk bulbus retroglandularis

dari leher penis dan pada puncaknya terdapat celah dari orifisium urethra

eksterna.

e. Bulbus Urethra

Merupakan pembesaran bagian posterior 3-4cm dari korpus kavernosa

urethra, letaknya superfisial dari diafragma urogenital. Fasia superfisialis

bergabung dengan kapsula fibrosa disebut ligamentum bulbus dan ditutupi

oleh fasia bulbus kavernosus.

f. Preputium

Lipatan kulit yang menutupi glans penis, kulit ini akan dipotong atau

dibuang pada saat sirkumsisi dengan tujuan membersihkan smegma dan

urine yang menempel pada mukosa preputium penis (18).

C. Patofisiologi Hipospadia

Pertumbuhan awal genitalia eksterna pada laki-laki hampir sama

dengan pertumbuhan genitalia eksterna wanita. Diferensiasi seks pada


(19)
genitalia eksterna terjadi antara minggu ke 7-17 usia kehamilan . Dibawah

pengaruh gen SRY pada lengan pendek kromosom Y terjadi diferensiasi


15

genitalia pria, yang selanjutnya memacu pertumbuhan testis dengan memberi

sinyal pertumbuhan pertama pada sel sertoli. Sel sertoli membantu

perkembangan germ cell dan sel leydig. Dibawah pengaruh testosteron yang

diproduksi oleh sel leydig testis yang selanjutnya dikonversi menjadi

dihidrotestosteron, genitalia eksterna laki-laki berkembang menjadi duktus

genitalis dan genitalia eksterna. Mesoderm dari genitalia eksterna membesar

membentuk corpus cavernosa dan gland penis, sedangkan endoderm

mengalami tubularisasi dari proksimal menuju ke arah distal membentuk

urethra penis dan ektoderm berkembang menjadi kulit penis dan preputium
(20)
.

Gambar 2.2 Embriologi genitalia eksterna laki-laki (Sjamuhidajat, 2005)

Keterangan gambar: (A) Minggu ke-7 usia kehamilan, prekusor

diferensiasi sex dimulai. (B) Perkembangan genitalia eksterna laki-laki pada

minggu ke-7 sampai minggu ke-17 usia kehamilan. Pada perkembangan

genitalia eksterna laki-laki ditandai oleh pemanjangan cepat tuberkulum


16

genital yang disebut phallus. Selama proses pemanjangan, phallus menarik

lipatan urethra kearah distal hingga membentuk urethra penis. Namun,

saluran urethra tersebut tidak memanjang hingga ke ujung phallus. Bagian

paling distal urethra terbentuk saat sel-sel ectoderm dari ujung gland penis

menembus ke arah dalam membentuk korda epitel pentek. Korda tersebut

kemudian membentuk lumen dan disebut orificium urethra eksterna (20).

D. Faktor-faktor Etiologi Hipospadia

Penyebab terjadinya kelainan ini masih belum diketahui dengan pasti.

Namun diyakini bahwa hal ini terjadi karena adanya gangguan pada

pembentukan urethral plate secara genetik yang dipengaruhi secara hormonal

dan enzimatik. Sebagian menyebutkan ada kaitannya dengan abnormalitas

pada metabolisme androgen, dan disrupsi endokrin. Insidennya yang

cenderung meningkat dimungkinkan karena pengaruh polusi lingkungan yang

makin tinggi, dalam hal ini banyaknya paparan zat-zat yang mengandung

estrogen seperti jenis pestisida tertentu, obat-obatan herbal dan lain

sebagainya (21). Beberapa faktor penyebab terjadinya hipospadia antara lain :

1) Faktor Genetik

Sebagian besar kasus hipospadia belum diketahui penyebabnya.

Kemungkinan kombinasi faktor genetik dan lingkungan dianggap

merupakan faktor yang mempengaruhi. Ketika pembentukan urethra laki-


17

laki atau genitalia eksterna laki-laki selama trimester pertama usia

kehamilan, kecukupan kebutuhan androgen sangat dibutuhkan. Oleh

karena itu, hal tersebut menyatakan sebuah teori rasional yang

menjelaskan bahwa hipospadia merupakan sebuah kelainan abnormal

pada jalur metabolism androgen. Penutupan urethra secara normal terjadi

selama minggu ke 8-14 usia kehamilan, yang melibatkan sebuah proses

kontinyu pada fusi ventral di proksimal menuju ke arah distal. Proses

tersebut membutuhkan sintesis testosterone menjadi dihydrotestosterone

(DHT), sebuah androgen yang lebih aktif yang memegang peran

penting termasuk pembentukan genitalia eksterna dan interna.

Selanjutnya DHT terikat pada androgen receptor (AR) dan terbentuk

sinyal AR yang sesuai. Polimorfisme genetik pada gen yang

mengontrol aksi androgen dan biosintesis testosterone serta DHT

merupakan gen yang penting dalam etiologi hipospadia. Beberapa gen

diantaranya yaitu HSD17B3, Hydroxy--5-steroid dehydrogenase,3β and

steroid-1 (HSD3B1), SRD5A2, dan StAR- related lipid transfer Domain-

3(STARD3). Gen-gen tersebut menunjukkan berbagai aspek dalam

sintesis hormon dan metabolisme selama pembentukan urethra dan

genitalia eksterna laki-laki (18).

2) Faktor Lingkungan

Studi sebelumnya menyebutkan bahwa faktor lingkungan berperan

penting terhadap kejadian hipospadia. Penggunaan pestisida, kontrasepsi


18

oral, dan obat-obatan oleh ibu hamil dilaporkan berhubungan dengan

terjadinya hipospadia. Riwayat pekerjaan yang di bidang agrikultural dan

penggunaan obat nyamuk meningkatkan paparan pestisida yang

selanjutnya akan meningkatkan risiko terjadinya hipospadia. Zat kimia

yang banyak terdapat di lingkungan tersebut telah dipelajari

mengandung bahan yang dapat mengganggu endokrin (endocrine

disruptors). Endocrin disruptors merupakan bahan kimia yang dapat

menginterverensi hormonal. Menurut bukti studi pada hewan

menunjukkan bahwa endocrine disruptors tertentu dapat menyebabkan

terjadinya hipospadia melalui interferensi jalur sinyal androgen dan

estrogen selama diferensiasi seksual. Selain pestisida, fitoestrogen

juga merupakan zat yang termasuk endocrinedisruptors yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya hipospadia. Sebuah penelitian telah

mencatat bahwa peningkatan konsentrasi pestisida organoklorin di

jaringan adiposa berkorelasi dengan peningkatan usia ibu. Sumber

paparan kimia tersebut diperoleh dari produk makanan yang

dikonsumsi. Obat-obatan yang digunakan oleh ibu hamil diindikasikan

sebagai paparan yang berhubungan dengan terjadinya hipospadia,

salah satunya adalah asam valproat. Asam valproate merupakan

gonadotropin-releasing hormone-agonist yang telah dicatat memiliki

efek anti androgen, sehingga dapat mengganggu perkembangan

embriologi genitalia eksterna laki-laki. Obat lain yang dilaporkan


19

berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya hipospadia, tapi masih

membutuhkan penelitian lebih lanjut yaitu termasuk besi,

loperamide, dan anti-retroviral. Beberapa obat seperti loratadin diduga

menyebabkan hipospadia, tetapi obat tersebut tidak terbukti pada

penelitian pada manusia. Selain itu, penggunaan kontrasepsi oral pada

maternal juga dihubungan dengan terjadinya hipospadia. Paparan

diethylstilbestrol (DES) pada sirkulasi uteroplasenta dari ibu pada bayi

laki-laki dikatakan berhubungan dengan hipospadia. DES merupakan

estrogen sintetis non steroid yang digunakan di untuk mencegah

komplikasi kehamilan (22).

3) Faktor Maternal

Tingkat keparahan hipospadia dilaporkan berbanding lurus dengan

peningkatan usia ibu. Usia ibu yang lebih tua secara potensial akan

memiliki paparan lebih panjang terhadap ganguan endokrin, sehingga

menimbulkan deformitas yang lebih serius. Adanya penyakit ibu

seperti infeksi virus selama hamil, hipertensi maternal dan

preeklamsia juga merupakan salah satu faktor risiko hipospadia.

Hubungan antara hipospadia dengan hipertensi maternal serta

preeklamsia diduga akibat insufisiensi plasenta yang merupakan salah

satu faktor yang berperan terhadap terjadinya hipospadia. Selain itu,

adanya hormon endogen yang dipengaruhi oleh estradiol bebas yang

berhubungan dengan berat badan berlebih pada maternal, primiparitas,


20

dan kehamilan multipel juga dinyatakan berkontribusi terhadap


(23)
kerentanan terjadinya hipospadia . Selain itu primipara dan obesitas

maternal juga meningkatkan risiko terjadinya hipospadia. Obesitas

maternal berhubungan dengan peningkatan risiko tejadinya hipospadia

1,3-2 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan berat badan

normal. Faktor tersebut dihubungkan dengan adanya gangguan

keseimbangan androgen dan estrogen. Seorang wanita primipara dan

obesitas dinyatakan memiliki kadar estradiol bebas yang lebih tinggi


(22)
. Peningkatan paparan estrogen semasa intauterin diindikasikan akan

menyebabkan ketidaknormalan reproduksi laki-laki seperti terjadinya

hipospadia akibat kerusakan perkembangan sel leydig serta terjadi supresi

produksi testosterone atau ekspresi reseptor androgen (23).

4) Faktor Fetus

Bayi laki-laki yang lahir prematur, kembar, atau berat badan lahir rendah

memiliki hubungan dengan terjadinya hipospadia. Pada sebagian besar

kasus, bayi kembar dengan berat badan lahir rendah, salah satunya

kemungkinan besar mengalami hipospadia. Insufisiensi plasenta telah

dicatat pada berbagai studi terkait dengan kejadian hipospadia. Human

Chorionic Gonadotropin (hCG) plasenta berfungsi menstimulasi

steroidogenesis testis selama masa fetus sebelum fetus memiliki axis

pituitary–gonadal mandiri. Insufisiensi plasenta menyebabkan

ketidakcukupan hCG dan Intra Uterin Growth Retardation (IUGR), yang


21

memungkinkan penjelasan tentang hubungan antara hipospadia dan berat

badan lahir rendah serta small for gestational age (SGA) yang

konsisten, meskipun beberapa data penelitian menunjukkan data yang

tidak signifikan. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa hormon hCG

secara normal akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan

genitalia ekterna laki-laki secara sempurna, termasuk perkembangan

urethra selama minggu ke-14 kehamilan. Insufisiensi plasenta dapat

mengurangi suplai hCG ke fetus yang berakhir terjadinya hipospadia.

Walaupun, studi lain menyatakan bahwa insufisiensi plasenta

berhubungan dengan level hCG serum ibu yang tinggi. Peningkatan

frekuensi infark plasenta akibat berat badan lahir sangat rendah dan

onset dini pada IUGR, serta SGA berhubungan dengan insufisiensi

plasenta yang lebih sering terjadi pada kasus hipospadia posterior.

Riwayat kelahiran prematur yang berhubungan dengan disfungsi plasenta

yang terlambat, juga dinyatakan berhubungan dengan terjadinya

hipospadia. Meskipun studi lainnya menyatakan tidak mengkonfirmasi

tentang hal tersebut. Sebuah studi menyatakan bahwa terdapat korelasi

antara tingkat keparahan IUGR dengan tingkat keparahan hipospadia.

Secara signifikan, dinyatakan bahwa bayi dengan hipospadia yang

memiliki berat badan ketika lahir kurang dari persentil tiga dan berat

badan lahir rendah dibandingkan dengan bayi hipospadia yang sedang

dan ringan: 94% (17/18) dibanding 55% (6/11) dengan p=0.02. Dengan
22

demikian disimpulkan bahwa hipospadia berkaitan dengan IUGR yang

disebabkan oleh insufisiensi plasenta (23).

E. Klasifikasi

Secara umum pembagian tipe hipospadia didasarkan pada letak dari

meatusnya. Sejumlah pakar telah menyusun pembagian tersebut, dimulai dari

Smith yang membagi hipospadia menjadi tiga derajat, derajat satu bila letak

meatusnya dari corona sampai shaft penis bagian distal, derajat dua mulai dari

distal shaft sampai penoscrotal junction, derajat tiga mulai dari penoscrotal

junction sampai ke perineum. Kemudian menyusul pakar lain dengan

klasifikasinya. Namun klasifikasi tersebut tidak terlalu memperhitungkan

berat ringannya chordae dan pengaruhnya terhadap lokasi muara uretra.

Barca pada tahun 1973 menyusun pembagian hipospadia berdasarkan

letak muara uretra setelah dilakukan release dari curvatura penis.

Hipospadia distal lebih banyak dijumpai pada populasi barat, sedang

hipospadia proksimal lebih banyak di Asia (24).


23

Gambar 2. 3.Klasifikasi hipospadia (Hadidi et al, 2004)

Gambar 2.4 Gambaran klinis Hipospadia A. Glandular. B. Subcoronal. C.


Midshaft. D. Penoscrotal. E. Scrotal. F. Perineal (Baskin dan Ebbers, 2006)

F. Manifestasi klinis

Hipospadia ditandai dengan trias kelainan anatomi penis, yaitu : (1).

Letak meatus uretra eksterna abnormal di ventral penis, mulai dari glans penis

hingga perineum; (2). Kurvatura kearah di ventral penis (chordee); (3).


24

Foreskin abnormal dengan hood di bagian dorsal dan defisiensi di bagian

ventral penis (1,2).

Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kelainan. Secara

umum jarang ditemukan adanya gangguan fungsi, namun cenderung

berkaitan dengan masalah kosmetik pada pemeriksaan fisik ditemukan muara


(7)
uretra pada bagian ventral penis . Biasanya kulit luar dibagian ventral lebih

tipis atau bahkan tidak ada, dimana kulit luar di bagian dorsal menebal bahkan

terkadang membentuk seperti sebuah tudung. Pada hipospadia sering

ditemukan adanya chorda. Chorda adalah adanya pembengkokan bengkokan


(4)
menuju arah ventral dari penis . Hal ini disebabkan oleh karena adanya

atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis dari tunica albuginea dan fasia di

atas tunica, pengencangan kulit ventral dan fasia Buck, perlengketan antara

kulit penis ke struktur disekitarnya, atau perlengketan antara urethral plate ke

corpus cavernosa. Keluhan yang mungkin ditimbulkan adalah adanya

pancaran urin yang lemah ketika berkemih, nyeri ketika ereksi, dan gangguan

dalam berhubungan seksual (5).

G. Pemeriksaan penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk

penegakkan pasti diagnosis hipospadia. USG Ginjal disarankan untuk

mengetahui adanya anomali lainnya pada saluran kemih pada pasien


25

hipospadia. Karyotyping disarankan pada pasien dengan ambigu genitalia

ataupun cryptochirdism. Beberapa test seperti elektrolit,17-

hydroxyprogesterone, testosterone, luteinizing hormon, follicle-stimulating

hormone, sexhormon binding globulin dan beberapa tes genetik

dipertimbangkan apabila memungkinkan (5).

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan satu-satunya untuk hipospadia adalah dengan operasi.

Tujuan dari prosedur ini secara ringkas ada 5, yaitu: untuk mendapatkan

bentuk penis yang lurus, memposisikan muara uretra di ujung penis,

menormalkan kembali fungsi ejakulasi dan berkemih, membuat uretra

yang adekuat dengan kaliber yang sama serta bentuk kosmetik dari penis dan

glans penis yang simetris. Di mana langkah-langkah prosedurnya dapat

disusun sebagai berikut (21) :

1) Chordectomy - Orthoplasty (meluruskan penis)

2) Urethroplasty (membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi

seharusnya)

3) Meathoplasty dan Glanuloplasty (pembentukan glans penis kembali)

4) Scrotoplasty

5) Skin coverage

Selama beratus tahun sejak pertama kali didokumentasikannya kasus

hipospadia pada zaman Kerajaan Romawi, telah berkembang berbagai macam


26

teknik operasi hipospadia. Ada sekitar 300 jenis teknik yang dikembangkan,

hampir setiap ahli bedah memiliki variasi dan teknik tersendiri. Hal ini

menunjukkan bahwa belum ada teknik yang paling sempurna (gold standard)

untuk terapi hipospadia. Pemilihan teknik yang digunakan untuk koreksi

hipospadia umumnya bergantung dari letak muara dari uretranya,

meskipun demikian preferensi dari ahli bedahnya pun turut berperan. Teknik

yang banyak dipakai dan dianggap cukup baik dengan resiko komplikasi yang

lebih rendah adalah teknik Tubularized Incised Plate (TIP) yang ditemukan

oleh Snodgrass. Teknik ini biasanya dipakai untuk mengkoreksi

hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft, atau shaft penis yang

letaknya di distal. Prinsip dasar teknik ini adalah membuat insisi midline

sampai ke urethral plate yang disesuaikan sehingga bidang yang dihasilkan

dapat dibuat suatu neourethra. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan

material bedah, teknik ini mulai banyak digunakan untuk hipospadia

proksimal dengan hasil operasi yang cukup baik. Tahapan operasi untuk

teknik TIP ini secara umum adalah: pertama identifikasi dari urethral

platenya, buat rancangan bagian yang akan diinsisi. Kemudian lakukan

insisi longitudinal pada kedua sisi urethral plate sepanjang garis batas

urethral plate dan glans wing selanjutnya yang sangat penting adalah

membuat insisi pada garis tengah urethral plate. Kemudian dilakukan

pemasangan stent sebagai penyangga urethra baru, dan dilanjutkan

dengan dilakukan penjahitan tubularisasi. Jahitan pada uretra baru


27

kemudian dilapisi dengan flap dari fascia dartos, kemudian ditutup dengan

kulit (21).

Gambar 2.5 Tahapan dalam urethroplasti teknik TIP (Hadidi, et al., 2004)

Untuk muara penis yang terletak di glandular dapat digunakan teknik

Meatal Advancement Glansplasty (MAGPI) atau dapat pula menggunakan

teknik Glans Approximation Procedures (GAP). Teknik lain yang juga umum

dipakai adalah Mathieu’s procedures. Untuk Hipospadia yang letaknya di

proksimal khususnya di penoscrotal, scrotal maupun perineal, teknik yang

biasa dipakai adalah Onlay technique, Duckett-flap, dan juga teknik operasi

two step (21).

I. Komplikasi Pasca Operasi

Meskipun dengan teknik dan sarana operasi yang semakin

berkembang operasi repair hipospadia masih merupakan suatu prosedur yang

sulit dan rentan terhadap timbulnya komplikasi pasca operasi. Struktur organ
28

dan jaringan penyokongnya yang halus dan rentan, suplai pembuluh darah

dari flapnya yang sangat tergantung pada jaringan di sekitarnya, uretra

baru yang dekat sekali dengan urine dan perineum membuatnya rentan

terhadap infeksi dan juga pasien yang masih anak-anak yang umumnya

kurang kooperatif merupakan sejumlah faktor yang dapat menghalangi

keberhasilan operasi (17).

Komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi hipospadia secara garis

besar dibagi menjadi dua, yaitu

a. Komplikasi segera

Komplikasi ini dapat terjadi segera setelah operasi atau beberapa hari

kemudian. Yang termasuk dalam komplikasi segera diantaranya adalah:

iskemia jaringan, perdarahan dan hematoma, infeksi luka operasi dan

terbukanya luka operasi (wound dehiscence). Pencegahan untuk

terjadinya komplikasi ini adalah dengan penanganan jaringan yang hati-

hati saat operasi dengan memperhitungkan pasokan darah untuk flap

yang dibuat. Apabila komplikasi ini muncul biasanya penanganannya

secara konservatif, bila tidak membaik mungkin diperlukan operasi

berikutnya untuk debridement luka atau bila perlu dilakukan revisi.

b. Komplikasi lambat

Komplikasi ini muncul dalam hitungan hari, bulan bahkan tahun. Yang

termasuk dalam komplikasi lambat ini adalah:


29

a. Urethrocutaneus fistula

Merupakan komplikasi yang paling terjadi, dan semakin komplek tipe

hipospadia dan operasinya resiko terjadinya fistula semakin tinggi.

Komplikasi ini dapat terjadi oleh berbagai macam sebab

diantaranya karena edema yang mengganggu suplai darah, adanya

infeksi dan hematoma yang mengganggu penyembuhan luka pada

uretra baru, adanya obstruksi di distal sehingga menyebabkan tekanan

yang tinggi saat kencing yang mengakibatkan lepasnya jahitan di

bagian proksimal. Penanganannya tergantung pada ukuran dan letak

fistulanya. Bila fistulanya kecil biasanya dapat menutup sendiri,

namun bila ukurannya besar kemungkinan akan membutuhkan

tindakan operasi untuk menutupnya.

b. Striktur uretra

Merupakan komplikasi kedua tersering. Umumnya striktur ini terjadi

pada tempat anastomose jahitan seperti di meatus, kamudian di akhir

penutupan glans, ataupun juga pada bagian proksimal jahitan uretra

baru. Striktur ini biasanya nampak jelas kurang dari 3 bulan setelah

operasi yang ditandai dengan lemahnya pancaran urin, anak harus

mengedan saat kencing, pancaran urin yang menyebar atau adanya

infeksi pada traktus urinarius. Keluhan ini apabila masih ringan

seringkali tidak terlalu diperhatikan dan sering terlewatkan. Bila terus

dibiarkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti


30

pyelonefritis bahkan gagal ginjal. Penyebab terjadinya striktur

diantaranya adalah desain uretra baru yang kurang baik, jahitan yang

terlalu tegang, spatulasi pada lokasi anastomosis yang kurang adekuat.

Penatalaksanaannya dapat dengan konservatif yaitu dengan dilatasi

atau endoskopi, bila tidak berhasil atau apabila strikturnya panjang

maka perlu dilakukan revisi Urethroplasty.

c. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah divertikulum uretra,

persisten chordae, komplikasi mental dan komplikasi lain dalam

uretra serta masalah psikiatri (17).

J. Waktu Operasi Hipospadia

Disebutkan bahwa usia ideal untuk operasi pada pasien hipospadi

adalah sebelum anak mulai sekolah, dengan usia ideal antara 6-12 bulan.

Alasannya pada usia tersebut anak belum dapat mengingat trauma suatu

operasi, belum menyadari mengenai persepsi tubuh dan identitas seksualnya,

dan juga belum berinteraksi sosial dengan teman-teman seusianya. Sehingga

tidak akan mengganggu perkembangan emosional dan psikisnya. Namun

permasalahannya pada usia tersebut ukuran penis masih sangat kecil sehingga

memberikan kesulitan lebih dalam teknik operasinya. Kisaran usia yang

ideal berikutnya adalah antara 2,5 – 4 tahun atau 4 – 5 tahun. Sejalan dengan

bertambahnya usia maka resiko untuk terjadinya komplikasi juga semakin

meningkat (6).
31

2. Konsep Asuhan Keperawatan Intraoperatif dengan Tindakan Urethroplasty

A. Konsep Asuhan Keperawatan

Konsep pengelolaan kasus Hipospadia dengan tindakan Urethroplasty,

asuhan keperawatan yang dilakukan difokuskan pada intraoperatif. Selama

tahap intra operatif aktivitas yang dapat dilakukan meliputi empat hal, yaitu :

1) Safety manajemen

Merupakan suatu bentuk jaminan keselamatan bagi pasien selama

prosedur pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan

diantaranya :

a. Pengaturan posisi pasien

Pengaturan posisi bertujuan untuk memberikan kenyamanan pasien

dan memudahkan pembedahan. Faktor penting yang harus

diperhatikan ketika mengatur posisi di ruang operasi adalah daerah

operasi, usia, berat badan pasien, tipe anatesi. Hal-hal yang dilakukan

terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi :

Kesejajaran fungsional : memberikan posisi yang tepat selama operasi.

Operasi yang berbeda akan membutuhkan posisi yang berbeda pula.

Contoh :

a) Supine (dorsal recumbent) : hernia, laparotomy, laparotomy

eksplorasi, appendiktomi,mastectomy atau pun reseksi usus.

b) Pronasi : operasi pada daerah punggung dan spinal. Misal :

Lamninectomy
32

c) Trendelenburg : dengan menempatkan bagian usus diatas

abdomen, sering digunakan untuk operasi pada daerah abdomen

bawah atau pelvis.

d) Lithotomy : posisi ini memperlihatkan area perineal dan rectal dan

biasanya digunakan untuk operasi vagina. Dilatasi dan kuretase

dan pembedahan rectal seperti : Hemmoiroidektomy.

e) Lateral : digunakan untuk operasi ginjal, dada dan pinggul.

b. Pemajanan area pembedahan

Pemajanan daerah bedah maksudnya adalah daerah mana yang akan

dilakukan tindakan pembedahan. Dengan pengetahuan tentang hal ini

perawat dapat mempersiapkan daerah operasi dengan teknik drapping

dan mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi. Hal ini selain

untuk mempermudah proses pembedahan juga sebagai bentuk jaminan

keselamatan pasien dengan memberikan posisi fisiologis dan

mencegah terjadinya injury :

c. Memasang alat grounding ke pasien

d. Memberikan dukungan fisik dan psikologis pada klien untuk

menenangkan pasien selama operasi sehingga pasien kooperatif.

e. Memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan telah siap seperti

: cairan infus, oksigen, jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat.

2) Monitoring Fisiologis

Pemantauan fisiologis yang dilakukan meliputi :


33

a. Melakukan balance cairan

Penghitungan balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan

cairan pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan dengan cara

menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang keluar (cek pada

kantong kateter urine) kemudian melakukan koreksi terhadap

imbalance cairan yang terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan

infus.

b. Memantau kondisi cardiopulmonal

Pemantaun kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara kontinu

untuk melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak. Pemantauan

yang dilakukan meliputi fungsi pernafasan, nadi dan tekanan darah,

saturasi oksigen, perdarahan dll.

c. Pemantauan terhadap perubahan vital sign

Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan

kondisi klien masih dalam batas normal. Jika terjadi gangguan harus

dilakukan intervensi secepatnya.

3) Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan bila pasien sadar)

Dukungan psikologis yang dilakukan antara lain :

a. Memberikan dukungan emosional pada pasien

b. Berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur

induksi

c. Mengkaji status emosional klien


34

d. Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan

(jika ada perubahan)

4) Tim Operasi

- Anggota steril

a. Ahli bedah utama / operator

b. Asisten ahli bedah

c. Scrub Nurse / Perawat Instrumen

- Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari :

a. Ahli atau pelaksana anaesthesi.

b. Perawat sirkulasi

c. Anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau

yang rumit).

5) Peran perawat dalam keperawatan perioperatif

Perioperatif sebagai anggota tim operasi, mempunyai peran dari dari tahap

pra operasi sampai pasca operasi. Secara garis besar maka peran perawat

perioperatif adalah:

a. Perawat Administratif

Perawat administratif berperan dalam pengaturan manajemen

penunjang pelaksanaan pembedahan. Tanggung jawab dari perawat

administratif dalam kamar operasi diantaranya adalah perencanaan

dan pengaturan staf, manajemen penjadwalan pasien, manajemen


35

perencanaan material dan menajemen kinerja. Oleh karena tanggung

jawab perawat administratif lebih besar maka diperlukan perawat yang

mempunyai pengalaman yang cukup di bidang perawatan perioperatif.

Kemampuan manajemen, perencanaan dan kepemimpinan diperlukan

oleh seorang perawat administratif di kamar operasi (25).

b. Perawat Instrumen.

Perawat instrumen adalah seorang tenaga perawat profesional yang

diberikan wewenang dan ditugaskan dalam pengelolaan alat atau

instrumen pembedahan selama tindakan dilakukan. Optimalisasi dari

hasil pembedahan akan sangat di dukung oleh peran perawat

instrumen. Beberapa modalitas dan konsep pengetahuan yang

diperlukan perawat instrumen adalah cara persiapan instrumen

berdasarkan tindakan operasi, teknik penyerahan alat, fungsi

instrumen dan perlakuan jaringan (26).

c. Perawat sirkuler.

Perawat sirkuler adalah perawat profesional yang diberi wewenang

dan tanggung jawab membantu kelancaran tindakan pembedahan.

Peran perawat dalam hal ini adalah penghubung antara area steril dan

bagian kamar operasi lainnya. Menjamin perlengkapan yang

dibutuhkan oleh perawat instrumen merupakan tugas lain dari perawat

sirkuler (27).
36

d. Perawat Ruang pemulihan.

Menjaga kondisi pasien sampai pasien sadar penuh agar bisa

dikirim kembali ke ruang rawat inap adalah satu satu tugas perawat

ruang pemulihan. Perawat yang bekerja di ruang pemulihan harus

mempunyai keterampilan dan pengetahuan tentang keperawatan gawat

darurat karena kondisi pasien bisa memburuk sewaktu-waktu pada

tahap pasca operasi (25).

e. Perawat Anestesi.

Mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam tim anestesi

untuk kelancaran pelaksanaan pembiusan adalah peran perawat

anestesi. Seorang perawat anestesi adalah perawat yang terlatih di

bidang perawatan anestesi dan telah menyelesaikan program

pendidikan D-III anestesi atau yang sederajat. D-III Keperawatan

yang telah mengikuti pelatihan keperawatan anestesi minimal selama

satu tahun, juga bisa diberikan wewenang dalam perawatan anestesi


(25)
. Peran perawat anestesi mulai dari tahap pra operasi, intra operasi

dan pasca operasi. Pada tahap pra operasi, perawat anestesi berperan

untuk melakukan sign in bersama dengan dokter anestesi. Tahap intra

operatif, perawat anestesi bertanggung jawab terhadap kesiapan

instrumen anestesi, manajemen pasien termasuk posisi pasien yang

aman bagi aktivitas anestesi dan efek yang ditimbulkan dari anestesi.
37

Kolaborasi dalam pemberian anestesi dan penanganan komplikasi

akibat anestesi antara dokter anestesi dan perawat anestesi, adalah hal

yang wajib dilakukan sebagai anggota tim dalam suatu operasi baik

dalam pemberian anestesi lokal, anestesi umum dan anestesi regional

termasuk spinal anestesi (27).

B. Diangnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status

kesehatan atau masalah actual atau risiko mengidentifikasi dan menentukan

intervensi keperawatan untuk mengurangi, mencegah atau menghlangkan


(28)
masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya . Jadi yang

dimaksud dengan diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas yang

berkaitan dengan masalah yang didapat pada pasien baik itu secara aktual,

potensial, risiko atau kemungkinan. Menurut NANDA diagnosa yang

intraoperasi antara lain (29):

Tabel 2.1 Diagnosa dan Intervensi NANDA


Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Resiko infeksi (00004) NOC : NIC :
 Faktor-faktor resiko : Immune Status Infection Control
prosedur infasif Knowledge : Infection ● Pertahankan teknik aseptik
 Kerusakan jaringan control ● Gunakan sabun anti
dan peningkatan Risk control mokroba untuk cuci tangan
paparan lingkungan kriteria hasil: ● Cuci tangan setiap sebelum
 Malnutrisi  Klien bebas dari tanda dan sesudah tindakan
 Peningkatan paparan dan gejala infeksi keperawatan
lingkungan patogen  Jumlah leukosit dalam ● Gunakan baju, sarung
 Imunosupresi batas normal tangan sebagai alat
38

 Tidak adekuat  Status imun, pelindung


pertahanan sekunder gastrointestinal, ● Pertahankan lingkungan
(penurunan Hb, genitourinaria dalam aseptic selama melakukan
Leukopenia, batas normal tindakan
penekanan respon ● Berikan terapi antibiotik
inflamasi)
 Penyakit kronik
 Imunosupresi
 Malnutrisi
 Pertahanan primer
tidak adekuat
(kerusakan kulit,
trauma jaringan,
gangguan peristaltik)
Resiko perdarahan C : NIC
(00206) Blood lose severity Bleeding precautions
Faktor Resiko : Blood koagulation  Monitor ketat tanda-tanda
 Aneurisme Kriteria Hasil : perdarahan
 Sirkumsisi  Tidak ada hematuria dan  Catat nilai Hb dan HT
 Defisiensi hematemesis sebelum dan sesudah
pengetahuan  Kehilangan darah yang terjadìnya perdarahan
 Koagulopati terlihat  Monitor nilai lab
intravaskuler  Tekanan darah dalam (koagulasi) yang meliputi
diseminata batas normal sistol dan PT, PTT, trombosit
 Riwayat jatuh diastole  Monitor TTV ortostatik
 Gangguan  Hemoglobin dan  Kolaborasi dalam
gastrointestinal hematrokrit dalam batas pemberian produk darah
(mis.,penyakit ulkus normal (platelet atau fresh frozen
lambung, polip,  Plasma, PT, PTT dalam plasma)
varises) batas normal Bleeding reduction
 Gangguan fungsi hati  Identifikasi penyebab
(mis, sirosis, hepatitis) perdarahan
 Koagulopati inheren  Monitor tekanan darah
(mis, trombositopenia) dan parameter
 Komplikasi hemodinamik
pascapartum (mis, (CVP,pulmonary capillary
atoni uteri, retensi / artery wedge pressure)
plasenta)  Monitor status cairan yang
 Komplikasi terkait meliputi intake dan output
kehamilan (mis,  Monitor penentu
plasenta previa, pengiriman oksigen ke
jaringan (PaO2, SaO2 dan
39

kehamilan mola, level Hb dan cardiac


solusio plasenta) output)
 Trauma  Pertahankan patensi IV
 Efek samping terkait line
terapi (mis,
pembedahan,
pemberian obat,
pemberian produk
darah defisiensi
trombosit, kemoterapi)
Resiko hipotermi NOC: Termoregulation NIC:
(00254) Kriteria Hasil: Temperature Regulation
Faktor Resiko:  Suhu 36,5-37,5 C
o
 Identifikasi dan diskusikan
 Berat badan rendah  RR dan nadi dalam batas jenis anestesi yang
 Diabetik neuropati normal direncanakan untuk pasien
 Kombinasi anastesi dengan tim bedah
regional dan umum  Identifikasi faktor risiko
 Komplikasi pasien mengalami
kardiovaskular kelainan pada tubuh
 Perpindahan panas  Transportasi pasien
 Berat badan rendah menggunakan perangkat
 Suhu lingkungan penghangat
rendah  Gunakan dan atur
 Suhu perioperatif perangkat penghangat
rendah(<36 ° C / 96,8  Sesuaikan ruang sekitar
° F) untuk meminimalkan
 Prosedur pembedahan risiko hipotermia
 Minimalkan paparan
pasien selama melakukan
persiapan dan prosedur
bedah, bila mungkin
 Monitor tanda-tanda vital
 Pantau kenaikan abnormal
atau penurunan suhu
tubuh
 Sediakan peralatan darurat
Risiko Cidera (00087) NOC NIC : Environment
Faktor resiko : Risk Management
 Disorientasi Kontrol (Manajemen lingkungan)
 Emasiasi Immune  Sediakan lingkungan yang
 Gangguan status aman untuk pasien
Safety  Identifikasi kebutuhan
40

sensorik/persepsi Behavior keamanan pasien, sesuai


akibat anastesi Kriteria hasil: dengan kondisi fisik dan
 Imobililasasi  Klien terbebas dari fungsi kognitif pasien dan
 Kelemahan otot cedera riwayat penyakit terdahulu
 Obesitas  Klien mampu pasien
menjelaskan  Hindarkan lingkungan yang
cara/metode untuk berbahaya
mencegah injury/cedera  Pasang side rail tempat tidur
 Klien mampu  Sediakan tempat tidur yang
menjelaskan factor nyaman dan bersih
risiko dari  Berikan penerangan yang
lingkungan/perilaku cukup
personal  Kontrol lingkungan dari
 Mampu memodifikasi kebisingan
gaya hidup untuk
mencegah injuri
 Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
 Mampu mengenali
perubahan status
kesehatan

Anda mungkin juga menyukai