Anda di halaman 1dari 8

Al Azka Zuraida

203232023
Antropologi Budaya - B
Seni Rupa dan Kriya Nusantara

Puppet Show Gatot the Good Guy: Proses Pengembangan Karakter dan
Pengaruh Teknik Kriya terhadap Estetika dan Fungsional Seni Pertunjukan

Pendahuluan
Untuk sebuah seni pertunjukan bisa terlaksanakan dengan baik, butuh aspek,
komponen dan unsur-unsur yang membantu membentuk karya tersebut menjadi
sesuatu yang lebih utuh dan koheren. Mulai dari tema, plot, penokohan, dialog,
bahasa, ide dan pesan, sampai latar. Masing-masing dari unsur tersebut pun memiliki
banyak turunan lainnya, tidak terkecuali latar. Tanpa adanya latar, proses penyampaian
cerita atau pesan pun menjadi kurang lengkap–emosi yang terbangun pun bisa saja
malah menjadi datar dan tidak memunculkan rasa keingintahuan ataupun pengalaman
lainnya, kecuali, kalau kedataran itu memang maksud yang hendak disampaikan oleh
seniman.

Latar Belakang
Schechner (2020) dalam bukunya Performance Studies: An Introduction
menguraikan bahwa yang dimaksud dengan seni pertunjukan adalah setiap tindakan
yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok di depan penonton dengan tujuan
menciptakan pengalaman yang dapat diapresiasi secara estetika. Seni pertunjukan
mengandalkan interaksi langsung antara penampil dan penonton sebagai inti dari
pengalamannya. Schechner dalam ini juga menekankan bahwa seni pertunjukan
merupakan seni yang dinamis dan dapat berubah-ubah, selalu mengikuti situasi dan
kondisi di mana pertunjukan dilakukan. Hal ini membuat seni pertunjukan menjadi seni
yang terus berevolusi dan mempertahankan keberadaannya melalui sejarah dan
budaya manusia.

Untuk kriya sendiri, Greehalgh (2002) menggambarkannya sebagai seni rupa


yang melibatkan keahlian teknis dan keterampilan tangan tertentu untuk menghasilkan
objek seni yang memiliki nilai estetika dan fungsional.
Dalam latar, kriya berperan penting untuk memperkaya tampilan visual dari
sebuah pertunjukan dan memberikan nilai estetika yang lebih tinggi pada pertunjukan
tersebut. Salah satu seniman kriya yang menarik perhatian peneliti adalah Godmatter,
seorang seniman visual yang menggunakan pendekatan sarkasme yang dibalut
dengan kocak dan humoris untuk menceritakan kisah dari sudut pandang badut
bernama Gatot the Good Guy yang berasal dari kota fiktif bernama Karaat. Karyanya
dibuat dengan berbagai medium, seperti lukisan, ilustrasi digital, dan mainan

Penelitian ini akan berfokus pada peran kriya dalam pembuatan puppet show
oleh Godmatter dan akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan narasumber
tunggal yaitu Godmatter. Narasumber ini dipilih karena merupakan seniman
multidisiplin yang sangat terampil. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan
wawancara mendalam dengan Godmatter untuk mendapatkan informasi yang akurat
dan mendalam mengenai peran kriya dalam pembuatan puppet show dan interaksi
yang dihasilkan selama puppet show itu berlangsung.

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan wawasan baru tentang
peran kriya dalam seni pertunjukan wayang/puppet show dalam skala kecil dan
personal serta memberikan apresiasi yang lebih tinggi terhadap karya seniman
kriya-multidisiplin seperti Godmatter.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pengembangan karakter Gatot The Good Guy menjadi suatu
karya yang lebih interaktif lewat puppet show?
2. Bagaimana Godmatter mengintegrasikan aspek performatif dan interaktif dalam
puppet show?
3. Bagaimana teknik kriya mempengaruhi nilai estetika dan fungsional dari objek
seni dalam pertunjukan puppet show tersebut?

Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah di
atas menggunakan pendekatan antropologis dengan metode penelitian kualitatif.
Metode kualitatif dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk memahami secara
mendalam pengalaman Godmatter dalam membuat pertunjukan puppet show dan
proses pengembangan karakter Gatot The Good Guy menjadi suatu karya yang lebih
interaktif, dengan mempertimbangkan aspek kriya dalam pembuatan dan pengaruh
teknik kriya terhadap nilai estetika dan fungsional dari objek seni dalam pertunjukan
puppet show tersebut.

Wawancara dilakukan dengan panduan pertanyaan semi-terstruktur yang


mencakup topik-topik seperti proses pengembangan karakter, proses pembuatan
puppet show, teknik kriya yang digunakan, serta pengaruh teknik kriya terhadap nilai
estetika dan fungsional dari objek seni dalam pertunjukan puppet show tersebut.

Data yang diperoleh dari wawancara dianalisis dengan menggunakan analisis


tematik. Data yang relevan dengan topik penelitian dikumpulkan dan dikelompokkan ke
dalam kategori-kategori, kemudian dianalisis secara mendalam untuk memahami
pengalaman Godmatter dalam mengembangkan karakter dan membuat pertunjukan
puppet show.

Pembahasan
Menurut Law (2015) dalam bukunya yang berjudul "Puppets of Nostalgia: The
Life, Death and Rebirth of the Japanese Awaji Ningyō Tradition", puppet show adalah
seni pertunjukan yang melibatkan penggunakan boneka sebagai media, dan
memainkan peran penting dalam melestarikan tradisi dan sejarah suatu budaya, dan
dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan politik dan sosial.

Sejak tahun 2022, Godmatter telah mengembangkan karakter Gatot dari mainan
resin menjadi sebuah puppet show, tepatnya saat peluncuran buku anak bilingual
“Karaat Theater Show” yang berisi cerita dan ilustrasi jenaka tentang penduduk Kota
Karaat dan dicetak menggunakan teknik risograph. Risograph sendiri adalah sebuah
mesin cetak serba guna yang menggabungkan teknologi offset dengan teknologi
stensil, sehingga menghasilkan warna dan tekstur yang unik, ramah lingkungan dan
tidak dapat diduplikasi oleh cetakan digital lainnya.

Berbarengan dengan perilisan buku tersebut di acara Jakarta Book Fair,


September 2022 yang dihelat di Blok M Space, Godmatter ingin punya bentuk
kekaryaan dari Gatot yang memiliki sisi performatif yang inovatif dan interaktif dan bisa
mendekatkannya ke tengah masyarakat di luar aktivasi seperti pameran, sesuatu yang
pernah dia lakukan di pertengahan Juni 2022 lewat pameran “Life of Gatot The Good
Guy”, tapi tetap berasal dari kriya buatan tangannya sendiri.
Peran Kriya Dalam Puppet Show
Untuk proses pembuatan puppet itu sendiri, Godmatter mengacu pada model
dua dimensi dan tiga dimensi dari Gatot yang sudah ada di ilustrasi dan di
toys/sculpture. Teknik dalam pembuatannya pun terbilang cukup sederhana,
mengadopsi teknik old school puppet show tahun 80-90an pada umumnya. Untuk
detailing khusus, Godmatter menggunakan outline hitam tebal khas ilustrasi Gatot
pada bentuk puppet-nya, jadi walaupun bentuknya sudah tiga dimensi, kesan
kartunnya masih ada.

Deskripsi fisik dari Gatot The Good Guy terdiri dari rambut afro berwarna hijau,
hidung merah badut, baju kuning dengan corak polkadot merah muda dan ornamen
biru muda dan biru tua pada kerah putihnya. Untuk bahan yang digunakan pun
campuran, terdiri dari styrofoam dan fabrics dari flanel. Ukuran dari puppet Gatot
tersebut pun dibuat perbandingan 1:1 dengan kepala manusia pada umumnya, hanya
saja, bagian badannya dibuat lebih kecil sehingga menyerupai karikatur. Alasannya,
Godmatter ingin mengadopsi human scale, jadi ketika Gatot muncul punya impresi
yang cukup sakral.

Pada awalnya, Godmatter hanya memiliki waktu kurang dari 6 jam untuk
membangun prototype yang digunakan dalam puppet show pertamanya, dibantu oleh
teman-teman terdekat. Hal ini muncul akibat kesibukannya dengan proses publikasi
perilisan buku.

Semenjak pertunjukan pertamanya, Godmatter pun melakukan banyak


perubahan untuk mengembangkan puppet Gatot dan juga setnya sendiri. Di set
panggung awal, dia menggunakan kardus untuk membentuk TV. Namun pada
pertunjukkan kedua, panggungnya sudah berkembang menjadi panggung dengan
mekanisme portable yang dapat dilepas pasang dan juga dipakai ulang karena terbuat
dari triplek, jadi kesannya lebih utuh. Wig yang digunakan pun berbeda, karena pada
prototype dikejar waktu, dia hanya bisa membeli wig afro warna-warni khas badut
pada umumnya, tapi untuk pertunjukkan kedua dia akhirnya bisa lebih leluasa untuk
memilihkan wig yang memang sesuai dengan karakter si Gatot sendiri.

Godmatter sangat percaya tentang pentingnya terus-terusan melakukan uji coba


ketika berbicara tentang karya dan kriya. Menurutnya, semakin lama kita terlalu banyak
memikirkan suatu konsep tanpa melakukannya, semakin susah untuk konsep tersebut
bisa diwujudkan.
Integrasi Aspek Performatif dan Interaktif dalam Puppet Show
Ketika membahas sisi pertunjukannya, Godmatter terinspirasi dari Sesame
Street untuk konsep teknis dan juga Family Guy untuk mengisi suara si Gatot itu
sendiri. Berdasarkan penuturannya, pencipta dari kartun dewasa Family Guy ini kerap
kali ikut serta dalam mengisi peran suara karakter-karakter buatannya. Meskipun
Godmatter tidak memiliki banyak karakter, Ia tetap ingin masing-masing karakter punya
keunikannya sendiri lewat efek suara mereka.

Untuk karakter Gatot The Good Guy, Godmatter mencoba untuk melakukan
eksplorasi suara yang bisa memberikan impresi bahwa Gatot ini adalah seseorang
yang baik, seperti protagonis pada umumnya lewat suara senyum yang nadanya tinggi
dan ceria. Sedangkan untuk karakternya yang lain dan dipercaya sebagai sosok
antagonis dan jahat yakni Ganjar The Bad Guy, dibawa ke arah yang lebih gelap dan
banyak geraman.
Dalam memanipulasi gerak dan gestur dari puppet tersebut, Godmatter
membangun konstruksi puppet dilengkapi dengan tiga tongkat layaknya wayang dalam
prototype pertamanya. Tongkat pada tangan kiri dan kanan berfungsi sebagai ekspresi
dan artikulasi, sedangkan untuk membuat puppet tersebut bisa berdiri, dia membuat
tongkat vertikal yang bentuknya cukup besar pada bagian badan Gatot.

Props lain di luar puppet yang Godmatter gunakan adalah panggung


puppet-nya sendiri yang mengadopsi bentuk dan corak dari sirkus, dengan
warna-warna dari palet Gatot/Godmatter. Interaksi puppet ini dibawa ke arah show
keliling, jadi ‘rumah’ atau panggungnya dia pun berubah-ubah. Contohnya pada
“Puppet Show 1: Karaat Theater Show”, panggungnya dibuat menyerupai TV dengan
Gatot seolah-olah menjadi pembawa berita yang menyeritakan fenomena-fenomena di
Karaat. Sedangkan untuk pertunjukan kedua yakni “A Day In Gatot’s Life”,
panggungnya berbentuk panggung puppet seperti biasa karena yang ingin ditonjolkan
adalah sisi storytelling-nya. Jadi, menurut Godmatter hal ini tergantung pada cerita
yang Ia hendak bawa juga.

Secara cerita, Godmatter mengangkat cerita ‘sentilan-sentilun’ yang bersifat


sarkastik dalam merespons fenomena politik, sosial, maupun budaya di sekeliling kita
yang dimasukkan ke dalam kota fiksi tempat tinggal si Gatot yang bernama Karaat.
Ceritanya dibuat secara parodi, Ia ingin bentuk visual yang disajikannya lewat Gatot ini
dapat diterima dan dinikmati anak-anak tapi dapat dimengerti dengan baik oleh orang
dewasa. Bentuknya dapat dilihat dari cara Godmatter merespons fenomena DPR
tertidur lewat ucapan seperti “Pejabat di Kota Karaat sangat mementingkan
kesehatannya”. Ia memainkan peran tidur yang cukup dalam kesehatan dan
mengadaptasikannya sebagai bentuk satir terhadap fenomena lucu tersebut. Lewat
bentuk seperti itu, anak-anak dapat mengapresiasi dengan ikut tertawa sedangkan
orang tua pun turut mengerti lebih dalam. Dia awalnya tidak mengira bahwa justru
anak-anak yang senang dengan puppet show yang Ia bawakan, padahal
ekspektasinya, antusiasme datang dari orang yang sudah lebih dulu mengetahui
eksistensi Godmatter.

Tantangan yang kerap kali dihadapi Godmatter setiap menghelat puppet show
ini adalah mengoperasikan teknis pertunjukannya sendiri, sehingga dia harus bisa
menggunakan imajinasinya untuk menggerakkan puppet yang ekspresi atau gesturnya
tidak bisa dilihat dari bawah bilik.

Kesimpulan
Puppet show “Gatot The Good Guy” adalah suatu karya seni pertunjukan yang
dihasilkan oleh Godmatter. Pengembangan karakter ini dilakukan agar dapat
memberikan pengalaman interaktif kepada masyarakat, sehingga tidak hanya dapat
dinikmati melalui aktivasi seperti pameran. Untuk menghasilkan karya ini, Godmatter
menggunakan teknik kriya untuk menciptakan Gatot dalam bentuk tiga dimensi dari
ilustrasi dan mainan resin sebelumnya. Penggunaan teknik ini dipengaruhi oleh model
dua dimensi dan tiga dimensi dari Gatot yang telah ada sebelumnya.

Godmatter menggunakan teknik old school puppet show untuk membuat Gatot
dalam bentuk tiga dimensi. Untuk detailing, Godmatter menggunakan outline hitam
tebal khas ilustrasi Gatot pada bentuk puppet-nya, sehingga kesan kartun tetap ada
pada Gatot. Gatot terbuat dari campuran styrofoam dan fabrics dari flanel. Ukuran
puppet Gatot dibuat sebanding dengan ukuran kepala manusia pada umumnya, tetapi
dibuat lebih kecil pada bagian tubuh sehingga menyerupai karikatur. Alasannya adalah
untuk menciptakan human scale dan memberikan kesan sakral ketika Gatot muncul.

Godmatter telah mengalami banyak perubahan sejak pertunjukkan pertamanya,


mulai dari penggunaan kardus untuk membentuk TV pada set panggung awal, hingga
pada pertunjukkan kedua, set panggung sudah berkembang menjadi panggung
dengan mekanisme portable yang dapat dilepas pasang dan juga dipakai ulang karena
terbuat dari triplek, sehingga lebih utuh. Wig yang digunakan pada Gatot juga telah
berubah, pada prototype Godmatter hanya bisa membeli wig afro warna-warni khas
badut pada umumnya, tapi pada pertunjukkan kedua ia akhirnya bisa lebih leluasa
untuk memilihkan wig yang memang sesuai dengan karakter Gatot sendiri.

Teknik kriya yang digunakan dalam pembuatan puppet Gatot mempengaruhi


nilai estetika dan fungsional dari objek seni dalam pertunjukan puppet show tersebut.
Kriya memungkinkan pembuatan puppet dengan menggunakan campuran
bahan-bahan yang tidak hanya menghasilkan bentuk tiga dimensi yang unik, tetapi
juga memungkinkan penggunaan teknik old school puppet show untuk menciptakan
detail dan outline yang khas pada karakter Gatot.

Godmatter percaya pada pentingnya terus-terusan melakukan uji coba ketika


berbicara tentang karya dan kriya. Semakin banyak uji coba yang dilakukan, semakin
baik pula kualitas dari sebuah karya seni pertunjukan. Dalam hal ini, Godmatter telah
berhasil menciptakan karya puppet show “Gatot The Good Guy” yang lebih interaktif
dan dapat dinikmati oleh masyarakat melalui teknik kriya yang digunakan dalam
pembuatannya.

Daftar Pustaka

Greehalgh, P. (Ed.). (2002). The Persistence of Craft. A&C Black.

Law, J. M. (2015). Puppets of Nostalgia: The Life, Death, and Rebirth of the Japanese

Awaji Ningyō Tradition. Princeton University Press.

Schechner, R. (2020). Performance Studies: An Introduction (S. Lucie, Ed.). Routledge.

Anda mungkin juga menyukai