Makalah Infeksi Hais
Makalah Infeksi Hais
Oleh :
ZAHRAH HASANAH
NIM.
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Tujuan...........................................................................................................5
C. Manfaat.........................................................................................................6
BAB I PEMBAHASAN..........................................................................................7
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................30
3
BAB V PENUTUP.................................................................................................33
A. KESIMPULAN...........................................................................................33
B. SARAN.......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka insiden klien yang terkena infeksi sebagai akibat langsung dari
rawat inap dan prosedur rumah sakit semakin meningkat. Infeksi yang terjadi
di rumah sakit kini dikenal dengan Healthcare-associated infections (HAIs)
atau disebut juga infeksi Nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan salah
satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka
kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat menjadi
masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Oleh karena itu rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan berkualitas
tinggi sesuai dengan standar yang ditetapkan yang harus dilakukan oleh
semua petugas kesehatan.
Sebuah studi dari National Nosokomial Infections Surveillance (NNIS)
dan Centers of Disease Control and Prevention’s (CDC’s) pada tahun 2002
menemukan bahwa 5 hingga 6 kasus infeksi nosokomial terjadi untuk setiap
100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus infeksi nosokomial
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dua studi dari berbagai
universitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) 5-8 kali lebih mungkin terkena infeksi nosocomial
dibandingkan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan perawatan biasa.
Infeksi nosokomial sering terjadi di ICU pada kasus pasca bedah dan kasus
dengan pemasangan infus dan kateter yang tidak mengikuti prosedur standar
pencegahan dan pengendalian infeksi yang berlaku di rumah sakit.
Berdasarkan hasil survei rumah sakit provinsi/kabupaten/kota yang
dilakukan Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO,
disimpulkan bahwa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit (KPPIRS) selama ini belum berfungsi maksimal sesuai harapan. The
Joint Commission (TUC) (2007) menganggap hal ini sebagai masalah
keamanan klien.
Pencegahan dan pengendalian infeksi sangat penting untuk menciptakan
lingkungan layanan kesehatan yang aman bagi klien dan staf. Sebagai
5
perawat dan bidan, kita memainkan peran penting dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi di semua rangkaian pelayanan kesehatan. Klien pada
semua rangkaian pelayanan kesehatan berisiko tertular karena rendahnya
daya tahan tubuh terhadap mikroorganisme penyebab penyakit, dan prosedur
invasive.Staf berisiko untuk terpapar infeksi sebagai akibat kontak dengan
darah klien, cairan tubuh, peralatan, dan permukaan yang terkontaminasi.
Dalam tatanan perawatan akut atau ambulatori, klien dapat terpapar
organisme patogenik, yang beberapa diantarnya mungkin resisten terhadap
sebagian besar antibiotik. Dengan mempraktikkan teknik pencegahan dan
kontrol infeksi, Kita dapat menghindari mikroorganisme terhadap klien dan
kerentanan terhadap paparan ketika memberikan pelayanan langsung. Pada
semua tatanan pelayanan, klien dan keluarganya harus mengenali sumber
infeksi dan membuat tindakan pencegahan. Pengajaran pada klien harus
melibatkan informasi dasar tentang infeksi berbagai jenis penularan, dan
metode pencegahan yan sesuai dengan kebutuhan pelayanan mereka.
Tenaga kesehatan menggunakan pengetahuan tentang proses infeksi dan
Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai untuk melindungi diri mereka dari
kontak dengan bahan menular, cedera akibat benda tajam, dan/atau paparan
penyakit menular. Penyakit seperti Hepatitis B dan C, infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), Tuberkulosis (TB), dan organisme resisten terhadap berbagai obat
memerlukan perhatian yang cermat terhadap Teknik pencegahan dan
pengendalian infeksi.
B. Tujuan
1. Mengetahui defenisi Healthcare-Associated Infections (HAIs) atau
infeksi Nosokomial
2. Mengetahui epidemiologi Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Mengetahui sumber penyebab Healthcare-Associated Infections
(HAIs)
3. Mengetahui Mikroorganisme Penyebab Healthcare-Associated
Infections (HAIs)
6
4. Mengetahui bagaimana patogenesis Healthcare-Associated Infections
(HAIs)
5. Mengetahui faktor resiko Healthcare-Associated Infections (HAIs)
6. Mengetahui gejala klinis dan diagnosis Healthcare-Associated
Infections (HAIs)
7. Mengetahui bagaimana cara mengobati dan mencegah Healthcare-
Associated Infections (HAIs)
C. Manfaat
Dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mencegah dan mengobati
Healthcare-Associated Infections (HAIs)
7
BAB I
PEMBAHASAN
8
diteliti di luar USA lebih tinggi frekwensinya dibandingkan dengan kejadian
yang dilaporkan dari ICU di USA.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa frekwensi MRSA
(Methicillinresistant Staphylococcus aureus), spesies Enterobacter yang
resisten terhadap ceftriaxone, serta Pseudomonas aeruginosa yang resisten
terhadap fluoroquinolone juga lebih tinggi frekwensinya di negara-negara di
luar USA.
Suatu penelitian pada anak-anak di Afrika menunjukkan bahwa mikroba
penyebab bakteremia nosokomial rumah sakit berbeda jenisnya dari mikroba
penyebab bakteremia yang terjadi pada penduduk di luar rumah sakit.
Bakteremia nosokomial menyebabkan meningkatnya angka kesakitan
(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) serta memperpanjang waktu
rawat inap di rumah sakit. Karena data-data infeksi nosokomial rumah sakit
di negara-negara miskin tidak diketahui, sehingga keadaan ini akan menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang harus lebih diperhatikan.
Sekitar 5-10% penderita yang dirujuk ke bagian kedaruratan rumah sakit
atau fasilitas keperawatan, yang di USA saja dapat mencapai satu juta orang
penderita setiap tahunnya. Infeksi yang didapat di rumah sakit biasanya
berhubungan dengan tatalaksana diagnosis dan pengobatan yang dilakukan
terhadap penderita yang dirawat karena sakit atau karena mengalami cedera.
The Centers for Disease Control (CDC) USA menyatakan bahwa 36% dari
infeksi tersebut dapat dicegah melalui penatalaksanaan yang ketat dalam
merawat penderita. Masalah yang menyebabkan infeksi ini sulit ditangani
adalah bahwa pada waktu baru masuk rumah sakit, sistem imun kesehatan
penderita sudah dalam kondisi yang rendah (immunocompromised). Penyakit
nosokomial yang didapat di rumah sakit dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, atau parasit. Mikroorganisme ini bisa berasal dari dalam tubuh
penderita sendiri (sumber endogin) atau mungkin berasal dari sumber
eksogin, yaitu dari lingkungan, dari perlengkapan rumah sakit yang tercemar,
dari petugas rumah sakit, atau berasal dari penderita lain yang sedang dirawat
di rumah sakit tersebut. Sumber endogin adalah bagian tubuh yang biasanya
9
menjadi tempat hidup koloni mikroorganisme, misalnya nasofaring, alat
pencernaan atau saluran urogenital
C. Sumber Penyebab Healthcare-Associated Infections (HAIs)
1. Pasien, merupakan unsur pertama yang dapat menyebabkan infeksi
kepada pasien lainnya, petugas kesehatan, pengunjung, atau kepada
alat kesehatan.
2. Petugas kesehatan, dapat menyebarkan infeksi melalui kontak
langsung, yang dapat menularkan berbagai kuman atau agen infeksi
ketempat lain.
3. Pengunjung, dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke
dalam lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya.
4. Sumber lain, yang dimaksud dalam hal ini adalah lingkungan rumah
sakit yang meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah
sakit, atau alat yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung
atau petugas kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.
Infeksi nosokomial dapat bersifat eksogen atau endogen. Organisme
eksogen adalah satu jenis organisme yang berada di luar klien. Sebagai
contoh, infeksi pascaoperasi merupakan infeksi eksogen. Organisme endogen
adalah bagian dari flora normal organisme virulen yang dapat menyebabkan
infeksi. Infeksi endogen dapat terjadi ketika bagian dari flora klien menjadi
berubah dan terus bertumbuh secara berlebihan.Sebagai contoh, klien yang
memakai beberapa antibiotik dalam lingkungan rumah sakit dan terkena
infeksi C. difficile sebagai akibatnya.
Jumlah tenaga kesehatan yang berkontak langsung dengan klien, tipe dan
jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, dan lamanya perawatan di
rumah sakit memengaruhi risiko infeksi.
Infeksi nosokomial secara signifikan meningkatkan biaya pelayanan
kesehatan. Lansia memiliki kerentanan yang semakin meningkat terhadap
infeksi tersebut karena afinitasnya terhadap penyakit kronis dan proses
penuaan dirinya. Perpanjangan perawatan di institusi pelayanan kesehatan,
peningkatan kecacatan, peningkatan biaya antibiotik, dan perpanjangan waktu
10
pemulihan menambah biaya klien, begitu juga dengan biaya pelayanan
kesehatan dan lembaga asuransi (misalnya Medicare). Sering kali biaya
infeksi nosokomial tidak diganti; dengan demikian, hambatan dalam menjaga
finansial dan menjadi bagian penting dari pelayanan yang terpelihara. Sebagai
contoh, TJC memiliki beberapa tujuan nasional yang terjamin dalam
pelayanan lansia, menjamin bahwa lansia menerima vaksin influenza dan
pneumonia atau pencegahan ulkus akibat penekanan dihubungkan dengan
pelayanan kesehatan.
D. Mikroorganisme Penyebab Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh berbagai jenis patogen, yang
berbeda jenisnya, tergantung pada perbedaan populasi penderita, pengaturan
sarana perawatan kesehatan, dan perbedaan negara. Mikroorganisme patogen
penyebab infeksi nosokomial dapat berupa bakteri, virus, parasit dan jamur.
a. Bakteri
Bakteri merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab
infeksi nosokomial. Bakteri dapat dikelompokkan menjadi bakteri
komensal (commensal bacteria) dan bakteri patogenik (patogenic
bacteria).
1. Bakteri komensal. Kelompok bakteri ini didapatkan sebagai flora
normal usus manusia sehat, yang berperan penting dalam mencegah
perkembang biakan mikroorganisme patogen. Sebagian bakteri komensal
dapat menyebabkan infeksi jika hospes alaminya mengalami penurunan
daya tahan tubuh. Misalnya, staphylococcus koagulase negatif yang
terdapat di kulit dapat menimbulkan infeksi intravaskuler dan
Escherechia coli yang terdapat di usus dapat menyebabkan infeksi
saluran kencing.
2. Bakteri patogenik. Bakteri kelompok ini memiliki virulensi yang
tinggi, dan dapat menyebabkan infeksi yang sporadik atau epidemik,
misalnya :
a) Bakteri anaerobik Gram-positif (misalnya Clostridium) yang
menyebabkan gangren ;
11
b) Bakteri Gram-positif (misalnya Staphylococcus aureus yang
terdapat di kulit dan hidung penderita atau staf rumah sakit) dapat
menyebar melalui darah dan menyebabkan infeksi di paru, tulang,
paru dan jantung.. Kuman ini sering berkembang menjadi kuman
yang kebal terhadap antibiotika. Selain Staphylococcus aureus,
kuman Streptococcus beta-hemolyticus juga penting sebagai
penyebab infeksi nosokomial.
c) Bakteri Gram-negatif: Enterobacteriaceae (misalnya Escherechia
coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia marcescens)
yang terdapat melekat di pipa kateter, kateter kandung kemih, dan
di tempat masuk kanula, pada penderita dengan imunitas rendah,
dapat menyebabkan infeksi yang berbahaya (misalnya terjadi
bakteremia, infeksi peritoneum, infeksi luka di tempat
pembedahan). Kuman-kuman ini juga bisa berkembang menjadi
kuman yang resisten terhadap antibiotika.
d) Kuman Gram-negatif, misalnya Pseudomonas spp. Yang sering
ditemukan di air dan tempat lembab, dapat berkembang biak di
saluran pencernaan penderita yang sedang rawat inap di rumah
sakit.
e) Bakteri yang berisiko untuk menimbulkan infeksi nosokomial di
rumah sakit antara lain adalah Legionella spp., yang dapat
menyebabkan pneumonia sporadik atau endemik melalui inhalasi
udara yang mengandung air tercemar berasal dari AC, shower,
atau aerosol terapeutik.
b. Virus
Infeksi nosokomial dapat disebabkan berbagai jenis virus, termasuk
virus-virus hepatitis B dan C, respiratory syncytial virus (RSV),
rotavirus, dan enterovirus. Virus hepatitis B dan C dapat ditularkan
melalui darah transfusi, dialisis, suntikan, dan endoskopi, sedangkan
enterovirus dapat ditularkan melalui jalur penularan tangan- ke mulut
atau jalur penularan tinja-mulut. Virus-virus lain yang dapat ditularkan
12
sebagai infeksi nosokomial antara lain adalah cytomegalovirus, HIV,
Ebola, virus infl uenza, virus herpes simplex dan virus vaicella-zoster.
c. Parasit dan jamur
Protozoa usus, misalnya Giardia lamblia mudah ditularkan dalam
kelompok dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit lainnya
merupakan organisme oportunis dan menyebabkan infeksi pada penderita
yang mendapatkan pengobatan antibiotika dalam jangka waktu yang
lama dan dalam keadaan imunosupresi yang berat. Contoh jamur dan
parasit ini antara lain adalah Candida albicans, Aspergillus spp.,
Cryptococcus neoformans, dan Cryptosporidium. Organisme-organisme
ini merupakan penyebab utama infeksi sistemik yang dialami oleh
penderita-penderita dengan immunocompromised. Pencemaran
lingkungan melalui udara dengan Aspergillus spp. yang berasal dari debu
dan tanah juga dapat juga terjadi, terutama pada waktu dilakukan
perbaikan/konstruksi rumah sakit.
Sarcoptes scabiei penyebab penyakit scabies (gudig atau kudis) adalah
ektoparasit yang dapat menimbulkan wabah berulang di lingkungan
fasilitas perawatan kesehatan.
E. Patogenesis Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Infeksi akan dimulai dari tempat masuknya mikoorganisme dan akan
menimbulkan infeksi setempat (lokal) dan menimbulkan gejala klinis yang
terbatas. Sebagai contoh, luka operasi di perut yang mengalami infeksi,
daerah sekitar luka akan menjadi merah, panas, dan nyeri. Infeksi umum akan
terjadi jika organisme memasuki aliran darah dan akan menimbulkan gejala
klinis sistemik, berupa demam, menggigil, penurunan tekanan darah, atau
gangguan mental. Keadaan ini dapat berkembang menjadi sepsis, suatu
keadaan yang berbahaya, karena menyerang berbagai organ dengan cepat dan
bersifat progresif. Keadaan ini kadang-kadang disebut “keracunan darah”
yang dapat menyebabkan kematian penderita.
Infeksi nosokomial rumah sakit dapat terjadi akibat tindakan
pembedahan, penggunaan kateter pada saluran kemih, hidung, mulut atau
13
yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Selain itu benda-benda yang
berasal dari hidung atau mulut yang terhirup masuk ke dalam paru-paru.
Infeksi nosokomial rumah sakit yang paling sering terjadi adalah infeksi
saluran kemih (urinary tract infection-UTI), pneumonia karena penggunaan
ventilator, dan infeksi luka operasi.
Sumber-sumber infeksi lainnya dapat berasal dari kateter vena sentral,
dan berasal dari pipa endotrakeal yang dimasukkan ke lambung dari mulut.
Melalui kateter ini bakteri masuk ke dalam tubuh melewati bagian luar pipa
kateter, lalu mendapatkan jalan masuk ke dalam aliran darah. Infeksi
nosokomial yang ditularkan melalui kateter ini menjadi penyebab 4-20%
kematian penderita.
Interaksi antara pejamu (pasien, perawat, dokter, tenaga kesehatan lain),
agen (mikroorganisme pathogen) dan lingkungan (lingkungan rumah sakit,
prosedur pengobatan, dll) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak.
Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena
apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah
atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan
adalah :
1. Agen infeksi (infectious agent) meruapakan mikroorganisme yang
dapat menyebabkan infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri,
virus, ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load).
2. Pejamu (reservoir) adalah tempat dimana agen infeksi dapat hidup,
tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir
yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,
tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya.
3. Pintu keluar (port of exit) meruapakan jalan dimana agen infeksi
meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
14
4. Cara penularan (transmisi) adalah mekanisme bagaimana transport
agen infeksi dari reservoir ke penderita (yang suseptibel).
5. Pintu masuk (port of entry) adalah tempat dimana agen infeksi
memasuki pejamu (yang suseptibel), dapat melalui saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta
kulit yang tidak utuh (luka).
6. Pejamu rentan (host suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki
daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta
mencegah infeksi atau penyakit, dapat dipengaruhi oleh umur, status
gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma
atau pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor lain
yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis
tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.
F. Faktor Risiko Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Semua penderita rawat inap di rumah sakit bersisiko untuk mendapatkan
infeksi dari pengobatan atau tindakan operatif yang diterimanya. Anak-anak
kecil, orang berusia lanjut, dan orang dengan sistem imun tubuh yang lemah
(compromised immune system) mempunyai risiko lebih besar mendapatkan
infeksi nosokomial. Faktor risiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial
rumah sakit pada anak terutama berasal dari kateter vena (termasuk untuk
memasukkan makanan) dan dari ventilator pneumonia. Selain itu pengobatan
dengan antibiotik lenih dari 10 hari, tindakan-tindakan invasif (memasuki
tubuh), tatalaksana pasca operasi yang buruk, dan disfungsi sistem imun.
Faktor-faktor risiko lainnya yang dapat meningkatkan risiko penderita
rawat inap, dewasa maupun anak, untuk mendapatkan infeksi nosokomial
rumah sakit adalah:
a. Masa rawat inap yang panjang
b. Adanya penyakit tersamar (underlying disease) yang berat
c. Status imun penderita yang lemah dan nutrisi yang buruk
d. Penggunaan kateter yang menetap (indwelling catheter)
15
e. Petugas kesehatan yang lalai mencuci tangan sebelum maupun
sesudah menangani penderita
f. Terjadinya bakteri resisten antibiotik karena penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dan berlebihan.
Setiap tindakan invasif yang memasuki tubuh akan membawa penderita
pada kemungkinan mendapatkan infeksi. Berbagai tindakan yang dapat
meningkatkan risiko mendapatkan infeksi nosokomial rumah sakit adalah:
a. Kateterisasi kandung kemih
b. Ventilasi mekanik atau intubasi saluran pernapasan
c. Pembedahan, perawatan atau pengaliran (drainage) luka
operasi
d. Pipa drainase lambung yang melewati mulut dan hidung
e. Prosedur intravenus untuk memasukkan obat atau makanan
dan transfusi darah.
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi nosokomial rumah sakit yang
paling sering terjadi, karena melalui kateter saluran kemih bakteri dari usus
dan uretra dapat memasuki kandung kemih dan menyebabkan infeksi.
Penderita dengan fungsi sistem imun yang buruk serta yang mendapatkan
pengobatan antibiotik yang tidak tepat dalam waktu yang lama berisiko tinggi
terinfeksi saluran kemihnya dengan jamur Candida.
Pneumonia merupakan infeksi nosokomial rumah sakit yang tersering
dialami penderita sesudah infeksi saluran kemih. Bakteri dan organisme
lainnya mudah masuk ke dalam tenggorok bersama alat kesehatan yang
digunakan dalam penanganan penyakit pernapasan. Bakteri ini akan
membentuk koloni di daerah tenggorok yang menjadi sumber infeksi
nosokomial rumah sakit bagi penderita, misalnya pneumonia. Penderita
dengan penyakit paru obstruktif kronis (chronic obstructive lung disease -
COD), sangat rentan terinfeksi karena mendapatkan pengobatan antibiotik
yang berlebihan serta menggunakan ventilator mekanik dalam waktu yang
lama.
16
Tindakan pembedahan invasif dapat meningkatkan risiko mengalami
infeksi karena bakteri dapat memasuki bagian tubuh yang steril. Infeksi dapat
berasal dari alat kedokteran yang digunakan atau dari tangan petugas
kesehatan. Pasca operasi penderita dapat mengalami infeksi yang berasal dari
pembalut yang tercemar atau dari tangan petugas kesehatan yang melakukan
penggantian pembalut. Luka-luka lain yang mudah terinfeksi adalah luka
trauma, luka bakar, atau luka lecet akibat tekanan karena tidur lama atau
karena menggunakan kursi roda.
Banyak penderita rawat inap yang mendapatkan pengobatan lanjutan,
transfusi darah, atau pemberian makanan secara parenteral. Keadaan ini dapat
menyebabkan infeksi lokal atau infeksi umum karena masuknya bakteri dari
sekitar tempat kateter dimasukkan. Tatalaksana tindakan di rumah sakit yang
berisiko menyebabkan infeksi nosokomial rumah sakit adalah tatalaksana
gastrointestinal, obstetrik dan dialisis ginjal.
G. Gejala Klinis Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Demam umumnya merupakan tanda pertama infeksi. Gejala dan tanda
lainnya dari adanya infeksi adalah napas yang cepat, tekanan darah rendah,
pengeluaran urine yang berkurang, dan jumlah leukosit meningkat serta
terjadinya gangguan mental. Penderita dengan infeksi saluran kemih dapat
mengalami nyeri kencing dan adanya darah di dalam urine. Jika terjadi
pneumonia, penderita mengalami gangguan saat bernapas dan gangguan pada
waktu batuk. Infeksi lokal yang terjadi dimulai dengan terjadinya
pembengkakan, kemerahan jaringan setempat, nyeri pada kulit atau sekitar
luka atau luka yang terbuka, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan di
bagian bawah otot, atau bisa juga menyebabkan sepsis.
H. Diagnosis Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Jika diduga telah terjadi infeksi, penderita rawat inap akan mengalami
demam yang tidak diketahui penyebabnya. Pada orang lanjut usia, demam
bisa tidak terjadi. Dalam hal ini adanya napas yang cepat dan gangguan
mental (bingung) merupakan gejala awal infeksi. Diagnosis infeksi
nosokomial rumah sakit dapat ditentukan dengan :
17
a. Mengevaluasi gejala dan tanda infeksi
b. Memeriksa luka dan tempat masuk kateter untuk melihat adanya
warna kemerahan, pembengkakan, adanya nanah atau abses.
c. Melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk mengetahui apakah
ada penyakit tersamar (Underlying disease).
d. Pemeriksaan laboratorium, antara lain pemeriksaan darah lengkap,
urinalisis, biakan kuman dari luka, darah, dahak, urine atau cairan
tubuh untuk menemukan organisme penyebabnya.
e. Pemeriksaan sinar-X dada jika diduga terjadi pneumonia.
f. Melakukan pemeriksaan ulang atas semua tatalaksana dan tindakan
yang sudah dilakukan.
I. Pengobatan Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Sesudah ditentukan penyebab infeksinya, jika penyebabnya adalah
bakteri, dilakukan uji kepekaan terhadap antibiotika sehingga penderita dapat
segera diobati dengan tepat. Sambil menunggu hasil uji kepekaan antibiotik,
pengobatan dapat dimulai menggunakan antibiotik spektrum lebar, misalnya
penisilin, cefalosporin, tetrasiklin, atau eritromisin. Jika bakteri yang
ditemukan sudah resisten terhadap antibiotik spektrum lebar standard yang
dicobakan, maka antibiotik yang lebih kuat yang biasanya masih efektif dapat
diberikan, yaitu vancomycin atau imipenem.
Jika penyebab infeksi adalah jamur, dapat diberikan obat-obatan
antijamur, misalnya amphotericin B, nystatin, ketoconazole, itraconazole dan
fluconazole.
Virus tidak dapat diobati dengan antibiotik. Sejumlah obat antiviral telah
diuji cobakan untuk menghambat reproduksi virus, misalnya acyclovir,
ganciclovir, foscarnet, dan amantadine.
J. Pencegahan Healthcare-Associated Infections (HAIs)
Pada masa lalu, fokus utama penanganan masalah dalam pelayanan
kesehatan adalah mencegah infeksi, meskipun infeksi masih merupakan
masalah di beberapa negara, terutama dengan penyakit Acquired
18
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan Hepatitis B yang belum ditemukan
obatnya.
Saat ini, perhatian utama untuk mengurangi resiko perpindahan penyakit,
tidak hanya untuk pasien, tetapi juga untuk pelayanan kesehatan dan
karyawan, termasuk pekerja yaitu orang yang membersihkan dan merawat
ruang bedah.
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan menurut (Elang &
Engkus, 2013) adalah:
1. Aseptik, yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan semua usaha yang
dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh
yang kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi. Tujuan
akhirnya adalah mengurangi atau mengurangi jumlah
mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda
mati agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan.
2. Antiseptik, yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan
jaringan tubuh lainnya.
3. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat
ditangani oleh petugas kesehatan secara aman, terutama petugas
pembersihan medis sebelum pencucian dilakukan. Contohnya adalah
meja pemeriksaan, alat-alat kesehatan, dan sarung tangan yang
terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh disaat prosedur bedah
atau tindakan dilakukan.
4. Pencucian, yaitu tindakan menghapus semua darah, cairan tubuh, atau
setiap benda asing seperti debu dan kotoran.
5. Sterilisasi, yaitu tindakan menghilangkan semua mikroorganisme
(bakteri, jamur, parasit, dan virus) termasuk bakteri endospora dari
benda mati.
6. Desinfeksi, tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dari benda mati. Desinfeksi
19
tingkat tinggi dilakukan dengan merebus atau menggunakan larutan
kimia. Tindakan Ini dapat menghilangkan semua nmikroorganisme,
kecuali beberapa bakteri endospora.
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan menurut (Soedarto,
2016) adalah:
1. Isolasi penderita yang sudah diketahui penyebab infeksinya
2. Pengawasan dan pengendalian infeksi untuk setiap 200 tempat tidur
3. Identifikasi semua prosedur berisiko tinggi dan kemungkinan adanya
sumber infeksi lainnya.
4. Melaksanakan dengan tegas aturan untuk mencuci tangan bagi petugas
kesehatan dan pengunjung untuk mencegah penularan
mikroorganisme ke penderita atau penularan antar penderita yang
dirawat
5. Melaksanakan dengan ketat pelaksanaan teknik aseptik pada semua
prosedur termasuk penggunaan pakaian steril, sarung tangan, masker,
dan alat pencegah penularan lainnya
6. Melakukan sterilisasi semua alat kesehatan yang digunakan ulang,
misalnya ventilator, pelembab ruangan, dan semua hal yang
berhubungan dengan saluran pernapasan
7. Mengganti sesering mungkin perban penutup luka dan memberikan
salep antibiotik di bawah perban.
8. Lepaskan pipa nasogastrik dan endotrakeal sesegera mungkin sesudah
tidak diperlukan lagi.
9. Menggunakan kateter vena yang sudah dibubuhi antibakteri untuk
mencegah bakteri agar tidak dapat masuk ke dalam aliran darah
10. Mencegah kontak petugas kesehatan dengan sekresi pernapasan
dengan menggunakan pelindung, misalnya masker
11. Menggunakan kateter urine yang sudah dilapisi silveralloy untuk
mencegah bakteri menginfeksi kandung kemih
12. Kurangi penggunaan prosedur berisiko tinggi dan lama pemakaian
alat-alat berisiko tinggi misalnya kateterisasi saluran kemih
20
13. Melakukan sterilisasi semua instrumen medis dan perlengkapan
lainnya untuk mencegah kontaminasi
14. Mengurangi penggunaan antibiotik secara berlebihan agar tidak
menganggu sistem imun penderita dan mengurangi terjadinya
resistensi bakteri.
21
BAB III
TINJAUAN KASUS
KEBERSIHAN TANGAN
No. Dokumen SOP.IBI-JB/078-
01
No. Revisi 01
SPO
Tanggal Terbit 2023
Halaman 3 halaman
Pengertian Membersihkan tangan dengan menggunakan sabun dan
air mengalir bila tangan terlihat kotor atau terkena cairan
tubuh, atau menggunakan cairan yang berbahan dasar
alkhohol bila tangan tidak tampak kotor.
Tujuan Sebagai acuan dalam mencuci tangan yang higienis
sebelum dan sesudah melaksanakan Tindakan untuk
menghindari infeksi nosocomial dan mencegah
penyebaran mikroorganisme.
Referensi 1. Kemenkes RI, 2011. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya: Kesiapan
Menghadapi Emerging Infectious Disease, edisi
3, Kemenkes RI, Jakarta.
2. JNPK-KR, 2012, Asuhan Persalinan Normal dan
Inisiasi Menyusui Dini, JHPIEGO Kerja Sama
Save The Children Federation Inc-US, Kesehatan,
Jakarta.
3. Kemenkes RI, 2017, Permenkes No. 27 Tahun
2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, Jakarta.
4. Kemenkes RI, 2018, Modul Pelatihan Bagi
Pelatih (TOT) Penanganan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal Bagi Dokter Umum,
Bidan dan Perawat, Direktorat Kesga, Dirjen
Kesmas, Kemenkes RI, Jakarta.
5. Kemenkes RI, 2020, Pedoman Teknis Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama, Jakarta.
Prosedur A. Persiapan Alat dan Bahan
1. Air mengalir/larutan berbahan dasar alkhohol
22
70% atau larutan alkhohol 70% + gliserin
(jika tidak ada air mengalir) atau air dalam
ember + gayung.
2. Sabun antiseptik.
3. Handuk/Tisu kertas sekali pakai.
B. Pelaksanaan
Cara Kebersihan Tangan dengan Sabun dan
Air Mengalir (Hand Washing) Selama 40-60
Detik
1. Pastikan tidak ada perhiasan tangan/
melepaskan jam tangan, cincin, atau perhiasan
lainnya.
2. Basahi kedua tangan dengan air bersih yang
mengalir.
3. Tuangkan sabun cair 3-5 mL untuk
menyabuni seluruh permukaan tangan sebatas
pergelangan.
4. Gosok kedua telapak tangan hingga merata.
5. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri
dengan tangan kanan dan sebaliknya.
6. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
7. Gosok punggung jari ke telapak tangan
berlawanan, jari-jari sisi dalam dari kedua
tangan saling mengunci.
8. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman
tangan kanan dan sebaliknya. Gosok dengan
memutar ujung jari-jari tangan kanan di
telapak tangan kiri dan sebaliknya.
9. Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10. Keringkan dengan handuk/kertas tisu sekali
pakai.
11. Gunalan handuk/kertas tisu tersebut untuk
menutup keran dan buang ke tempat sampah
dengan benar.
12. Tangan anda sudah bersih,
Cara Kebersihan Tangan dengan ANtiseptik
Berbasis Alkhohol (Hand Rubbing) Selama 20-
30 Detik.
1. Pastikan tidak ada perhiatan tangan/
melepaskan jam tangan, cincin, atau perhiasan
lainnya.
2. Tuangkan 2-3mL antiseptic berbasis alkhohol
ke telapak tangan, kemudian ratakan ke
seluruh permukaan tangan.
3. Gosok kedua telapak tangan hingga merata.
4. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri
23
dengan tangan kanan dan sebaliknya.
5. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
6. Gosok punggung jari ke telapak tangan
berlawanan, jari-jari sisi dalam dari kedua
tangan saliong mengunci.
7. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman
tangan kanan dan sebaliknya. Gosok dengan
memutar ujung jari-jari tangan kanan di
telapak tangan kiri dan sebaliknya.
8. Sesudah kering, tangan Anda sudah bersih.
24
telapak tangan dengan posisi jari-jari
tergenggam/mengepal.
9. Lakukan Gerakan memutar dengan
menggosok ibu jari dari arah belakang ke
depan dengan menekan jari-jari tangan kana
pada telapak tangan kiri dan sebaliknya.
10. Basahi juga lenggan sampai ke siku, kemudia
bilas dengan air mengalir.
11. Tutup keran air mengalir dengan
menggunakan siku.
12. Keringkan tangan dengan handuk/lap steril.
Bila hanya melakukan tindakan pemasangan
infus, gunakan tisu kering dan bersih untuk
mengeringkan tangan.
25
KesehatanTingkat Pertama, Jakarta.
Prosedur A. Persiapan Alat dan Bahan
1. Sarung tangan.
B. Pelaksanaan
1. Lakukan kebersihan tangan.
2. Pastikan sarung tangan steril (lihat batas
kadaluwarsa sarung tangan). Buka kemasan luar
nonsteril tanpa menyentuh kemasan steril di
dalamnya.
3. Letakkan kemasan dalam yang steril pada
permukaan rata yang bersih dan kering, tanpa
menyentuh permukaan kemasan steril. Bukalah
kemasan dengan menyentuh ujung kemasan, lalu
lipat hingga menghadap ke bawah, dan biarkan
kemasan terbuka.
4. Masukkan tangan satunya ke dalam sarung tangan
dengan satu gerakan tunggal, biarkan lipatan
sarung tanfan pada daerah pergelangan tangan.
5. Ambil sarung tangan kedua dengan cara
menyelipkan jari-jari tangan yang telah
menggunakan sarung tangan ke dalam lipatan
manset sarung tangan kedua.
6. Masukkan tanggan yang belum mnegnakan
sarung tangan (dengan satu gerakan tunggal) ke
sarung tangan kedua dengan menghindari kontak/
sentuhan antara tangan yang telah mengenakan
sarung tangan dengan area selain sarung tangan
yang akan digunakan (adanya kontak
menyebabkan kurangnya asepsis dan
membutuhkan penggantian sarung tangan).
7. Jika dibutuhkan, setelah kedua sarung tangan
terpasang, perbaiki letak sarung tangan pada jari-
jari hingga sarung tangan terpasang dengan
nyaman.
8. Bukalah lipatan pada manset dengan menyelipkan
jari-jari tangan lain di bawah lipatan, hindari
kontak atau sentuhan denggan permukaan selain
permukaan luar sarung tanagn (adanya kontak
menyebabkan kurangnya asepsis dan
membutuhkan penggantuian sarung tangan).
Lakukan pada kedua sarung tangan.
9. Tangan yang telah mengenakan sarung tangan
hanya boleh menyentuh area dan alat-alat yang
telah disterilkan serta area tubuh klien yang telah
didisinfeksi.
26
Hal-hal yang harus diperhatiukan
1. Lakukan pemasangan sesuai prosedur.
2. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
menggunakan sraung tangan. Pastikan tangan
dalam kondisi bersih dan tidak ada luka,
3. Jika ada luka sebaiknya menggunakan sarung
tangan dobel.
4. Perhatikan selama pemasangan apakah bocor atau
tidak, jika sarung tangan bocor, maka segera ganti
dengan yang baru.
27
Komunikasi Terapeutik
1. Justifikasi indentitas klien (nama lengkap, tanggal
lahir, nomor rekam medis)
2. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
3. Lakukan cuci tangan
4. Perkenalkan diri dan jelaskan pada klien tujuan
tindakan yang akan dilakukan.
5. Jaga privasi klien dan atur lingkungan sekitar
klien
6. Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman
mungkin
Tahap Kerja
1. Atur posisi dorsal recumbent (kedua lutu dilipat
diregangkan/dibuka)
2. Letakkan pengalas di bawah bokong
3. Tutup area pinggang dengan selimut
4. Lakukan cucui tangan 6 langkah
5. Pasang sarung tangan bersih
6. Bersihakna area perineum dengan kapas/kasa dan
cairan antiseptic
7. Bilas dan keringkan, kemudia lepaskan sarung
tangan bersih
8. Buka set kateter steril dan alat-alat steril lainnya
dan tempatkan di alas steril dengan tetap
mempertahankan Teknik aseptic
9. Gunakan sarung tangan steril
10. Sambungkan kateter dengan urine bag
11. Lumasi ujung kateter 2,5 – 5 cm dengan jeli
12. Buka kedua labia minora dengan ibu jari dan
telunjuk tangan non dominan
13. Masukkan kateter 5- 7,5 cm ke dalam meatus
uretra secara perlahan sambal menganjurkan
Tarik napas dalam
14. Perhatikan adanya aliran urine dalam selang urine
bag
15. Lakukan fikasi internal dengan memasukkan
aquades/NaCl untuk mengembangkan balon
kateter
16. Tarik kateter perlahan sampai terasa ada tahanan
untuk memastikan kateter terfiksasi dengan baik
dalam kandung kemih
17. Lepaskan sarung tangan steril
18. Lakukakn fiksasi eksternal dengan plester di area
paha dalam
19. Gantungkan urine bag dengan posisi lebih rendah
dari pasien
28
20. Gunakan sarung tangan bersih dan ambil sampel
urine segera dari urine bag. Jika perlu
21. Lepaskan sarung tangan bersih
22. Rapikan pasien dan bereskan alat-alat yang
digunakan
Tahap terminasi
1. Lakukan cuci tangan
2. Lakukan evaluasi terhadap klien tentang kegiatan
yang dilakukan
PEMASANGAN INFUS
No. Dokumen
No. Revisi 01
SPO
Tanggal Terbit 2023
Halaman 2 halaman
Pengertian Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari
pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke
dalam tubuh pasien.
Tujuan Sebagai acuan yang digunakan untuk memastikan
pemasangan infus pasien dengan benar selama pasien di
rawat di Rumah Sakit.
Referensi Kemenkes RI, 2011, Permenkes No. 1691 Tahun 2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Prosedur A. Persiapan Alat
1. Standar infus
2. Cairan infus sesuai kebutuhan
3. IV Catheter/ Wings Needle/ Abocath sesuai
kebutuhan
4. Perlak
5. Tourniquet
6. Plester
7. Gunting
8. Bengkok
9. Sarung tangan bersih
10. Kassa steril
11. Kapas Alkhohol/ Alkhohol Swab
12. Betadine
B. Pelaksanaan
1. Cuci tangan 6 langkah
2. Dekatkan alat
29
3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur dan
sensasi yang akan dirasakan selama pemasangan
infus
4. Atur posisi pasien/ berbaring
5. Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan
dengan selang infus dan gantungkan pada standar
infus
6. Menentukan area vena yang akan ditusuk
7. Pasang alas
8. Pasang tourniquet pembendung +- 15 cm diatas
vena yang akan ditusuk
9. Pakai sarung tangan
10. Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan
diameter 5-10 cm
11. Tusukkan IV Catheter ke vena dengan jarum
menghadap ke atas
12. Pastikan jarum IV masuk ke vena
13. Sambungkan jarum IV dengan selang infus
14. Lakukan fikasai ujung jarum IV ditempat insersi
15. Tutup area insersi dengan kassa kering kemudian
plester
16. Atur tetesan infus sesuai program medis
17. Lepas sarung tangan
18. Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi :
nama pelaksana, tanggal dan jam pelaksanaan
19. Bereskan alat
20. Cuci tangan
21. Observasi dan evaluasi respon pasie, catat pada
dokumentasi keperawatan
30
BAB IV
PEMBAHASAN
31
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Infection Prevention and
Control / IPC) di rumah sakit merupakan salah satu standar mutu pelayanan
rumah sakit, selain itu penerapan pencegahan infeksi yang optimal juga akan
meningkatkan tingkat keselamatan pasien. Program Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi adalah kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pembinaan,
pendidikan dan pelatihan, serta proses pemantauan dan evaluasi. Upaya tersebut
tidak hanya dilakukan oleh petugas kesehatan di rumah sakit, tetapi diperlukan
kerjasama antara rumah sakit, pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
untuk mencegah pasien, tenaga kesehatan, dan pengunjung dari infeksi yang tidak
terduga. Salah satu masalah yang sering ditemukan adalah masalah pencatatan
dan pelaporan HAIS yang belum optimal. Pelaksanaan program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di rumah sakit membutuhkan komitmen dan sumber daya
yang mendukung. Banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, sehingga
keberhasilan program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit
dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun masih banyak rumah sakit yang kurang
memperhatikan faktor-faktor tersebut sehingga pelaksanaan program pencegahan
dan pengendalian infeksi di rumah sakit belum berjalan secara maksimal. Tulisan
ini merupaka review terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.
Salah satu tujuan dari patient safety adalah untuk mengurangi risiko
penularan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Infection Prevention and
Control (IPC) merupakan salah satu standar dalam pelaksanaan manajemen
rumah sakit. Tujuan penyelenggaraan program IPC adalah untuk meningkatkan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan, mengurangi kejadian HAIs, dan untuk
mengidentifikasi serta mengurangi risiko infeksi yang didapat dan ditularkan di
antara pasien, staf, tenaga kesehatan, pekerja kontrak, relawan, pelajar, dan
pengunjung. Berdasarkan berbagai literatur yang digunakan, diketahui berbagai
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program pengendalian infeksi di rumah
sakit. Berbagai faktor tersebut kemudian dikelompokkan menjadi beberapa faktor
utama yaitu faktor pendidikan dan pelatihan tim KIP, faktor fungsi manajemen,
32
faktor peran dan fungsi pemimpin ruangan, faktor ketersediaan sarana dan
prasarana, dan faktor budaya organisasi.
33
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Infeksi nosokomial atau Healthcare-associated infections (HAIs)
merupakan salah satu masalah serius yang sedang banyak mencuri perhatian
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Upaya untuk mencegah kejadian
infeksi nosokomial yang penting adalah penerapan standar penjagaan baik
bagi pasien, petugas, lingkungan dan alat kesehatan, dengan tujuan untuk
memutuskan rantai penularanya. Pendidikan bagi tenaga kesehatan sangat
mendukung dalam upaya pengendalian infeksi, untuk itu pendidikan infeksi
harus diberikan secara terus menerus.
B. SARAN
Setelah memami tidak baik atau berbahayanya HAIs diharapkan para
tenaga kesehatan dapat memaksimalkan terkait pecegahan infeksi tersebut
agar meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Atoilah, M, E., & Kusnadi, E. (2013). Askep Pada Klien dengan Gangguan
Kebutuhan Dasar Manusia. Garut: In Media
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Infeksi di ICU. Jakarta : Depkes RI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan
Medik. Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. (2013). Pedoman
Surveilans Infeksi Rumah Sakit. Jakarta : Kemenkes RI.
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit. (2015). Buku
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo (edisi 4). Jakarta : Komite PPIRS RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo
Kusnan, A. (2017). Inkeksi Nosokomial Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta:
Leutikaprio
Nasution, H, L. (2013). ‘Infeksi Nosokomial’, Departemen / SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam
Malik Medan, Vol. 39, No.1,dilihat 24 Maret 2018,
<http://jurnal.usu.ac.id>
Perry., Potter. (2014). Clinical Nursing Skills & Techniques. Amerika: Elsevier
Rebeiro, G., Jack. L., Scully, D., & Wilson, D. (2015). Keperawatan Dasar
Manual Keterampilan Klinis (edisi 9). Indonesia : Elsevier
Salawati, L. (2013). ‘Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Ruang Intensive Care
Unit Rumah Sakit', Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Vol 12, No. 1, dilihat
25 Maret 2018,< http://jurnal.unsyiah.ac.id >
Satrianegara, F, M. (2014). Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika
Soedarto. (2016). Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta: Sagung Seto
35