Anda di halaman 1dari 12

NU PADA MASA ORDE BARU

Guna memenuhi tugas Mata Kuliah Ke-NU-an Dosen Pengampu : Nur Rois, M.Pd,I

Disusun oleh :
1. Anni Tanwirotul Chusna (22106011108)
2. Della Faizzatul chariroh (22106011121)
3. Sahalluthfan (22106011210)
4. Labiq Muztaba (22106011205)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang
merupakan tugas mata kuliah Ke-NU-an. Kami sampaikan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Ke-NU-an Bapak Nur Rois M. Pd.I. dan semua pihak yang membantu
dalam proses penyusunan makalah ini yang berjudul “NU Pada Masa Orde Baru”.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan
baik dari isinya maupun strukur penulisan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 6 Juni 2023

Kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... 3
BAB I ............................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 4
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................................... 4
C. TUJUAN ............................................................................................................................... 4
BAB II .............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5
A. Kebijakan NU Pada Masa Baru .............................................................................................. 5
B. NU pada masa Orde Baru....................................................................................................... 7
BAB III ........................................................................................................................................... 11
PENUTUP ...................................................................................................................................... 11
A. KESIMPULAN ...................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSAKA ........................................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bisa dikatakan era Orde Baru atau rezim pemerintahan Soeharto, Nahdlatul
Ulama mengalami kondisi yang tidak mudah. Selain mengalami diskriminasi golongan,
NU juga mengalami represi dari pemerintahan Soeharto. NU saat itu termasuk ormas
yang kerap berseberangan dengan pemerintah, bahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) mengkritik Soeharto dalam tulisan-tulisannya.
Pada 1973, pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai
mempraktikkan kehidupan politik yang represif. Langkah paling mendasar adalah
memaksa partai-partai bergabung satu sama lain (fusi).
Seluruh partai Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, serta
partai nasionalis dan Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU) bergabung dengan tiga partai muslim lain, menjadi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Berdirinya PPP diumumkan pada Januari 1973. 1

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Kebijakan NU Pada Masa Orde Baru?
2. Bagaimana NU pada masa Orde Baru?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Kebijakan NU Pada Masa Orde Baru
2. Menambah Pengetahuan tentang NU

1
https://www.nu.or.id/fragmen/saat-nu-jadi-oposisi-pemerintah-orde-baru-KRj33
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan NU Pada Masa Baru
Bisa dikatakan era Orde Baru atau rezim pemerintahan Soeharto, Nahdlatul
Ulama mengalami kondisi yang tidak mudah. Selain mengalami diskriminasi golongan,
NU juga mengalami represi dari pemerintahan Soeharto. NU saat itu termasuk ormas
yang kerap berseberangan dengan pemerintah, bahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) mengkritik Soeharto dalam tulisan-tulisannya.
Pada 1973, pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai
mempraktikkan kehidupan politik yang represif. Langkah paling mendasar adalah
memaksa partai-partai bergabung satu sama lain (fusi).
Kacung Marijan dalam Quo Vadis Setelah NU Kembali ke Khittah (1992) menjelaskan
bahwa penyederhanaan yang dikonsep oleh Ali Moertopo tersebut memiliki dua tujuan.
Pertama, tujuan jangka pendek, yaitu mempertahankan stabilitas nasional dalam
kelancaran pembangunan dalam menghadapi pemilu.
Kedua, tujuan jangka panjang, penyederhanaan partai secara konstitusional
sesuai ketetapan No. XXII/MPRS/1966. Gagasan ini, katanya, tidak hanya berarti
pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari itu adalah perombakan sikap dan
pola kerja menuju orientasi pada program.
Seluruh partai Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, serta
partai nasionalis dan Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU) bergabung dengan tiga partai muslim lain, menjadi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Berdirinya PPP diumumkan pada Januari 1973.
Penggabungan menjadi PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima bagi
kebanyakan politikus NU. Kiai-kiai NU di tubuh partai memegang prinsip bahwa dalam
kondisi sulit dan terdesak yang dibutuhkan adalah kemudahan (al-masyaqqah tajlibut
taysir).
Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru (1944) menerangkan bahwa KH Idham Chalid dan kawan-kawan
terdekatnya, langsung menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih
dahulu bermusyawarah dengan anggota PBNU lain. Dapat dimengerti jika hal ini
memunculkan ketidakpuasan di lingkungan NU. Namun, semua tampaknya setuju
untuk berbuat yang terbaik dalam kondisi baru ini tinimbang menantang secara aktif.
NU bertahan sebagai komponen khusus, sekaligus utama, dalam PPP. NU dengan
gencar mempertahankan kepentingan faksionalnya. NU adalah partai yang jauh lebih
besar dibanding partai-partai lain yang bergabung dalam PPP. Dua di antaranya PSII
dan Perti, partner lamanya dalam Liga Muslimin. Kedua partai ini sangat kecil.
Perti bahkan hanya memiliki pendukung di lingkungan etnis (kaum tradisionalis
Minangkabau dan Aceh). Satu-satunya partner signifikan NU di PPP adalah Parmusi.
Menurut hasil pemilu 1971, Parmusi mendapat 24 kursi di DPR, sementara NU 58, PSII
10, dan Perti 2 kursi. (Untuk perbandingan: Golkar mendapatkan 226 kursi dan partai-
partai yang kelak bergabung dalam PDI mendapatkan 40 kursi).
Dalam konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan. Bagi
NU, peleburan diri ke dalam PPP seperti kembali ke masa ia menjadi bagian dari
Masyumi. Tidak sulit meramalkan sebagian problem dan konflik lama meledak kembali
ke permukaan, kecuali jika ketimpangan antara kekuasaan massa pendukung yang
besar dan jumlah politikus yang berkeahlian dapat diatasi dengan baik. Yang lebih
penting lagi, Rais ‘Aam NU Kiai Bisri Syansuri juga menjadi presiden Majelis Syuro
PPP, dewan ulama yang menurut teorinya dapat mengeluarkan fatwa yang secara
konstitusional harus diikuti partai. Berulangkali, saat-saat kritis selama 1970-an, Kiai
Bisri mengeluarkan keputusan tegas tentang pendirian partai.
Kiai Bisri adalah pemimpin yang sangat berbeda dengan Kiai Wahab
Chasbullah. Ia kurang memiliki naluri politik dan keluwesan yang dimiliki para
pendahulunya. Ia lebih mendasarkan keputusan kepada penalaran fikih (ilmu tentang
hukum Islam) ketimbang kebijaksanaan politik. Seperti kebanyakan ulama
tradisionalis, ia lebih suka menghindari konflik dengan pemerintah tapi menolak
bersikap kompromi apabila menyangkut prinsip agama.
Inilah yang justru membuat Kiai Bisri dan NU beberapa kali terlibat dalam
perbenturan serius dengan pemerintah. Konfrontasi pertama terjadi ketika rencana
undang-undang perkawinan dibawa ke sidang DPR pada 1973. Beberapa pasal dalam
Undang-Undang ini bertentangan dengan hukum keluarga dalam fikih, dan Kiai Bisri
menolaknya dengan lantang. Semua kelompok PPP di DPR menyatakan penolakan atas
undang-undang tersebut. NU di bawah komando Kiai Bisri pernah menolak RUU
Perkawinan yang diajukan pemerintah ke DPR pada 31 Juli 1973 karena RUU ini
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, bukan hanya Islam tetapi juga Kristen.
Sikap kritis dan reaktif NU ini membuat para elit pemerintah jengkel dan merasa tidak
dihargai sehingga akhirnya Ali Moertopo melakukan manipulasi politik dengan cara
mengganti Ketua PPP dengan sahabat dekatnya, Naro. Pergantian pengurus
diselenggarakan tanpa rapat dan muktamar. Naro langsung mengumumkan dirinya
sebagai ketua baru.
Konfrontasi serius dengan pemerintah juga terjadi pada Pemilu 1977. R.
William Liddle (1978) mencatat bahwa kampanye pemilu menjadi ajang perebutan
pengaruh yang timpang antara Islam dan rezim Orde Baru. Pihak militer dan penguasa
sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar
memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling
vokal dan berani. Dalam situasi tersebut, Kiai Bisri bersikap tegas dan mengeluarkan
fatwa yang menyatakan setiap Muslim wajib hukumnya memilih PPP. Meskipun
beberapa kiai memihak ke Golkar, tapi NU terbukti mampu mempertahankan disiplin
internal yang kuat.Martin van Bruinessen (1994) mencatat bahwa PPP telah
menampilkan diri dengan baik dalam Pemilu 1977 dan berhasil mendapat tambahan 5
kursi lebih banyak dari pemilu 1971. PPP memperoleh kemenangan yang penting
secara psikologis dengan mengalahkan Golkar di ibukota. Di Jakarta mereka
mendapatkan dukungan suara yang sangat besar, dan bahkan meraup suara mayoritas
mutlak di Aceh.
Meskipun kerap dikecewakan dan disingkirkan oleh rezim Orde Baru, sikap
kritis para ulama NU terhadap pemerintahan Soeharto tidak surut. Di sini NU
mempunyai peran penting dalam membangun keadilan sosial dan demokrasi yang
baikbagi bangsa ke depannya. Walaupun pada akhirnya di tahun 1984 NU harus
kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, bukan
lagi sebagai partai politik. Namun peran politik kebangsaan dan politik kerakyatan
masih terus dijalankan oleh NU.
B. NU pada masa Orde Baru
Pada tahun 1966, Achmad Sjaichu mengatakan bahwa ABRI bagaikan saudara
yang lahir dari satu ibu. Namun ABRI menetapkan sebuah sistem baru dan menarik
dukungannya kepada Soekarno. Baru kemudian, setelah jelas tidak akan mengizinkan
pembubaran PKI, Soekarno secara bertahap disingkirkan. Di awal tahun 1966, aksi-
aksi pembantaian mulai mereda, setelah sebelumnya terjadi pemberantasan terhadap
PKI dengan cukup keras supaya PKI tidak tumbuh subur di Negara Indonesia. Pada
saat itu, NU dengan mempersiapkan organisasi kepemudaan Ansor, Banser (1964)
untuk menghadapi pertempuran yang diduga semakin gawat, dan saat tanggal 8
Oktober 1965, pemuda Muslim membakar markas besar PKI. 2

Kesetiaan NU terhadap Soekarno semakin besar dan terus berlanjut bahkan


hingga sesudah pelimpahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto 11 Maret 1966.
Setelah peralihan kekuasaan kepada Suharto tanggal 11 Maret 1966, sebagian
perombakan pada MPR dan DPR, sebagian diserahkan kepada NU. Pada titik inilah
NU memainkan peran kunci dalam peralihan kekuasaan secara bertahap karena dalam
beberapa waktu saja, Jendral Suharto berhasil menumpas G30S. NU juga memainkan
peran yang sangat penting dalam pengambilalihan kekuasaan secara konstitusional oleh
Jendral Suharto. Demikian pula, NU ikut andil dalam membumbungnya karier politik
Suharto melalui reshuffle yang dilakukan DPR-GR dan dua resolusi, yang
mengabsahkan peralihan kekuasaan ke tangan Suharto. Resolusi yang dimaksud di sini
adalah, pertama, resolusi Lubis, di mana Nurdin Lubis pernah mengajukan resolusi agar
Sukarno dicopot dari jabatannya sebagai presiden, dan kedua resolusi yang
disampaikan oleh Djamaluddin Malik, seorang anggota DPR-GR dari NU. Resolusi ini
meminta agar MPRS mengangkat Jendral Suharto menjadi presiden RI.

Di Indonesia, pemilu sudah tidak pernah diadakan lagi sejak tahun 1955, hal
tersebut menimbulkan banyak pertikaian. Menurut ABRI, karena ABRI belum punya
partai untuk mendukungnya, maka mereka terus mengulur waktu supaya pemilu
dilaksanakan lama. Namun bagi NU, mereka menginginkan pemilu cepat dilaksanakan
karena mereka yakin sikapnya yang anti komunis akan membuatnya memenangkan
pemungutan suara di tingkat nasional. Pada tahun 1966, Ansor meminta pemilu
dilaksanakan paling lambat tahun 1967 namun MPRS memutuskan pemilu
dilaksanakan pada Juli 1968. 3

Semenjak Orde Baru, Suharto mulai membuka bantuan dan penanaman modal
dari asing seperti dari Amerika, Jepang, dan lain-lain. Bantuan dari luar negeri seolah
tak berkurang, namun terus meningkat. Pada tahun 1967, bantuan dari asing mencapai
200 juta dolar dan pada tahun 1969 batuan mencapai 500 juta rupiah. Bantuan tersebut
melampaui dua milyar sejak tahun 1975. NU sangat mengkhawatirkan dampak bantuan
asing tersebut serta mengkhawatirkan dampak budaya asing yang kelak masuk di

2
Dian,Nimmo. 2000. Komunikasi Politik:Komunikator, Pesan, dan Media, cetakan ke-4. Bandung:PT. Remaja
Rosdakarya.
3
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo
Indonesia. NU meminta kepada Soeharto supaya penanaman modal dan bantuan asing
dibatasi.

Di sisi lain, dalam konteks kepartaian, Orde Baru yang dipimpin Soeharto
menginginkan partai politik berjumlah sedikit saja. Sehingga terjadi penggabungan
paksa partai politik menjadi dua partai, dan hal tersebut cukup mengejutkan bagi NU.
Sehingga NU, Parmusi, PSII, dan Perti digabungkan pada Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). PNI, Pakindo, Partai Katholik, IPKI dan Murba digabungkan
pada Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PPP sendiri mulai dibentuk pada tanggal 5
Januari 1973, dengan tujuan mempertahankan dan membangun negara Republik
Indonesia di atas landasan Pancasila dan UUD 1945, menuju masyarakat adil dan
makmur yang diridhoi Allah.

Di sinilah NU mulai diperlakukan tidak adil sejak Partai Islam dijadikan satu,
sejak NU kehilangan Departemen Agama dan karena keikutsertaan NU dalam Orde
Lama. Lambat laun, orang-orang tradisionalis menilai, tersisihnya NU itu dikarenakan
kurangnya “kematangan Politik NU sendiri”.

Di tahun 1975, NU memutuskan untuk mengadakan konferensi besar dengan


mengundang para ulama membahas situasi yang serba baru. Sebab saat itu para
pemimpin NU tampak meninggalkan ormas NU dan partai PPP. Karena kekosongan
itu, wilayah daerah mulai mengambil inisiatif. Para ulama memutuskan untuk
“mempergiat usaha-usaha di bidang sosial” sambil menyesuaikan diri dengan identitas
baru organisasi keagamaan “jam’iyah”. Pada tanggal 4 Februari 1976 dibentuklah
lembaga pendidikan independen (Lembaga Ma’arif) di Yogyakarta. Lembaga ini minta
pada sekolah-sekolah NU agar masuk ke dalam Yayasan.4

Pada Muktamar ke 25 di Surabaya, Rais Am Kiai Wahab Hasbullah


menghimbau para aktivis agar kembali ke khittah 1926. Ada beberapa faktor terkait
mengarah pada penolakan keikutsertaan kehidupan politik. Pertama, ada tekanan yang
diderita para pegawai negeri/para pengusaha yang tergantung pada administrasi untuk
mendapatkan bagian tender pekerjaan umum. Kedua, ketidakpuasan terhadap
pengabaian tugas-tugas utama yang bersifat sosial/pendidikan.

4
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS.
Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo juga sangat menarik. Sebab, pertama,
telah diambilnya keputusan kembali ke khittah 1926, yang berati NU secara
organisatoris tidak lagi berpolitik praktis. Kedua, pada muktamar ini, untuk pertama
kalinya Abdurrahman Wahid terpilih sebaai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1984-1989. Kehadiran Gus Dur dalam organisasi ini
penting untuk dicatat, paling tidak karena ia telah memberikan warna tersendiri,
terutama karena watak pribadi Gus Dur serta pendekatannya yang khas dalam
membawa NU ke dalam wacana sosial politik di Indonesia. Para kiai pun mendukung
prakarsa pemuda NU, karena pada dasarnya gagasan kembali ke khittah 1926 berarti
pula mengembalikan posisi ulama pada peran yang lebih besar lagi. Sebab NU terlibat
dalam pergumulan politik praktis, sejumlah ulama telah meninggalkan misi
keumatannya karena “tergoda” rebutan kekuasaan.5

5
Feillard, Andree. 1997. Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Yang lebih penting lagi, Rais ‘Aam NU Kiai Bisri Syansuri juga menjadi presiden
Majelis Syuro PPP, dewan ulama yang menurut teorinya dapat mengeluarkan fatwa yang
secara konstitusional harus diikuti partai.
Resolusi yang dimaksud di sini adalah, pertama, resolusi Lubis, di mana Nurdin Lubis
pernah mengajukan resolusi agar Sukarno dicopot dari jabatannya sebagai presiden, dan
kedua resolusi yang disampaikan oleh Djamaluddin Malik, seorang anggota DPR-GR dari
NU.
Di sinilah NU mulai diperlakukan tidak adil sejak Partai Islam dijadikan satu, sejak NU
kehilangan Departemen Agama dan karena keikutsertaan NU dalam Orde Lama.
Kehadiran Gus Dur dalam organisasi ini penting untuk dicatat, paling tidak karena ia telah
memberikan warna tersendiri, terutama karena watak pribadi Gus Dur serta pendekatannya
yang khas dalam membawa NU ke dalam wacana sosial politik di Indonesia.
DAFTAR PUSAKA
https://www.nu.or.id/fragmen/saat-nu-jadi-oposisi-pemerintah-orde-baru-KRj33
Dian,Nimmo. 2000. Komunikasi Politik:Komunikator, Pesan, dan Media, cetakan ke-4. Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS.
Feillard, Andree. 1997. Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS.

Anda mungkin juga menyukai