Anda di halaman 1dari 207

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN : 978-602-50332-8-5

HUKUM ACARA PERADILAN


TATA USAHA NEGARA
Penulis : Dr. Haposan Siallagan, S.H., M.H.
Kasman Siburian, S.H., M.H.
Fernando Z. Tampubolon, S.H., M.H.

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


All Rights Reserved

Cetakan Pertama, Oktober 2019

ix + 201 : 150x230 cm

Editor : Dr. Janpatar Simamora, S.H., M.H.


Design Cover : Yaya Colection
Tata Letak : Fernando

Penerbit: Lembaga Pemberdayaan

Media dan Komunikasi (LAPiK)

Copyright@LAPiK.

Dilarang memperbanyak buku ini, baik sebagian atau seluruhnya


dalam bentuk dan dengan cara apapun termasuk fotocopy,
tanpa seizin tertulis dari penerbit.
HUKUM ACARA
TATA USAHA NEGARA

Dr. Haposan Siallagan, S.H., M.H.


Kasman Siburian, S.H., M.H.
Fernando Z. Tampubolon, S.H.

Penerbit:
Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK)
Medan
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa, karena rahmat dan karuniaNya, buku ”Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara” ini dapat terselesaikan
dengan baik. Mengingat penyusunan buku ini disesuaikan
dengan kurikulum pada perguruan tinggi, pada hakekatnya
diupayakan juga untuk menjangkau seluruh lapisan masya-
rakat yang berkenginan mengetahui, mempelajari dan men-
jalankan praktik beracara di Peradilan Tata Usaha Negara
menurut ketentuan yang berlaku.
Hukum Acara Tata Usaha Negara ini lebih ditekankan
pada pendekatan dari sisi penyelesaian sengketa di Peradilan
Tata Usaha Negara dimana objek sengketa Tata Usaha Nega-
ra kerap muncul melalui Keputusan Tata Usaha Negara di
pusat maupun di daerah yang sering dimaknai sebagai
perbuatan kesewenang-wenangan dari penguasa (pemerin-
tah) yang dirasa telah tidak sesuai dengan hukum dan asas-
asas pemerintahan yang baik, dan disisi lain dapat beriringan
dengan ketidakadilan, sementara kesadaran masyarakat
untuk mempertahankan hak-hak hukumnya semakin tinggi.
Pada pandangan lain, adalah hal yang penting untuk
memperhatikan fungsi, tugas, wewenang dan kewibawaan
pemerintah menuju penatalaksanaan lembaga pemerintah ke
arah yang lebih profesional, meningkatkan sikap kehatiha-
tian dalam membuat keputusan dan memperhatikan ke-
adilan masyarakat itu sendiri. Maka, pemahaman akan cara-
cara penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara itu menjadi
penting untuk pelajari.
Meski banyak beredar buku Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, pada kesempatan ini penulis mencoba
dan berusaha memperkaya buku-buku yang ada berkaitan
dengan Hukum Acara Tata Usaha Negara tersebut, sekaligus
membantu para birokrasi, praktisi hukum, masyarakat luas

iii
dan secara khususnya mahasiswa Fakultas Hukum yang me-
ngambil mata kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara.
Penulis menyadari banyak kekurangan dan keterba-
tasan serta masih jauh dari kesempurnaan dalam menyusun
buku ini, maka pantas kiranya penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar buku ini menjadi lebih baik
dan berguna kedepannya.
Akhirnya kata, penulis tidak lupa mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Janpatar
Simamora, S.H., M.H., dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu menye-
lesaikan buku ini. Terimakasih.

Medan, Oktober 2019


Penulis,

Dr. Haposan Siallagan, S.H., M.H.


Kasman Siburian, S.H., M.H.
Fernando Z. Tampubolon, S.H., M.H.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v

BAB. I PENDAHULUAN
A. Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara 1
B. Dasar-dasar Hukum Peradilan Tata
Usaha Negara 6
C. Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara 9
D. Sumber-sumber Hukum Tata Usaha
Negara 14
E. Konsep Good Governance Dalam
Tata Usaha negara 19

BAB II KEPUTUSAN DAN SENGKETA TATA USAHA


NEGARA
A. Karakteristik Keputusan Tata Usaha
Negara 25
B. Batal atau Tidaknya Keputusan 29
C. Berlaku dan Mengikatnya Keputusan 34
D. Sengketa Tata Usaha Negara 36
E. Subjek Sengketa Tata Usaha Negara 40

BAB III TUGAS, WEWENANG DAN KOMPETENSI


PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Tugas dan Wewenang Peradilan
tata Usaha Negara 44
B. Kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara 55

v
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA TATA
USAHA NEGARA
A. Kedudukan Para Pihak Dalam
Sengketa TUN 63
B. Para Pihak 67
C. Penyelesaian Melalui Upaya
Administrasi 78

BAB V GUGATAN KE PERADILAN TATA


USAHA NEGARA
A. Alasan Mengajukan Gugatan 80
B. Pengajuan Gugatan 85
C. Syarat-syarat MengajukanGugatan 87
D. Tuntutan Dalam Gugatan 89
E. Ketidakhadiran Para Pihak 90
F. Pencabutan dan Perubahan
Gugatan 94
G. Pihak Ketiga Dalam Sengketa
ata Usaha Negara 95
H. Kuasa Hukum 102

BAB VI PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN


A. Rapat Permusyawaratan 104
B. Pemeriksaan Persiapan 107
C. Pemeriksaan Permohonan
Penangguhan Pelaksanaan KTUN 110
D. Pemeriksaan di Tingkat Pertama 114
E. Hukum Acara Peradilian TUN
Tidak Mengenal Rekonvensi 123

BAB VII PEMBUKTIAN


A. Prinsip Pembuktian 128
B. Alat Bukti 131
C. Beban Pembuktian 142
BAB VIII PUTUSAN PENGADILAN
A. Pengertian Putusan 147
B. Jenis dan Isi Putusan 149
C. Bentuk Putusan 152
D. Pelaksanaan Putusan 154
E. Pelaksanaan Putusan Terhadap
Keputusan Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara Yang Telah Dinya-
takan Batal 164
F. Kekuatan Mengikatnya Putusan 171

BAB IX UPAYA HUKUM


A. Perlawanan 174
B. Banding 177
C. Kasasi 182
D. Peninjauan Kembali 187
E. Kasasi Demi Kepentingan Hukum 192

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP PENULIS

vii
HukumAcara Tata Usaha Negara

PENDAHULUAN

A. PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Suatu negara hukum menghendaki agar setiap tinda-


kan penguasa haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku. Tujuan akhir dari faham negara hukum ini, adalah
suatu keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap
hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang para pe-
nguasa.1
Indonesia sebagai negara hukum secara konstitusio-
nal telah disebutkan pada UUD 1945 yaitu ”Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Indonesia pola negara hukum yang
berdasarkan kepada Pancasila yang bertujuan untuk mewu-
judkan tata kehidupan negara Indonesia yang aman, tentram,
aman sejahtera, dan tertib dimana kedudukan hukum setiap
warga negaranya dijamin sehingga bisa tercapainya sebuah
keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepenti-
ngan perorangan maupun kepentingan kelompok (masyara-
kat).
Menurut F.J. Stahl suatu negara hukum formal harus
memenuhi 4 (empat) unsur penting, yaitu:2

1
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. Ke-2,
Rajawali: Jakarta, 1992, hlm. 9.
2
Ibid

1
HukumAcara Tata Usaha Negara

(a) Adanya perlindungan terhadap hak asasi ma-


nusia;
(b) Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan;
(c) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang ber-
laku;
(d) adanya Peradilan Tata Usaha Negara.
Berangkat dari pandangan Stahl tersebut, dikaitkan
dengan perkembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia,
pembentukan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
terwujud setelah lahirnya UUD 1945. Pasal 24 menyatakan,
(1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang mer-
deka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan; (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang be-
rada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, ling-
kungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, ling-
kungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahka-
mah Konstitusi.
Rencana pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
sejak lahirnya UUD 1945 diwujudkan dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Undang-undang ini
tidak mengatur secara spesifik mengenai Peradilan Tata Usa-
ha Negara, namun hanya dua pasal yang mengatur mengenai
peradilan administrasi3, yaitu:
Pasal 66 berbunyi:
Jika dengan undang-undang atau berdasarkan atas
undang-undang tidak ditetapkan badan-badan kehaki-
man lain untuk memeriksa dan memutus perkara-per-
kara dalam soal tata usaha pemerintahan, maka penga-
dilan tinggi dalam tingkat pertama dan mahkamah
agung tingkat kedua memeriksa dan memutus perkara
itu.

3
Ali Abdullah M, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-
Amendemen, PT. Adhitya Andrebina Agung: Jakarta, Cet. Ke-1, 2015, hal. 1.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Pasal 67 berbunyi:
Badan-badan Kehakiman dalam urusan tata peme-
rintahan yang dimaksudkan dalam Pasal 66, berada da-
lam pengawasan Mahkamah Agung.
Dari bunyi ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa
tidak menyebutkan sebagai Peradilan Tata Usaha Negara,
akan tetapi sebagai Peradilan Tata Pemerintahan dan dalam
operasionalnya pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat
per--tama dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat
kedua.
Dari Pasal 24 UUD 1945 tersebut antara lain dapat
diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan
peradilan, yaitu:
a. Lingkungan Peradilan Umum
b. Lingkungan Peradilan Agama
c. Lingkungan Peradilan Militer
d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan demikian penyelenggaraan peradilan Tata
Usaha Negara (peradilan administrasi) di Indonesia meru-
pakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang ber-
dasarkan Pasal 144 dapat disebut Undang-undang Peradilan
Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum
terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan
oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 (tiga) badan, seba-
gai berikut:4
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya admi-
nistratif.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Ne-
gara (PTUN).

4
Sarjono, Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Penguasa/
OOD dan Masalah Ganti Rugi, dalam MA, Himpunan Karangan di Bidang
Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, 1993, hlm. 41.

3
HukumAcara Tata Usaha Negara

c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 Kitab Undang-


undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Di dalam melakukan tindakan hukum publik badan/
pejabat tata usaha negara mempunyai peranan sebagai pela-
ku hukum publik yang menjalankan kekuasaan hukum pu-
blik yang dijelmakan dalam kualitas penguasa (authorities)
seperti halnya badan-badan tata usaha negara dan pelbagai
jabatan yang diserahi wewenang penggunaan kekuasaan pu-
blik.5
Untuk membatasi kekuasaan dan tindakan pemerin-
tah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan mencipta-
kan iklim ketertiban dan kepastian hukum serta memberikan
pengayoman kepada masyarakat, maka dilahirkanlah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dalam konsiderans menimbang, lahirlah
undang-undang ini yang dilatarbelakangi oleh:
1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan
bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang
serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang
Tata Usaha Negara dan para warga masyarakat.
2. Bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut,
dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangu-
nan nasional secara bertahap, diusahakan untuk mem-
bina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur di bi-
dang tata usaha negara, agar mampu menjadi alat yang
efisien, efektif, bersih serta wibawa, dan yang dalam me-
laksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan
dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masya-
rakat.
3. Bahwa meskipun pembangunan nasional hendak dicip-
takan suatu kondisi sehingga setiap warga negara dapat

5
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Irawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, Universitas Atma Jaya:
Yogyakarta, 1996, hlm. 29, sebagaimana dikutip dalam Ali Abdullah M, Op.cit,
hlm. 6.
HukumAcara Tata Usaha Negara

menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian


hukum yang berintikan keadilan, dalam pelak-sanaannya
ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perseli-
sihan, atau sengketa antara badan atau pejabat Tata
Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat
merugikan atau menghambat jalannya pembangunan
nasional.
4. Bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diper-
lukan Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu me-
negakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepa-
da masyarakat dalam hubungan antara badan atau
pejabat Tata Usaha Negara.
Pada asasnya, setiap bentuk campur tangan pemerin-
tah dalam suatu pergaulan sosial harus berpedoman pada
peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan asas
legalitas sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Akan
tetapi, kelemahan asas legalitas yang sangat mengutamakan
kepastian hukum mengakibatkan asas ini cenderung mem-
buat pemerintah lamban dalam bertindak.6 Dalam hal-hal
tertentu ketika situasi dan kondisi mengharuskan peme-
rintah bertindak demi menghindari kerugian yang lebih be-
sar yang secara logis diperkirakan akan terjadi, pemerintah
memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk bertindak atas
inisiatif sendiri, meskipun harus menyimpang atau menga-
baikan undang-undang.7 Oleh karena itu, badan atau pejabat
Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan administrasi
negara diberikan kebebasan tanpa harus terikat oleh adanya
peraturan perundang-undangan yang disebut dengan diskre-
si atau freies ermessen8 sepanjang tidak menimbulkan
penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir),
pelampauan batas kekuasaan (exces de pouvoir) sehingga
merugikan rakyat. Tentu saja dalam perspektif negara

6
Hotman P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga: Jakarta, 2010, hlm. 140.
7
Hotma P. Sibuea, Ibid, hlm. 39.
8
Lihat: Ali Abdullah, Op.Cit hlm. 8

5
HukumAcara Tata Usaha Negara

hukum pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil tinda-


kan itu selalu ada batasan dan alasannya.

B. DASAR-DASAR HUKUM PERADILAN TATA USAHA


NEGARA

Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945


Pasal 1 ayat (3) berbunyi bahwa negara Indonesia adalah
Negara Hukum, dan selanjutnya dipertegas dalam Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar-
kan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hu-
kum Republik Indonesia.9
Salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di
Indonesia adalah Mahkamah Agung. Selain itu, sejak dilaku-
kannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945, pemegang
kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi bertambah, yaitu
seiring dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Kekua-
saan Kehakiman itu sendiri merupakan ciri pokok dari
negara hukum (rechtstaat) serta prinsip rule of law.10 Selain
sebagai pengadilan negara tertinggi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia juga melakukan pengawasan tertinggi
terhadap badan-badan peradilan dalam lingkungan peradi-
lan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradi-
lan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.11
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman
diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dimaksudkan untuk

9
Ali Abdullah, Ibid, hlm. 10.
10
Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora, Hukum Tata Negara
Indonesia, Sabar: Medan, 2011, hlm. 178.
11
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

mengadili adanya benturan kepentingan antara individu,


kelompok, dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dalam
ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tersebut badan peradilan tidak saja Peradilan Tata Usaha
Negara, akan tetapi badan-badan peradilan lainnya.
Pada tanggal 29 Maret 2004, diundangkanlah
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Perubahan itu dimaksudkan untuk me-
nyesuaikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai lanjutan dari refor-
masi kekuasaan kehakiman yaitu Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 yang merevisi UU Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.12
Undang-undang Nomor 4 tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman ternyata tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menu-
rut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut
telah diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 No. 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4358) telah dicabut dan dinyatakan tidak ber-
laku dan diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009, namun ketentuan-ketentuan pelaksanaannya sepan-
jang tidak bertentangan dengan ketentuan ini dinyatakan
tetap berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 63 UU No. 48
Ttahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mene-
gaskan bahwa pada saat undang-undang ini berlaku, semua
ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang ini.13

12
Ali Abdullah, Op.Cit, hlm. 11
13
Ibid, hlm. 11

7
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945


dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, pada
Pokoknya menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaku-
kan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh suatu Mah-
kamah Konstitusi.14
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pera-
dilan Tata Usaha Negara yang sudah dua kali mengalami
perubahan yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 ten-
tang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, memuat peraturan-peraturan tentang kedu-
dukan, susunan, kekuasaan, serta Hukum Acara yang ber-
laku di Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini
dapat disebut sebagai suatu hukum acara dalam arti luas,
karena undang-undang ini tidak saja mengatur tentang cara-
cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi
sekaligus juga mengatur tentang kedudukan, dan kekuasaan
dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang yang mengatur Hukum Acara Peradi-
lan Tata Usaha Negara yang berlaku untuk Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
yaitu:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peruba-
han Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peru-
bahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

14
Lihat Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora, Loc.Cit.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Adapun undang-undang yang mengatur hukum acara


bagi kasasi dan peninjauan kembali, yaitu:
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Peru-
bahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 ten-
tang Mahkamah Agung.
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Peru-
bahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersebut untuk mengisi kekosongan hukum Mahkamah
Agung telah mengeluarkan berbagai macam Surat Edaran
Mahkamah Agung.15
Untuk dapat memahami Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, tidak cukup hanya mempelajari ketentuan-
ketentuan dari pasal-pasal yang terkandung dalam Undang-
undang Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi harus mema-
hami asas-asas yang terkandung di dalamnya dan sekaligus
mempelajari penjelasan-penjelasannya. Jika diteliti dengan
seksama, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Tata
Usaha Negara banyak mempunyai persamaan dengan Hu-
kum Acara Perdata, oleh karenanya tidak salah juga mempe-
lajari Hukum Acara Perdata sebagai perbandingan antara
keduanya.

C. ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali


tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini
merupakan jantungnya peraturan hukum.16 Kita menyebut-
nya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan
yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bah-

15
Ali Abdullah, Op.Cit, hlm. 13
16
Dikutip dari Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2015, hlm. 23.

9
HukumAcara Tata Usaha Negara

wa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa


dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahir-
nya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari
peraturan hukum. Satjipto Rajardjo menambahkan bahwa
dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekadar kum-
pulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh
karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tun-
tutan etis.
Selain Satjipto Rajadjo, Paul Scholten memberikan
definisi asas hukum, sebagaimana dikutip oleh Bruggink17,
adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.
Secara garis besar, beberapa asas dalam Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang menjadi landasan
normatif operasional hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van recht-
matigheid atau praesumptio iustae causa).
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa harus selalu dianggap rechtmatig sampai ada
pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak dapat
menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat (Lihat Pasal 67 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986).
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pe-
laksanaan keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Pada dasarnya gugatan yang diajukan ke pengadilan
Tata Usaha Negara tidak dapat menunda pelaksanaan
keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan
(Lihat Pasal 67 Ayat 1 dan Ayat 4 huruf a) kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat. Hal ini

17
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

didasari oleh pemahaman bahwa keputusan badan


atau pejabat Tata Usaha Negara itu selalu sah menurut
hukum, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Karena
itu, selain Keputusan Tata Usaha Negara yang diper-
sengketakan tersebut belum diputus atau diuji sah
tidaknya oleh hakim, maka keputusan tersebut harus-
lah dianggap sah menurut hukum. Konsekuensinya
adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang diperseng-
ketakan tersebut tetap dapat dilaksanakan menu-rut
hukum.
3. Asas pembuktian bebas
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hakim
dalam membuktikan dapat menentukan apa yang
harus dibuktikan dan kepada siapa pembuktian ter-
sebut dibebankan serta apa yang harus dibuktikan.
Hakim juga berwenang dalam menentukan alat bukti
mana yang diutamakan untuk digunakan dalam pem-
buktian dan kekuatan pembuktian yang telah diguna-
kan, sehingga penilaian pembuktian diserahkan kepada
hakim, namun terbatas pada ketentuan Pasal 100
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Untuk sahnya pembuktian diperlukan paling kurang
dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal
107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
4. Asas hakim aktif (dominus litis).
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi
kedudukan para pihak, karena tergugat ialah pejabat
Tata Usaha Negara, sedangkan penggugat adalah orang
atau badan hukum perdata.
Dalam proses pemeriksaan dengan hukum acara Tata
Usaha Negara terlihat jelas bahwa hakim berperan aktif
dalam menentukan dan memimpin sidang sejak dari
permulaan proses dimulai, yaitu tahap pemeriksaan
persiapan guna melengkapi gugatan yang kurang jelas
sebelum pemeriksaan pokok perkara18 hakim telah

18
Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986.

11
HukumAcara Tata Usaha Negara

berperan aktif dalam meminta penjelasan kepada


badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, demi
lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan. Untuk
itu hakim dapat saja meminta Keputusan Tata Usaha
Negara yang dipersengketakan untuk dikirimkan ke
pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 56 ayat 3, Pasal
63 Ayat (1), dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986).
Asas keaktifan hakim merupakan instrumen yang
melepaskan hakim dari prinsip actori incumbit
probatio19 yang menjadi prinsip dasar hukum acara
dalam peradilan umum (gewone rechtpraak), meskipun
hakim masih terikat dengan prinsip judex ne procedat
ex officio (inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak
diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya). Kewenangan hakim Pera-
dilan TUN yang dilandasi asas Ultra petita, juga
melepaskan hakim dari prinsip judex non ultra petita.20
5. Asas putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat
erga omnes.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum
publik. Dengan demikian, putusan pengadilan Tata
Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak terbatas
hanya para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini,
tampaknya Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Intervensi dirasakan agak bertentangan
dengan asas erga omnes.21

19
Pada prinsipnya, siapa yang menuntut haknya dialah yang wajib
membuktikan adanya hak itu, dan siapa yang mendakwakan, dia jugalah yang
harus membuktikan.
20
W. Irawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005, hlm. 5-6.
21
Ali Abdullah, Op.Cit, hlm. 15.
HukumAcara Tata Usaha Negara

6. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram


partem).
Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan
harus diperlakukan dan perhatikan secara adil. Hakim
tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti,
keterangan, atau penjelasan dari satu pihak saja.
7. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis.
Baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, mau-
pun kasasi dengan Mahkamah Agung, harus terdapat
kesatuan beracara dalam perkara sejenis. Atas dasar
satu kesatuan hukum berdasarkan Wawasan Nusanta-
ra, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indo-
nesia menjadi tidak relevan. Sebagaimana yang pernah
terjadi pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam
HIR, Rbg dan Rv yang membagi wilayah Indonesia
(Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura) dan memisahkan
beracara di Landraad dan Raad van Justitie.
8. Asas peradilan dilakukan dengan serderhana, cepat
dan biaya ringan (Pasal 2 Ayat (4) UU Nomor 48 Tahun
2009).
Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami
dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mu-
dah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu
yang relatif cepat. Dengan demikian, biaya berperkara
juga menjadi ringan.
9. Asas sidang terbuka untuk umum
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang ter-
buka untuk umum (Pasal 13 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Jo. Pasal 70 UU PTUN).
10. Asas peradilan berjenjang
Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah
yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan
terakhir pada Mahkamah Agung (MA) pada tingkat Ka-
sasi. Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam

13
HukumAcara Tata Usaha Negara

putusan pengadilan yang lebih rendah dapat diko-reksi


oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putu-san
yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
diajukan upaya hukum banding kepada PPTUN dan ka-
sasi kepada MA. Sedangkan terhadap putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diaju-
kan upaya hukum permohonan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung.22
11. Asas obyektivitas.
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hu-
bungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun telah
bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat
hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim
atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana
yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera ter-
sebut mempunyai hubungan langsung dengan sengke-
tanya (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN).

D. SUMBER-SUMBER HUKUM TATA USAHA NEGARA

Sumber-sumber formal Hukum Administrasi Negara


adalah:
a. Undang-undang (Hukum Administrasi Negara tertulis),
b. Praktik Administrasi Negara (Hukum Administrasi Ne-
gara yang merupakan kebiasaan),
c. Yurisprudensi,
d. Anggapan para ahli Hukum Administrasi Negara23
Mengenai undang-undang sebagai sumber hukum
tertulis, berbeda dengan Hukum Perdata atau Hukum Pidana
karena sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum
terkodifikasi sehingga Hukum Tata Usaha Negara masih
22
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 26
23
Yusrizal, Modul Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Unimal
Press: Lhokseumawe, 2015, hlm.7
HukumAcara Tata Usaha Negara

tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-


undangan.24
Beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara yang
banyak menimbulkan sengketa, misalnya bidang kepega-
waian, agraria, perizinan, dan bidang perpajakan, yang se-
muanya tersebut dalam berbagai ragam peraturan per-
undang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang, pera-
turan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri,
sampai pada keputusan dan peraturan kepala daerah.
Menurut Donner, kesulitan membuat kodifikasi
Hukum Tata Usaha Negara disebabkan oleh:
1. Peraturan-peraturan Hukum Tata Usaha Negara berubah
lebih cepat dan sering secara mendadak, sedangkan per-
aturan-peraturan Hukum Privat dan Hukum Pidana be-
rubah secara berangsur-angsur saja.
2. Pembuatan peraturan-peraturan Hukum Tata Usaha
Negara tidak berada dalam satu tangan. Diluar pembuat
undang-undang pusat, hampir semua departemen dan
semua pemerintah daerah membuat juga peraturan-pe-
raturan Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan
hukum Administrasi Negara beraneka warna dan tidak
bersistem.25
Oleh karena itu untuk mengadili suatu sengketa Tata
Usaha Negara, seorang hakim dituntut agar lebih aktif dan
lebih trampil di dalam menemukan hukum, kalau tidak de-
mikian, proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
akan menjadi tersendat-sendat. Tetapi sebaliknya bagi bang-
sa Indonesia yang sedang giat membangun, yang masih
memerlukan tindakan-tindakan deregulasi dan debirokrasi
untuk mempercepat laju pertumbuhan pembangunan, ke-
tiadaan kodefikasi hukum Tata Usaha Negara (Hukum Ad-
ministrasi Negara) tersebut justru bisa menimbulkan suatu
manfaat.26

24
Rozali Abdullah, Op.Cit, Hlm. 6.
25
Ibid, hlm.7.
26
Ibid

15
HukumAcara Tata Usaha Negara

Hukum Administrasi Negara akan bersifat dinamis,


sehingga akan mampu mengikuti gerak lajunya pemba-
ngunan dan perkembangan masyarakat, asal saja ketidak-
adaan kodifikasi tersebut jangan mengurangi adanya jami-
nan kepastian hukum dan hakim tidak dibenarkan menolak
suatu perkara dengan alasan tidak ditemukan hukum yang
mengatur tentang hal itu.
a. Peraturan perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua ka-
rakteristik yang berlaku umum dan isinya mengikat keluar.
Sifat berlaku umum itulah yang membedakan antara per-
aturan perundang-undangan dan penetapannya.
Peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki
dan asas prefensi. Hierarki merujuk kepada tata urutan
perundang-undangan dan dalam hal ini isi peraturan per-
undang-undangan yang berada pada urutan yang lebih ren-
dah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan per-
undang-undangan yang berada di urutan lebih tinggi (lex
superior derogat legis inferior). Asas prefensi merujuk kepada
dua kriteria:
1. Lex posterior derogat legis priori
Dua peraturan yang berada pada urutan yang sama tetapi
berbeda tanggal pengundangannya. Dalam hal ini berlaku
bahwa undang-undang yang kemudian menyisihkan
undang-undang yang terdahulu. Artinya, jika terdapat
dua undang-undang yang mengatur hal yang sama dan
pada undang-undang baru tidak secara jelas-jelas di-
tuangkan ketentuan yang mencabut undang-undang yang
lama tersebut, yang harus diberlakukan ialah undang-
undang baru.
2. Lex specialist derogat legis generalis
Dua peraturan perundang-undangan yang berada pada
urutan yang sama, tetapi yang satu lebih bersifat khusus
dan lain bersifat umum. Dalam hal ini jika terdapat
sengketa/masalah, maka yang harus diterapkan ialah
undang-undang yang secara khusus mengatur perkara
itu.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Undang-undang mempunyai dua arti, antara lain:


Pertama, undang-undang dalam arti formil, ialah se-
tiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang
karena cara pembuatannya (terjadinya). Misalnya, penger-
tian undang-undang, menurut ketentuan UU 1945 hasil
amendemen adalah bentuk pengaturan yang dibuat oleh
pemerintah bersama-sama DPR.
Kedua, undang-undang dalam arti materiil, ialah se-
tiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat
langsung kepada setiap penduduk.
b. Kebiasaan-kebisaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Dalam hal
ini, perlu diperhatikan antara kebiasaan dan hukum kebi-
asaan. Yang menjadi sumber bukan kebiasaan tetapi hukum
kebiasaan. Agar kebiasaan bisa menjadi hukum diperlukan
dua hal, yaitu tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang
(usus) dan adanya unsur psikologis mengenai pengakuan
bahwa apa yang dilakukan secara terus menerus dan ber-
ulang-ulang itu aturan hukum. Unsur ini mempunyai
relevansi yuridis, yaitu tindakan itu bukan sekadar dilakukan
secara berulang-ulang, melainkan tindakan itu harus dise-
babkan oleh suatu kewajiban hukum yang menurut pengala-
man manusia harus dilakukan. Unsur psikologis itu dalam
bahasa latin disebut opinio necessitatis, yang berarti penda-
pat mengenai keharusan bahwa orang bertindak sesuai de-
ngan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum.27
Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang teru-
tama merujuk kepada tingkah laku lahiriah yang dapat di-
amati.
Secara singkat, untuk timbulnya hukum kebiasaan,
diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Adanya perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-
ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu
(bersifat materiil).

27
H. Franken, dalam Titik Triwulan, Op.Cit.,hlm.. 32

17
HukumAcara Tata Usaha Negara

2. Adanya keyakinan hukum dari masyarakat (opinio juris


seu necessitates) yang bersangkutan bahwa perbuatan
sesuatu yang seharusnya dilakukan (bersifat psikologis).
3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.28

c. Yurisprudensi
Sumber hukum yurisprudensi merupakan sumber
hukum dalam arti formal. Akan tetapi posisi yurisprudensi
sebagai sumber hukum di dalam civil law belum lama di-
terima.29 Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-
aturan tingkah laku, terutama perundang-undangan, dituju-
kan untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari
konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk
hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan.
d. Traktat
Traktat pada dasarnya adalah perjanjian antara dua
negara atau lebih. Traktat sebagai perjanjian antara negara
merupakan sumber hukum formil Hukum Tata Usaha Negara
walaupun ia termasuk dalam hukum internasional, mem-
punyai kekuatan mengikat bagi negar-negara yang menga-
dakan perjanjian atau terkait suatu perjanjian.
Mengenai kekuatan mengikatnya traktat ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Traktat sebagai salah satu bentuk perjanjian/persetujuan
mempunyai kekuatan seperti undang-undang, sehingga
harus ditaati (asas pacta sunt servanda).
2. Sebagai UU bagi yang membuatnya sehingga dilihat dari
kekuatan hukumnya, perjanjian dalam pengertian umum
dapat berderajat dengan hukum.
3. Dalam menentukan peraturan pergaulan internasional di
samping harus mengindahkan ketentuan internasional,
suatu negara dalam membuat traktat harus memperha-
tikan kepentingan bangsa dan rakyatnya sehingga pem-
buatannya memerlukan persetujuan wakil rakyat.

28
Lihat Titik Triwulan, Ibid, hlm. 50.
29
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

e. Doktrin
Doktrin adalah pernyataan/pendapat para ahli hu-
kum. Dalam kenyataannya para ahli banyak diikuti orang,
dan menjadi dasar atau bahkan pertimbangan dalam pene-
tapan hukum, baik oleh pembentuk undang-undang. Misal-
nya, dengan mengutip pendapatnya, sehingga putusan pe-
ngadilan terasa menjadi lebih wibawa.30
Dengan demikian, konstitusi dibentuk sebagai ins-
trumen hukum dasar yang di dalamnya pelaksanaan kekua-
saan politik negara dibatasi. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, sebagai hukum dasar, konstitusi dirancang untuk
menyeimbangkan hak-hak rakyat dan alokasi kekuasaan
lembaga-lembaga negara sehingga negara dapat berfungsi
secara layak.31

E. KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM TATA USAHA


NEGARA

Dalam sudut pandang Hukum Administrasi, konsep


good governance berkaitan dengan aktivitas pelaksanaan
fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Good governance berhubungan dengan penyeleng-
garaan tiga fungsi tugas pemerintah, yaitu:
1. Menjalankan keamanan setiap orang dan
masyarakat (to guarantee the security of all
persons and society itself).
2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk
sektor publik, sektor swasta dan masyarakat
(to manage an effective framework for the public
sector, the private sector and civil society).
3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang
lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to

30
Ibid
31
Ibid, hlm. 31.

19
HukumAcara Tata Usaha Negara

promote economic, social and other aims in


accordance with the wishes of the population).32
Dalam fungsi dan pendekatan hukum administrasi,
jelaslah menunjukkan bahwa hukum administrasi melin-
dungi hak-hak asasi manusia berkenaan dengan penggunaan
kekuasaan memerintah dan berkenaan dengan perilaku
aparat dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan bertumpu atas asas legalitas
(rechtmatigheid). Pengujian segi legalitas atau rechtmatig-
heid terutama merupakan fungsi judical control (bandingkan
dengan ketentuan Pasal 53 Ayat (2) Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Kepatutan perilaku aparat dalam melaksanakan fung-
si pelayanan kepada masyarakat diukur dengan norma
kepatutan perilaku aparat. Perilaku aparat yang tidak patut
merupakan tindakan maladministrasi. Pengawasan terhadap
pelaku aparat berkenaan dengan maladministrasi termasuk
fungsi non-judicial control (seperti Ombudsman).33

1. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)

Istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik me-


rupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, ”Algemene
Beginselen van Behoorlijk Bestuur”.34 Pengertian ”behoorlijk”
bukanlah ”baik”, melainkan sebaiknya atau ”sepatutnya”,
dengan demikian, terjemahannya menjadi Asas-asas Umum
Pemerintahan yang ”Sebaiknya”.35
Unsur-unsur behoorlijkheid sebagaimana dikemuka-
kan pertama kali oleh G.J. Wiarda terdiri dari lima asas, yaitu:
a. Asas fair play (het beginsel van fair play)
b. Asas kecermatan (zorgvuldigheid)
c. Asas sasaran yang tepat (zuiverheid van
oogmerk)

32
Lihat Titik Triwulan T., Ibid, hlm. 266.
33
Ibid, hlm 267.
34
Ibid
35
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

d. Asas keseimbangan (ovenwichtigheid)


e. Asas kepastian hukum (rechtszekerheid)
Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB)
merupakan konsep yang terbuka (open begrip), oleh karena-
nya asas tersebut berkembang dan disesuaikan dengan
ruang dan waktu di mana konsep itu berada.36
Philipus M. Hadjon berpendapat:
AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hu-
kum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh peme-
rintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap
keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan
teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPB adalah asas-asas
hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu da-
pat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.37
Dengan paparan di atas dapat dikatakan bahwa
AAUPB merupakan suatu asas-asas yang tidak tertulis yang
dipakai sebagai pedoman/etika bagi pejabat administrasi da-
lam menjalankan praktik pemerintahan. AAUPB merupakan
”levende beginselen”, jadi berkembang menurut praktik
khusus melalui putusan pengadilan.38 AAUPB sebagai aturan
yang tidak tertulis dipandang sebagai etika yang hidup dan
berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi.

2. Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan AAUPB

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pemerintahan


AAUPB meliputi antara lain:
a. Larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvir);
Dalam konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum
Administrasi Negara, dikenal tiga parameter, yaitu:

36
Ibid
37
Nur Basuki Minarno, sebagaimana dikutip dalam Titik Triwulan T., Ibid,
hlm. 282.
38
Philipus M. Hadjon, dalam Titik Triwulan T., Ibid, hlm. 282

21
HukumAcara Tata Usaha Negara

1. Asas spesialitas (tujuan dan maksud)


Untuk mengukur tindakan pejabat administrasi yang
termasuk wewenang bebas (diskresi), apakah terjadi
penyalahgunaan wewenang atau tidak dengan cara
menilai apakah tindakan pejabat administrasi terse-
but menyimpang dari tujuan pemberian wewenang
tersebut atau tidak (asas larangan penyalahgunaan
wewenang). Jika menyimpang dari tujuan pemberian
wewenang tersebut, maka perbuatan itu dikategori-
kan sebagai penyalahgunaan wewenang.39
2. Asas legalitas
Menurut ajaran ini, pemerintah hanya dapat melaku-
kan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau di-
dasarkan pada undang-undang yang merupakan per-
wujudan aspirasi warga negara.;
3. Asas Freis Ermessen
Dalam banyak situasi fungsi pemerintahan, pejabat
dihadapkan pada kondisi peraturan perundang-
undangan yang tidak memberikan kewenangan
untuk bertindak, padahal terdapat keperluan yang
mendesak bagi pemerintah untuk bertindak dalam
mencapai tujuan tertentu.
Melalui asas Freies Ermessen badan-badan admini-
trasi diberikan ruang gerak untuk melakukan tinda-
kan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-
undang. Meski demikian, menurut Sjahchran Basah,
pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya teruta-
ma dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara (me-
ngupayakan bestuurszorg) melalui pembangunan,
tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-
mena.40

39
Nur Basuki Minarno, dalam Titik Triwulan T., Ibid.
40
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni: Bandung, 1985, dalam Titik Triwulan T., Ibid, hlm. 284..
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Larangan sewenang-wenang (willekeur)41


Tindakan sewenang-wenang (willekeur) pada haki-
katnya merupakan suatu tindakan yang tidak berdasar pada
aturan hukum atau AAUPB. Tindakan tersebut bersifat
irasional, oleh karenanya untuk mengukur ada tidaknya tin-
dakan sewenang-wenang parameternya adalah asas rasiona-
litas.42
Kembali pada Philipus M. Hadjon, yang melakukan
penerapan AAUPB pada putusan Mahkamah Agung dan
menyimpulkan dua unsur yang memegang kunci pokok
dalam putusan, yaitu prinsip kecermatan (carefullness) dan
prinsip persamaan (equality). Meskipun demikian, selain dua
prinsip tersebut, dalam penyelenggaraan pemerintahan ber-
laku AAUPB antara lain menyangkut dua hal, yaitu: jangan
ada penyalahgunaan wewenang dan juga jangan ada tinda-
kan sewenang-wenang.43
Berdasarkan pendapat dari Philipus M. Hadjon ter-
sebut, asas berhoorlijk yang banyak diterapkan dalam praktik
Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
1. Asas kecermatan
2. Asas persamaan
3. Asas larangan penyalahgunaan wewenang.
4. Asas larangan sewenang-wenang.44
AAUPB dalam hukum positif Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 53 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986
Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, meliputi:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
2. bertentangan dengan AAUPB.
Perubahan atas Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun
1986, AAUPB sudah secara normatif menjadi alasan untuk
mengajukan gugatan menyangkut keabsahan sebuah Keputu-

41
Ibid
42
Ibid
43
Ibid
44
Philipus M. Hadjon dalam Amir Syamsuddin.

23
HukumAcara Tata Usaha Negara

san Tata Usaha Negara (KTUN). Tetapi permasalahan-nya,


bahwa penjelasan Pasal 53 ayat (2) memberlakukan AAUPB
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun
1999 kepada para penyelenggara negara secara kese-
luruhan. Hal ini berbeda dengan algemene beginselen
behoorlijk van bestuur (AAUPB) yang hanya ditujukan kepada
pemerintah (bestuur).45
Di dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun
1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 yang dimaksudkan dengan
asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, adalah meliputi asas:
1. Kepastian hukum
2. Tertib penyelenggaraan negara
3. Keterbukaan
4. Proporsionalitas
5. Profesionalitas
6. Akuntabilitas46
Dalam perkembangannya AAUPB dalam UU No. 28
Tahun 1999 tersebut diakui dan diterapkan dalam penye-
lenggaraan pemerintahan dan dalam proses peradilan Tata
Usaha Negara.
Adapun penerapan AAUPB ke dalam praktik
peradilan di PTUN terlihat dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a
UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang menye-
butkan: ”Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu ber-
tentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”,
dan dalam penjelasannya disebutkan: ”Yang dimaksud de-
ngan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah ...
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”.47

45
Titik Triwulan, Ibid, hlm. 285
46
Ibid, hlm. 286
47
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

KEPUTUSAN DAN
SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. KARAKTERISTIK KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

Keputusan Tata Usaha Negara sering juga disebut


dengan keputusan administrasi negara. Di dalam bahasa
Belanda Keputusan Tata Usaha Negara disebut beschikking
yang berarti norma hukum yang bersifat individual dan
konkret sebagai keputusan pejabat Tata Usaha Negara atau
Administrasi Negara (beschikkingsdaad van de adminis-
tratie).
Di Negeri Belanda, istilah beschikking pertama kali
dipergunakan oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, kemu-
dian masuk ke Indonesia melalui Mr. W.F. Prins.48 Di
Indonesia oleh Mr. Drs. E. Utrecht dan Prof. Boedisoesetya
diterjemahkan sebagai ”ketetapan” dan sebagian sarjana lain
menyalinnya sebagai ”Keputusan”.49
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara
adalah:
”Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

48 S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty: Yogyakarta,


1988, hlm. 39
49 Ibid

25
HukumAcara Tata Usaha Negara

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat


konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Dari pengertian itu dapat ditarik unsur-unsur
Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
1. suatu penetapan tertulis;
2. dikeluarkan oleh badan hukum atau pejabat tata
usaha negara;
3. berisi tindakan hukum tata usaha negara;
4. bersifat konkret;
5. individual; dan;
6. final;
7. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.50
Mengenal ”Penetapan”, Djenal Hoesen Koesoemahat-
madja, menerjemahkan beschikking dengan ”ketetapan”, hal
mana dengan pertimbangan bahwa ketetapan lebih menun-
juk kepada suatu bentuk keputusan yang khusus.51 Namun
Koentjoro Purbopranto lebih menggunakan beschikking
dengan istilah ”keputusan”, dengan alasan bahwa istilah ”ke-
tetapan” dalam waktu itu memiliki arti yang yuridis teknis,
yaitu sebagai keputusan MPR yang berlaku umum (ke luar
maupun ke dalam). Jika dipandang dari sisi praktis, istilah
”penetapan” lebih lazim dan sering dipergunakan sampai
dengan sekarang. Memandang istilah-istilah ini, Jimly
Asshiddiqie52, berpendapat bahwa istilah penetapan itu
justru tidak tepat. Kata penetapan adalah bentuk kata benda
dari kegiatan menetapkan yang menghasilkan produk yang
disebut ketetapan. Demikian pula pengaturan sebagai bentuk
kegiatan yang mengatur dapat menghasilkan aturan sebagai
bentuk kegiatan yang dalam bentuk formalnya dapat disebut
peraturan. Jimly Asshiddiqie memprakarsai dilakukannya
50
Zairin Harahap, Op.cit., hlm. 65
51
Djaenal Hoesen Koesoemahatmadja, dikutip dalam Titik Wulandari T.,
Op.Cit., hlm. 315
52
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, BIP, Jakarta, 2008, dalam Titik Wulandari T., Ibid.
HukumAcara Tata Usaha Negara

perubahan dengan menggunakan istilah ketetapan, bukan


penetapan sebagaimana biasa dipakai di lingungan pengadi-
lan pada umumnya.53 Karena itu, di lingkungan Mahkamah
Konstitusi dikenal adanya lima macam keputusan, yaitu (i)
keputusan yang berisi pengaturan Mahkamah Konstitusi
(PMK); (ii) keputusan yang berkenaan dengan penetapan di
bidang administrasi perkara (administrasi yudisial) disebut
ketetapan; (iii) keputusan yang menyangkut hasil pemerik-
saan perkara pengadilan disebut putusan; (vonnis); (iv)
keputusan administrasi yang berkenaan dengan persoalan
keorganisasian dan hal-hal lain di luar administrasi perkara,
disebut Keputusan yang dapat berupa keputusan sekretaris
jenderal Mahkamah Konstitusi; dan (v) menyangkut hal-hal
yang berada di luar kewenangan mutlak sekretaris jenderal
atau yang karena sesuatu dan lain hal dianggap perlu di-
tuangkan dalam bentuk keputusan Ketua Mahkamah Konsti-
tusi, maka keputusannya dituangkan dalam bentuk keputu-
san Ketua Mahkamah Konstitusi.54
Pemerintah dalam bidang eksekutif dalam melaku-
kan tugasnya dapat melakukan dua macam tindakan, yaitu:
a. Tindakan yang tidak langsung menimbulkan akibat-
akibat hukum;
b. Tindakan-tindakan yang secara langsung menimbul-
kan akibat-akibat hukum.55
Tindakan yang kedua inilah yang disebut dengan
istilah ”beschikking” atau ketetapan. Menurut Utrecht, men-
definisikan ketetapan atau beschikking adalah perbuatan hu-
kum bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerin-
tahan berdasarkan kekuasan istimewa.56 Van Vollenhoven
membagi perbuatan pemerintah dengan 3 (tiga) sifat, yaitu:

53
Ibid.
54
Ibid.
55
Kasman Siburian dan Victorianus R. Puang, Hukum Administrasi
Negara, Capiya Publishing: Yogyakarta, 2017, hlm. 133.
56
Ibid.

27
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Konkret: nyata dan mengatur hal tertentu yang jelas


identitasnya;
b. Kasuistis: menyelesaikan kasus per kasus masalah
pemerintahan;
c. Individualistis: hanya berlaku terhadap seorang ter-
tentu yang jelas identitasnya dan tak berlaku umum,
jadi tiap kasus berdiri sendiri.57
Sedangkan menurut A.M. Donner, Penetapan atau
beschikking adalah ”tindakan pemerintahan dalam jabatan
yang secara sepihak dan disengaja dalam suatu ikhwal ter-
tentu, menetapkan suatu hubungan hukum atau keadaan
hukum yang sedang berjalan atau menimbulkan suatu hubu-
ngan hukum atau keadaan hukum baru, atau menolak salah
satu yang dimaksud.58
Dari definisi A.M. Donner tersebut, dapat diuraikan
unsur-unsur penetapan, terdiri dari:59
a. Tindakan pemerintahan dalam jabatan
Jabatan adalah subjek dalam Hukum Administrasi
Negara yang secara umum diluar Hukum Adminis-
trasi disebut ”Fungsi”. Jabatan adalah suatu lingku-
ngan pekerjaan tetap dalam hubungan dengan kese-
luruhan tugas negara. Jadi dalam jabatan itu tercakup
kewenangan-kewenangan khusus, sehingga unsur
”tindakan pemerintahan dalam jabatan ” tidak dapat
ditafsir lain daripada tindakan dalam bidang peme-
rintahan berdasarkan kewenangan khusus.
b. Unsur ”secara sepihak dan disengaja”
Dalam suatu penetapan, yang berlaku adalah ke-
inginan pemerintah berdasarkan kewenangan khu-
sus dalam jabatan. Pejabat yang memangku jabatan
bukanlah melaksanakan dan memperlakukan ke-
mauan pribadinya, akan tetapi ia melakukan kewa-
jiban berdasarkan kewenangan jabatannya dan da-

57
Ibid., hlm. 134
58
Ibid
59
Ibid., hlm. 135
HukumAcara Tata Usaha Negara

lam hal ini ia bertindak dengan sengaja didorong oleh


kewajibannya sebagai pemangku jabatan. Jadi dalam
suatu beschikking, hanya berlaku kemauan si pejabat
berdasarkan kewenangan jabatan, dalam batas-batas
ketentuan dari jabatan itu. Hal ini pada hakikatnya
adalah kemauan dari Negara yang menetapkan jaba-
tan dengan kewenangan-kewenangan dan kewaji-
ban-kewajiban.
c. Unsur ”dalam suatu ikhwal tertentu”
Mengenai unsur ini harus diingat perbedaan antara
”penetapan” dan ”peraturan”. ”Penetapan” berhubu-
ngan dengan suatu ikhwal yang konkret pada waktu
melakukan penetapan, sedang ”peraturan” mengenai
hal-hal abstrak untuk waktu yang akan datang yang
belum diketahui pada waktu mengambil keputusan.
d. Unsur ”menimbulkan akibat hukum secara langsung”.
Akibat hukum dapat berupa:
1. menetapkan, dalam arti menguatkan suatu hubu-
ngan hukum/keadaan hukum yang sedang
berjalan (declarotoir). Contoh: keterangan ten-
tang umur seorang remaja yang hendak melaku-
kan perkawinan;
2. menimbulkan suatu hubungan hukum/keadaan
hukum baru (constitutie). Contoh: pengangkatan
seorang pegawai.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
”penetapan” atau ”beschikking” adalah suatu tindakan hukum
pemerintahan yang secara sepihak, menimbulkan akibat
hukum secara langsung dalam hal yang konkret, berdasarkan
kewenangan khusus yang melekat pada jabatan.

B. BATAL ATAU TIDAK SAHNYA KEPUTUSAN

Dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas


”presumtio justae causa” yang maksudnya bahwa suatu kepu-
tusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus selalu mengandung

29
HukumAcara Tata Usaha Negara

asas ”vermoeden van rechtmatigheid” atau asas ”praesuptio


iustae causa”, yaitu setiap putusan Tata Usaha Negara selalu
dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang hakim
belum membuktikan sebaliknya.60
Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan ke-
tentuan perundang-undangan. Apabila ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewaji-
ban sebagaimana disebutkan di atas, maka badan dan/atau
pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melaku-
kan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lam-
bat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima
secara lengkap oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Apabila dalam batas waktu sebagaimana disebutkan, badan
dan/atau pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan
tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Pemohon me-
ngajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mempero-
leh putusan penerimaan permohonan. Pengadilan wajib me-
mutuskan permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari
kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan keputusan untuk melak-
sanakan Keputusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak putusan pengadilan ditetapkan.
Keputusan meliputi keputusan yang bersifat kons-
titutif atau deklaratif. Yang dimaksud dengan keputusan yang
bersifat konstitutif adalah keputusan yang bersifat peneta-
pan mandiri oleh pejabat pemerintahan. Sedangkan keputu-
san yang bersifat deklaratif adalah keputusan yang bersifat
pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat
pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang
bersifat konstitutif.
Setiap keputusan harus diberi alasan pertimbangan
Yuridis, Sosiologis dan Filosofis yang menjadi dasar peneta-
pan keputusan. Yang dimaksud dengan pertimbangan Yuri-
dis adalah landasan yang menjadi dasar pertimbangan hu-

60
Titik Triwulan T., Op Cit., hlm. 572.
HukumAcara Tata Usaha Negara

kum kewenangan dan dasar substansi. Pertimbangan


Sosiologis adalah landasan yang menjadi dasar manfaat bagi
masyarakat, dan pertimbangan Filosofis adalah landasan de-
ngan tujuan penetapan keputusan.61
Secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu ke-
putusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut:62
a. Keputusan harus dibuat oleh organ atau badan atau peja-
bat yang berwenang membuatnya (bevoegd).
Dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, me-
nyebutkan bahwa ”Apabila suatu keputusan dikeluarkan
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang tidak ber-
wenang, maka terhadap keputusan yang demikian dapat
dinyatakan sebagai ”bertentangan dengan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku”.
Apabila tidak berwenang itu dikaitkan dengan ruang
lingkup kompetensi suatu jabatan, maka dapat dirumuskan
adanya kemungkinan tiga macam bentuk ”tidak berwenang
(Onbevoegdheid)”.63
a.1. Onbevoegdheid ratione materiale;
Yaitu tidak berwenang karena materi keputusan
dibuat oleh Organ atau badan atau pejabat lain
yang materi atau persoalan yang diatur dalam
Keputusan tidak merupakan bagian kewenangan-
nya (menyangkut kompetensi absolut). Keputusan
yang demikian dapat mengakibatkan batal (nietig
atau Vernietigbaar) atau ”batal demi hukum”
sehingga akibat keputusan yang batal itu berlaku
surut mulai dari tanggal dibuatnya Keputusan yang
dibatalkan, sehingga keadaan dikembalikan pada
saat semula sebelum dibuatnya. Keputusan (ex
tunc), tidak sah – dan akibat hukum yang ditimbul-
kan oleh keputusan itu – dianggap tidak pernah
ada. Atau juga dapat juga ”dibatalkan”, dengan

61
Ibid., hlm. 138
62
Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. hlm. 44
63
Ibid

31
HukumAcara Tata Usaha Negara

demikian akibat-akibat hukum yang ditimbulkan


oleh Keputusan dianggap ada sampai pada saat
keputusan dibatalkan. Jadi akibat-akibat hukum
tidak berlaku surut (tidak sah ex nung).
a.2. Onbevoegdheid ratione loci;
Keputusan dibuat oleh organ atau badan atau
pejabat yang tidak berwenang karena diluar
kewenangan lingkup wilayah haknya (ressort).
Tindakan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di
luar wilayah hukum jabatannya mengakibatkan
kebatalan (nietig atau Vernietigbaar). Hal ini
menyangkut Kompetensi relatif.
a.3. Onbevoegdheid ratione temporis;
Tidak berwenang karena telah lewat waktu yang
ditemukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan yang
menjadi dasarnya dan harus menurut prosedur pem-
buatannya (rechmatige).
Suatu Keputusan harus memenuhi syarat-syarat
formil dan yang termasuk di dalamnya adalah:
a) Prosedur/cara pembuatannya
b) Bentuk keputusan
c) Pemberitahuan pada yang bersangkutan64
Prosedur cara pembuatan harus dituruti dan jika
tidak maka Keputusan dapat menjadi Batal. Mengenai bentuk
dapat dibedakan antara keputusan tertulis dengan kepu-
tusan tidak tertulis atau lisan (mondeling). Keputusan di-
isyaratkan untuk dibuat dalam bentuk tertulis, karena sangat
penting terutama bagi mereka yang tidak puas atas kepu-
tusan itu. Keputusan tertulis memuat secara jelas motivasi
dikeluarkannya keputusan, sehingga dapat dimengerti per-
timbangan-pertimbangan yang dijadikan alasan bagi dike-
luarkannya suatu keputusan. Terhadap hal-hal penting dan
mendasar umumnya keputusan dikeluarkan dalam bentuk

64
Ibid, hlm. 45
HukumAcara Tata Usaha Negara

tertulis, sedangkan untuk hal-hal yang tidak begitu penting


dan sangat mendesak, keputusan dapat dikeluarkan dalam
bentuk lisan (mondeling). Dalam hal syarat prosedural/
formal ini tidak diikuti maka berdasarkan penjelasan Pasal
53 UU Nomor 5 tahun 1986, keputusan demikian dapat
dinyatakan sebagai bertentangan dengan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.65
3. Keputusan tidak boleh memuat kekurangan-kekurangan
Yuridis.
Suatu keputusan yang memuat kekurangan yuridis,
dapat disebutkan anatara lain:
a. Penipuan (bedrog)
b. Paksaan (dwang) atau sogokan (omkoping)
c. Kesesatan (dwaling) atau kekeliruan/khilaf.66
Keputusan yang timbul karena mengandung unsur-
unsur penipuan, kesesatan, paksaan atau penyogokan – tidak
lagi merupakan keputusan, dan yang demikian dapat ”batal
atau dibatalkan”.67
Syarat-syarat keputusan sebagaimana tersebut di
atas, sesungguhnya bersumber dari ketentuan-ketentuan
yang terdapat hukum Perdata. Dalam Hukum Perdata misal-
nya adanya kehendak kedua belah pihak merupakan syarat
mutlak bagi suatu persetujuan, sedangkan dalam hukum
administrasi, kehendak datang dari satu pihak.
4. Isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasarnya (doelmatig).
Suatu keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan
yang menjadi peraturan dasarnya. Keputusan harus langsung
terarah pada sasaran tujuan, sehingga efisien dan cermat.
Apabila keputusan itu diambil tidak sesuai dengan isi dan
tujuan maka keputusan demikian mengandung unsur de
tournemen de pouvir atau ”penyalahgunaan wewenang”.

65
Ibid
66
Ibid
67
Ibid

33
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam penjelasan Pasal 53 huruf b UU Nomor 5


Tahun 1986, hal ini dapat dijadikan dasar pembatalan suatu
keputusan. Demikian pula dengan huruf c sehingga dasar
pembatalan disebut ”larangan berbuat sewenang-wenang”.68

C. BERLAKU DAN MENGIKATNYA KEPUTUSAN

Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan keputu-


san, kecuali ditentukan lain dalam keputusan atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar keputu-
san. Dengan kata lain jika ada penyimpangan terhadap mulai
berlakunya keputusan, hal tersebut harus mencantumkan
batas waktu mulai dan berakhirnya keputusan, kecuali yang
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan. Batas waktu mulai berlakunya keputusan dimuat
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang men-
jadi dasar keputusan dan/ atau dalam keputusan itu sendiri.
Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu keputusan jatuh
pada hari Minggu atau hari libur nasional, batas waktu ter-
sebut jatuh pada hari kerja berikutnya. Namun demikian
ketentuan tersebut tidak berlaku jika kepada pihak yang
berkepentingan telah ditetapkan batas waktu tertentu dan ti-
dak dapat diundurkan. Batas waktu yang telah ditetapkan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam suatu
keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan per-
aturan perundang-undangan. Keputusan tidak dapat berlaku
surut, kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar
dan/atau terabaikannya hak warga masyarakat.69
Keputusan yang memberikan hak dan keuntungan
bagi warga masyarakat dapat memuat syarat-syarat yang
tidak bertentangan dengan hukum. Adapun syarat-syarat
tersebut berupa ketentuan dan berakhirnya:

68
Ibid., hlm. 46
69
Titik Triwulan T., Op.Cit., hlm. 139
HukumAcara Tata Usaha Negara

1. Keputusan dengan batas waktu, maksudnya keputu-


san yang mencantumkan adanya ketentuan pembata-
san dengan batas waktu.
2. Keputusan atas kejadian pada masa yang akan da-
tang, maksudnya keputusan yang mencantumkan
adanya ketentuan pembatasan dengan kejadian ter-
tentu.
3. Keputusan dengan penarikan, maksudnya keputusan
yang mencantumkan adanya ketentuan pembatasan
dengan keputusan terhadap penarikan keputusan.
4. Keputusan dengan tugas, maksudnya keputusan yang
mencantumkan adanya ketentuan pembatasan mulai
tugas yang harus dilakukan, dan/atau;
5. Keputusan yang bersifat susulan akibat adanya per-
ubahan fakta dan kondisi hukum, maksudnya adanya
data, fakta dan informasi yang berubah terhadap ke-
putusan.70
Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan
atau diterimanya keputusan oleh pihak yang tersebut dalam
keputusan. Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumu-
man oleh penerima keputusan, daya mengikat keputusan
berlaku sejak diterimanya. Dalam hal terdapat perbedaan
bukti waktu penerimaan antara pengiriman dan penerima
keputusan, mengikatnya keputusan didasarkan atas bukti
penerimaan yang dimiliki oleh penerima keputusan, kecuali
dapat dibuktikan lain oleh pengirim.
Setiap keputusan wajib disampaikan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada pihak-pihak yang di-
sebutkan dalam keputusan tersebut. Keputusan juga dapat
disampaikan kepada pihak yang terlibat lainnya. Pihak-pihak
yang disebutkan dalam keputusan dapat memberikan kuasa
secara tertulis kepada pihak lain untuk menerima keputusan.
Keputusan dapat disampaikan melalui pos tercatat,
kurir atau sarana elektronis. Yang dimaksud dengan sarana
elektronis antara lain: facsimile, surat elektronik, dan

70
Ibid, hlm. 140

35
HukumAcara Tata Usaha Negara

sebagainya.71 Keputusan tersebut harus segera disampaikan


kepada yang bersangkutan atau paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak ditetapkan. Tetapi keputusan yang ditujukan bagi
orang banyak atau bersifat massal disampaikan paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak ditetapkan. Keputusan yang
diumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau
media lainnya mulai berlaku paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi perma-
salahan dalam pengiriman sebagaimana diuraikan di atas,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan
harus memberikan bukti tanggal pengiriman dan peneri-
maan.

D. SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Yang dimaksud sengketa ini termasuk juga sengketa


kepegawaian antara pegawai negeri dan pemerintah ber-
dasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi
jelas di sini bahwa yang menjadi titik tolak sengketa adalah
”Keputusan Tata Usaha Negara”.72
Sebagaimana telah dipapar sebelumnya, Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan (Negara) atau oleh pejabat Tata
Usaha Negara (pegawai negara yang menjabat fungsi negara
tertentu) yang berisi suatu tindakan hukum (rechts
handeling) dari pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat
konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hu-
kum (menimbulkan hak dan kewajiban kepada orang lain
bersifat individual) bagi seseorang atau bagi suatu badan
hukum perdata tertentu.73

71
Ibid, hlm. 141
72
Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Eresco – Anggota
IKAPI: Bandung, Cet. Ke-2, 1990, hlm. 7
73
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

Bersifat individual artinya tidak abstrak atau umum,


tidak ditujukan kepada umum atau mengikat umum, seperti
undang-undang dan peraturan lainnya.
Rozali Abddullah74 berpendapat, sengketa Tata Usaha
Negara adalah sengketa tentang sah tidaknya suatu Kepu-
tusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa:
(a) yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha
Negara hanyalah Badan atau Pejabata Tata Usaha Ne-
gara;
(b) sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha
Negara adalah sengketa suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, bukan sengketa mengenai kepentingan pihak.
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009),
yang dimaksud ”sengketa Tata Usaha Negara” adalah:
”Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun
di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ber-
laku”.
Di dalam ketentuan tersebut dapat ditarik beberapa
unsur sebagai yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha
Negara terdiri dari, yaitu:
1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara.
2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum per-
data dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.

74
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta, Cet. Ke-13, 2016, hlm. 5

37
HukumAcara Tata Usaha Negara

Penjelasan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 5


Tahun 1986 (Pasal Angka 10 UU No. 5/1986 Jo. UU No.
51/2009) jelas menyatakan bahwa istilah ”sengketa” mem-
punyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai
penerapan hukum.
Mengenai apa yang dimaksud dengan ”Tata Usaha
Negara”, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 Jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan
bahwa:75
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah”.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”urusan pemerin-
tahan” dalam Pasal 1 angka 1 tersebut, sebagai kegiatan yang
bersifat eksekutif.76
Dalam praktik, Tata Usaha Negara tidak hanya melak-
sanakan fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan yang ber-
sifat pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tetapi
juga melaksanakan fungsi untuk menyelesaikan urusan pe-
merintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan, misalnya dalam
menghadapi terjadinya bencana nasional (seperti banjir,
gempa bumi, dan lain sebagainya).77 Pelaksanaan fungsi yang
terakhir ini adalah berkaitan dengan adanya kebebasan
bertindak (freies ermessen, discretionary power atau pouvoir
discretionare) yang menjadi wewenang dari Badan atau Pe-
jabat Tata Usaha Negara.78
Menurut Ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 51 tahun
2009, sengketa tersebut haruslah:

75
Lihat R. Wiyono, Op.cit. hlm. 7
76
Ibid
77
Ibid., hlm. 8
78
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Orang atau badan hukum perdata dengan orang atau


badan hukum perdata, atau;
b. orang atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Memperhatikan apa yang dimaksud dengan sengketa
Tata Usaha Negara seperti di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu adalah sengketa di
bidang hukum publik, sehingga antara lain mempunyai bebe-
rapa konsekuensi sebagai berikut:
a. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara sifatnya atau
berlakunya adalah erga ommes, artinya berlaku kepada
siapa saja, yang berbeda dengan putusan Peradilan
Umum mengenai perkara perdata yang hanya berlaku
untuk para pihak yang berperkara saja.
b. Dimungkinkan adanya putusan ultra petita pada
putusan Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga dimung-
kinan pula adanya reformatio in peius.79 (keadaan
hukum penggugat malah bersifat lebih merugikan
dibandingkan sebelum diajukannya gugatan).
Kemudian, di dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009), juga menyebutkan ”sengketa Kepegawaian”.
Mengenai hal ini, Soegeng Prijodarminto80 mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan sengketa kepegawaian adalah
suatu sengketa yang timbul sebagai akibat ditetapkannya
Keputusan Tata Usaha Negara di Bidang Kepegawaian oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang me-
ngenai kedudukan, hak, kewajiban atau pembinaan Pegawai
Negeri Sipil.

79
Ibid., hlm. 9-10
80
Soegeng Prijodarminto, Sengketa Kepengawaian, PT. Pradnja Paramita:
Jakarta, 1993, hlm. 12-13, sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono.

39
HukumAcara Tata Usaha Negara

E. SUBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Yang merupakan subjek dari sengketa Tata Usaha


Negara adalah orang atau badan hukum perdata dan badan
pejabat Tata Usaha Negara, diatur dalam Pasal 1 angka 8
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi :
Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan
atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Timbulnya sengketa Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara,
turut termasuk juga sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 1 angka 4 menyatakan, bahwa istilah
”sengketa” mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi
peradilan Tata Usaha Negara, yaitu menilai perbedaan pen-
dapat mengenai penerapan hukum badan atau pejabat Tata
Usaha Negara dalam mengambil keputusan, tetapi dalam hal
kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan menga-
kibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata
tertentu.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Ne-
gara merumuskan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasar-
kan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepada-
nya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Sengketa Tata Usaha Negara ini berpangkal dari dite-
tapkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena-
nya sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa sah tidak-
HukumAcara Tata Usaha Negara

nya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan


oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa :
(a) yang dapat digugat di hadapan Pengadilan Tata Usaha
Negara hanyalah badan atau pejabat Tata Usaha
Negara;
(b) Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha
Negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya
suatu keputusan Tata Usaha Negara, bukan sengketa
mengenai kepentingan hak.81
Kepentingan dimaksud tidak selamanya merupakan
kepentingan langsung sebagaimana dimaksud asas ”point
d’interest point d’action (tidak ada kepentingan tidak ada
gugatan) atau dengan kata lain bahwa yang diakui oleh hu-
kum yang memiliki kualitas atau hak berperkara atau meng-
gugat ke pengadilan adalah orang termasuk di dalamnya ba-
dan hukum perdata yang memiliki kepentingan langsung.82
Di dalam pasal 55 ayat (1) Undang-undang No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumus-
kan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Penga-
dilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi.83 Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU
Peradilan TUN tersebut menyatakan sebagai berikut:
a. Hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedu-
dukan sebagai subjek hukum saja yang dapat menga-
jukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
menggugat keputusan Tata Usaha Negara.

81
Rozali Abdullah, dalam kutipan Ali Abdullah, Op.Cit, hlm. 24
82
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan TaTa Usaha Negara, PT.
RajaGrafindo: Jakarta, 2002, hlm. 77.
83
Ibid, hlm. 27

41
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat


mengajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat keputusan Tata Usaha Negara.
c. Hanya orang atau badan hukum perdata yang kepen-
tingannya terkena oleh akibat hukum oleh keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan, dan karenanya
yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan
menggugat keputusan Tata Usaha Negara.
d. Gugatan yang diajukan oleh orang atau badan hukum
perdata disyaratkan dalam bentuk tertulis, karena
gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan
para pihak selama pemeriksaan.
e. Bagi mereka yang tidak pandai membaca dan menulis
dalam mengajukan gugatan dapat meminta bantuan
kepada panitera pengadilan untuk merumuskan gu-
gatannya dalam bentuk tertulis.
f. Tuntutan di Pengadilan Tata Usaha Negara hanya ter-
batas pada satu macam tuntutan pokok yang berupa
agar keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugi-
kan kepentingan penggugat dinyatakan batal atau tidak
sah.
g. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dibolehkan
tuntutan tambahan hanya berupa tuntutan ganti rugi,
dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja diboleh-
kan adanya tuntutan tambahan lainya yang berupa
tuntutan rehabilitasi.
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara mau-
pun dalam Penjelasannya tidak mengatur siapa sebagai sub-
jek hukum orang atau badan hukum perdata yang dapat me-
ngajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara juga tidak menganut asas
Actio Popularisi yang menganut prinsip bahwa tidak semua
orang dapat maju sendiri mengajukan gugatan ke pengadi-
lan.84

84
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

TUGAS, WEWENANG DAN


KOMPETENSI PERADILAN
TATA USAHA NEGARA

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dasar Kons-


titusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini
adalah Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945. Peradilan Tata
Usaha Negara yang bebas dan mandiri ini mempunyai ke-
dudukan yang sama dengan peradilan lainnya, yaitu Pera-
dilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Sesuai
dengan Pasal 145 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
yang menyatatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan
peraturan pemerintah selama lima tahun sejak undang-
undang ini diundangkan. Pada tanggal 14 Januari 1991 di-
undangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991
tentang Penerapan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melalui Lembaran Ne-
gara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 8. Dan semen-
jak itu mulailah 5 buah pengadilan Tata Usaha Negara dan 3
buah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sudah di-
bentuk sebelumnya menjalankan tugasnya masing-masing.
Peradilan Tata Usaha Negara ini memiliki ciri-ciri
yang bersifat khas jika dibandingkan dengan peradilan pada
umumnya, sebagaimana telah dipaparkan terdahulu, teruta-
ma yang terkait dengan prinsip-prinsip yang berlaku hukum
acaranya, yaitu:

43
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Sifat atau karateristik keputusan Tata Usaha


Negara selalu mengandung asas ”vermoeden van
rechtmatigheid” atau asas ”praesuptio iustae
causa”, yaitu bahwa setiap keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking) selalu harus dianggap sah
selama belum ada putusan yang membuktikan
sebaliknya. Dengan demikian, semua keputusan
Tata Usaha Negara itu harus diangap benar.
b. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum
atau publik yang sangat menonjol di samping
perlindungan terhadap individu.
c. Asas self respect atau self obedience aparatur
pemerintah terhadap putusan Peradilan Tata
Usaha Negara, karena tidak dikenal adanya upaya
paksa yang langsung melalui juru sita pengadilan
seperti dalam prosedur perkara perdata.85

A. TUGAS DAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA


NEGARA

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam


lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewe-
nang:86
“Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul
dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan
hukum perdata (anggota masyarakat) dengan badan
atau pejabat TUN (pemerintah) baik di pusat maupun
didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu ke-
putusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepe-
gawaian berdasarkan peraturan perundang-undang-
an yang berlaku.

85
Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1993, hlm. 118, sebagaimana dikutip
dalam Titik Wulandari T., Op.cit. hlm. 572.
86
Pasal 50 Jo. Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun
2004.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat


dimengerti bahwa yang menjadi subjek di Peradilan Tata
Usaha Negara adalah seorang atau Badan Hukum Perdata
sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Nega-
ra sebagai tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Surat Keputusan Tata
Usaha Negara (beschikking).
Dalam arti sempit Hukum Acara dapat diartikan se-
bagai hukum formil yang bertujuan untuk mempertahankan
hukum materiil. Hukum formil diatur dalam Undang-undang
Nomor Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004, mulai dari pasal 53 hingga pasal 132.
Penggabungan antara hukum materiil dan hukum
formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membe-
dakan peradilan Tata Usaha Negara dengan peradilan lain-
nya.87 Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang hu-
kum acara di Peradilan Tata Usaha Negara ini, terlebih dahu-
lu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karak-
teristik hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
pembeda dengan peradilan lainnya, khususnya Peradilan
Umum (Perdata), sebagai berikut:
a. Adanya tenggang waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
b. Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam
petitum gugatan penggugat (Pasal 53).
c. Adanya proses dismissal (rapat musyawarah) oleh Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
d. Dilakukannya pemeriksaan persiapan sebelum diperiksa
di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
e. Peranan hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk men-
cari kebenaran materiil (Pasal 63, 80, 85, 95 dan 103).
f. Kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat dan
tergugat, oleh karenanya ”kompensasi” perlu diberikan
karena kedudukan penggugat diasumsikan dalam posisi
yang lebih lemah dibandingkan dengan tergugat selaku
pemegang kekuasan publik.

87
Ibid, hlm. 573.

45
HukumAcara Tata Usaha Negara

g. Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian


bebas dan terbatas (Pasal 107).
h. Gugatan dipengadilan tidak mutlak menunda pelaksa-
naan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal
67).
i. Putusan hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu
melebihi apa yang dituntut dalam gugatan penggugat,
akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius
(membawa penggugat pada keadaan yang lebih buruk)
sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
j. Putusan hakim Tata Usaha Negara yang bersifat erga
omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi
para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga
bagi pihak lain yang terkait.
k. Berlakunya asas audie alteram partem, yaitu para pihak
yang terlibat dalam sengketa harus didengar pen-
jelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.88
Selain itu perlu dijelaskan bahwa Peradilan Tata Usa-
ha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yakni
Hukum Administrasi sebagaimana ditegakkan dalam
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 47 me-
nyebutkan bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewe-
nangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Tata
Usaha Negara. Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan tentang
Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 3) yang men-
syaratkan juga tindakan hukum Tata Usaha Negara untuk
adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara melalui UU
No. 5 tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi
juga melindungi hak masyarakat.89
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Peradi-
lan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup pu-
blik, yang mempunyai tugas dan wewenang: ”memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara,
yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum Tata

88
Ibid
89
Ibid, hlm. 574
HukumAcara Tata Usaha Negara

Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata


(anggota masyarakat) dengan badan atau pejabat TUN (pe-
merintah), baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku ”(vide
Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004).
Pengertian dari Surat Keputusan Tata Usaha Negara
disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu:
”Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
Badan Hukum Perdata”
Selanjutnya, dari pengertian ataupun definisi kepu-
tusan Tata Usaha Negara tersebut di atas, dapat diambil
unsur-unsur dari suatu keputusan Tata Usaha Negara, yakni:
a. Bentuk penetapan tersebut harus tertulis.
b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
c. Berisi tindakan hukum TUN.

a. Bentuk Penetapan Tersebut Harus Tertulis.

Penetapan tertulis itu harus dalam bentuk tertulis,


dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya
juga merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dike-
luarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian keputu-
san Tata Usaha Negara ini. Namun demikian, bentuk tertulis
tidak selalu diisyaratkan dalam bentuk formal dari suatu
surat keputusan badan/pejabat TUN, karena seperti yang
disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-
undang Nomor 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam
bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk for-
malnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh

47
HukumAcara Tata Usaha Negara

karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan


sebagai penetapan tertulis yang dapat digugat (menjadi
objek gugatan) apabila sudah jelas:
1. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkannya.
2. Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
3. Kepada siapa tulisan itu diajukan dan apa yang
ditetapkan di dalamnya jelas bersifat konkret,
individual, dan final.
4. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
Badan Hukum Perdata.90

b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Unsur ini menentukan bahwa ”penetapan tertulis”


tersebut harus dikeluarkan oleh Badan Pejabat Tata Usaha
Negara.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 (Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 51 tahun 2009), yang
dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah badan tersebut mempunyai wewenang untuk mela-
kukan urusan pemerintahan. Wewenang tersebut yang ada
pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat diperoleh
dengan cara atribusi, delegasi, atau mandat”91
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 (Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) me-
nyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”urusan pemerin-
tahan” adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Di dalam kenyataannya Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara itu tidak hanya sekadar melaksanakan pera-
turan perundang-undangan saja, karena tidak semua urusan
pemerintahan tidak atau belum diatur oleh peraturan per-
undang-undangan atau semua peraturan perundang-

90
Ibid, hlm. 576.
91
R. Wiyono, Op.Cit., hal. 20
HukumAcara Tata Usaha Negara

undangan yang sudah ada dan berlaku belum menampung


semua urusan pemerintahan.
Keadaan demikian itu dapat dipahami karena me-
nyangkut urusan pemerintahan sangat luas lingkupnya dan
komplek, apalagi kalau diingat pula bahwa setiap peraturan
perundang-undangan tidak mungkin dapat memperhitung-
kan setiap urusan pemerintahan yang akan datang.92
Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986
(Pasal 1 angka 8 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun
2009) tersebut dapat diketahui suatu Badan atau Pejabat
adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, ukuran atau
kriteria yang menentukan adalah Badan atau Pejabat ter-
sebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan
pemerintahan.
Indroharto93 menegaskan bahwa siapa saja dan apa
saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pe-
merintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

c. Berisi tindakan hukum TUN

Telah dijelaskan di atas, bahwa suatu penetapan ter-


tulis adalah salah satu bentuk dari keputusan badan atau
pejabat Tata Usaha Negara, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara,
dan suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara itu adalah
suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan me-
ngikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan Hukum
TUN yang telah ada.
Pasal 1 angka 9 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 51
Tahun 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
”tindakan hukum Tata Usaha Negara” adalah perbuatan

92
Ibid, hlm. 21
93
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, hlm. 67-
58, sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 21.

49
HukumAcara Tata Usaha Negara

hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersum-


ber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.

1. Berdasarkan Peraturan Perundang-undang yang


berlaku.

Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan


dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan
atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan peme-
rintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata.94
Kata ”berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimak-
sudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan
yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara
harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memberikan dasar keabsahan (dasar
legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh ba-
dan atau pejabat Tata Usaha Negara (pemerintah).
Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu tinda-
kan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
mempunyai tindakan hukum Tata Usaha Negara, tetapi
hanya tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan
pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum Tata
Usaha Negara.

2. Bersifat Konkret, Individual, dan Final.

Keputusan Tata Usaha Negara itu yang bersifat


konkret, individual, dan final, dapat dijelaskan sebagai beri-
kut:
a. Bersifat Konkret, atinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu, atau dapat ditentukan. Umpamanya
keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin
94
Ibid, hlm. 28
HukumAcara Tata Usaha Negara

usaha bagi si B, dan pemberhentian si C sebagai Pegawai


Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara (ASN).
b. Bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara
itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik
alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu
lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang ter-
kena keputusan tersebut, umpamanya keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampirannya
yang menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan
tersebut.
c. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi
atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya
belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pa-
da pihak yang bersangkutan, umpamanya keputusan
pengangkatan seseorang ASN masih memerlukan perse-
tujuan dari Badan Kepegawaian Negara.
Menurut Kadar Slamet95, yang dimasud dengan definitif
adalah sudah tidak dapat diubah lagi. Artinya dengan
diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
sudah menimbulkan akibat hukum yang tidak dapat di-
tawar-tawar lagi. Jadi mutlak, harus dilaksanakan. De-
ngan kata lain, sudah tidak ada lagi tindakan, upaya hu-
kum alternatif yang bisa ditempuh.
Walaupun ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51
Tahun 2009 adalah mencabut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU
No. 5 Tahun 1986, namun rumusannya masih sama. Di
samping itu, Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tidak
memiliki Penjelasan dan juga tidak mencabut Penjelasan Pa-
sal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 sehingga Penjelasan Pasal
1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 masih tetap berlaku dan
dapat diberlakukan untuk memberikan penjelasan terhadap
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Dalam
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa

95
Gema Peratun, Tahun IV, No. 11-Triwulan IV, Januari 1998, hl. 36.,
sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 29.

51
HukumAcara Tata Usaha Negara

suatu penetapan tertulis adalah terutama menunjuk kepada


isi bukan bentuk (form). Persyaratan adalah semata untuk
kemudahan segi pembuktian.96 Oleh karenanya sebuah
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis, yang pen-
ting apabila sudah jelas:
a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
c kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang di-
tetapkan di dalamnya.

3. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seserorang atau


Badan Hukum Perdata.

Yang dimaksud dengan ”menimbulkan akibat


hukum” adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha
Negara, karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan
akbat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara.
Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut97 dapat
berupa:
a. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan
hukum yang telah ada (declaratoir), misalnya surat
keterangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
isinya menyebutkan antara si A dan B memang telah
terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari
Kepala Desa yang isinya menyebutkan tentang asal
usul anak yang akan nikah.
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan
hukum yang baru (constitutief), misalnya Keputusan
Jaksa Agung tentang pengangkatan calon Pegawai
Negeri Sipil atau Keputusan Menteri Perindustrian
dan perdagangan yang isinya menyebutkan suatu

96
Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 65
97
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni: Bandung, Cetakan ke-
III, 1985, hlm. 118-119, dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 29.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Perseroan Terbatas diberikan izin untuk mengimpor


suatu jenis barang.
Di samping pengertian tentang keputusan Tata Usaha
Negara dalam Pasal 1 angka 3 tersebut di atas, dalam
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara juga diatur
ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan Tata
Usaha Negara, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3,
sebagai berikut:98
a. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Jika suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, se-
dang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud-
kan telah lewat, maka badan atau pejabat Tata Usa-
ha Negara tersebut dianggap telah menolak menge-
luarkan keputusan yang dimaksud.
c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukan jangka waktu seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah
lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan peno-lakan.
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan
dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 di atas, yang disebut dengan
keputusan Tata Usaha Negara yang fiktif atau negatif.99
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan
prinsip dasar bahwa setiap badan atau pejabat Tata Usaha
Negara itu wajib melayani setiap permohonan warga masya-
rakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya men-

98
Titik Wulandari, Op.Cit., hlm. 578
99
Ibid, hlm. 579

53
HukumAcara Tata Usaha Negara

jadi tugas dan kewajibannya dari badan atau pejabat Tata


Usaha Negara tersebut. Karenanya, apabila badan atau
pejabat Tata Usaha Negara melalaikan kewajibannya, maka
walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu
permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap sudah ber-
tindak menolak permohonan tersebut.
Adakalanya dalam aturan dasarnya ditentukan
jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka
sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah
lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, badan
atau pejabat Tata Usaha Negara belum juga menanggapinya
(mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak
permohonan yang diterimanya.
Selanjutnya di samping ketentuan yang memperluas
pengertian keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana ter-
sebut dalam Pasal 3 di atas, juga Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara mengatur tentang ketentuan yang
mempersempit pengertian dari keputusan Tata Usaha Nega-
ra. Artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu
keputusan Tara Usaha Negara seperti dimaksud dalam Pasal
1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat
dijadikan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.100
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebut-
kan:
”Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara ter-
tentu, dalam hal keputusan yang disengketakan itu di-
keluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan
bencana alam, atau keadaan luar biasa yang mem-
bahayakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan
umum berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.

100 Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

Keadaan-keadaan tersebut di atas dapat terjadi pada


prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang
ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, se-
perti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, dan ben-
cana alam.
Dalam praktiknya, alasan ”dalam keadaan mendesak
untuk kepentingan umum” bisa menimbulkan permasalahan,
karena sampai sekarang sulit menentukan batasan dan uku-
ran yang objektif tentang ”kepentingan umum”. Biasanya
pengertian ”kepentingan umum” itu selalu dilihat dari sudut
pandang penguasa, sehingga sering merugikan kepentingan
rakyat banyak. Sebab itu, para hakim pada pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dituntut harus be-
rani menentukan sikap di dalam menentukan ada atau ti-
daknya suatu ”kepentingan umum” berdasarkan ukuran-
ukuran yang objektif menurut ketentuan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada
prinsip bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut ber-
tugas memberikan perlindungan kepada warga masyarakat
pencari keadilan dan tindakan sewenang-wenang dari pe-
nguasa.101

B. KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

”Kompetensi” menurut Kamus Besar Bahasa Indone-


sia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (me-
mutuskan sesuatu).102 Kompetensi dari suatu pengadilan
adalah memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
jenisnya lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan
umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan
Tata Usaha Negara (pengadilan administrasi). Sedangkan

101
Rozali Abdullah, Op.cit, hlm. 26-27
102
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka: Jakarta, 1994, hlm. 516.

55
HukumAcara Tata Usaha Negara

berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri atas pengadi-


lan tingkat pertama, pengadilan tinggi (pengadilan tingkat
banding), mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi).
Kedudukaan jenis dan tingkatan dari pengadilan ter-
sebut adalah Pengadilan Tingkat Pertama berkedudukan di
setiap kabupaten/kotamadya (pemerintah daerah tingkat II),
Pengadilan Tinggi (banding) berkedudukan di setiap provin-
si (pemerintah daerah tingkat I), dan Mahkamah Agung
(kasasi) berkedudukan di ibukota negara. Dengan demikian,
jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah
pemerintah daerah tingkat II (kabupaten/ kotamadya) yang
ada, jumlah Pengadilan Tinggi (banding) sebanyak jumlah
pemerintahan tingkat I (provinsi), sedangkan Mahkamah
Agung (kasasi) hanya ada di ibukota negara sebagai puncak
dari semua lingkungan pengadilan yang ada. Namun, pem-
bentukan PTUN dan PTTUN ini dilakukan secara bertahap,
karena memerlukan perencanaan dan persiapan yang se-
baik-baiknya, baik yang menyangkut masalah teknis maupun
non teknis. Untuk itu dalam Pasal 145 UU Peradilan Tata
Usaha Negara disebutkan bahwa Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara ditunda pemberlakuannya selambat-
lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkan. Maka untuk
pertama kalinya dibentuklah Peradilan Tata Usaha Negara di
Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang
berdasarkan Keppres 52/1990, dan pembentukan PTTUN
Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang berdasarkan Keppres
10/1990.
Ada beberapa cara untuk dapat mengetahui kom-
petensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara : pertama, dapat dilihat dari
pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi)103 ;
kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute
competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi
(relative competentie atau distributie van rechtsmacht)104 ;

103
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Tinta
Mas: Surabaya, 1986, hlm. 252.
104
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni: Bandung, 1985, hlm. 68-69.
HukumAcara Tata Usaha Negara

ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi


absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt,
fundamentum petendi), apabila sengketanya terletak dalam
lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompe-
tensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila
pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik,
maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi
negara yang berkuasa (hakim PTUN).
Pembagian kompetensi atas atribusi (absolute
competentie attributie van rechtsmacht) dan delegasi
(relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht) da-
pat dijelaskan sebagai berikut :
1. Atribusi (absolute competentie atau attributie van
rechtsmacht) yang berkaitan dengan pemberian wewe-
nang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya,
yang dapat dibedakan :
1.1. Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat
bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan ter-
hadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai
kedudukan sederajat/setingkat. Contoh: Penga-
dilan Administrasi terhadap Pengadilan Negeri
(Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Mili-
ter.
1.2. Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bu-
lat dan melekat dari suatu jenis pengadilan ter-
hadap jenis pengadilan lainnya, yang secara ber-
jenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih
tinggi. Contoh : Pengadilan Negeri (Umum) ter-
hadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2. Distribusi (relatieve competetentie atau distributie van
rechtsmacht) yang berkaitan dengan pembagian wewe-
nang, yang bersifat terinci (relatif) diantara badan-badan
yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh : antara
Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri
antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

57
HukumAcara Tata Usaha Negara

Pembagian yang lain adalah pembagian atas Kom-


petensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut
adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Seba-
gaimana diketahui berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14
Tahun 1970 kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan,
yakni : peradilan umum, peradilan agama, pera-dilan militer,
dan peradilan tata usaha negara.
Kompetensi absolut dari peradilan umum adalah
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana yang
dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecua-
li suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain
(Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1986).
Kompetensi absolut dari peradilan agama adalah
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara
orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, wari-
san, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU 7
Tahun 1989).
Kompetensi absolut dari peradilan militer adalah
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara pidana
yang dilakukan oleh anggota militer (baik dari angkatan da-
rat, angkatan laut, angkatan udara).
Kompetensi absolut dari peradilan Tata Usaha
Negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus-
kan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepega-
waian (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1985) dan tidak di-
keluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang
sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan
kewajiban badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang ber-
sangkutan (Pasal 3 No. 5 Tahun 1985).
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, disebutkan sebagai berikut:
”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
HukumAcara Tata Usaha Negara

atau Badan Hukum Perdata dan badan atau pejabat tata


usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Terkait dengan masalah sengketa kepegawaian ter-
sebut sebagaimana dijelaskan di atas, diselesaikan melalui
suatu proses yang mirip dengan suatu proses peradilan, yang
dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat yang di-
sebut peradilan semu (Quasi rechtspraak). Pengertian pera-
dilan kepegawaian yang dimaksud adalah sederetan
prosedur administrasi yang ditempuh oleh 10 pegawai nege-
ri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu
tindakan berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pe-
jabat yang berwenang) yang merupakan kepentingannya.105
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa kepega-
waian, diatur lebih lanjut dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun
1986, yang berbunyi:
”(1) dalam hal suatu badan atau pejabat negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan pera-
turan perundang-undangan untuk menyelesai-
kan secara administratif sengketa tata usaha
negara tertentu, maka sengketa tata usaha nega-
ra teresbut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia”.
(2) pengadilan baru berwenang memeriksa, me-
mutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), jika seluruh upaya administratif yang ber-
sangkutan telah digunakan”.
Kemudian di dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945
Amandemen mengatur Kekuasaan Kehakiman yang sebelum-
nya diatur da-lam ketentuan Pasal 10 ayat 1 UU No. 14
Tahun 1970 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 35 Tahun

105
Titik Wulandari, Op.Cit., hlm. 580.

59
HukumAcara Tata Usaha Negara

1999 dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan sekarang


telah diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehaminan. Dalam ketentuan UU No. 48 Tahun
2009 ini Kekuasaan Kehakiman (judical power) berada di
bawah kekuasaan Mahkamag Agung. Pasal 18 disebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahka-
mah Agung dan badan peradilan di bawahnya (lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan pe-
radilan tata usaha negara).
Yahya Harahap106 membagi kewenangan absolut, se-
bagai berikut:
a. Didasarkan pada lingkungan kewenangan
b. masing-masing lingkungan memiliki kewenangan me-
ngadili tertentu atau diversity juridiction.
c. Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan kewena-
ngan absolut atau yudisdiksi absolut masing-masing
lingkungan sesuai dengan subject matter of juridiction.
d. Oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya ber-
wenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan
undang-undang kepadanya.
Maka tugas pokok pengadilan adalah menyelenggara-
kan kekuasaan kehakiman, memeriksa/mengadili dan me-
nyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, dimana
masing-masing badan peradilan mempunyai kompetensi
absolutnya.
Kemudian, kompetensi relatif adalah kewenangan
dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersang-
kutan. Dalam kaitannya dengan peradilan Tata Usaha Nega-
ra, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewe-
nangan pengadilan Tata Usaha Negara yang mana yang
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus per-
kara tersebut. Apakah PTUN Ujung Pandang, Surabaya, Se-

106
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tengtang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika:
Jakarta, 2005, hlm. 182.
HukumAcara Tata Usaha Negara

marang, Bandung, Jakarta, Palembang atau Medan dan se-


bagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pasal 54
Undang-undang No. 5 Tahun 1986, menyebutkan gugatan
dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili)
tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan
dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedudukan salah
satu tergugat. Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN
tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada
PTUN tempat kedudukan (domisili) dari tergugat. PTUN
Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di luar
negeri. Sedangkan apabila tergugat berkedudukan di luar
negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat
kedudukan tergugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ter-
sebut apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara
absolut maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan
gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari
segi waktu dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah
dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana
diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan
Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 hanya dalam tenggang waktu
90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau di-
umumkannya keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Ne-
gara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
atribusi dari Sjachran Basah itu sama dengan kompetensi
absolut dan untuk istilah delegasi adalah sama dengan kom-
petensi relatif.
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas,
dalam Pasal 77 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan :
(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat
diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meski-
pun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut
pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena
jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan

61
HukumAcara Tata Usaha Negara

(2) Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diaju-


kan sebelum disampaikan jawaban atas pokok seng-
keta, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum po-
kok sengketa diperiksa
(3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan penga-
dilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok seng-
keta.
Dengan demikian, eksepsi tentang kompetensi relatif
dari Peradilan Tata Usaha Negara, harus disampaikan ter-
gugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa,
apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawa-
ban atas pokok sengketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi
dapat diterima.
Ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat
dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara107, yaitu:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan per-
buatan Hukum Perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memer-
lukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas
dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasar-
kan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha
Negara Angkatan Bersenjatan Republik Indonesia.
h. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun
di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

107
Lihat Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1985.
HukumAcara Tata Usaha Negara

PENYELESAIAN SENGKETA
TATA USAHA NEGARA

A. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM SENGKETA


TATA USAHA NEGARA

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa berdasarkan


Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, para pihak dalam
sengketa Tata Usaha Negara adalah orang (individu) atau ba-
dan hukum perdata dan badan atau Pejabat Tata Usaha Ne-
gara.
Dari Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986
juga dapat diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam
sengketa Tata Usaha Negara adalah orang (individu) atau
badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat. Hal
ini sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa Tata
Usaha Negara adalah akibat dikeluarkannya keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN). Oleh karenanya tidak mungkin badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputu-
san Tata Usaha Negara sebagai pihak penggugat. Dengan
demikian dalam sengketa Tata Usaha Negara tidak mungkin
terjadi rekonvensi (gugat balik). Apabila terjadi rekonvensi,
maka kedudukan para pihak dalam sengketa menjadi ber-
ubah, penggugat awal menjadi pihak tergugat, sedangkan
tergugat awal menjadi pihak penggugat.

63
HukumAcara Tata Usaha Negara

Darwan Prinst,108 mendefinisikan gugatan rekonven-


si adalah gugatan balasan dari tergugat terhadap penggugat.
Gugatan balasan (rekonvensi) ini harus dikemukakan bersa-
maan dengan jawaban. Gugat balik
Pihak yang berperkara sebagaimana di jelaskan
Darwan Prinst, berbeda kedudukannya dalam Peradilan Tata
Usaha Negara. Tergugat dalam peradilan Tata Usaha Negara
adalah selaku badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya itu menun-
jukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar, sehingga
badan atau jabatan Tata Usaha Negara itu dianggap ber-
wenang melakukan tindakan hukum (dalam hal ini KTUN)
yang disengketakan. Wewenang tersebut dapat diperoleh
secara atributif, delegasi atau mandat.109
Apabila kewenangan itu diperoleh dari suatu pera-
turan dasar, maka kewenangan itu dinamakan bersifat
atributif. Dan manakala badan atau jabatan Tata Usaha
Negara yang memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
kemudian disengketakan, maka yang harus digugat adalah
badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang disebutkan da-
lam peraturan dasarnya yang telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif tersebut.
Adakalanya wewenang atributif itu didelegasikan,
maka apabila badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang
terakhir inilah yang harus menjadi tergugat. Pelimpahan we-
wenang dapat juga terjadi atas dasar pemberian mandat.
Berbeda dengan delegasi, pada mandat tidak terjadi peruba-
han baik hubungan hirarkis maupun pemilikan dan tanggung
jawab wewenang yang diatur dalam peraturan dasarnya
antara mandans (badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang
melimpahkan mandat) dengan mandataris (badan jabatan

108
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata,
PT. Citra Aditya : Bandung, 1996, hlm. 60.
109
Indroharto, Op Cit, Buku II, hlm. 31-32, dalam Zairin Harahap, Op.Cit.
hlm. 82-83.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Tata Usaha Negara yang menerima tugas mandat). Apabila


mandataris mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
yang kemudian disengketakan, maka seharusnya yang di-
gugat adalah mandans bukan mandataris.110
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata
yang dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga kelom-
pok :111
1. Kelompok pertama adalah orang-orang atau badan
hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu
KTUN. Disini orang atau badan hukum perdata tersebut
secara langsung terkena kepentingannya oleh keluarnya
KTUN yang dialamatkan kepadanya. Karena itu jelas ia
berhak untuk mengajukan gugatan
2. Kelompok kedua adalah orang-orang atau badan hukum
perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan yang meliputi :
a. Individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang
berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena ke-
pentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya
suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada
orang lain.
b. Organisasi-organisasi kemasyarakatan (Mis: pecinta
lingkungan) sebagai pihak ketiga dapat merasa ber-
kepentingan, karena keluarnya suatu KTUN itu diang-
gapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang me-
reka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya
3. Kelompok ketiga adalah badan atau jabatan TUN yang
lain, namun UU PTUN tidak memberi hak kepada badan
atau jabatan TUN untuk menggugat.
Adanya kepentingan merupakan suatu syarat mini-
mal untuk dapat dijadikan alasan mengajukan gugatan di Pe-
ngadilan Tata Usaha Negara. Pengertian kepentingan itu

110
Ibid
111
Ibid

65
HukumAcara Tata Usaha Negara

dalam kaitannya dengan hukum acara Tata Usaha Negara


mengandung dua arti, yaitu :112
1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hu-
kum; dan
2. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai
dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersang-
kutan. Ada adigium yang mengatakan point d’interet
point d’action (bila ada kepentingan, maka disitu baru
boleh diproses). Proses yang tidak ada tujuannya harus
dihindarkan, sebab tidak bermanfaat bagi kepentingan
umum
Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus
dilindungi oleh hukum tersebut dapat kita lihat dari adanya
hubungan antara orang atau badan hukum perdata yang
bersangkutan di satu pihak dengan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan di lain pihak. Kepentingan ini
dapat dikelompokkan ke dalam :
1. Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat,
apabila kepentingan itu jelas :
a. kepentingan itu ada hubungannya dengan penggugat
sendiri;
b. kepentingan itu harus bersifat pribadi;
c. kepentingan itu harus bersifat langsung;
d. kepentingan itu secara obyektif dapat ditentukan
baik mengenai luas maupun intensitasnya.
2. Kepentingan dalam hubungannya dengan KTUN yang
bersangkutan. Tiap KTUN yang telah dikeluarkan itu
sebenarnya merupakan suatu proses rangkaian keluar-
nya berbagai macam keputusan (katakanlah keputusan-
keputusan persiapan yang dibuat oleh staf). Dari kese-
luruhan rangkaian proses keputusan-keputusan itu tentu
ada satu keputusan pokok yang dimaksudkan untuk
dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Keputusan

112
Ibid, hlm. 83.
HukumAcara Tata Usaha Negara

inilah yang diberi suatu klasifikasi dan yang mempunyai


arti untuk digugat. 113.

B. PARA PIHAK

Sama seperti pada persidangan di lingkup persida-


ngan umum, para pihak pada pemeriksaan di sidang penga-
dilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara disebut
penggugat dan tergugat.

1. Penggugat

Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak ada ketentuan


yang menyebutkan siapa yang dimaksud dengan penggugat
tersebut. Tetapi dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986 dapat diketahui apa yang dimaksud dengan
penggugat. Pasal 53 tersebut menentukan:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepa-
da pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa
disertai dengan tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa da-
lam sengketa Tata Usaha Negara, yang dapat bertindak
sebagai penggugat adalah:
a. orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara;
b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

113
Ibid, hlm. 84.

67
HukumAcara Tata Usaha Negara

Berdasarkan hal ini sudah jelas diperoleh suatu ke-


simpulan bahwa tidak mungkin Badan atau Pejabat Negara
bertindak sebagai penggugat, sebab Badan atau Pejabat
negara tersebutlah yang mengeluarkan suatu keputusan
yang dianggap telah mendatangkan suatu kerugian bagi ke-
pentingan pihak lain.
Unsur ”kepentingan” pada ketentuan yang terdapat
padal Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 ini sangat pen-
ting dan menentukan apakah seseorang atau badan hukum
perdata dapat bertindak sebagai penggugat, maka perlu
terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan ”ke-
pentingan” pada ketentuan tersebut.
Menurut Indroharto114, pengertian kepentingan da-
lam kaitannya dengan Hukum Acara Tata Usaha Negara itu
mengadung arti, yaitu:
1. menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hu-
kum, dan
2. kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai de-
ngan melakukan suatu proses gugatan yang bersangku-
tan.
S.F. Marbun115 mengemukakan bahwa kepentingan
penggugat yang dirugikan harus bersifat ”langsung terkena”,
artinya kepentingan tersebut tidak boleh terselubung di balik
kepentingan orang lain (rechtstreeks belang) sesuai dengan
adagium yang menyatakan point d’interest, point d’action.
Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 53 ayat (1) No. 5 Tahun 1986 dan apa yang dimaksud
oleh Indoharto dengan ”kepentingan” dalam ketentuan ter-
sebut, maka Indroharto berpendapat bahwa actio popularis
tidaklah berlaku dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Actio Popularis adalah pengajuan gugatan yang dapat
dilakukan oleh setiap orang terhadap adanya perbuatan me-
lawan hukum dengan mengatasnamakan kepentingan umum

114
Indroharto, sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono, Op.Cit. hlm. 60
115
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif
di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan I, 1997, hlm. 226.
HukumAcara Tata Usaha Negara

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur


adanya prosedur tersebut.116
Dengan demikian, menurut UU No. 5 Tahun 1986 Jo.
UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009, seseorang
atau badan hukum perdata tidak dapat bertindak sebagai
penggugat dalam sidang peradilan dengan mempergunakan
prosedur actio popularis.117

2. Tergugat

Lain halnya dengan kedudukan tergugat. Yang


dimaksud dengan tergugat dapat ditemukan pada Pasal 1
angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 12 UU No. 9
Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009) yang menyebutkan:
Tergugat adalah badan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewe-
nang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
”Wewenang” sebagaimana disebut dalam Pasal 1
angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 12 UU No. 9
Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009) adalah wewenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
jadi wewenang dalam pengertian hukum publik.118
R. Wiyono119 menjelaskan Pasal 1 angka 6 tentang
kedudukan tergugat sebagai berikut:
1. Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat
oleh orang atau badan hukum perdata.

116
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, Cetakan IV, 1993,
hlm. 36, sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 62.
117
Ibid, hl. 63.
118
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga,
Cetakan ke-3, Sinar Grafika: Yogyakarta, 2015, hlm. 65.
119
Ibid, hlm. 66

69
HukumAcara Tata Usaha Negara

Disini yang diberi wewenang untuk mengeluarkan


Keputusan Tata Usaha Negara adalah Badan Tata Usaha
Negara. Akan tetapi, Badan Tata Usaha Negara sendiri
tidak mungkin dapat mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara. Yang dapat mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara adalah alat perlengkapan dari Badan Tata
Usaha Negara tersebut atas dasar wewenang dari Badan
Tata Usaha Negara itu untuk mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara.
Alat perlengkapana dari Badan Tata Usaha Negara yang
dimaksud adalah sesuatu jabatan yang ada pada Badan
Tata Usaha Negara, yang dalam kegiatannya sehari-hari
dilakukan oleh pemangku jabatan yang merupakan per-
sonafikasi dari jabatan alat perlengkapan dari Badan
Tata Usaha Negara tersebut.
Sebagai salah satu contoh adalah Badan Pertimbangan
Kepegawaian, yaitu Badan yang termasuk Lembaga
Ekstra Struktural yang bertanggung jawab kepada
Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengambil
keputusan banding administrasi terhadap penjatuhan
hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagaimana di-
maksud dalam pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010.
Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian tersebut
dikeluarkan dan ditandatangani oleh Badan Pertimba-
ngan Kepegawaian. Dengan demikian, jika sampai terjadi
sengketa Tata Usaha Negara dengan Badan Pertimba-
ngan Kepegawaian, yang menjadi Tergugat adalah
jabatan Ketua Badan Pertimbangan Kepegawaian dan
bukan Badan Pertimbangan Presiden.
2. Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Kepu-
tusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Di sini, peraturan perundang-undangan memberikan we-
wenang untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
HukumAcara Tata Usaha Negara

Negara tersebut kepada ”jabatan” Tata Usaha Negara dan


bukan kepada pemangku jabatan.
Oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 istilah
”jabatan” disebut dengan ”Pejabat” tersebut, yang akibat-
nya dapat menyesatkan, karena Pejabat adalah sama
dengan pemangku jabatan. Meskipun demikian ”pejabat”
tetap dipergunakan karena undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 memang mempergunakan istilah tersebut.
Jadi, sebenarnya yang menjadi tergugat dalam sengketa
Tata Usaha Negara adalah Jabatan Tata Usaha Negara
dan bukan Pejabat Tata Usaha Negara.
Dengan memperhatikan perumusan dari ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986
(Pasal 1 angka 12 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun
2009), yaitu dengan perumusan ”... berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya ...” maka
untuk menentukan Badan Negara, perlu terlebih dahulu
diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Negara pada
waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, apakah
atribusi, pemberian kuasa (mandat), atau pelimpahan wewe-
nang (delegasi). Masing-masing jenis wewenang tersebut
dijelaskan sebagai berikut:120
1. Wewenang yang diberikan dengan atribusi artinya we-
wenang yang langsung diberikan atau langsung diten-
tukan oleh peraturan perundang-undangan kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya wewe-
nang yang diberikan kepada Presiden RI untuk mengang-
kat dan memberhentikan Jaksa Agung sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004.
2. Wewenang yang diberikan dengan mandat, artinya
wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima
mandat) dari mandans (pemberi mandat) melaksanakan
wewenang untuk dan atas nama mandans.
Pada wewenang yang diberikan dengan mandat, manda-
taris tidak sampai diberikan tanggung jawab dalam

120
Ibid, hlm. 68

71
HukumAcara Tata Usaha Negara

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara oleh


mandans, tetapi mendataris hanya sekadar diberikan
wewenang hanya untuk dan atas nama mandans menge-
luarkan Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga dengan
demikian tidak sampai ada karenanya tanggung jawab
atas dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
masih tetap pada mandans.
Karena mandataris hanya sekadar diberikan wewenang
untuk dan atas nama mandans mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara saja, maka setiap waktu mandans
masih mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Ke-
putusan Tata Usaha Negara tanpa mencabut terlebih da-
hulu mandat yang telah diberikan kepada mandataris.
3. Wewenang yang diberikan dengan delegasi, artinya we-
wenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang
dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris
(penerima delegasi).
Pada wewenang yang diperoleh dengan delegasi, dele-
gataris telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluar-
kan Keputusan Tata Usaha Negara untuk dan atas nama
delegataris sendiri, bukan untuk dan atas nama delegans,
karena telah terjadi penyerahan wewenang dari delegans
kepada delegataris.
Karena menyangkut pengalihan wewenang untuk me-
ngeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka menge-
nai wewenang yang diperoleh karena delegasi tersebut,
hanya dapat terjadi pada peraturan perundang-
undangan yang menyebutkan bahwa wewenang untuk
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
dapat didelegasikan.
Pemberian delegasi untuk mengeluarkan Keputusan Tata
Uaha Negara yang dimaksud dari delegans kepada dele-
gataris harus dituangkan dalam bentuk formal, misalnya
dalam bentuk Surat Keputusan.
Sebagai akibat dari pemberian wewenang dengan dele-
gasi, delegans sudah tidak mempunyai wewenang lagi
untuk mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara.
Delegasi baru mempunyai wewenang kembali untuk
HukumAcara Tata Usaha Negara

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, setelah


mencabut terlebih dahulu pemberian delegasi kepada
delegataris.
Surwoto Mulyosudarmo121 mengemukakan tentang ciri-
ciri masing-masing jenis dari wewenang Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut sebagai berikut:
1. Ciri-ciri atribusi
a. pemberian kekuasaan secara atribusi melahirkan
kekuasaan baru;
b. pembentukan kekuasaan secara atribusi harus dila-
kukan oleh suatu badan yang pembentukannya
didasarkan pada peraturan perundang-undangan
(authorized organs).
2. Ciri-ciri dari mandat:
a. pemberian kuasa hanya dapat diberikan oleh badan
yang berwenang yaitu badan yang memperoleh ke-
kuasaan secara atribusi (geat tribeerde) atau oleh
pemegang delegasi (gedelegeerde);
b. pemberian kuasa tidak membawa konsekuensi bagi
penerima kuasa (gemandaatteerde) untuk bertang-
gung jawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwa-
jibkan memberikan laporan atas pelaksanaan ke-
kuasaan kepada pemberi kuasa. Tanggung jawab ke-
pada pihak ketiga dalam kaitannya dengan tugas
mandataris tetapi berada pada pemberi kuasa
(mandans);
c. konsekuensi teknis administratifnya adalah bahwa
seorang pemegang kuasa harus bertindak atas nama
pemberi kuasa (mandans). Sedangkan seorang peme-
ngang delegasi dan pemegang atribusi dapat bertin-
dak sendiri;
d. pemberian kuasa dapat melimpahkan kuasa kepada
pihak ketiga hanya atas izin dari pemberi kuasa. Jika
secara tegas pada pemberian submandat diperlukan

121
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1997, hlm. 41, 44 dan 47, dalam R. Wiyono,
Ibid, hlm. 70.

73
HukumAcara Tata Usaha Negara

karena pelimpahan kuasa, pada hakikatnya hanya se-


kadar pemberian hak untuk melakukan sebagian atau
seluruh kekuasaan tanpa mengalihkan tanggung
jawab.
3. Ciri-ciri delegasi:
a. pendelegasian harus dilakukan oleh badan yang ber-
wenang;
b. pendelegasian menyebabkan hilangnya wewenang
bagi delegans dalam jangka waktu yang telah diten-
tukan;
c. delegataris harus bertindak atas nama sendiri dan
oleh karena itu seorang delegataris bertanggung ja-
wab secara eksternal terhadap segala pelaksanan ke-
kuasaan yang timbul dari pendelegasian kekuasaan
itu;
d. subdelegasi baru dapat dilakukan, tetapi hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan delegans.
Wewenang dapat diketahui dari peraturan per-
undang-undangan yang menjadi dasar hukum dikeluarkan-
nya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam peraturan per-
undang-undangan tersebut harus tercantum bahwa wewe-
nang yang dimaksud dapat didelegasikan atau dilimpah-
kan.122

3. Hak dan kewajiban penggugat dan tergugat

Titik Wulandari123 mengemukakan hal-hal apa saja


yang menjadi hak penggugat dan pada tergugat, sebagai beri-
kut:
Pihak penggugat memiliki hak:
a. Mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara (Pasal 53).

122
Ibid, hlm. 71
123
Titik Triwulan, Op.Cit. hlm. 589
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa


(Pasal 57).
c. Mengajukan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa
cuma-cuma (Pasal 60).
d. Mendapat panggilan secara sah (Pasal 65).
e. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan
TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN se-
dang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 67).
f. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya
sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup ser-
ta tidak merugikan kepentingan tergugat (Pasal 75 ayat
1).
g. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawa-
ban (Pasal 76 ayat 1).
h. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi
lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan mem-
buat kutipan seperlunya (Pasal 81).
i. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan
segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sen-
diri setelah memperoleh izin ketua pengadilan yang ber-
sangkutan (Pasal 82).
j. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpu-
lan pada pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (Pa-
sal 97 ayat 1).
k. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada
pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-ala-
san permohonannya (Pasal 98 ayat 1).
l. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti
rugi (Pasal 120).
m. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabili-
tasi (Pasal 121).
n. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara
tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang
waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan TUN diberi-
kannya secara sah (Pasal 122).

75
HukumAcara Tata Usaha Negara

o. Menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori


banding serta surat keterangan bukti kepada panitera
pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memo-
ri banding dan/atau kontra memori banding di-berikan
kepada pihak lainnya dengan perantara panitera penga-
dilan (Pasal 126 ayat 3).
p. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara ter-
tulis kepada Mahkamah Agung atas suatu putusan
tingkat terakhir pengadilan (Psal 131).
q. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kem-
bali kepada Mahkamah Agung atas suatu putusan penga-
dilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 132).
Pihak tergugat memilik hak :
a. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa
(Pasal 57).
b. Mendapat panggilan secara sah (Pasal 65).
c. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya
sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup
serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75
ayat 2).
d. Apabila tergugat sudah memberi jawaban atas gugatan,
pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan
oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (Pasal
76 ayat 2)
e. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lain-
nya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat
kutipan seperlunya (Pasal 81).
f. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpu-
lan pada saat pemerikaan sengketa sudah diselesaikan
(Pasal 97 ayat 1).
g. Bermusyarawah dalam ruangan tertutup untuk memper-
timbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa terse-
but (Pasal 9 ayat 2).
h. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara
tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang
waktu 14 hari setelah putusan pengadilan TUN diberi-
tahukan secara sah (Pasal 122).
HukumAcara Tata Usaha Negara

i. Menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori


banding serta surat keterangan bukti kepada panitera
pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memo-
ri banding dan/atau kontra memori banding diberikan
kepada pihak lainnya dengan perantara panitera penga-
dilan (Pasal 126 ayat 3).
j. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara ter-
tulis kepada Mahkamah Agung atas suatu putusan ting-
kat terakhir pengadilan (Pasal 131).
k. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kem-
bali kepada Mahkamah Agung atas suatu putusan penga-
dilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 132).
Selain hak, pihak tergugat juga memiliki kewajiban,
antara lain:
a. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan TUN wajib (Pasl 97 ayat 9):
1) mencabut keputusan TUN yang bersangkutan;
2) mencabut gugatan TUN yang bersangkutan dan
menerbitkan keputusan TUN yang baru; dan
3) menerbitkan keputuan TUN dalam hal gugatan di-
dasarkan pada Pasal 3.
b. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna
melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempu-
nyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya
keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan di-
jatuhkan dan/atau memperoleh kekutan hukum tetap, ia
wajib memberitahukan kepada ketua pengadilan dan
penggugat (Pasal 117 ayat 1).
c. Memberitahukan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat
atau permohonan ganti rugi dikabulkan oleh pengadilan
(Pasal 120).
d. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat
atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh pengadi-
lan (Pasal 121).

77
HukumAcara Tata Usaha Negara

C. PENYELESAIAN MELALUI UPAYA ADMINISTRASI

Dalam penjelasan Pasal 48 ayat 1 UU No. 5 Tahun


1986 adalah upaya penyelesaian melalui jalur administratif,
yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Ketentuan tentang adanya upaya adminitratif terse-
but merupakan dan dimaksudkan sebagai kontrol atau
pengawasan yang bersifat intern dan represif di Lingkungan
Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.124
Di dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 menentukan:
(1) Dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menye-
lesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha
Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia;
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memu-tus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh
upaya administratif yang bersangkutan telah di-
gunakan.
Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 48 UU No.
5 Tahun 1986 tersebut, dapat diketahui adanya beberapa
petunjuk sebagai berikut:
a. Upaya administratif sebagai penyelesaian sengketa Tata
Usaha Negara yang sudah ada tetap dipertahankan bah-
kan kini terbuka kemungkinan untuk mengajukan lebih
lanjut ke pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.

124
Ibid, hlm. 109.
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Dengan dipergunakannya kalimat ”sengketa Tata Usaha


Negara tertentu”, maka penyelesaian sengketa Tata
Usaha Negara melalui upaya administratif tidak berlaku
untuk semua sengketa Tata Usaha Negara, tetapi hanya
sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya ter-
sedia upaya administratif saja.
c. Pengadilan di Lingkugan Peradilan Tata Usaha Negara
baru mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang
tersedia upaya administratif, jika seluruh upaya adminis-
tratif tersebut telah digunakan dan mendapat kepu-
tusan.125

125
Ibid

79
HukumAcara Tata Usaha Negara

GUGATAN KE PERADILAN
TATA USAHA NEGARA

A. ALASAN MENGAJUKAN GUGATAN

Menurut Pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5


Tahun 1986, seorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepa-
da pegadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar keputu-
san Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi. Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menye-
butkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan,
adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu berten-
tangan dengan peraturan perundang-undangan yang ber-
laku;
b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me-
ngeluarkan keputusan telah menggunakan wewenang-
nya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewe-
nang itu;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me-
ngeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan se-
mua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
HukumAcara Tata Usaha Negara

seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak


mengambil keputusan tersebut;126
ad.a. Keputusan Tata Usaha Negara dapat dikatakan ber-
tentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, apabila:
(1) bertentangan dengan ketentuan dalam peratu-
ran perundang-undangan yang bersifat prosedu-
ral/formal;
(2) bertentangan dengan ketentuan dalam peratu-
ran perundang-undangan yang bersifat materiil/
substansial;
(3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang tidak berwenang .
Hal ini menuntut agar setiap Pejabat Tata Usaha Ne-
gara di dalam membuat Keputusan Tata Usaha Ne-
gara, harus benar-benar memahami semua keten-
tuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dibuatnya keputusan tersebut, baik yang ber-
kenaan dengan masalah prosedural yaitu tata cara
pembuatan suatu Keputusan Tata Usaha Negara,
maupun yang bersifat materiil, yaitu mengenai isi
Keputusan Tata Usaha Negara itu. Di samping itu,
juga harus memperhatikan wewenang yang ada
padanya, baik dalam arti ratione materie, ratione loci,
maupun ratione temporis.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, suatu ke-
putusan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, seyogianya tidak mengandung cacat
yuridis, sehingga tidak akan dijadikan alasan gugatan
di Peradilan Tata Usaha Negara, karena keputusan
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
ad.b. Alasan kedua ini di dalam Hukum Administrasi Nega-
ra lebih dikenal dengan istilah detournement de
poupoir atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hal
ini Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
126
Lihat, Rozali Abdullah, Op.Cit, hlm. 40.

81
HukumAcara Tata Usaha Negara

sebenarnya memang mempunyai wewenang untuk


membuat keputusan tersebut, tetapi wewenang itu
digunakan untuk tujuan yang lain dari pada tujuan
yang dimaksud dalam peraturan perundang-undang-
an yang menjadi dasar dibuatnya keputusan tersebut.
Milsanya saja untuk tujuan-tujuan kepentingan
umum yang disalahgunakan untuk kepentingan pri-
badi atau kepentingan golongan. Hal ini sebenarnya
lebih banyak berkaitan dengan masalah kualifikasi
moral yang dimiliki oleh seorang Pejabat Tata Usaha
Negara. Biasanya alasan ini agak sulit membuktikan-
nya di sidang Peradilan Tata Usaha Negara, karena
alasan yang sebenarnya disembunyikan di belakang
alasan kepentingan umum. Apalagi sampai sekarang
belum ada ukuran-ukuran yang objektif tentang apa
yang dimaksud dengan kepen-tingan umum tersebut.
ad.c. Pada alasan ketiga ini terlihat adanya suatu penge-
cualian dari adanya suatu syarat tertulis baik Keputu-
san Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan alasan
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 5 Tahun
1986.
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara harus memuat:127
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan penggugat atau kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat tinggal tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk dipu-
tuskan oleh pengadilan.
Apabila gugatan dibuat atau ditandatangani oleh
kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa
yang sah dan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat, apabila
Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak disengketakan
itu tidak ada di tangan penggugat atau di tangan pihak ketiga
yang terkena akibat keputusan tersebut, Hakim dapat

127
LIhat Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986
HukumAcara Tata Usaha Negara

meminta Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang ber-


sangkutan mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan.128
Mengenai tuntutan yang dapat dimintakan dalam
gugatan di Pengadilian Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
97 ayat (9) UU No. 5 Tahun 1986, yang berbunyi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang ber-
sangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
gugatan didasarkan Pasal 3.
Sedangkan Pasal 97 ayat (10) dan (11) menyebutkan:
Ayat (10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti
rugi;
Ayat (11) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (8) menyang-
kut kepegawaian, maka dIsamping kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan
ayat (10), dapat disertai pemberian rehabili-
tasi.
Melihat kedudukan dan bunyi Pasal 97 ayat (10) dan
ayat (11) di atas, jelas terlihat bahwa ayat (11) tersebut
merupakan suatu pengecualian, dimana rehabilitasi hanya
bisa dimintakan khusus dalam sengketa kepegawaian.
Sedangkan ganti rugi sebagaimana diatur dalam ayat (10)
bukanlah merupakan suatu pengecualian, tetapi tampaknya
juga berlaku pada sengketa di bidang lain, seperti sengketa di
bidang perizinan agraria, pajak dan lain-lain. Kalau hal ini
memang benar berarti UU No. 5 Tahun 1986 di dalam
menentukan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara

128
Rozali Abdullah, Op.Cit, hlm. 44-45

83
HukumAcara Tata Usaha Negara

menganut paham yang luas.129 Menurut Thorbecke130, bila


pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak di lapangan
hukum publik, maka yang berhak mengadillinya adalah
Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan menurut Buys
bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya
dan oleh karena itu menuntut ganti rugi, maka perkara yang
bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim biasa. Kalau kita
berpegang pada pendapat Buys maka ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 97 ayat (10) seharusnya tidak ter-
masuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara menga-
dilinya, terkecuali untuk sengketa kepegawaian, sama halnya
dengan rehabilitasi. Sebagaimana telah dikemukakan sebe-
lumnya di dalam Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 5
Tahun 1986 terkandung suatu prinsip bahwa hakikatnya
yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan hal ini Peradilan Tata Usaha Negara hanya ber-
wenang mengadili sengketa mengenai sah atau tidaknya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan tuntutan
ganti rugi yang timbul karena adanya Keputusan Tata Usaha
Negara, adalah merupakan sengketa mengenai hak, sehingga
yang berwenang mengadilinya adalah peradilan umum.131
Mengenai ini, Rozali Abdullah132 berpendapat, apabi-
la Pasal 97 ayat (10) tersebut tidak merupakan suatu penge-
cualian bagi sengketa kepegawaian, maka hal ini akan
bertentangan dengan prinsip dasar sebagaimana tersirat da-
lam Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 5 Tahun 1986, serta
bertentangan pula dengan pendapat yang umum diikuti oleh
para praktisi dan pakar di bidang Hukum Administrasi
Negara dan jelas ini akan menimbulkan masalah dalam
praktiknya.

129
Ibid, hlm. 46
130
Ibid.
131
Ibid, hlm. 47
132
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

B. PENGAJUAN GUGATAN

Menurut Pasal 54 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986,


gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan secara tertulis
kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan yang diajukan
harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan men-
jadi pegangan bagi peradilan dan para pihak selama
pemeriksaan. Dalam hal seorang penggugat buta huruf dan
tidak mampu membayar seorang pengacara, yang ber-
sangkutan dapat meminta kepada Panitera Pengadilan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan untuk membuat dan me-
rumuskan gugatannya.
Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu
daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diaju-
kan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam
wilayah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudu-
kan penggugat untuk diteruskan ke pengadilan yang ber-
sangkutan. Dalam hal ini tanggal diterimanya gugatan oleh
panitera pengadilan tempat kedudukan penggugat dianggap
sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang berwenang. Sedangkan apabila penggu-
gat dan tergugat di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila
tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara di tempat kediaman tergugat.
Mengenai sengketa Tata Usaha Negara yang menurut
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5
Tahun 1986, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat.

85
HukumAcara Tata Usaha Negara

Salah satu kekhususan di Peradilan Tata Usaha


Negara juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai Pengadilan
Tingkat Banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai
pengadilan tingkat pertama seperi halnya Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa Tata
Usaha Negara tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48
UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang
mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1986 Jo.
UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut:
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di
tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 48.
Berhubung sengketa Tata Usaha Negara selalu ber-
kaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka penga-
juan ke pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluar-
kannya keputusan yang bersangkutan.
Pasal 55 menyebutkan bahwa:
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterima-
nya atau diumumkannya Keputusan Badan dan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 3, maka tenggang waktu 90 hari
itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang diten-
tukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permoho-
nan yang bersangkutan. Seandainya peraturan yang menjadi
dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihi-
tung sejak lewatnya tenggang waktu empat bulan yang
dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Bilamana waktu tersebut di atas telah lewat, maka hak untuk
menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha


Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Nega-
ra yang digugat. Ketentuan ini didasarkan kepada semacam
asas seperti yang di dalam Hukum Acara Pidana, yaitu asas
praduga tidak bersalah (presumtion of innocent).133 Selama
keputusan Tata Usaha Negara tersebut belum dinyatakan
tidak sah (melawan hukum) dengan keputusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka ketetapan ini
tetap dianggap sah (tidak melawan hukum) sehingga harus
tetap dilaksanakan. Namun penggugat dapat mengajukan
permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Nega-
ra itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan me-
ngenai hal ini dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan ini dapat dikabulkan apabila ter-
dapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat tersebut sangat dirugikan jika Kepu-
tusan Tata Usaha Negara tersebut tetap dilaksanakan. Per-
mohonan ini tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan
umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksa-
nakannya keputusan itu.134

C. SYARAT-SYARAT MENGAJUKAN GUGATAN

Persyaratan mengajukan gugatan bersifat formal,


namun apabila tidak dipenuhi dapat berakibat gugatan tidak
dapat diterima atau ditolak. Dalam pasal 56 UU No. 5 Tahun
1986 disebutkan bahwa syarat-syarat gugatan adalah:
(1) Gugatan harus memuat:
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pe-
kerjaan penggugat atau kuasa hukumnya;

133
Rozali Abdullah, Op.Cit. hlm. 49.
134
Ibid

87
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;


c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputus-
kan oleh pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang
kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat
kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata
Usaha Negara yang dipersengketakan oleh penggugat.
Tidak semua orang dapat bertindak sendiri untuk
membela hak-haknya, adakalanya untuk pembelaan hak ter-
sebut harus diserahkan kepada lain yang sudah dianggap
ahli. Pasal 56 ayat (2) memberi kesempatan kepada para
pihak untuk menguasakan pembelaan hak-haknya atau ke-
pentingannya. Untuk dapat bertindak sebagai wakil atau
kuasa hukum, dapat dilihat pada Pasal 57 UU No. 5 Tahun
1986 yang memuat syarat-syarat berikut:
a. mempunyai surat kuasa khusus;
b. ditunjuk secara lisan di persidangan oleh para
pihak;
c. syarat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuk-
nya harus memenuhi persyaratan di negara yang
bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan RI
di negara tersebut, serta kemudian diterjemah-
kan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah
resmi.
Dalam pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan
bahwa apabila dipandang perlu hakim dapat memerintahkan
para pihak untuk datang menghadap sendiri atau tidak dapat
diwakilkan kepada siapapun termasuk kuasa hukum. Berbe-
da dengan Hukum Acara Perdata yang mana para pihak
dapat menolak menghadap dengan alasan sudah ada kuasa
hukumnya.
Kembali ke Pasal 56 ayat (3). Dengan adanya kata
”sedapat mungkin” membawa konsekuensi bahwa persya-
ratan ini menjadi relatif atau tidak harus dipenuhi. Hal ini
dapat dipahami, apabila dikaitkan dengan pokok sengketa
Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) negatif. Penggugat tidak mungkin dapat menyerta-
HukumAcara Tata Usaha Negara

kan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, karena


badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat tidak
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohon-
kan sampai tenggang waktu yang ditentukan. Dengan demi-
kian, gugatan itu diajukan justru karena tergugat tidak
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohon-
kan tergugat.135
Dalam rapat musyawarah dan pemeriksaan per-
siapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 dan pasal 63
UU No. 5 Tahun 1986 pada dasarnya memberikan kewe-
nangan kepada hakim sebelum melakukan pemeriksaan
pokok sengketa untuk meneliti apakah gugatan penggugat
telah atau belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditentukan. Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka
hakim mengeluarkan suatu penetapan gugatan tidak dapat
diterima, tidak berdasar, atau kurang jelas.136

D. TUNTUTAN DALAM GUGATAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5


Tahun 1986, maka tuntutan dalam gugatan (petitum) yang
dapat diajukan oleh penggugat ke Tata Usaha Negara.
Ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986
tersebut di atas, juga harus dikaitkan dengan Pasal 3 dan
Pasal 117 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang tuntutan
sejumlah uang atau kompensasi. Dari situ akan diperoleh
perihal tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan,
yaitu:
1. tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
itu dinyatakan batal atau tidak sah; atau
2. tuntutan agar badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat untuk mengeluarkan Ke-
putusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan
penggugat, dengan atau tanpa;
135
Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 123
136
Ibid

89
HukumAcara Tata Usaha Negara

3. tuntutan ganti kerugian, dan /atau


4. tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa kom-
pensasi.137

E. KETIDAKHADIRAN PARA PIHAK

1. Penggugat Tidak Hadir


Pasal 71 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 menentukan:
”Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir diper-
sidangan pada hari pertama dan hari yang ditentukan
dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat
harus membayar biaya perkara”.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa gu-
gatan akan dinyatakan gugur jika memenuhi syarat-syarat
berikut:
a. Penggugat atau kuasanya 2 (dua) kali tidak hadir di
persidangan, yaitu pada hari pertama sidang dan pada
hari yang ditentukan dalam panggilan kedua.
Apa yang dimaksud dengan penggugat atau kuasanya
tidak hadir di persidangan pada hari pertama sidang,
kiranya sudah jelas. Yang perlu dijelaskan adalah apa
yang dimaksud dengan penggugat atau kuasanya tidak
hadir di persidangan pada hari yang ditentukan dalam
panggilan yang kedua. Untuk menjelaskan ini diberikan
contoh sebagai berikut:
Pada hari sidang kedua, penggugat atau kuasanya hadir
di persidangan, tetapi pada hari ketiga, penggugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun pada hari si-
dang kedua, penggugat atau kuasanya telah diberita-
hukan oleh Hakim ketua sidang agar hadir di sidang

137
Ibid, hlm. 124
HukumAcara Tata Usaha Negara

pada hari yang sudah ditentukan, yaitu hari sidang ke-


empat.
Pada hari sidang keempat ternyata pengugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan, sehingga penggu-
gat atau kuasanya dipanggil untuk hadir pada hari si-
dang kelima. Jika pada hari sidang kelima, ternyata
penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan,
maka inilah yang dimaksud dengan penggugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari yang di-
tentukan dalam panggilan kedua.
Jadi, apa yang dimaksud dengan penggugat atau kuasa-
nya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan
hari yang ditentukan dalam panggilan kedua bukan
berarti penggugat atau kuasanya tidak hadir di persi-
dangan pada hari pertama sidang dan hari kedua sidang
secara berturut-turut.138
b. Ketidakhadiran penggugat atau kuasanya tersebut tanpa
adanya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo.
UU No. 51 Tahun 2009 tidak adan ketentuan yang
menyebutkan apa yang dimaksud dengan ”tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan” pada Pasal 71 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1986. Oleh karena itu, kepada
Hakim diberikan kebebasan untuk menilai apakah yang
dimaksud dengan ”tanpa alasan yang dapat dipertang-
gungjawabkan” tersebut.
Sebagai contoh mengenai ”tanpa adanya alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan” adalah penggugat atau
kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan sama
sekali atau tidak hadir di persidangan, karena penggugat
atau kuasanya masih sibuk mengurus usaha dagang-
nya.139

138
Ibid, hlm. 131.
139
Ibid, hlm. 132

91
HukumAcara Tata Usaha Negara

c. Penggugat atau kuasanya telah dipanggil dengan patut.


Yang dimaksud dengan ”dipanggil dengan patut” pada
Pasal 71 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 adalah dipanggil
dengan sah.
Pasal 65 UU No. 5 Tahun 1986 menentukan:
”Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap
sah, apabila masing-masing telah menerima surat pang-
gilan yang dikirimkan dengan surat tercatat”.
Dari adanya ketentuan yang terdapat dalam pasal 65
tersebut, maka dapat diketahui bahwa penggugat atau
kuasanya baru dapat dikatakan ”telah dipanggil dengan
patut”, jika penggugat atau kuasanya telah menerima
yang dapat dibuktikan dengan adanya tanda terima –
surat panggilan.
Gugatan akan dinyatakan gugur jika penggugat atau ku-
asanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama
dan hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Akan
tetapi, Pasal 71 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 menen-
tukan bahwa penggugat masih dapat mengajukan guga-
tan sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya
perkara.
Arti dari ketentuan tersebut adalah bahwa hak yang
diberikan kepada penggugat untuk mengajukan gugatan
lagi hanya 1 (satu) kali saja, sehingga jika misalnya gu-
gatan yang dimaksud dinyatakan lagi gugur, maka
penggugat sudah tidak mempunyai hak untuk mengaju-
kan gugatan.

2. Tergugat Tidak Hadir

Pasal 72 UU No. 5 tahun 1986 menentukan :


(1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan dua kali sidang berturut-turut dan
atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap
kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim
HukumAcara Tata Usaha Negara

Ketua sidang dengan surat penetapan meminta


alasan tergugat memerintahkan tergugat hadir
dan atau menanggapi gugatan.
(2) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah
dikirimkan dengan surat tercatat penetapan se-
bagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun
dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang mene-
tapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan
sengketa dilanjutkan dengan acara biasa, tanpa
hadirnya tergugat.
(3) Putusan terhadap pokok perkara gugatan dapat
dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai
segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Dari adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 72
tersebut, dapat diketahui bahwa dalam Hukum Acara Tata
Usaha Negara juga dikenal adanya putusan verstek seperti
yang terdapat dalam hukum acara perdata atau hukum acara
pidana.140 Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan
di luar hadirnya atau tanpa hadirnya tergugat atau terdakwa.
Hanya saja agar Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek,
harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2
(kali) berturut-turut atau tidak menanggapi gugatan.
Ketidakhadiran tergugat atau kuasanya di persidangan
tersebut, tidak harus dimulai pada hari sidang pertama
seperti yang menjadi syarat ketidakhadiran penggugat
atau kuasanya jika gugatan akan dinyatakan gugur.141
Yang menjadi syarat adalah ketidakhadiran tergugat
atau kuasanya tersebut harus terjadi secara berturut-
turut atau dengan perkataan lain tidak boleh diselingi
dengan kehadiran tergugat atau kuasanya di antara ke-
dua ketidakhadiran tergugat atau kuasanya di persida-
ngan.

140
Ibid, hlm. 133.
141
Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986.

93
HukumAcara Tata Usaha Negara

Meskipun tergugat atau kuasanya hadir di persidangan


2 (dua) kali berturut-turut, tetapi kehadiran tergugat
atau kuasanya di persidangan tersebut dapat juga men-
jadi salah satu alasan bahwa sengketa Tata Usaha
Negara dilakukan pemeriksaan dengan acara biasa
tanpa kehadiran tergugat, jika tergugat atau kuasanya
tidak menanggapi gugatan.
Yang dimaksud dengan tidak menanggapi gugatan ada-
lah di samping berupa tidak memberikan jawaban ter-
hadap isi gugatan (Pasal 74 ayat (1), juga dapat berupa
tidak mengajukan duplik terhadap replik yang diajukan
penggugat atau kuasanya. Rasio dari pemeriksaan dilan-
jutkan dengan acara biasa tanpa kehadiran tergugat
atau kuasanya, meskipun sebelumnya tergugat atau
kuasanya hadir di persidangan 2 (dua) kali berturut-
turut adalah dengan tidak menanggapi gugatan tersebut,
berarti tergugat atau kuasanya mengakui dalil-dalil yang
telah diajukan penggugat, baik yang terdapat dalam su-
rat gugatan maupun dalam replik.142

F. PENCABUTAN DAN PERUBAHAN GUGATAN

Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatan-


nya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergu-
gat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan
penggugat, maka akan dikabulkan oleh hakim, apabila men-
dapat persetujuan tergugat (Pasal 76 UU No. 5 Tahun 1986).
Penggugat yang telah mencabut gugatannya dan/atau telah
mendapat persetujuan dari tergugat, maka penggugat tidak
dapat mengajukan gugatan lagi, karena ia telah dianggap me-
lepaskan haknya.
Perubahan gugatan akan dapat memengaruhi kepen-
tingan kedua belah pihak. Oleh karenanya, hakim harus
mempertimbangkan secara saksama atas perubahan gugatan
tersebut. Pada dasarnya baik hukum acara Peradilan Tata
Usaha Negara maupun Hukum Acara Perdata dalam batas-

142
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 134.
HukumAcara Tata Usaha Negara

batas tertentu diperbolehkan melakukan perubahan terha-


dap gugatan.
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, penggugat
dapat mengadakan perubahan gugatan sebatas perubahan
atau alasan yang mendasari gugatannya dan hanya sampai
replik. Sedangkan tergugat dapat mengubah alasan yang
mendasari jawabannya dan hanya sampai dengan duplik
(Pasal 75 UU No. 5 Tahun 1986).
Dalam Hukum Acara Perdata berdasarkan Pasal 127
Rv, perubahan dilakukan sepanjang tidak mengubah atau
menambah ”onderwerp van den eis” (petitum, pokok tuntu-
tan). Dalam praktiknya, meliputi juga dasar daripada tuntu-
tan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tun-
tutan. Jadi yang tidak boleh diubah termasuk menambah
dasar tuntutan.143

G. PIHAK KETIGA DALAM SENGKETA TATA USAHA


NEGARA

Di dalam proses penyelesaian sengketa yang sedang


berlangsung, disamping penggugat dan tergugat, kadang di-
perlukan pihak ketiga yang dianggap mempunyai kepenti-
ngan juga terhadap persoalan yang disengketakan. Keikut-
sertaan pihak ketiga dalam persoalan sengketa Tata Usaha
Negara biasanya disebut intervensi, hal ini diatur dalam Pasal
83 UU No. 5 Tahun 1986 yang menentukan:
(1) selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang
yang berkepentingan dalam sengketa dengan pi-
hak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan,
baik atas pemeriksaan sendiri dengan mengaju-
kan permohonan maupun atas prakarsa Hakim
dapat masuk dalam sengketa Tata usaha Negara
dan bertindak sebagai:

143
Soedikno Mertokoesoemo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
Kedua, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty: Yogyakarta, 1985, hlm. 23, dalam
Zairin Harahap, Ibid, hlm. 40.

95
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. pihak yang membela haknya; atau


b. perserta yang bergabung dengan salah pihak
yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan
dengan putusan yang dicantumkan dalam berita
acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan penga-
dilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-
sama dengan permohonan banding terhadap pu-
tusan akhir dalam pokok sengketa.
Yang dimaksud dengan ”kepentingan” dalam Pasal 83
ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 adalah sama dengan apa yang
dimaksud dengan ”kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004.144
Dari ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986 tersebut, dapat diketahui bahwa keikutsertaan pihak
ketiga dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara,
hanya dapat dilakukan ”selama pemeriksaan berlangsung”.
Menurut Indroharto, yang dimaksud dengan ”selama
pemeriksaan berlangsung” adalah ”selama pemeriksaan per-
sidangan berlangsung”, sebab menurut beliau sulit kalau pi-
hak ketiga yang berkepentingan itu dibolehkan melakukan
intervensi pada saat pemeriksaaan sidang sudah mulai atau
sudah pada acara pembuktian dilakukan, mengingat jika
sampai ada pihak baru yang menjadi pihak dalam sengketa
Tata Usaha Negara, tentunya harus dilakukan pemeriksaan
persiapan lagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1986 padahal pemeriksaan persiapan
dalam sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan
tergugat asal semula sudah selesai dilaksanakan.145
Apabila masuknya pihak ketiga dalam rangka mem-
bela kepentingan penggugat, dan ingin bertindak selaku

144
R. Wiyono, Op.Cit. hlm. 76
145
Ibid, hlm. 78
HukumAcara Tata Usaha Negara

penggugat mandiri, maka menurut Wicipto Setiadi146, bahwa


pihak ketiga tersebut tetap terikat pada tenggang waktu
mengajukan gugatan sebagaimana yang disebut dalam Pasal
5 UU No. 5 Tahun 1986. Upaya hukum yang masih terbuka
yang dapat ditempuh oleh pihak ketiga tersebut untuk
membela kepentingannya adalah bertindak sebagai pihak
yang menggabungkan diri kepada salah satu pihak yang ber-
sengketa, maka pihak ketiga tersebut tidak terikat kepada
tenggang waktu. Begitu ia mengetahui ada sengketa tersebut,
dan merasa kepentingannya tersangkut, maka ia langsung
mengajukan kepada hakim.
Meskipun pangkal sengketa atau objek sengketa Tata
Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, namun
masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut, tidaklah
terikat kepada kedudukan para pihak, di mana pihak ter-
gugat harus selalu berstatus sebagai Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, sedangkan pihak tergugat selalu berstatus se-
bagai individu atau badan hukum perdata. Dalam prakti-
knya, individu atau badan hukum perdata dapat ditetapkan
oleh majelis hakim yang memeriksa perkara a quo sebagai
tergugat intervensi, karena Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat oleh penggugat sangat terkait dengan kepenti-
ngan atau haknya.147
Lintong O. Siahaan148 menyatakan bahwa pihak-pihak
yang berperkara itu tetap dua pihak, yaitu pihak penggugat
melawan pihak tergugat. Adapun mengenai permohonan
intervensi, sangat tergantung pada kepentingan mana yang
akan dibela (dipertahankan) oleh pemohon. Kalau kebetulan
pemohon, sama-sama menghendaki agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat (objek sengketa) ingin dibatal-
kan, maka ia akan ditempatkan di bagian (pihak) penggugat,

146
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 1994, sebagaimana dikutip
dalam Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 40.
147
Ibid
148
Lintong O. Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah
Amandemen 2004, Prenadamedia Grup: Jakarta, 2015, sebagaimana dikutip
dalam Ali Abdullah Op.Cit., hlm. 118.

97
HukumAcara Tata Usaha Negara

dengan sebutan ”Penggugat II Intervensi”. Atau, kalau seba-


liknya, pemohon ingin mempertahankan Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat (objek sengketa) agar tidak di-
batalkan, maka dia berada di bagian (pihak) tergugat, dengan
sebutan ”Tergugat II Intervensi”.
Pasal 83 dan penjelasannya tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan ”dalam perkara yang sedang berjalan” apa-
kah berjalannya perkara sampai diperiksa di tingkat Mahka-
mah Agung, pihak ketiga dapat sewaktu-waktu masuk
sebagai pihak intervenient. Ternyata Juklak Mahkamah
Agung memberikan petunjuk bahwa pihak ketiga bisa saja
masuk sebagai pihak intervensi dibatasi hanya sampai pada
acara duplik. Hal ini sesuai dengan Juklak Mahkamah Agung
No. 052/TD.TUN/III/1993 Romawi IV huruf c, tanggal 24
Maret 1992 menegaskan bahwa pihak ketiga bisa masuk
dalam suatu perkara sesuai dengan Pasal 83 UU No. 5 Tahun
1986 dengan ketentuan/pembatasan di mana pemeriksaan
sampai pada acara duplik tanpa dilakukan acara pemerik-
saan persiapan lagi.
Selanjutnya, dalam pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan,
Buku II Edisi 2007149 Mahkamah Agung memberikan pe-
tunjuk sebagai berikut:
1. Intervensi adalah pihak ketiga, yaitu orang atau
badan hukum perdata yang mempunyai kepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
pengadilan yang masuk sebagai pihak, baik atas pra-
karsa sendiri dengan mengajukan permohonan mau-
pun atas prakarsa hakim.
2. Hakim wajib memanggil pihak ketiga tersebut, untuk
masuk sebagai pihak, meskipun ia tidak mengajukan
permohonan. Hal ini untuk melindungi kepentingan-
nya. Karena Pasal 118 yang mengatur mengenai per-
lawanan pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan

149
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Dalam Empat Lingkungan, Buku II, Edisi, 2007, hlm. 83.
HukumAcara Tata Usaha Negara

pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap dica-


but dari undang-undang PERATUN.
3. Intervensi dapat dilakukan sejak masuknya perkara
sampai dengan duplik.
4. Permohonan intervensi diajukan dalam bentuk
tertulis, tidak perlu membayar biaya perkara, nomor
perkaranya sama dengan gugatan ditambah kode
intervensi (INTV) pada akhir nomor perkaranya.
Contoh : 820/G/2007/PTUN.JKT/INTV.
5. Permohonan dapat dikabulkan atau ditolak oleh pe-
ngadilan dengan putusan sela. Terhadap putusan sela
tersebut pihak pemohon dapat mengajukan banding
bersama-sama dengan pokok perkara.
6. Dalam hal permohonan ditolak dan pemohon menga-
jukan banding sedangkan pengadilan tinggi berpen-
dapat intervensi dikabulkan, maka dapat ditempuh
dua cara:
a. Pengadilan tinggi mengeluarkan putusan sela
sebelum memutus pokok perkara yang amarnya
memerintahkan kepada pengadilan TUN yang
bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan
ulang. Setelah hasil pemeriksaan ulang diterima,
pengadilan tinggi mengeluarkan putusan akhir
mengenai pokok perkaranya.
b. Pengadilan tinggi melaksanakan pemerik-saan
sendiri dan mengeluarkan putusan akhir menge-
nai pokok perkara.
7. Pihak ketiga yang masuk untuk mempertahan-kan
kepentingannya sendiri disebut Penggugat Interven-
si. Pihak ketiga yang bergabung dengan tergugat
disebut Tergugat II Intervensi. Pihak ketiga yang
bergabung dengan penggugat disebut Penggugat II
Intervensi.
8. Apabila pihak ketiga yang masuk lebih dari satu,
maka sebutan masing-masing yaitu:
a. Penggugat Intervensi 1, Penggugat Intervensi 2,
Penggugat Intervensi 3, dan seterusnya.
b. Tergugat Intervensi 1, Tergugat Intervensi 2,
Tergugat Intervensi 3, dan seterusnya.

99
HukumAcara Tata Usaha Negara

c. Penggugat II Intervensi 1, Penggugat II Intervensi


2, Penggugat II Intervensi 3, dan seterusnya.
9. Sebelum permohonan intervensi dikabulkan atau
ditolak, hakim meminta tanggapan dari penggugat
dan tergugat.
10. Pemohon intervensi yang dikabulkan/ditolak di-
tuangkan dalam putusan sela dan dicantumkan da-
lam berita acara.
Kembali ke pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut di
atas, jelas bagi kita bahwa ikut sertanya pihak ketiga dalam
proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang se-
dang berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimung-
kinkan dalam bentuk:150
a. Tussenkomst
Dalam hal ini pihak ketiga dengan kemauan sendiri dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk ikut
serta dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara yang sedang berjalan, guna mempertahankan
atau membela hak dan kepentingannya sendiri, agar ia
jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan. Kalau
permohonan ini dikabulkan, pihak ketiga tersebut ber-
kedudukan sebagai penggugat intervensi, sebagai pihak
yang mandiri dalam proses pemeriksaan sengketa ter-
sebut dan disebut intervenient.
a. Voeging
Dalam hal ini ikut sertanya pihak ketiga dalam proses
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
berjalan, adalah atas permintaan salah satu pihak yang
bersengketa, yaitu penggugat atau tergugat. Permohonan
diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada penga-
dilan, agar pihak ketiga yang dimaksud dapat diikutserta-
kan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara yang sedang berjalan, untuk bergabung dengan
pihak pemohon guna memperkuat posisi hukum pihak
yang memohon.

150
Rozali Abdullah, Op.Cit., hlm. 67.
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Intervensi Khusus
Dalam hal ini masuknya pihak ketiga dalam proses
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
berjalan adalah atas prakarsa hakim yang memeriksa
sengketa tersebut. Di sini pihak ketiga ditarik ke dalam
proses pemeriksaan suatu sengketa Tata Usaha Negara
yang sedang berjalan, bergabung dengan tergugat seba-
gai tergugat II Intervensi. Sifat khusus dari intervensi ini
adalah karena ikut sertanya pihak ketiga dalam sengketa
yang sedang berjalan tersebut adalah atas perintah ha-
kim, guna mempermudah penyelesaian sengketa yang
bersangkutan.
Dalam lingkungan hukum perdata, Abdulkadir
Muhammad,151 membagi kegiatan intervensi ini ke dalam
tiga bentuk:
1. Menyertai Salah Satu Pihak
Yang dimaksud dengan menyertai salah satu pihak ada-
lah ikut sertanya pihak ketiga menjadi pihak dalam
perkara dengan jalan menggabungkan diri dengan salah
satu pihak untuk membela kepentingannya. Dengan ada-
nya perkara, kepentingan pihak ketiga tersebut secara
tidak langsung ikut disengketakan, sehingga akan me-
nimbulkan kerugian baginya.
2. Menengahi Melawan Pihak Kedua
Yang dimaksud dengan ”menengahi melawan pihak
kedua” adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam perkara
guna membela kepentingannya sendiri. Hal yang diseng-
ketakan itu bukanlah hak penggugat atau tergugat,
melainkan hak dari pihak ketiga. Itulah sebabnya dia ikut
dalam perkara dan melawan kedua belah pihak. Dalam
hal ini, terjadi gabungan dari beberapa perkara yang
bersifat prosesual, dalam mana pihak ketiga yang men-
campuri menuntut agar ditetapkan haknya dalam hu-
bungan dengan pihak-pihak yang bersengketa.

151
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 108, 110-111.

101
HukumAcara Tata Usaha Negara

3. Penanggungan
Cara ketiga ini tidak dapat digolongkan sebagai inter-
vensi tetapi bentuknya mirip seperti intervensi, yaitu
Penanggungan (vrijwaring). Dikatakan tidak termasuk
intervensi karena inisiatif ikut sertanya dalam perkara
yang diperiksa bukan datang dari pihak ketiga, melain-
kan justru dari salah satu pihak yang berperkara. Turut
serta pihak ketiga dalam perkara karena terpaksa atas
permintaan dari salah satu pihak, biasanya tergugat,
untuk ikut menanggung atau membebaskan tergugat dari
gugatan, yang menurut hukum penanggungan itu adalah
kewajiban pihak ketiga. Jadi, yang dimaksud dengan
penanggungan atau pembebasan (guarantee) adalah ikut
sertanya pihak ketiga dalam perkara karena diminta
sebagai penjamin/pembebas oleh salah satu pihak yang
berperkara.
Apabila tergugat digugat mengenai barang yang tidak
bebas, maka pihak ketiga sebagai pihak semula yang ber-
hubungan dengan tergugat harus memberikan penang-
gungan atau pembebasannya. Hal ini merupakan kewaji-
ban hukum yang harus dipenuhi oleh pihak ketiga terse-
but.

H. KUASA HUKUM

Di dalam persengketaan Tata Usaha Negara, pada


pihak dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau
beberapa orang kuasa hukum. Pemberian Kuasa hukum ini
dapat dilakukan dengan membuat surat kuasa khusus atau
dapat dilakukan secara lisan di persidangan. Untuk surat
kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi
persyaratan yang berlaku di negara yang bersangkutan dan
diketahui oleh perwakilan Republik Indonesia di negara ter-
sebut, serta kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah resmi (Pasal 57 UU No. 5 Tahun
1986).
Walaupun para pihak diwakili oleh kuasanya masing-
masing, apabila dipandang perlu, hakim berwenang meme-
HukumAcara Tata Usaha Negara

rintahkan kedua belah pihak yang bersangkutan datang


menghadap.
Menurut Pasal 84 UU No. 5 Tahun 1986, apabila
dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang
melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat me-
ngajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tin-
dakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan.
Apabila sangkalan itu dikabulkan, maka hakim wajib mene-
tapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara
sidang, bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selan-
jutnya dihapus dalam berita acara pemeriksaan. Putusan
tersebut dibacakan atau diberitahukan kepada para pihak
yang bersangkutan.

103
HukumAcara Tata Usaha Negara

PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

A. RAPAT PERMUSYAWARATAN

Rapat permusyawaratan yang disebut juga dismissed


process, atau tahap penjaringan, diatur dalam Pasal 62 UU
No. 5 Tahun 1986. SEMA No. 2 Tahun 1991 mengatur proses
dismissal itu sebagai berikut:
1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan
dismissal, apabila dipandang perlu, tenggang waktu yang
ditentukan menurut Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986,
adalah sejak tanggal diterimanya Keputusan Tata Usaha
Negara oleh penggugat, atau sejak diterimanya keputu-
san tersebut dengan ketentuan bahwa tenggang waktu
itu ditunda selama proses peradilan masih berjalan
sebagaimana menurut Pasal 62 Jo. 63 UU No. 5 Tahun
1986. Oleh sebab itu diminta ketua pengadilan tidak
terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali
mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
2. Pemeriksaan dismissal dilakukan oleh ketua dan ketua
dapat juga menunjuk seorang hakim sebagai reporter.
3. Penetapan dismissal ditandatangani oleh ketua dan pani-
tera kepala/wakil panitera. Pemeriksaan dismissal dila-
kukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan.
Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal,
HukumAcara Tata Usaha Negara

juga dilakukan dengan acara singkat (Pasal 62 ayat (4)


UU No. 5 Tahun 1986).
4. Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata tidak da-
pat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal
terhadap bagian petitum gugatan. Ketentuan tentang
perlawanan terhadap ketetapan dismissal juga berlaku
dalam hal ini.152
Setelah gugatan – beserta resume gugatan – diterima
oleh Ketua Pengadilan dari Panitera, maka oleh Ketua Penga-
dilan, surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permu-
syawaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1986 yang menentukan, bahwa dalam rapat
permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang menentu-
kan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan per-
timbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk da-
lam wewenang pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pa-
sal 56 tidak dapat dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia
telah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan
yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipe-
nuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah
lewat waktunya.
Penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf a UU No. 5 Tahun
1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan”pokok
gugatan” adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas
dasar fakta tersebut, penggugat mendalilkan adanya suatu
hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan
tuntutannya.153
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara me-
ngenai penetapan ini diucapkan dalam rapat permusyawara-

152
Lihat, Titik Triwulan, Op.Cit., hlm. 638.
153
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 148

105
HukumAcara Tata Usaha Negara

tan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil


kedua belah pihak untuk mendengarkannya. Pemanggilan
kedua belah pihak dilakukan dengan surat ter-catat oleh
panitera atas perintah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan. Terhadap penetapan Ketua Pengadilan
tersebut dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata
Usaha Ngara yang bersangkutan dalam tengggang waktu 14
(empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut
diajukan harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gu-
gatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU No. 5
Tahun 1986. Perlawanan diperiksa dan diputus oleh Penga-
dilan Tata Usaha Negara dengan acara cepat. Apabila perla-
wanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan melalui acara cepat,
maka penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang
diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan
gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, di-
putus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putu-
san pengadilan mengenai perlawanan tersebut tidak dapat
digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena
putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama
dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.154
Sebagai telah disinggung di atas, untuk mengambil
keputusan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau ti-
dak berdasar, maka terlebih dahulu dilakukan penelitian
administrasi (dismissal process) di kepaniteraan sebagai ban-
tuan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian
dilakukan melliputi segi administratif dan segi elementer.
Penelitian dari segi administratif meliputi identi-tas
para pihak, yakni baik penggugat maupun tergugat. Adapun
penelitian dari segi elementer meliputi sifat yang lebih men-
dalam, yaitu:155

154
Rozali Abdullah, Op.Cit., hlm. 57.
155
Titik Triwulan T., Op.Cit., hlm. 636
HukumAcara Tata Usaha Negara

1. Apakah objek gugatan berupa penetapan tertulis (Pasal 1


butir 3 UU No. 5 Tahun 1986) dan bukan termasuk Pasal
2 atau Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986.
2. Apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang diseng-
ketakan itu sudah dilampirkan (Pasal 56 ayat (3) UU No.
5 Tahun 1986).
3. Apakah dalam gugatan sudah jelas dinyatakan, kapan
tanggal Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketa-
kan diterima atau diumumkan atau diketahui oleh peng-
gugat (Pasal 55 UU No. 5 tahun 1986).
4. Apakah penggugat adalah orang atau Badan Hukum Per-
data yang berhak menggugat, yang kepentingannya diru-
gikan langsung atau tidak langsung.
5. Dalam hal penggugat diwakili oleh kuasa hukum, apakah
surat kuasa yang terlampir sudah memenuhi syarat.
6. Apakah uang panjar biaya perkara sudah dilunasi oleh
penggugat.
7. dan lain-lain
Hasil penelitian ini dituangkan di dalam suatu formu-
lir laporan singkat, sebagai informasi kepada Ketua Pengadi-
lan melalui panitera dan dilampirkan bersama-sama dengan
gugatan yang telah didaftarkan.

B. PEMERIKSAAN PERSIAPAN

Pemeriksaan persiapan ini diatur dalam Pasal 63 ayat


(1) UU No. 5 Tahun 1986. Sebelum pemeriksaan pokok
sengketa di muka umum dimulai, Majelis Hakim yang telah
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, wajib mengadakan peme-
riksaan pendahuluan untuk melengkapi gugatan yang kurang
jelas atau untuk mematangkan perkara.156
Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan oleh
Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan sesuai
dengan kebijaksaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis.157

156
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 155.
157
Lihat Butir III.1 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

107
HukumAcara Tata Usaha Negara

Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum pe-


meriksaan pokok sengketa dimuka umum dimulai, maka
pemeriksaan persiapan dapat dilakukan di ruang musyawa-
rah dalam sidang tertutup untuk umum, bahkan dapat di-
lakukan di dalam kamar kerja Hakim tanpa memakai toga.158
Penjelasan Pasal 63 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam pasal
ini adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa
Tata Usaha Negara.
Untuk lebih jelasnya, Pasal 63 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986 menyebutkan:
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai,
hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana di-
maksud dalam ayat (1) hakim:
a. wajib memberikan nasihat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi-
nya dengan data yang diperlukan dalam jang-
ka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada badan
atau pejabat TUN yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum me-
nyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan
dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum,
tetapi dapat dijadikan gugatan baru.
Karena tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a itu tidak bersifat memaksa, maka
hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja
menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima kalau

158
R. Wiyono, Loc.Cit.
HukumAcara Tata Usaha Negara

penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk memper-


baiki gugatannya.159
Mengingat ketentuan Pasal 63 tersebut di atas me-
nentukan batas waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memper-
baiki gugatan sesuai dengan nasihat yang diberikan hakim
dalam pemeriksaan persiapan, ternyata sampai dengan teng-
gang waktu yang ditentukan itu penggugat tidak dapat me-
menuhi, tidak secara langsung hakim menyatakan gugatan
tidak dapat diterima. Menurut penjelasan pasal di atas, ke-
pada penggugat harus diberi kesempatan minimal sekali lagi
dan setelah diberikan kesempatan sekali lagi ternyata
penggugat juga tidak memperbaiki gugatannya, barulah sah
kemudian apabila hakim mengeluarkan penetapannya me-
nyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Apabila
hakim tidak memberikan kesempatan sekali lagi bagi
penggugat untuk memperbaiki gugatannya, maka penetapan
hakim tersebut yang menyatakan gugatan penggugat tidak
dapat diterima menjadi tidak sah.160
Terhadap penetapan tersebut, tidak dapat di-
gunakan upaya hukum (banding atau kasasi), tetapi dapat
diajukan gugatan baru, sepanjang tenggang waktu yang ter-
sedia belum habis. Apabila tenggang waktu sudah habis,
maka tertutuplah sudah kesempatan bagi penggugat untuk
memperjuangkan hak-haknya.161
Lebih lanjut, tentang pemeriksaan persiapan ini,
dalam angka III SEMA Nomor 2 Tahun 1991, menyebutkan:
1. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk mematang-
kan perkara.
Segala sesuatu yang dilakukan dalam jalan pemeriksaan
persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan dan kebi-
jaksanaan ketua majelis.
Oleh karena itu, dalam pemeriksaan persiapan me-
manggil penggugat untuk menyempurnakan gugatannya
dari/atau tergugat untuk dimintai keterangan/penjela-

159
Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 137
160
Ibid
161
Ibid, hlm. 138

109
HukumAcara Tata Usaha Negara

san tentang keputusan penggugat, tidak selalu harus di-


dengar secara terpisah (Pasal 63 ayat 2 a dan b).
2. a. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musya-
warah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak
harus diruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan
di dalam kamar kerja hakim tanpa memakai toga.
b. pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh
hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis
sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
ketua majelis.
c. Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya
kepada badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang
bersangkutan dengan data-data yang diperlukan
untuk mematangkan perkara itu.
3. a. Dalam tahap pemeriksaan persiapan maupun selama
pemeriksaan di muka persidangan yang terbuka
untuk umum dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
b. Dalam melaksanakan pemeriksaan setempat tidak
perlu harus dilaksanakan oleh majelis lengkap, cukup
oleh seorang hakim anggota yang khusus ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan
tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
4. Majelis hakim yang menangani suatu perkara berwenang
sepenuhnya untuk memberikan putusannya terhadap
perkara tersebut, termasuk pemberian putusan menyata-
kan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) untuk seluruhnya atau sebagian
gugatan, meskipun perkara itu sudah lolos dari dismissal
proses.

C. PEMERIKSAAN PERMOHONAN PENANGGUHAN


PELAKSANAAN KTUN

Permohonan penangguhan pelaksanaan Keputusan


Tata Usaha Negara dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986
menyebutkan sebagai berikut:
HukumAcara Tata Usaha Negara

(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi di-


laksanakannya keputusan badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara serta tindakan atau pejabat
TUN yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu
ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada pu-
tusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan
dapat diputus terlebih dahulu dari pokok seng-
ketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2):
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat
keadaan yang sangat mendesak yang me-
ngakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepen-
tingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya keputusan
tersebut.
Dalam penjelasannya antara lain disebutkan bahwa
pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pe-
laksanaan Keputusan Tata Usaha negara tersebut hanya
apabila:
1. terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika
kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat
tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepen-
tingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Kepu-
tusan Tata Usaha Negara tersebut; atau
2. pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ada
sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam
rangka pembangunan.

111
HukumAcara Tata Usaha Negara

Permohonan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut


adalah bersumber dari ketentuan Pasal 67 tersebut di atas,
karena pasal tersebut memuat asas praduga rechtmatig ter-
hadap semua Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluar-
kan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, bahkan
gugatan terhadap rechtmatig tidaknya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara. Dengan demikian, apabila tidak diberikan
kesempatan kepada penggugat untuk mengajukan permoho-
nan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut, maka dikhawatirkan apabila ternyata pengadilan
memutuskan Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak sah,
maka sudah terlambat alias percuma, karena kerugian yang
diderita penggugat akibat telah dilaksanakannya Keputusan
Tata Usaha Negara tidak sebanding dengan kemenangan
yang diperolehnya.162
Dengan adanya kata ”dapat” dalam ayat (3) tersebut me-
nurut Indroharto163, maka dapat ditafsirkan bahwa permo-
honan penundaan pelaksanaan putusan itu dapat diajukan,
baik:
1. di dalam atau bersama-sama dengan gugatan; atau
2. selama perkara itu diperiksa dengan acara biasa mau-
pun acara cepat.
Selanjutnya, di dalam angka IV SEMA No. 2 Tahun
1992, menyebutkan:
1. Setiap tindakan prosesual persidangan dituangkan da-
lam bentuk ”penetapan”, kecuali putusan akhir yang
harus berkepala ”putusan”.
2. Penundaan yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (4) sub
a dan b dapat dikabulkan dalam tiga tahapan prosesual,
yaitu:
a. Selama permohonan penundaan tersebut masih di
tangan ketua, penetapan penundaan dilakukan oleh

162
Ibid, hlm. 140.
163
Indroharto, dalam Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 141
HukumAcara Tata Usaha Negara

ketua dan ditandatangani oleh ketua dan panitera/


wakil panitera.
b. setelah berkas perkara diserahkan kepada majelis,
maka majelis pun dapat mengeluarkan penetapan
penundaan tersebut baik selama proses berjalan,
setelah mendengar kedua belah pihak, maupun
pada putusan akhir, ditandatangani oleh ketua ma-
jelis dan panitera, kecuali pada putusan akhir harus
ditandatangani oleh majelis lengkap.
c. pencabutan penetapan penundaan dimaksud, dapat
dilakukan:
1) Selama perkara masih di tangan ketua, dilaku-
kan oleh ketua sendiri, kecuali putusan akhir
yang harus ditandatangani oleh ketua majelis
dan panitera pengganti.
2) Apabila perkara sudah di tangan majelis, pen-
cabutannya dapat dilakukan oleh majelis yang
bersangkutan.
d. baik pencabutan penundaan Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat maupun pencabutannya dila-
kukan dengan menuangkannya dalam bentuk pene-
tapan, kecuali yang dituangkan dalam putusan
akhir.
e. di dalam formulir penetapan pengabulan penun-
daan yang dilakukan oleh ketua tersebut ditambah-
kan anak kalimat ”kecuali ada penetapan lain di
kemudian hari”.
3. Cara penyampaian penetapan penundaan tesrebut,
mengingat sifatnya yang sangat mendesak itu dapat
dilakukan dengan cara pengiriman telegram/telex atau-
pun dengan kurir agar secepatnya sampai kepada yang
bersangkutan. Hal ini adalah pengecualian dari maksud
Pasal 116. Dalam hal pengiriman dengan telegram/
telex, cukup exract penetapannya saja yang kemudian
harus disusul dengan pengiriman penetapan selengkap-
nya via pos.
4. Apabila ada penetapan penundaan dimaksudkan yang
tidak dipatuhi oleh tergugat, maka ketentuan Pasal 116
ayat (4), (5), dan (6) dapat dijadikan pedoman dan

113
HukumAcara Tata Usaha Negara

dengan menyampaikan tembusannya kepada: Ketua MA,


Menteri Kehakiman, Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara.164

D. PERIKSAAN DI TINGKAT PERTAMA

Pemeriksaan ditingkat pertama pada umumnya


dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, terkecuali untuk
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, sengketa tersebut dapat diselesaikan ter-
lebih dahulu melalui upaya administratif, maka pemerik-
saan ditingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara. Pemeriksaan di tingkat pertama ini dapat dila-
kukan melalui 2, yaitu dengan:
a. Pemeriksaan dengan acara cepat
b. Pemeriksaan dengan acara biasa.

1. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat


Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal
98 dan Pasal 99 UU No. 5 Tahun 1986. Dalam Pasal 98 UU No.
5 Tahun 1986, menyebutkan:
(1) Apabila terdapat kepentingan yang cukup men-
desak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan
permohonannya, penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada pengadilan supaya pe-
meriksaan sengketa dipercepat.
(2) Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat
belas hari setelah diterimanya permohonan seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dika-
bulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud da-
lam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.

164
Ibid, hlm. 144.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepenti-


ngan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan ini
menyangkut Keputusan Tata Usaha negara yang berisikan
misalnya pembongkaran bangunan atau rumah yang masih
ditempati tergugat. Sebagai kriteria dapat dipergunakan
alasan-alasan pemohon, yang memang dapat diterima. Yang
dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga pe-
mutusannya. 165
Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa agar dapat
dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat, pengajuan guga-
tan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:166
1. Dalam surat gugatan harus sudah dimuat atau disebut-
kan alasan-alasan yang menjadi dasar dari penggugat
untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan seng-
keta Tata Usaha Negara dipercepat.
Dengan demikian alasan-alasan tersebut jangan sampai
tidak dimuat atau disebutkan dalam surat gugatan, te-
tapi misalnya oleh penggugat baru dikemukakan pada
waktu penggugat mengajukan replik, karena jika alasan-
alasan yang dimaksud tidak sampai dimuat atau dise-
butkan dalam surat gugatan, Ketua Pengadilan akan
sangat sulit untuk menentukan apakah memang benar
penggugat mempunyai kepentingan yang cukup mende-
sak, sehingga pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
perlu dipercepat dan karenanya perlu mempergunakan
Acara Pemeriksaan Cepat.
2. Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat
tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan
dari penggugat yang cukup mendesak bahwa pemerik-
saan terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut
memang perlu dipercepat.

165
Ibid, hlm. 145.
166
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 166-167.

115
HukumAcara Tata Usaha Negara

Selanjutnya dalam Pasal 99 UU No. 5 Tahun 1986


juga disebutkan sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan de-
ngan hakim tunggal;
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua penga-
dilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari,
tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian
bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentu-
kan tidak melebihi empat belas hari.
Dari ketentuan Pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun 1986
tersebut di atas, dapat diketahui bahwa yang dapat menga-
jukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat adalah
pihak penggugat dan permohonan itu harus diajukan
bersama-sama dalam surat gugatan.
Berdasarkan Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986, setiap
gugatan yang masuk terlebih dahulu dilakukan penelitian
administratif oleh staf kepaniteraan. Setelah itu barulah
surat gugatan penggugat diajukan dalam rapat permusyawa-
ratan ketua pengadilan. Permohonan pemeriksaan dengan
acara cepat harus diajukan bersama-sama dengan surat
gugatan.
Apabila ketua pengadilan dalam rapat permusya-
waratan berpendapat tidak terdapat alasan untuk menyata-
kan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar dan alasan
permohonan penggugat agar dilakukan pemeriksaan dengan
acara cepat dipandang cukup beralasan, maka ketua penga-
dilan akan mengeluarkan penetapan yang menentukan
bahwa untuk selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan
dengan acara cepat. Berdasarkan ketentuan Pasal 99 terse-
but di atas, pemeriksaan dengan acara cepat tanpa melalui
pemeriksaan persiapan. Sebaliknya, apabila tidak terdapat
HukumAcara Tata Usaha Negara

alasan yang dipandang cukup beralasan oleh hakim untuk


mengabulkan permohonan penggugat agar gugatan diperik-
sa dengan acara cepat, sedangkan terhadap penetapan itu
tidak tersedia upaya hukum, maka mau tidak mau penggugat
harus menerima bahwa gugatannya akan diperiksa dengan
cara biasa.167
Dengan dimuatnya pemeriksaan perkara dengan cara
cepat ini akan dapat membantu para pencari keadilan untuk
dapat mengetahui secepat mungkin tentang kepastian
hukum dari hak-hak yang diperjuangkannya. Pemeriksaan
perkara dengan acara biasa akan memakan waktu yang
berlarut-larut. Sementara kelemahannya adalah bagi pihak
ketiga yang berkepentingan. Penerapan pemeriksaan dengan
acara cepat dapat berakibat begitu dia mengetahui ada
kepentingannya yang tersangkut dan bermaksud untuk
masuk ke dalam perkara tersebut sudah terlambat. Sedang-
kan untuk mengajukan gugatan tersendiri tidak mungkin,
karena Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan
itu tidak ditujukan langsung terhadap dirinya.168

2. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

Dalam pemeriksaan dengan acara biasa, pengadilan


memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara de-
ngan suatu majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim dan
salah seorang diantaranya ditunjuk sebagai hakim ketua
sidang, yang bertugas memimpin sidang dan wajib menjaga
supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap
orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik.
Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan
dalam surat panggilan (Pasal 68 UU No. 5 Tahun 1986) dan
pada permulaan sidang, hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Tetapi apabila
majelis hakim memandang bahwa sengketa yang disidang-
kan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara,
maka sidang dapat dinyatakan tertutup untuk umum. Dalam
167
Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 147.
168
Ibid

117
HukumAcara Tata Usaha Negara

hal tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menya-


takan sidang tertutup untuk umum dan pada waktu pem-
bukaan sidang, hakim ketua sidang tidak menyatakan sidang
terbuka untuk umum, maka putusan yang diambil dalam per-
sidangan dapat dinyatakan batal demi hukum.169
Bila pada hari sidang pertama ternyata penggugat
atau kuasanya tidak hadir, maka dilakukanlah pemanggilan
kedua. Setelah pemanggilan kedua disampaikan secara patut,
ternyata penggugat atau kuasanya tetap tidak hadir tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, gugatan dinyata-
kan gugur dan penggugat harus membayar ongkos perkara.
Sesudah gugatan dinyatakan gugur penggugat berhak mema-
sukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar uang muka
biaya perkara (Pasal 71 UU No. 5 Tahun 1986).
Apabila tergugat atau kuasanya berturut-turut dua
kali sidang tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut
atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka hakim ketua sidang dengan
surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan
tergugat untuk hadir dan menanggapi gugatan. Setelah lewat
waktu 2 bulan sejak dikirimkannya penetapan tersebut, ter-
nyata tidak ada berita, baik dari tergugat maupun dari atasan
tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut
acara biasa tanpa hadirnya tergugat (in absentia). Dalam per-
sidangan tanpa hadirnya tergugat itu putusan terhadap po-
kok gugatan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan mengenai
segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas (Pasal 71 UU
No. 5 Tahun 1986).
Apabila dalam suatu sengketa terdapat beberapa
orang tergugat dan pada hari sidang pertama ternyata me-
reka atau kuasanya tidak hadir tanpa suatu alasan yang da-
pat dipertanggungjawabkan walaupun mereka telah dipang-
gil secara patut, sidang ditunda sampai hari yang ditentukan
oleh hakim ketua sidang. Penundaan hari sidang ini di-
beritahukan kepada pihak yang hadir dan untuk pihak tidak
hadir, hakim ketua sidang memerintahkan untuk dipanggil

169
Rozali Abdullah, Op.Cit. hlm. 60.
HukumAcara Tata Usaha Negara

sekali lagi secara patut. Kemudian pada hari sidang beri-


kutnya itu, seandainya mereka yang telah dipanggil secara
patut itu tetap tidak hadir tanpa sesuatu alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, sidang dapat dilanjutkan tanpa ha-
dirnya mereka (Pasal 73 UU No. 5 Tahun 1986).
Setelah sidang dibuka oleh hakim ketua sidang,
pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan gugatan
dan surat yang memuat jawabannya oleh hakim ketua
sidang. Seandainya belum ada surat jawaban dari tergugat,
maka pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawaban secara langsung. Selanjutnya ketua sidang memberi
kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan
seperlunya hal yang diajukan masing-masing (Pasal 74 UU
No. 5 Tahun 1986).
Dalam pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
perubahan gugatan dan jawaban gugatan masih dapat dila-
kukan sampai dengan replik dan duplik, asal saja disertai
dengan alasan yang cukup dan tidak merugikan pihak lawan.
Perubahan itu terutama mengenai alasan yang mendasari
gugatan dan jawaban tergugat. Dan mengenai perubahan ini
harus dipertimbangkan dengan saksama oleh majelis yang
memeriksa sengketa tersebut sebelum diizinkan (Pasal 75
UU No. 5 Tahun 1986).
Jawaban dalam pokok sengketa oleh tergugat bisa
bersifat pengakuan dan bisa bersifat penyangkalan. Jawaban
disampaikan dalam sidang yang ditentukan oleh majelis
hakim, apabila majelis hakim memandang perlu maka
tergugat diperintahkan untuk membacakan jawabannya itu
dan selanjutnya diserahkan kepada majelis hakim, penyera-
han jawaban kepada penggugat dengan perantaraan majelis
hakim.
Setelah tergugat menyampaikan tanggapan atas gu-
gatan yang diajukan oleh penggugat, acara selanjutnya hakim
ketua sidang mengundurkan hari sidang dengan membe-
rikan kesempatan kepada penggugat untuk menyampaikan
tanggapannya atas jawaban tergugat berupa replik. Dan,
untuk menanggapi replik penggugat itu, tergugat diberi
kesempatan yang sama oleh hakim ketua untuk menang-
gapinya yaitu berupa duplik.

119
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam pemeriksaan dapat diajukan eksepsi (tang-


kisan), yaitu mengenai (Pasal 77 UU No. 5 Tahun 1986):
(a) Kewenangan absolut pengadilan, dapat diajukan se-
tiap saat selama pemeriksaan. Mengenai eksepsi ke-
wenangan absolut ini apabila dipersidangan ternyata
tidak ada pihak-pihak yang mengajukannya dan ke-
betulan hakim mengetahui tentang hal itu, karena
jabatannya hakim berhak menyatakan bahwa penga-
dilan tidak berwenang memeriksa dan memutus seng-
keta yang bersangkutan. Kewenangan absolut yang
juga disebut atribusi kekuasaan, menyangkut masalah
pembagian kewenangan antara berbagai jenis peradi-
lan yang disebut di dalam UU No. 14 tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama,
dan peradilan Tata Usaha Negara.
(b) Kewenangan relatif, dapat diajukan sebelum disam-
paikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi
tersebut harus diputus sebelum pokok sengketanya
diputus. Kewenangan relatif ini yang disebut juga dis-
tribusi kekuasaan, menyangkut masalah pemba-gian
kekuasan antara badan-badan pengadilan dari tiap
jenis pengadilan, umpamanya antara Pengadilan Tata
Usaha Negara yang berbeda daerah hukumnya atau
antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dalam hal seng-
keta yang menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku harus diperiksa terlebih dahulu maupun
upaya administratif.
(c) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan me-
ngadili, hanya dapat diputus bersama-sama dengan
pokok sengketa. Eksepsi lain yang tidak termasuk ke-
wenangan mengadili, dapat juga berupa eksepsi
prosesual dan eksepsi materiil. Eksepsi prosesual
yang tidak merupakan eksepsi kewenangan mengadili,
antara lain mengenai eksepsi nebis in idem, bahwa
perkara yang sama telah pernah diputus dan putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
HukumAcara Tata Usaha Negara

atau sengketa yang bersangkutan sedang diperiksa


oleh pengadilan Tata Usaha Negara lain atau masih
dalam proses banding atau kasasi atau eksepsi yang
menyatakan salah satu pihak tidak mempunyai
kualifikasi untuk bertindak. Sedangkan eksepsi
materiil yaitu eksepsi yang didasarkan pada hukum
materiil, dapat berupa eksepsi delatoir dan eksepsi
premtoir. Yang dimaksud dengan eksepsi delatoir
adalah eksepsi mengenai tuntutan yang diajukan
dalam gugatan sebenarnya telah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Sedang-
kan eksepsi premtoir yaitu mengenai gugatan yang
diajukan setelah lampau waktu (daluarsa) sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menjaga objektivitas dalam persidangan dan
untuk memenuhi rasa keadilan dari masing-masing pihak
seorang hakim yang telah ditunjuk untuk memeriksa suatu
sengketa Tata Usaha Negara, wajib mengundurkan diri
apabila (Pasal 78 UU No. 5 Tahun 1986);
(a) terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
isteri meskipun telah bercerai, dengan salah
seorang hakim anggota atau panitera lainnya.
(b) terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
isteri meskipun sudah bercerai dengan tergugat,
penggugat atau penasihat hukum.
Kewajiban mengundurkan diri ini juga berlaku bagi
panitera. Hakim dan panitera yang bersangkutan harus di-
ganti dengan yang lain, yang tidak terikat dalam hubungan
sebagaimana disebut di atas. Kewajiban mengundurkan diri
ini juga berlaku dalam hal hakim atau panitera berkepen-
tingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.170
Apabila dalam hal ini terdapat keraguan atau per-
bedaan pendapat, maka pejabat pengadilan yang berwenang

170
Ibid, hlm. 65.

121
HukumAcara Tata Usaha Negara

menetapkannya. Yang dimaksud dengan pejabat pengadilan


yang berwenang dalam hal ini adalah pejabat yang menurut
hierarkisnya, berkedudukan lebih tinggi dari hakim yang
bersangkutan. Apabila sengketa itu diperiksa Hakim Penga-
dilan Tata Usaha Negara, maka pejabat yang berwenang
menetapkannya adalah ketua pengadilan dan apabila yang
bertindak memeriksa sengketa tersebut adalah ketua penga-
dilan Tata Usaha Negara sendiri, maka pejabat yang ber-
wenang menetapkannya adalah Ketua Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara di mana dalam daerah hukumnya terletak
pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.171
Kalau seandainya sampai terjadi hakim dan panitera
yang mempunyai hubungan sebagaimana dijelaskan di atas
tadi ternyata tidak mengundurkan diri atau tidak diganti
dengan yang lain dan sengketa yang diperiksa sudah sampai
diputus, maka putusan tersebut harus dibatalkan dan segera
diadakan pemeriksaan ulang dengan susunan majelis yang
lain (Pasal 79 UU No. 5 Tahun 1986).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya hakim dalam
persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara, harus aktif di
dalam menemukan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini
demi kelancaran pemeriksaan suatu sengketa, hakim ketua
sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada
para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan
alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa
(Pasal 80 UU No. 5 Tahun 1986). Apabila hakim ketua sidang
memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan dapat
memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang
oleh Pejabat Tata Usaha Negara atau pejabat lain yang me-
nyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan
tentang sesuatu yang berkaitan dengan sengketa. Selain itu
hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya surat
tersebut diperlihatkan kepada pengadilan dalam persida-
ngan yang akan ditentukan untuk itu. Apabila surat itu meru-
pakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh
si penyimpan, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli

171
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

selama surat yang asli belum diterima kembali dari penga-


dilan. Jika pemeriksaan tentang kebenaran suatu surat me-
nimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup
bahwa surat itu dipalsukan olehnya, hakim ketua sidang
dapat mengirimkan surat tersebut kepada penyidik yang
berwenang dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya mendapat
kekuatan hukum tetap.172
Selanjutnya setelah pemeriksaan selesai, antara lain
pemeriksaan saksi-saksi dan alat-alat bukti lainnya, kedua
belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan kesim-
pulannya masing-masing, maka hakim ketua sidang menya-
takan sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada
majelis hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup
untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna memutus
sengketa yang sedang diperiksanya (Pasal 97 UU No. 5 Tahun
1986).173
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Hukum
Acara Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya putusan
verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi ha-
rus diingat bahwa putusan verstek tidak memerlukan peme-
riksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya dilakukan
secara tuntas. Di samping itu, dengan adanya putusan
verstek dalam hukum acara perdata dimungkinkan adanya
verzet (perlawanan), sedangkan dalam Hukum Tata Usaha
Negara terhadap putusan ini tidak dimungkinkan adanya
verzet.174

E. HUKUM ACARA PERADILAN TUN TIDAK


MENGENAL REKONVENSI

Berbeda dengan Hukum Acara Perdata mengenal


adanya gugatan balik (rekonvensi), dalam beperkara di

172
Ibid, hlm. 65-66.
173
Ibid, hlm. 69
174
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 148.

123
HukumAcara Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak mengenal adanya guga-


tan rekonvensi. Oleh karena itu, seorang pejabat Tata Usaha
Negara yang merasa dirugikan baik moral maupun materil,
karena adanya gugatan dari masyarakat atau badan hukum
perdata tidak dapat menggunakan gugatan balik atau gugat
rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa Tata Usaha
Negara tersebut berkenaan dengan masalah sah atau tidak-
nya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluar-
kan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Adapun
mengenai kepentingan hak, termasuk hak menuntut ganti
rugi tidaklah termasuk wewenang pengadilan Tata Usaha
Negara untuk mengadilinya.175
Selanjutnya Prodjohamidjojo dalam W. Riawan
Tjandra menyatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara tidak mengenal adanya rekonvensi dengan ala-
san:
1. Negara memiliki exorbitante rechten (hak-hak istimewa)
sedangkan penggugat tidak.
2. Negara memiliki monopoli van het phijske geweld
(paksaan secara fisik) sedangkan penggugat tidak.
3. Perkara administrasi negara pada hakikatnya tidak me-
nunda kegiatan perlaksanaan administrasi negara yang
tindakannya dipersoalkan.
4. Tidak adanya sita jaminan dan pelaksanaan yang dapat
dijalankan terlebih dahulu, walaupun masih ada upaya
hukum lain.176
Di dalam hukum perdata, rekonvensi ini dalam
praktiknya sering kali tergugat membantah tuntutan penggu-
gat (eis in conventie), misalnya ketika penggugat menge-
mukakan kompensasi (schuldvergelijking).177

175
Rozali Abdullah, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, RajaGrafindo:
Jakarta, 1999, hlm. 31-32 dalam Ali Abdullah, hlm. 108.
176
W. Irawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata usaha Negara,
Universitas Adtma Jaya: Yogyakarta, dalam Ali Abdullah, Ibid.
177
Lihat Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pradnya
Paramita: Jakarta, Cetakan Ketiga belas, 1994.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Biasanya tuntutan Konvensi dan Rekonvensi disele-


saikan sama sekali dan diputus dalam satu putusan, akan
tetapi hakim dapat memisahkan tuntutan yang satu dari
tuntutan yang lain, jikalau perkara yang satu memang dapat
diselesaikan lebih dulu dari pada yang lain.178 Kedua perkara
yang dipisahkan itu, tetap dikuasai oleh hakim tersebut.

178
Ibid

125
HukumAcara Tata Usaha Negara

PEMBUKTIAN

Dengan selesainya acara jawab-menjawab antara


penggugat dan tergugat atau pihak lain yang ikut bergabung
(intervensi) terhadap kedua belah pihak yang bersengketa,
selanjutnya hakim ketua sidang mengundurkan sidang untuk
memberikan kesempatan kepada pihak penggugat mengaju-
kan bukti. Setelah penggugat selesai mengajukan bukti,
barulah kesempatan yang sama diberikan kepada tergugat.
Dalam hal ini, hakim harus memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada pihak penggugat dan tergugat untuk
menyampaikan bukti dan hakim tidak boleh berdiri diantara
salah satu pihak (asas audi et alteram parterm).
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasar-
kan kesamaan kedudukan para pihak. Asas kedudukan
prosesuil yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa
kemungkinan untuk menang para pihak harus sama. Oleh
karena itu, hakim harus membenani para pihak dengan
pembuktian secara seimbang atau patut.179 Demi kelancaran
pemeriksaan sengketa, hakim ketua sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang
bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang
dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa (Pasal 80 UU
No. 5 Tahun 1986).

179
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty:
Yogyakarta, 1985, hlm. 117, dalam Ali Abdullah, Op.Cit., hlm. 9.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Oleh karena dengan hakim aktif itu, maka hakim


termasuk juga berhak memberikan petunjuk kepada para
pihak mengenai bukti apa yang dapat digunakan oleh para
pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 5
Tahun 1986 yang memberikan kewenangan kepada hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
dan penilaian pembuktian serta untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim.
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam
Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala
sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa tergantung
pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak. Hakim
pengadilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:180
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang
harus dibuktikan oleh para pihak yang berperkara dan
hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim itu sendiri.
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan
dalam pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Tetapi adakalanya pembuktian hanya diperlukan
apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah
oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibukti-
kan.181
Sistem pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha
Negara berbeda dengan sistem pembuktian di pengadilan
umum yang menganut sistem pembuktian bebas, sedangkan
sistem pembuktian di pengadilan Tata Usaha Negara menga-
nut sistem pembuktian bebas terbatas, sistem pembuktian
terlihat dari pembatasan kewenangan hakim untuk menilai
sahnya pembuktian yang paling sedikit minimal dua alat
bukti ditambah dengan keyakinan hakim.182

180
Ibid, hlm. 122.
181
Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan
Perkara-perkara Perdata, Bina Aksara: Jakarta, Cetakan Kedua, 1987.
182
Ali Abdullah, Op.Cit, hlm. 122

127
HukumAcara Tata Usaha Negara

Banyak teori pembuktian yang dikenal untuk mem-


buktikan suatu fakta yang menjadi dasar pertimbangan
dalam menjatuhkan putusan. Yang dimaksud dengan hukum
pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara
untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.183 Fakta
tersebut dapat terdiri dari fakta berikut:
a. Fakta hukum, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-
keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung
dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.184
b. Fakta biasa, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-
keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum
tertentu.185
Pasal 100 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 menentukan
bahwa kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu
dibuktikan. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa fakta
yang telah diketahui oleh umum, jika dijadikan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya yang
tidak perlu dibuktikan186, yaitu:
a. hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi;
b. fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan;
dan
c. eksistensi hukum.

A. PRINSIP PEMBUKTIAN

Sistem pembuktian yang dianut oleh Pengadilan Tata


Usaha Negara adalah sistem vrij bewijsleer, yakni suau ajaran
pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran

183
R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 171
184
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, Cetakan ke-IV, 1993,
hl. 185, dalam R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 171.
185
Ibid
186
Ibid, hlm. 172.
HukumAcara Tata Usaha Negara

materiil.187 Dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 dapat


disimpulkan bahwa Hukum Acara Tata Usaha Negara
Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas.
Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan
secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga
dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian,
yakni paling sedikit dua alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim. Adapun pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di-
lakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.188
Hakim yang mempunyai kekebasan atau dapat
menentukan sendiri apa yang harus dibebani pembuktian,
menurut Suparto Wijoyo,189 hakim dapat menerapkan beban
pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang
sesuai dengan kearifan hakim, misalnya dapat dilihat dalam
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Tanggal 10
Pebruari 1992 Nomor 097/G/1991/Tk/PTUN.J yang dalam
pertimbangannya menyebutkan bahwa Majelis Hakim me-
nentukan kepada penggugat harus dibebankan pembuktian
tentang dalil-dalil yang dibantah oleh tergugat dan sebalik-
nya kepada tergugat harus dibebankan pembuktian bahwa
Surat Perintah Pengosongan a quo adalah sah dan berda-
sarkan undang-undang.
Hakim dapat saja mengenyampingkan fakta dan hal
yang diajukan oleh penggugat dan tergugat, demikian pula
hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan
hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila
fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk
dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuh-
kan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadi-
lan belum cukup pasti keaadannya.190

187
TItik Triwulan, Op.Cit., hlm. 604.
188
Ibid
189
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan
Administrasi, Penerbit Airlangga University Press, Cetakan Ke-1, 1997,
hlm. 65, 119, sebagaimana dikutip dalam R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 176.
190
Ibid, hlm. 173.

129
HukumAcara Tata Usaha Negara

Mengenai ketentuan tentang beban pembuktian


sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 107 adalah
bahwa Hakim Peradian Tata Usaha Negara dapat menentu-
kan hal apa atau fakta apa saja yang harus dibuktikan oleh
hakim sendiri.191 Artinya Hakim dapat meletakkan beban
pembuktian pada diri Hakim sendiri terhadap suatu fakta
yang ditemukan selama pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sebenarnya masing-masing alat bukti sebagaimana
ditentukan dalam pasal 100 ayat (1) UU NO. 5 Tahun 1986
mempunyai derajat bobot yang sama,192 artinya tidak ada
tingkat-tingkat mengenai kekuatan pembuktian dari masing-
masing alat bukti tersebut atau dengan perkataan lain tidak
ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat
bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 107 UU No. 5
Tahun 1986 disebutkan bahwa Hakim dapat menentukan
sendiri alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergu-
nakan dalam pembuktian.
Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah
dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa
Tata Usaha Negara, Hakim mempunyai wewenang untuk me-
milih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti sebagai-
mana ditentukan dalam pasal 100 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986 dan memberikan penilaian tentang kekuatan pem-
buktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam
pembuktian. Hanya saja untuk memberikan penilaian ter-
hadap hasil pembuktian tersebut, Hakim harus memperha-
tikan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 107
UU No. 5 Tahun 1986 yaitu ”untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim”.

191
Indroharto, dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 174
192
Ibid. hlm. 177.
HukumAcara Tata Usaha Negara

B. ALAT BUKTI

Seperti yang telah dikemukakan di atas, ketentuan


mengenai pembuktian dalam Hukum Acara Tata Usaha Nega-
ra, diatur dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986, dan di
dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 menentukan alat-alat
bukti yang dapat diajukan dalam Hukum Acara Tata Usaha
Negara, sebagai beri-kut:
a. surat atau tulisan
b. keterangan ahli
c. keterangan saksi
d. pengakuan para pihak
e. pengetahuan hakim.
Dimana, dalam hal yang sudah diketahui umum, tidak perlu
dibuktikan lagi di muka persidangan.
Dengan adanya ketentuan dari Pasal 100 UU No. 5
Tahun 1986, maka dapat diketahui bahwa alat bukti yang
dapat dipergunakan dalam memerika dan memutus sengke-
ta Tata Usaha Negara sifatnya adalah terbatas, karena sudah
ditentukan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1986, menge-
nai alat bukti apa saja yang dapat dipergunakan.
Untuk menentukan tentang sah atau tidak sahnya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tolok ukurnya adalah
bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang-unda-
ngan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.193

ad.a. Surat atau Tulisan

Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun


2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan arti apa
yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau tuli-
san.

193
Ibid. hlm. 179

131
HukumAcara Tata Usaha Negara

Menurut Sudikno Mertokusumo194, yang dimaksud


dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang me-
muat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencu-
rahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran se-
seorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Oleh karena
itu surat atau tulisan menjadi sangat penting dalam pemerik-
saan sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 101 UU No. 5 Tahun
1986).
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis, yaitu:195
(1) Akta Otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihada-
pan pejabat umum, yang menurut peraturan per-
undang-undangan berwenang membuat surat itu, de-
ngan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti
tentang atau peristiwa hukum yang tercantum di da-
lamnya. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sem-
purna, dimana hakim harus mempercayai apa yang
tercantum dalam akta tersebut, sepanjang tidak ada
bukti lain yang menyatakan ketidakbenarannya. Akta
Otentik mempunyai tiga macam pembuktian:
(a) Kekuatan pembuktian formal.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka
sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tersebut;
(b) Kekuatan pembuktian formil.
Kekuatan bukti formil berkenaan dengan soal
kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta
otentik. Artinya, pejabat dan pihak-pihak yang
berkepentingan menerangkan dan melakukan
seperti disebutkan dalam akta otentik dan benar-
benar demikian adanya. Jadi, formalitas yang
ditentukan undang-undang benar-benar sudah
dipenuhi. Kebenaran itu diakui oleh setiap orang.
Namun, suatu ketika mungkin juga ada pihak

194
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit
Liberty: Yogyakarta, Edisi Ketiga, Cetakan-I, 1988, hlm. 116 sebagaimana
dikutip dalam R. Wiyono, Ibid, hlm. 179.
195
Rozali Abdullah, Op.Cit., hlm. 84.
HukumAcara Tata Usaha Negara

yang meragukan kebenarannya bila akta otentik


itu dijadikan alat bukti dalam perkara. Misalnya,
dalam akta otentik dikatakan bahwa penyerahan
barang dilakukan di rumah dalam keadaan baik.
Padahal sebenarnya bukan diserahkan di rumah
melainkan di suatu tempat lain dan dalam ke-
adaan baik, ketika di bawa ke rumah terjadi keru-
sakan. Dalam akta otentik pejabat menerangkan
bahwa barang diserahkan di rumah dalam ke-
adaan baik, keterangan mana hanya sebagai for-
malitas belaka. Keadaan yang demikian perlu
dipertimbangkan majelis hakim, apakah akta
otentik dapat dijadikan bukti atau tidak.196
(c) Kekuatan mengikat.
Membuktikan bahwa antara para pihak dan pi-
hak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam
akta yang bersangkutan telah menghadap kepada
pejabat umum dan menerangkan apa yang tertu-
lis di dalam akta tersebut. Karena menyangkut pi-
hak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik
mempunyai kekuatan mengikat.
(2) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercan-
tum di dalamnya. Kekuatan pembuktian dari akta di
bawah tangan hampir sama dengan akta otentik, asal
saja isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya
diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Hanya saja
akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian ke luar sebagaimana halnya akta otentik.
(3) Surat-surat lain yang bukan akta adalah alat bukti
bebas dimana hakim tidak diharuskan menerima dan
mempercayainya.

196
Adbdulkadir Muhmmad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti: Bandung, Cetakan Ke VII, hlm. 121.

133
HukumAcara Tata Usaha Negara

Mengenai akta di bawah tangan, Elise T. Sulistini197


memberikan pendapat suatu surat/akta yang dibuat serta
ditandatangani oleh seseorang atau beberapa orang dengan
maksud untuk dijadikan alat bukti dari suatu tindakan
hukum yang dituliskan di dalam surat/akta tersebut merupa-
kan akta di bawah tangan.
Membandingkan akta di bawah tangan dan akta
otentik, mempunyai perbedaan, yakni:
a.akta di bawah tangan tidak dapat dibuat dihada-
pan pejabat umum (atau notaris) tetap dibuat ser-
ta ditandatangani oleh orang-orang yang ber-
kepentingan yang membuatnya.
b. akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pem-
buktian yang sempurna seperti akta otentik apabi-
la diakui oleh orang yang bersangkutan (akta
otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak
yang bersangkutan).
c. kekuatan pembuktian sempurna berarti isi akta
itu dalam pengadilan dianggap benar, sampai ada
bukti perlawanan yang melumpuhkan akta itu.
d. akta otentik, orang yang menandatangani serta
tanggal pembuatannya telah cukup terbukti se-
dangkan pada akta di bawah tangan, tanda tangan,
tanggal dan isinya dapat dimungkiri oleh pihak-
pihak yang berkepentingan.
e. kemungkinan hilangnya akta di bawah tangan
lebih besar daripada akta otentik, sebab akta
otentik, aslinya disimpan oleh notaris yang mem-
buatnya (dijilid menjadi satu buku).
Apabila tanda tangan yang ada di atas akta di bawah
tangan dimungkiri oleh orang yang namanya tertera di dalam
akta itu, maka kebenaran dari pada tangan tangan itu patut
diselidiki atas perintah hakim yang menyidangkan perkara
dimana diajukannya akta di bawah tangan tersebut.

197
Elise T. Sulistini, Op.Cit., hlm. 61.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Selanjutnya, menurut Indroharto,198 termasuk dalam


pengertian surat atau tulisan adalah hasil dari pemeriksaan
persiapan guna mematangkan perkara yang bersangkutan
dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan nanti.
Bilamana salah satu pihak yang bersengketa mem-
bantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak
lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam
pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis
tersebut ada pada badan atau pejabat Tata Usaha Negara,
maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat Tata
Usaha Negara tersebut untuk segera menyediakan alat bukti
tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat atau
tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-
sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai
pembuktian tersebut.199
Para prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti
surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, fotocopi, dan
salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercayai
apabila tindasan, fotokopi, dan salinan itu sesuai dengan asli-
nya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepa-
da para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan
perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak
membantahnya maka tindasan, fotokopi, dan salinan akta
tersebut mempunyai kekuatan pembukitian seperti asli.200

ad.b. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 102 UU No. 5 Tahun 1986, yang


dimaksud dengan keterangan ahli adalah pendapat orang
yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang

198
Indroharto, dalam R. Wiyono, Op.Cit. hlm. 179
199
Yos Johan Utama, Kiat beperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Semarang Badan Penerbit UNDIP: Semarang, hlm. 48, dalam Titik Triwulan T.,
Op.Cit. hlm. 607.
200
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata,
(Bandung, 1992), hlm. 57, dalam Titik Triwulan T., Op.Cit., hlm. 607-608.

135
HukumAcara Tata Usaha Negara

hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan-


nya.
Keterangan ahli dengan keterangan saksi pada ha-
kikatnya adalah berbeda. Saksi memberikan jawaban atas
pertanyaan apa yang telah terjadi dan dialaminya sendiri,
sedangkan keterangan ahli memberikan jawaban atas per-
tanyaan bagaimana pendapatnya terhadap apa yang telah
terjadi.201
Kehadiran seorang saksi ahli di persidangan adalah
permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya hakim dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik de-
ngan surat maupun lisan yang dikuatkan dengan sumpah
atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan
pengalamannya (Pasal 103 UU No. 5 Tahun 1986).
Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyaki-
nan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu,
yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang
bersangkutan. Umpanya ahli di bidang perbankan, di bidang
konstruksi bangunan, ahli di bidang komputer, ahli balistik,
dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat
digolongkan sebagai keterangan ahli, 202 tetapi mereka tidak
dapat didengar sebagai saksi (Pasal 88 UU No. 5 Tahun 1986)
dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.203
Dalam lapangan hukum pidana, keterangan ahli
didefinsikan sebagai keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepen-
tingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP).204.

201
Rachmat Sumitro, dalam R. Wiyono, Ibid., hlm. 85-86.
202
Rozali Abdullah, Op.Cit. hlm. 86.
203
Titik Wulandari, Loc.Cit.
204
Baca Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara Pidana
(Penyelidikan dan Penyidikan), Bagian Pertama, Edisi Kedua, Sinar Grafika:
Jakarta, 2011., hlm. 88 dst..
HukumAcara Tata Usaha Negara

Kemudian, Abdulkadir Muhammad205, membedakan


ahli dengan saksi sebagai berikut:
1. Dapat tidaknya diganti
Seorang ahli dapat diganti dengan seorang ahli yang lain,
dalam keahlian yang sama karena seorang ahli mem-
berikan keterangan berdasarkan ilmu yang dimilikinya.
Sedangkan seorang saksi tidak dapat diganti karena
bukan menyangkut kecakapan khusus, melainkan
tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan
dialaminya sendiri.
2. Keterangan yang diperlukan
Seorang ahli dimintai keterangan tentang hal yang
diawasi/dilihatnya dalam persidangan saja, sedangkan
seorang saksi mengenai peristiwa yang terjadi sebelum
perkara disidangkan.
3. Alat yang digunakan
Seorang ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimilikiknya, sedangkan seorang saksi
berdasarkan pancainderanya, yaitu apa yang dilihat, di-
dengar, dan dirasa.
4. Tujuan prosesual
Seorang ahli dipanggil ke persidangan untuk memberi-
kan pertimbangan mengenai suatu peristiwa, sedangkan
seorang saksi dipanggil untuk memberikan bahan baku
guna menambah atau melengkapi bahan yang sudah ada.
Dari perbedaan di atas didapati gambaran perbedaan
saksi ahli dengan saksi fakta. Keduanya tidak dapat disama-
kan meski kedudukannya sama-sama saksi. Saksi ahli lebih
kepada ilmu pengetahuan yang dimikinya, sedangkan saksi
fakta kepada peristiwa/ fakta yang telah terjadi.

ad.c. Keterangan Saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di


muka persidangan, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,

205
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan ke-
VII, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000, hlm. 142.

137
HukumAcara Tata Usaha Negara

tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar


dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau
keadaan tersebut.206
Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk mem-
berikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi
tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi
yang dilarang atau tidak diperbolehkan didengar ketera-
ngannya sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 88
UU No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut:
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturu-
nan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua
dari salah satu pihak yang berseng-keta.
2. Isteri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan
meskipun sudah bercerai.
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.
4. Orang sakit ingatan.
Anak yang belum berusia tujuh belas tahun dianggap
belum dewasa, sehingga belum mampu bertanggung jawab
atau berbuat hukum, dikecualikan terhadap mereka yang
sudah menikah. Dengan demikian, orang yang belum berusia
tujuh belas tahun, tetapi sudah menikah, harus pula dikecua-
likan atas ketentuan di atas.
Adap beberapa orang yang meskipun berhak menjadi
saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi
(Pasal 89 UU No. 5 Tahun 1986), yaitu:
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan
perempuan salah satu pihak.
2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau ja-
batannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal itu.
Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di-
dengar dalam persidangan dengan dihadiri oleh para pihak
yang bersengketa. Saksi dapat didengar keterangannya tanpa
kehadiran pihak yang bersengketa, sepanjang para pihak

206
Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 1996, hlm. 169, sebagaimana dikutip dalam TItik Triwulan
T., Ibid, hlm. 608.
HukumAcara Tata Usaha Negara

yang bersengketa telah dipanggail secara patut. Dalam hal ini


saksi tidak dapat hadir, karena suatu halangan yang dapat
dibenarkan, maka hakim dibantu panitera datang ke tempat
kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan
mendengar saksi tersebut.207
Sumpah dan janji wajib diucapkan menurut agama
dan kepercayaannya. Saksi dipanggil ke persidangan seorang
demi seorang. Hakim terlebih dahulu menanyakan kepada
saksi dengan identitasnya dan apakah mempunyai hubungan
dengan tergugat atau penggugat, sehingga menjadi pengha-
lang baginya untuk menjadi saksi.
Apabila saksi tidak paham bahasa Indonesia, demi-
kian juga halnya penggugat, hakim ketua sidang dapat
mengangkat seorang penerjemah. Penerjemah ini harus me-
ngucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu menurut
agama dan kepercayaannya, sebelum menerjemahkan baha-
sa yang dipahami oleh saksi atau penggugat ke dalam bahasa
Indonesia atau sebaliknya dengan sebaik-baiknya. Orang
yang kebetulan menjadi saksi dalam suatu sengketa, tidak
boleh ditunjuk sebagai penerjemah dalam sengketa tersebut.
Demikian juga apabila saksi atau penggugat dalam
keadaan bisu atau tuli dan tidak dapat menulis, hakim ketua
sidang dapat pula mengangkat orang yang pandai bergaul
dengan mereka sebagai juru bahasa. Juru bahasa ini juga
harus mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepercayaannya sebelum melaksanakan tugasnya sebagai
juru bahasa.
Selanjutnya dalam Pasal 93 UU No. 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa pejabat yang dipanggil sebagai saksi
wajib datang sendiri di persidangan. Dalam penjelasan pasal
ini disebutkan bahwa biaya perjalanan pejabat yang dipang-
gil sebagai saksi di pengadilan tidak dibebankan sebagai
biaya perkara. Hal ini perlu ditegaskan mengingat saksi
pejabat yang dipanggil ini tidak sama dengan saksi biasa.
Kalau saksi biasa hadir di persidangan dengan biaya yang
dibebankan pada biaya perkara, terkecuali bila salah satu
pihak memerlukan lebih dari 5 orang saksi, maka biaya

207
Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 153.

139
HukumAcara Tata Usaha Negara

untuk kelebihan itu ditanggung sendiri oleh pihak yang


memerlukan, walaupun seandainya dimenangkan dalam
sengketa tersebut. Dalam hal ini kehadiran pejabat sebagai
saksi di persidangan adalah karena jabatannya, maka biaya
seyogianya ditanggung oleh instansi yang bersangkutan.208

ad.d. Pengakuan Para Pihak

Menurut Pasal 105 UU No. 5 Tahun 1986, pengakuan


para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan
alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan
yang diberikan di muka hakim memberikan suatu bukti yang
sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik
sendiri maupun dengan perantaraan seeorang yang khusus
dikuasakan untuk itu. Artinya ialah bahwa hakim harus
menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar
dan meluluskan (mengabulkan) sebagai tuntutan atau gu-
gatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut.209
Jadi suatu pengakuan baru bisa diterima sebagai
suatu bukti yang sempurna kalau diberikan di muka hakim
(persidangan). Pengakuan yang diberikan di luar sidang
tidak dapat diterima sebagai suatu bukti yang mengikat,
hanya sebagai bukti bebas, terserah kepada hakim untuk
menerima atau tidak menerimanya. Sebagai disebutkan Pasal
105 UU No. 5 Tahun 1986, pengakuan yang diberikan di
hadapan hakim (persidangan) tidak dapat ditarik kembali,
terkecuali kalau dapat dibuktikan adanya duatu kekhilafan.

ad.e. Pengetahuan Hakim

Tugas menemukan hukum yang tepat, yang


menguasai perkara antara kedua belah pihak, merupakan
tugas yang tidak mudah bagi hakim. Walaupun hakim diang-
gap mengetahui hukum, pada hakikatnya tidaklah dia me-
ngetahui semua hukum karena hukum terdiri dari peraturan
tertulis dan tidak tertulis. Namun karena hakim harus
208
Rozali Abdullah, Op.Cit. hlm. 90
209
R. Subekti, dalam Rozali Abdullah, Op.Cit, hlm. 90-91.
HukumAcara Tata Usaha Negara

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang


hidup dalam masyarakat, hakim boleh menyimpang dari
putusan terdahulu atau putusan hakim yang lebih tinggi bila
menurut keyakinannya, putusan-putusan itu sudah tidak
sesuai lagi dengan nilai-nilai hukum yang hidup dan ber-
kembang dalam masyarakat. Dengan demikian hakim terus-
menerus mengikuti pertumbuhan dan perkembangan hukum
dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan dan kema-
juan masyarakat itu sendiri.210
Selanjutnya, menurut Pasal 106 UU No. 5 Tahun 1986
yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang
olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Yang dimaksud dengan pengetahuan hakim ialah hal
yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perka-
ra dalam sidang.211 Dan menurut Indroharto212, pengetahuan
hakim adalah, hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh
hakim tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti
hasil pemeriksaan setempat.
Untuk memastikan terbuktinya suatu fakta kadang
kala hakim merasa perlu melakukan pemeriksaan setempat
(gerechttelijke plaatselijk onderzoek) guna dapat melakukan
penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperik-
sa. Umpamanya pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah
melanggar garis sepadan, yang dianggap telah membahaya-
kan tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau, dan
sebagainya.213 Dengan melakukan pemeriksaan setempat,
hakim juga dapat memperoleh kepastian tentang peristiwa
yang dikemukakan di persidangan. Hasil pemeriksaan di
tempat yang dituangkan dalam berita acara itu merupakan

210
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 147.
211
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan
Kesebelas, Penerbit Sumur: Bandung, 1982, hlm. 125, dalam Zairin Harahap,
Op.Cit, hlm. 156.
212
Zairin Harahap, Ibid, hlm. 157.
213
Ibid

141
HukumAcara Tata Usaha Negara

bahan resmi, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim


dalam menjatuhkan putusan yang tepat.214
Selanjutnya Indoharto215, menambahkan kelompok
pengetahuan hakim termasuk pula barang-barang dan
orang-orang yang ditunjukkan kepada hakim yang sedang
memeriksa perkara itu. Adakalanya hakim yang memeriksa
menganggap bahwa sesuatu barang atau orang yang ditun-
jukkan di muka pemeriksaan mempunyai nilai yang penting.
Mengingat pengetahuan hakim tersebut, Mahkamah
Agung dalam Keputusannya tertanggal 10 April 1957 Reg.
No. 213/Sip/1955, menyatakan:
”Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat (1)
bersambung dengan Pasal 164 Herzeine Indonesisch
Reglement (HIR) tidak ada keharusan mendengar
penerangan seorang ahli, namun penglihatan hakim
pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh
dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di
dalam usaha pembuktian”.216

C. BEBAN PEMBUKTIAN

Dalam Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan


bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim.
Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa
pasal ini mengatur ketentuan-ketentuan dalam rangka usaha
menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem
pembuktian dalam hukum Acara Perdata, maka dengan
memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemerik-
saan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh

214
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm. 143.
215
Ibid
216
Lihat Titik Triwulan T., Op.Cit. hlm. 611.
HukumAcara Tata Usaha Negara

para pihak. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dapat me-


nentukan sendiri:
1. apa yang dibuktikan.
2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang
harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dalam hal
apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk diperguna-
kan dalam pembuktian.
4. kekuatan pembuktian dari bukti yang diajukan.
Beban pembuktian di dalam ruang lingkup Hukum
Perdata merupakan masalah yang tidak mudah karena tidak
ada satu pasalpun yang mengatur secara tegas tentang pem-
bagian beban pembuktian. Oleh karenanya, sering di dalam
praktik majelis hakim memerlukan ketelitian dan kebijak-
sanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu di beri
beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Pasal 163
HIR, 283 RBg mengatur beban pembuktian, tetapi tidak begi-
tu jelas sehingga sulit untuk diterapkan secara tegas apakah
beban pembuktian ada pada penggugat atau tergugat.217
Untuk menentukan beban pembuktiannya perlu
diteliti dan dirinci pasal 163 HIR, 283 RBg menurut bunyi
kalimatnya, sebagai berikut:
1. Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus mem-
buktikan haknya itu. Biasanya penggugat yang mengata-
kan mempunyai hak, maka penggugatlah yang harus
diberi beban pembuktian terlebih dahulu.
2. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk mene-
guhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa
tersebut. Apakah pihak yang menyebutkan peristiwa itu
penggugat, maka ia harus membuktikannya, beban
pembuktian itu ada pada penggugat. Tetapi apabila pi-
hak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka
tergugat harus membuktikannya, dan beban pembuk-
tian itu ada pada tergugat.
3. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk mem-
bantah hak orang lain harus membuktikan adanya

217
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 116

143
HukumAcara Tata Usaha Negara

peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan


peristiwa itu penggugat, maka beban pembuktian ada
pada penggugat, tetapi apabila pihak yang menyebutkan
peristiwa itu tergugat, maka pihak tergugatlah yang
harus membuktikan peristiwa tersebut.218
Di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
pada Pasal 107 UU No. 51 Tahun 2009, menyebutkan:
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim
harus bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hu-
kum hakim yang didasarkan pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 107 di atas, maka
hukum Acara Tata Usaha Negara menganut ajaran pembuk-
tian beban (vrije bewijsleer). Namun terdapat batas-batas
tertentu terhadap kebebasan dalam hukum acara Tata Usaha
Negara itu, ialah misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya
dua alat bukti untuk sahnya pembuktian serta penyebutan
alat-alat bukti secara limitatif.
Ketentuan Pasal 107 A UU No. 51 Tahun 2009,
apabila dikaitkan dengan sistematika UU No. 5 Tahun 1986,
maka masuk dalam Bab IV Bagian Ketiga tentang Pembuk-
tian. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 107 A UU No. 51 Tahun
2009 tersebut harus dimaknai dalam konteks pembuktian.
Dengan kata lain, penetapan dan putusan hakim haruslah
mengacu kepada alat-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak yang bersengketa. Hakim tidak boleh mengabaikan
alat-alat bukti yang diajukan oleh salah satu pihak atas nama
keadilan dan norma yang berlaku di masyarakat, padahal
alat-alat bukti yang diajukan itu sangat kuat. Jika demikian
halnya, maka hakim telah mengabaikan asas kepastian
hukum. Rumusan ”harus bersandar pada kaedah hukum dan
norma yang ada dan berlaku di masyarakat” akan lebih tepat

218
Ibid, hlm. 117.
HukumAcara Tata Usaha Negara

dikaitkan dengan kekuatan hukum dari alat-alat bukti yang


diajukan oleh para pihak. Hal itu, rasanya lebih sejalan
dengan substansi Pasal 107A UU No. 51 Tahun 2009.219

219
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 159-160.

145
HukumAcara Tata Usaha Negara

PUTUSAN PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA

Setelah melalui seluruh proses pemeriksaan sengketa


Tata Usaha Negara, hakim ketua sidang memberikan waktu
dan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
kesimpulannya masing-masing ke pengadilan Tata Usaha
Negara. Dalam praktiknya, biasanya hakim ketua memberi-
kan waktu untuk penyampaian kesimpulan 1 (satu) minggu
untuk masing-masing pihak. Sesudah itu hakim ketua sidang
menunda sidang untuk memberikan kesempatan kepada
majelis hakim untuk bermusyawarah dalam ruang tertutup
guna memberikan pertimbangan dalam putusannya kelak.
Dalam musyawarah yang dipimpin hakim ketua si-
dang, putusan merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali
setelah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
kesepatan secara bulat, putusan dapat diambil dengan suara
terbanyak. Apabila dalam musyawarah pertama tidak dapat
menghasilkan suatu putusan, maka musyawarah dapat di-
tunda untuk musyawarah berikutnya. Apabila dalam musya-
warah kedua juga tidak juga diperoleh putusan melalui suara
terbanyak, maka suara hakim ketua sidang yang akan me-
nentukan.220
Putusan harus diucapkan dalam sidang yang dinya-
takan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan diucap-

220
Lihat Pasal 97 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.
HukumAcara Tata Usaha Negara

kan, atas perintah hakim ketua sidang salinan putusan


disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak ter-
sebut. Bila putusan pengadilan tidak diucapkan dalam sidang
yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu
menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.221
Putusan juga dapat diambil pada hari itu juga (hari suara
ketua majelis yang memutuskan) dalam suatu sidang yang
terbuka untuk umum, atau keputusan dapat ditunda pada
hari lain, dan hal itu harus diberitahukan kepada kedua belah
pihak.222
Sama halnya dengan ketentuan yang termuat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada
pasal 195 KUHAP menyebutkan:
”Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk
umum”.
Oleh karena itu, dari ketentuan tersebut di atas, dapat dika-
takan bahwa putusan yang sah hanya diucapkan di muka
persidangan.

A. PENGERTIAN PUTUSAN

Banyak pengertian tentang putusan yang dikemuka-


kan para ahli, diantaranya Sudikno Mertokusumo223, yang
menyatakan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi we-
wenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak. Pada dasarnya bukan hanya
yang diucapkan yang disebut putusan, melainkan juga per-
nyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemu-
dian diucapkan oleh hakim di persidangan. Tetapi sebuah

221
Lihat Pasal 108 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
222
H. Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, Eresco: Bandung,
1990, hlm. 22.
223
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty:
Yogyakarta, 1998, hlm. 175.

147
HukumAcara Tata Usaha Negara

konsep putusan (tertulis) tadi mempunyai kekuatan sebagai


putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.
Meski demikian, putusan yang diucapkan dipersidangan
(uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis
(vonis).224
Demikian juga dengan M. Nur Rasaid225, menyatakan
putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan
pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau
dinanti-nantikan oleh para pihak-pihak yang berperkara
guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan
sebaik-baiknya, sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-
pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian
hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.
Sebenarnya, fakta atau peristiwa sebagai duduk
perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap
cukup hakim harus menentukan peraturan hukum yang da-
pat diterapkan. Menyangkut tentang peraturan hukum yang
dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh
hakim, pada dasarnya menunjukkan bahwa sebelum menja-
tuhkan suatu putusan hakim melakukan penelitian dalam
rangka menemukan hukum (judge made law/rechtvinding).
Dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal mung-
kin untuk dapat menjatuhkan putusan yang objektif, adil, dan
tidak dipengaruhi oleh unsur apa pun kecuali sikap objek-
tivitas dan rasa keadilan itu semata.
Dari beberapa pengertian tentang putusan hakim,
Zairin Harahap226, memberikan suatu pengertian yang lebih
mendekati, dengan menyebutkan bahwa putusan hakim ada-
lah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persi-
dangan untuk atau menyelesaikan suatu perkara atau

224
SEMA Mahkamah Agung Nomor 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan
Nomor I/1962 tanggal 7 Maret 1962.
225
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cetakan Ke-III, Sinar Grafika
Offset: Jakarta, 2003, hlm. 48.
226
Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 162.
HukumAcara Tata Usaha Negara

sengketa antara para pihak. Meski Soedikno Mertokusumo227


menambahkan bahwa bukan hanya yang diucapkan saja
yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan
oleh hakim di persidangan.

B. JENIS DAN ISI PUTUSAN

Pasal 97 UU No. 5 Tahun 1986, mengatur tentang Pu-


tusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah selesai,
kedua belah pihak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesim-
pulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa
sidang ditunda untuk memberikan kesempatan
kepada majelis hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan se-
gala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipim-
pin oleh hakim ketua majelis merupakan hasil
permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusaha-
kan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakatan bulat, putusan diambil dengan
suara terbanyak.
(4) Apabila musyarawah majelis sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan
putusan, permusyawaratan ditunda sampai mu-
syawarah majelis berikutnya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya
tidak dapat diambil suara terbanyak maka suara
terakhir hakim ketua majelis yang menentukan.

227
Ibid

149
HukumAcara Tata Usaha Negara

(6) Putusan pengadilan dapat dijatuhkan pada hari


itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum,
atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahu-
kan kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan pengadilan dapat berupa:
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putu-
san pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewaji-
ban-kewajiban yang harus dilakukan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang mengeluar-
kan KTUN.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
berupa:
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru; atau
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasar-
kan padal Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
disertai dengan pembebanan ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana di-
maksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian,
maka di samping kewajiban sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (9) dan ayat (10) dapat disertai
pemberian rehabilitasi.
Bila dalam suatu persidangan diperlukan suatu putu-
san sela, putusan tersebut hanya dicantumkan dalam berita
acara sidang dan tidak dibuat sebagai putusan tersendiri.
Putusan sela ini disebut juga putusan interlukotoir, yaitu
putusan yang diambil untuk mengatasi persoalan yang
timbul dalam persidangan, seperti adanya suatu eksepsi,
intervensi, dan lain-lain. Walaupun putusan sela tidak dibuat
HukumAcara Tata Usaha Negara

dalam putusan tersendiri, tetapi harus juga diucapkan dalam


persidangan.228
Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam pu-
tusan hakim, yaitu putusan terakhir (eindvonnis) yang meng-
akhiri perkara perdata yang diperiksa oleh hakim, dan
putusan sela (tussenvonnis) yang diadakan sebelum hakim
memutuskan perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau
mempermudah pelanjutan pemeriksaan perkara.229
Di dalam Pasal 97 ayat (7) yang menentukan jenis
putusan, maka dapat diketahui dapat berupa: gugatan dito-
lak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau guga-
tan gugur.230
1. Gugatan Ditolak
Apabila isi putusan pengadilan Tata Usaha Negara adalah
berupa penolakan terhadap gugatan penggugat berarti
memperkuat Keputusan Tata Usaha Negara yang dike-
luarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh
majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak
penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-
alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan Dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, yang adakalanya pengabulan
tersebut untuk seluruhnya atau menolak sebagian lain-
nya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan
pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan Keputu-
san Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pihak ter-
gugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-
apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah me-
rupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa be-
rangkat dari Pasal 3).

228
Rozali Abdullah, Op.Cit., hlm. 97-98.
229
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia,
Cetakan Kesebelas, Sumur: Bandung, 1982, hlm. 127, dalam Zairin Harahap,
Op.Cit. hlm. 166.
230
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 167-168.

151
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan


tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
tergugat, yang dapat berupa:
a. pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau
b. pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbit-
kan KTUN yang baru; dan
c. penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada
Pasal 3.
Kewajiban tersebut dapat disertai pembebanan ganti
rugi dan khusus bagi sengketa kepegawaian, kewajiban
tersebut dapat disertai pemberian rehabilitasi.231
3. Gugatan Tidak Diterima
Putusan pengadilan yang berisi tidak menerima gugatan
pihak penggugat, berarti gugatan itu tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut seba-
gaimana yang dimaksudkan dalam prosedur dismissal
dan/atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau
tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gu-
gatan tidak dapat diterima, karena alasan gugatan yang
diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persya-
ratan yang telah ditentukan.
4. Gugatan Gugur
Putusan pengadilan yang menyatakan gugatan gugur
dalam hal para pihak atau kuasanya tidak hadir dalam
persidangan yang telah ditentukan dan mereka telah di-
panggil secara patut atau perbaikan gugatan yang diaju-
kan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang
waktu yang ditentukan (kadaluarsa).

C. BENTUK PUTUSAN

Dalam ketentuan Pasal 109 UU No. 5 Tahun 1986, di-


sebutkan bentuk putusan sebagai berikut:
(1) Putusan pengadilan harus memuat:

231
Baca Pasal 97 UU No. 5 Tahun 1986
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. kepala putusan yang berbunyi : ”DEMI


KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat
kediaman, atau tempat kedudukan para
pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat
yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti
yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya
perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama hakim yang me-
mutuskan
(2) Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat me-
nyebabkan batalnya putusan pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah
putusan pengadilan diucapkan, putusan itu ha-
rus ditanda tangani oleh hakim yang memutus
dan panitera yang turut bersidang.
(4) Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal
pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua
sidang berhalangan menandatangani, maka pu-
tusan pengadilan ditandatangani oleh ketua
pengadilan dengan menyatakan berhalangan
hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua
sidang tersebut.
(5) Apabila hakim anggota majelis berhalangan
menandatangani, maka putusan pengadilan
ditandatangani oleh hakim ketua majelis de-
ngan menyatakan berhalangan hakim anggota
majelis tersebut.
Suatu putusan yang tidak memuat hal-hal tersebut di
atas dapat menyebabkan batalnya putusan tersebut.

153
HukumAcara Tata Usaha Negara

D. PELAKSANAAN PUTUSAN

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanya-


lah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU No. 5
Tahun 1986. Pelaksanaan putusan sering disebut dengan
eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),
artinya bahwa terhadap putusan tersebut tidak ada lagi
upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum, akan
tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh
dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan undang-
undang.232 Oleh karena suatu sengketa hukum pasti akan
berakhir (litis finiri oportet) dan tidak ada lagi upaya hukum
lagi yang dapat ditempuh, maka putusan pengadilan itu men-
jadi berkekuatan hukum tetap.233
Yang dimaksud dengan pengadilan disini dapat
dilihat pada kekentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyebutkan bahwa pengadilan adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara. Dengan demikian, yang dapat dieksekusi
hanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Penga-
dilan Tinggi Tata Usaha Negara yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, jika yaitu:
1. Penggugat dengan tergugat telah menyatakan menerima
terhadap putusan pengadilan, padahal penggugat dan
tergugat mempunyai hak untuk mengajukan permoho-
nan tingkat banding.
2. Sampai lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan,
penggugat dan tergugat tidak mengajukan permohonan
pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.234

232
Lihat Titik Triwulan, Op.Cit. hlm. 613.
233
Ali Abdullah, Op.Cit., hlm. 159.
234
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

Mengenai prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal


116 hingga 119 UU No. 5 Tahun 1986. Dengan lahirnya UU
No. 9 Tahun 2004 putusan peradilan Tata Usaha Negara
telah mempunyai kekuaran executable atau kekuatan
eksekutorial235. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa
dwangsom dan sanksi administrasi serta publikasi terhadap
badan atau pejabat Tata Usaha Negara (sebagai tergugat)
yang tidak mau melaksanakan putusan peradilan Tata Usaha
Negara.236
Kemudian Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menye-
butkan prosedur eksekusi, sebagai berikut:
a. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh ke-
kuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak de-
ngan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat
atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14
hari.
Penjelasannya menyebutkan: Meskipun putusan penga-
dilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para
pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putu-
san yang dibubuhi catatan panitera bahwa putusan
tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu empat belas hari dihitung sejak saat
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap).
b. Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud da-
lam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan yang diper-
sengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

235
Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial dari putusan hakim
adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan Hakim bahwa
putusan hakim tersebut dapat dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu
putusan hakim memperoleh kekuatan eksekutorial adalah dicantumkannya
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada pu-
tusan hakim tersebut. Lihat R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara”, Op.Cit., hlm. 201.
236
Titik Triwulan, Loc.Cit.

155
HukumAcara Tata Usaha Negara

c. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan ke-


wajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan
ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, peng-
gugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan penga-
dilan tersebut.
Penjelasannya menyebutkan: Tenggang waktu tiga bulan
tidak bersifat memaksa, Ketua Pengadilan Tinggi tentu
akan berlaku bijaksana sebelum menyurati atasan pe-
jabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengenai
apa yang dimaksud dalam ayat ini.
d. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksakakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa bayaran sejumlah uang paksa dan/
atau sanksi administratif.
e. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada
media cetak setempat oleh panitera sejak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Berhubung tergugat yang dihukum untuk melaksana-
kan kewajiban tersebut di atas adalah pejabat, maka keber-
hasilan dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut sangat bergantung kepada wibawa Penga-
dilan Tata Usaha Negara dan kesadaran hukum para pejabat
itu sendiri.237 Namun demikian, UU No. 5 Tahun 1986 telah
mengatur sebaik mungkin agar putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Apabila disimak dengan saksama ketentuan Pasal
116 UU No. 5 Tahun 1986 di atas, menurut Paulus Effendie

237
Rozali Abdullah, Op.Cit. hlm. 99.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Lotulung238 sesungguhnya ada dua jenis eksekkusi yang kita


kenal di Peradilan Tata Usaha Negara:
1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi
kewajiban yaitu kewajiban yang dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang ber-
sangkutan.
2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewa-
jiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf b dan c, yaitu:
Huruf b: Pencabutan KTUN (beschikiing) yang bersang-
kutan dan menerbitkan KTUN (beschikiing)
yang baru; atau
Huruf c: Penerbitan KTUN (beschikiing) dalam hal
gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Selanjutnya lotulung menjelaskan bahwa apabila ter-
dapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah
ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu empat bulan setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, ter-
gugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan
Tata Usaha Negara (beschikking) yang disengketakan itu ti-
dak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian,
tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya
lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagai-
nya. Sebab, Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) itu
dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara
eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis.239
Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis
kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3)
sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat pe-
rintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat
Tata Usaha Ngara yang bersangkutan untuk melaksanakan
eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak di-

238
Paulus Effendie Lotulung, Eksekusi Putusan PTUN dan
Problematikanya Dalam Praktik, dalam Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 175.
239
Ibid

157
HukumAcara Tata Usaha Negara

taati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada


instansi atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut menurut
jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke presiden
sebagai pemegang kekuasan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkan pejabat Tata Usaha Negara tersebut me-
laksanakan eksekusi putusan pengadilan itu. Cara eksekusi
seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.240
Lebih lanjut Lotulung menjelaskan bahwa pada
dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara mene-
kankan para rasa self respect dan kesadaran hukum dari
pejabat Tata Usaha Negara terhadap isi putusan hakim untuk
melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya
pemaksaan (dwang middelen) yang langsung dapat dirasakan
dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan.
Pelaksanaan putusan pengadilan di bidang kepega-
waian yang berkaitan dengan kewajiban tergugat untuk me-
lakukan rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau kom-
pensasi lain, apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat
dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh
berubahnya keadaan dalam Pasal 117 UU No. 5 Tahun 1986
disebutkan sebagai berikut:
(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila
tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan
sempurna melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di-
sebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi
setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan atau
memperolah kekuatan hukum tetap, ia wajb
memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1);
dan penggugat

240
Ibid, hlm. 176.
HukumAcara Tata Usaha Negara

(2) Dalam waktu tida puluh hari setelah menerima


pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) penggugat dapat mengajukan permoho-
nan kepada ketua pengadilan yang telah mengi-
rimkan putusan pengadilan yang telah mempero-
leh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat
dibebani kewajiban membayar sejumlah uang
atau kompensasi lain.
(3) Ketua pengadilan sesudah memenerima permo-
honan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
memerintahkan memanggil kedua belah pihak
untuk mengusahakan tercapainya persetujuan
tentang sejumlah uang atau kompensasi lain yang
harus dibebankan kepada tergugat.
(4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai
persetujuan tetapi tidak diperoleh kata sepakat
mengenai jumlah uang atau kompensasi lain
tersebut, ketua pengadilan dengan penetapan
yang disertai pertimbangan yang cukup menentu-
kan jumlah uang atau kompensasi lain yang di-
maksud.
(5) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh
penggugat maupun oleh tergugat kepada mahka-
mah agung untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan mahkamah agung sebagaimana di-
maksud dalam ayat (5) wajib ditaati kedua belah
pihak.
Dengan demikian, jelas bahwa pemberian kompen-
sasi berkaitan dengan sengketa kepegawaian. Kompensasi
diberikan sebagai konsekuensi badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan (tergugat) tidak dapat atau
tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Penga-
dilan Tata Usaha Negara. Kompensasi itu berbentuk sejum-
lah uang yang besarnya berdasarkan Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 adalah paling sedikit Rp.
250.000,00.- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling

159
HukumAcara Tata Usaha Negara

banyak Rp. 5.000.000,00.- (lima juta rupiah), Ganti rugi


dibebankan Badan-badan Tata Usaha Negara Pusat,
dibayarkan melalui pendapatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang
dibebankan kepada Badan-badan Tata Usaha Negara Daerah,
dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Tata cara pembayaran ganti rugi yang
dibayar melalui APBN lebih lanjut akan diatur oleh Menteri
Keuangan, sedangkan tata cara pembayaran ganti rugi yang
dibayar melalui APBD, lebih lanjut akan diatur oleh Menteri
dalam Negeri.241
Sedangkan Pasal 116 UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi
sebagai berikut:
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah mempe-
roleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah ketua penga-
dilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari.
(Penjelasannya menyebutkan bahwa meskipun
putusan pengadilan belum memperoleh kekuatan
hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat
memperoleh salinan putusan yang dibubuhi
catatan panitera bahwa putusan tersebut belum
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang
waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak saat
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap).
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan pe-
ngadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diki-
rimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajiban-
nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang

241
Rozali Abdullah, Op.Cit., hlm. 102-103.
HukumAcara Tata Usaha Negara

disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan


hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksana-
kan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewaji-
ban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadi-
lan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar
pengadilan memerintahkan tergugat melaksana-
kan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksaan berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif.
(Penjelasannya menyebutkan bahwa yang dimak-
sud dengan ”pejabat yang bersangkutan dikena-
kan uang paksa” dalam ketentuan ini adalah
pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang
yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya
dan dicantumkan dalam amar putusan pada saat
memutuskan mengabulkan gugatan penggugat).
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan penga-
dilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di-
umumkan pada media massa cetak setempat oleh
panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dari ketentuan Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004 di
atas, dapat diketahui bahwa perbedaan antara ketentuan
Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 dan ketentuan Pasal 116 UU
No. 9 Tahun 2004 ada pada ayat (4) dan ayat (5), sedangkan
ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3) antara ketentuan Pasal

161
HukumAcara Tata Usaha Negara

116 UU No. 5 Tahun 1986 sama sekali tidak ada peruba-


han.242
Sebagaimana telah dikemukakan pada saat membi-
carakan ketentuan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 dikenal
adanya istilah eksekusi otomatis sebagaimana yang terkan-
dung pada ketentuan Pasal 116 ayat (2) UU No. 5 Tahun
1986 dan eksekusi hierarkis sebagaimana yang terkandung
pada ketentuan Pasal 116 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
Maka, apabila diperhatikan ketentuan Pasal 116 UU No. 9
Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 116
ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 masih mengandung eksekusi
otomatis. Sedangkan ketentuan ayat (4)243 dan ayat (5) tidak
mengandung eksekusi hierarkis. Tetapi, pada ayat (4)244 me-
muat sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau melaksana-
kan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yang berupa ”uang paksa”, yakni: berupa pem-
bayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim yang
dicantumkan dalam amar putusan pada saat mengabulkan
gugatan penggugat.245
Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 5 yang me-
nyebutkan apabila tergugat tidak juga mau membayar se-
jumlah uang tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (4), maka akan diumumkan pada media cetak setempat
oleh panitera. Sanksi yang tercantum dalam ayat (5) ini juga
tidak sama dengan baiknya dengan sanksi yang tercantum
dalam ayat (4). Kelemahan utama yang muncul dalam pene-
rapan sanksi adalah bahwa tujuan utama dari penggugat
untuk menggugat dan menurut menjadi tetap saja tidak ter-
capai sebagaimana mestinya. Di samping itu, juga tidak jelas
apa tujuan dari pengumuman itu terutama dalam kaitannya
dengan pemenuhan kepentingan dari penggugat. Oleh kare-
na itu, perubahan terhadap ketentuan Pasal 116 tersebut
tidak dapat dikatakan telah menjadi lebih baik, tetapi tetap
242
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 181.
243
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
244
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
245
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 181
HukumAcara Tata Usaha Negara

saja belum memberikan perlindungan hukum yang semesti-


nya menjadi hak penggugat.246
Apabila dibandingkan antara Pasal 116 UU No. 9
Tahun 2004 dan Pasal 116 UU No 51 Tahun 2009, maka
segera tampak adalah adanya penambahan 2 (dua) pasal
ayat terakhir yang terdapat dalam Pasal 116 UU No. 51
Tahun 2009, yaitu ayat (6) dan ayat (7). Pasal 116 UU No. 9
Tahun 2004 hanya terdiri dari 5 (lima) ayat, sedangkan Pasal
116 UU No. 51 Tahun 2009 terdiri dari 7 (tujuh) ayat.
Namun, apabila dicermati isi dari ketentuan Pasal 116 ayat
(6), maka akan segera diketahui bahwa substansinya meru-
pakan pengulangan dari Pasal 116 ayat (6) UU No. 5 Tahun
1986 yang telah dicabut oleh Pasal 116 UU No. 9 Tahun
2004. Walaupun ada sedikit perbedaan, hanyalah menyang-
kut bahwa kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi, tetapi juga kepada DPR selaku lem-
baga yang menjalankan fungsi pengawasan.247
Sedangkan ketentuan Pasal 116 ayat (7) UU No. 51
Tahun 2009 yang mengatur mengenai uang paksa, jenis
sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaannya, apabila
badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak melaksanakan
putusan pengadilan tidak jelas delegasi jenis dan bentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.
Seharusnya Pasal 116 ayat (7) UU No. 51 Tahun 2009
langsung saja menyebut ” ... diatur dengan peraturan peme-
rintah”, bukan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
116 ayat (7) UU No. 51 Tahun 2009 tersebut, yaitu ” ... diatur
dengan peraturan perundang-undangan”. Namun, peraturan
perundang-undangan yang dimaksud sampai saat ini belum
ada.248
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 116 ayat (7)
UU No. 51 Tahun 2009 tersebut adalah lebih tepat dengan
peraturan pemerintah (PP), yang menyebutkan: ”Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian,

246
Ibid, hlm. 182.
247
Ibid, hlm. 184-185.
248
Ibd, hlm. 185.

163
HukumAcara Tata Usaha Negara

PP mempunyai kekuatan hukum mengikat yang kuat, karena


dikeluarkannya untuk menjalankan undang-undang.
Pengenaan upaya paksa berupa pembayaran sejum-
lah uang paksa dan/atau sanksi administratif, serta pengu-
muman pada media massa cetak setempat yang dijatuhkan
kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
bersedia melaksanakan putusan pengadilan, haruslah dimak-
nai sebagai ”hukuman tambahan” bukan sebagai ”pengganti”
dari ketidaksediaannya untuk melaksanakan putusan pe-
ngadilan. Apabila hal ini dimaknai sebagai ”pengganti”, maka
jelas hal itu sangat merugikan penggugat. Karena, tujuan
penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara bukanlah untuk memperoleh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5).249

E. PELAKSANAAN PUTUSAN TERHADAP KEPUTUSAN


BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA YANG TELAH
DINYATAKAN BATAL

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara wajib melak-


sanakan isi putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap berupa:250

1. Pencabutan dan/atau Penerbitan Keputusan Tata


Usaha Negara Yang Baru

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara wajib me-


laksanakan keputusan Peradilan Tata Usaha Negara sesuai
dengan ketentuan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) hurus a, b
dan c yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam hal
gugatan dikabulkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, berupa:

249
Ibid, hlm. 186.
250
Ali Abdullah, Op.Cit.
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang ber-


sangkutan. Ini merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat positif yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara diwajibkan kepadanya untuk
dicabut karena telah dinyatakan batal oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara.
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersang-
kutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara
yang baru ini merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat positif oleh Pengadilan kepada badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara selaku tergugat selain dibe-
bankan kewajiban untuk mencabut keputusan yang
dikeluarkan tersebut, badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dibebankan kewajiban untuk mengeluarkan ke-
putusan baru. Misalnya : PNS diberhentikan sebagai PNS,
amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara selain
mencabut surat keputusan pemberhentian, amarnya juga
mewajibkan tergugat untuk mengeluarkan keputusan
baru agar PNS itu diangkat kembali dalam kedudukan
semula sebagai PNS.
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
Penggugat telah mengajukan permohonan agar dikeluar-
kan surat keputusan yang dimohonkan kepada badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, akan tetapi badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara diam tidak mengeluarkan
surat keputusan. Sikap diam itu dianggap telah menge-
luarkan keputusan penolakan yang bersifat fiktif negatif.
Apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara
dalam amar putusannya mewajibkan kepada badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara selaku tergugat untuk me-
ngeluarkan keputusan yang dimohon-kan oleh penggugat
tersebut.

2. Ganti Rugi

Pembayaran ganti rugi adalah pembayaran sejumlah


uang kepada orang atau ahli waris atau badan hukum
perdata karena adanya Putusan Tata Usaha Negara yang

165
HukumAcara Tata Usaha Negara

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang


membebani ganti rugi kepada badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada
Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa ganti rugi
adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan
hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara karena
adanya kerugian materil yang diderita oleh penggugat.
Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.
43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelak-
sanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan
bahwa:251
a. Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha
Negara pusat, dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
b. Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata
Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Penda-
patan dan Belanja Daerah.
c. Ganti rugi menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha
Negara di luar ketentuan ayat (1) dan (2), menjadi beban
keuangan yang dikelola oleh badan itu sendiri.
Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi
dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha
Negara merumuskan bahwa besarnya ganti rugi yang dapat
diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang
nyata. Ini sebenarnya tergantung putusan pengadilan.252
Apabila dalam amar putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara selain kewajiban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf a, b atau c, badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dibebani membayar ganti rugi oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara, maka menurut ketentuan Pasal 120 UU No. 5 Tahun
1986 merumuskan:

251
Lihat Ali Abdullah, Ibi, hlm. 164
252
Ibid, hlm. 165
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Salinan keputusan pengadilan yang berisi kewajiban


membayar ganti rugi dikirimkan setelah putusan penga-
dilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban mem-
bayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari se-
telah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap.

3. Rehabilitasi

Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal


121 UU No. 5 Tahun 1986 yang merumuskan:
a. Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang ke-
pegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan Pasal 97
ayat (11), salinan putusan pengadilan yang berisi kewaji-
ban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat
dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban
tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dikirimkan pula oleh pengadilan kepada badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga
hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.
Dalam penjelasan ayat (2) menyatakan, bahwa
putusan pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi hanya
terdapat pada sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang
kepegawaian.253
Rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak penggugat
dalam kemampuan dan kedudukan, harkat, dan martabat se-
bagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada keputusan
yang disengketakan.

253
Ibid.

167
HukumAcara Tata Usaha Negara

Dalam hal pemulihan hak tersebut termasuk juga


hak-haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan,
dan harkatnya sebagai pegawai negeri. Dalam hal haknya
menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan penga-
dilan jabatan tersebut ternyata telah diisi oleh pejabat lain,
maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain
yang setingkat dengan jabatan semula. Akan tetapi bila hal
itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan diangkat
kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi
dalam jabatan yang setingkat atau dapat ditempuh ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117.254

4. Kompensasi

Kompensasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1


ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang
Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanannya pada Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu pembayaran sejumlah uang kepada
orang atas beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena pu-
tusan Pengadilan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian
tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan oleh Badan
Tata Usaha Negara.
Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
dapat melaksanakan dengan sempurna isi putusan sebagai-
mana dimaksudkan dalam Pasal 121 UU No. 5 Tahun 1986
maka yang dapat ditempuh oleh penggugat menurut
ketentuan Pasal 117 UU No. 4 Tahun 1986 yang merumuskan
sebagai berikut:
1. Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (11), apabila tergugat tidak dapat
atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putu-
san pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang
terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau
memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberi-

254
Ibid, hlm. 166.
HukumAcara Tata Usaha Negara

tahukan hal itu kepada pengadilan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat,
2. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban
membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang di-
inginkan. Dipertegas lagi dalam Pasal 9 Peraturan Pe-
merintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata
Cara Pelaksanaannya pada Pengadilan Tata Usaha Nega-
ra merumuskan bahwa dalam hal putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang menyangkut rehabilitasi tidak
dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka Badan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya putusan pengadi-
lan, memberitahukan perihal tersebut kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang memutus tingkat pertama de-
ngan tembusan kepada penggugat.
Selanjutnya dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksa-
naannya pada Peradilan Tata Usaha Negara yang meru-
muskan bahwa penggugat dalam tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat mengajukan per-
mohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
agar tergugat dibebani kewajiban untuk membayar
kompensasi.
3. Ketua pengadilan setelah menerima permohonan seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan me-
manggil kedua belah pihak untuk mengusahakan
tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kom-
pensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat.
Dipertegas lagi dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.
43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi, dan Tata Cara Pelak-
sanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara yang me-
rumuskan bahwa Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud

169
HukumAcara Tata Usaha Negara

dalam Pasal 10, memanggil badan Tata Usaha Negara dan


penggugat untuk mengupayakan tercapainya kesepaka-
tan besarnya jumlah kompensasi.
4. Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan
tetapi tidak diperoleh kata sepakat mengenai jumlah
uang atau kompensasi lain tersebut, ketua pengadilan
dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cu-
kup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang
dimaksud;
Dipertegas lagi dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah No.
43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pe-
laksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara yang
merumuskan bahwa apabila ketua pengadilan tidak da-
pat mengupayakan tercapainya kesepakatan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 11, maka Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara setelah mempertimbangkan kepenti-
ngan kedua belah pihak menetapkan besarnya kompen-
sasi.
5. Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud da-
lam ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun
tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan
kembali;
Dipertegas lagi dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti
Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata
Usaha Negara yang merumuskan bahwa apabila salah
satu para pihak tidak dapat menyetujui besarnya kom-
pensasi yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
maka dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya ketetapan tersebut pihak-pihak yang ber-
sangkutan dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung
untuk meminta ditetapkan kembali besarnya kompen-
sasi. Ketetapan Mahkamah Agung mengenai besarnya
kompensasi merupakan ketetapan akhir dan dalam teng-
gang waktu 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan ketetapan
tersebut dikirimkan kepada para pihak dan Ketua Penga-
dilan Tata Usaha Negara yang memutus tingkat pertama.
HukumAcara Tata Usaha Negara

6. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam


ayat (5), wajib ditaati kedua belah pihak.
Ditegaskan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelak-
sanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara yang meru-
muskan bahwa segera setelah menerima ketetapan Mah-
kamah Agung tentang besarnya kompensasi, Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara meminta secara terulis
agar Badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan me-
laksanakan pembayaran kompensasi tersebut.
Besarnya kompensasi ditentukan dalam Pasal 14
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi
dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha
Negara yang merumuskan bahwa besarnya kompensasi
paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan mem-
perhatikan keadaan yang nyata. Besarnya kompensasi yang
telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
atau Mahkamah Agung jumlahnya tetap dan tidak berubah
sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya
ketetapan tersebut dengan waktu pembayaran kompensasi.
Untuk melaksanakan pengawasan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
diserahkan kepada Ketua Tata Usaha Negara di tingkat per-
tama sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 119 UU No. 5
Tahun 1986 yang merumuskan bahwa ketua pengadilan wa-
jib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

F. KEKUATAN MENGIKATNYA PUTUSAN

Apabila hakim telah mengetahui peristiwa yang telah


terjadi dan telah menemukan hukumnya, dia segera men-
jatuhkan putusan. Putusan yang sudah menjadi tetap mem-
peroleh kekuatan pasti yang bersifat mengikat (bindende

171
HukumAcara Tata Usaha Negara

kracht, binding force).255 Di dalam peribahasa hukum dikata-


kan res judicata pro veritate habitur, artinya putusan yang
pasti dengan sendirinya mengikat. Apa yang diputus oleh
hakim dianggap benar dan pihak-pihak wajib memenuhi pu-
tusan tersebut.256
H. Abdullah Gofar257 menyatakan, kekuatan mengikat
putusan hakim adalah kekuatan yang diberikan kepada suatu
putusan hakim bahwa keputusan tersebut mengikat yang
berkepentingan untuk menaati atau melaksanakannya.
Yang dimaksud dengan “yang berkepentingan” dalam
Hukum Acara Perdata adalah:
a. Penggugat dan tergugat
b. Pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu seng-
keta antara penggugat dan tergugat, baik dengan
jalan intervensi maupun pembebasan
(vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam
proses;
c. Seorang yang kemudian mendapat hak dan
pihak yang kalah.
Berbeda dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, yang dimaksud dengan “yang berkepentingan” ada-
lah semua orang atau semua badan hukum, baik badan
hukum perdata maupun badan hukum publik, karena putu-
san hakim di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
mengikuti asas erga omnes, artinya putusan berlaku bagi
semua orang.258
Sebagai akibat diikutinya asas erga omnes pada pu-
tusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah:
a. tidak perlu adanya putusan hakim yang menyatakan
“agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan

255
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 158.
256
Ibid
257
H. Abdullah Gofar, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, Tunggal Mandiri: Malang, 2014, hlm. 242.
258
Ibid
HukumAcara Tata Usaha Negara

pada salah satu pihak maupun yang tidak menaati pu-


tusan pengadilan yang bersangkutan”.
b. Intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan
Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang
sudah memperoleh kekuatan hukum mengikat (in kracht
van gewijsde) berlaku bagi semua orang.259

259
Ibid, hlm. 243.

173
HukumAcara Tata Usaha Negara

UPAYA HUKUM

Untuk memperbaiki adanya kekeliruan di dalam pu-


tusan pengadilan, maka perlu dilakukan dengan upaya
hukum. Upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putu-
san pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah perlawanan, banding dan kasasi, hal ini disebut
sebagai upaya hukum biasa. Sedangkan upaya hukum yang
ditempuh melalui Peninjauan Kembali (request civil) dan per-
lawanan pihak ketiga (derdenverzet), dikenal dengan sebutan
upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum luar biasa ini ditempuh terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum bukanlah dimaksudkan untuk mem-
perlama penyelesaian sengketa suatu perkara, apalagi di-
maksudkan untuk mengenyampingkan kepastian hukum.
Bagaimanapun upaya hukum diperlukan, karena hakim ada-
lah manusia yang sangat dekat dengan kekhilafan, bahkan
kesalahan itu sendiri, seperti bersifat memihak, atau karena
ditemukan bukti baru yang begitu kuat. Dengan tersedianya
upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim
masih dimungkinkan untuk diperiksa ulang.260 Upaya hukum
dimaksud adalah:

260
Zairin Harahap, Op.Cit, hlm. 187-188.
HukumAcara Tata Usaha Negara

1. Upaya Hukum Biasa, terdiri dari:


a. Perlawanan
b. Banding
c. Kasasi
2. Upaya Hukum Luar Biasa, yaitu:
a. Peninjauan Kembali
b. Kasasi demi kepentingan hukum
Istilah upaya hukum ini tidak dipergunakan dalam
UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No.9 Tahun 2004 dan UU No. 51
Tahun 2009. Istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa ini dipergunakan dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.261

A. PERLAWANAN

Upaya hukum ini sudah dijelaskan sebelumnya pada


acara pemeriksaan singkat, yaitu adanya perlawanan ke
pengadilan terhadap penetapan dismissal. Menurut Pasal 62
ayat (3) huruf a UU No. 5 Tahun 1986, penggugat dapat me-
ngajukan upaya hukum perlawanan tersebut ke penga-dilan
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah peneta-
pan dismissal (yang ditetapkan ketua pengadilan, dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangannya).
Jika penggugat mengajukan perlawanan, maka
menurut Pasal 62 ayat (3) huruf b UU No. 5 Tahun 1986,
perlawanan tersebut diajukan dengan mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU No. 5 Tahun
1986. Dengan demikian penggugat yang mengajukan perla-
wanan sama halnya dengan penggugat ketika mengajukan
gugatan.
Di dalam perlawanan (Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1986)
diperiksa dengan acara singkat. Singkat maksudnya acara
pemeriksaan tidak akan memakan waktu seperti dalam acara
biasa, karena dalam acara perlawanan itu hanya akan dibuk-
tikan mengenai kebenaran-kebenaran dalil-dalil perlawanan

261
Ibid

175
HukumAcara Tata Usaha Negara

pelawan, sementara pokok perkara belum diperiksa sama


sekali. Acara setelah perlawanan disampaikan/ dibacakan di
depan sidang adalah, acara jawab menjawab, acara pembuk-
tian, konkusi para pihak dan putusan. Terhadap putusan
pelawan ini tidak dapat diajukan upaya hukum, akan tetapi
pengugat/pelawan dapat mengajukan gugatan baru.262
Mengingat tidak dapat dilakukan upaya hukum, oleh Mahka-
mah Agung memberikan beberapa petunjuk sebagai beri-
kut:263
a. Yang memeriksa gugatan perlawanan adalah Majelis
Hakim.
b. Pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis Hakim
tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan persiapan.
c. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara ter-
tutup, tetapi putusannya harus diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.
d. Dalam memeriksa gugatan perlawanan setidak-tidaknya
baik Pengugat atau Pelawan maupun Tergugat atau
Terlawan didengar dalam persidangan tanpa memerik-
sa pokok gugatan seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-
saksi, saksi ahli dan sebagainya.
e. Terhadap putusan gugatan perlawanan tidak tersedia
upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun
upaya hukum luar biasa.
f. dalam hal pihak Pelawan mengajukan permohonan
banding atau upaya hukum lainnya, maka panitera ber-
kewajiban membuat akta penolakan banding.264
Perlawanan diperiksa dan diputus oleh pengadilan
dengan acara singkat. Dalam hal perlawanan dibenarkan
oleh pengadilan, maka penetapan ketua pengadilan tersebut
di atas menjadi gugur demi hukum (ex lege) dan pokok gu-
gatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut
acara biasa. Sebaliknya apabila perlawanan di tolak, maka

262
Titik Triwulan, Op.Cit. hlm. 616
263
Lihat R. Wiyono, Op.Cit. hlm. 162-163.
264
Ibid, hlm. 163.
HukumAcara Tata Usaha Negara

penetapan hakim yang diputus dalam rapat permusyawara-


tan itu menjadi tetap berlaku.
Melihat ketentuan di atas, maka penetapan dismissal,
yaitu penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan
yang menyatakan gugatan yang diajukan Penggugat tidak
diterima atau tidak berdasar, akan mempunyai kekuatan
hukum tetap, karena tidak ada upaya hukum yang dapat
dipergunakan oleh penggugat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1986.
Mengutip Suparto Wijoyo dalam R. Wiyono, menam-
bahkan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung
IPK/TUN/1991 , bahwa lembaga peninjauan kembali ter-
265

masuk dalam pengertian upaya hukum sebagaimana dimak-


sud dalam Pasal 62 ayat (6) Undang-undang No. 5 Tahun
1986. Oleh karena itu permohonan peninjauan kembali
adalah tidak beralasan, sehingga harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
Bentuk akhir dari penyelesaian gugatan perlawanan
terhadap penetapan dismissal tersebut, disebutkan berupa
putusan dan bukan penetapan, karena Pasal 62 ayat (6)
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dengan tegas telah me-
nentukan: ”Terhadap putusan mengenai perlawanan itu
tidak dapat digunakan upaya hukum”, apalagi ditambah ada-
nya petujunjuk Mahkamah Agung RI yang mentukan :
”Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertu-
tup, tetapi pengucapan putusannya harus diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum”.266

B. BANDING

Dalam hal banding ini diatur dalam Pasal 122 UU No.


5 Tahun 1986, disebutkan bahwa terhadap putusan Tata

265
Suparto Wijoyo, Karakeristik Hukum Acara Peradilan Administrasi,
Airlangga University, Cetakan-I, 1997, hlm. 105., dalam R. Wiyono, hlm. 164.
266
Lihat Butir VII.1 huruf c pada Surat Ketua Muda Mahkamah Agung
Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tanggal 14 Oktober 1993
Nomor 224/Td/TUN/X/1993, sebagaimana ditulis dalam R. Wiyono, hlm. 164.

177
HukumAcara Tata Usaha Negara

Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh


penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.
Dengan demikian, upaya hukum ini diberikan kepada
kedua belah pihak, sebab pasal ini memberikan keadilan
yang sama kepada para pihak yang bersengketa.
Mengenai tenggang waktu upaya hukum banding
adalah 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan itu
diberitahukan kepada mereka secara sah. Pasal 123 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1986, menetukan:
”Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara
tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus
dikuasakan untuk itu kepada PTUN yang menjatuhkan
putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan pengadilan itu diberirtahukan
kepadanya secara sah”.
Dengan demikian, apabila sampai tenggang waktu
tersebut berakhir tenyata pihak yang dikalahkan tidak meng-
gunakan hak nya untuk mengajukan hukum banding ini,
maka pihak yang dikalahkan tersebut berarti telah menerima
putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.
Zairin Harahap267, menyatakan, asas diselenggara-
kannya dalam dua tingkat pada dasarnya dilatarbelakangi
pemikiran dan keyakinan bahwa putusan pengadilan tingkat
pertama itu belum tentu sudah memenuhi kepastian hukum
dan/atau rasa keadilan dari para pihak pencari keadilan.
Oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh
pengadilan yang lebih tinggi, yakni, pengadilan tinggi atau
yang juga dikenal dengan pengadilan tingkat banding.
Namun, perlu kiranya dikemukakan bahwa tidak
semua putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimin-
takan upaya hukum banding, putusan Pengadilan Tata Usaha

267
Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 190-191.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Negara yang tidak dapat dimintakan upaya hukum banding


adalah sebagai berikut:268
1. Penetapan Ketua Pengadilan TUN mengenai permoho-
nan untuk berperkara dengan cuma-cuma berdasarkan
Pasal 61 ayat (2) adalah merupakan putusan yang
diambil di tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak
dimungkinkan adanya upaya hukum banding, khusus-
nya jika permohonan itu ditolak.
2. Penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan TUN
berdasarkan Pasal 62 ayat (3) huruf a UU No. 5 Tahun
1986 tidak dapat diajukan banding, upaya hukum yang
dapat diajukan adalah perlawanan.
3. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap per-
lawanan yang diajukan oleh penggugat atas penetapan
dismissal berdasarkan Pasal 62 ayat (6) UU No. 5 Tahun
1986 tidak dapat diajukan banding.
4. Putusan pengadilan mengenai gugatan perlawanan pi-
hak ketiga sebelum pelaksanaan putusan yang telah
berkekuatan tetap berdasarkan Pasal 118 ayat (2) ber-
laku ketentuan Pasal 62 dan Pasal 63 UU No. 5 Tahun
1986, sehingga terhadap putusan tersebut tidak tersedia
upaya hukum banding.
5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pe-
ngadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dila-
wan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi.
Selanjutnya, menurut Pasal 123 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986, permohonan pemeriksaan di tingkat banding
harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahu-
kan secara sah kepada penggugat dan tergugat. Dan penjela-
san terhadap Pasal 123 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan 14 hari adalah
empat belas hari menurut tanggal kalender.

268
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedua,
Cetakan Pertama, Liberty: Yogyakarta, 1985, hlm. 196, dalam Zairin Harahap,
Ibid.

179
HukumAcara Tata Usaha Negara

Permohonan pemeriksaan di tingkat banding diaju-


kan secara tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang menjatuhkan putusan yang dimohonkan pemeriksaan
di tingkat banding.269 Dalam praktiknya, jika penggugat
dan/atau tergugat mengajukan permohonan pemeriksaan di
tingkat banding, penggugat dan/atau tergugat mengisi for-
mulir yang disediakan untuk permohonan itu.
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah
permohonan pemeriksaan ditingkat banding dicatat, panite-
ra memberitahukan penggugat dan tergugat bahwa mereka
dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata
Usaha Negara setelah mereka menerima pemberitahuan ter-
sebut.
Pihak yang mengajukan banding dapat menyerahkan
memori banding dan/atau kontra memori banding serta
surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata
Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan
atau kontra diberikan kepada pihak lainnya dengan peran-
taraan panitera pengadilan.270
Penyerahan memori banding kepada Panitera Penga-
dilan Tata Usaha Negara tersebut bukan bersifat imperatif,
tetapi meskipun demikian sebaiknya pemohon yang menga-
jukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding menye-
rahkan memori banding, karena dengan menyerahkan me-
mori banding tersebut, pengadilan tingkat banding dapat
mengetahui dengan jelas apa yang menjadi alasan sebenar-
nya dari pemohon yang mengajukan permohonan pemerik-
saan di tingkat banding.271
Kemudian, selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
setelah permohonan pemeriksaan di tingkat banding, salinan
putusan, berita acara dan surat lain yang bersangkutan de-
ngan berkas perkara, panitera Pengadilan Tata Usaha Negara
harus dikirimkan ke panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.272
269
Pasal 123 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
270
Baca Pasal 126 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
271
Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 205.
272
Baca Pasal 126 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Selanjutnya dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 5 Tahun


1986 menentukan bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara memeriksa dan memutus perkara banding dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Menurut
Indroharto273 pemeriksaan di tingkat banding sifatnya
devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan
dan diulang oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Yang diperiksa dalam pemeriksaan tingkat banding
hanya berkas perkara, yang dikirimkan oleh Panitera Penga-
dilan Tata Usaha Negara, berupa surat gugatan, jawaban,
replik, duplik, kesimpulan, memori banding dan/atau kon-
trak memori banding, alat-alat bukti, salinan putusan Penga-
dilan Tata Usaha Negara, berita acara sidang, serta surat-
surat lain yang bersangkutan dengan berkas perkara.274 Akan
tetapi:
a. apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ber-
pendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha
Negara kurang lengkap, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara tersebut dapat mengadakan sidang tersendiri
untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau meme-
rintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersang-
kutan melaksanakan tambahan tersebut.275
b. terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya, sedang Pengadilan Tata Usaha
Negara berpendapat lain, maka Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara tersebut dapat memeriksa dan memutus
sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan
memutuskan.276

273
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Ke-IV, 1993, hlm. 223,
sebagaimana dalam R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 206.
274
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 206.
275
Pasal 127 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
276
Pasal 127 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.

181
HukumAcara Tata Usaha Negara

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan


telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut
beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam perkara
tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.277
Namun, apabila permohonan banding dicabut oleh
yang mengajukan banding, maka pencabutan permohonan
banding tersebut dapat dilakukan sebelum permohonan ter-
sebut diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan
dalam hal permohonan pemeriksaan banding telah dicabut,
tidak dapat diajukan lagi meskipun jangka waktu untuk
mengajukan permohonan banding belum lampau.278

C. KASASI

Terhadap putusan pengadilan tingkat banding dapat


dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam Pasal 113 UU No.
5 Tahun 1986, yang menentukan bahwa pemeriksaan tingkat
terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimo-
honkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai-
mana diatur dalam Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986 harus
memenuhi beberapa alasan, antara lain:279
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewe-nang.
2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku.
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
perundang-undangan.

277
Pasal 127 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
278
Lihat Pasal 129 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
279
Titik Wulandari, Op.Cit. hlm. 619.
HukumAcara Tata Usaha Negara

Jika diperhatikan, mengenai ketentuan pemeriksaan


di tingkat kasasi, di dalam Pasal 131 ayat (2) UU No. 5 Tahun
1986 menunjuk Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, artinya bahwa pemeriksaan di
tingkat kasasi untuk perkara yang diputus oleh pengadilan di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menu-
rut Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Oleh karena ketentuan tentang pemeriksaan di
tingkat kasasi yang terdapat dalam UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung Jo. UU No. 4 Tahun 2004 Jo. UU
Nomor 3 Tahun 2009 tentang ketentuan pemeriksaan di
tingkat kasasi untuk perkara perdata yang diputus oleh pe-
ngadilan di lingkungan Peradilan Umum saja,280 maka de-
ngan sendirinya pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara
yang diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
diberlakukan ketentuan tentang pemeriksaan di tingkat ka-
sasi untuk perkara perdata yang diputus oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.281
Permohonan kasasi wajib menyampaikan memori
kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung
sejak permohonan kasasi menyatakan kasasi atas putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Atas memori kasasi tersebut,
termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak ia
menerima memori kasasi.
Demikian pula terhadap pemeriksaan atas permo-
honan kasasi tersebut dilakukan menurut Pasal 55 UU No. 14
Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung, yang menentukan:
”Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus, oleh
pengadilan di Lingkungan Pengadilan Agama atau oleh
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
dilakukan menurut ketentuan ini”

280 Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Undang-undang No. 14 Tahun


1985.
281 R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 207.

183
HukumAcara Tata Usaha Negara

Mengingat ketentuan Pasal 55 UU No. 14 Tahun 1986


di atas, maka demikian juga terhadap ketiga peradilan lain-
nya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan
Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga bermuara
pada Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 131 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986,
putusan yang dapat diperiksa di tingkat kasasi adalah ”putu-
san tingkat terakhir pengadilan”. Yang dimaksud dengan
”putusan tingkat terakhir pengadilan” tersebut adalah
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, karena di ling-
kungan Peradilan Tata Usaha Negara hanya dikenal 2 (dua)
tingkatan pengadilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat Banding,282
sedang Mahkamah Agung sendiri bukan pengadilan Tingkat
Banding Kedua.283
Mengenai mekanisme permohonan kasasi dapat dili-
hat pada Pasal 43, Pasal 46, dan Pasal 47, sebagai berikut:
Pasal 43:
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika
pemohon terhadap perkaranya telah mengguna-
kan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya satu
kali.
Pasal 46:
(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata
disampaikan secara tertulis atau lisan melalui
panitera pengadilan tingkat pertama yang telah
memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14
hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan

282
Pasal 44 ayat (1) huruf a UU No. 14 Tahun 1985.
283
Indroharto, Usaha Memahami Undng-undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, dalam R. Wiyono, Op.Cit, hlm.,
2008.
HukumAcara Tata Usaha Negara

yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemo-


hon.
(2) Apabila dalam tenggang waktu 14 hari tersebut
telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang
berperkara dianggap telah menerima putusan.
(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, pani-
tera tersebut ayat (1) mencatat permohonan
kasasi dalam buktu daftar, dan pada hari itu juga
memuat akta permohonan kasasi yang dilampir-
kan pada berkas perkara.
(4) Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari sete-
lah permohonan kasasi terdaftar, panitera penga-
dilan dalam tingkat pertama yang memutus per-
kara tersebut memberitahukan secara tertulis
mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Pasal 47:
(1) Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon
wajib menyampaikan pula memori kasasi yang
memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu
14 hari setelah permohonan yang dimaksud dica-
tat dalam buku daftar.
(2) Panitera pengadilan yang memutus perkara
dalam tingkat pertama memberitahukan tanda
terima atas penerimaan memori kasasi dan me-
nyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepa-
da para pihak lawan dalam perkara yang dimak-
sud dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.
Untuk menentukan keputusan Tata Usaha Negara
yang berupa keputusan pejabat daerah dapat atau tidak
dapat diajukan kasasi, kriterianya sebagai berikut:284

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 284K/TUN/2007 tanggal 5 Maret


2008 yang menyatakan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 36/B/2007/PT.TUN.JKT, tanggal
17 April 2007 tidak dapat diterima dengan pertimbangan objek gugatan
adalah mengenai penolakan permohonan Izin Mendirikan Bangunan yang

185
HukumAcara Tata Usaha Negara

a. Tidak dapat diajukan kasasi adalah apabila keputusan


pejabat daerah yang materi muatannya sebagai pelak-
sana desentralisasi wewenang yang diberikan oleh pe-
merintah pusat kepada daerah. Kewenangan desentra-
lisasi biasanya diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Daerah (Perda).
b. Dapat diajukan kasasi apabila keputusan pejabat daerah
yang materi muatannya sebagai pelaksana dekonsentrasi
wewenang yang dalam melaksanakan wewenang peme-
rintah pusat.
c. Dapat diajukan kasasi apabila keputusan pejabat daerah
dalam rangka tugas perbantuan (medebewind).
d. Harus dikirim ke Mahkamah Agung apabila keputusan
pejabat daerah yang jangkauan berlakunya masuk dalam
wilayah abu-abu (gray area). Dalam hal ini Mahkamah
Agung menentukan perkaranya dapat atau tidak diajukan
kasasi. Untuk menentukan keputusan pejabat daerah
masuk dalam wilayah abu-abu (gray area):
1. Keputusan pejabat daerah tersebut sebagai pelak-
sana desentralisasi, tetapi jangkauan berlakunya
meluas sampai kewenangan pemerintah pusat atau
kewenangan pemerintah daerah yang lain oleh
akibat:
a. tumpang tindih kewenangan (locus materiae)
antara kewenangan pemerintah pusat dengan
kewenangan pemerintah daerah lain nya atau
sebaliknya;
b. terdapat urusan pemerintahan di bidang-
bidang tertentu yang diurus secara bersama-
sama yang bersifat lintas sektoral (antara pe-
merintah pusat dengan pemerintah daerah atau

merupakan Keputtusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan tergugat (Kepala


Suku Dinas Peraturan dan Pengawasan Bangunan Kotamadya Jakarta Timur)
yang jangkauan berlakunya adalah wilayah yang bersangkutan (Jakarta Timur).
Lihat Gofar, H. Abdullah, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Tunggal Mandiri: Malang, 2014., hlm. 243-244.
HukumAcara Tata Usaha Negara

antara provinsi dan/atau antara kabupaten/


kota).
2. Keputusan pejabat daerah yang bersifat deviratif
(turunan) dan peraturan yang berlaku secara
nasional, sehingga jangkauan berlakunya keputusan
Tata Usaha Negara tersebut tidak terbatas dalam wi-
layah daerah yang bersangkutan, akan tetapi sudah
keluar wilayah daerah tersebut dan masih ada
kaitan dengan peraturan yang bersifat nasional.

D. PENINJAUAN KEMBALI

Bagi putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir


dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek)
dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan
perlawanan dapat dilakukan peninjauan kembali atas per-
mohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di
dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan penin-
jauan kembali.285
Abdulkadir Muhammad286, berpendapat, walaupun
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum te-
tap, bahwa telah selesai dilaksanakan, masih ada kemung-
kinan untuk melakukan peninjauan kembali apabila ternyata
ada alasan untuk itu, dan dirasakan tidak adil jika terus
berpegang pada putusan semacam itu. Peninjauan kembali
bukanlah menghilangkan kepastian hukum putusan pengadi-
lan, melainkan justru untuk mempertahankan keadilan itu
sendiri dan memberikan kepastian hukum kepada perbuatan
yang adil. Peninjauan kembali hanya untuk bersifat insiden-
tal, tidak terus-menerus terhadap setiap putusan yang ber-
kekuatan hukum tetap (inkracht). Dari ratusan atau ribuan
perkara perdata yang sudah diputus dan memperoleh ke-
kuatan hukum tetap, mungkin hanya dua atau tiga atau

285
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty:
Yogyakarta, 1998, Hlm. 206, dalam Titik Wulandari, Op.Cit, hlm. 622.
286
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Ke-
VII, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000, Op.Cit, hlm. 211.

187
HukumAcara Tata Usaha Negara

empat putusan yang diajukan permohonan peninjauan kem-


bali.287
Istilah peninjauan kembali dapat dilihat pada Pasal
21 UU No. 14 Tahun 1985 yang berbunyi:
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang
ditentukan Undang-undang terhadap putusan pengadi-
lan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dapat dimintakan peninjauan kembali pada Mah-
kamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkepentingan.
Penjelasannya menyebutkan: Pasal ini mengatur ten-
tang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Per-
mohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata
diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terma-
suk di dalamnya juga para ahli waris dari pihak-pihak
yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhu-
kum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kem-
bali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.
Disebutkannya berkaitan dengan hukum pidana, hal
ini dapat dilhat pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 269288
dimana ketentuan ini berlaku pula bagi acara peninjauan
kembali untuk putusan pengadilan militer yang telah mem-
punyai kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, menurut Pasal 28 UU No. 15 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, menentukan:
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peinjauan kembali putusan pengadi-
lan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

287
Ibid, hlm. 212.
288
Lihat UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
HukumAcara Tata Usaha Negara

Selanjutnya, Pasal 34 UU Mahkamah Agung kembali


menegaskan, bahwa Mahkamah Agung memeriksa dan me-
mutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat per-
tama dan terakhir (final) atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-
alasan yang diatur. Yahya Harahap289, mengemukakan bahwa
sifat final ini mengandung arti tidak ada upaya hukum luar
biasa lainnya yang terbuka untuk mengoreksinya lagi. Tertu-
tup semua upaya hukum demi tegaknya kepastian hukum
(legal certainty), karena sekiranya ada upaya hukum lain
akan menjadikan proses hukum berkepanjangan tanpa akhir
(endless).
Acara pemeriksaan peninjuan kembali ini dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi:
Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang
diputus oleh pengadilan agama atau pengadilan di ling-
kungan Peradilan Tata Usaha Negara digunakan hukum
Acara Peninjauan Kembali yang tercantum dalam Pasal
67 sampai 75.
Hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali untuk
sengketa Tata Usaha Negra sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 UU No. 14 Tahun 1985, diberlakukan hukum acara
pemeriksaan kembali untuk perkara perdata sebagimana
diatur dalam Pasal 67 sampai Pasal 75 UU No. 14 Tahun
1985. Maka menurut Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985, per-
mohonan peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan
atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

289
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi
dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hlm.
449.

189
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat


bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu per-
kara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut
atau lebih daripada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangan sebaik-baiknya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu
soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan
yang sama atau tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata.
Dari ketentuan Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 di
atas, jelaslah bahwa alasan-alasan untuk mengajukan peme-
riksaan peninjauan kembali terhadap perkara yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap bersifat limitatif.290
Dengan demikian, permohonan pemeriksaan peninjauan
kembali tidak dapat mengajukan alasan-alasan lain di luar
yang tertera dalam Pasal 67 tersebut di atas.291
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan
sendiri oleh pihak yang bersengketa atau ahli warisnya atau
seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Apabila selama proses pemeriksaan permohonan peninjauan
kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.292
Kemudian, menurut Pasal 69 UU No. 14 Tahun 1985,
tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali
didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 67 adalah 180 hari, untuk:
a. Yang disebut pada huruf a, sejak diketahui suatu kebo-
hongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang bersengketa;

290
Zairin Harahap, Op.Cit. hlm. 197.
291
Ibid
292
Lihat Rozali Abdullah, Op.Cit, hlm. 80.
HukumAcara Tata Usaha Negara

b. Yang disebut pada huruf b, sejak ditemukan surat-surat


bukti yang hari serta tanggal ditemukannya harus di-
nyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat
yang berwenang;
c. Yang disebut pada huruf c, d, dan e, sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberi-
tahukan kepada para pihak yang bersengketa;
d. Yang tersebut pada huruf e, sejak putusan yang terakhir
bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap
dan diberitahukan kepada pihak yang bersengketa.
Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengaju-
kan jawabannya adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali. Surat
jawaban yang diserahkan atau dikirimkan kepada pengadilan
yang memutus perkara dalam tingkat pertama, dan pada
surat jawaban itu oleh panitera dibubuhi cap, hari, serta
tanggal diterimanya jawaban tersebut, dan salinannya di-
sampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk
diketahui (Pasal 72 ayat (2) dan (3) UU No. 14 Tahun 1985).
Setelah berkas perkara diterima oleh Mahkamah
Agung dan selanjutnya berkas perkara itu diperiksa, dan
apabila hasil pemeriksaan itu terdapat kekurangan maka se-
suai dengan ketentuan Pasal 73 UU No. 14 Tahun 1985,
menyatakan:
1. Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Penga-
dilan Tata Usaha Negara yang memeriksa dalam tingkat
pertama atau pengadilan tingkat banding mengadakan
pemeriksaan tambahan, atau meminta segala ketera-
ngan serta pertimbangan dari pengadilan tersebut.
2. Pengadilan yang melaksanakan perintah tersebut segera
mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta
pertimbangan dari pengadilan tingkat pertama atau
pengadilan tingkat banding kepada Mahkamah Agung.
Kemudian pada Pasal 74 UU No. 14 Tahun 1985,
setelah memeriksa permohonan peninjauan kembali, maka
Mahkamah Agung dapat memutuskan:
a. Mengabulkan permohonan peninjauan dan membatal-
kan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali

191
HukumAcara Tata Usaha Negara

tersebut, selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri


sengketanya;
b. Menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat permohonan tersebut
tidak beralasan.
Salinan putusan Mahkamah Agung dan permohonan
peninjauan kembali tersebut dikirimkan kepada pengadilan
yang telah memutus sengketa tersebut pada tingkat pertama
dan selanjutnya panitera pengadilan yang bersangkutan
menyampaikan salinan putusan tersebut kepada pemohon
peninjauan kembali serta memberitahukan keputusan itu
kepada pihak lawan selambat-lambatnya dalam waktu 30
hari.293

E. KASASI DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan


kasasi demi kepentingan hukum hanya Jaksa Agung karena
jabatannya294 Maka pengugat atau tertugat tidak mempunyai
hak untuk mengajukan pemeriksaan kasasi demi kepen-
tingan umum hukum. Permohonan kasasi demi kepentingan
hukum hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.295
Alasan yang dipergunakan oleh Jaksa Agung untuk
mengajukan permohonan kasasi demi kepentingan hukum
tidak terikat pada alasan-alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Jo. UU No. 4
Tahun 2004 saja.
Dikatakan demi kepentingan hukum karena putusan
yang diajukan permohonan kasasi tersebut, sama sekali tidak
ada mempengaruhi sah atau tidaknya Keputusan Tata Usaha
Negara yang dipersengketakan, karena putusan perkara
sengketa Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan Keputu-

293
Lihat Pasal 75 UU No. 14 Tahun 1985.
294
Pasal 42 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
295
Pasal 42 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985.
HukumAcara Tata Usaha Negara

san Tata Usaha Negara tersebut, putusannya telah mempe-


roleh kekuatan hukum tetap.296
Putusan kasasi demi kepentingan hukum mengikuti
ketentuan tentang putusan kasasi yang bukan demi kepen-
tingan hukum. Hanya saja putusan kasasi tersebut tidak bo-
leh sampai merugikan pihak yang berperkara.
Tidak ada ketentuan tenggang waktu yang harus di-
penuhi Jaksa Agung karena jabatannya, bila mengajukan per-
mohonan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum.
Ketentuang mengenai tenggang waktu hanya ada pada waktu
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi yang
bukan demi kepentingan hukum. Dengan demikian, Jaksa
Agung karena jabatannya, dapat mengajukan permohonan
kasasi demi kepentingan hukum lewat 14 (empat belas) hari
setelah adanya pemberitahuan putusan pengadilan yang te-
lah mempunyai kekuatan hukum tetap.297 Sedangkan putu-
san mengenai kasasi demi kepentingan hukum mengikuti
ketentuan tentang putusan kasasi yang bukan demi ke-
pentingan hukum, hanya saja putusan kasasi tersebut tidak
boleh sampai merugikan pihak yang berperkara.298

296
R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 227.
297
H. Abdullah Gofar, Op.Cit., hlm. 263.
298
Pasal 45 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985.

193
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M., Ali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Pasca-Amendemen, PT. Adhitya Andrebina Agung:
Jakarta, Cet. Ke-1, 2015.

Abdullah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Edisi-I, Cetakan Ke-13, RajaGrafindo Persada: Jakarta,
2016.

Gofar, H. Abdullah, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan


Tata Usaha Negara, Tunggal Mandiri: Malang, 2014.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tengtang Gugatan,


Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika: Jakarta, 2005.

Harahap, M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung:


Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Terhadap Perkara Perdata, Sinar Grafika: Jakarta,
2008.

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Cetakan Ke-9, RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2015.

Marpaung, Leden, Proses Perkara Pidana (Penyelidikan dan


Penyidikan), Edisi Kedua, Cetakan Ke-III, Sinar
Grafika: Jakarta, 2011.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia,


Cetakan Ke VII, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000.

Prinst, Darwin, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan


Perdata, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1996.
Pudyatmoko, Y. Sri dan W. Irawan Tjandra, Peradilan Tata
Usaha Negara sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol
Pemerintah, Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, 1996.

Rasaid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Cetakan Ke-III, Sinar


Grafika Offset: Jakarta, 2003, hlm. 48.

Sarjono, Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh


Penguasa / OOD dan Masalah Ganti Rugi dalam MA,
Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha
Negara: Jakarta, 1993.

Siallagan, Haposan dan Janpatar Simamora, Hukum Tata


Negara Indonesia, Sabar: Medan, 2011.

Sibuea, Hotman P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan,


Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga:
Jakarta, 2010.

Siburian, Kasman dan Victorianus R. Puang, Hukum


Administrasi Negara, Capiya Publishing: Yogyakarta,
2017.

Soemitro, Rochmat, Peradilan Tata Usaha Negara, Eresco:


Bandung, 1990.

Soepomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,


Cetakan Ke-XIII, PT. Pradnya Paramita: Jakarta, 1994.

Sulistini, Elise T. dan Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis


Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata, Bina Aksara:
Jakarta, Cetakan Kedua, 1987.

Tjandra, W. Irawan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha


Negara, Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, 2005.

Triwulan, Titik T, dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata


Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media
Grup: Jakarta, 2011.

Yusrizal, Modul Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Unimal Press: Lhokseumawe.

Wiyono, R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi


Ketiga, Cet. Kedua, Sinar Grafika: Jakarta , 2015.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Dr. HAPOSAN SIALLAGAN, S.H., M.H., lahir di
Ambarita pada tanggal 25 Agustus 1966. Setelah
menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S1) pada
Jurusan Hukum Tata Negara dari Universitas HKBP
Nommensen, pada tahun 1989, ia memulai karirnya
sebagai karyawan di Perusahaan Pulp and Paper di
RGM Group (IIU) dan selanjutnya menjadi Dosen di
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.
Pada tahun 1996, ia menyelesaikan pendidikan
Magister Hukum dari Universitas Padjajaran, Bandung
dan kemudian pada tahun 2007 berhasil meraih gelar Doktor Hukum dalam
bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Sumatera Utara dengan Judul
Disertasi:” Penerapan Azas-azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah”. Saat ini menjabat sebagai
Rektor Universitas HKBP Nommensen Medan dan sebagai Anggota Majelis
Pengawas Pusat (MPP) Notaris Seluruh Indonesia. Karya buku yang telah
dihasilkan, diantaranya: “Ilmu Negara” dan “Ilmu Perundang-undangan”. Aktivitas
lain, saat ini beliau menjabat sebagai Ketua ORGANDA Sumatera Utara.

KASMAN SIBURIAN, S.H., M.H., lahir di Pampean Aek, pada tanggal 9


Nopember 1959. Pada tahun 1988 menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum
(S1) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pendidikan Magister
Hukum diselesaikan pada tahun 2008 dari Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan. Sejak tahun 1989 sampai sekarang aktif sebagai Dosen
di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan. Selain itu juga
menggeluti profesi sebagai Pengacara/Konsultan Hukum.

FERNANDO Z. TAMPUBOLON, S.H., M.H., lahir


di Riau, pada tanggal 5 Oktober 1969. Setelah
menamatkan pendidikan Strata 1 (S1) pada tahun
1995, melanjutkan pendidikan Magister Hukum di
Universitas Sumatera Utara Tahun 2014 dan
merupakan salah satu lulusan dengan masa studi
paling cepat diangkatannya dengan Yudisium
“Cum Laude”. Sejak 2003 telah memulai karirnya
sebagai Asisten Pengacara, dan pada tahun 2008
dinyatakan lulus dan diangkat sebagai Advokat
pada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Pada tahun 2011 sampai dengan 2016 pernah diangkat sebagai Sekretaris
Eksekutif pada Biro Bantuan Hukum (BBH) FH-UHN. Kemudian tahun 2018
sampai dengan sekarang, diangkat sebagai Kepala Biro Perwakilan Kota Binjai
pada Media IndoGlobeNews.Com yang berpusat di Bandung, juga sebagai
Konsultan Hukum tetap pada Media Online Jejakkata.Com Sumatera Utara,
selain kesehariannya aktif sebagai Advokat pada Kantor Hukum “A-F & Partner”
di Medan dan konsultan beberapa perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai