Anda di halaman 1dari 67

RESUME BUKU PENGATAR TATA HUKUM INDONESIA

(By: Dr. H. Zainal Asikin, S.H., S.U.)

Disususn untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Pengantar Tata Hukum Indonesia

Dosen Pengampuh: Rahmat, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH:

HENY KHAIRUNNISA

11903009

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK

FAKULTAS EJONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH

2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi

BAB 1 Tata Hukum Indonesia


A. Pengertian Tata Hukum
B. Pengertian Tata Hukum Indonesia
C. Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia

BAB 2 Sejarah Tata Hukum Indonesia


A. Zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
dari Tahun 1602-1799
B. Era Pemeintahan Kolonial Hindia Belanda Tahun 1800-1811
dan Raffles (Inggris) Tahun 1811-1814
C. Era Pemerintahan KKolonian Hindia Belanda Tahun 1814-1855
D. Era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Tahun 1855-1929
E. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Tahun 1929-1942
F. Masa Pendudukan jepang tahun 1942-1945
G. Masa Kemerdekaan Tahun 1945-sekarang

BAB 3 Sejarah Tata Hukum Negara Lain


A. Sejarah Hukum Malaysia
B. Sejarah Hukum Singapura
C. Sejarah Hukum Filipina

BAB 4 Sistem Hukum di Dunia


A. Sistem Hukum Civil law
B. Sistem Hukum Common Law
C. Sistem Hukum Sosialis
D. Sistem Hukum Islam
E. Sistem Hukum Masyarakat Eropa

BAB 5 Hukum Perdata


A. Sejarah Hukum Perdata
B. Dasar berlakunya Hukum Perdata di Indonesia
C. Pengertian Hukum Perdata
D. Sistematika Hukum Perdata

BAB 6 Hukum Pidana


A. Pengertian Hukum Pidana
B. Asas-asas Hukum Pidana
C. Macam-macam Pembagian Delik
D. Macam-Macam Hukum Pidana
BAB 7 Hukum Dagang
A. Sejarah Hukum Dagang
B. Pengertian Hukum Dagang
C. Sumber-Sumber Hukum Dagang
D. Pembantu-pembantu Perusahaan
E. Surat Berharga
F. Hukum Pengakutan
G. Harta Kekayaan Perusahaan
H. Hak Kekayaan Intelektual
I. Hukum Pertanggungan

BAB 8 Hukum Ketenagakerjaan


A. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
B. Asas Hukum Ketenagakerjaan
C. Pengertian dan Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan
D. Hubungan Kerja dan Norma Kerja
E. Peraturan Perusahaan
F. Perlindungan Tenaga Kerja
G. Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan
Hubungan Kerja

BAB 9 Hukum Tata Negara


A. Pengertian Hukum Tata Negara menurut Para Ahli
B. Sumber Hukum
C. Bentuk Poduk Hukum di Indonesia

BAB 10 Hukum Adat


A. Tujuan Mempelajari Hukum Adat
B. Pengertian Hukum Adat
C. Masalah yang diatur dalam Hukum Adat

BAB 11 Hukum Agraria


A. Pengertian Hukum Agraria
B. Polotik Hukum Pertanahan
C. Sejarah Pembentukan UUPA
D. Dampak UUPA dalam Pembangunan Hukum Agraria
E. Hak Atas Tanah
F. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
G. Pendaftaran Tanah

BAB 12 Hukum Administrasi Negara


A. Pengertian Hukum Administrasi Negara
B. Keputusan Tata Usaha Negara
C. Lapangan Pekerjaan Administrasi Negara
D. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu lainnya

BAB 13 Hukum Persaingan Usaha


A. Latar Belakang UU No. 5/1999
B. Mengapa Hukum Persaingan Usaha Penting
C. Asas dan tujuan HUkum Persaingan Usaha
D. Kedudukan Hukum Persaingan dalam Sistem Hukum
Indonesia
E. Prinsip-Prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha
F. Perjanjian yang Dilarang
G. Kegiatan yang Dilarang
H. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
I. Pemeriksaan Perkara di KPPU

BAB 14 Hukum Perdata Internasional (HPI)


A. Pengertian Hukum Perdata Internasional
B. Titik Taut dalam Hukum Perdata Internasional
C. Masalah Pokok dalam HPI
D. Kualifikasi
E. Renvoi (Penunjukkan Kembali)
F. Status Personal (Personal Law)
G. Ketertiban Umum (Public, Policy, Openbare Orde)
H. Perbuatan Melawan Hukum dalam HPI

BAB 15 Hukum Internasional


A. Pengertian Hukum Internasional
B. Sumber-sumber Hukum Internasional
C. Subjek Hukum Internasional
D. Sengketa-sengketa Internasional
E. Bentuk Hukum Internasional
F. Hukum Internasional dan Hukum Dunia

BAB 16 Hukum Acara Perdata


A. Pengertian Hukum Acara Perdata
B. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
C. Asaa-asas Hukum Acara Perdata Indonesia
D. Susunan Badan Peradilan di Indonesia
E. Pemberian Kuasa
F. Proses dan Prosedur Berperkara

BAB 17 Hukum Acara Pidana


A. Pendahuluan
B. Hukum Acara Pidana Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1951
C. Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
D. Proses Penyelesaian Perkara Pidana

BAB 18 Peradilan Tata Usaha Negara


A. Pengertian PTUN
B. Subjek PTUN
C. Asas-Asas dalam PTUN
D. Kompetensi PTUN
E. Objek dalam PTUN
F. Kewenangan dan Susunan PTUN
G. Keikutsertaan Pihak Ketika dan Dasar Pengujian KTUN
H. Dasar pengujian Keputusan PTUN
I. Penyelesain Sengketa Tata Usaha Negara

BAB 19 Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK)


A. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
B. Asas Hukum Acara MK
C. Dasar Hukum
D. Objek Hukum Acara MK
E. Prosedur Beracara
F. Putusan
BAB 1
Tata Hukum Indonesia

A. Pengertian Tata Hukum


Pentingnya mempelajari pengantar ilmu hukum maupun pengantar tata hukum Indonesia
adalah sebagai suatu upaya membekali bagi setiap orang tidak tersesat dikemdian hari.
Tata Hukum adalah semua peraturan-peraturan hukum yang diadakan/diatur oleh Negara
atau bagian-bagiannya dan berlaku pada waktu itu di seluruh masyarakat dalam Negara atau
disebut juga ius contitutum.
Tata hukum juga dapat diartikan sebagai susunan hukum yang berasal dari istilah recht
orde (bahasa Belanda). Susunan hukum itu terdiri atas aturan=aturan hukum yang tertata
sedemikian rupa sehingga orang mudah menemukan bila suatu ketika membutuhkannya guna
menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Suatu tata hukum berlaku
dalam masyarakat atau suatu Negara karena disahkan oleh pemerintah atau dianggap
mengayomi masyarakat itu.

B. Pengertian Tata Hukum Indonesia


Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam
suatu wilayah Negara tertentu yang disebut hukum positif, dalam bahasa laitinnya Ius
Contitutum. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku
di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu
dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanski yang datangnya dari badan atau
lembaga berwenang.
Pengantar Tata Hukum di Indonesia merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan hukum,
disamping pengantar ilmu hukum, karena baik pengantar tata hukum Indonesia maupun
pengantar ilmu hukum masing-masing mempunyai objek penyelidikan sendiri.
Jadi Tata Hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Negara
Indonesia. Tata hukum Indonesia juga terdiri atas aturan-auran hukum yang ditata atau
disusun sedemikian rupa, dan aturan-aturan itu antara satu dan lain saling berhubungan dan
saling menentukan. Oleh karenanya suatu aturan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat perlu diganti dengan yang baru. Perkembangan masyarakat tentu diikuti
perkembangan aturan-aturan yang mengatur pergaulan hidup sehingga tata hukum pun selalu
berubah-ubah, begitu pula tata hukum Indonesia.

C. Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia


Seorang yang mempelajari tata hukum Negara tertentu berarti mempelajari keseluruhan
peraturan yang berlaku di Negara itu atau mempelajari hukum positif Indonesia. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan dari belajar hukum ialah:
1. Mengetahui peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini disuatu wilayah Negara atau
hukum positif.
2. Mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatan mana yang
melanggar hukum.
3. Mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan kewajibannya.
4. Mengetahui sanski-sanski apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut melanggar
peraturan yang berlaku.

BAB 2
Sejarah Tata Hukum Indonesia

A. Zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dari Tahun 1602-1799


Upaya pemerintah Belanda menguasaidaerah jajahannya bukan semata-mata tujuan
politik dan pemerintahan, tetapi tidak terlepas dari upaya menguasai sector perekonomian
melalui pengusaan sektor perdagangan secara monopoli. Perusahaan dagang Belanda melalui
VOC diberikan hak memonopoli untuk pengelolaan hasil bumi melalui ekspor impor
komoditas strategis.
Hak-hak monopoli itu dilakukan melalui aturan hukum yang dibawa oleh Belanda antara
lain ketentuan hukum positif yang berlaku bagi orang Belanda dipaksakan belaku orang
Indonesia, seperti ketentuan hukum dagang dan asas-asas hukum Romawi.
Intervensi militer suatu Negara Eropa atau NATO ke beberapa Negara Arab dan Afrika
tidak semata-mata murni dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia (yang selama ini sering
dijadikan alasan pembenaran), tetapi sebenarnya pada negara-negara yang diintervensi itu
terdapat sumber-sumber minyak dan kekayaan alam lainnya yang perlu dikuasai demi
mendapat keuntungan yang lebih konkret di masa yang akan datang. Dan setelah intrevensi
selesai maka hukum-hukum Negara pemenang perang harus diberlakukan pada Negara yang
kalah, tentunya bersembunyi di balik demikratisasi hukum dan ekonomi.

B. Era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Tahin 1800-1811 dan Raffles (Inggris)
Tahun 1811-1814
Ketika pemerintahan Belanda melalui Gubernur Jendralnya Daendels dari tahun 1800-
1811, mencoba meneruskan ketentuan hukum yang diberikan sebelumnya. Politik hukum
seperti ini tentunya dimaksudkan agar pengusaan sektor ekonomi oleh pengusaha Belanda
tetap berjalan secara baik dan tidak menimbulkan persoalaan hukum yang baru. Hanya saja
ketika pemerintahan Belanda harus melepaskan pengusaan Indonesia kepada Inggris melalui
Thomas Stamford Raffles dari tahun 1811-1814. Inggris mencoba membuat kebijakan yang
menyangkut “hukum pertanahan” dengan menerapkan pajak bumi dan sewa tanah bagi warga
pribumi. Politik hukum ini dikenal dengan istilah “landrente”.
Selanjutnya, pemerintah Inggris melakukan pembenukan beberapa lembaga peradilan
yang terdiri dari:
1. Division’s Court
Lembaga ini adalah sejenis pengadilan yang berada ditingkat kewedanaan (kecamatan)
yang hakim nya terdiri dari para Demang dan Wedana untuk memeriksa perkara perdata yang
nilai perkaranya kurang dari 20 ropyen.
2. District’s Court
Lembaga ini adalah lembaga pengadilan dalam perkara perdata yang memeriksa perkara
yang nilainya antara 20 sampai 50 ropyen.
3. Resident’s Court
Lembaga ini bertugas memeriksa perkara pidana umumnya, tidak termasuka pidana yang
diancam dengan hukuman mati, dan memeriksa perkara perdata di atas 50 roypen atau
perkara besar yang diketuai oleh Residen.
4. Court of Circuit
Lembaga ini adalah pengadilan keliling untuk memeriksa perkara pidana yang diancam
dengan hukuman mati.

C. Era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Tahun 1814-1855


Belanda sebagai Negara jajahan tampaknya terpikat dengan konsep Negara monarchi
konstitusi sehingga berupaya membuat suatu konsep konstitusi yang kemudian menjadi
Nederlands Grondweti 1814. Selanjutnya Belanda pun melakukan kodifikasi hukum Prancis
adalah bagaimana Belanda membetukan Komisi Undang-undang yang kemudian
menghasilkan beberapa produk hukum yang juga berlaku di Indonesia sebgai daerah jajahan
Belanda. Produk Hukum ialah:
1. Peraturan Organisasi Pengadilan (Reglement of de Rechterlijk Organisatie, disingkat RO)
2. Ketentuan Umum tentang Perundang-undnagan (Algemene Bepalingen van Wetgeving
disingkat AB).
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek disingkat BW).
4. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel disingkat WvK).
5. Peraturan tentang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering
disingkat RV)

Di dalam Pasal 11 AB dijelaskan bahwa: Hukim harus menggunakan hukum perdata


Eropa (BW) bagi golongan penduduk Eropa dan hukum perdata adat bgai golongan lain
(bumiputera) dalam menyelesaikan perkara-perkara dualism (plularisme) hukum.
Konsekuensi dari ketentuan itu maka terjadi dualism hukum yang berlau di Hindia
Belanda, dan kesulitan dalam menentukan kriteria orang golongan Eropa dan golongan
pribumi. Akhirnya kriteria yang dipakai adalah perbedaan agama.

D. Era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1855-1929


Di Hindia Belanda dibentuk peraturan dasar tentang Tata Pemerintahan yang disebut
dengan Regerings Regelemnt (RR). Dalam pasal 75 RR mengatur tentang hukum yang
berlaku di Hindia Belanda sehingga kembali melahirkan dualisme hukum. Jika sebelumnya
perbedaangolongan dipergunakan status penjajah sebagai golonagn Eropa, dan golongan
yang terjajah sebagi golongan bumiputra (pasal 109 RR).
Perkembangan terakhir terjdi pda tahun 1920 dimana terjadi perubahan terhadap Regering
Reglemnt (RR baru) yang membagi penduduk menjadi tiga golongan yakni: Golongan Eropa,
Pribumi, dan Timur Asing (pasal 109).
E. Era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1929-1942
Pada tahun 1918 pemerintah Belanda membentuk Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat)
sebagai wadah rakyat pribumi untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah jajahan.
Volksraad diberi kewenangan untuk ikut serta dalam pembentukan undang-undang (sebagai
tertuang dalam perubahan II Grondwet Belanda tahun 1922 khususnya tentang tata
pemerintahan Hindia Belanda).
Kemudian Regerings Reglement (RR) diubah dan diganti menjadi Indische Staatsregeling
(IS) yang dalam pasal 131 IS (salinan pasal 75 RR) mendorong dilakukan legislasi di Hindia
Belanda. Perubahan hukum diatas ternyata tidak menghapus dualisme hukum. Hal ini
semakin kental terlihat dalam pasal 163 IS atau pasal 109 RR baru yang membedakan
penduduk menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Pribumi dan Timur Asing. Yang
termasuk dalam golongan Eropa adalah:
1. Semua orang Belanda
2. Semua orang yang berasal dari Eropa non Belanda
3. Semua orang Jepang
4. Semua orang (non 1,2,3) yang negaranya menerapkan hukum keluarga yang sama dengan
hukum Belanda.
5. Semua anak sah dari orang-orang yang termasuk poin 2,3 dan 4.
Yang termasuk golongan Pribumi adalah:
1. Penduduk asli Hindia Belanda
2. Golongan lain yang meleburkan diri dengan penduduk asli Hindia Belanda
Yang termasuk golongan Timur Asing adalah mereka yang tidak termasuk ke dalam
golongan Eropa maupun Golongan Pribumi (agar tidak ada penghuni Hindia Belanda yang
terlewatkan dari pembagian Golongan penduduk).

F. Masa Pendududkan Jepang Tahun 1942-1945


Pada masa pemerintahan Jepang berlaku peraturan Osamu Sirei (UU Bala Tentara
Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3: “Segala badan pemerintahan dan kekuasaanya, hukum
dan undnag-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal
saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintaha militer”. Dengan demikian, maka pasal
131 dan pasal 163 IS masih tetap berlaku. Hanya saja pemerintah Jepang melakukan
perubahan atas beberapa lembaga peradilan, yaitu antara lain dihapusnya dualism dalam tata
peradilan sehingga lembaga peradilan yang ada diberlakukan bagi semua golongan.
Berdasarkan hal tersebut, maka lembaga peradilan meliputi:
1. Hooggerechtshof, berubah menjadi Koto Hoy Hoin
2. Raad Van Justite, berubah menjadi Tiho Hoin
3. Landgerecht, berubah menjadi Keizai Hoin
4. Regentschapsgerecht, berubah menjadi Ken Hoi
5. Districtsgerecht, berubah menjadi Gun Hoi
G. Masa Kemerdekaan tahun 1945-sekarang
Setelah Indonesia merdeka dan memiliki UUD 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 (pra-amandemen) digariskan “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih
lagsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undnag-undnag dasar ini”.
Dengan demikian, seluruh peraturan hukum dan lembaga yang ada sebelumnya tetap belaku
dengan beberapa penyesuaian.
Pemerintahan Indonesia juga tetap memepertahankan unifikasi badan-badan peradila
diberlakukan bagi semua golongan penduduk.

BAB 3
Sejarah Tata Hukum Negara Lain

A. Sistem Hukum Malaysia

1. Konsep-konsep Hukum
Undang-undnag Dasar Malaysia memiliki sistem federal yang membagi kekuasaan
pemerintahan menjadi pemerintahan federal dan pemerintahan Negara bagian. Pembagian
kekuasaan ini tercantum dalam Undang-undang Dasar federal. Walaupun undnag-undnag
dasar menggunakan sistem federal, sistem ini berjalan dengan kekuasaan yang besar dari
pemerintaha pusat.
Beberapa kewenangan dari pemerintahan federal adalah urusan luar negeri, pertahanan,
keamanan, nasional, polisi, hukum perdata, dan pidana sekaligus produser dan administrasi
keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan industry, perkapalan,
navigasi dan perikanan, kominukasi dan transportasi, kinerja dan kekuasaan federal,
pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan social.
Undang-undang dasar federal membuat ketentuan mengenai beberapa hak dan kebebasan
tertentu, termasuk hak kebebasan individu, hak untuk beritahu alasan penahanan, hak untuk
mendapatkan penasihat hukum, dan dibebaskan dari penahanan tanpa penudaan. Diantara hak
dan kebebasan terdapat juga larangan perbudakandan kerja paksa; perlindungan dari hukum
pidana retrospektif dan peradilan yang berulang; persamaan hak di hadapan hukum dan
persamaan perlidungan di bawah hukum; kebebasan bergerak; larangan pengasingan,
kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat; kebebasan beragaman; dan hak untuk
tidak dirugikan oleh kemiskinan ini absolut.
Undang-undang dasar federal dapat diamandemen oleh undang-undang yang dikeluarkan
parlemen dikeluarkan parlemen jika di dukung tidak kurang dari 2/3 keseluruhan jumlah
anggota parlemen. Beberapa amandemen tertentu membutuhkan izin dari konferensi
penguasa.
2. Kepala Negara
Undang-undang dasar federal menjadikan raja sebagai kepala Negara federal (Yang
Dipertuan Agung). Raja dipilih oleh konferensi penguasa. Kewenangan federasi merupakan
hak raja dan dilaksanakan olehnya, kabinetnya atau seorang menteri yang diberi kewenangan
oleh kabinet. Ketika raja melaksanakan kewenangan eksekutifnya maka hal ini harus selaras
dengan nasihat yang diberikan oleh cabinet atau menteri yang diberi kewenangan oleh
cabinet. Ketika undang-undang dasar menuntut agar raja melaksanakan sebuah nasihat, raja
harus menerima nasihat tersebut dan berbuat sesuai dengan isinya.
Kepala Negara masing-masing 9 negara bagian adalah penguasa Negara bagian tersebuat.
Pengausa adalah seorang sultan di 7 negara bagian Malaya, Yang Dipertuan Besar di Negara
Sembilan, raja di Perlis, dan gubernur di Malaka, Penang,Sabah dan Sarawak.

3. Konferensi Penguasa
Konferensi penguasa terdiri dari penguasa 9 negara bagian Malaya dan gubernur-
gubernur Penang, Malaka, Sabah, dan Sarawak. Konferensi (tanpa 4 gubernur) berhak
memilih/mengangkat raja. Pengangatan hakim-hakim di pengadilan tinggi harus
mendapatkan konsultasi dari konferensi penguasa. Jendral auditor dan anggota-anggota
komisi pemilihan umum juga diangkat melalui konsultasi dari konferensi penguasa.

4. Parlemen dan Legislasi Negara


Parlemen federal, sebagimana tercantum dalam undang-undang dasar federal, terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat (Senat). Senat erdiri dari 70 anggota, masing-masing 2 perwakilan
Negara bagian yang terpilih oleh majelis legislatif Negara bagian tersebut, 2 perwakilan
wilayah Federasi Kuala Lumpur, dan masing-masing 1 perwakilan Wilayah Federasi Labuan
dan Putrajaya yang di tunjuk oleh raja, beserta 40 anggota yang juga ditunjuk oleh raja. Masa
menjabat selama dua masa jabatan.
Legislasi Negara bagian hanya memiliki satu majelis-majelis legislatif Negara bagian.
Majelis legislatif Negara bagian terdiri dari anggota yang dipilih pada pemilihan umum
Negara bagian dan dapat mengelurkan hukum yang berada di bawah daftra kekuasaan Negara
bagian.

5. Eksekutif
Badan eksekutif terdiri dari cabinet yang dibant badan pelayanan publik, polisi, dan
angkatan bersenjata. Perdana menterilah yang memimpin cabinet. Perdana menteri ditunjuk
oleh raja dan merupakan anggota dewan terpilih, yang dianggapraja diyakini memiliki
kemampuan memimpin Dewan Rakyat. Menteri cabinet dibantu oleh badan pelayanan
publik.

6. Proses Legislatif
Rancangan undang-undnag dapat bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat maupun
Senat. Rancangan undang-undang keuangan terkait dengan pajak atau pengeluaran Negara
hanya dapat bersumber dari Dewan Rakyat. Ketika Dewan rakyat dan Senat mengajukan
Amandemen dan disepakati, kemuadian rancangan undnag-undang tersebut diajukan kepada
raja untuk mendapatkan persetujuan. Raja memiliki waktu 30 hari untuk menyetujui/tidak
menyetujuai randangan undang-undang dasar tersebut.

7. Sumber Hukum
Terdapat empat sumber hukum pokok di Malaysia, yaitu Hukum Tertulis, Hukum
Kebiasaan, Hukum Islam dan Hukum Adat.
Prinsip aturan hukum yang dipraktikkan di Malaysia secara umum mengikuti hukum
administrasi Inggris sebagaimana dikembangkangkandalam pengadilan Malaysia. Keputusan
yang dibuat administrator dan pengadilan harus berada dalam lingkup kebijaksanaan atau
yurisdiksi yang diberikan.

8. Keamanan Internal
Undang-undang keamanan internal membolehkan polisi menahan seseorang tanpa surat
peritah atau tuduhan sampai 60 hari jika memang diperlukan, sebagi langkah preventif agar
orang tersebut tidah menggangu keamanan Malaysia atau pelayanan dan kepentingan
ekonomi berkaitan dengan Malaysia.

9. Hukuman Mati
Hukuman mati adalah sebuah ciri dalam hukum Malaysia yang digunakan untuk
menghukum pelaku pembunuhan, penyelundupan narkoba, kepemilikan senjata tanpa izin si
wilayah keamanan, atau penembakan senjata api dengan niat melukai atau membunuh
seseorang.

10. Affirmative Action dan Kebijakan Ekonomi Baru


Sejak tahun 1957, undang-mdamg dasar rederal Malaysia memberikan kuota bagi orang
Melayu dalam sektor pelauanan publik. Kota-kuota baru kemudian bermunculan sebagai
hasil adanya Kebijakan Ekonomi Baru yang diambil pada tahun 1969 menyusul kejadian
kerusuhan antar-ras. Kebijakan ini bertujuan untuk mengakat kedudukan penduduk Melayu
yang dianggap lebih lemah dalam kehidupan ekonomi.

11. Struktur Pengadilan Saat ini


a. Pengadilan Tinggi f. Pengadilan Pengulu
b. Pengadilan Banding g. Pengadilan Juvenile (anak)
c. Pengadilan Federal h. Pengadilan Syariah
d. Sessions Courts i. Pengadilan Pribumi
e. Megistrates Courts j. Pengadilan Lain
B. Sistem Hukum Singapura
Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan undang-undang,
institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya sulaman perca ala Singapura,
setiap helai sistem hukum itu dijalin bersama sedemikian sehingga membentuk kaleidoskop
yurisprudensi dan diikat dengan identitas nasional yang unik. Sistem hukum tersebut sudah
tentu akan menyebabkan suatu tekanan seperti tekanan yang dialami karena adanya
perubahan-perubahan social-ekonomi dan politik-hukum yang timbul seiring dengan
meningkatnya globalisasi dan regionalisasi. Karenanya, Singapura harus bereaksi dengan
cepat dan tangkas dalam membuat undang-undang dan intitusi-institusi baru, dalam membuat
undang-undang dan intitusi-institusi yang sudah ada.

1. Konstitusi
a. Undang-undang Tertinggi (Supreme Law)
Konstitusi adalah undang-undang tertinggi di singapura. Diamatkan bahwa setiap
peraturan yang bertentangan dengan Kontitusi adalah batal. Ketentuan-ketentuan dalam
kontitusi hanya dapat diubah berdasarkan persetujuan 2/3 suara dari jumlah total anggota
parlemen terpilih.

b. Hak-hak Fundamental
Konstitusi menetapkan hak-hak fundamentall tertentu, seperti kebebasan beragama,
kebebasan berbicara dan persamaan hak. Hak-hak individual ini tidaklah bersifat absolut
melainkan dibatasi oleh kepentingan umum seperti pemeliharaan ketertiban umum ras dan
agama golongan nasional.

c. Wewenang dan Fungsi Organ-organ Negara


Konstitusi megandung ketentuan-ketentuan yang secara tegas menentukan wewenang dan
tugas/fungsi berbagai organ Negara termasuk badan legislatif, bahan eksekutif, dan bahan
yudikatif.

d. Badan Legisatif
Tugas utama parlemen Singapura adlah menundangkan undang-undang yang mengatur
Negara. Proses pembuatan undang-undang dimulai dengan Rancangan Undang-Undang
(RUU) , yang biasanya disusun oleh pejabat-pejabat hukum pemerintah, RUU-RUU yang
berjenis private members jarang terdapat di Singapura. Selama masa diskusi dalam Parlemen
mengenai suatu RUU yang penting, kadang-kadang para Menteri melakukan pidato atau
presentasi yang megesankan dalam upaya mereka mempertahankan RUU tersebut dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan oleh para penentangnya. Para anggota
Parlemen dalam beberapa hal, dapat memutuskan untuk menyerahkan RUU tersebut kepada
suatu Komite Khusus agar memeriksa/membahas dengan seksama dan melaporkan hasilnya
kepada Parlemen.
e. Susunan Parlemen
Anggota Parlemen yang dipilih berasal para calon anggta yang memenangi pemilihan
umum yang diselenggarakan setiap 4-5 tahun. Dilain pihak, Anggota Parlemen yang tidak
dipilih tidak mempunyai hak dan suara dalam pengambilan suara/voting untuk perubahan-
perubahan konstitusional, RUU keuangan dan mosi tidak percaya pada pemerintah, Anggota
Parlemen yang tidak dipilih ini terdiri dari dua kategori yang berbeda, yaitu: Anggota
Parlemen Bukan dari Daerah Pemilihan dan Anggota Parlemen yang Dicalonkan.

f. Badan Eksekutif
Pemimpin Badan Eksekutif adalah Presiden Terpilih. Kualifikasi atau persyaratan untuk
jabatan kepresidenan sangtlah ketat. Di samping integritas, karakter baik dan syarat-syarat
lainnya, calon presiden diharuskan telah menduduki jabatan tinggi selama tidak kurang dari 3
tahun di posisi yang ditentukan secara konstitusionak, dewan resmi Negara, perusahaan besar
atau jabatan setingkat lainnya dalam organisasi atau departemen yang mempunyai ukuran
besar dan kompleksitas yang setara (baik dari sektor publik maupun swasta) yang telah
memberikan pengalaman dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan tanggung
jawab kepresidenan yang akan dipikulnya. Komite Pemilihan Presiden telah dibentuk untuk
memastikan agar persyaratan-persyaratan tersebut terpenuhi.

g. Kabinet
Kabinet, yang berada di bawah wewenang Perdana Menteri, bertanggung jawab secara
kolektif kepada Parlemen. Perdana Menteri adalah seseorang yang dipilih oleh Presiden
Terpilih, yang atas penilaian Presiden Terpilih dianggap akan dapat memperoleh kepercayaan
dari mayoritas Anggota Parlemen.

h. Para Penasihat Hukum Pemerintah


Untuk segi hukum, pemerintah dinasihati dan diwakili oleh Jaksa Agung dan Pengacara
Umum Negara baik untuk masalah-masalah perdata maupun pidana. Juga ada bagian-bagian
khusus dalam Kejaksaan Agung yang menangani perbuatan rancangan/konsep peraturan,
reformasi hukum, dan urusan-urusan internasional.

i. Badan Yudikatif
Tingkat efisiensi dan kekuasaan Badan Yudikatif Singapura yang sangat tinggi telah
memenangi penghargaan-penghargaan internasional dan reputasi internasional yang kuat.
Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding Permanen, yang menangani
kasus-kasus banding baik perdata maupun pidana, yang berasal dari Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Magistrat mempunyai wewenang yang sama dalam
penangan masalah-masalah tertentu seperti gugatan-gugatan yang mengandung unsur-unsur
kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-
tindakan untuk pengembalian uang.
C. Sistem Hukum Filipina

1. Struktur Pengadilan
Sistem hukuman Filipina saat ini terdiri dari kehakiman yang terintegritas. Sidang
pengadilan paling bawah terdiri dari siding pengadilan metropolitan, siding pengadilan kota,
dan siding pengadilan kota sirkuit. Pengadilan ini memutuskan perkara dalam batas yurisdiksi
yang sempit, termasuk pelanggaran terhadap peraturan setempat dan pelanggaran dimana
sanski tidak melebihi enam tahun, pada perkara perdata tidak melebihi P100.000.
Mahkamah Agung berkedudukan dipuncak sistem yudisial dan secara teori hanya
menerima pertanyaan berkaitan dengan hukum. Badan ini menimjau kembali pengajuan
banding di sidang pengadilan daerah dan pengadilan banding. Mahkamah Agung juga
memiliki wewenang untuk mengeluarkan writ (surat perintah kehakiman) luar biasa.

2. Struktur Hukum Pengadilan Filipina


Pengadilan Graft (Suap), Sandinganbayan, memiliki kewenngan untuk memperkarakan
dan memutuskan perkara-perkara berhubungan dengan pelanggaran terhadap undang-undang
Anti-Suap dan Praktik Korupsi, misalnya tindakan menyuap atau kejahatan lain yang
dilakukan oleh petugas publik berhubungan dengan tugasnya. Pengajuan banding atas
keputusan yang dibuat Sandinganbayan berujung pada mahkamah Agung pada beberapa
bidang yang didefinisikan secara khusus dalam kontitusi.
Pengadilan Syaria Sirkuit dan pengadilan Syaria Distrik memiliki yurisdiksi yang terbatas
pada populasi kaum muslim di Mindanao, dimana aturan-aturan kaum Muslin atas hukum
pribadi ditegakkan. Pengandilan Syaria memiliki yurisdiksi ekskusif atas beberapa hukum
pribadi dan keluarga, termasuk hak asuh, perwalian, urusan kebapakan, dan distribusi,
pembagian dan penyelesaian urusan tanah milik.

3. Konstitusi
Konstitusi Filipina tahun 1987 yang mengikut model AS, menetapkan tiga cabang
terpisah dalam pemerintah. Cabang eksekutif diketuai oleh presiden dan wakil presiden yang
terpilih melalui pemilihan umum secara terpisah untuk masa jabatan enam tahun. Karena
mereka dipilih secara terpisah, mereka tidak mesti menjadi anggota partai yang sama. Cabang
legislaatif yang bicameral (terdiri dari dua dewan) terdiri dari Senat yang beranggotakan 24
orang, dan dipilih secara luas, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 260 orang
yang dipilih melalui penunjukan distrik-distrik.
Bahan kehakiman terdiri dari Makhamah Agung yang beranggotakan 15 orang, yang
menerima perkara dalam pembagian tiga divisi yang dibagi antara lima anggota masing-
masing konstitusi menyediakan sebuah sebuah perjanjian hak asasi manusia di Amerika
Serikat dengan sejumlah bentuk perlindungan kebebasaan tambahan. Bertambah uatnya
pengadilan diikuti oleh pengadilan yng semakin besar. Dan dengan kekuasaan yang semakin
besar maka semakin besar pula sorotan pengadilan oleh pihak pers. Pengadilan mendapatkan
popularitas dan legitimasi yang cukup tinggi langsung setelah tercetusnya revolusi 1981.
BAB 4
Sistem Hukum di Dunia

A. Sistem Hukum Civil Law


Civil Law merujuk pada suatu sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar
Negara Eropa Barat, Amerika Latin, Timur Dekat, sebagian besar Afrika, Indonesia dan
Jepang. Sistem ini diturunkan dari Hukum Romawi Kuno, dan pertama kali diterapkan di
Eropa berdasarkan jus civile Romawi yaitu hukum privat yang diaplikasikan kepada warga
Negara dan diantara warga Negara. Sistem Hukum ini juga disebut jus guiritium sebagai
lawan sistem jus gentium untuk diaplikasikan secara internasional, yakni antarnegara.
Dalam sistem hukum civil law istilah “code” (undang-undang) adalah sekumpulan
klausula dan prinsip hukum umum yang otoritas, komprehensif dan sistematis yang dimuat
dalam Kitab atau Bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab
itu, peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utma, dimana semua sumber hukum
lainnya menjadi subordinatnya, dan sering kali dalam masalah hukum tertentu satu-satunya
menjadi sumber hukumnya.

B. Sistem Hukum Common Law


Sistem common law memiliki tiga karakter, yaitu pertama yurispredensi dianut sebagi
sumber hukum yang utama, kedua dianutnya prinsip stare decisis, dan ketiga dianutnya
adversary system dalam peradilan. Sistem ini berasal dari Inggris (dalam sistem ini tidak ada
sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di
pengadilan/keputusan pengadilan). Hukum Inggris karena keadaan geografis dan
perkembangan politik serta social yang terus-menerus, dengan pesat berkembang menurut
garisnya sendiri, pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika.
Secara lebih teinci Peter de Cruz menjelaskan karakter sistem hukum common law
sebagai berikut:
1. Hukum dalam sistem common law dilandasi oleh perkara akan berbasis perkara yang
diselesaikan melalui penalaran logis.
2. Hukum dilandari oleh doktrin preceden yang hierarkis.
3. Sumber hukum pada umumnya adalah undang-undang dan kasus
4. Gaya hukumnya lebih khusus dan banyak mengandalkan inprovisasi serta pragmatis
5. Tidak ada perbedaan antara hukum public dan privat.

C. Sistem Hukum Sosialis


Sistem hukum sosialis adalah hukum dari Negara-negara yang pemerintahannya secara
resmi memandang Negara tersebut sebagai sosialis atau bergerak dari kapitalisme menuju
sosialisme, dan menganggap sebuah masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya.
Sumber hukum dalam sistem hukum sosialis adalah Keputusan Tertinggi para penguasa
berupa produk kebijaksanaan pemerintah atau Negara. Intinya tidak ada sumber hukum
resmi, karena:
1. Hukum adalah penguasa Negara
2. Hukum membela rakyat proletar
Quegley merangkum fitur-fitur hukum sosialis sebagai berikut:
1. Hukum sosialis diprogramkan untuk lenyap secara perlahan-lahan bersamaan dengan
hilangnya hak kepemilikan privat dan kelas-kelas social serta transisi menuju sebuah
tatanan social komunistik.
2. Negara-negara sisoalis didominasi oleh sebuah partai politik tunggal.
3. Di dalam sistem sosialis hukum disubordinasikan untuk menciptakan sebuah tatanan
ekonomi baru dimana didalamnya hukum privat diabsorbsi oleh hukum publik.
4. Hukum sosialis memiiki sebuah karakter pseudo religious.
5. Hukum sosialis lebih bersifat prerogative ketimbang normatif.
Kelompok Negara yang mempergunakan sistem hukum sosialis adalah dibagi menjadi
dua kelompok yaitu:
1. Yurisdiksi sosialis yang lebih tua, seperti Polandia, Bulgaria, Hungaria, Cekoslowakia,
Romania, Albania, RRC, Korea Utara, Vietnam, Mongolia dan Kuba.
2. Kelompok Hukum Sosialis yang baru adalah Kamboja, Laos, Muzambik, Somalia,
Angola, Ethopia dan Ghana.

D. Sistem Hukum Islam


Dalam sistem hukum islam terdapat empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijma’ Ulama
4. Ijtihad
Sumber hukum Ijtihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1. Qiyas, menurut bahasa arab berarti menyamakan, membandingkan atau megukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang smama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti
mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain.
2. Al-Istishan, menurut bahasa berarti menggap yang baik tehadap sesuatu. Menurut ahli
ushul fiqih, istishan ialah meninggalkan qiyas jaly (jelas) untuk berpindah kepada qiyas
kafi (samar-samar) atau dari hukum kully (umum) kepada hukum juz’I atau istisna’i
(pengecualian) karena adanya dalil yang membenarkan perpindahan itu istihsan.
3. Sad Zariah’I secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau
jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian Sad zariah berarti menutup jalan yang
mencapaikan kepada tujuan atau membawa kebinasaan.
4. Istislah, menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau
dalam arti menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan.
5. Istishbah, didefinisikan sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan
sekarang itu berkonsekunsi bahwa ia tetap ada sekarang atau dimasa datang”.
6. Maslahah Mursalah, yaitu pencapaian suatu hukum sering kita mendengar istilah demi
kemaslahatan umum atau dalam dunia ushul fiqih dikenal dengan istilah maaslahah al-
ammah.
7. Urf, adalah apa yang biasa dilakukan oleh manusia dalam muamalah dan menjalankan hal
tersebut.

Keistimewaan Hukum Islam:


1. Universal (Internasional/menyeluruh)
2. Humanity (Insaniah/Kemanusian/penuh kasih)
3. Morality (Akhlak)
Karakteristik Hukum Islam:
1. Harakah (Utuh)
2. Waqatah (Harmoni)
3. Takamul (Sempurna)

E. Sistem Hukum Masyarakat Eropa


Sistem hukum masyarakat Eropa yang didasari lahirnya Perjanjian Paris tahun 1951 dan
Perjanjian Roma Tahun 1957 telah melahirkan suatu fondasi bagi lahirnya “commom law
Eropa”, sebuah peraturan yang telah diimplementasikan baik oleh intitusi yang merancang
perjanjian maupun oleh agensi pembentuk dan penegak hukum dari Negara anggota, artinya
hukum ini dapat diberlakukan jika memang dapat diinginkan oleh para individu dari Negara-
negara anggota.
Sistem hukum masyarakat Eropa semakin menjadi sebuah peraturan tunggal bagi Uni
Eropa setelah dilakukan beberapa kali amandemen Perjanjian Roma sehingga melahirkan
“Single Europe Act 1986” yang ditandatangani di Luxemburg dan mulai berlaku pada 1 Juli
1987 yang sering disebut SEA.
Negara Eropa pada umumnya menganut dua prinsip yaitu Monoisme yang dalam
konstitusinya, bahwa kebiajakan hukum internasional memiliki sifat superior terhadap
kewajiban-kewajiban hukum nasional, dan Dualisme, dimana hanya ada sejumlah status
terbatas yang diberikan kepada peraturan internasional. Adapun mesin “legislative dan
yudikatif” Uni Eropa terdiri dari empat institusi, yaitu:
1. Council of Minister (Dewan Menteri)
2. European Commission (Komisi Masyarakat Eropa)
3. European Parliament (Parlemen Eropa)
4. European Court of Justice (Mahkamah Peradilan Eropa)
BAB 5
Hukum Perdata

A. Sejarah Hukum Perdata


Sejak tahun 1813 pemerintah Belanda telah berupaya menyusun suatu kitab undang-
undang yang sesuai dengan kebutuhannya sebagai Negara merdeka dan berdaulat. Usaha
pertama yang dilakukannya adalah membentuk panitia yang bertugas menyusun rancangan
kodifikasi hukum Belanda. Panitia tersebut diketuai oleh Mr.J.M. Kemper. Pada tahun 1816
rancangan kodifikasi itu selesai dikerjakan dan diserahkan ke DPR atau parlemen untuk
dibahas, tetapi rancangan tersebut mendapat kecaman dari para ahli hukum yang
berkebangsaan Belgia. Kecaman tersebut disebabkan karena rancangan itu sebagian besar
dari hukum Belanda Kuno, sedangkan pada ahli hukum yang berkebangsaan Belgia
menghendaki agar rencana itu sebaiknya mencontoh Code Napoleon.
Setelah mengalami perubahan dan penambahan, maka rancangan dari Mr.J.M. Kemper
disampaikan kembali ke DPR atau parlemen pada 22 November 1820 untuk dibahas dalam
tingkat lanjutan. Kembali rancangan itu mendapat kecaman, khususnya dari P.T.H. Nicolai
(Ketua Pengadilan Tinggi Luik) yang kebetulan berkebangsaan Belgia, karena rancangan itu
dianggap masih saja mencerminkan hukum Belanda Kuno.
Konsep tersebut belum juga mendapat persetujuan sampai Kemper meninggal dunia pada
tahun 1824. Oleh sebab itu, penyusunan konsep hukum perdata Belanda dilanjutkan di bawah
pemimpin P.T.H. Nicolai.
P.T.H. Nicolai adalah seorang berkebangsaan Belgia yang sejak semula gigih
memperjuangkan agar undang-undang hukum perdata Belanda mencontoh Code Napoleon.
Oleh sebab itu, konsep undang-undang hukum hukum perdata yang disusun oleh Kemper
diubahnya dengan memasukkan asas hukum perdata Belanda. Banyak ahli hukum
berpendapat bahwa rancangan yang dibuat oleh P.T.H. Nicolai itu adalah tiruan belaka dari
hukum perdata Prancis. Meskipun demikian rancangan tersebut ternyata diterima dan
disahkan oleh parlemen atau DPR menjadi undang-undang dengan nama Burgerjilk Wetboek
(BW) dan mulai berlaku 1 Oktober 1838.

B. Dasar Berlakunya Hukum Perdata di Indonesia


Adapun yang menjadi dasar berlakunya BW di Indonesia adalah pasal 1 aturan peralihan
UUD tahun 1945, yang berbunyi “segala peraturan perundang-undangan yang masih tetap
berlaku selama belum diadakannya aturan”.

C. Pengertian Hukum Perdata


Ada beberapa pendapat tentang pengertian Hukum Perdata, diantaranya:

1. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengatakan Hukum Perdata adalah hokum yang
mengatur kepentingan antara warga Negara perseorangan dengan warga Negara
perseorangan lain nya.
2. Wirjono Prodjodikoro, Hukum pidana adalah suatu rangkaian hokum antara orang-
orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan kewajiban.
3. Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur
hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain didalam hubungan keluarga
dan didalam pergaulan masyarakat.
4. Asis Safioedin, Hukum Perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan
hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain (antara
subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain) di dalam masyarakat dengan
menitik beratkan kepada kepentingan perorangan.

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hukum Perdata itu
adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum yang satu dengan
orang/badan hukum yang lain dalam masyarkat dengan menitikberatkan kepentingan
perseorangan (pribadi) badan hukum.

D. Sistematika Hukum Perdata


KUH Perdata (Burgerlijke Wetbeok) sebagai sumber dari hukum perdata terdiri dari atas
empat buku, yaitu;

1. Buku I : Perihal Orang (van personen atau personen recht).


2. Buku II : Perihal Benda (van zaken). dalam KUHP Pasal 499, yang dinamakan
kebendaan ialah, tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
3. Buku III : Perihal perikatan (van verbintennissen), yang memuat hukum harta
kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak kewajiban yang berlaku
bagi orang-orang atau pihak tertentu.
4. Buku IV : Perihal pembuktian dan kadaluarsa atau lewat waktu (van bewijsen
verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat
lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Disamping pembagian diatas, dalam ilmu hukum bahwa objek kajian hukum perdata
dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Hukum Perorangan (person recht), ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang


subjek hukum hak dan kewajiban dan kedudukan seorang dalam hukum;
2. Hukum Keluarga (familirecht), ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
hubungan lahir antara dua orang yang berlainan jenis kelamin (dalam perkawinan) dan
akibat hukumnya;
3. Hukum Kekayaan (vermogen recht), ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
hak-hak perolehan seseorang dalam hubungan denagn orang lain yang mempunyai nilai
uang.
4. Hukum Waris (erfrrecht), ketentuan ketentuan hukum yang mengatur tentang vara
pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada orang yang berhak
memilikinya.
BAB 6
Hukum Pidana

A. Pengertian Hukum Pidana


Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan
apa yang dilarang dan termaasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa
yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Menurut Prof. Moeljatni, S.H., Hukum pidana adalaah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk;

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam halhal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
4. Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang menganut
tentang kejahatan dari pelanggaran terhadap keptingan umum dan perbuatan tersebut
diancam dengan pidana yang merupakan penderitaan.

Dengan demikian, hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan
sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya
norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan norma kesusilaan.

Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain:

1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103)


2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488)
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569)

Ada juga beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat
setelah kemerdekaan antara lain:

1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigasi


2. UU No. 9 Tahun 1967 tentang Narkoba
3. UU No. 16 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme dan lain-lain.

Ketentuan-ketentuan Hukukm Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-
undangan lainnya, seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta dan sebagainya.
B. Asas-asas Hukum Pidana
Di dalam hukum pidana dikenal beberapa asas-asas hukum pidana, yaitu:
1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan (Pasal 1 ayat 1 KUHP)
2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah
melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.
3. Asas territorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia belaku atas semua peristiwa
pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah territorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di Negara asing.
4. Asas Nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
WNI yang melakukan tindak pidana di mana ia berada.
5. Asas Nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
tindak pidana yang merugikan kepentingan Negara Indonesia.

C. Macam-macam Pembagian Delik


Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam:
1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya sengaja merampas jiwa orang lain
(pasalDelik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya sengaja merampas jiwa orang lain
(pasal38 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya orang lain
mati dalam lalu lintas di jalan (pasal 359 KUHP).
2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang, mislanya melkukan pencurian
atau penipuan (pasal 362 dan 378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya
dilakukan menurut undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang
merencanakan makar.
3. Kejahatan (Buku II KHUP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada
atau tidak adanya larangan dalam undang-undang. Karena itu disebut delik hukum.
4. Pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru
karena adanya larangan dalam undang- undang. Karena itu disebut delik undang-undang.

D. Macam-macam Hukum Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam 10 KUHP
ditentukan jenis-jenis yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:

Hukuman-hukuman Pokok:

a) Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat Negara-negara yang telah
menghapuskan bentuk hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri
hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun
masih banyak pro-kontranya terhadap hukum ini.
b) Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara
seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan
maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan
wajib melakukan pekerjaan yang ada dalam maupun diluar penjara dan terpidan tidak
memiliki Hak Vistol
c) Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan
dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasqanya terhukum
dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman
kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak
dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau, sedangkan pada
hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan
kepada terpidana penjara ebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus
dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan memiliki Hak Vistol (hak
mengubah nasib), sedangkan hukuman penjara tidak demikian.
d) Hukuman denda, dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antar denda dan
kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 bulan.
e) Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadao
orang-orang yang telah melakukan kejahtan yang diancam dengan hukuman penjara
oleh KUHP.

Hukuman Tambahan:

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus


disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain;

a) Pencabutan hak-hak tertentu;


b) Penyitaan barang-barang tertentu.
BAB 7
Hukum Dagang

A. Sejarah Hukum Dagang


Pada Tahun 1807 Kaisar Napoleon di Prancis mengkodifikasikan dua Kitab Undang-
undang Hukum:
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Prancis
2. KItab Undang-undang Dagang Prancis
Kebetulan pada saat itu Belanda dijajah oleh Prancis (1809-1813) sehingga hukum
Prancis itu diberlakukan di Belanda sesuai dengan Asas Konkordasi. Tapi pada 1 Oktober
1838 Belanda berhasil membuat Burgerlijk Wetboek (KUP Perdata) dan Wetboek Van
Koophandel (KUH Dagang).
Kemudian karena saat itu (tahun 1838 indonesia sedang dijajah oleh Belanda) maka
Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel diberlakukan di Indonesia sejak 1848
yang diterjemahkan dengan nama KUH Perdata (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD).

B. Pengertian Hukum Dagang


1. M.Ikhsan, mendefinisikan hukum dagang adalah hukum yang mengatur masalah
perdagangan, yaitu masalah yang timbul karena tingkah laku manusia dalam
perdagangan/perniagaan.
2. Purwosutjipto mengartikan hukum dagang sebagai hukum perikatan yang timbul dalam
lapangan perusahaan.
3. CST. Kansil, menyamakan hukum dagang dengan hukum perusahaan, sehingga hukum
perusahaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan
perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan.
4. Sunaryati Harton, lebih khusus lagi mensinonimkan hukum dagang dengan hukum
ekonomi, yaitu keseluruhan peraturan putusan pengadilan dan hukum kebiasaan yang
menyangkut pengembangan kehidupan ekonomi.
5. Munir Faudi mengartikan Hukum Bisnis, suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang tata cara pelaksanaan urusan kegiatan dagang, industry atau keuangan yang
dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan
uang dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan optik adalah untuk mendapatkan
keuntungan tertentu

C. Sumber-sumber Hukum Dagang

Sebagimana dengan hukum-hukum lain yang berlaku di Indonesia memiliki sumber


material, maka di dla hukum dagang juga dijumpai beberapa sumber hukum, yaitu:
1. Yang tertulis dan dikodifikasi, yaitu KHUD dan KUH Perdata.
2. Yang tertulis dan tidak dikodifikasi, yaitu seluruh perundangan-undangan tentang
perdagangan.
3. Tidak tertulis yaitu kebiasaan.
D. Pembantu-pembantu Perusahaan
1. Pembantu di Dalam Perusahaan
Pekerja-pekerja di dalam lingkungan perusahaaan adalah:
a. Pimpinan Perusahan
Seorang pimpinan perusahan adalah seorang kuasa dari pemilik perusahaan (pengusaha),
ia menggantikan pengusaha dalam segala hal dan oleh karena itu ia menjadi kepala
seluruh perusahaan itu, ia merangkap sebagai pekerja pada si pengusaha dan wakilnya.
Kedudukan nya sama dengan ledudukan seorang direktur PT. ia pun memimpin
perusahaan itu atas nama pengusaha, ia dianggap berkuasa untuk semua tindakan yang
timbul dari perusahaan itu kecuali jika kekuasaannya dibatasi.
b. Pemegang Prokurasi
Pemegang Prokurasi adalah juga seorang kuasa dari sipengusaha yang menolong dan
meringankan seperti mewakili perusahaan itu di muka hakim, meminjam uang, menarik
dan mengakseptir surat wesel, mewakili pengusaha dalam hal menandatanganni
perjanjian dagang, menandatangani surat keluar, dan lain-lain.
c. Pedangan Keliling
Pedangan keliling ini erat kaitannya dengan majikan karena pedangan berkeliling adalah
perantara untuk menditribusikan barang-barang produksi. Hubungan hukum yang
dilakukan antara majikan dengan pedagang keliling adalah perjanjian kerja.

2. Pembantu di Luar Perusahaan


a. Agen Perniagaan (Commercial Agent)
Menurut asal 1601 KHUS, agen perniagaan orang yang memunyai erusahan untuk
memberikan perantaran pada pembuatan persejawatan tertentu dan perusahaan yang
diwakilinya. Agen ini tidak terikat karena perburuhan,l melainkan perjanjian untuk
melakukan pekerjaan.
Agen perniagaan berdiri sendiri dan tidak berkedudukan sebagai pekera secara prinsipnya
agen sebagai perantara juga berdagang untuk kepentingan sendiri.
Arti penting dari kedudukan agen perniagaan adalah adanya hubungan tetap dengan
perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang-barang itu sehingga perusahaan-
perusahaan itu tidak akan menjual barang-barang itu melalui perusahaan lain, disini dijumpai
dalam praktik dikenal dengan agen tunggal disebut Sole Agent.
Hubungan tetap dengan perusahaan-perusahaan dapat berupa:
1) Perusahaan itu membeli barang-barang itu untuk perhitungannnya sendiri dengan
mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya kembali.
2) Perusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memprodusir barang-barang itu.
3) Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk menemui pembeliannya dan
mengusahakan suatu penawaran pembelian.
b. Makelar (Broker)
Menurut pasal 62 KUHD, makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh
gubernur jendral (seorang presiden) atau pembesar yang oleh gubernur jendral dinyatakan
berwenang untuk itu.
Seorang makelar dapat diangkat oleh pembessar lain daripada gubernur jendral yang
menurut L.N 1986/479 adalah kepala pemerintahan daerah. Pengangkatan makelar menurut
pasal 65 ayat 1 KHUD ada dua macam yaitu:
1) Pengangkatan yang bersifat umum, yaitu untuk segala jenis lapangan atau cabang
perniagaan.
2) Pengankatan yang bersifat terbatas, yaitu bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis-
jenis lapangan/cabang perniagaan apa mereka perolehkan menyelenggarakan
permakelaran meraka missal, wesel, efek-efek, asuransi, dan lain-lain.
Makelar sebagi pedagang perantara yang dalam melakukan pekerjaannya memperoleh
izin dari pemerintah dan disumpah oleh pengadilan negeri yang tugasnya berupa
menyelenggarakan perusahaan dengan jalan membuat transaksi bagi pihak pemberi kasus
dengan cara menjual, membeli barang, saham, serta mengusahaankan asuransi dengan
menerima upah atau provisi.
Adapun tugas-tugas pokok makelar sebagai berikut:
1) Memberi perantara dalam jual beli.
2) Menyelengarakan lelang terbuka dan lelang tertutup.
Lelang terbuka adalah penjualan kepada umum dimuka pegawai yang diwajibkan untuk
itu (notaris atau juru sita). Lelang tertutup adalah tawaran dilakukan rahasia.
3) Menaksir untuk bank hipotek dan maskapai asuransi.
4) Mengadakan monster-monster (contoh) barang yang akan diperjualbeikan.
5) Menyortir party-party yang akan diperjualbelikan.
6) Memberikan keahlian dalam hal kerusakan dan kerugian.
7) Menjadi wasit dan arbiter dalam hal perselisihan tentang kualitet.
Kesimpulan makelar adalah seorang yang mempunya perusahaan dengan tugas menutup
persetujuan-persetujuan atas pemerintah dan atas nama orang-orang dengan siapa ia tidak
mempunyai pekerjaan tetap.

c. Komisioner (Factory)
Pengertian komisioner menurut pasal 76 KHUD adalah orang yang menyelenggarakan
perusahaan untuk mengadakan atas perintah dan perhitungan orang lain yang disebut
komiten, akan tetapi persetujuan tidak dilakukan atas nama komitennya, melainkan atas nama
sendiri atau firmanya dan dengan ini menerima upah yang disebut provisi atau komisi.
Berlainan dengan makelar, maka seorang komisioner tidaklah disyaratkan pengankatan
resmi dan penyumpahan oleh pejabat tertentu dalam menjalnkan pekerjaan ia
menghubungkan pihak pembantu kuasanya (komiten) dengan pihak-pihak ketiga dengan
namanya sendiri.
Hubungan pihak ketika dengan komisioner adalah hubungan para pihak dalam perjanjian
dimana komiten tidak dapat menggugat pihak ketiga, sedangkan pihak ketiga tidak perlu tahu
untuk siapa komisioner bertindak, tetapi semua biaya yang dikeluiarkan oleh komisioner
untuk melaksanakan perjanjian harus ditanggung oleh komikten (Pasal 76&77).
Berakhirnya pemberian kuasa perjanjian komisioner adalah sebagai berikut:
1) Meninggalnya si pemberi/penerima
2) Dicabutnya pemberian kasus
3) Pengembalian pemberi kasus oleh pemegang kuasa
4) Pengampun, failit tidak mampu.
Tugas pekerjaan komisioner dalam hal jual beli:
1) Menerima, menyimpan, mengasuransikan barang-barang milik primsipalnya.
2) Membayar ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk kepentingan barang-bnarang tersebut.
3) Menjual barang-barang tersebut dengan harga setinggi-tingginya.
4) Menagih pendapatan penjual dan mengirimkan perhitungan kepada prinsipalnya.
5) Membayar kepada prinsipalnya yaitu pendapatan kotor setelah barang dan komisi.

Hak-hak yang dimiliki komisioner:

1) Hak retensi, hak komisoner untuk menahan barang komiten, bila provisi dan biaya yang
lain belum dibayar.
2) Hak nistimewa, hak istimewa komisoner terhadap barang komiten yaitu, hak untuk
menjual, hak untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang, dan hak untuk dibeli
dan diterimanya untuk kepentingan lain.

E. Surat Berharga
Surat berharga adalah sepucuk surat yang bernilai uang, serta memberikan hak kepada
pemegangnya atas apa yang tercantum di dalamnya. Dan surat berharga itu mudah dan dapat
diperdagangkan.
Perkembangan surat berharga komersial ini di Indonesia diawali pada tahun 1980 di mana
pemerintah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan deregulasi pada sektor riel, sektor
finansial, sektor investasi dimana surat berharga komersial ini adalah merupakan salah satu
bentuk pengembangan pasar finansial. Dimana selanjutnya pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/52/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia
No. 49/52/UPG yang masing-masing bertanggal 11 Agustus 1995 tentang “Persyaratan
Perdagangan dan Penerbitan Surat Berharga Komersial” melalui bank umum di Indonesia,
dimana dengan adanya peraturan tersebut maka bank umum di Indonesia mempunyai
pedoman yang seragam serta memiliki dasar hukum yang kuat terhadap keberadaan surat
berharga komersial.

F. Hukum Pengangkutan
1. Hukum Pengantukutan Laut
Hukum pengankutan laut terdiri dari:
Hukum Perkapalan (Pasal 309 KUHD) yang secara substansi membahas tentang jenis-
jenis kapal, kebangsaan kapal, kepemilikan kapal, pendaftaran kapal, nahkoda dan anak-
anak buah kapal (pasal 341 KHUD) dan Perjanjian Kerja Laut 1601 KUHP, 465 KUHD.
Hukum Pengangkutan Laut terdiri dari: Pencarteran Kapal (Pasal 453-465 KUHD), carter
waktu dan carter perjalanan, Perenteraan dalam carter (455 KUHD), Pengangkutan
barang (466 KUHD dan The Hague Rules 1921), Pengangkutan Orang (522 KHUD).
Hukum Kerugian Laut yang meliputi materi: Kapal Karam (545-568 KUHD), Kapal
Terdampar (Traktat Brussel 1910) dan AVARAI/AVARIE/AVARAGE/AVARIJ (696-740
KHUD).

2. Hukum Pengangkutan Udara


Hukum Pengangkutan Udara di Indonesia diatur dalam UU No.1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan yang mengganti UU No. 15 Tahun 1992.
Dalam undnag-undang yang baru tersebut diatur secara lengkap tentang bagaimana
persyaratan seorang mendirikan usaha penerbangan komersial, tarif penumpang, bagaimana
seharusnya angkutan udara beroperasi di dalam dan diluar negeri dan asuransi terhadap
penumpang dan barang yang diangkut.

3. Hukum Pengangkutan Darat


Dengan ada nya hukum pengangkutan darat yang salah satunya terdapat di UU Nomor 22
tahun 2009 melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh dijelaskan bahwa tujuan yang
hendak dicapai oleh undang-undang ini adalah:
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan jalan yang aman, selamat, tertib,
lancer, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional,
memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuam bangsa serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

G. Harta Kekayaan Perusahaan


Harta perusahaan itu bias yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Yang berwujud
biasanya seperti segala sesuatu yang berupa barang baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam harta kekayaan perusahaan yang tidak wujud yang biasanya disebut hak atas kekayaan
intelektual.

H. Hak Kekayaan Intelektual


Dalam ilmu hukum, kekayaan milik intelektual dimasukkan dalam golongan hukum harta
kekayaan khususnya hukum benda yang mempunyai objek benda intelektual, yaitu benda
yang tidak berwujud. World Intellectual Property Organization (WIPO) merumuskan
intellectual Property sebagai organisasi internasional yang mengurus perlindungan terhadap
hasil karya manusia baik hasil karya yang berupa aktivitas dalam ilmu pengetahuan, idustri,
kesustraan, dan seni. Ruang lingkup hak atas Kekayaan Intelektual seperti dirumuskan oleh
WIPO mempunyai arti luas yang mencakup, antara lain: karya kesustraan, pertunjukan oleh
para artis, ilmu pengetahuan, penyiaran audi artistic dan penemuan ilmu.
Menurut WIPO, Hak atas Kekayaan Intelektual dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Hak Cipta (Copyrights)
Dalam pasal 12 UU Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:
a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan
semua hal karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau music dengan atau lampa teks;
e. Drama, atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomin;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
patung, seni pahat, kolase, dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.

2. Hak atas Kekayaan Industri


Menurut pasal 1 Konvensi Paris mengenai Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri
tahun 1883 yang telah direvisi dan diamandemen pada 2 Oktober 1979 yang biasa disebut
dengan Konvensi Paris, perlindungan hukum kekayaan industry adalah:
a. Paten (Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten)
b. Hak Merek (Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek)
c. Indikasi Geografi dan Indikasi Asal
d. Hak Desain Industri

I. Hukum Pertanggungan
Pertanggung ialah: suatu perjanjian timbal balik, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk
memberikan suatu pergantiaan kerugian kepadanya, karena suatu kerusakan atau kehilangan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan mungkin akan dideritanya, karena suatu
peristiwa tak tentu (Pasal 266 KUHD).
Di dalam KUHD Pasal 247 dibedakan beberapa jenis pertanggungan yaitu:
1. Pertanggungan terhadap bahaya kebakaran;
2. Pertanggungan terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum panen;
3. Pertanggungan terhadap jiwa;
4. Pertanggungan terhadap bahaya laut;
5. Pertanggungan terhadap bahaya yang mengancam pengangkutan di darat dan diperairan
darat.

Disamping itu, dikenal pula beberapa istilah pertanggungan yaitu:


1. Pertanggungan dibawah nilai penuh; (pasal 253 ayat 2)
2. Pertanggungan Premier resque Pasal 253 ayat 3;
3. Reasuransi Pasal 271 KUHD;
4. Pertanggungan persekutuan (gemeenschaps verzekering) Pasal 278 KUHD;
5. Pertanggungan saling menanggung.
Selain itu, terdapat juga jenis pertanggungan yang tidak diebut dalam Undang-undang,
tapi banyak dipraktikkan, yaitu:
1. Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran;
2. Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan;
3. Pertanggungan kecelakaan;
4. Pertanggungan tanggung jawab terhadap pihak ketiga;
5. Pertanggungan krediat.
Di Indonesia banyak dijumpai usaha pertanggungan atau asuransi antara lain:
1. Asuransi kebakaran;
2. Asuransi pengangkutan laut;
3. Asuransi pengangkutan sungai, daratan, dan udara;
4. Asuransi kendaraan bermotor;
5. Pertanggungan jumlah/asuransi jiwa;
6. Pertanggungan kecelakaan diri.
BAB 8
Hukum Ketenagakerjaan

A. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan


Asal mula adanya Hukum ketenagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase jika
dilihat dari abad ke-120 SM, ketika bangsa ini mulai ada sudah dikenal adanya sistem
gotong-royong, antara anggota masyarakat, dimana gotong-royong merupakan suatu sistem
pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk
menisci kekurangan tenaga.
Pada masa pendudukan Hindia Belanda kasus perbudakan semakin meningkat, perlakuan
terhadap budak sangat keji dan tidak berprikemanusiaan. Satu-satunya penyelesaiannya
adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia merdeka. Baik sosiologis maupun
yuridis dan ekonomis,
Tindakan belanda dalam mengatasi kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan staatnlad
1817 N0. 42 yang berisikan larangan untuk memasukkan budak-budak ke pulau jawa.
Kemudian tahun 1818 ditetapkan sebagai suatu UUD HB 1818 berdasarkan Pasal 115 RR
menetapkan bahwa paling lambat pada 1 Juni 1960 perbudakkan dihapuskan.

B. Bentuk Perjanjian Kerja


Dalam praktik dikenal dua bentuk perjanjian, yaitu:
1. Tertulis, diperuntukkan perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya
kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang dibuatnya itu meninginkan dibuat secara
tertulis, agar adanya kesepakatan hukum.
2. Tidak tertulis, bahwa perjanjian yang oleh undang-undang tidak disyaratkan dalam
bentuk tertulis.

C. Asas Hukum Ketenagakerjaan


Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah artinya asas pembangunan
ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional khususnya asas
demokrasi pancasila serta asas adil dan merata.

D. Pengertian dan Pengembangan Hukum Ketenagakerjaan


Hukum Ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam ilmu hukum pada umumnya dan
hukum perburuhan pada khususnya. Menurut UU No.13 Tahun 2003, pengertian
Ketenagakerjaan adalah lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam
KUHP. Namum, demikian pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang
ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa undang-undang yang dikeluarkan sebelum
dikeluarkan UUNo. 13 Tahun 2003.
E. Hakikat dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Secara yuridis hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah sama, walaupun secara
social-ekonimi kedudukan antara pekerja dan pengusaha adalah berbeda. Dan segala sesuatu
mengenai hubungan kerja diserahkan kepda kedua belah pihak, oleh karena itu untuk
memenuhi rasa keadilan perlu ada peraturan perundang-undangan untuk melindungi pekerja.
Peraturan mana adalah mengatur tentang hak dan kewajiban diantar kedua belah pihak.

F. Hubungan Kerja dan Norma Kerja


1. Perjanjian Kerja dan Hubungan Internasional
Dalam Hukum ketenagakerjaan memang belum dapat diberikan pembatasan yang jelas
tentang definisi dari hubungan kerja, namun dapat diperoleh pengertian bahwa: Hubungan
kerja itu timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian kerja, dimana pekerja atau serikat
pekerja disatu pihak mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan pada pengusaha atau
organisasi pengusaha di lain pihak selama suatu waktu, dengan menerima upah.
Peraturan yang mengatur perjanjian kerja adalah sebagaimana diatur dalam KUHP
tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Sedangkan dalam Hukum Perdata Pasal 1313
dijelaskan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih
mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Definisi perjanjian klasik,
“perjanjian adalah perbuatan hukum bukan hubungan hukum (sesuai pasal 1313 perjanjian
adalah perbuatan)”.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja


Subjek dari perjanjian kerja adalah orang-orang yang terikat oleh perjanjian yang
dibuatnya hak dan kewajiban subjek kerja, dimana hak merupakan suatu tuntutan dan
keinginan yang diperoleh oleh subjek kerja (pengusaha dan pekerja), sedangkan kewajiban
adakah para pihak, disebut presentasi.

3. Berakhirnya Perjanjian Kerja


Alasan berakhirnya perjanjian kerja adalah:
a. Pekerja meninggal dunia;
b. Berakhir karena jangka waktu dalam perjanjian;
c. Adanya putusan pengadilan/putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial;
d. Adanya keadaan atau kejadian yang dicantumkan dalam perjanjian kerja;
e. Pemutusan hubungan kerja.

4. Sistem Pengupahan
Dipandang dari sudut nilainya upah dibedakan antara upah nominal dengan upah riil:
a. Upah nominal adalah jumlah yang berupa uang;
b. Upah riil adalah banyaknya barang yang dapat dibeli oleh jumlah uang itu menurut cara
menetapkan upah dibagi ke dalam sistem-sistem pengupahan, sebagai berikut:
1) Sistem upah jangka waktu;
2) Upah yang ditetapkan menurut jangka waktu pekerja melakukan pekerja;
3) Sistem upah potongan.

G. Peraturan Perusahaan
Kesepakatan Kerja adalah perjanjian perburuhan antara pekerja atau serikat dengan
pengusaha atau organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud oleh UU No.13 Tahun 2003.
Istilah Kesepakatan Kerja merupakan perubahan istilah perjanjian perburuhan atau perjanjian
kerja pencerminan Hubungan Industrial Pancasila.
Kesempatan Kerja merupakan salah satu sarana pendukung pelaksanaan Hubungan
Internasional Pancasila yang dari waktu ke waktu perlu ditingatkan kuantitas maupu
kualitasnya.

1. Perjanjian Kerja Bersama


Pembuatan PKB selain harus diajukan oleh salah satu pihak, juga harus diikuti oleh
iktikad baik, jujur, tulus, dan terbuka.

2. Pembinaan Norma Kerja


Pemerintah membina perlindungan kerja termasuk norma kerja yang meliputi:
perlindungan tenaga kerja yang berkaitan engan waktu kerja, sistem pengupahan, istirahat,
cuti, pekerja anak dan wanita, tempat kerja, perumahan, kesusilaan, beribadat menuru agama
dan kepercayaan yang diakui oleh pemerintah, kewajiban social, dan sebagainya.

H. Perlindungan Tenaga Kerja


1. Keselamatan dan kesehatan Kerja
Pengusaha diwajibkan untuk mengatur dan memelihara tempat kerja yangmenyangkut
ruangan, alat, perkakas dimana pekerja melakukan tugasnya, termasuk petunjuk-petunjuk
bagi pekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja. Terhadap perusahaan yang tidak
mengindahkan hal ini, maka mereka wajib mengganti rugi apabila terjadi musibah terhadap
pekerja.

2. Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja


Tenaga kerja sebagai salah satu unsur pembangunan yang mempunyai kegiatan produktif
perlu mendapat perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan tterhadap kesejahteraannya.

3. Perlindungan Upah
Sistem pengupahan ditujukan kepada sistem pembayaran upah secara keseluruhan tidak
termasuk uang lembur. Sistem ini didasarkan atas prestasi kerja dan tidak dipengaruhi oleh
tunjangan-tunjanganyang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja. Pembayaran upah
diberikan dalam bentuk uang, namun tidak mengurangi kemungkinan pembayaran dapat
berupa barang yang jumlahnya dibatasi.
I. Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja
1. Perselisihan Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan
Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja selama ini belum
mewujudkan menyelesaikan perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah sehingga
dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2004.
Menurut undang-undang ini penyelesaian perselisihan hubungan industrial diupayakan
jalan damai melalui musyawarah dan sejauh mungkin dihindarkan pemutusan hubungan
kerja.

2. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Penyelesaian perselihan hubungan internasional berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004, telah
ditetapkan prinsip-prinsip terciptanya suatu penyelesaian yang didasarkan atas musyawarah
untuk mencapai mufakat, sehingga penyelesaian tersebut sedapat mungkin tidak
menimbulkan konflik antara para pihak.

3. Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja


Pemutusan hubunga kerja sedapat mungkin harus dicegah, akan tetapi apabila hal ini
tidak dapat dihindari maka pengusaha harus merundingkan maksud dan tujuan dari
pemutusan hubungan kerja dengan serikat pekerja atau kepada pekerja secara perorangan
kalau mereka tidak menjadi anggota dari serikat pekerja. Hal lain yang harus diperhatikan
dalam pemutusan hubungan kerja adalah:
a. Pengusaha harus mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pekerja yang akan di
PHK.
b. Mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasan
kepada pengadilan hubungan internasional.
c. Sebelum adanya penetapan, maka masing-masing pihak tetap melakukan kewajiban.
d. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap hal di atas berupa tindakan skorsing
kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK.
BAB 9
Hukum Tata Negara

A. Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli


Sebelum membahas secara singkat tentang Hukum Tata Negara, terlebih dahulu kita
mengetahui definisi Hukum Tata Negara, berikut definisi menurut para Ahli:
1. Menurut Scolthen, Hukum Tata Negara adalah Hukum yang mengatur organisasi
daripada Negara (het recht dat regel de stastsorgansatie).
2. Menurut Van der pot, Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan
badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing-masing, hubungan satu dengan
yang lainnya dan hubungannya dengan individu-individu.
3. Menurut Muh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara dapat dirumuskan
sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada Negara,
hubungan antaralat perlengkapan Negara dalam garis vertical maupun horizontal, serta
kedudukan warga Negara dan hak asasinya,

Dari berbagai pandangan tersebut kemudia Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa:


1. Hukum Tata Negara adalah ilmu yang termasuk salah satu cabang ilmu hukum yaitu
hukum kenegaraan yang berada di ranah hukum publik.
2. Definisi Hukum Tata Hukum Negara telah dikembangankan oleh para ahli sehingga
tidak hanya mencakup persoalaan kajian orang-orang Negara, fungsi dan mekanisme
hubungan antar organ-organ Negara tersebut, tetapi mencakup persoalan yang terkait
dengan mekanisme hubungan antara organ negera itu dengan warna Negara.
3. Hukum Tata Negara itu sendiri tidak hanya merupakan recht (hukum) atau ret (norma
hukum tertulis), tetapi juga lehre atau teori sehingga pengertiannya apa yang mencakup
sebagai vefassungrecht (hukum konstitusi).
4. Hukum Tata Negara itu sendiri dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari
Negara dalam keadaan diam maupun mempelajari Negara dalam keadaan bergerak.

B. Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan
sebagainya, yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa
tertentu.
Menurut Sudikno Mertokusumo yaitu terbagi atas dua hal:
1. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari nama materi itu diambil. Sumber hukum
materiil ini merupakan factor yang membantu pembantukan hukum, misalnnya hubungan
social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan
keagamaan, kesusilan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaaan
geografi dan lain-lain.
2. Sumber Hukum Formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memporelah kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber
hukum formal selain UU, perjanjian antarnegara, yurisprudensi dan kebiasaan.
 Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia
Sebagaimana kita ketahui terdapat beberapa hal yang menjadi sumber Hukum Tata
Negara Indonesia sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 4. Peraturan Pemerintah
2. Ketetapan MPR 5. Keputusan Presiden
3. Undang-undang/peraturan 6. Peraturan Pelaksana Lainnya
pemerintah pengganti undang- 7. Konvensi Ketatanegaraan
undang 8. Traktat atau Perjanjian

C. Bentuk Produk Hukum di Indonesia


Pada 20 Agustus 1959 Presiden bersurat ke Ketua DPR dengan Surat No.2662/HK/1959
dengan merujuk pentingnya peraturan lain, yaitu:
1. Penetapan Presiden untuk 4. Keputusan Presiden untuk
melasanakan Dekrit Presiden 5 Juli meresmikan Pengangkatan Jabatan.
1959. 5. Peraturan Menteri dan Keputusan
2. Peraturan Presiden. Menteri untuk mengatur hal-hal yang
3. Peraturan Pemerintahan. menyangkut bidangnya masing-
masing.

Akhirnya untuk menertibkan tata urutan perundang-undangan itu maka Majelis


Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan No. XIX/MPRS/1966
jo Ketetapan No. XX/MPRS/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundangan RI sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar RI 1945; 5. Keputusan Presiden
2. Ketetapan MPR; 6. Peraturan Pelaksaan Lainnya
3. Undang-Undang/PERPU; (Permen, Intruksi menteri dan lain-
4. Peraturan Pemerintah; lain)

Pada tahun 2000, dengan maksud menertibkan produk hukum yang dikeluarkan oleh
Orde Baru, maka MPR mengeluarkan Ketetapan No.II/MPR/2000 yang mengatur tata urutan
perundang-undangan sebagi berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945; 5. Peraturan Pemerintah;
2. Ketatapan MPR; 6. Keputusan Presiden;
3. Undang-Undang; 7. Peraturan Daerah.
4. Perpu;

Kemudian dengan UU No. 10 Tahun 2004 kembali dilakukan perbaikan mengenai jenis
dan hieraksi Peraturan Perundang-undangan sebagi berikut:
1. UUD RI Tahun 1945;
2. Undang-Undang/PERPU;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
BAB 10
Hukum Adat

A. Tujuan Mempelajari Hukum Adat


Tujuan praktis: Hukum adat masih digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya
dalam perkara waris. Secara factual, masih banyak terdapat eksistensi kehidupan indigenous
people di pelosok pedalaman nusantara.
Tujuan strategis: Hukum adat sebagai hukum asli bangsa merupakan sumber serta bahan
potensial untuk pembentukan hukum positif Indonesia dan Pembangunan tata hukum
Indonesia.

B. Pengertian Hukum Adat


Menurut Hilman Hadikusuma, istilah adat berasal dari bahasa Arab yang berarti
kebiasaan. Dan istilah “Hukum Adat” secara akademis pertama kali merupakan istilah asing,
hasil terjemahan dari istilah Adatrecht diperkenalkan pertama kali oleh Prof.Dr.Christian
Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (1894).
Menurut Van Vollenhoven: Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi
orang-orang pribumi dan timur asing, yang di satu pihak mempunyai sangsi Konsep Hukum
Adat (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).
Yang paling menarik tentunya adalah pendapat Djojodigoneo yang mengartikan hukum
adat adalah ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang
Indonesia asli yaitu sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih.
Selanjutnya Kusumadi mengartikan hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat
huku melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para petugas hukumbaik dalam maupun di
luar sengketa hukum ini sebagai existential moment.
Dr.Sukarto menyatakan bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan
tidak dikitabkan/dikodifisir, bersifat paksaan dan memiliki sangsi, sehingga mempunyai
akibat hukum.
Mencermati konsep hukum adat seperti terurai diatas jelaslah betapa perbedaan makna
hukum adat dengan segala prantaranya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mendalam
dalam masyarakat Indonesia yang komunal dan religious. Sementara itu, tentang konsep
hukum menurut pemikiran barat memandang individu sebagai makhluk yang merdeka dan
setiap individu memiliki kepentingan yang diusahakan untuk selalu dipenuhi secara
maksimal, dan untuk pemenuhan kepentingan itu diperlukan usaha sanksi untuk
menjaminnya. Pengenaan sanksi semata-mata untuk menjaga keseimbangan dunia dan
masyarakat (mikro dan makro kosmos).
Meskipun hukum adat hidup dalam masyarakat tradisional, namun yang menakjubkan
perkembangan hukum adat di Indonesia begitu pesat bahkan begitu kuat dianut dan patuhi
oleh masyarakat. Perkembangan yang kuat dan pesat itu tidak lain disebabkan oleh beberapa
hal:
1. Faktor kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.
2. Faktor magis dan animism.
3. Faktor agama.
4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing yang memberikan penghargaan
Selanjutnya yang sangat menarik dari hukum adat bagaimana masyarakat hukum adat
sangat petuh dan taat kepada hukum adat melebihi patuh pada hukum Negara. Hal itu
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Faktor kesadaran empiris masyarakat dimana hukum adat itu dalam kenyataan
memberikan suasana harmoni, ketenangan, pengayoman dan keadilan.
2. Adanya unsur psikologis terdapat adanya keyakinan rakyat bahwa adat tersebut
mempunyai kekuatan hukum, sehingga menimbulkan adanya kewajiban hukum.

Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, fleksibel, dan inovasi, ini dikarenakan
hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan).

C. Masalah yang Diatur dalam Hukum Adat


Ada beberapa masalah pokok yang menjadi kajian hukum adat,yaitu:
1. Persekutuan Hukum, dimana masyarakat Indonesia mempunyai hubungan erat atas
keturunan (geneologis) maupun persekutuan yang disebabkan oleh factor territorial,
atauoun keterikatan warga disebabkan faktor geneologis dan territorial.
2. Hukum tanah, transaksi-transaksi tanah, transaksi-transaksi yang ada hubungannya
dengan tanah
3. Hukum atas perumahan, tumbuh-tumbuhan dan ternak, dimana hak milik atas rumah dan
ternak itu terpisah dari pemilik tanah, asas ini disebut pemisahan vertical.
4. Hukum kekeluargaan yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anak dengan orang
tuanya, antara anak dengan keluarga, pemeliharaan anak piatu, dan pengakatan anak
(adopsi).
5. Hukum perkawinan yang mengatur prosesi pertunangan, pelaksanaan perkawinan, dan
perceraian.
6. Hukum waris yang akan membahas harta peninggalan yang tidak dibagi harta (harta
pusaka), harta benda yang dibagi, harta benda keluarga, barang keramat, dan barang
keluarga, barang persekutuan, utang dan kedudukan janda.
BAB 11
Hukum Agraris

A. Pengertian Hukum Agraris


Menurut Undang-undang Pokok Agraria: bahwa hukum agraria merupakan suatu
keompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber daya alam yang terdiri dari:
1. Hak penguasaan atas tanah (Hukum Tanah);
2. Hak penguasaan atas air (Hukum Pengairan);
3. Hak atas pengusaan bahan galian (Hukum Pertambangan);
4. Hak atas pengusaan kekayaan alam yang terkandung di dalam air (Hukum Perikanan);
5. Hak atas pengusaan tenaga dan unsur-unsur yang ada di luar angkasa.
Secara teoritis Hukum Agraria adalah keseluruhan hukum baik tertulis maupun tidak
tertulis yang semua objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.

B. Politik Hukum Pertanahan


Jika meilhat perjalanan sejarah, bahwa politik hukum pertanahan di Indonesia mengalami
perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan sistem politik dan kekuasaan yang ada.
1. Pada masa Orde Lama Politik Pertahanan di Indonesia, dengan keluarnya UUNo. 2 Tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan
luas tanah pertanian yang secara ideologis bertujuan untuk terciptanya pemerataan
kepemilikan tanah, akan tetapi menimbulkan konflik antara petani penerima distribusi
tanah dengan pemilik tanah asli.
2. Pada masa Orde Baru, Politik Pertahanan menganut ideology pertumbuhan ekonomi
dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN No. 15 Tahun 1975 dan
PMDN No. 2 Tahun 1976. Akan tetapi, implikasi atas pengaturan itu menimbulkan
pemusatan penguasaan tanah pada segelinitr orang, khusunya para pemodal kuat yang
didukung Negara (terutama kroni-kroni penguasa).
3. Pada masa Penjajahan, bahwa dominasi kekuasaan atas tanah berada pada Gubernur
Jendral, baik menyewakan tanah kecuali tanah-tanah untuk perluasan kota, kegiatan usaha
kerajinan, tanah milik orang pribumi, tanah kepunyaan desa dan tanah asal pembentukan
hutan.

Politik pertahanan penjajahan diatas tentunya sangat menguntungkan perusahaan yang


dimiliki kaum penjajah yang banyak bergelut di bidang pertanian dan hasilnya dikirim ke
Belanda. Sementara rakyar pribumi menjadi miskin dan menderita.

C. Sejarah Pembentukan UUPA


Sejarah Indonesia merdeka, maka muncul tuntutan agar dibuat suatu hukum agrarian yang
lebih memihak rakyat. Tuntutan ini tampaknya mendapat sambutan pemerintah, yaitu dengan
dibentuknnya beberapa kepanitian sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogyakarta dibentuk dengan Penpres No.16 Tahun 1948 yang diberi
tugas merancang dasar-dasar hukum tanah nasional. Panitia mencoba menyusun asas-asas
hukum tanah nasional, yaitu menghapus asas domein dan mengakui hak ulayat, mengatur
asas kepemilikan minimum tanah yaitu tanah seluas 2 Ha untuk daerah Jawa dan
maksimum 10 Ha untuk daerah Jawa.
2. Tugas Panitia Yogyakarta ternyata digantikan dengan Panitia Agraris Jakarta dengan
Kepres No. 36 Tahun 1951. Panitia Agraria Jakarta mengakomodir beberapa rekomendasi
dari Panitia Agraria Yogyakarta dengan beberapa penambahan yaitu batas maksimum
kepemilikan tanah untuk satu keluarga adalah 25 Ha serta tetap mengakui eksistensi hak
ulayat.
3. Panitia Soewahjo dibentuk dengan Kepres No. 1 Tahun 1956 untuk menindaklnjuti
Panitia Agraria Jakarta. Adapun hasil perumusan dan rekomendasi dari Panitia ini adalah
sebagai berikut:
Hapus asas domein verkling dan mengakui hal ulayat.
Diakui Hak Menguasai Oleh Negara.
Hak Menguasai berfungsi social sehingga melahirkan Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai.
Hak Milik hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia.
Tanah harus dikerjakan sendiri.
Tanah harus didaftarkan
Melahirkan Rancangan UU Agraria.
4. Dibentuk Panitia Soenarjo menggantikan Panitia Soewahjo dengan terus
menyempurnakan RUU yang sudah ada dan mengajukan ke DPR pada 24 April 1958.
Dalam RUU ini secara tegas memberikan tempat istimewa kepada hukum adat sebagai
dasar hukum agrarian nasional. Akhirnya RUU ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun
1950 pada 24 September 1960.

D. Dampak UUPA dalam Pembangunan Hukum Agraria


Dengan disahkannya UU Agraria yang baru, maka perkembangan hukum agrarian di
Indonesia menunjukkan jiwa nasinalisme karena ibuat oleh pembentuk undang-undang
Indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, subtansi UUPA yang
berakar pada hukum adat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarkat, demi
tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat, dengan tidak melupakan kepastian hukum atas
tanah.
Hak Ulayat sebagai hak masyakarat hukum adat masih diakui dalam UUPA sepanjang
hak ulayat itu masih ada, dan pelaksanaannya diatur dan disesuikan dengan kepentingan
nsional dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu,
untuk menghindari penafsiiran tentang eksistensi hal ulayat itu maka dikeluarkan lah
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang eksistensi
hak ulayat sebagai hak yang perlu dilindungi sepanjang pada daerah itu masih ada
masyarakat hukum adat, dan hukum adat itu masih ditaati oleh warga hukum adat itu.
E. Hak Atas Tanah
Dalam UUPA diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang
atau badan hukum sehingga penerima hak akan dapat mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut.
Meskipun demikian , pemilik hak tidak dapat secara sewenang-wenang mempergunakan
haknya tersebut. Untuk hal itu maka dalam UUPA dilarang menggunakan hak atas tanah itu
apabila:
1. Apabila dipergunakan bertentangan dan merugikan orang lain;
2. Dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukannya, misalnya hak untuk pertanian dipakai
untuk bangunan, atau sebaliknya HBG dipergunakan untuk pertanian.

Macam-macam Hak Atas Tanah:


1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun yang dapat diteruskan pada ahli warisnya. Hak ini
merupakan hak tertua dan terkuat karena memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dan
merupakan induk dan hak-hak lainnya. Hapusnya Hak Milik disebabkan oleh beberapa
hal yaitu:
a. Tanahnya jatuh pada Negara yang disebabkan karena pencabutan hak, penyerahan
sukarela, diterlantarkan, ketentuan Ps 21 (3) dan 26 (2).
b. Tanahnya musnah,
2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan dan
peternakan. Jangka waktu HGU adalah maksimum 25-35 tahun dan dapat diperpanjang
maksimum 25 tahun lagi (PP N0. 40 tahun 1996). Hapusnya HGU, hak pakai maupun
Hak Guna Bangunan dapat disebabkan beberapa hal:
a. Jangka waktu berakhir; e. Ditelantarkan;
b. Dibatalkan sebelum jangka f. Tanah musnah;
waktu berakhir karena sesuatu g. Pemegang HGU, HGB, Hak
syarat tidak dipenuhi; Pakai tidak memenuhi syarat
c. Dilepaskan secara sukarela; sebagai Subjek.
d. Dicabut berdasarkan UU No. 20
Tahun 1961;

Dengan hapusnya hak-hak diatas maka pemegang hak harus menyerahkan tanah pada
Negara, wajib membongkar bangunan dan benda di tasnya atas biaya sendiri.
1. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangaka waktu paling lama 30
Tahun.
2. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari lahan yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lainyang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau pengelolaan tanah.
F. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 Peraturan
Kepala BPN No. 3 Tahun 2007.
Pembagunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah
daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah
meliputi:
1. Jalan umum, dan jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, diruang atas tanah, ataupun di
ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
3. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta apai dan terminal;
4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain bencana;
5. Tempat pembuangan sampah;
6. Cagar alam dan cagar budaya;
7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik;
Untuk melakukan pengadaan tanah demi kepentingan umum itu maka pemerintah harus
membentuk PANITIA PENGADAAN TANAH (PPT) yang dibentuk untuk membantu
pengadaan tanah bagi pelaksanaaan pembangunan.

G. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan,
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yurudis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Asas pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
1. Sederhana, maksudnya ketentuan dan prosedur mudah dipahami.
2. Aman, maksunya diselenggarakan secara teliti dan vermat sehingga hasilnya dapat
menjamin kepastian hukum.
3. Terjangkau, maksunya terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
4. Mutakhir, maksunya kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.
5. Terbuka, maksudnya masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang
benar setiap saat.
Melalui pendaftaran tanah akan mempermudah dalam penerbitan suatu sertifikat atas
tanah tersebut. Pasal 32 PP No. 24 Thn 1997: bahwa Sertifikat merupakan surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
BAB 12
Hukum Administrasi Negara

A. Pengertian Hukum Administasi Negara


Hukum Administrasi adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan timbal balik
antara pemerintah dan rakyat (J.M. Baron de Gerando). Peraturan-peraturan khusus, yang
disamping hukum perdata berlaku umum, mengatur cara-cara organisasi Negara ikut serta
dalam lalu lintas masyarakat (J.H.A. Logemann).
Istilah Administrasi berasal dari bahasa Administrare, yang artinya adalah setiap
penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud
mendapatkan sesuatu ikhtisar keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu
dengan yang lain.
Administrasi Negara memusatkan perhatiannya pada kerja sama yang dilakukan lembaga-
lembaga pemerintah. Dengan demikian pula, ilmu administrasi Negara dapat diartikan
sebagai ilmu yang memperlajari kegiatan kerja sama dalam organisasi atau intitusi yang
bersifat public yaitu Negara.
Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara menjadi empat, yaitu:
1. Hukum Peraturan Perundangan
2. Hukum Tata Pemerintahan
3. Hukum Kepolisian
4. Hukum Acara Peradilan, yang terdiri dari:
a. Peradilan Ketatanegaraan
b. Peradilan Perdata
c. Peradilan Pidana
d. Peradilan Administrasi

B. Keputusan Tata Usaha Negara


Dalam Hukum Administrasi Negara dijumpai beberapa istilah terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara, yaitu ada yang mempergunakan istilah Besckhiking atau ketetapan ada yang
mempergunakan istilah keputusan.
Istilah ketetapan dapat diartikan atau terpisah dengan Ketetapan MPR, sedangkan
Ketetapan MPR termasuk dalam bidang politik sehingga dapat dinilai kedudukannya terlalu
tinggi. Ketetapan dalam administrasi/alat-alat perlengkapan Negara hanya merupakan
peraturan pelaksanaan dalam bidang administratif saja.
Ketetapan Administrasi Negara merupakan huum public bersegi satu yang dilakuan oleh
badan/pejabat pemerintah berdasarkan kekuasaan istimewa. Beberapa pendapat tentang
ketetapan:
1. Van Der Wel mengatakan ketetapan adalah suatu perbuatan hukum oleh suatu alat
pemerintahan dengan maksud untuk menimbulkan atau menolak suatu hubungan hukum.
2. Prins mengatakan, ketetapan adalah suatu tindakan hukum sepihak dibidang
pemerintahan yang dilakukan oleh alat-alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus.
3. A.M. Donner mengatakan, ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh
alat pemerintahan berdasarkan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku umum.
4. Stellinga, ketetapan adalah keputusan sesuatu alat pemerintahan yang isinya terletak
didalam lapangan, pembuatan peraturan, kepolisian dan pengadilan.
5. Menurut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 (3)
menyebutkan Keputusan Tata Usaha adalah suatu penetapan tertulis yang dilakukan oleh
badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undanga yang berlaku yang bersifat konkret, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Suatu ketetapan harus memenuhi syarat-syarat agar ketetapan itu menjadi sah, yaitu:
1. Dibuat oleh alat/pejabat yang berwenang.
2. Tidak boleh kekurangan yuridis.
3. Bentuk dan cara sesuai dengan peraturan dasar.
4. Isi dan tujuannya sesuai dengan peraturan dasar.
5. Menimbulkan akibat hukum.

C. Lapangan Pekerjaan Administasi Negara


Awalnya sangat sulit menentukan batas domain administrasi Negara, terutama sekali
dalam menentukan mana yang termasuk tugas membuat undang-undang dalam lapangan
kehakiman , karena pada waktu itu belum dikenal “pemisahan Kekuasaan”, karena seluruh
kekuasaan berada di tangan raja. Tapi setelah abad ke-17 timbullah aliran baru yang
menghendaki agar kekuasaan Negara dipisahkan dari kekuasaan raja dan diserahkan kepada
tiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri terpisah yang
satu dari yang lainnya seperti yang telah dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu.
Prajudi Atmosudirdjo (1994: 61) mengemukakan bahwa untuk keperluan studi ilmiah,
maka ruang lingkum atau lapangan hukum administrasi Negara meliputi:
1. Hukum tentang dasar-dasardan prinsip-prinsip umum daripada administrasi Negara.
2. Hukum tentang organisasi dari administrasi Negara.
3. Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari administrasi Negara, terutama yang bersifat
yuridis.
4. Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi Negara, terutama mengenai kepegawaian
Negara dan keuangan Negara.
5. Hukum adminitrasi pemerintahan daerah atau wilayah.
6. Hukum tentang peradilan Administrasi Negara.

D. Hubungan Hukum Adaministrasi Negara dengan Ilmu Lainnya


1. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara
Mr. Dr. Romeyn menyatakan bahwa hukum tata Negara menyinggung dasar-dasar
daripada Negara, sedangkan hukum administrasi Negara adalah mengenai pelaksanaan
tekniknya. Pendapat Romeyn ini dapat diartikan bahwa hukum administrasi Negara adalah
sejenis hukum yang melaksanakan apa yang telah ditentukam oleh hukum tata Negara dan
sejalan dengan teori Dwi Praja dari Donner, maka hukum tata Negara itu menetapkan tugas,
sedangkan hukum administrasi Negara itu melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh
hukum tata Negara.
2. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana
Romeyn berpendapat bahwa hukum pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu
bagi hukum administrasi Negara, karena penetapan sanski pidana merupakan satu sarana
untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di
dalam perundang-undangan administrasi dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana.

3. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata


Hukum Adminstrasi Negara menurut Oppenheim adalah sebagai peraturan-peraturan
tentang Negara dan alat-alat perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum Negara dalam
keadaan bergerak). Sedangkan Utrecht mengatakan bahwa hukum administrasi Negara ialah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab, maka Negara berfungsi. Dengan
kata lain, hukum administrasi Negara merupakan sekumpulan peraturan yang memberi
wewenang kepada administrasi Negara untuk mengatur masyarakat, alat-alat perlengkapan
atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warga Negara).
BAB 13
Hukum Persaingan Usaha

A. Latar Belakang UU No. 5/1999


Krisis moneter yang berlanjut kepada krisis ekonomi pada 1997 telah melahirkan
kesadaran kita betapa lemahnya fundamental ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan oleh
antara lain kurang tepatnya kebijakan ekonomi yang kemudian menyebabkan pasar
terdistorsi, dan mengakibatkan harga pasar tidak merepleksikan hukum penawaran dan
permintaan yang riil. Proses pembentukan harga sepihak oleh produsen, tanpa memerhatikan
yang mereka tawarkan kepada konsumen.
Keadaan perekonomian seperti inilah pada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata
kembali kegiatan usaha di Indonesia yang keliru di masa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh
dan berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha sehat, serta
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu, antara
lain monopili dan persaingan tidak sehat merugikan masyarakat, dengan membuat Undang-
Undang Persaingan Usaha.

B. Mengapa Hukum Persaingan Usaha Penting


Disamping mencegah terjadinya praktik monopili, maka keberadaan Hukum Persaingan
Usaha dipandnag penting untuk tujuan yang lebih luas yaitu:
1. Persaingan memaksa perusahaan untuk menekan biaya menjadi lebih rendah.
2. Persaingan memaksa perusahaan untuk selalu menciptakan produk baru dan berinovasi.
3. Persaingan memaksa terciptanya pelayanan yang lebih baik.
4. Menguntungkan konsumen.
5. Persaingan perlu adanya aturan main, karena terkadang tidak selamanya mekanisme pasar
dapat bekerja dengan baik (adanya informasi yang asimetris dan monopili0.
6. Dalam pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menghindari atau
menghilangkan terjadinya persaingan diantara mereka
7. Berkurangnya atau hilangnya persaingan memungkinkan pelaku usaha memperoleh laba
yang jauh lebih besar.
8. Persaingan perlu adanya aturan main, karena terkadang tidak selamamnya mekanisme
pasar dapat bekerja dengan baik (adanya informasi yang asimetris dan monopili)
9. Dalam pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menhindari atau
menhilangkan terjadinya persaingan di antara mereka.
10. Berkurangnya atau hilangnya persaingan memungkinkan pelaku usaha memperoleh laba
yang jauh lebih besar.

C. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha


Hukum Persaingan Usaha berdasarkan Demokrasi Ekonomi dengan memerhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum (pasal 2),
menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di
dalam proses produksi atau pemasaran barang atau jasa.
Tujuan pembentukan undang-undang ini merupakan penjabaran dari asas Demokrasi
Ekonomi, yaitu:
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
3. Mengcegah praktik monopili dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Tujuan uatama hukum persaingan usaha adalah:
1. Agar persaingan antarpelaku usaha tetap hidup
2. Agar persaingan yang dilakukan antarpelaku usaha dilakukan secara sehat.
3. Mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi.
4. Efisiensi ekonomi.
5. Meningkatkan kesejahteraan konsumen.

D. Kedudukan Hukum Persaingan dalam Sistem Hukum Indonesia


Hukum Persainga Usaha merupakan bagian dari Hukum Ekonomi. Bahkan dari sudut
materi diperlukan kajian secara interdisipliner dan transnasional. Selain mempelajari ilmu
hukum ekonomi khususnya ekonomi industry sehingga dengan bantuan ilmu ekonomi akan
dapatdipahami secara baik hukum persaingan usaha.

E. Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha


1. Rule og Reason (ROR) dan Per se ILLEGAL (Ps)
Konsep rule of reason menegaskan bahwa untuk melihat apakah suatu perbuatan yang
dituduhkan melanggar hukum persaingan usaha, maka harus dilihat ada tidaknya akibat dari
satu perbuatan yang melanggar hukum persaingan itu telah terjadi (pasal 4 ayat 1).
Sedangkan pada konsep per se illegal ditegaskan bahwa rumusan mengenai perbuatan
tertentu yang dilarang sudah dapat dibuktikan tanpa harus menunjukkan akibat atau kerugian
yang nyata terhadap persaingan (pasal 6).

2. Pendekatan Struktur Pasar (SP) dan Tingkah Laku (TL)


Struktur Pasar menegaskan bahwa penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi
ukuran/bahan analisis apakah Pelaku Usaha melanggar hukum persaingan usaha
(merger&monopili).
Sedangkan Tingkah Laku (TL) menggariskan bahwa Pelaku Usaha tidak dilarang menjadi
besar sepanjang posisinya tidak mengakibatkan terjadinya monopili atau persaingan usaha
tidak sehat.
F. Perjanjian yang Dilarang
Terdapat Sembilan perjanjian yang dilarang dalam melakukan usaha sebagai berikut:
1. Ologopili (Pasal 4 UU N0. 5/1999).
2. Penetapan Harga.
3. Pembagian Wilayah (Pasal 9 UU No. 5/1999).
4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No. 5/1999).
5. Kartel (Pasal 11 UU No. 5/1999).
6. Trust (Pasal 12 UU No. 5/1999).
7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No. 5/1999).
8. Intergasi Vertikal (Pasal 14 UU No. 5/1999).
9. Perjanjian Tertutup (Pasal 15 UU No. 5/1999).

G. Kegiatan yang Dilarang


Terdapat sepuluh kegiatan yang dilarang dalam melakukan usaha sebagai berikut:
1. Monopili (Pasal 17 UU No. 5/1999).
2. Monopsoni (Pasal 18 UU No. 5/1999).
3. Pengusaaan Pasar (Pasal 19-21 UU No. 5/1999).
4. Persekongkolan (Pasal 22 UU No. 5/1999).
5. Posisi Dominan.
6. Jabatan Rangkap.
7. Pemilikan Saham Secara Mayoritas.
8. Penggabungan (Merger).
9. Peleburan (Konsolidasi).
10. Pengambilalihan (Akusisi).

H. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan akhirnya
memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU No. 5/1999 atau tidak. Pelaku
usaha yang merasa keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama
14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke
Pengadilan Negeri.
Tugas KPPU yang sangat komprehensif karena memberikan kewenangan yang
multifungsi kepada KPPU, memberikan saran dan pertimbangan-pertimbangan terhadap
kebijakan pemerintah; menyusun pedoman (regulasi) dan publikasi; lapora berkala kepada
presiden & DPR.
Pasal 35 UU No. 5/1999 menentukan bahwa tugas-tugas KPPU terdiri dari:
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopili dan persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopili atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya pennyalahgunaan posisi dominan
yang dapat mengakibatkan terjdinya praktik monpili atau tidakan persaingan usaha tidak
sehat.
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal
36.
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan praktik monopili atau tindakan persaingan usaha tidk sehat.
6. Menyusun pedoman dan publikasi yang berkaitan dengan UU No. 5/1999.
7. Memberikan laopran secara berkala atas hasil kerja Komisi Kepada Presiden dan DPR.

I. Pemeriksaan Perkara di KPPU


Didalam memeriksa perkara, maka ada beberapa dasar hukum yang dipergunakan adalah:
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang: Larangan Praktik Monopili & Persaingan
Usaha Tidak Sehat;
2. PERMA No. 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan upaya hukum keberatan
Putusan KPPU;
3. Keputusan KPPU: Nomor 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU;
4. KUHP, yaitu ketentuan hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan kepihak
Penyidik sesuai dengan pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999.
Ada duabelas tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan pemeriksaan perkara di
KPPU antara lain:
1. Laporan
2. Penelitian dan Klarifikasi
3. Hasil Pemberkasan
4. Gelar Laporan
5. Pemeriksaan Pendahuluan
6. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan
7. Pembelaan
8. Pemeriksaan Lanjutan
9. Sidang Majelis Komisi (30 hari)
10. Putusan Komisi
11. Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU
12. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
BAB 14
Hukum Perdata Internasional

A. Pengertian Hukum Perdata Internasional


Sidarta Gautama (Gouw Giok Siong) mendefinisikan Hukum perdata internasional adalah
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menu njukkan stelsel hukum manakah
yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan-hubungan dan peristiwa-
peristiwa antara warga Negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian
dengan stelsel-stelsel kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang berbeda dalam
lingkungan.
Sedangkan Masmum merumuskan Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan
ktentuan-ketentuan hukum yang menentukan hukum perdata dari Negara mana harus
diterapkan suatu perkara yang berakar didalam lebih dari satu Negara.
Meskipun mempergunakan istilah “internasional” bahwa Hukum Perdata Internasional
bukanlah hukum asing, tetapi subtansinya merupakan hukum nasional yang kebetulan
mengatur peristiwa, perbuatan, atau hubungan hukum yang mengandung unsur internasinal
atau elemen asing.

B. Titik Taut dalam Hukum Perdata Internasional


Dalam HPI dikenal ada dua jenis titik taut, yaitu Titik Pertalian Primer dan Titik Pertalian
Sekunder.
Titik pertalian primer biasa disebut titik taut pembeda yaitu unsur-unsur dalam
sekumpulan fakta-fakta yang enunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa
HPI & bukan peristiwa hukum intern/nasional biasa. Titik Pertalian Primer terdiri dari:
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal laut atau pesawat udara;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Kebangsaan atau tempat kedudukan badan hukum;
6. Pilihan hukum intern;
7. Tempat terjadinya perbuatan hukum;
8. Tempat terletaknya benda.
Titik taut sekunder biasa disebut titik taut penentu unsur-unsur dalam sekumpulan fakta
yang menentukan hukum manakah yang harus berlaku untuk mengatur peristiwa HPI yang
bersangkutan. Titik Taut Pertalian Sekunder terdiri dari:
1. Hukum tempat terletaknya benda.
2. Hukum tempat dilaksanakannya perbuatan hukum.
3. Hukum tempat terjadi perbuatan melawan hukum.
4. Hukum tempat dilaksanakannya pernikahan
5. Hukum tempat ditandatanganinya kontrak.
6. Hukum tempat dilaksanakannya kontrak
7. Lex Mobilia Sequntuur Personam.
8. Pilihan Hukum.
9. Hukum kewarganegaraan.
10. Hukum bendera kapal atau pesawat udara.
11. Hukum domisili.
12. Hukum tempat kediaman.
13. Hukum kebangsaan atau kedudukan badan hukum
14. Hukum Negara tempat diadilinya perkara.

C. Masalah Pokok dalam HPI


1. Pengadilan mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa atau hubungan hukum jika
ada asingnya dalam hubungan hukum itu
2. Hukum mana yang harus diberlakukan atau mengatur peristiwa hukum yang mengandung
unsur asing.
3. Pengakuan dan pelaksanaan putusan asing.

D. Kualifikasi
Klasifikasi atau Kategorisasi adalah penerjemah sekumpulan fakta dalam kehidupan
sehari-hari ke dalam kategori hukum, sehingga dapat diketahui makna yurudis. Sehingga
melalui kualifikasi seseorang hakim maupun penegak hukum dapat menata, menkostatir
sekumpulan fakta yang dihadapinya, mendefinisikan dan menempatkannnya ke dalam
kategori hukum yang ada dalam HPI.
Kualifikasi Fakta adalah kualifikasi yang dilakukan terhadap seluruh fakta dalam suatu
peristiwa yang ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum bedasarkan kategori
hukum dan kaidah hukum dari sistem hukum yang seharusnya berlaku.
Kualifikasi Hukum adalah penggolongan atau pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam
penggolongan atau pembidangan ketegori hukum tertentu yang telah ditetapkan.
Arti penting kualifikasi dalam HPI:
1. Berbagai sistem hukum sering kali menggunakan terminology, tetapi berbeda makna;
2. Berbagai sistem hukum mengenal konseop/ lembaga hukum tertentu;
3. Ada fakta yang sama, tetapi jika digunakan kategori yang berbeda, hasilnya akan sangat
berbeda;
4. Berbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda untuk menetapkan
peristiwa yang pada dasarnya sama;
5. Berbagai sistem hukum menempuh prosedur atau proses hukum yang berbeda untuk
menerbitkan hasil status hukum yang pada dasarnya sama.

E. Renvoi (Penunjukkan Kembali)


Renvoi adalah suatu sistem, apabila hukum perdata internasional suatu Negara menunjuk
diberlakunya huukum suatu Negara asing, maka hal itu berarti hukum yang ditunjukkan itu
adalah:
1. Ketentuan aturan intern yang ditunjuk, atau di Jerman disebut Sachnorm verweisung.
2. Seluruh Ketentuan hukum negar yang ditunjuk termasuk kaidah HPI nya yaitu
Kollisionsnormen atau Gesam ver weisung.
Pentingnya Renvoi adalah demi memastikan nasib harta warisan dan para ahli waris,
Karena menurut Hukum Perdata Bavaria (Jerman) saudara-saudara kandung dari seorang
anak luar kawin tetap berhak untuk menerima harta warisan dari anak luar kawin tbs.
Sedangkan anak luar nikah akan jatuh ke tangan Negara.

F. Status Personal (Personal Law)


Hukum yang berkaitan dengan hukum perorangan, hukum keluarga, dan hukum waris.
Cara menentukan Status Personil seorang dilakukan oleh dua hal, yaitu:
1. Asas Kewarganegaraan/personalitas, aliran personalitas menyatakan bahwa untuk
menjadi status personil seseorang berlaku hukum nasionalnya.
2. Asas Teritorial/domisili.

G. Ketertiban Umum (Public, Policy, Openbare Orde)


Pengadilan tidak mengakui atau melaksanakan hukum asing atau putusan asing atau
status, kewenangan, dan kewajiban serta kemampuan atau ketidakmampuan seseorang
melakukan perbuatan hukum yang diciptakan berdasar hukum asing.
Ketertiban umum dapat ditemukan dalam konstitusi dan undang-undang secara
menyeluruh yang mencerminkan nilai-nilai keadilan. Jika hukum asing ditolak berdasarkan
ketertiban umum, maka mesti hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, asas
moral yang baik atau tradisi uang mengakar dalam ketentuan Lex fori. Namun pengadilan
dapat mengesampingkan berlakunya hukum asing jika bertentangan dengan ketertiban umum.

H. Perbuatan Melawan Hukum dalam HPI


Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu memberikan ganti
rugi (Pasal 1365 BW). Hukum yang berlaku bagi Perbuatan Melawan Hukum dalam HPI
adalah:
1. Lex Causae dalam perbuatan melawan hukum bergantung pada teori yang diikuti oleh
pengadilan atau sistem hukum nasional.
2. The Lex Fori Theory.
3. The Lex Loci Delicti Commissi Theory.
BAB 15
Hukum Internasional

A. Pengertian Hukum Internasional


Hukum Internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya Negara merasa dirinya terikat
untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan
mereka satu sama lain yang meliputi:
1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain dan
hubungan mereka dengan Negara dan individu-individu.
2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan
non Negara sejauh hak dan kewajiban individu dan non Negara tersebut penting bagi
masyarakat.

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Pada awalnya, Hukum Inernasional hanya diartikan sebagai perilaku dan
hubungan antara Negara, namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu.

B. Sumber-sumber Hukum Internasional


1. Kebiasaan, yang dimaksud disini adalah kaidah atau praktik-praktik yang dikembangkan
dalam bidang-bidang “hubungan-hubungan diplomatic internasional antar Negara”,
praktik organ internassional, dan praktik-praktik militer dan administrasi Negara.
2. Traktat, perjanjian beberapa Negara yang dapat langsung “membuat hukum dam menjadi
sumber hukum internasional” seperti piagam PBB, maupun traktat kontrak yang hanya
mengikat pihak yang membuat perjanjian tersebut.
3. Keputusan Pengadilan, putusan pengadilan yudisial yang diputus oleh Internasional Court
of Justice tahun 1946 yang menggantikan Permanent Court of International Justice 1921.
4. Karya Hukum, bukan lah sumber hukum yang berdirri sendiri. Opini hukum hanya
penting sebagai suatu sarana guna menjelaskan kaidah hukum internasional dan
mempermudah pembentukan hukum internasional.
5. Keputusan atau Ketetapan-ketetapan Organ Lembaga atau Konferensi Internasional
adalah dapat membawa kea rah pembentukan kaidah hukum internasional memiliki daya
berlaku hukum secara penuh dan meningkat anggotanya.

C. Subjek Hukum Internasional


Di dalam setiap hubungan hukum terdapat subjek hukum yang bertindak sebagai para
pihak dalam hubungan hukum tersebut. Begitupula di dalam Hukum Internasional terdapat
subjek hukum, yaitu:
1. Negara sebagai subjek hukum utama dari Hukum Internasional.
2. Lembaga-lembaga dan organ-organ internasional adalah objek hukum internasional yang
berkembang kemudian sering perkembangan modernisasi.
3. Individu atau pelanggar hukum pidana internasional dapat menjadi subjek hukum
internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewe 1929 dan lain-lain.
4. Wilayah-wilayah yang belum merdeka, protektorat.
5. Para pemberontak dilindungi dalam hukum internasional sebagai subjek yang sedang
berperang.

D. Sengketa-sengketa Internasional
Di dalam pergaulan antarnegara acapkali timbul sengketa sehingga menimbulkan suatu
kasus yang berada dalam lingkup sengketa internasional yang harus diselesaikan menurut
hukum internasional. Sengketa-sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu:
1. Melalui cara-cara damai yaitu apabila para pihak mampu menyelesaikan dengan cara-cara
bersahabat.
2. Melalui cara-cara paksa atau kekerasan apabila cara-cara yang bersahabat tidak dapat
terwujud.

E. Bentuk Hukum Internasional


Hukum internasional terdapat beberapa bentuk perwujuda atau pola perkembangan yang
khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu:
Hukum Internasional Regional adalah hukum yang berlaku/terbatas daerah lingkungan
berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika/Amerika Latin seperti konsep landasan
kontinen dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut yang mula-mula tumbuh di Benua
Amerika Sehingga menjadi Hukum Internasional umum.
Hukum Internasional Khusus adalah hukum dalam bentuk kaidah yang khusus berlaku
bagi Negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan
keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari
bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses
hukum kebiasaan.

F. Hukum Internasional dan Hukum Dunia


Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang
terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri
sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum
koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum
Tata Negara, hukum dunia merupakan semacam Negara (federasi) dunia yang meliputi semua
Negara di dunia ini. Negara dunia secara hierarki berdiri di atas Negara-negara tertib Huku,
subordinasi.
BAB 16
Hukum Acara Perdata

A. Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-kententuan pokok yang bersifat umum dan
dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan,
memelihara dan menegakkan ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil. Oleh karena itu,
eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata
materiil.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
pengadilan dan cara bagimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, S.H. memberi batasan hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelakanaan hukum perdata materiil.

B. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata


Dalam praktik peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata
terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.
1. HIR atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
2. RBg Staatblad 1927 No. 277.
3. Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa) Staatblad No. 52 jo
Staatblad 1849 No. 63.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
5. Undang-Undang UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
6. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara
kasasi.
7. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
8. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
9. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaan.
10. UU No. 2 Tahun 2004 tentanng Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

C. Asaa-asas Hukum Acara Perdata Indonesia


1. Hakim Bersifat Menunggu
Hakim bersifat menunggu maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya
tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak
ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu
akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan (Pasal
118 HIR, 124 RBg).
2. Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim utuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu
para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan (Pasal 4 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
3. Persidangan Bersifat Terbuka
Sidang dalam pemeriksaan di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang
berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan.
Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan
pemeriksaan yang fair (Pasal 19 ayat (1) dan 20 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Apabila tidak dibuka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi
hukum.
4. Mendangar Kedua Belah Pihak (Penggugat dan Tergugat melalui Surat-surat)
Dalam Pasal 5 ayat 1 UU No.4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa didalam hukum
perdata yang berpekara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan
adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk mengajukan pendapatnya.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan idak membedakan orang, seperti yang dimuat
dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 mengandung arti bahwa di dalam hukum
perdata yang berpekara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil
serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Bahwa hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak
didengar atau tidak diberikan kesempatan untuk mengelurkan pendapatnya.
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili (Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 184 ayat (1), 319 HIR RBg.). Hal
yang sama juga dijumpai dalam Pasal 50 (1) UU No.48 Tahun 2009 yang menentukan
“Putusan pengadilan selain harus memuat alas an dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari perartuan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Mahkamah Agung juga dalam berbagai
putusannya menggariskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertanggungjawabkan merupakan alas an untuk kasasi dan harus dibatalkan.
6. Beracara Dikenakan Biaya
Untuk beperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009
dan Pasal 121 ayat (4), 182,183 HIR; serta Pasal 145 ayat (4), 192-194 RBg.). biaya perkara
ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan pemberitahuan para pihak serta biaya
material. Biaya tersebut juga dikeluarkan untuk pengacara atas bantuan yang dimintakan
kepadanya.
7. Tidak Ada Keharusan Mewakilakan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan tercadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan.
Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya.
Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang dajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
8. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU
No.48 Tahun 2009)
Sederhana, maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbeli-belit. Makin
sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu
banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam
penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Cepat menunjuk jalannya
peradilan yang cepat dan proses penyelesainnya tidak berlarut-larut yang terkadang harus
dilanjutkan oleh ahli warisnya. Dan biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin
sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.

D. Susunan Badan Peradilan di Indonesia


Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman meripakan kekuasaaan yang merdeka
yang dilakukann oleh Mahkamah Agung dan badan perdilan dibawahnya. Jenis dan dasar
badan perdilan di Indonesia terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, dikenal
empat lingkungan perdilan di Indonesia yaitu:
1. Peradilan Umum (UU No. 8 Tahun 2004).
2. Peradilan Agama (UU No. 3 Tahun 2006).
3. Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997).
4. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 9 Tahun 2004).

E. Pemberian Kuasa
1. Pengertian Kuasa
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam BAB keenam
belas, buku III KUHP tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada
ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBg. Untuk memahami arti dari pengertian
kuasa secara umum dapat dirujuk pada Pasal 1792 KUHP yang berbunyi “pemberian kuasa
adalah suatu persetujuan dengan nama seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain,
yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
2. Berakhirnya Kuasa
Berdasarkan Pasal 1813 KUHP, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah
sebagai berikut:
a. Pemberian kuasa menarik kembali secara sepihak, pencabutan dapat dilakukan secara
sepihak denga tegas dalam bentuk tulisan atau meminta kembali surat kuasa dari
penerima kuasa. Pencabutan secara diam-diam berdasarkan Pasal 1813 KUHP.
b. Salah satu pihak meninggal dunia dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi
hukum.
c. Penerima kasus melepas kasus. Pasala 1817 KUHP memberi hak secara sepihak kepada
kuasa untuk melepas kuasa yang diterimannya dengan syarat: harus memberitahu
kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa dan pelepasan itu tidak boleh pada saat
yang tidak layak.
3. Jenis-jenis Kuasa
a. Kuasa Umum (Pasal 1795 KUHP)
b. Kuasa Khusus (Pasal 1795 KUHP)
c. Kuasa Istimewa (Pasal 1796 KUHP)
d. Kuasa Perantara (Pasal 1792 KUHP dan Pasal 62 KUHD).

4. Kuasa menurut Hukum


Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory.
Maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk
dengan sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut:
a. Wali terhadap anak dibawah umur (Pasal 51 UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan).
b. Curator atas orang tidak waras.
c. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa (Pasal 45 (2) UU No. 1 Tahun 1974).
d. BPH sebagai kantor kepalitian.
e. Direksi atau pengurus badan hukum.
f. Direksi perusahaan perseroan.
g. Pimpinan perwakilan perusahaan asing.
h. Pimpinan cabang perusahaan domestic.

F. Proses dan Prosedur Berperkara


Ada beberapa tahap berperkara dalam perkara yang akan dilalui oleh pihak-pihak yang
akan melakukan gugatan di Peradilan Negeri dalam perkara perdata. Produser dan langkah-
langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan gugatan/permohonan, baik secara lisan maupun tertulis.
2. Melakukan pemanggil para pihak secara patut.
3. Gugatan dikabulkan dengan verstek (tanpa hadirnya tergugat) apabila telah dipanggil
secara patut berturut-turut 3 kali tidak hadir.
4. Pmeriksaaan lanjutan apabila para pihak hadir dengan memberikan hak masing-masing
pihak untuk menjawab, mengajukan replik dan duplik.
5. Mengajukan alat-alat bukti berupa: bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengauan, dan
sumpah (Pasal 164 HIR).
6. Keputusan Hakim.
BAB 17
Hukum Acara Pidana

A. Pendahuluan
J. M. Van Bemmelen merumuskan Hukum Acara Pidana sebagai berikut: “Ilmu hukum
acara pidana memperlajari serangkaian peraturan yang diciptakan oleh Negara, dalam hal
adanya dugaan dilanggarnya undang-undang pidana:
1. Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran;
2. Sepadat mungkin menyidik pelakunya;
3. Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap dan kalau perlu ditahan;
4. Alat-alat bukti yang diperoleh dari hasil penyididkan dilimpahkan kepada hakim dan
dihadapkan terdakkwa ke depan hakim tersebut;
5. Menyerahkan kepada hakim agar diambil keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa dan tindakan atau hukuman apakah yang akan diambil
atau dijatuhkan;
6. Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut;
7. Akhirnya, melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

B. Hukum Acara Pidana Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1951


Dengan undang-undang ini dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara pidana
dan susunan pengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang-undang
tersebut, dihapus:
1. Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntut Umum padaanya;
2. Appelread di Makasar;
3. Appelread di Medan;
4. Segala Pengadilan Negara dan segala Landgerecht (cara baru) dan alat Penuntut Umum
padanya;
5. Segala Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntut Umum padanya;
6. Segala Pengadilan Magistread;
7. Segala Pengadilan Kabupaten;
8. Segala Read Distrik;
9. Segala Pengadilan Negorji;
10. Pengadilan Swapraja;
11. Pengadilan Adat.

C. Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, telah dirintis jalan menuju kepada
terciptanya perundang-undangan baru terutama tentang hukum acara pidana. Pada waktu itu
dibentuk suatu panitia di Departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana
undang-undang hukum acara pidana.
Panitia tersebut telah berhasil menyusun Rencana Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang bercermin kepada hasil Seminar Hukum Nasional mengenai Hukum Acara Pidana dan
Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Semarang pada tahun 1968.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman penyusunan rencana tersebut
diintensifkan pada tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman Meodjono,
Jaksa Agung Ali Said, Kapolri Awaluddin dan wakil dari MAhkamah Agung untuk
membahas hal-hal yang sangat penting dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-
Undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Menteri Kehakiaman Meodjono atas nama pemerintah memberikan keterangan di depan
Sidang Paripurna DPR tentang Rancangan Hukum Acara Pidana tersebut pada 9 Oktober
1979. Kemudian Fraksi-fraksi dalam DPR memberikan pemandangan umum yang disusul
dengan jawaban pemerintah. Badan musyawarah DPR memutuskan bahwa pembicaraan
selanjutnya rancangan itu dilakukan oleh Gabungan Komisi III dan Komisi I DPR. Sidang
gabungan tersebut yang dipimpin oleh Ketua Komisi III (hukum) Andi Mochtar seorang
hakim, sarjana hukum lulusan Universitas Hasanuddin tahun 1966, yang terkenal jujur dan
pandai, mulai bersidang dari tanggal 24 November 1979 sampai 22 Mei 1980 di gedung DPR
di Senayan Jakarta. Sidang-sidang ini diikuti pula oleh wakil pemerintah.
Sidang gabungan komisi III dan komisi I DPR ini membentuk lagi team khusus yang
diberi mandate penuh dengan nama Team Sinkronisasi. Team tersebut adalah team terakhir
yang bekerja terus-menerus selama 16 bulan yang mulai berapat dengan wakil pemerintah
pada 25 Mei 1980 sampai membuahkan hasil berupa rancangan yang disetujui oleh sidang
gabungan dimuka pada 9 September 1981. Kemudian Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981,
kemudian Presiden mengesahkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981
dengan nama KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Undang-undang
No. 8 Tahun 1981, LN 1981 No. 76, TLN No. 3209).

D. Proses Penyelesaian Perkara Pidana


Menurut UU No. 8 Tahun 1881, penyelesaian perkara pidana melalui pertahapan sebagai
berikut:
1. Tahan pertama adalah proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu oleh
penyidik.
Karena kewajibannya, penyelidik mem[unyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Mencari keterangan dan barang bukti;
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicugiai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

2. Tahan kedua adlah proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penangkapan”


Dalam Pasal 16-19 tentang penangkapan mengatur tentang:
a. Laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakuka;
b. Siapa yang berhak menangkap;
c. Apa isi surat perintah penangkapan;
d. Bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.

3. Tahan ketiga adalah proses penyelesaian perkara pidana dengan melakukan “Penahanan”
Berdasarkan seluruh ketentuan tentang penahanan, pembentuk undang-undang
memberikan perhatian pada empat hal:
a. Lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan;
b. Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan;
c. Batas perpanjang waktu penahanan dan kekecualiannya;
d. Hal yang dapat menangguhkan penahanan.

4. Tahap keempat adalah proses pemeriksaan perkara pidana.


Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 adalah “Pemeriksaan di muka Sidang Pengadian”
Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan pemberi tahuan untuk datang ke
sidang pengadilan yang dilakukan secara sah menurut undang-undang (Pasal 145-146).
Setelah surat oemberitahuan tersebut disampaikan kepada tersangka, dan pihak penuntut
umum telah disampaikan kepada tersangka, dan pihak penuntut umum telah melimpahkan
perkaranya kepada pengadilan negeri menurut undang-undang yang berlaku (Pasal 147)
maka sekaligus oleh ketua pengadilan negeri setempat ditetapkan kewenanganmya untuk
mengadili (Pasal 148).

Sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan UU No. 8 Tahun 1981, memilkik
sepuluh asas sebagai berikut:
1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
2. Praduga tak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
8. Pelanggaran atas hak-hak warga Negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah
(tertulis);
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan
terhadapnya;
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
BAB 18
Peradilan Tata Usaha Negara

A. Pengertian PTUN
Pengertian-pengertian dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, diuraikan
tentang pengetian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai
berikut:
1. Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang dilakukan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintaha, baik di pusat maupun di daerah.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusana Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian bedasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dan dajukan kepengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6. Tergugat adalah BAdan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimapahkan kepadanya, yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 tahun
2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannnya Keputusan Tata Usaha Negara.
8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana
satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri-diri
mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud (Pasal huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002).

B. Subjek PTUN
Yang menjadi pihak dalam PTUN adalah Pihak Penggugat dan Tergugat. Penggugat
dalam PTUN adalah:
1. Orang yang merasa kepentingannya, dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Badan Hukum Perada yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara.
Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi
pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:
1. Instansi resmi pemerintah yang berada dibawah Presiden sebagai Kepala Eksekutif.
2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan Negara di luar lingkungan eksekutif yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.
3. Badan-badan hukum privat yang dirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan
4. Intansi-intansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tuagas-tugas pemerintahan.

C. Asas-Asas dalam PTUN


1. Praduga, rechmating, setiap tindakan pemerintah selalu dianggap sah, sampai ada
pembatalannya.
2. Pembuktian bebas, hakim bebas menentukan apa yang harus dibuktikan, bebas
menentukan beban pembuktian dan sahnya pembuktian minimal dua alat bukti.
3. Asas keaktifan hakim, untuk mengimbangi kedudukan para pihak tergugat dan
penggugat.
4. Putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat, sengketa TUN adalah sengketa hukum
public berarti putusan berlaku terhadap siapa saja.

D. Kompetensi PTUN
1. Kewenangan absolut, yaitu kewenangan pengadilan sesuai jenis perkara tertentu. Dengan
pengertian ini maka jelaslah kewenangan absolut dari peradilan Tata Usaha Negara
adalah mengadili perkara dalam lingkup keputusan yang dikeluarkan pejabat administrasi
Negara, sehingga peradilan TUN tidak berwenang mengadili sengketa lain yang bukan
menjadi kewenangan pengadilan lain.
2. Kewenangan relatif adalah kewenangan yang dimiliki oleh PTUN dalam batas-batas
wilayah kewenangannya dimana keputusan administrasi itu ditertibkan, sehingga PTUN
berhak memeriksa sengketa dimana gugatan diajukan ditempat tinggal Tergugat.

E. Objek dalam PTUN


Objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah oenetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum paerdata.
Penetapan tertulis buakan hanya diihat dari bentuknya saja, tetapi lebih kepada isinya,
yang berisi kejelasan tentang:
1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkan;
2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut;
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
F. Kewenangan dan Susunan PTUN
Pasal 47 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: “Pengadilan bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara”.
Dengan demikian, maka wewenang PTUN dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Memeriksa;
2. Memutus;
3. Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksankan dalam
tiga tingkatan peradilan, yaitu:
1. Mahkamah Agung, sebagai Peradilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, yang
berfungi untuk memeriksa di tingkat kasasi perkara yang telah diputus oleh pengadilan
ditingkat bawahnya.
2. Pengadilan Tertinggi Tata Usaha Negara, yang mempunyai tugas sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 51 Undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
3. Pengadilan Tata Usaha Negara, pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara ditingkat pertama.

G. Keikutsertaan PIhak Ketiga dan Dasar Pengujian KTUN


Keikutsertaan pihak ketiga dalam hukum acara sering disebut dengan istilah PIhak
Intervensi, hal ini diatur dalam Pasal 83 Undang-undang No. 5 Tahun 1986, yang
menentukan bahwa:
 Selama pemerikasaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa
pihak lain yang sedang diperika oleh Pengadilan, baik atas prakarsa hakim, dapat masuk
dalam sengketa Tata Usaha Negara. Masuknya pihak ketuga itu untuk membela haknya
atau bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
 Masuknya pihak ketiga dalam intervensi hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan
berlangsung. Hal ini dipertegas dengan Surat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Tanggal 14 Oktober 1993 No. 222/Td.TUN/X/1993, yang
menyatakan bahwa gugatan intervensi dapat diajukan paling lambat sebelum pemeriksaan
saksi-sakti, hal mana untuk menghindari pemeriksaan persiapan yang harus diulangi lagi.

H. Dasar pengujian Keputusan PTUN


Dalam melakukan pemeriksaan dan melakukan pengujian apakah KTUN tersebut dapat
dibatalkan atau tidak maka PTUN memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) itu bertentangan dengan peraturan Perundang-
undangan yang berlaku;
2. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 2009, bentuk dari Asas Umum Pemerintahan yang
baik adalah:
 Dalam bentuk tertulis, dan;
 Dalam bentuk tidak tertulis.
Dalam bentuk tertulis sebagaimana ditentukan dalam Penyelesaian Pasal 3 Undang-
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sebagai berikut:
1. Asas Kepastian Hukum.
2. Asas Tertib dalam menyelengarakan pemerintahan.
3. Asas Kepentingan Umum.
4. Asas Keterbukaan.
5. Asas Proporsionalitas.
6. Asas Profesionalitas.
7. Asas Akuntabilitas.
Dalam bentuk tidak tertulis, dapat diketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh para
pakar antara lain:
1. Asas Keseimbangan.
2. Asas Kesamaan.
3. Asas Bertindak Cermat mengeluarkan KTUN yang bersangkutan.
4. Asas Keadilan dan Kewajaran.
5. Asas Kebijakan.

I. Penyelesain Sengketa Tata Usaha Negara


Pasal 48 Undang-Undang No. 5 tahun 1986, menentukan bahwa:
1. Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif terlebih dahulu jika
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan
tersebut diberikan wewenang pleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif Sengketa Tata Usaha Negara. Upaya administratif
dimaksudkan sebagai control atau pengawasan yang bersifat intern dan refresif di
lingkungan Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Upaya administratif itu berupa “keberatan dan banding
administratif”.
2. Pihak Penggugat dapat langsung menempuh upaya peradilan jika Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif Sengketa Tata Usaha Negara. Upaya Peradilan
dapat dilakukan melalui Acara Pemeriksaaan Cepat dan Acara pemeriksaan Biasa.
BAB 19
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (HAMK)

A. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Hukum acara atau hukum formil, merupakan salah satu jenis norma hukum dalam
kesatuan sistem norma hukum. Hukum acara menentukan berjalan tidaknya proses
penegakkan hukum dan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hukum dari suatu lembaga.
Hukum materiil tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya hukum acara yang
dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu proses hukum.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon dan proses persidangan mulai dari
pengajuan permohonan, pembuktian hingga putusan.

B. Asas Hukum Acara MK


Seperti dalam beracara di dalam hukum perdata dan hukum pidana yang mengenal asas-
asas beracara, maka di dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi juga dikenal beberapa asas,
yaitu:
1. Asas Putusan Final, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir.
2. Asas Praduga Rechmatig, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi merupsksn putusan akhir
yang mempunyai kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dan tidak berlaku surut.
3. Asas Pembuktian Bebas Hakim MK bebas menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, serta penilaian atas alat bukti berdasarkan keyakinan.
4. Asas Kearifan Hakim MK, Hakim MK aktif dalam melakukan penelusuran dan eksporasi
untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada.
5. Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Hukum Acara mudah dipahami dan tidak terbelit-
belit, sehingga peradilan berjalan relative cepat dan berbiaya ringan.
6. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum Putusan Mahkamah sah dan berkekuatan hukum
tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 40 ayat (1) UU MK
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan
hakim).
7. Asas Sosialisasi Putusan MK, wajib dumumkan dan dilaporkan secara berkala kepada
masyarakat secara terbuka.
8. Asas Objektivitas Hakim dan panitera wajib mengundurkan diri apabila memiliki
hubungan kerabat atau kepentingan langsung maupun tidak langsung.

C. Dasar Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7B);
2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);
4. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
5. Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Pidana Indonesia;
6. Pendapat Sarjana (Doktrin);
7. Hukum Acara dan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara.

D. Objek Hukum Acara MK


1. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar.
2. Objek Perkara Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara.
3. Objek Pembubaran Parpol
4. Objek Perselisihan Hasil Pemilu.
5. Objek Perkara Putusan Atas Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Presiden dan
Wakil Presiden.

E. Prosedur Beracara
1. Pengajuan Permohonan.
2. Pendaftaran.
3. Penjadwalan Sidang.
4. Pemeriksaan Pendahuluan.
5. Pemeriksaan Persidangan.
6. Putusan

F. Putusan
Diputus paling lambat dalam tenggang waktu untuk perkara pembubaran partai politik, 60
hari kerja sejak registrasi untuk perkara perselisihan hasil pemilu; Presiden dan Wakil
Presiden 14 hari kerja sejak registrasi.
Dasar hukum Putusan dalam Mahkamah Konstitusi:
1. Musyawarah mufakat.
2. Setiap hakim menyampaikan pendapat/ pertimbangan tertulis.
3. Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
4. Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menetukan.
5. Pendapat berbeda dimuat dalam putusan.
6. Ditandatangani hakim dan panitera.
7. Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang, terbuka untuk umum.
8. Salinan putusan dikirim kepada para pihak tujuh hari sejak diucapkan
9. Untuk Putusan perkara: Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD,
Presiden dan MA.

Anda mungkin juga menyukai