Anda di halaman 1dari 85

1.

ATEROSKLEROSIS

1.1 Definisi

Aterosklerosis juga dikenal sebagai penyakit Vaskuler arteriosclerotic atau

ASVD berasal dari bahasa Yunani: athero (yang berarti bubur atau pasta) dan

sklerosis (indurasi dan pengerasan). Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah

suatu keadaan arteri besar dan kecil yang ditandai oleh deposit substansi berupa

endapan lemak, trombosit, makrofag, leukosit, kolesterol, produk sampah seluler,

kalsium dan berbagai substansi lainnya yang terbentuk di dalam lapisan arteri di

seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika media.

Aterosklerosis bisa terjadi pada arteri di otak, jantung, ginjal, dan organ vital

lainnya serta pada lengan dan tungkai. Jika aterosklerosis terjadi didalam arteri

yang menuju ke otak (arteri karoid) maka bisa terjadi stroke. Namun jika terjadi

didalam arteri yang menuju kejantung (arteri koroner), maka bisa terjadi serangan

jantung. Biasanya arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta,

dan arteri-arteri serebrum.

1.2 Etiologi

Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi (khususnya

LDL), merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurang

aktivitas fisik. Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan lipoprotein-a

juga dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Ada empat faktor

risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu; usia, jenis kelamin, ras dan riwayat

keluarga (genetik).
Helicobacter pylori dan Chlamydia pneumoniae, juga bisa menimbulkan

infeksi atau transformasi miosit atau endotel, yang akan memicu lesi

aterosklerosis.

Hiperglikemia dapat memacu aktifitas protein kinase C (CPK).

Peningkatan aktivitas CPK akan meningkatkan ekspresi transforming growth

factor-beta (TGF-). Peningkatan ekspresi TGF-menimbulkan kekakuan dan

abnormalitas struktural pembuluh darah.

1.3 Patogenesis

Di dalam darah kita temukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid,

dan fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam air, maka perlu

dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat terlarut yaitu suatu

protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein atau apoprotein. Senyawa lipid

dengan apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Dengan menggunakan

ultrasentrifugasi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoprotein yaitu high-

density lipoprotein (HDL), lowdensity lipoprotein (LDL), intermediate-density

lipoprotein (IDL), very low density lipoprotein (VLDL), kilomikron dan

lipoprotein a kecil (Lp(a).(3) LDL adalah lipoprotein utama pengangkut kolesterol

dalam darah yang terlibat dalam proses terjadinya penyakit jantung koroner.

Oksidasi LDL (ox-LDL) memainkan peranan penting pada patogenesis

aterosklerosis. Ox-LDL dapat ditangkap oleh makrofag melalui reseptor

scavenger pada makrofag menyebabkan terbentuknya sel busa (foam cells).

Penimbunan sel busa ini di ruang subendotel pembuluh darah merupakan bukti

paling awal adanya pertumbuhan plak aterosklerotik yang dikenal sebagai fatty

streak.
Arterosklerosis merupakan suatu proses yang kompleks. Secara tepat

bagaimana arterosklerosis dimulai atau apa penyebabnya tidaklah diketahui, tetapi

beberapa teori telah dikemukakan.

Kebanyakan peneliti berpendapat aterosklerosis dimulai karena lapisan

paling dalam arteri, endotel, menjadi rusak. Sepanjang waktu, lemak, kolesterol,

fibrin, platelet, sampah seluler dan kalsium terdeposit pada dinding arteri.

Timbul berbagai pendapat yang saling berlawanan sehubungan dengan

patogenesis aterosklerosis pembuluh koroner. Namun perubahan patologis yang

terjadi pada pembuluh yang mengalami kerusakan dapat diringkaskan sebagai

berikut:

 Dalam tunika intima timbul endapan lemak dalam jumlah kecil yang tampak

bagaikan garis lemak.


 Penimbunan lemak, terutama betalipoprotein yang mengandung banyak

kolesterol pada tunika intima dan tunika media bagian dalam.


 Lesi yang diliputi oleh jaringan fibrosa menimbulkan plak fibrosis.
 Timbul ateroma atau kompleks plak aterosklerotik yang terdiri dari lemak,

jaringan fibrosa, kolagen, kalsium, debris seluler dan kapiler.


 Perubahan degeneratif dinding arteria.

Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan

vascular untuk memberikan respon juga berkurang, manifestasi klinis penyakit

belum nampak sampai proses aterogenik sudah mencapai tingkat lanjut. Fase

preklinis ini dapat berlangsung 20-40 tahun. Lesi yang bermakna secara klinis,

yang dapat mengakibatkan iskemia dan disfungsi miokardium biasanya

menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah. Banyak penelitian yang logis

dan konklusif baru-baru ini menunjukkan bahwa kerusakan radikal bebas terhadap

dinding arteri memulai suatu urutan perbaikan alami yang mengakibatkan


penebalan tersebut dan pengendapan zat kapur deposit dan kolesterol. Sel endotel

pembuluh darah mampu melepaskan endothelial derived relaxing factor (EDRF)

yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah, dan endothelial derived

constricting factor (EDCF) yang menyebabkan kontraksi pembuluh darah. Pada

keadaan normal, pelepasan ADRF terutama diatur oleh asetilkolin melalui

perangsangan reseptor muskarinik yang mungkin terletak di sel endotel. Berbagai

substansi lain seperti trombin, adenosine difosfat (ADP), adrenalin, serotonin,

vasopressin, histamine dan noradrenalin juga mampu merangsang pelepasan

EDRF, selain memiliki efek tersendiri terhadap pembuluh darah. Pada keadaan

patologis seperti adanya lesi aterosklerotik, maka serotonin, ADP dan asetil kolin

justru merangsang pelepasan EDCF. Hipoksia akibat aterosklerotik pembuluh

darah juga merangsang pelepasan EDCF. Langkah akhir proses patologis yang

menimbulkan gangguan klinis dapat terjadi dengan cara berikut:

 Penyempitan lumen progresif akibat pembesaran plaque


 Perdarahan pada plak ateroma
 Pembentukan thrombus yang diawali agregasi trombosit
 Embolisasi thrombus atau fragmen plak
 Spasme arteria koronaria

Dikarenakan kerusakan pada endothelium, lemak, kolesterol, platelet,

sampah produk selular, kalsium dan berbagai substansi lainnya terdeposit pada

dinding pembuluh darah. Hal itu dapat menstimulasi sel dinding arteri untuk

memproduksi substansi lainnya yang menghasilkan pembentukannya dari sel.


Gambar 1.1 Perjalanan aterosklerosis

Gambar 1.2 Patofisiologi aterosklerosis


1.4 Faktor Resiko

1. Yang tidak dapat diubah

 Usia
 Jenis kelamin
 Riwayat keluarga
 Ras

2. Yang dapat diubah dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Mayor

 Peningkatan lipid serum


 Hipertensi
 Merokok
 Gangguan toleransi glukosa
 Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori

b. Minor

 Gaya hidup yang kurang bergerak


 Stress psikologik

1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik dari proses aterosklerosis kompleks adalah penyakit

jantung koroner, stroke bahkan kematian. Sebelum terjadinya penyempitan atau

penyumbatan mendadak, aterosklerosis tidak menimbulkan gejala. Gejalanya

tergantung dari lokasi terbentuknya, sehinnga bisa berupa gejala jantung, otak,

tungkai atau tempat lainnya. Jika aterosklerosis menyebabkan penyempitan arteri

yang sangat berat, maka bagian tubuh yang diperdarahinnya tidak akan

mendapatkan darah dalam jumlah yang memadai, yang mengangkut oksigen ke

jaringan
Gejala awal dari penyempitan arteri bisa berupa nyeri atau kram yang

terjadi pada saat aliran darah tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen. Yang

khas gejala aterosklerosis timbul secara perlahan, sejalan dengan terjadinya

penyempitan arteri oleh ateroma yang juga berlangsung secara perlahan.Tetapi

jika penyumbatan terjadi secara tiba-tiba (misalnya jika sebuah bekuan

menyumbat arteri ) maka gejalanya akan timbul secara mendadak.

1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

aterosklerosis yaitu dengan cara:

1. ABI (ankle-brachial index), dilakukan pengukuran tekanan darah

dipergelangan kaki dan lengan,

2. pemeriksaan doppler di daerah yang terkena ,

3. skening ultrasonik duplex,

4. CT scan di daerah yang terkena,

5. arteriografi resonansi magnetik, arteriografi di daerah yang terkena,

6. IVUS (intravascular ultrasound).

1.7 Penatalaksanaan Medis

Pada tingkat tertentu, tubuh akan melindungi dirinya dengan membentuk

pembuluh darah baru di daerah yang terkena. Bisa diberikan obat-obatan untuk

menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah seperti kolestiramin,

kolestipol, asam nikotinat, gemfibrozil, probukol, dan lovastatin. Untuk


mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah, dapat diberikan obat-obatan

seperti aspirin, ticlopidine dan clopidogrel atau anti-koagulan.

Sementara angioplasti balon dilakukan untuk meratakan plak dan

meningkatkan aliran darah yang melalui endapan lemak. Enarterektomi

merupakan suatu pembedahan untuk mengangkat endapan. Pembedahan bypass

merupakan prosedur yang sangat invasif, dimana arteri atau vena yang normal

dari penderita digunakan untuk membuat jembatan guna menghindari arteri yang

tersumbat.

2. DISEKSI AORTA
2.1 Definisi
Diseksi Aorta terjadi pada 1/40000 populasi pertahun dan merupakan

robekan tunika intima aorta toraks, menyebabkan perdarahan ke dalam dinding

aorta, dan membuat flap; kemudian menyebar ke distal dari robekan awal,

mengganggu suplai darah organ vital. Bisa terjadi ruptur aorta.

2.2 Etiologi

 Hipetensi
 Aterosklerosis
 Sindrom marfan merupakan predisposisi terhadap pembentukan, diseksi
dan ruptur aneurisma aorta.

Gambar 2.1 Anatomi Aorta


Gambar 2.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi diseksi aorta

2.3 Patologi

Tekanan darah tinggi, regangan jaringan ikat dan adanya kelainan pada

tunika intima (aterosklerosis) menyebabkan robekan mendadak pada tunika

intima. Darah masuk ke lapisan diantara tunika intima dan media, dan tekanan

yang tinggi menyebabkan darah mengalir ke arah longitudinal sepanjang aorta, ke

arah depan dan belakang dari titik masuk, membentuk lumen palsu. Darah dalam

lumen palsu bisa mambeku, atau tetap cair dengan sedikit aliran. Diseksi dibagi

menjadi dua tipe, tergantung dari ada tidaknya keterlibatan aorta asendens.

 Tipe A : titik robekan intima ada pada aorta asendens, Diseksi biasanya

menjalar ke arah distal mengenai aorta desendens kemudian ke arah proksimal

merusak aparatus katup aorta dan masuk ke dalam perikardium.


 Tipe B : titik robekan intima terdapat pada aorta desendens, biasanya tepat

di bawah ujung awal arteri subklavia sinistra. Robekan jarang menyebar ke

arah proksimal.

2.4 Gambaran klinis

Gambaran klinis sangat bervariasi karena akibat serta komplikasi yang

disebabkan oleh diseksi aorta sangat beragam. Gejala timbula akibat lepasnya

tunika intima dari dinding aorta (keluhan untama) dan akibat terganggunya suplai

darah ke organ vital atau ruptur. Gambaran klinis tersering adalah nyeri mendadak

yang sangat berat pada dada atau punggung (interskapular), terutama pada pria

usia pertengahan dengan hipertensi. Komplikasi dari diseksi adalah :

 Ruptur ; nyeri luar biasa, hipotensi, dan kolaps. Seringkali fatal, namin

bisa tertahan dengan menurunnya TD. Terjadi pada rongga retroperitoneal,

mediastinum, atau rongga pleura kiri (tidak pernah terjadi di bagian kanan).

 Tamponade Perikardium : ruptur diseksi tipe A ke arah perikardium

menyebabkan hemoperikardium dan tamponade perikardium, gambaran

klinisnya adlaah hipotensi (pulsus paradoksus) dan peningkatan tekanan vena

jugularis (JVP) (Tanda kussmaul).

 Regurgitasi aorta : terlibatnya ujung awal aorta menyebabkan rusaknya

cincin katup aorta, sehingga terjadi kebocoran katup. Bisa dijumpai murmur

diastolik dini.

 Sumbatan cabang sisi aorta : lumen palsu menekan ujung awal cabang

arteri yang keluar dari aorta. Bisa mengenai cabang manapun, pada titik

manapun sepanjang aorta asenden, desenden, dan abdominalis. Akibatnya bisa


terjadi infark miokard (hanya pasien dengan infark inferior yang nampak,

karena diseksi koroner utama kiri menyebabkan kematian), stroke, iskemia

ekstremitas atas atau bawah, pararesis yang disebabkan oleh oklusi arteri

spinalis, gagal ginjal, dan oklusi usus.

 Perluasan : diseksi awal bisa meluas sepanjanh aorta, biasanya

menyebabkan nyeri lanjutan ke arah perluasan.

2.5 Pemeriksaan penunjang

 EKG : penting untuk menyingkirkan MI. Bisa menunjukkan hipertropi

ventrikel kiri (LV) akibat hipertensi yang berlangsung lama.

 Foto Toraks : dapat memeperlihatkan pelebaran mediastinum akibat

hemomediastinum, atau efusi pleura, yang disebabkan oleh ruptur aorta ke

rongga pleura (biasanya yang kiri).

 CT Scan : merupakan teknik pencitraan terpilih di banyak rumah sakit.

Jangan pernah menunda pemeriksaan dini. pencitraan aorta potongan

melintang menunjukkan adanya flap, lumen asli, dan lumen palsu bila diberi

kontras.

 Ekokardiografi : jarang memperlihatkan flap diseksi, namun bisa nampak

adanya komplikasi seperti hemoperikardium dan regurgitasi aorta.

 Ekokardiografi transesofagus (TEE) sangat sensitif untuk pencitraan aorta

desendens. Suatu penanda eko khusus dimasukkan melalui esofagus, dan

ditempatkan di belakang jantung, memungkinkan pencitraan pembuluh darah

besar dan jantung, tanpa terhalang tulang-tulang iga tau paru. Gambaran yang

didapatkan berkualitas tinggi. Prosedur ini harus dilakukan oleh operator yang
sangat terampil dan merupakan teknik invasif, pasien membutuhkan sedasi;

karena bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah sementara, yang dapat

memicu perluasan diseksi, oleh karena itu pemeriksaan ini hanya dilakukan di

pusat pelayanan kardiotoraks sebagai pendahuluan sebelum dilakukan

tindakan segera.

2.6 Penatalaksanaan

Diseksi aorta merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diobati

dengan prioritas tinggi. Pertimbangan segera yang harus diperhatikan pada tipe A

maupun tipe B adalah menurunkan tekanan darah sampai sistolik kurang dari 100

mmHg untuk mencegah diseksi atau ruptur lebih lanjut, menggunakan analgesik

opiat dan penyekat beta intravena. Pasien yang mengalami hipotensi akibat

perdarahan harus diresusitasi untuk mempertahankan TD dalam level cukup.

Terapi spesifik tergantung pada asal flap.

 Diseksi tipe A : risiko komplikasi yang berbahaya, kususnya ruptur ke

perikardium, sangat tinggi, dengan rata-rata kematiam per jam ± 2%. Pasien

harus dipindahkan dengan ambulans lampu biru/udara ke pusat pelayanan

kardiotoraks sesegara mungkin, pada waktu kapanpun, dan segera dilakukan

pembedahan untuk mengganti ujung aorta, dengan atau tanpa kelainan katup

aorta sebagai penyerta.

 Tipe B : pembedahan memiliki risiko tinggi sehingga pada keadaan ini

tidak diindikasikan sebagai terapi lini pertama. Tipe ini merupakan indikasi

untuk kontrol TD agresif, dengan target TD sistolik < 100mmHg. Pembedahan

hanya dilakukan bila terjadi komplikasi yang mengancam jiwa, seperti ruptur

yang berbahaya. Lumen palsu bisa membeku dan menjadi stabil.


2.7 Prognosis

Diseksi tipe A memiliki tingkat mortalitas segera yang sangat tinggi,

namun bila pasien tidak mempunyai komplikasi yang mengancam jiwa (seperti

stroke, paraplegia) keadaan pasien setelah pembedahan yang berhasil biassanya

baik. Keadaan setelah terapi pada diseksi tipe B lebih baik, walaupun bisa terdapat

komplikasi lanjut, di antaranya pembentukan dan ruptur aneurisma.


3. ANEURISMA AORTA

Aneurisma aorta merupakan penyakit yang merupakan penyakit yang

mematikan, dimana sekitar 15.000 terjadi kematian tak terduga setiap tahunnya di

Amerika. Insiden aneurisma aorta abdominal menunjukkan peningkatan terutama

pada usia tua. Beberapa data menunjukkan aneurisma aorta abdominal mengenai

6-9% populasi di atas usia 65 tahun.

Aneurisma aorta merupakan suatu keadaan dimana terjadi pelebaran atau

dilatasi aorta lebih dari 50%. Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital

atau akuisita. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi pembentukan aneurisma antara lain usia, hipertensi,

perokok, dan penyakit arteriosklerosis.

Terdapat beberapa teori mengenai patogenesis terjadinya aneurisma aorta

antara lain 1) degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta, 2) inflamasi

dan respon imun, 3) stress biokimia pada dinding, 4) molekular genetik, dan 5)

mekanisme gabungan. Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa

tahun dan sering tanpa gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka

terjadi robekan (ruptur aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding

pembuluh darah (aortic dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.

3.1 Definisi

Istilah aneurisma berasal dari bahasa yunani “aneurysma” berarti

pelebaran. Aneurisma adalah suatu keadaan dilatasi lokal permanen dan


ireversibel dari pembuluh darah, dilatasi ini minimal 50% dari diameter normal.

Ectasia adalah dilatasi arteri kurang dari 50% dari diameter normal. Diameter

normal dari aorta dan arteri, tergantung pada: usia, jenis kelamin, ukuran tubuh,

dan faktor lainnya. Pada pria, aorta infrarenal biasanya antara 14 dan 24 mm, dan

wanita antara 12 dan 21 mm.

Lapisan arteri yang kontak langsung dengan darah adalah tunika intima,

sering disebut intima. Lapisan ini dibentuk terutama oleh sel endothelial.

Berdekatan dengan lapisan ini adalahtunika media, disebut juga lapisan media

terutama dibentuk oleh sel otot polos dan jaringan elastik. Lapisan paling luar

disebut tunika adventitia tersusun oleh jaringan ikat. Terdapat “true aneurysm”

dan “false aneurysm”. Pada “true aneurysm: melibatkan ketiga lapisan dinding

arteri termasuk intima atau endotel. Sedangkan “false aneurysm” atau

pseudoaneurisma hanya melibatkan lapisan terluar dari dinding arteri yaitu tunika

adventitia.

Sebagian besar aneurisma aorta (AA) terjadi pada aorta abdominalis,

disebut aneurisma aorta abdominal atau abdominal aortic aneurysms (AAA).

Aneurisma yang terbentuk di aorta torakalis, disebut thoracic aneurysm (TA).

Aneurisma yang terbentuk di segmen torak dan abdomen disebut

thoracoabdominal aneurysms (TAA).

3.2 Epidemiologi

Insiden aneurisma aorta abdominal menunjukkan peningkatan terutama

pada usia tua. Beberapa data menunjukkan aneurisma aorta abdominal mengenai

6-9% populasi di atas usia 65 tahun. Sekitar 12,8% populasi penduduk Amerika

berusia diatas 65 tahun,diperkirakan 1,5 juta memiliki aneurisma pada tahun 1999
dan lebih dari 2,7 juta penduduk Amerika akan menderita penyakit aneurisma

pada tahun 2025. Pada tahun 2000, National Hospital Discharge Summary

melaporkan lebih dari 30.000 operasi rekonstruksi terbuka aneurisma aorta

abdominalis. Namun demikian, aneurisma aorta abdominal merupakan penyakit

yang mematikan dimana sekitar 15.000 kematian tak terduga setiap tahunnya di

Amerika.

Frekuensi aneurisma mengalami peningkatan terus menerus pada pria

diatas 55 tahun, mencapai puncaknya sebanyak 6% pada usia 80-85 tahun. Pada

wanita, terjadi peningkatan pada usia 70 tahun, mencapai puncaknya sebanyak

4,5% pada usia diatas 90 tahun. Perbandingan pria dan wanita 4 :1 sampai 5 : 1

pada kelompok usia 60 sampai 70 tahun, tetapi usia diatas 80 tahun rasio menjadi

1:1.

3.3 Klasifikasi

Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya, sakulardan

fusiform. Aneurisma sakular menyerupai kantong (sack) kecil, aneurisma hanya

melibatkan sebagian dari lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti

kantong yang menonjol dan berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu

leher yang sempit, aneurisma fusiformis menyerupai kumparan, dilatasi simetris

dan melibatkan seluruh lingkar arteri.

Berdasarkan etiologi aneurisma umunya dibedakan (1) degenerative

aneurysms, disebabkan oleh perubahan aterosklerosis pada dinding pembuluh

darah. (2) Aneurisma kongenital dan aneurisma yang berhubungan dengan

arteritis dan penyakit jaringan ikat sangat jarang.


Berdasarkan letak yang tersering aorta torasika dan aorta abdominalis.

Aneurisma torasika dapat menyerang aorta torasika desenden dibawah arteri

subklavia kiri, aorta asenden diatas katup aorta, dan arkus aorta. Aorta desenden

paling sering terserang. Aoneurisma aorta abdominal dibagi menjadi aneurisma

aorta infrarenal yaitu aneurisma mengenai sebagian segmen aorta dibawah arteri

renalis; aneurisma aorta juxtarenal yaitu mengenai seluruh segmen aorta dibawah

arteri renalis; aneurisma aorta pararenalis yaitu sampai mengenai pangkal arteri

renalis; aneurisma aorta suprarenalis yaitu aneurisma meluas sampai diatas arteri

renalis. Pada aneurisma aorta abdominal lokasi tersering adalah infrarenalis.

Gambar 3.1 Tipe aneurisma aorta


Gambar 3.2 Gambaran Angiography pada aneurisma aorta

3.4 Etiologi

Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau akuisita.

Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, defek pada beberapa komponen dari

dinding arteri serta beberapa faktor risiko untuk terjadinya aneurisma aorta

meliputi tekanan darah yang tinggi, kadar kolesterol yang tinggi, diabetes,

perokok tembakau, dan alkohol.

Pembentukan aneurisma paling sering terjadi pada populasi usia tua.

Penuaan menyebabkan perubahan kolagen dan elastin, yang mengakibatkan

melemahnya dinding aorta dan pelebaran aneurisma.

False aneurysm paling sering terbentuk di aorta desenden dan timbul

akibat ekstravasi darah kedalam suatu kantong yang lemah yang dibentuk oleh

tunika adventitia pembuluh darah, karena peningkatan tegangan dinding, false

aneurysm dapat terus membesar dari waktu ke waktu.

Sindrom Marfan adalah suatu penyakit jaringan ikat yang ditandai adanya

abnormalitas dari skletal, katup jantung, dan mata. Individu dengan penyakit ini
memiliki resiko untuk terbentuknya aneurisma terutama anurisma aorta torakalis.

Sindrom Marfan merupakan kelainan genetik autosomal dominan dimana terjadi

abnormalitas dari fibrilin suatu protein struktural yang ditemukan di aorta.

Sindrom Ehler-Danlos tipe IV merupakan suatu penyakit yang ditandai

oleh defisiensi kolagen tipe III, dan individu dengan penyakit ini dapat memiliki

resiko terbentuknya aneurisma di bagian manapun dari aorta.

3.5 Patogenesis

Aorta manusia adalah sirkuit yang relatif rendah tahanan untuk peredaran

darah. Ekstremitas bawah memiliki tahanan arteri yang terbesar, dan trauma yang

berulang sebagai cerminan gelombang arterial pada distal aorta dapat mencederai

dinding aorta dan menyebabkan degenerasi aneurisma. Hipertensi sistemik juga

dapat mencederai, dan mempercepat ekspansi aneurisma.

Secara hemodinamik, keadaan dilatasi aneurisma dan peningkatan stress

dinding sesuai dengan hukum Laplace. Spesifiknya, hukum Laplace menyatakan

bahwa tekanan dinding proporsional terhadap tekanan dikali radius dari arterial (T

= P x R). Peningkatan diameter, diikuti dengan peningkatan tekanan dinding,

sebagai respon terhadap peningkatan diameter. Meningkatnya tekanan, maka

meningkat pula risiko ruptur. Peningkatan tekanan (hipertensi sistemik) dan

meningkatnya ukuran aneurisma memicu tekanan pada dinding dan lebih lanjut

meningkatkan risiko ruptur.

Patogenesis dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis belum

dimengerti secara baik. Aneurisma aorta abdominalis dikarakteristikkan dengan

destruksi elastin dan kolagen pada tunika media dan adventitia, hilangnya sel otot

polos tunika media dengan penipisan dinding pembuluh, dan infiltrat limfosit dan
makrofag transmural. Atherosclerosis adalah gambaran utama yang mendasari

aneurisma.

Terdapat beberapa mekanisme dalam patogenesis aneurisma aorta

abdominalis:

Degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta, pembentukan

aneurisma melibatkan proses yang komplek dari destruksi tunika media aorta dan

jaringan penyokongnya melalui degradasi elastin dan kolagen. Pada model in vivo

dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis, meliputi aplikasi calcium chloride

dan perfusi elastase intraluminal, telah digunakan untuk meningkatkan peran

berbagai protease selama pembentukan aneurisma. Model tersebut, sebaik yang

telah dipelajari juga pada jaringan aorta manusia, menunjukkan bahwa berbagai

matrix metalloproteinase proteinases (MMPs), berasal dari makrofag dan sel otot

polos aorta, memainkan peran terintegrasi dalam pembentukan aneurisma.

Disolusi kolagen intersisial mengikuti ekspresi dari collagenase MMP-1 dan

MMP-13 pada aneurisma aorta abdominalis manusia. Elastase MMP-2 (gelatinase

A), MMP-7 (matrilysin), MMP-9 (gelatinase B), dan MMP-12 (elastase

makrofag) juga meningkat pada jaringan aneurisma aorta. Matrix

metalloproteinase proteinases-12 (MMP-12), diekspresikan tinggi pada aneurisma

aorta abdominalis manusia dan dapat berperan penting dalam inisiasi aneurisma.

Sebagai tambahan, tingginya kadar MMP-2, ditemukan pada aneurisma aorta

yang kecil, menunjukkan peran MMP-2 pada pembentukan awal aorta. Terakhir

elastase MMP-9 yang dapat diinduksi meningkat pada jaringan aorta, juga pada

serum pasien aneurisma. Selama pembentukan aneurisma, keseimbangan

remodeling dinding pembuluh antara MMPs dan inhibitornya yaitu Tissue


Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), menentukan degradasi elastin dan

kolagen. Lebih lanjut mekanisme biologis yang menginisiasi proteolitik enzim

pada aorta belum diketahui.

Pada tahap awal aneurisma aorta abdominalis, peningkatan kadar kolagen

disproporsional dimana kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan elastin.

Fenomena ini mencerminkan peningkatan destruksi elastin oleh elastase,

insufisiensi elastin disebabkan deplesi VCMCs, mempercepat tegangan dinding

dan kompensasi dengan akumulasi kolagen. Akibat masa kolagen dan peningkatan

lingkar aorta, serat elstin menyebar ke area yang lebih luas dan serat elastin gagal

untuk mengimbangi beban hemodinamik. Semua perubahan lambat laun

meningkatkan diameter aorta. Hal ini juga diketahui bahwa elastin memperkuta

dinding aorta terhadap gelombang pulsatil. Sejumlah penelitian telah

menunjukkan bahwa aktivitas elastase meningkat dalam aorta pasien dengan

penyakit aneurisma. Jadi, elastolisis dapat menjadi gangguan utama yang

mempengaruhi sifat mekanik aorta. Akibatnya, serat kolagen interstisial

melakukan peran utama dalam bantalan tegangan mekanik. Namun, proses

kompensasi ini memiliki sebuah titik akhir. Di luar batas ini, jaringan kolagen

tidak dapat mengkompensasi dampak hemodinamik dan ekspansi aorta terus

terjadi.

Inflamasi dan respon imun, gambaran histologi yang menonjol dari

aneurisma aorta abdominalis adalah infiltrasi transmural oleh makrofag dan

limfosit. Dihipotesiskan bahwa sel ini secara simultan melepaskan kaskade sitokin

yang menghasilkan aktivasi berbagai protease. Pemicu untuk influk dan migrasi

leukosit belum diketahui, tetapi paparan produk degradasi elastin pada dinding
aorta dapat berperan sebagai primary chemotactic attractant untuk infiltrasi

makrofag. Konsep bahwa pembentukan aneurisma adalah respon autoimun

didukung oleh infiltrat ekstensif dari limfosit dan monosit, juga deposisi

imunogobulin G yang reaktif terhadap matriks protein ekstraselular pada dinding

aorta. Tunika adventitia tampaknya adalah area utama yag menjadi tempat

infiltrasi leukosit dan aktivasi inisial MMP. Sitokin dari makrofag dan limfosit

meningkat pada dinding aneurisma aorta, meliputi IL-1ß, TFN-a, IL-6, IL-8,

MCP-1, IFN-g, dan GM-CSF. Sitokin inflamatori ini, bersama dengan

plasminogen aktivator, menginduksi ekspresi dan aktivasi dari MMPs dan TIMPs.

Stress biokimia pada dinding, letak terbanyak adalah infrarenal untuk

pembentukan aneurisma aorta abdominalis menunjukkan perbedaan potensial

pada struktur aorta, biologi dan stress disepanjang aorta. Peningkatan shear dan

tension pada dinding aorta menghasilkan remodeling kolagen. Lebih lanjut,

penurunan rasio elastin terhadap kolagen dari proksimal ke distal aorta dapat

relevan secara klinis semenjak penurunan elastin berhubungan dengan dilatasi

aorta, sementara degradasi kolagen adalah predisposisi untuk ruptur. Saat

aneurisma terbentuk, maka peningkatan stress dinding adalah penting dalam

percepatan dilatasi dan peningkatan risiko ruptur. ß-blockers berperan untuk

mengurangi stress dinding dan telah diperkirakan berperan protektif untuk dilatasi

aneurisma dan ruptur pada model binatang.

Molekular genetik, familial cluster dan subtype HLA menunjukkan baik

peran genetik dan imunologis dalam patogénesis aneurisma. Yang terbaru, tidak

ada polimorfisme gen tunggal atau defek yang dapat diidentifikasi sebagai

denominator yang paling sering untuk aneurisma aorta abdominalis. Beberapa


fenotip telah ditemukan berhubungan dengan pembentukan aneurisma aorta

abdominalis. Sebagai contoh, Hp-2-1 fenotip haptoglobin dan defisiensi a1-

antitrypsin berasosiasi dengan pembentukan aneurisma. Sebagai tambahan,

adanya penurunan frekuensi aneurisma pada pasien dengan Rh-negative blood

group dan penngkatan frekuensi pada pasien dengan MN atau Kell- positive blood

groups.

Mekanisme gabungan, kombinasi dari faktor multipel meliputi stress

hemodinamik lokal, fragmentasi tunika media, dan presdiposisi genetik, lewat

mekanisme imunologi yang tidak diketahui menstimulasi sel sel inflamasi

kedalam dinding aorta. Sel inflamasi kemudian melepaskan chemokine dan

sitokin menghasilkan influk lebih lanjut dari leukosit dengan ekspresi dan aktivasi

protease, terutama MMPs. Protease ini menghasilkan degradasi tunika media dan

dilatasi aneurisma. Peningkatan stress dinding kemudian melanjutkan proses

proteolisis dan progresifitas dilatasi aneurisma dengan ruptur aorta jika tidak

ditangani dengan tepat.

Gambar 3.1 Patogenesis Aneurisma Aorta

3.6 Gejala dan tanda


Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering

tanpa gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan

(ruptur aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding pembuluh darah

(aortic dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.

a Aneurisma aorta abdominal


- Aneurisma asimptomatik

aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan fisik rutin dengan

dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma asimptomatik

ditemukan sebagai penemuan insidental saat pemeriksaan USG abdomen atau CT

scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif pada renal atau

ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus. Aneurisma arteri popliteal

terdapat pada 15% kasus pasien dengan aneurisma aorta abdominalis.

- Aneurisma simptomatik

nyeri midabdominal atau punggung bawah atau keduanya dan adanya pulsasi

aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan aneurisma yang cepat,

ruptur, atau aneurisma aorta inflamatorik. Aneurisma inflamatorik terhitung

kurang dari 5% dari aneurisma aorta dan dikarakteristikkan dengan inflamasi

ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum diketahui. Pada

pasien ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan riwayat

infeksi saluran pernapasan atas yang baru saja; pasien sering sebagai perokok

aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik atau kolonisasi

bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus

diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang

bersamaan dengan fever of unknown origin.

- Ruptur aneurisma
pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung, abdomen, dan flank

serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal dengan prognosis

yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum. Sembilan puluh

persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan untuk

menolong adalah perbaikan bedah emergensi.

Gejala ruptur antara lain:

o Sensasi pulsasi di abdomen


o Nyeri abdomen yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan
o Nyeri dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atau tungkai bawah
o Abdominal rigidity
o Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten,atau

konstan, dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atautungkai bawah


o Anxietas
o Nausea dan vomiting
o Kulit pucat
o Shock
o Massa abdomen

b Aneurisma aorta thoracica

Manifestasi klinisnya tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma,

dan kecepatan tumbuhnya. Sebagian besar adalah asimptomatik dan ditemukan

dalam prosedur diagnostik untuk keadaan lain. Beberapa pasien mengeluh nyeri

substernal, punggung, atau leher. Yang lainnya menderita dispneu, stridor, atau

batuk akibat penekanan pada trakhea, disphagia akibat penekanan pada

esophagus, hoarseness akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra,

atau edema leher dan lengan akibat penekanan pada vena cava superior.

Regurgitasi aorta karena distorsi anulus valvula aortikus dapat terjadi dengan

aneurisma aorta ascenden.

3.7 Pemeriksaan penunjang


a Ultrasound adalah pemeriksaan skrining pilihan dan bernilai juga untuk

mengikuti perkembangan aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang

kecil (<5 cm). Biasanya aneurisma membesar 10% diameter per tahunnya;

sehingga USG abdomen direkomendasikan untuk aneurisma yang lebih

besar 3,5 cm (Nelson, 2009).


b CT scan —tidak hanya tepat dalam menentukan ukuran aneurisma tetrapi

juga menentukan hubungan terhadap arteria renalis (Nelson, 2009).


Angiography aorta (aortography) —diindikasikan sebelum repair aneurisma

arterial oclusive disease pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair

endograft akan dilakukan.

3.8 Penatalaksanaan
a Aneurisma aorta abdominalis

Terapi aneurisma dahulu adalah intervensi bedah atau observasi (watchful

waiting) dengan kombinasi pengawasan tekanan darah. Sekarang, endovascular

atau teknik invasif minimal telah dikembangkan untuk berbagai tipe aneurisma.

Jika aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang

ditemukan saat pemeriksan kesehatan rutin), maka direkomendasikan

pemeriksaan kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan USG tiap tahunnya,

untuk memantau apakah aneurisma menjadi besar.

Indikasi operasi: pasien dengan diagnosis aneurisma ≥ 5 cm atau dengan

pelebaran aneurisma yang progresif dipertimbangkan untuk dilakukan

pembedahan. Perubahan mendadak seperti nyeri yang sangat hebat merupakan

tanda bahaya dan dapat merupakan suatu tanda pelebaran aneurisma yang

progresif, kebocoran, dan ruptur. Tujuan tindakan bedah adalah melaksanakan

operasi sebelum komplikasi terjadi.


Ada dua pendekatan tindakan bedah. Dahulu dengan membuka abdomen.

Pembuluh darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material

sintetis, seperti Dacron. Pendekatan lain disebut endovascular repair . Tube tipis

disebut catheters dimasukkan lewat arteri. Tube ini memungkingkan graft

diletakkan tanpa membuat potongan besar di abdomen dan penyembuhan dapat

lebih cepat. Pasien dengan aneurisma aorta abdominalis sering berhubungan

dengan adanya penyakit jantung, paru, pembuluh darah perifer, dan ginjal.

Penilaian keadaan komorbid penting untuk menentukan resiko untuk perbaikan

dengan pembedahan dan untuk merencanakan intervensi preoperatif untuk

mengurangi resiko pembedahan.

Teknik Perbaikan dengan Pembedahan Terbuka (Open Repair).

Terdapat beberapa pendekatan untuk melakukan pembedahan terbuka,

setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

1. Transperitoneal Approach

Teknik ini memudahkan udan lebih fleksibel untuk mengeksplor AAA,

arteri renali, dan kedua arteri iliaca. Dibuat midline incision abdomen dari xiphoid

sampai pubis, panjang insisi tergantung dari besar aneurisma.

2. Retroperitoneal Approach

Pendekatan transperitoneal pada pasien dengan keadaan abdomen yang

kurang mendukung untuk menjalani operasi seperti aneurisma suprarenal yang

luas, horseshoe kidney, peritoneal dialysis, inflammatory aneurysm, atau asites.

Pada keadaan ini dengan pendekatan retroperitoneal adalah yang paling baik.

Dengan teknik ini, posisi pasien lateral dekubitus kanan. Insisi untuk lapangan
operasi pada pertengahan dari atas crista iliaca dan tepi kosta. Lengan kiri diberi

bantalan dan diletakkan diatas lengan kanan dengan diberi penyokong. Derajat

kemiringan bahu 600 dan panggul 300 untuk memudahakan mengeksplor lapangan

operasi. Insisi pada sela iga X dimulai dari linea aksilaris posterior dilebarkan ke

medial sampai batas lateral rectus sheat menuju titik tengah antara umbilikus dan

simfisis pubis.

3. Minimal Incision Aortic Surgery

Pemilihan pasien sangat penting karena pasien obesitas dan yang

membutuhkan graft bercabang bukan kandidat dengan prosedur ini. Panjang insisi

midline di periumbilikan kurang dari 12 sampai 15 cm, sampai kurang dari 9 cm

insisi proksimal dari umbilikus.

Endovascular Aortic Aneurysm Repair (EVAR).

Teknik EVAR, stent-graft dimasukkan ke dalam lumen aneurisma melalui

arteri femoralis dan difiksasi ditempatnya pada leher aorta yang tidak mengalami

aneurisma dan arteri iliaca dengan melebarkan stent atau balloon-expandable

stents. Beberapa stent-grafts memiliki mata kail, pin, atau kait untuk fiksasi stent.

b Aneurisma aorta Thoracica

Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau

ukuran yang lebih besar dari 5 cm. Risiko operasi dari kondisi komorbid harus

dipertimbangkan jika merekomendasikan repair aneurisma yang asimtomatik.


Morbiditas dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan aneurisma aorta

abdominal. Insisi aneurisma thoracoabdominal berasosiasi dengan risiko tinggi

komplikasi pulmonal dan manajemen nyeri postoperatif yang lebih ekstensif.

Adanya nervus laryngeus recurrent, nervus phrenicus, dan arteria subklavia

membuat trauma terhadap bangunan tersebut menjadi mungkin. Arteria radicularis

major (artery of Adamkiewicz) muncul dari arteri intercostalis antara T8 dan L1

dan sebagai arteri medulla spinalis yang dominan pada 80% pasien, menunjukkan

adanya risiko paraplegi selama repair aneurisma thoracica. Repair endovascular

dari aneurisma aorta thoracica mengurangi risiko kardiopulmonal, tetapi lokasi

aneurisma yang sulit dapat menggantikan repair endovascular dengan metode

terkini. Penelitian terbaru mengembangkan branched stent graft untuk perbaikan

dari aneurisma arkus dan thorakoabdominal.

3.9 Prognosis

Outcome biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang

berpengalaman sebelum ruptur. Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari ruptur

aneurisma abdominal. Mortalitas setelah open elective atau endovascular repair

adalah 1-5%. Pada umumnya pasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar dari

5 cm mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk meninggal sebagai

konsekuensi dari ruptur dibandingkan dari reseksi bedah. Survival rate 5 tahun

setelah tindakan bedah adalah 60-80%. 5- 10% pasien akan mengalami

pembentukan aneurisma lainnya berdekatan dengan graft.


4. THROMBOFLEBITIS

4.1 Definisi

Tromboflebitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.

Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat

dengan kulit. Tromboflebitis adalah peradangan dinding vena dan biasanya

disertai pembentukan bekuan darah (thrombus). Ketika pertama kali terjadi


bekuan pada vena akibat statis atau hiperkoagulabilitas, tanpa disertai peradangan

maka proses ini dinamakan flebotrombosis.

Tromboflebitis biasanya terdapat di vena kaki atau lengan. Dengan hati-

hati, masalah ini harus diselesaikan sampai dalam waktu 2 sampai 3 minggu.

Tromboflebitis paling sering mempengaruhi vena superfisial di kaki, tetapi dapat

juga mempengaruhi vena superfisial di paha. Sering kali, tromboflebitis terjadi

pada orang dengan varises, namun kebanyakan orang dengan varises tidak

mengembangkan tromboflebitis.

Tromboflebitis melibatkan reaksi inflamasi akut yang menyebabkan

trombus untuk tetap pada dinding pembuluh darah dan mengurangi kemungkinan

thrombus hilang. Tidak seperti dalam vena, vena superfisial tidak memiliki otot-

otot sekitarnya untuk menekan dan mengusir trombus. Karena ini, tromboflebitis

superfisialis jarang menyebabkan emboli. Tromboflebitis yang berulang kali

terjadi di vena yang normal disebut bermigrasi radang pembuluh darah atau

migrasi tromboflebitis. Ini mungkin menunjukkan kelainan yang mendasari serius,

seperti kanker dari organ internal.

Tromboflebitis merupakan inflamasi permukaan pembuluh darah disertai

pembentukan pembekuan darah. Bekuan darah dapat terjadi di permukaan atau di

dalam vena. Tromboflebitis cenderung terjadi pada periode pasca partum pada

saat kemampuan penggumpalan darah meningkat akibat peningkatan fibrinogen;

dilatasi vena ekstremitas bagian bawah disebabkan oleh tekanan kepala janin

kerena kehamilan dan persalinan; dan aktifitas pada periode tersebut yang

menyebabkan penimbunan, statis dan membekukan darah pada ekstremitas bagian

bawah.
4.2 Klasifikasi Tromboflebitis

Tromboflebitis dibagi menjadi 2, yaitu:

a Pelvio tromboflebitis

Pelvio tromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum

latum, yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena hipograstika. Vena yang paling

sering terkena ialah vena ovarika dekstra karena infeksi pada tempat implantasi

plasenta yang terletak dibagian atas uterus; proses biasanya unilateral. Perluasan

infeksi dari vena ovarika sinistra ialah ke vena renalis, sedangkan perluasan

infeksi dari vena ovarika dekstra ialah ke vena kava inferior. Peritonium selaput

yang menutupi vena ovarika dekstra dapat mengalami inflamasi dan dapat

menyebabkan perisalpingo-ooforitis dan periapendistits. Perluasan infeksi dari

vena uterina ialah ke vena iliaka komunis. Biasanya terjadi sekitar hari ke-14 atau

ke-15 pasca partum.

b Tromboflebitis Femoralis

Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena

femarolis, vena poplitea dan vena safena. Sering terjadi sekitar hari ke-10 pasca

partum. Komplikasi jarang terjadi, tapi ketika mereka terjadi mereka bisa serius.

Komplikasi yang paling serius terjadi ketika bekuan darah dislodges, bepergian

melalui hati dan occluding lebat jaringan kapiler paru-paru; ini adalah emboli

paru-paru dan sangat mengancam nyawa. Gangguan ini berjalan secara cepat,

dapat berlanjut menjadi emboli paru-paru yang berkemampuan menjadi

komplikasi fatal.

4.3 Keadaan-Keadaan Khusus Tromboflebitis


a Flebitis Migrans
Suatu keadaan yang menyangkut reaksi menyeluruh dari system vena karena

berbagai etiologi yang menimbulkan gangguan dari vena.

Penyakit-penyakit yang umumnya berkaitan dengan gejala ini :

- Fase awal dari Beurger Disease

- Reaksi alergi (keadaan yang lebih dari gatal-gatal)

- Adanya malignitas (gejala adanya penyebaran hematogen)

- Penyakit Lupus

Tanda-tanda flebitis migrans :

- timbul gejala-gejala flebitis di satu segmen vena yang menghilang sendiri

dengan meninggalkan bercak hitam/ kecoklatan.

- beberapa hari timbul lagi pada daerah vena yang lain, biasanya pada ekstremitas

yang sama lagi.

- dapat disertai febris atau menggigil

- LED meningkat

b. Tromboflebitis Septik

Yaitu gejala-gejala tromboflebitis yang disertai pembentukan abces atau

nanah pada tempat radang dan penyebaran secara hematogen. Timbul gejala-

gejala sepsis : febris, menggigil dan memerlukan perawatan di Rumah Sakit.

Dalam menghadapi kasus seperti ini, diperlukan perawatan khusus dari

berbagai segi : pemberian infus/cairan, antibiotika dosis tinggi, kortikosteroid dan

cara-cara pengobatan sepsis lainnya.

c. Tromboflebitis vena dalam (Deep Vein Thrombophlebitis)

Yaitu kedaan flebitis dari vena-vena daerah vena femoralis, vena iliaka eksterna

dan vena iliaka communis.


4.4 Etiologi Tromboflebitis

Faktor penyebab terjadinya infeksi tromboflebitis antara lain :

a. Pasca bedah, perluasan infeksi endometrium.

b. Mempunyai varises pada vena

Pada vena yang sebelumnya terdapat venaektasia atau varises, maka

terdapatnya turbulensi darah pada kantong-kantong vena di sekitar klep (katup)

vena merangsang terjadinya thrombosis primer tanpa disertai reaksi radang

primer, yang kemudian karena faktor lokal, daerah yang ada trombusnya tersebut

mendapat radang. Menipisnya dinding vena karena adanya varises sebelumnya,

mempercepat proses keradangan. Dalam keadaan ini, maka dua factor utama :

kelainan dinding vena dan melambatnya aliran darah, menjadi sebab penting dari

terjadinya tromboplebitis.

c. Obesitas

Bila keadaan dehidrasi berat, koagulasi intravascular yang meluas ataupun

infeksi sistemik dapat menimbulkan rangsangan untuk pathogenesis ini.

d. Pernah mengalami tromboflebitis

e. Berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada posisi stir up

untuk waktu yang lama

f. Trauma

Beberapa sebab khusus karena rangsangan langsung pada vena dapat

menimbulkan keadaan ini. Umumnya pemberian infus (di lengan atau di tungkai)

dalam jangka waktu lebih dari 2 hari pada tempat yang sama atau pemberian obat

yang iritan secara intra vena.


g. Adanya malignitas (karsinoma), yang terjadi pada salah satu segmen vena.

Tumor-tumor intra abdominal, umumnya yang memberikan hambatan aliran vena

dari ekstremitas bawah, hingga terjadi rangsangan pada segmen vena tungkai.

h. Memiliki insidens tinggi untuk mengalami tromboflebitis dalam keluarga.

Kelainan jantung yang secara hemodinamik menyebabkan kelainan pula pada

system aliran vena.

4.5 Patofisiologi Tromboflebitis

Terjadinya thrombus :

a Abnormalitas dinding pembuluh darah

Formasi trombus merupakan akibat dari statis vena, gangguan koagubilitas

darah atau kerusakan pembuluh maupun endotelial. Stasis vena lazim dialami oleh

orang-orang yang imobilisasi maupun yang istirahat di tempat tidur dengan

gerakan otot yang tidak memadai untuk mendorong aliran darah. Stasis vena juga

mudah terjadi pada orang yang berdiri terlalu lama, duduk dengan lutut dan paha

ditekuk, berpakaian ketat, obesitas, tumor maupun wanita hamil.

b. Perubahan komposisi darah (hyperkoagulabilitas)

Hyperkoagulabilitas darah yang menyertai trauma, kelahiran dan IMA juga

mempermudah terjadinya trombosis. Infus intravena, banyak faktor telah

dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis karena infus intravena, antara lain:

(1) Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan (flebitis kimia)

- pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi.

Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain

kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam,

midazolam dan banyak obat khemoterapi.


- Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama

pencampuran.

- Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat

dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan

vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut

- Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding

politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik

dan lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari

polivinil klorida atau polietilen.

(2) Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi.

(Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis

mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi

dengan baik).

(3) Agen infeksius.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:

 Teknik pencucian tangan yang buruk


 Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak.
 Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
 Teknik aseptik tidak baik
 Teknik pemasangan kanula yang buruk
 Kanula dipasang terlalu lama
 Tempat suntik jarang diinspeksi visual
c Gangguan aliran darah

4.6 Manifestasi Klinis Tromboflebitis

Penderita-penderita umumnya mengeluh spontan terjadinya nyeri di daerah

vena (nyeri yang terlokalisasi), yang nyeri tekan, kulit di sekitarnya kemerahan

(timbul dengan cepat diatas vena) dan terasa hangat sampai panas. Juga
dinyatakan adanya oedema atau pembengkakan agak luas, nyeri bila terjadi atau

menggerakkan lengan, juga pada gerakan-gerakan otot tertentu. Pada perabaan,

selain nyeri tekan, diraba pula pengerasan dari jalur vena tersebut, pada tempat-

tempat dimana terdapat katup vena, kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai tanda

adanya hambatan aliran vena dan menggembungnya vena di daerah katup.

Fluktuasi ini dapat pula terjadi karena pembentukan abses. Febris dapat terjadi

pada penderita-penderita ini, tetapi biasanya pada orang dewasa hanya dirasakan

sebagai malaise.

a. Pelvio tromboflebitis

1. Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian samping,

timbul pada hari ke-2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas.

2. Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik sebagai berikut:

Menggigil berulang kali, menggil inisial terjadi sangat berat (30-40 menit)

dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari pada waktu

menggigil penderita hampir tidak panas.

Suhu badan naik turun secara tajam (36oC menjadi 40oC) yang diikuti

penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis).

Penyakit dapat langsung selama 1-3 bulan.

3. Abses pada pelvis

4. Gambaran darah

Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi,

dapat segera terjadi leukopenia).Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada
saat tepat sebelum mulainya menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena

bakterinya adalah anaerob.

5. Pada periksa dalam hampir tidak diketemukan apa-apa karena yang paling

banyak terkena adalah vena ovarika; yang sukar dicapai dalam pemeriksaan

dalam.

6. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pada paru- paru (infark, abses,

pneumonia), pada ginjal sinistra yang diiikuti proteinurina, hematuria, pada

persedian.

b. Tromboflebitis femoralis

1. Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari, kemudian

suhu mendadak naik kira-kira pada hari ke-10-20 yang disertai dengan menggigil

dan nyeri sekali.

2. Pada salah satu kaki yang terkena, biasanya kaki kiri akan memberikan tanda-

tanda sebagai berikut:

 Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar bergerak,

lebih panas dibandingkan dengan kaki lainnya.


 Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan keras pada

paha bagian atas.


 Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha.
 Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi bengkak,

tegang, putih, nyeri, dan dingin dan pulsasi menurun.


 Edema kadang-kadang terjadi sebelum atau sesudah nyeri dan pada

umumnya terdapat pada paha bagian atas, teatapi lebih sering dimulai dari

jari-jari kaki dan pergelangan kaki kemudian melus dari bawah ke atas.
 Nyeri pada betis, yang terjadi spontan atau dengan memijat betis atau

dengan meregangkan tendo akhiles (tanda homan positif).

4.7 Penatalaksanaan Tromboflebitis

a. Pelvio tromboflebitis

 Lakukan pencegahan terhadap endometritis dan tromboflebitis dengan

menggunakan teknik aseptik yang baik.


 Rawat inap : penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakit dan

mencegah terjadinya emboli pulmonum.


 Terapi medik: pemberian antibiotika, heparin terdapat tanda-tanda atau

dugaan adanya emboli pulmonum.


 Terapi operatif : pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika

emboli septik terus berlangsung sampai mencapai paru-paru; meskipun

sedang dilakukan hipernisasi, siapkan untuk menjalani pembedahan.

b. Tromboflebitis femoralis

 Terapi medik : Pemberian analgesik dan antibiotik.


 Anjurkan ambulasi dini untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas

bawah dan menurunkan kemungkinan pembentukan pembekuan darah.

Jauhkan tekanan dari daerah untuk mengurangi rasa sakit dan mengurangi

risiko kerusakan lebih lanjut.


 Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi pembengkakan.

Pastikan Pasien untuk tidak berada pada posisi litotomi dan menggantung

kaki lebih dari 1 jam, dan pastikan untuk memberikan alas pada

penyokong kaki guna mencegah adanya tekanan yaang kuat pada betis.
 Sediakan stocking pendukung kepada Pasien pasca partum yang memiliki

varises vena untuk meningkatkan sirkulasi vena dan membantu mencegah

kondisi stasis.
 Instruksikan kepada Pasien untuk memakai stocking pendukung sebelum

bangun pagi dan melepaskannya 2x sehari untuk mengkaji keadaan kulit

dibawahnya.
 Anjurkan tirah baring dan mengangkat bagian kaki yang terkena.
 Dapatkan nilai pembekuan darah perhari sebelum obat anti koagulan

diberikan.
 Berikan anti koagulan, analgesik, dan anti biotik sesuai dengan resep.
 Berikan alat pamanas seperti lampu. Atau kompres hangat basah sesuai

instruksi, pastikan bahwa berat dari kompres panas tersebut tidak menekan

kaki Pasien sehingga aliran darah tidak terhambat.


 Sediakan bed cradle untuk mencegah selimut menekan kaki yang terkena.
 Ukur diameter kaki pada bagian paha dan betis dan kemudian bandingkan

pengukuran tersebut dalam beberapa hari kemudian untuk melihat adanya

peningkatan atau penurunan ukuran.


 Dapatkan laporan mengenai lokea dan timbang berat pembalut perineal

untuk mengkaji pendarahan jika Pasien dalam terapi antikoagulan.


 Adanya kemungkinan tanda pendarahan lain, misalnya: pendarahan pada

gusi, bercak ekimosis, pada kulit atau darah yang keluar dari jahitan

episiotomi.
 Yakinkan Pasien bahwa heparin yang diterimanya dapat dilanjutkan pada

masa menyusui karena obat ini tidak akan berada didalam air susu.
 Siapkan pemberian protamin sulfat sebagai antagonis heparin.
 Jelaskan pada Pasien mengenai pemberian heparin yang harus dilakukan

melalui terapi sub kutan Jelaskan kepada Pasien bahwa untuk kehamilan

selanjutnya ia harus memberitahukan tenaga kesehatan yang dia hadapi

untuk memastikan bahwa pencegahan trombofrebitis yang tepat telah

dilakukan.
Pola Pengobatan Tromboflebitis

Flebitis superfisialis sering menghilang dengan sendirinya. Untuk

mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya Aspirin, ibuprofen).

Untuk mempercepat penyembuhan, bisa disuntikkan anestesi (obat bius) lokal,

dilakukan pengangkatan trombus dan kemudian pemakaian perban kompresi

selama beberapa hari.

Jika terjadi di daerah selangkangan, trombus bisa masuk ke dalam vena

dalam dan terlepas. Untuk mencegah hal ini, dianjurkan untuk melakukan

pembedahan darurat guna mengikat vena permukaan. Untuk rekomendasi lebih

spesifik, lihat kondisi tertentu. Secara umum, pengobatan dapat mencakup sebagai

berikut: Obat analgesik (nyeri obat), antikoagulan atau pengencer darah untuk

mencegah pembentukan gumpalan baru, Trombolitik untuk melarutkan bekuan

yang sudah ada, non-steroid obat anti inflamasi (OAINS), seperti ibuprofen untuk

mengurangi rasa sakit dan peradangan, antibiotik (jika infeksi hadir).


5. TROMBOSIS VENA DALAM

5.1 Definisi

Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) merupakan kondisi di

mana darah pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku.

Embolisasi dari trombus menimbulkan emboli paru (pulmonary embolus,PE)

sementara kerusakan vena lokal dapat menyebabkan hipertensi vena kronis dan

ekstremitas pascaflebitis (postphlebitic limb, PPL).

Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah

vena. Terdapat dua mekanisme yang mengawali terjadinya trombosis yaitu

kerusakan endotel paru dan kombinasi statis serta kegagalan sistem fibrinolitik.

5.2 Epidemiologi

DVT sangat sering dijumpai pada pasien medis dan bedah, menyerang

sekitar 10-30% dari seluruh pasien bedah umum yang berusia di atas 40 tahun dan

menjalani operasi besar. Emboli paru sering menyebabkan kematian tiba-tiba

pada pasien rumah sakit (0,5-3,0% pasien meninggal karena emboli paru).

5.3 Etiologi

Adapun faktor resiko tinggi untuk menderita trombosis vena dalam adalah:

a. Riwayat trombosis dan stroke


b. Pasca tindakan bedah
c. Imobilisasi yang lama
d. Gagal jantung kronik
e. Penyakit keganasan
Faktor resiko lainnya:

a Usia di atas 40 tahun


b Obesitas
c Sepsis
d Trombofilia
e Penyakit inflamasi usus
f Trauma
g Penyakit jantung
h Kehamilan/estrogen

Trias Virchow:

a Stasis
b Jejas endotel
c Hiperkoagulasi

5.4 Patofisiologi

Terjadinya trombosis vena akibat aliran darah menjadi lambat atau

terjadinya statis aliran darah, sedangkankelainan endotel pembuluh darah jarang

menjadi faktor penyebab. Trombus vena sebagian besar terdiri dari fibrin dan

eritrosit yang hanya mengandung sedikit masa trombosit. keadaan ini menyerang

semua usia, tersering setelah 60 tahun.

Patologi terjadinya trombosis vena dalam :

a Agregasi platelet pada kantung katup (area statis atau luka maksimal)
b Aktivasi kaskade pembekuan yang menghasilkan fibrin.
c Produksi fibrin mengalahkan sistem antikoagulan/fibrinolitik
d Riwayat perjalanan penyakit

5.5 Gambaran klinis dan diagnosis

Gejala klinis yang sering ditemukan :

 Pembekakan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan


 Nyeri dapat timbul jika tungkai ditekukkan
 Kemerahan dan nyeri tekan pada daerah yang terkena
 Edema pergelangan kaki, pireksia ringan
 Flegmasia alba/caerulea dolens

Diagnosis trombosis vena dalam dapat dilakukan dengan :

a Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan

fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena

b Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema, eritema, peningkatan suhu lokal

tempat yang terkena, homan sign (+) dan pembuluh vena teraba.

c Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan venografi, kadar antitrombin III menurun, kadar fibrinogen

degradation product meningkat, titer D-dimer meningkat.

5.6 Penatalaksanaan

Terapi farmakologi :

a Antikoagulasi selama 3-6 minggu


 Heparin i.v, digunakan untuk menjaga tingkat keasaman dari

antikoagulan dan memperkecil manifestasi perdahan, periksa efektivitas

dengan APTT.
 Warfarin, periksa efektivitas dengan PT
b Trombolisis
c Trombektomi

Non-farmakologi :

 Tinggikan ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena


 Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler
 Latihan lingkup gerak sendiri
 Pemakaian alas kaki elastis
6. VARISES VENA TUNGKAI

6.1 Definisi

Varises vena tungkai bawah (VVTB) adalah vena superfisial tungkai

bawah yang mengalami dilatasi, pemanjangan, dan berkelok-kelok dengan fungsi

katup yang abnormal.

6.2 Epidemiologi

Varises vena tungkai bawah lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.

Prevalensi VVTB di populasi barat usia lebih dari 15 tahun adalah 10-15% pada

pria dan 20-25% pada wanita. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 15% pada
pria dan 27,7% pada wanita. Dilaporkan VVTB lebih tinggi pada ras Hispanik

(26,3%) dibandingkan dengan ras Asia (18,7%).

Dari penelitian Hirai dkk di Jepang didapatkan sebanyak 42% pasien

VVTB dengan adanya riwayat keluarga dan sebanyak 14% pada pasien VVTB

tanpa riwayat keluarga.

Insiden VVTB meningkat seiring bertambahnya usia. Menurut penelitian

yang dilakukan di Inggris, prevalensi pada penderita usia 40 tahun adalah 22%

sedangkan pada usia 50 tahun adalah 35% dan pada usia 60 tahun adalah 41%.17

Di Indonesia, belum ada angka yang pasti mengenai insiden terjadinya VVTB.

6.3 Anatomi dan Fisiologi Vena Tungkai Bawah

Sistem vena pada tungkai terdiri dari komponen vena superfisialis vena

profunda, dan vena perforantes (penghubung). Walaupun vena menyerupai arteri

tetapi dindingnya lebih tipis, lapisan otot bagian tengah lebih lemah, jaringan

elastis lebih sedikit serta terdapat katup semilunar. Katup vena merupakan struktur

penting dari sistem aliran vena, karena berfungsi mencegah refluks aliran darah

vena tungkai. Katup vena bersama dengan kontraksi otot betis akan mengalirkan

darah dari vena superfisialis ke profunda menuju jantung dengan melawan gaya

gravitasi. Pompa otot betis secara normal membawa 85-90% darah dari aliran

vena tungkai, sedangkan komponen superfisialis membawa 10-15% darah.

Vena-vena superfisialis dapat dilihat di bawah permukaan kulit, terletak di

dalam lemak subkutan, tepatnya pada fasia otot dan merupakan tempat

berkumpulnya darah dari kulit setelah melalui cabang kecil. Vena superfisialis

yang utama adalah vena safena magna (VSM) dan vena safena parva (VSP).
Kedua vena ini berhubungan di beberapa tempat melalui vena-vena kecil. Istilah

safena berasal dari bahasa Yunani safes, artinya mudah terlihat atau jelas, sesuai

dengan keadaannya di tubuh.

Vena safena magna merupakan vena terpanjang di tubuh, mulai dari kaki

sampai ke fossa ovalis dan mengalirkan darah dari bagian medial kaki serta kulit

sisi medial tungkai. Vena ini merupakan vena yang paling sering menderita

VVTB. Menurut Lofgren dan Rivlin VSM 5-6 kali lebih sering terkena VVTB

dibanding VSP. Di tungkai bawah VSM berdampingan dengan n. Safena, suatu

saraf kulit cabang n. Femoralis yang mensarafi permukaan medial tungkai bawah.

Vena safena parva terletak di antara tendo Achilles dan maleolus lateralis.

Pada pertengahan betis menembus fasia, kemudian bermuara ke v. poplitea

beberapa sentimeter di bawah lutut.Vena ini mengalirkan darah dari bagian lateral

kaki. Mulai dari maleolus lateralis sampai proksimal betis VSP terletak sangat

berdekatan dengan n. Suralis, yaitu saraf sensorik yang mensarafi kulit sisi lateral

kaki.

Vena perforantes (penghubung) adalah vena yang menghubungkan vena

superfisial ke vena profunda, yaitu dengan cara langsung menembus fasia (direct

communicating vein). Vena ini mempunyai katup yang mengarahkan aliran darah

dari vena superfisial ke vena profunda. Bila katup ini tidak berfungsi (mengalami

kegagalan) maka aliran darah akan terbalik sehingga tekanan vena superfisial

makin tinggi dan varises dengan mudah akan terbentuk.

Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari a. tibialis anterior

dan a. tibialis posterior yang melanjutkan sebagaiv.poplitea dan v.femoralis. Vena

profunda ini membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus
soleal dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot

misalnya saat olahraga.

Selama kontraksi otot betis, katup-katup v. perforantes dan vena

superfisialis menutup, sehingga darah akan mengalir kearah proksimal melalui

sistem vena profunda. Pada waktu relaksasi, vena profunda mengalami dilatasi

yang menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini akan menarik darah dari

sistem vena superfisialis ke dalam sistem profunda melalui v. perforantes.

Penderita dengan insufisiensi vena, darah mengalir dari sistem vena profunda ke

dalam vena superfisialis. Sedangkan pada orang sehat katup-katup dalam v.

perforantes mencegah hal ini.


Gambar 6.1Diagram skematis pompa otot betis

Sumber :Wesley K Lew23

6.4 Etiopatogenesis

Patofisiologi terjadi VVTB pada dasarnya dibagi menjadi 4 faktor yang

dapat saling tumpang tindih yaitu:

1) Peningkatan tekanan vena profunda

2) Inkompetensi katup primer


3) Inkompetensi katup sekunder

4) Kelemahan fasia

Keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena

profunda adalah peningkatan tekanan intra abdomen (keganasan abdominal,

ascites, kehamilan), inkompetensi safenofemoral, inkompetensi katup vv

perforantes, obstruksi vena intraluminal. Kembalinya darah yang efisien ke

jantung tergantung pada fungsi sistem vena profunda. Jika otot tungkai

berkontraksi, darah seolah-olah diperas dari sinusoid vena otot dan vena

disekitarnya sehingga terjadi peningkatan vena profunda. Kontraksi otot-otot betis

bisa menyebabkan tekanan vena profunda meningkat sampai 200 ml Hg atau

lebih. Bila terjadi inkompetensi katup, maka tekanan tersebut dapat menyebabkan

aliran darah berbalik dari vv profunda ke vv superfisial, sehingga setiap gerakan

otot akan semakin menambah jumlah darah kearah v. profunda dan v. superfisial,

akibatnya terjadi peningkatan tekanan vena dan gangguan mikrosirkulasi.

Hipertensi vena kronis pada tungkai menyebabkan aliran tidak beraturan

hingga terjadi dilatasi vena dan inkompetensi katup lebih lanjut. Katup yang

lemah atau tidak berfungsi dapat merupakan faktor pencetus yang mengubah

haemodinamik vena sehingga terjadi VVTB.

Inkompetensi katup primer dapat terjadi karena kerusakan katup yang

menetap, misal destruksi atau agenesis katup. Inkompetensi katup sekunder

merupakan penyebab tersering VVTB, katup tersebut dapat normal tetapi menjadi

inkompeten akibat pelebaran dinding vena atau karena destruksi paska trombosis

vena profunda.Vena safena magna dan cabang-cabangnya merupakan tempat yang

paling sering mengalami varises, sebab dinding vena superficial ini lemah. Vena
safena magna hanya mempunyai sedikit jaringan penyangga berupa jaringan ikat,

lemak subkutis, dan kulit sehingga tidak mampu menahan tekanan hidrostatik

yang tinggi akibat gaya gravitasi.

6.5 Klasifikasi

Varises vena tungkai bawah terdiri dari varises primer dan varises

sekunder. Varises primer merupakan jenis terbanyak (85%). Penyebabnya tidak

diketahui secara pasti, hanya diduga karena kelemahan dinding vena sehingga

terjadi pelebaran. Kegagalan katup disebabkan oleh pelebaran yang terjadi, bukan

sebaliknya. Clark dkk telah membuktikan dengan penelitian prospektif bahwa

elastisitas dinding vena tungkai orang normal lebih tinggi daripada penderita

VVTB. Psaila dan Melhuish menemukan kadar kolagen (hidroksiprolen) dinding

vena orang normal lebih tinggi daripada penderita VVTB. Kedua kelompok

peneliti tersebut menyimpulkan, pada varises primer terjadi perubahan struktur

dinding vena yang menyebabkan kelemahannya.

Varises sekunder disebabkan oleh peninggian tekanan vena superfisial

akibat suatu kelainan tertentu. Kelainan tersebut berupa sindrom paska flebitis

(kegagalan vena menahun), fistula arteri vena, sumbatan vena profunda karena

tumor atau trauma serta anomali vena profunda atau vena perforantes. Artinya

varises sekunder diawali oleh kegagalan vena perforantes akibat kelainan-

kelainan tersebut di atas.

Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic, Pathophysiologic

(CEAP) VVTB dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi klinisnya, yaitu :

1) Derajat 0 : tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena

2) Derajat 1 : telangiektasis, vena retikular


3) Derajat 2 : varises vena

4) Derajat 3 : edem tanpa perubahan kulit

5) Derajat 4 : perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis statis,

lipodermatosklerosis)

6) Derajat 5 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah sembuh

7) Derajat 6 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus aktif

6.6 Gambaran klinis

Gejala Klinis VVTB timbul akibat adanya hipertensi vena baik karena

obstruksi, refluks atau kombinasi keduanya.

Secara klinis VVTB dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu :

1) Varises trunkal

Merupakan varises VSM dan VSP, diameter lebih dari 8 mm, warna biru-

biru kehijauan.

2) Varises retikular

Varises yang mengenai cabang VSM atau VSP yang umumnya kecil dan

berkelok-kelok, diameter 2-8 mm, warna biru kehijau-hijauan.

3) Varises kapiler

Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus

dari pembuluh darah, diameter 0,1-1 mm, warna merah, atau sianotik (jarang).

Sesuai dengan berat ringannya, VVTB dibagi atas empat stadium, yaitu :

1) Stadium I

Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah

berdiri atau duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tak jelas.

2) Stadium II
Mulai tampak pelebaran vena, palpabel, dan menonjol.

3) Stadium III

Varises tampak jelas, memanjang, berkelok-kelok pada paha atau tungkai

bawah, dapat disertai telangiektasis/spider vein.

4) Stadium IV

Terjadi kelainan kulit dan/atau ulkus karena sindrom insufisiensi vena

menahun.

6.7 Diagnosis

Sebelum melakukan pemeriksaan khusus pada penderita VVTB,

pemeriksaan klinis tetap merupakan dasar penilaian medis. Evaluasi penderita

VVTB dimulai dengan riwayat penyakitnya, meskipun saat ini teknologi dalam

menentukan diagnosis kelainan vena sudah berkembang pesat.

Anamnesis

Secara garis besar, anamnesis yang penting ditanyakan antara lain :

1) Keluhan penderita

Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi

terbakar pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik.

Keluhan biasanya berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau

pemakaian bebat elastik dan makin bertambah setelah berdiri lama, selama

kehamilan, menstruasi, atau pengobatan hormonal.

2) Gejala dan perkembangan

Lesi adalah faktor penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengetahui

keparahan penyakit dan perencanaan pengelolaan.

3) Faktor predisposisi.
4) Riwayat penyakit sistemik, pengobatan, dan tindakan medis/pembedahan

sebelumnya.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sistem vena cukup sulit. Di sebagian besar wilayah

tubuh, sistem vena profunda tidak dapat dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi,

auskultasi. Pemeriksaan sistem vena superfisial harus berfungsi sebagai panduan

langsung ke sistem vena profunda.

1) Inspeksi

Inspeksi tungkai dilakukan di bawah penyinaran yang cukup pada posisi

eksorotasi tungkai dan pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah belakang

akan membantu visualisasi VVTB. Perlu diperhatikan tanda kronisitas dan

kelainan kulit seperti talengiektasis, dermatitis statis, edem, perdarahan, ulkus.

Vena yang mengalami VVTB diperhatikan apakah vena superfisial utama (VSM

dan VSP) atau cabangnya. Biasanya vena tersebut tampak jelas melebar, berkelok-

kelok, dan berwarna kebiruan. Varises vena tungkai bawah pada cabang vena

superfisial biasanya lebih berkelok-kelok dibanding pada vena superfisial utama.

2) Palpasi

Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai ketegangan VVTB dan

besarnya pelebaran vena. Pulsasi arteri harus teraba, bila tidak teraba maka harus

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada obstruksi arteri.

Distribusi anatomi VVTB perlu digambarkan dengan jelas.

3) Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui keadaan katup vena superfisial.

Caranya dengan mengetuk vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang

yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal.

4) Manuver Perthes

Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran

darah retrogade dengan aliran darah antegrade. Tes ini digunakan untuk penentuan

berfungsinya sistem vena profunda. Penderita berdiri beberapa saat lalu dipasang

ikatan elastis di bawah lutut untuk membendung vena superfisial. Kemudian

penderita melakukan gerakan berjingkat beberapa kali agar otot-otot betis

berkontraksi sehingga darah dipompa dari sinusoid vena otot dan vena sekitarnya.

Bila vena yang terletak di distal dari ikatan kempis / kosong berarti katup-katup

vena perforantes dan vena profunda berfungsi baik dan tidak ada sumbatan.

Sebaliknya bila vena superfisial bertambah lebar berarti katup-katup tersebut

mengalami kegagalan atau terdapat sumbatan pada vena profunda.

5) Tes Trendelenburg

Tes ini digunakan untuk menentukan derajat insuffisiensi katup pada vena

komunikans. Mula-mula penderita berbaring dengan tungkai yang akan diperiksa

ditinggikan 30°-45° selama beberapa menit untuk mengosongkan vena. Setelah itu

dipasang ikatan yang terbuat dari bahan elastis di paha, tepat di bawah

percabangan safenofemoral untuk membendung vena superfisial setinggi

mungkin. Kemudian penderita berdiri dan pengisian vena diperhatikan. Bila vena

lambat sekali terisi ke proksimal, berarti katup komunikans baik. Vena terisi darah

dari peredaran darah kulit dan subkutis. Bila vena cepat terisi misalnya dalam
waktu 30 detik, berarti terdapat insuffisiensi katup komunikans. Uji

Trendelenburg positif berarti terdapat pengisian vena safena yang patologis.

Pemeriksaan Penunjang

1) Ultrasonografi Doppler

Beberapa pemeriksaan seperti Tes Trendelenburg dan Tes Perthes dapat

memperkirakan derajat dan ketinggian lokasi inkompetensi katup vena, namun

ultrasonografi doppler dapat menunjukkan dengan tepat lokasi katup yang

abnormal.

2) Duplex ultrasonography

Merupakan modalitas pencitraan standar untuk diagnosis sindrom

insuffisiensi vena dan untuk perencanaan pengobatan serta pemetaan sebelum

operasi. Duplex ultrasonography adalah kombinasi dari pencitraan model B dan

Doppler. Pencitraan model B menggunakan tranduser gelombang ultra yang

ditempelkan pada kulit sebagai sumber dan detektor. Pantulan gelombang suara

yang terjadi dapat memberikan citra struktur anatomi, dan pergerakan struktur

tersebut dapat dideteksi dalam bentuk bayangan.

3) Plebography

Plebography merupakan pemeriksaan invasif yang menggunakan medium

kontras. Terdapat 4 teknik pemeriksaan yaitu : ascending, descending, intra

osseus, dan varicography. Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya sumbatan

dan menunjukkan vena yang melebar, berkelok-kelok serta katup yang rusak.

Plebography juga dapat menunjukkan kekambuhan VVTB paska operasi yang

sering disebabkan oleh kelainan vena perforantes di daerah kanalis Hunter di

paha.
6.8 Penatalaksanaan

Penanganan VVTB dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau

pembedahan, tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit.

Penanganan ditujukan bukan hanya untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki

fungsi vena, perbaikan kosmetik, dan mencegah komplikasi, tetapi juga untuk

memperbaiki kualitas hidup penderita.

Terapi Kompresi

Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena adalah terapi kompresi. Cara

ini berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk

mencegah kembalinya aliran darah vena, edem kaki, dan bocornya bahan fibrin

sehingga mencegah pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak mengembalikan

ukuran vena

Terapi kompresi dapat berupa compression stockings, compression

bandages, dan pneumatic compression pumps. Menurut klasifikasi European

Standardization Commission, Compression stockings (CS) dibagi berdasarkan

tekanan terhadap pergelangan kaki menjadi 4 kategori. CS dengan tekanan 16-20

mmHg pada thrombosis prophylaxis. CS dengan tekanan 21-30 mmHg pada

VVTB simtomatis post-skleroterapi, kehamilan. CS dengan tekanan 31-40 mmHg

pada post-trombotic syndrome. Sedangkan CS dengan tekanan > 40 mmHgpada

phlebolimpoedem.CS digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan

pemakaiannya harus tepat dari telapak kaki sampai bawah lutut.

Skleroterapi

Merupakan tindakan penyuntikan larutan ke dalam pembuluh darah vena

yang melebar secara abnormal atau yang mengganggu secara kosmetik. Terapi ini
juga akan menghilangkan keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman serta mencegah

komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan dan ulserasi.

Penyuntikan larutan (sklerosan) ke dalam vena menyebabkan iritasi tunika

intima dan merusak lapisan endotel, sehingga menyebabkan trombosis,

endosklerosis, dan fibrosis pembuluh darah yang selanjutnya diserap oleh jaringan

sekitarnya tanpa terjadi rekanalisasi. Sklerosan dapat digolongkan dalam 3 jenis,

yaitu : larutan deterjen (polidokanol), larutan osmotik/hipertonik (larutan garam

hipertonik atau kombinasi dengan gula hipertonik), iritan kimia (polyiodide

iodide).

Skleroterapi dilakukan untuk telangiektasis, varises retikular, varises

persisten atau rekuren paska bedah serta varises pada penderita lanjut usia. Kontra

indikasi skleroterapi pada VVTB adalah obstruksi berat pada tungkai, riwayat

trombosis vena profunda, penyakit pembekuan darah. Sedangkan kontra indikasi

relatif adalah kehamilan, penderita imobilisasi, diabetes, obesitas, urtikaria, dan

dugaan alergi terhadap sklerosan.

Efek samping yang mungkin timbul adalah urtikaria, hiperpigmentasi,

dermatitis kontak, folikulitis, telangiektasis, lepuh, erosi, memar di sekitar

suntikan, dan rasa nyeri. Komplikasi yang lebih serius tetapi jarang adalah

nekrosis kulit, ulkus, mikrotrombus, hematom intravaskular, tromboplebitis

superfisialis, trombosis vena profunda dengan emboli paru, anafilaksis.

Terapi Pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita VVTB dengan varises

ukuran besar, varises pada tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya
komplikasi statis (pigmentasi, dermatitis, ulkus), simtomatik, dan insufisiensi

perforantes.

Tujuan metode pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala,

mengurangi atau mencegah komplikasi, memulihkan fisiologi vena, dan

memperbaiki penampilan (kosmetik). Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah

usia lanjut atau keadaan umum buruk, berat badan berlebihan, tromboflebitis

aktif, tukak vena terinfeksi, kehamilan, sumbatan arteri menahun pada tungkai

bersangkutan, dan tumor besar intra abdomen.

Komplikasi tindak bedah pada VVTB adalah perdarahan, infeksi, edema

tungkai, kerusakan saraf kulit (n. safena atau n. suralis), limfokel, dan trombosis

vena profunda. Infeksi berat dapat terjadi pada bekas saluran ”stripper”. Untuk

mencegah edem tungkai dianjurkan memakai kaos kaki elastis selama dua bulan

pasca bedah. Limfokel terbentuk karena saluran limfe terpotong saat operasi,

pengobatannya cukup dengan aspirasi. Trombosis vena dalam dapat berakibat

fatal.

Laser Therapy

Endovenous laser therapy (ELT) adalah terapi untuk VVTB dimana serat

optik dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang akan diobati dan sinar laser

(biasanya di bagian inframerah dari spektrum) diarahkan ke bagian dalam

pembuluh darah. Terapi ini lebih tidak menyakitkan dibanding vein ligation and

stripping, menggunakan anestesi lokal serta memiliki waktu pemulihan yang lebih

pendek. Selain itu, laser adalah pilihan yang baik untuk mengobati pembuluh

yang resisten terhadap skleroterapi.


Kontraindikasi ELT adalah pasien yang sedang hamil atau menyusui,

sistem vena dalam tidak memadai untuk mendukung aliran balik vena setelah

terapi, disfungsi hati atau alergi yang mustahil menggunakan anestesi lokal,

sindrom hiperkoagulabilitas berat, refluks vena skiatik, Komplikasi yang dapat

timbul adalah perforasi vena, deep vein thrombosis, echymoses, hiperpigmentasi,

dan reaksi alergi.

6.9 Pencegahan

Penderita VVTB harus mencegah berlanjutnya gangguan ini dan

perkembangan edem tungkai bawah dengan memperbaiki kualitas hidup antara

lain :

1) Tidur dengan tungkai dinaikkan (15-20 cm)

2) Menghindari berat badan berlebihan. Diet dianjurkan kaya serat

3) Hindari berdiri terlalu lama (berjalan lebih baik)

4) Kompresi segmental pada tungkai (bebat pergelangan kaki)

5) Menggunakan kaus kaki penyokong selama kehamilan

6) Berolahraga secara teratur. Olahraga yang dianjurkan yaitu berjalan, berenang,

senam

6.10 Komplikasi

Hipertensi vena persisten akan mempengaruhi fungsi kapiler, tekanan trans

mural dan intra mural meningkat, mendorong cairan, elektrolit dan eritrosit keluar

memasuki jaringan sehingga terjadi edem dan hiperpigmentasi. Kapiler

mengalami dilatasi dan penurunan kecepatan aliran darah, hal ini mempengaruhi

adhesi leukosit (neutrofil) pada mikrosirkulasi dan venula post kapiler, akibatnya
leukosit akan terperangkap pada endotel dan teraktivasi sehingga melepaskan

radikal bebas, enzim proteolitik dan sitokin, di samping itu fibrin perikapiler akan

menjadi barier terhadap difusi oksigen dan nutrisi lain. Semua keadaan ini

menyebabkan kerusakan jaringan berupa hipoksia, iskhemi, nekrosis lemak,

pigmentasi kulit, dan ulkus.

6.11 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Varises Vena

Tungkai Bawah

Faktor-faktor yang diduga berperan serta dapat mempengaruhi timbulnya

VVTB, antara lain :

1) Riwayat keluarga

Ditunjukkan dengan terjadinya penyakit yang sama pada beberapa anggota

keluarga dan gambaran VVTB pada usia remaja.

2) Usia

Seiring bertambahnya usia insiden VVTB akan meningkat. Dinding vena

menjadi lemah karena lamina elastis menjadi tipis dan atrofik bersama dengan

adanya degenerasi otot polos. Disamping itu akan terdapat atrofi otot betis

sehingga tonus otot menurun.

3) Overweight/obesitas

Resiko terkena VVTB lebih tinggi pada seseorang dengan BMI (Body

Mass Index) yang tinggi dibanding seseorang dengan usia yang sama dengan berat

badan sesuai. Terdapat hipotesis yang menyatakan hal ini dihubungkan dengan

tekanan hidrostatik yang meningkat akibat peningkatan volume darah serta

kecenderungan jeleknya struktur penyangga vena.

4) Multiparitas kehamilan
Pengaruh hormonal, peningkatan volume darah, dan obstruksi akibat

pembesaran uterus merupakan penyebab VVTB pada kehamilan, namun VVTB

akan mengalami perbaikan 3-12 bulan setelah melahirkan. Beberapa penelitian

mendapatkan bahwa terjadi prevalensi VVTB yang lebih tinggi pada penderita

dengan kehamilan lebih dari dua kali.

5) Faktor hormonal

Estrogen menyebabkan relaksasi otot polos dan perlunakan jaringan

kolagen sehingga meningkatkan distensibilitas vena. Selain itu dapat

meningkatkan permeabilitas kapiler dan edem. Progesteron menyebabkan

penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas vena sehingga dapat

menginduksi terjadinya stasis vena, hal ini disebabkan karena adanya hambatan

pada aktomiosin kontraktil dinding vena. Hal ini dapat dilihat pada penderita yang

mendapat terapi hormonal atau pada siklus menstruasi.

6) Faktor berdiri lama

Peningkatan tekanan hidrostatik kronis pada pekerjaan yang membutuhkan

berdiri lama juga berperan dalam menimbulkan VVTB. Pada posisi tersebut

tekanan vena menjadi 10 kali lebih besar, sehingga vena akan teregang di luar

batas kemampuan elastisitasnya sehingga terjadi inkompetensi pada katup.

7) Pemakaian pelindung kaki

Pemakaian pelindung kaki antara lain seperti kaos kaki, compression

stocking saat maupun setelah melakukan aktivitas pekerjaan dapat mencegah

terjadinya VVTB.
8) Elevasi tungkai

Tungkai dinaikkan (15-20 cm) saat tidur dapat mencegah terjadinya

VVTB.

9) Merokok

Jangka panjang merokok memiliki efek yang merugikan pada sistem vena.

Pada perokok, modifikasi kimia diduga terjadi pada endothelium vena. Modifikasi

ini dapat menyebabkan peningkatan tonisitas vasomotor dan proliferasi otot polos.

Reaksi ini bisa menjelaskan perubahan dalam dinding vena yang menyebabkan

terjadinya VVTB.

10) Konsumsi alkohol

Pada studi kasus yang dilakukan di Perancis, penyalahgunaan alkohol

mengindikasikan risiko yang lebih tinggi insufisiensi vena tungkai bawah.

Alkohol menyebabkan vasodilatasi segera dan penurunan tekanan darah yang

diikuti oleh rebound elevasi tekanan darah.


7. VASKULITIS

7.1 Definisi

Vaskulitis adalah reaksi kutaneus maupun sistemik, yang secara

mikroskopik digambarkan sebagai infiltrasi sel-sel inflamatorik pada dinding

pembuluh darah, dengan derajat nekrosis sel endotel dan dinding pembuluh darah

yang bervariasi. Ukuran pembuluh darah yang terkena bervariasi, mulai dari arteri

besar (giant cell arteritis) sampai kapiler dermis dan venula

(lekocytoclasticvasculitis). Inflamasi yang terjadi pada dinding pembuluh darah

yang disebabkan oleh deposisi kompleks imun atau cell mediated immune

reactions.

Hampir semua pembuluh darah di kulit dapat terserang vaskulitis; paling

banyak mengenai venula dan disebut vaskulitis kutaneus. Vaskulitis kutaneus

mempunyai gambaran histopatologi dengan ciri khas infiltrasi neutrofil pada

pembuluh darah, nekrosis fibrinoid, yang dikenal sebagai leukocytoclastic

vasculitis (LCV). Pada LCV, dapat ditemukan juga ekstravasasi eritrosit, debris

granulositik (leukositoklas), inflamasi granuloma atau limfositik, dan deposisi

imunoreaktan pada dinding pembuluh darah.

7.2 Gejala

Gejala vaskulitis tergantung dari pembuluh primer yang terkena. Pada

pembuluh darah kecil, manifestasinya sering kali berupa palpable purpura, atau

urtikaria, pustula, vesikel, petekie, atau lesi seperti eritema multiforme. Pada

pembuluh darah ukuran sedang, manifestasi klinisnya bisa berupa ulkus, nodul

subkutan, livedo reticularis, dan nekrosis digital. Hal terpenting dalam


mengevaluasi pasien vaskulitis adalah mengenali gejala dan tanda adanya

penyakit sistemik.

7.3 Patofisiologi

Vaskulitis dipengaruhi oleh Kompleks Imun.

Aktifitas jalur
komplemen.

Kemoaktraktan &
anafilatoksin (migrasi
neutrofil & peningkatan
permeabilitas)

Neutrofil konten
lisosomal + toksin radikal
bebas oksigen

Vessel
injury

Cell mediated immune reaction

Limfosit T + Antigen vaskuler

Pelepasan limfokin (menarik


limfosit & makrofag)

Nekrosis vaskuler &


thrombosis lokal

7.4 Kriteria diagnosis

Jika dicurigai vaskulitis, dapat dilakukan beberapa langkah diagnostik

untuk mencari penyebab atau menyingkirkan kemungkinan proses lain yang dapat

menimbulkan vaskulitis sekunder (seperti infeksi, trombosis, dan keganasan) atau


dapat menimbulkan kondisi mirip vaskulitis. Ada beberapa kondisi demografis

yang berhubungan dengan terjadinya vaskulitis, di antaranya adalah umur pasien,

jenis kelamin, dan ras . beberapa jenis vaskulitis terjadi pada populasi spesifik.

Selain itu, perlu ditentukan organ pembuluh darah mana yang terkena.

Tipe dan luas organ yang terkena dapat membantu menentukan tipe

vaskulitis dan terapi awal. Gambaran klinis dapat digunakan untuk melihat ukuran

pembuluh darah yang terkena. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

teliti untuk mendukung diagnosis yang tepat.

7.5 Terapi

Identifikasi tipe vaskulitis sangatlah penting karena berhubungan dengan

terapi. Tipetipe tertentu bersifat self-limited, sementara tipe lainnya membutuhkan

terapi kortikosteroid,dengan atau tanpa agen sitotoksik, atau membutuhkan

modalitas terapi lain, seperti plasmaferesis. Pada awal penegakan diagnosis, harus

segera ditentukan apakah ada organ dalam yang terlibat, sehingga dapat segera

diberi terapi yang tepat dan adekuat.

Vaskulitis sistemik berbahaya, tetapi morbiditas dan mortalitas dapat

dicegah jika penyakit segera dikenali dan diterapi sedini mungkin. Terapi awal

ditentukan oleh tipe vaskulitis, beratnya kerusakan organ yang terkena, dan

progresivitas penyakit.

Kortikosteroid dosis tinggi (prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis

terbagi) adalah terapi standar untuk sindrom vaskulitis sistemik. Imunosupresan,

seperti siklofosfamid, azatioprin, dan metotreksat, dikombinasi dengan

kortikosteroid, telah digunakan secara luas, tetapi masih sedikit bukti ilmiah yang

mendukung efektivitas terapi kombinasi ini.


8. AKUT LIMB ISKEMIK

8.1 Definisi

Suatu kondisi dimana terjadi penurunan ke ekstremitas secara tiba tiba

yang menyebabkan gangguan pada pergerakan, rasa nyeri atau tanda tanda

iskemik berat dalam jangka waktu 2 minggu.

Pria dan wanita mempunyai prevalensi yang seimbang hal ini dapat terjadi

ketika ekstremitas kekurangan aliran darah yang adekuat. Gejalanya tergantung

pada tingkat keparahan hipoperfusi, prosesnya dapat berkembang mendadak.

Aterosklerosis adalah penyebab yang paling umum pada iskemia

ekstremitas bawah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan peningkatan

prevalensi dan insiden iskemia ekstremitas bawah adalah penuaan, meningkatnya

aterosklerosis, perifer aneurisma, dan lesi vaskular yang lain yang terkait dengan

usia lanjut. Faktor kedua adalah meningkatknya insidensi diabetes. Diabetes

mempercepat perkembangan aterosklerosis dan iskemia ekstremitas bawah.

Faktor ketiga adalah meningkatnya jumlah pasien yang memiliki riwayat operasi

bypass arteri perifer yang berpotensi oklusi pada graft.

8.2 Etiologi

Iskemia tungkai akut dapat terjadi akibat embolisasi atau in-situ trombosis.

Emboli berasal dari jantung dan biasanya terjadi pada lokasi bifurkasio arteri

seperti arteri femoralis komunis distal atau arteri poplitea. Trombus yang

terbentuk di dalam jantung sering disebut macrotrombus yang menyumbat dari

percabangan arteri. Sumber trombus lainnya adalah dari trombus yang terbentuk

pada anerisma aorta, yang sering disebut microtrombus. Microtrombus berasal


dari anerisma aorta yang menyumbat di aretri kecil-kecil pada jari kaki (disebut

bluetoes) akan menimbulkan bintik-bintik kecil-kecil bewarna biru yang lama-

kelamaan bersatu bertambah besar dan bewarna gelap.

8.3 Diagnosis.

Iskemia tungkai akut adalah diagnosis klinis. Pasien mengeluhkan mati

rasa dan nyeri di ekstremitas, pada kasus yang berat hilangnya fungsi motorik dan

kekakuan otot . Pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselessness yang

menunjukkan iskemia tungkai akut,. Proses ini kadang-kadang sulit dibedakan

dengan trombosis vena dalam. Meskipun trombosis vena dalam dapat

bermanifestasi sebagai iskemia tungkai yang berat (phlegmasia cerulea dolens),

edema ekstremitas bawah jarang disebabkan oleh iskemia arteri murni. Nyeri

dapat berupa konstan atau ditimbulkan oleh gerakan pasif ekstremitas yang

terlibat. Oklusi emboli biasanya tiba-tiba dan dengan intensitas yang besar,

sehingga onset timbul dalam beberapa jam. Riwayat penyakit dahulu yang

mempengaruhi seperti klaudikasio intermiten, bypass kaki, aritmia jantung dan

aneurisma aorta.

Faktor risiko aterosklerosis seperti merokok, hipertensi, diabetes,

hiperlipidemia, riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung atau pembuluh

darah.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi letak obstruksi,

kemungkinan penyebab dan derajat iskmia. Informasi tersebut diperlukan untuk

pengobatan yang tepat. Anamnesis melihat durasi dan progresi, riwayat penyakit

jantung sebelumnya bisa menyulitkan pengobatan. Pada klaudikasio menandakan


sebelumnya mendapat penyakit aterosklerotif oklusi. Pemeriksaan fisik

mendapatkan kemungkianan sumber dari emboli. Tanda-tanda iskemia kronis

tungkai bawah, hipertropic kuku, atrofi kulit, rambut rontok pada kaki

menandakan sebelumnya mempunyai penyakit oklusi. Adanya insufisiensi arteri

akut biasanya ditandai dengan perubahan suhu pada ekstremitas distal pada level

obstruksi. Kemampuan untuk dorsifleksi dan plantarfleksi dari jari-jari kaki

menunjukkan viabilitas dari otot-otot betis, ketidak mampuan menggerakkan dari

jari-jari kaki menandakan impending nekrosis pada otot otot betis.

8.4 Penatalaksanaan

1. Preoperatif anticoagulation dengan IV heparin.


2. Resusitasi cairan, koreksi asidosis sistemik, inotropic support.
3. Terapi pembedahan dilakukan untuk iskemik yang mengancam ekstremitas.
4. Trombectomy atau embolectomy.
5. Melindungi vascular bed distal terhadap obstruksi proksimal merupakan hal

yang sangat penting dan dapat dipenuhi oleh antikoagulan sistemik yang

diberikan segera, dengan heparin intravena.


6. Terapi utama dari iskemi akut adalah rekontruksi pembedahan vascular yang

pantas.

9. BUERGER DISEASE
9.1 Definisi

Penyakit Buerger atau Tromboangitis Obliterans (TAO) adalah penyakit

oklusi kronis pembuluh darah arteri dan vena yang berukuran kecil dan sedang,

terutama mengenai pembuluh darah perifer ekstremitas inferior dan superior.

Penyakit pembuluh darah arteri dan vena ini bersifat segmental pada anggota

gerak dan jarang pada alat-alat dalam. Penyakit Tromboangitis Obliterans

merupakan kelainan yang mengawali terjadinya obstruksi pada pembuluh darah

tangan dan kaki. Pembuluh darah mengalami konstriksi atau obstruksi sebagian

yang dikarenakan oleh inflamasi dan bekuan sehingga mengurangi aliran darah ke

jaringan.

Gambar 9.1 Buerger disease

9.2 Etiologi

Etiologi penyakit Buerger tidak diketahui, meskipun penyakit buerger

adalah jenis vaskulitis, tetapi berbeda dari vaskulitis lainnya.

a. Merokok
Paparan tembakau memainkan peran sentral dalam inisiasi dan perkembangan

penyakit. Penelitian Adar et al menunjukkan bahwa pasien dengan TAO


memiliki tingkat kepekaan seluler terhadap jenis I dan III kolagen pada

perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Adanya kemungkinan bahwa

terdapat sensitivitas abnormal atau alergi untuk beberapa komponen tembakau

dan bahwa sensitivitas ini terjadi dibeberapa pembuluh darah dan

mengakibatkan inflamasi. Purified tobacco glycoprotein (TGP) dapat

dikaitkan dengan perubahan reaktivitas vaskular yang mungkin terjadi dalam

rokok dengan menggunakan tingkat urin cotinine (metabolit nikotin) sebagai

pengukuran merokok aktif.


b. Genetik
Adanya kemungkinan predisposisi terjadinya TAO, meskipun tidak

teridentifikasi. Tidak ada pola yang konsisten dalam HLA haplotipe pada

pasien dengan penyakit buerger. Di Inggris ditemukan adanya peran dominan

dari HLA-A9 dan antigen HLA-B5.


c. Hiperkoagulabilitas
Peran hiperkoagulabilitas pada patogenesis TAO telah diusulkan, tetapi pada

beberapa studi menunjukkan tidak adanya korelasi dengan penyakit tersebut.

Choudhury menunjukkan bahwa tingkat aktifator urokinaseplasminogen dua

kali lebih tinggi dan aktifator plasminogen bebas menghambat 40% lebih

rendah pada pasien dengan TAO dari pada orang yang sehat. Terjadi

peningkatan respon platelet serotonin pada penderita penyakit TAO.


Peningkatan plasma homosistein telah dilaporkan pada pasien dengan TAO.

Peningkatan ini mungkin berkaitan dengan tingginya prevakensi perokok

berat. Pasien dengan TAO yang memiliki kadar homosistein yang tinggi juga

memiliki tingkat amputasi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang

memiliki kadar homosistein yang normal.


d. Disfungsi endotalial
Dalam sebuah studi dari 28 pasien dengan TAO menunjukkan bahwa antibodi

sel anti endotelial meningkat pada 25% kasus dan titer antibodi endotel
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Penelitian Makita et al

menunjukkan adanya gangguan endotelium - tergantung vasorelaksasi di

pembuluh darah perifer pasien dengan penyakit Buerger.


e. Infeksi
Studi awal oleh Buerger dan allen dari klinik Mayo menyarankan infeksi

sebagai penyebab terjadinya TAO yang dihubungkan dengan kebersihat mulut

yang buruk. Namun, mereka tidak menemukan adanya patogen yang berasal

dari lesi ketika menggunakan metode kultur bakteri ortodoks klasik. Peneitian

Iwai et al menyatakan 93% kasus ditemukannya DNA bakteri mulut

(periodontal) di pembuluh darah arteri pada spesimen penderita penyakit

buerger.
9.3 Patogenesis

Fase akut ditandai dengan adanya lesi yang disebabkan oleh

peradanganakut yang melibatkan semua lapisan dari dinding pembuluh darah,

terutama pada pembuluh darah vena, berkaitan dengan terjadinya trombosis

oklusif. Pada sekitar trombus sering didapati leukosit polimorponuklear dengan

karioreksis, yang biasa disebut mikro abses. Fase intermediet (menengah) didapati

penumpukan progresif pada trombus oklusif di pembuluh darah arteri dan vena.

Pada tahan ini sering terjadi infiltrasi sel radang pada trombus dan berkurangnya

peradangan pada dinding pembuluh darah.

Fase kronik merupakan lesi tahap akhir ditandai dengan penumpukan dari

trombus oklusif dengan penyebaran yang luas, vaskularisasi meningkat di tunika

adventitia dan terjadinya fibrosis perivaskular.

Pada dasarnya disetiap fase, struktur dari dinding pembuluh darah yang

terkena trombus oklusif hingga lamina elastis interna tetap utuh. Temuan ini yang

membedakan TAO dengan aterosklerosis dan dengan vaskulitis sistemik lainnya,


dimana biasanya ada gangguan perubahan mencolok dari tidak proposionalnya

lamina elastis interna dan media akibat penuaan.

Mekanisme penyebaran penyakit Buerger sebenarnya belum jelas, tetapi beberapa

penelitian telah mengindikasikan suatu implikasi fenomena imunologi yang mengawali

tidak berfungsinya pembuluh darah dan wilayah sekitar thrombus. Pasien dengan

penyakit ini memperlihatkan hipersensitivitas pada injeksi intradermal ekstrak tembakau,

mengalami peningkatan sel yang sangat sensitive pada kolagen tipe I dan III,

meningkatkan serum titer anti endotelial antibodi sel , dan merusak endotel terikat

vasorelaksasi pembuluh darah perifer. Meningkatkan prevalensi dari HLA-A9, HLA-A54,

dan HLA-B5 yang dipantau pada pasien ini, yang diduga secara genetic memiliki

penyakit ini.

Akibat iskemia pembuluh darah (terutama ekstremitas inferior), akan

terjadi perubahan patologis : (a) otot menjadi atrofi atau mengalami fibrosis, (b)

tulang mengalami osteoporosis dan bila timbul gangren maka terjadi destruksi

tulang yang berkembang menjadi osteomielitis, (c) terjadi kontraktur dan atrofi,

(d) kulit menjadi atrofi, (e) fibrosis perineural dan perivaskular, (f) ulserasi dan

gangren yang dimulai dari ujung jari.

9.4 Manifestasi klinis

Gambaran klinis Tromboangitis Obliterans terutama disebabkan oleh

iskemia. Gejala yang paling sering dan utama adalah nyeri yang bermacam-

macam tingkatnya. Nyeri dirasakan saat istirahat dan bertambah berat pada waktu

malam dan keadaan dingin, nyeri akan berkurang bila ekstremitas dalam keadaan

tergantung. Serangan nyeri juga dapat bersifat paroksimal dan sering mirip dengan
gambaran penyakit Raynaud. Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada tukak

atau gangren, maka nyeri sangat hebat dan menetap.

Manifestasi terdini mungkin klaudikasi (nyeri pada saat berjalan) lengkung

kaki yang patognomonik untuk penyakit Buerger. Klaudikasi kaki merupakan

cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai arteri plantaris atau

tibioperonea. Nyeri istirahat iskemik timbul progresif dan bisa mengenai tidak

hanya jari kaki, tetapi juga jari tangan dan jari yang terkena bisa memperlihatkan

tanda sianosis atau rubor bila bergantung. Sering terjadi radang lipatan kuku dan

akibatnya paronikia. Infark kulit kecil bisa timbul, terutama pulpa phalang distal

yang bisa berlanjut menjadi gangren atau ulserasi kronis yang nyeri.

Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal pada

tungkai dan penomena Raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas distal : jari,

tumit, tangan, kaki, menjadi putih jika terkena suhu dingin). Ulkus dan gangren

pada jari kaki sering terjadi pada penyakit buerger. Sakit mungkin sangat terasa

pada daerah yang terkena.

Gambar 9.2 Manifestasi klinis penyakit Buerger

9.5 Diagnosa
Diagnosis pasti penyakit Tromboangitis Obliterans sering sulit jika kondisi

penyakit ini sudah sangat parah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan

kriteria diagnosis.

Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis penyakit

Buerger :

1. Adanya tanda (sign) insufisiensi arteri

2. Umumnya pria dewasa muda

3. Perokok berat

4. Adanya gangren yang sukar sembuh

5. Riwayat tromboflebitis yang berpindah

6. Tidak ada tanda (sign) arterosklerosis di tempat lain

7. Yang terkena biasanya ekstremitas bawah

8. Diagnosis pasti dengan patologi anatomi

Sebagian besar pasien (70-80%) yang menderita penyakit Buerger mengalami

nyeri iskemik bagian distal saat istirahat dan atau ulkus iskemik pada tumit, kaki

atau jari-jari kaki.


Gambar 9.3 Kaki dari penderita dengan penyakit Buerger. Ulkus iskemik pada

jari kaki pertama, kedua dan kelima. Walaupun kaki kanan penderita ini kelihatan

normal, dengan angiographi aliran darah terlihat terhambat pada kedua kakinya

Gambar 9.4 Tromboplebitis superficial jempol kaki pada penderita dengan

penyakit buerger

Tidak ada tes laboratorium khusus untuk membantu dalam diagnosis TAO.

Sebuah proile serologis lengkap untuk mengecualikan penyakit lain yang

mungkin meniru TAO. Sebuah sumber proksimal emboli harus dikeluarkan

dengan ekokardiografi (dua dimensi dan / atau transesophageal) dan arteriografi.

Arteri proksimal harus menunjukkan bukti aterosklerosis, aneurisma atau sumber

lain dari proksimal emboli. Sebuah spesimen patologis diperlukan untuk


mendiagnosis penyakit Buerger dalam kasus keterlibatan arteri proksimal atau di

lokasi yang tidak biasa.

Tabel 1. Kriteria diagnosis

Kriteria Shinoya Kriteria Ollin

Usia < 50 tahun Usia < 45 tahun

Riwayat merokok Riwayat merokok

Oklusi arteri Infrapopliteal atau Ditemukan iskemi ekstremitas distal

flebitis migrain pada ekstremitas atas yang ditandai oleh klaudikasio, nyeri

saat istirahat, ulkus iskemik atau

ganggren dan didokumentasikan oleh

tes pembuluh darah non-invasif

Telah menyingkirkan penyakit

autoimun lainnya, kondisi

hiperkoagulasi dan diabetes melitus

dengan pemeriksaan laboratorium

Telah menyingkirkan emboli yang

berasal dari baguan proksimal yang

diketahui dari ekokardiografi atau

arteriografi

Penemuan arteriografi yang konsisten

dengan kondisi klinik pada ekstremitas

yang terlibat dan yang tidak terlibat


9.6 Penatalaksanaan

Pengobatan yang paling efektif untuk penyakit Buerger adalah berhenti

merokok. Bantuan psikologis mungkin berguna dalam kasus-kasus tertentu, tetapi

pasien harus diyakinkan bahwa jika mereka berhasil berhenti merokok

sepenuhnya, penyakit akan masuk ke remisi dan amputasi bisa dihindari. Selektif

antagonis reseptor cannabinoid, seperti rimonabant, telah menunjukkan hasil yang

baik dalam membantu pasien berhenti merokok.

Terapi non Bedah :

a. Platelet Inhibitor

Aspirin

Aspirin efektif dalam mencegah kejadian sekunder dan harus

dipertimbangkan pada semua pasien dengan PAD. Aspirin ini tidak diindikasikan,

namun untuk pengobatan gejala klaudikasio intermiten.

Clopidogrel

Clopidogrel merupakan agen antiplatelet yang telah terbukti lebih

berpengaruh dari pada aspirin dalam mengurangi kejadian sekunder pada pasien

dengan penyakit aterosklerosis.

b. Vasodilator

Ketika terapi vasodilator diberikan, pembuluh proksimal lesi stenosis atau

lesi oklusi berdilatasi dan meningkatkan aliran darah ke vaskuler. Peningkatan ini
menyebabkan mengenai lesi proksimal stenosis atau oklusi, mengurangi aliran

darah dari jaringan distal sudah iskemik. Vasodilator juga memiliki kapasitas

untuk mengurangi resistensi pembuluh darah sistemik keseluruhan, mengarah ke

penurunan tekanan perfusi. Penurunan ini dalam tekanan perfusi berhubungan

dengan meningkatkan iskemik ke perifer. Konsep ini meningkatkan aliran darah

dengan memberikan vasodilator sistemik mungkin salah.

Terapi pembedahan :

a. Simpatektomi :Untuk mengurangi efek vasokostriksi saraf simpatis

b. Penyisipan kawat intramedulla

c. Operasi bypass arteri

10. RAYNAUD’S DISEASE

10.1Definisi

Raynaud’s disease (Ray-noz) merupakan suatu keadaan yang menyerang

pembuluh darah pada ektremitas yang terdiri dari tangan, kaki, hidung dan telinga

ketika terkena suhu dingin dan mengalami stress. Penyakit Raynaud merupakan salah

satu penyakit yang menyerang pembuluh darah arteri, dimana penyebabnya merupakan

non-aterosklerotik. Non-aterosklerotik merupakan salah satu penyebab penyakit

arteri dimana penyakit hanya menyerang susunan pembuluh darah arteri pada
lapisan media arteria dan arteri perifer. Ada beberapa macam penyakit arterial

yang disebabkan oleh non-sterosklerotik tersebut, salah satunya adalah gangguan

vasospastik pada pembuluh darah arteri dimana keluhan tersebut dinamakan

Raynaud’disease.

10.2 Manifestasi klinis

Selama serangan, pembuluh kecil yang memasok darah ke kulit di tangan,

dan kadang-kadang jari-jari kaki, hidung atau telinga konstriksi, sehingga mati

rasa dan warna pucat atau kebiruan.

Fase iskemia :

Tahap 1 - Pucat karena vasokonstriksi arteriol makula prekapiler

Tahap 2 - Sianosis karena pengumpulan vena dan deoksigenasi darah vena

Tahap 3 - Eritema karena hiperemia reaktif. Hal ini terkait dengan nyeri

Iskemia kritis ditandai dengan nyeri posisi bawah tangan dan dapat

menyebabkan ulserasi atau gangren. Fenomena Raynaud harus dibedakan dari

penyakit Raynaud. Penyakit Raynaud adalah terjadinya vasospasme saja, dengan

tidak ada hubungan dengan penyakit lain (juga dikenal sebagai Primary

Raynaud). Fenomena Raynaud adalah sekunder untuk kondisi lain, paling sering

akibat penyakit autoimun (dikenal sebagai Secondary Raynaud).

Perbedaan antara fenomena primer dan sekunder Raynaud dirangkum

dalam Tabel 1. Fenomena Raynaud juga harus dibedakan dari acrocyanosis, suatu

kondisi yang ditandai oleh terus-menerus, sianosis simetris tangan, kurang umum

dari kaki yang diperparah oleh suhu dingin karena vasospasme pembuluh kecil

kulit.

Tabel 10.1 Perbedaan antara fenomena primer dan sekunder Raynaud


Primary Raynaud Secondary Raynoud
Respon fisiologis berlebihan terhadap Sekunder untuk penyakit yang

dingin atau stres mendasari serius


Tidak arteri kelainan struktural, lipatan- Adanya lipatan kuku kapiler abnormal

kuku kapiler normal


Serangan simetrik Serangan intens asimetris
Jaringan nekrosis, ulserasi atau gangren Adanya lesi kulit iskemik

tidak ada
Usia rata-rata onset adalah 14 tahun Usia > 30 tahun
Gambaran klinis dari penyakit jaringan Gambaran klinis dari CTD seperti

ikat (CTD) tidak ada arthritis, myalgia, sclerodactyly,

demam, ruam, penurunan berat badan,

dan kelainan kardiopulmoner


ESR normal, CPR negatif ESR meningkat, CPR positif
ANA dan auto antibodi negatif ANA dan auto antibodi positif
Peningkatan frekuensi migrain dan

Prinzmetal Angina (gangguan

vasospastik) dapat hadir. 25% mungkin

memiliki riwayat keluarga Raynaud

Primer di tingkat pertama relatif

Gambar 10.1 Raynaud’s phenomenon

10.3 Patogenesis
Kelainan intravaskular termasuk aktivasi trombosit, gangguan fibrinolisis,

peningkatan viskositas dan kemungkinan stress oksidatif.

A Peningkatan vasokonstriksi
- Peningkatan reaktivitas otot polos pembuluh darah dipasok oleh

adrenoreseptor α2 yang menonjol pada pembuluh darah kulit digit.


- Peningkatan endothelin 1 (vasokonstriktor) disekresikan oleh sel endotel

dalam menanggapi cedera iskemik.


B Kerusakan pada sel-sel endotel dan jaringan karena iskemia dan reperfusi

berikutnya
C Penurunan vasodilatasi :
- Penurunan neuropeptida vasodilatasi seperti kalsitonin gen terkait peptida

(CGRP) dari aferen sensorik mengarah ke raynaud primer. Pada Raynaud

sekunder menjadi sclerosis sistemik.


- Penurunan NO (nitric oxide) dan prostasiklin dari kerusakan sel endotel.
D Peningkatan trombosit aktivasi / agregasi: Tromboksan A2 dan serotonin

(vasokonstriktor poten) diproduksi.


E Penurunan fibrinolisis
F Penurunan deformabilitas eritrosit
G Peningkatan Viskositas

D,E,F,G menyebabkan penurunan aliran darah. Penurunan aliran darah

merupakan akibat dari peningkatan viskositas darah di cryoglobulinemia atau

Waldenstrom macroglobulinemia, kelainan pembuluh darah (khusus endotelium),

penyakit struktural pembuluh darah dengan intima proliferasi dan penyempitan

lumen atau oklusi pembuluh darah. Kerusakan endotel, penurunan sintesis oksida

nitrat dan peradangan lokal mengakibatkan peningkatan tingkat sirkulasi

interleukin-13 (sitokin yang mendorong terjadinya fibrosis dan peradangan)

semuanya telah terlibat dalam pasien sklerosis sistemik.

10.4Diagnosis
Pasien dievaluasi untuk penyakit lain yang terkait dengan fenomena

Raynaud, termasuk: gangguan jaringan ikat (lupus, rheumatoid arthritis dan

scleroderma), cedera getaran dari penggunaan alat-alat listrik dan penyakit

gangguan aliran darah. Tes untuk sekunder Raynaud mungkin termasuk studi

aliran darah non-invasif dari tangan dan lengan dan tes darah yang disebut ANA

atau faktor rematik.

10.5Tatalaksana

Tindakan umum

A. Menghindari paparan dingin, alat getar dan stres.

 Pasien diminta untuk tetap hangat tubuh dengan memakai sarung tangan.
 Teknik relaksasi dan biofeedback untuk mengurangi stres emosional

sehingga ada sedikit stimulasi simpatomimetik.

B. Hindari obat:

• Estrogen

• Simpatomimetik (dekongestan)

• Klonidin

• Ergotamin

• Reseptor agonis Serotonin – sumatriptan

C. Merokok harus dihentikan, karena nikotin dapat menyebabkan pembekuan

pembuluh darah.

D. Calcium channel blockers (CCB):

• CCB adalah vasodilator arteri yang memiliki efek antiplatelet dan mengurangi

stres oksidatif.

• Nifedipin: 10-30 mg tid per oral (PO)


• Amlodepine: 5 - 20 mg PO setiap hari

• Diltiazem juga dapat digunakan tetapi tidak seefektif kelas dihidropiridin CCB.

E. Simpatolitik

Prazosin: 1-5 mg / d PO ( tidak tersedia α 1 adrenergik Blocker sebagai α 2

adrenoreseptor blocker).

Anda mungkin juga menyukai