Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

Mata Kuliah
KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN :

PASIEN USIA LANJUT

Dosen Pengampu : Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes

Disusun Oleh :
Nurul Shofri Afifah
21/476287/PKG /1495

Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis


Ilmu Konservasi Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2021

1
A. PENDAHULUAN

Secara umum, definisi komunikasi adalah “sebuah proses penyampaian pikiran-


pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu
sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh si penyampai
pikiran-pikiran atau informasi”. Komunikasi akan bisa terjadi apabila didukung oleh
faktor/ unsur-unsur dalam komunikasi yang meliputi sumber, pesan, media, penerima,
efek, serta umpan balik. Faktor-faktor ini biasa disebut dengan komponen, unsur, atau
elemen komunikasi.
Aplikasi definisi komunikasi dalam interaksi antara dokter dan pasien di tempat
praktik diartikan tercapainya pengertian dan kesepakatan yang dibangun dokter bersama
pasien pada setiap langkah penyelesaian masalah pasien (Ali dkk, 2006).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi interpersonal antara pemberi


pelayanan kesehatan dan klien yang dilakukan secara sadar ketika keduanya saling
memengaruhi dan memperoleh pengalaman bersama yang bertujuan untuk membantu
mengatasi masalah klien serta memperbaiki pengalaman emosional klien yang pada
akhirnya mencapai kesembuhan klien. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini tujuan
dari komunikasi terapeutik :

• Membantu mengatasi masalah klien untuk mengurangi beban perasaan dan


pikiran.
• Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk klien/pasien.
• Memperbaiki pengalaman emosional klien.
• Mencapai tingkat kesembuhan yang diharapkan (Anjaswarni, 2016).

Proses komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan, yaitu tahapan


persiapan / pra-interaksi, tahap perkenalan / orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi.

a. Tahap pra-interaksi

Pada tahap ini, perawat / dokter sebagai komunikator yang melaksanakan komunikasi
terapeutik mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien atau pasien. Sebelum
bertemu pasien, perawat / dokter haruslah mengetahui beberapa informasi mengenai
pasien, baik berupa nama, umur, jenis kelamin, dan sebagainya. Apabila perawat / dokter
telah dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum bertemu dengan pasien, maka ia

2
akan bisa menyesuaikan cara yang paling tepat dalam menyampaikan komunikasi
terapeutik kepada pasien.

b. Tahap perkenalan

Pada tahap ini antara petugas / dokter dan pasien terjadi kontak. Penampilan fisik begitu
penting karena dimensi fisik adalah hal paling terbuka untuk diamati. Kualitas-kualitas
lain seperti sifat bersahabat kehangatan, keterbukaan, dan dinamisme juga terungkap.

c. Tahap kerja

Tahap kerja atau sering disebut dengan tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh,
dilakukan untuk meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi
kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada. Pada tahap ini
menghendaki agar kedua pihak harus merasa mempunyai kedudukan yang sama, dalam
artian ada keseimbangan dan kesejajaran kedudukan. Secara psikologis, komunikasi yang
bersifat terapeutik akan membuat pasien lebih tenang dan tidak gelisah.

d. Tahap terminasi

Pada tahap ini terjadi pengikatan antar pribadi yang lebih jauh, merupakan fase persiapan
mental untuk membuat perencanaan tentang kesimpulan perawatan yang didapat dan
mempertahankan batas hubungan yang ditentukan dan diukur, antara lain mengantisipasi
masalah yang akan timbul karena pada tahap ini merupakan tahap persiapan mental atas
rencana pengobatan, melakukan peningkatan komunikasi untuk mengurangi
ketergantungan pasien pada petugas / dokter. Terminasi merupakan akhir dari setiap
pertemuan antara petugas dengan klien (Ayuningtyas, 2017).

Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu


kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi ini menentukan
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Komunikasi
antara pemberi pelayanan kesehatan dan pasien telah dikenali sebagai suatu bagian
penting dari pemberian pelayanan yang optimal.

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan


melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan
satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan

3
apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya
sesungguhnya dapat dipelajari dan dilatih. Empati ini dapat disusun dalam batasan
definisi berikut :

1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien


2. Menunjukkan afektifitas / sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan / menyampaikan empatinya
kepada pasien (Harahap, 2018).

B. KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN USIA LANJUT

WHO menyatakan masa lanjut usia menjadi empat golongan, yaitu :

- usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun,

- lanjut usia (elderly) 60-74 tahun,

- lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan

- usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Dalam perspektif perkembangan, lansia akan mengalami kemunduran dalam


berbagai kemampuan yang pernah mereka miliki dan mengalami beberapa perubahan
fisik seperti memutihnya rambut, munculnya kerutan di wajah, berkurangnya ketajaman
penglihatan ataupun pendengaran, dan daya ingat yang menurun, serta beberapa masalah
kesehatan fisik lainnya. Para lansia juga menghadapi masalah psikologis, yaitu
munculnya kecemasan dalam menghadapi kematian pada lanjut usia.

Secara biologis, lanjut usia mengalami proses penuaan yang ditandai dengan
menurunnya daya tahan fisik ditandai dengan semakin rentannya terhadap serangan
penyakit. Secara ekonomi, lanjut usia sering kali lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Sementara itu, dari aspek sosial, lanjut usia merupakan satu
kelompok sosial sendiri yang berbeda dengan kelompok usia produktif dan mempunyai
karakteristik yang spesifik.

Komunikasi dengan pasien usia lanjut tentu saja akan mengalami beberapa
macam hambatan / gangguan. Gangguan dalam komunikasi dengan pasien dapat

4
menyebabkan beberapa hal yang tidak diinginkan, seperti misdiagnosis / diagnosis yang
tidak tepat, perawatan yang tidak sesuai, kesalahan dalam medikasi, ketidakpercayaan
dari pasien, serta ketidakpuasan dari pasien.

A. Hambatan Komunikasi Dengan Pasien Usia Lanjut

Komunikasi antara pemberi pelayanan kesehatan dan pasien usia lanjut dapat
mengalami suatu tantangan karena alasan-alasan terkait dengan dampak fisiologis dari
proses penuaan. Penurunan sensorik yang seringkali menyertai pada pasien usia lanjut
dapat mengakibatkan kesulitan komunikasi. Tantangan-tantangan yang dihadapi saat
terjadinya komunikasi antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien usia lanjut
secara garis besar, terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu alasan fisiologis, psikologis,
dan juga literature kesehatan. Selain itu, penyetereotypean sebagian penyedia pelayanan
kesehatan berpotensi merusak kualitas komunikasi antara dokter dengan pasien usia
lanjut.

a. Alasan Fisiologis
- Gangguan penglihatan terkait dengan faktor penuaan, seperti katarak, glaucoma,
presbiopi dapat mengurangi kapasitas seseorang untuk memroses petunjuk
percakapan nonverbal yang biasanya dikomunikasikan secara visual.
- Kehilangan pendengaran pada usia lanjut (presbikusis) juga dapat mengganggu
interaksi karena memerlukan pengucapan yang lebih keras dan perlahan-lahan.
Pada orang usia lanjut yang mengalami gangguan pendengaran dapat
menggunakan berbagai strategi komunikasi, meliputi permintaan kepada lawan
bicara untuk pengulangan dan menghindari percakapan secara bersama-sama
untuk mengurangi efek gangguan pada interaksi mereka. Sering kali, orang yang
kehilangan pendengaran akan membaca gerak bibir, menyebabkan orang-orang
yang mengalami gangguan baik pada penglihatan dan pendengarannya akan
menjadi suatu penghalang yang lebih sulit untuk berkomunikasi.
- Usia lanjut juga akan mengalami kesulitan dalam menghasilkan bahasa / kesulitan
berucap / ketidaklancaran verbal. Hal ini menyebabkan para pemberi pelayanan
kesehatan haruslah lebih telaten dalam mendengarkan keluhan ataupun pendapat

5
yang disampaikan pasien usia lanjut, jangan memotong ucapannya ataupun
memburu-buru.
- Perubahan fisiologis karena proses penuaan yang normal, menjadi penyebab
mengapa usia lanjut bergantung pada lebih banyak medikasi dibanding usia-usia
lain. Akibatnya, polifarmasi dapat mempengaruhi kewaspadaan dan kemampuan
untuk berpikir lebih jernih. Sebanyak belasan persen dari pasien usia lanjut
mengalami depresi klinis.

b. Alasan Psikologis
- Pasien usia lanjut mengalami perubahan psikologis normal yang dapat
mempengaruhi bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan dokter gigi. Pasien
usia lanjut mungkin masih meyakini bahwa kewenangan / otoritas dari profesional
pelayan kesehatan tidak perlu dipertanyakan lagi. Persepsi dari para generasi usia
lanjut tersebut berpotensi menghambat komunikasi yang terbuka dengan pemberi
pelayanan kesehatan.
- Pasien usia lanjut sering kali menganggap gejala-gejala yang dirasakan sebagai
suatu bagian dari proses penuaan, dan mereka tidak ingin mengkhawatirkan
pemberi pelayanan kesehatan dengan masalah mereka. Sifat skeptis ini yang
menjadi alasan mengapa pasien usia lanjut cenderung bersifat pasif saat
kunjungan medis.
- Pasien usia lanjut sering kali tidak menyebutkan seluruh masalah medis yang
penting ketika berbicara dengan dokter dan mereka sering kali kurang turut serta
dalam pengambilan keputusan dibanding pasien usia yang lebih muda.

c. Alasan Lain
- Literasi kesehatan pasien usia lanjut yang kurang memadai juga menjadi
penghambat komunikasi. Literasi kesehatan yang dimaksudkan disini yaitu
kemampuan untuk mendapatkan, memroses, dan memahami informasi kesehatan
dasar dan pelayanan yang dibutuhkan untuk membuat suatu keputusan kesehatan
yang tepat.
- Hambatan komunikasi antara pemberi pelayanan kesehatan dan pasien usia lanjut
terkadang tidak hanya datang dari pasien itu sendiri, namun justru dari pemberi

6
pelayanan kesehatan. Saat menghadapi pasien usia lanjut, pemberi pelayanan
kesehatan terkadang bersifat ageist (menunjukkan prasangka atau diskriminasi
atas dasar usia seseorang), misalnya dengan terlalu menyederhanakan pola bicara
(terlalu memperlambat bicara, mengurangi pemilihan kata, menggunakan
artikulasi yang terlalu berhati-hati) serta melebih-lebihkan intonasi bicaranya.
Bentuk komunikasi ini sering disebut dengan istilah “elderspeak”, “secondary
baby talk”, terkadang dianggap kurang hormat. Penting bagi profesional
kesehatan untuk menghindari stereotype dan mencegah cara bicara yang
menggurui (Stein, 2014).

B. Pendekatan Komunikasi Dengan Pasien Usia Lanjut

Secara spesifik, pendekatan komunikasi pada lansia dapat dilakukan berdasarkan


empat aspek, yaitu pendekatan aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

1. Pendekatan fisik

Mencari informasi tentang kesehatan objektif, kebutuhan, kejadian yang dialami,


perubahan fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan
dikembangkan, serta penyakit yang dapat dicegah progresivitasnya. Pendekatan ini relatif
lebih mudah dilaksanakan dan dicarikan solusinya karena riil dan mudah diobservasi.

2. Pendekatan psikologis

Karena pendekatan ini sifatnya abstrak dan mengarah pada perubahan perilaku, umumnya
membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini, petugas
kesehatan berperan sebagai konselor, advokat, suporter, dan interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing atau sebagai penampung masalah-masalah rahasia yang pribadi dan
sebagai sahabat yang akrab bagi klien.

3. Pendekatan sosial

Pendekatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan


lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan
kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien
dapat berinteraksi dengan sesama lansia ataupun dengan petugas kesehatan.

7
4. Pendekatan spiritual

Petugas kesehatan harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya dengan
Tuhan atau agama yang dianutnya, terutama ketika klien dalam keadaan sakit atau
mendekati kematian. Pendekatan spiritual ini cukup efektif, terutama bagi klien yang
mempunyai kesadaran tinggi dan latar belakang keagamaan yang baik.

C. Strategi Untuk Meningkatkan Komunikasi Dengan Pasien Usia Lanjut

Secara garis besar, kita dapat mengelompokkan beberapa strategi untuk


meningkatkan komunikasi dengan pasien usia lanjut ke dalam tiga kelompok berdasarkan
waktu pelaksanaannya, yaitu strategi saat sebelum kunjungan, saat dilaksanakannya
kunjungan, dan saat setelah kunjungan.

1. Sebelum pelaksanaan kunjungan

Sebelum pasien datang ke klinik / kunjungan pasien, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan klinisi / pemberi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan peran pasien dari
penerima informasi pasif menjadi seorang partisipan yang lebih aktif untuk perawatan
kesehatannya sendiri. Strategi-strategi sebelum kunjungan dilaksanakan antara lain :

a. Meminta pasien untuk menuliskan agenda kunjungannya

Dengan menuliskan agenda kunjungan ke pelayanan kesehatan, pasien usia lanjut akan
lebih memiliki beberapa pertanyaan atau keluhan mengenai kesehatan mereka
dibandingkan pasien yang tidak membuat jadwal tertulis sebelum kunjungannya. Pasien
juga dapat pula diminta untuk menuliskan pertanyaan-pertanyaan serta keluhan seputar
kesehatan tersebut dalam sebuah kertas, lalu membawa daftar tersebut saat kunjungan.

b. Mengatur kunjungan pasien usia lanjut menjadi lebih lama dari kunjungan yang
biasa

Jika pemberi pelayanan kesehatan memiliki jadwal kunjungan dengan usia lanjut, maka
atur waktu kunjungan lebih lama dari pasien pada umumnya / usia yang lebih muda. Hal
ini dikarenakan beberapa alasan, misalnya :

8
- Pasien usia lanjut memroses informasi lebih lambat sehingga cenderung
membutuhkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dibandingkan pasien usia
muda.
- Pasien usia lanjut mungkin memiliki lebih banyak riwayat kesehatan untuk
didiskusikan,
- Pasien usia lanjut cenderung gelisah dan mengalami kesulitan untuk fokus,
sehingga mereka akan merespon dengan lebih baik jika pemberi pelayanan
kesehatan tidak terburu-buru.
- Waktu kunjungan yang lebih panjang tentu saja akan lebih berarti bagi pasien
dengan keterbatasan mobilitas / pergerakan seperti kesulitan dalam berjalan.
Kunjungan ke dokter gigi bisa menjadi hal yang sangat melelahkan bagi pasien
disabilitas, sehingga akan mempengaruhi emosional mereka. Diharapkan dengan
waktu kunjungan yang lebih lama dapat menenangkan pasien sehingga tercipta
komunikasi yang lebih baik.

2. Saat pelaksanaan kunjungan

Saat pelaksanaan kunjungan, strategi untuk meningkatkan komunikasi dengan pasien usia
lanjut tidak hanya dilakukan oleh dokter saja, namun juga seluruh staf di pelayanan
kesehatan tersebut yang terlibat dari pasien mulai datang hingga pasien selesai kunjungan
(termasuk pula satpam, petugas kebersihan, petugas resepsionis, perawat, dan lain-lain)
agar tercipta suasana yang kondusif untuk komunikasi yang efektif dengan pasien usia
lanjut.

a. Memberi sapaan hangat


Langkah pertama untuk menghasilkan suatu lingkungan yang positif adalah
dengan memberikan salam yang hangat kepada seluruh pasien. Strategi ini tidak
hanya dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan saja (dokter / perawat) namun
juga seluruh elemen yang ada dalam institusi penyedia pelayanan kesehatan
tersebut, termasuk satpam dan petugas kebersihan. Seperti yang telah kita ketahui,
pasien usia lanjut lebih mudah mengalami ketidakstabilan emosi. Dengan adanya
sambutan yang hangat kepada mereka, diharapkan emosional pasien usia lanjut
dapat terjaga sehingga mendukung terlaksananya komunikasi yang lebih baik.

9
b. Pemberi pelayanan kesehatan harus dapat memonitor dan mengontrol perilaku
non-verbal
Tidak hanya untuk pasien usia lanjut, perilaku non-verbal juga berperan penting
dalam 70% kesuksesan komunikasi. Yang termasuk ke dalam komunikasi
nonverbal antara lain berupa sentuhan, intonasi suara, kontak mata, gesture tubuh
kita, dan lain-lain. Komunikasi non-verbal disini diperuntukkan agar empati serta
rasa hormat dan perhatian dari pemberi pelayanan kesehatan tersampaikan kepada
pasien usia lanjut, sehingga komunikasi terapeutik yang tercipta akan lebih
efektif.
c. Duduk secara berhadap-hadapan (face-to-face) dengan pasien dan
mempertahankan kontak mata yang tepat
Selama berinteraksi dan memberikan pelayanan kesehatan, seluruh tim medis /
penyedia layanan kesehatan hendaklah menghadap pada pasien dan
mempertahankan kontak mata. Selain sebagai bentuk suatu perhatian dan
menghormati pasien, hal ini juga dapat menguntungkan bagi pasien dengan
gangguan pendengaran sehingga ia perlu membaca gerak bibir. Untuk kasus
pasien seperti ini, para penyedia layanan kesehatan sebaiknya melepas masker
ketika berbicara.
d. Menanyakan pertanyaan terbuka, misalnya seperti “apa keluhan anda hari ini?”
Strategi ini dapat mendorong pasien untuk lebih aktif berkomunikasi serta turut
berpartisipasi dalam menentukan pilihan mengenai kasus kesehatan yang
dialaminya dan juga dapat menurunkan resiko terjadinya dominasi pembicaraan
yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan.
e. Menyimak dengan penuh perhatian serta membatasi adanya gangguan
Menyimak tidak hanya sekedar mendengarkan. Untuk mendengarkan dengan
seksama mengenai hal yang diungkapkan pasien, pemberi pelayanan kesehatan
haruslah memperhatikan bagaimana cara pasien mengucapkan kata-kata serta
mencari petunjuk apa yang dirasakan pasien. Cara mendengarkan yang buruk
sering kali menjadi keluhan utama dari pasien mengenai layanan dari petugas
kesehatan.
f. Gunakan bahasa yang sederhana dan menghindari istilah-istilah kesehatan

10
Penggunaan bahasa yang sederhana akan memudahkan pasien usia lanjut untuk
memahami hal-hal yang dimaksud pemberi pelayanan kesehatan. Bahasa yang
sederhana ini tidak hanya digunakan saat berbicara langsung dengan pasien,
namun juga dalam lembar tertulis seperti petunjuk tertulis untuk pasien, instruksi
perawatan post-operatif, lembar persetujuan, serta materi-materi tertulis lainnya.
g. Bicara secara perlahan, jelas, dan dikeraskan namun tidak menggunakan intonasi
yang menggurui / memandang rendah.
Seperti yang telah dibahas dalam hambatan komunikasi di atas, pada pasien usia
lanjut mengalami beberapa keadaan seperti penurunan kemampuan mengingat,
memroses informasi lebih lambat, kehilangan sensorik, penyesuaian psikososial,
kemungkinan kehilangan identitas, dan juga kelelahan, maka pemberi pelayanan
kesehatan harus menyampaikan komunikasi dengan perlahan, jelas, serta cukup
keras agar dapat didengar pasien. Namun disini perlu diwaspadai dengan intonasi
yang digunakan. Kalimat yang mengandung makna memandang rendah ini dapat
berupa seolah-olah memperlakukan pasien usia lanjut seperti anak-anak,
menggunakan intonasi seperti ketika berbicara dengan anak-anak, serta tidak
menunjukkan rasa hormat.
h. Ungkapkan hal yang paling penting pertama kali serta berikan instruksi secara
perseorangan
Hal ini memungkinkan pasien untuk mencerna informasi paling penting terlebih
dahulu dan memberikan pertanyaan terkait hal tersebut. Memberikan terlalu
banyak informasi dengan cepat dapat membingungkan pasien.
i. Meminta pasien untuk mengulangi poin-poin penting yang diungkapkan oleh
dokter (Teknik teach-back)
Pasien diminta untuk mengulang pesan-pesan serta instruksi penting selama
kunjungan tersebut dan petugas mengecek pemahaman pasien. Hal ini penting
dilakukan terutama untuk pasien usia lanjut. Strategi ini disebut dengan teknik
teach-back, yaitu pengulangan informasi yang telah diberikan pemberi pelayanan
kesehatan oleh pasien dengan menggunakan kalimatnya sendiri. Strategi ini masih
jarang digunakan karena dianggap menghabiskan waktu, padahal bukti
menunjukkan bahwa penggunaan metode teach-back ini hanya menambah kurang
dari tiga menit waktu kunjungan.

11
j. Gunakan bantuan visual jika memungkinkan
Jika memungkinkan, pemberi pelayanan kesehatan dapat membuat brosur
sederhana, video, atau fotografi, untuk meningkatkan pemahaman pasien.
3. Setelah kunjungan

Setelah kunjungan berakhir, masih terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan pengalaman dan hasil akhir kunjungan pasien usia lanjut. Hal-hal setelah
kunjungan ini dapat meningkatkan kepatuhan pasien, serta kemungkinan dilakukannya
follow up atau recall pasien ke klinik / penyedia layanan kesehatan. Beberapa strategi
yang dapat dilakukan setelah kunjungan yaitu :

a. Memberikan instruksi tertulis kepada pasien untuk ditinjau ulang di rumah


Sebagian besar pasien usia lanjut yang tidak patuh pada instruksi, bukanlah
merupakan suatu hal yang disengaja, namun dikarenakan pasien lupa atau gagal
memahami informasi yang diberikan petugas kesehatan. Pemberian instruksi
tertulis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dapat meningkatkan nilai
kepatuhan pasien.
b. Lakukan follow up melalui panggilan telepon mengenai kondisi pasien terutama
pada kasus-kasus ekstraksi gigi, implant, perawatan saluran akar, restorasi yang
cukup luas, dan tindakan-tindakan kompleks lainnya

Menurut Wahjudi Nugroho (2008) beberapa teknik komunikasi yang dapat di


terapkan antara lain:
a. Asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara
dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan
memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaraan dapat di mengerti. Sikap ini akan sangat membantu petugas
kesehatan untuk menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia.
b. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien
merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika tenaga kesehatan
mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun

12
hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut Sikap aktif
dari petugas kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien.
c. Fokus
Sikap ini merupakan upaya tenaga kesehatan untuk tetap konsisten
terhadap materi komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka petugas kesehatan
hendaknya mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan
karena umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak
relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.
b. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis
secara bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil. Perubahan ini
perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien lansia, misalnya dengan
mengiyakan, senyum dan mengagukan kepala ketika lansia mengungkapkan
perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini
dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia.
Selama memberi dukungan baik secara materiil maupun moril, petugas
kesehatan jangan terkesan menggurui atau mangajari klien karena ini dapat
merendahan kepercayaan klien kepada tenaga kesehatan atau petugas kesehatan
lainnya.
c. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses
komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara
mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu
di lakukan oleh tenaga kesehatan agar maksud pembicaraan kita dapat di terima
dan di persepsikan sama oleh klien Lansia.
d. Sabar dan Ikhlas
Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami
perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan
perubahan ini bila tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat menimbulkan
perasaan jengkel bagi tenaga kesehatan sehingga komunikasi yang di lakukan

13
tidak terapeutik, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional dan
menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.M., dkk. (2006). Komunikasi efektif KKI. Jakarta Selatan : Konsil Kedokteran
Indonesia

Anjaswarni, Tri. (2016). Komunikasi Dalam Keperawatan. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta

Ayuningtyas, F., & Prihatiningsih, W. (2017). Komunikasi Terapeutik pada Lansia di


Graha Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok. Mediator: Jurnal Komunikasi,
10(2), 201–215. https://doi.org/10.29313/mediator.v10i2.2911

Harahap, M. A., & Graharti, R. (2018). Teknik dan Peran Empati dalam Praktik
Kedokteran Technique and The Role Of Empathy In Medical Practice. 8(April),
102–107.

Naftali, A. R., Ranimpi, Y. Y., & Anwar, M. A. (2017). Kesehatan Spiritual dan Kesiapan
Lansia dalam Menghadapi Kematian. Buletin Psikologi, 25(2), 124–135.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.28992

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Stein, P. S., Aalboe, J. A., Savage, M. W., & Scott, A. M. (2014). Communication:
Strategies for communicating with older dental patients. Journal of the American
Dental Association, 145(2), 159–164. https://doi.org/10.14219/jada.2013.28

15

Anda mungkin juga menyukai