Anda di halaman 1dari 4

MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK DALAM KONSELING

A. Isu-Isu Etik dalam Konseling


Beberapa isu etik dalam konseling telah lama dibicarakan para pakar konseling seperti :
1. Cavanagh (1982), Gerald Corey (1988),
2. Tim Bond (2000),
3. Geldard & Geldard (2005)
4. Gibson & Mitchell (2008)
5. Gladding (2009)

Hemat penulis, isu utama dari isu etik ini yaitu rendahnya tangung jawab profesional
konselor. Isu-isu lainnya hanya merupakan akibat dari isu utama tersebut. Isu
kerahasiaan seperti memberi informasi pada pihak yang tidak berkompeten dapat
dicegah jika konselor memiliki tanggung jawab profesi yang tinggi.

Dalam buku ini, penulis mencoba menguraikan empat isu etik yang paling sering
terjadi, yaitu:

1. Tanggung jawab Profesional Sebagai profesional, konselor mempunyai


sekurang- kurangnya tujuh tanggung jawab yaitu ;
 tanggung jawab terhadap konseli,
 atasan atau pimpinan tempat konselor bekerja,
 organisasi profesinya,
 masyarakat,
 orang tua/ keluarga konseli,
 diri sendiri dan
 Tuhan.

Dalam memenuhi ke tujuh tanggung jawab tersebut, konselor sering mengalami


konflik. Akibatnya, konselor menjadi ragu dalam mengambil sebuah keputusan. Jika
hal itu terjadi, konselor dapat berkonsultasi pada teman sejawat (konselor) yang lebih
berpengalaman.

Seperti yang dikemukakan Gerdard & Geldard tentang rambu-rambu dalam


memenuhi kebutuhan konseli agar konseling sesuai dengan standar kode etik, yakni:

1) Tidak bertentangan dengan kebijakan-kebijakan organisasi tempat konselor


bekerja;

2) Tidak melanggar hukum;


3) Tidak membahayakan anggota masyarakat lainnya; atau 4) Tidak mungkin bagi
konselor sendiri

2. Kompetensi

J.P. Chaplin mengartikan kompetensi, kecakapan, kemampuan, wewenang


terjemah dari kata competence yang artinya kelayakan kemampuan atau pelatihan
untuk melakukan satu tugas. Dari pengertian di atas, terdapat dua makna yaitu :

(1) kecakapan atau kemampuan dan

(2) wewenang. Makna pertama merujuk pada ’pra syarat’ atau memenuhi syarat
(qualify), sedangkan makna kedua yaitu:

 hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan dan (2) kekuasaan


membuat keputusan dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain

3. Kerahasiaan

Dari empat pakar konseling yang ada dalam buku ini, Cavanagh(1982) merupakan orang
pertama yang membahas kerahasiaan sebagai salah satu isu etik dalam konseling. Ia menyatakan
kerahasiaan atau confidentiality merupakan sebuah isu etik yang sangat kompleks bagi
konselor45. Pakar berikutnya Corey (1988), Tim Bond (2000), dan Gibson & Mitchell (2008)
membahas isu ini. Nampak jelas bahwa isu kerahasiaan telah menjadi isu etik yang krusial dalam
konseling lebih dari seperempat abad terakhir.

4. Batasan dalam Hubungan antara Konselor dan Konseli

Dalam Kode Etik ACA (2005) hubungan konseling ditempatkan pada bagian pertama dari
delapan bagian isi Kode Etik. Penulis berpendapat, penempatan posisi urutan tersebut tentu
bukan sebuah kebetulan tetapi hasil pertimbangan sekurang-kurangnya dua hal berikut.:

 Pertama, hubungan antara konselor dan konseli memberi kontribusi langsung pada
keberhasilan layanan konseling.
 Kedua, dalam prakteknya ditemukan banyak masalah, misalnya kecenderungan sering
terjadi kasus hubungan seksual atau romantis antara konselor dan konseli, khususnya
yang terjadi di Amerika (Kode Etik ACA, 2005; Gibson & Mitchell, 2008; Gladding,
2009).

Dalam Kode Etik Bimbingan dan Konseling, baik Kode Etik ACA maupun ABKIN secara jelas
telah berusaha memberikan batas-batas etis hubungan profesional. Sependapat dengan Geldard
& Geldard bahwa dalam hubungan apapun yang kita jalani, kita selalu menentukan batasan-
batasan. Kita masingmasing memiliki garis batas di sekitar diri kita untuk melindungi identitas
kita sebagai seorang individu. Kekuatan dari batas tersebut dan karakteristiknya bergantung pada
dengan siapa kita menjalin hubungan dan konteks hubungan tersebut. Hubungan konseli dan
konselor adalah tipe hubungan yang istimewa, yang dibangun oleh konseli untuk satu tujuan.
Konseli melibatkan diri dalam sebuah hubungan di mana ia memberi kepercayaan kepada
konselor mereka dan dalam perjalanan hubungan tersebut, konseli berharap pada konselor dapat
membantu menyelesaikan permasalahannya.

B. Sumber Etika Bimbingan dan Konseling

Bond (2000) dalam Nelson-Jones mengusulkan enam sumber etika bimbingan dan konseling
yaitu : (1) etika personal, (2) etika dan nilai-nilai yang implisit di dalam model-model terapeutik,
(3) kebijakan agency, (4) kode dan pedoman profesional, (5) filosofi moral dan (6) hukum. 56
Selain itu, penulis menambahkan sumber etika yang berasal dari ajaran agama yang dianut
konselor dan konseli yang terdapat pada kitab suci masingmasing. Kedudukan ajaran agama
sebagai sumber etika bimbingan konseling hendaknya di atas sumber etika lainnya. Dengan kata
lain, ajaran agama menjadi rujukan utama dan pertama sumber etika lain yang telah
dikemukakan Bond di atas.

Alasannya, yaitu : Pertama, kebenaran ajaran agama bersifat mutlak karena bersumber dari
firman Allah. Kedua, dari ke enam sumber etika dimungkinkan terjadi benturan nilai antara satu
dengan yang lainnya. Contoh etika personal yang bersifat sangat subyektif tentu akan ideal jika
diinspirasi oleh ke enam sumber etika lain. Namun, untuk menyelaraskan ke tujuh sumber etik
tersebut memang tidak mudah. Di saat seperti ini, dibutuhkan komitmen dan integritas pribadi
konselor.

C. Panduan untuk Bertindak Secara Etik


Bertindak secara etik dalam mengemban profesi tidak mudah terutama bagi konselor
pemula yang belum berpengalaman. Kesulitan tersebut dimaklumi, mengingat konselor
pemula belum punya pengalaman mengahadapi dilema etis, yaitu situasi di mana mereka
dituntut untuk menetapkan tingkah laku yang benar atau yang salah. Swanson (1983a)
dalam Galdding59 memberikan empat pedoman untuk menilai, apakah konselor
bertindak dalam tanggung jawab etika, yaitu :
 kejujuran pribadi dan profesional konselor;
 konselor bertindak untuk kepentingan terbaik konseli;
 konselor bertindak tanpa tujuan keuntungan pribadi;
 tindakan konselor hendaknya dilakukan berdasarkan peraturan profesi yang
berlaku. Keempat pedoman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut

D. Praktek Pengambilan Keputusan Etik dalam Konseling


Berikut ilustrasi contoh pengambilan keputusan etik dalam konseling seting sekolah. Apa
yang harus dilakukan konselor sekolah jika mendapati siswanya membawa daun ganja
segar dalam tas sekolahnya? Apakah akan langsung lapor dan menyerahkan kasus
tersebut ke polisi? Ataukah konselor berkoordinasi dengan kepala sekolah dan orang tua
siswa untuk menangani kasus tersebut? Atau melimpahkan siswa tersebut ke panti
rehabilitasi pecandu zat adiktif dan mengeluarkannya dari sekolah tersebut?

Anda mungkin juga menyukai