Anda di halaman 1dari 47

DRAF RANPERDA

BUPATI PULAU MOROTAI

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULAU MOROTAI
NOMOR .... TAHUN ...

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PULAU MOROTAI


TAHUN 2020-2040

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PULAU MOROTAI,

Menimbang: a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di


Kabupaten Pulau Morotai dengan memanfaatkan ruang
wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertahanan keamanan, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 perlu disusun rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan
pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat
maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan
lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, maka perlu penjabaran ke
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau
Morotai; dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana
-2-

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau Morotai Tahun


2020-2040.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi
Maluku Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4937);
3. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 09 Tahun 2015 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6042);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);
-3-

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN PULAU MOROTAI
dan
BUPATI PULAU MOROTAI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA


RUANG WILAYAH KABUPATEN PULAU MOROTAI
TAHUN 2020-2040

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Morotai.
2. Kepala Daerah adalah Bupati Pulau Morotai.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah Sebagai
Unsur Penyelenggara Pemerintah Daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Pulau Morotai
sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
5. OPD adalah perangkat pemerintah daerah (Provinsi maupun
Kabupaten /Kota) di Indonesia sebagai pelaksana fungsi eksekutif
yang harus berkoordinasi agar penyelenggaraan pemerintahan
berjalan dengan baik.
6. OPD Teknis adalah OPD yang memiliki tugas dan fungsi dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
7. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disebut
RTRW Kabupaten adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
yang mengatur rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah
kabupaten.
8. Ruang adalah wadah yang terdiri atas ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
-4-

manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan


kegiatan, serta memelihara kelangsungan hidupnya.
9. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
10. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
11. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
12. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
15. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur
ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
16. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
17. Ketentuan Umum Peraturan zonasi adalah ketentuan umum yang
mengatur pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi
peruntukan/fungsi ruang dan kawasan sekitar jaringan prasarana
sesuai dengan RTRW Kabupaten.
18. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau
budidaya.
19. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
20. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya
buatan.
21. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi.
22. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
-5-

tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi


pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi.
23. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
24. Outline adalah delineasi rencana penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
yang digambarkan pada peta rencana pola ruang rencana tata
ruang wilayah kabupaten.
25. Sempadan adalah batas luar untuk mendirikan bangunan dari
jalur jalan, pantai, sungai, situ, waduk, rawa, mata air dan
saluran irigasi.
26. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan
ruangnya diperioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial,
budaya dan/atau lingkungan.
27. Kawasan Pesisir adalah kawasan peralihan antara Ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
28. Alur Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar,
dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan
selamat untuk dilayari oleh kapal di laut, sungai atau danau.
29. Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung dari gelombang
laut dan di lengkapi dengan fasilitas terminal.
30. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah
adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
31. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan
beberapa kecamatan.
32. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk mendukung PPK dengan
melayani kegiatan beberapa kecamatan yang lebih kecil.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi
34. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku
kepentingan non pemerintah lain dalam penataan ruang.
35. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
36. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut
TKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk
mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
-6-

tentang Penataan Ruang di Kabupaten Pulau Morotai dan


mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi
penataan ruang di daerah.

Bagian Kedua
Ruang lingkup

Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. ruang lingkup materi; dan
b. ruang lingkup wilayah.

Pasal 3
Ruang lingkup materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
meliputi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang;
b. rencana struktur ruang;
c. rencana pola ruang;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang;

Pasal 4
Ruang lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
dengan luas 233.714,87 (dua ratus tiga puluh tiga ribu tujuh ratus
empat belas koma delapan tujuh) hektar, meliputi:
a. Kecamatan Morotai Jaya;
b. Kecamatan Morotai Utara;
c. Kecamatan Morotai Timur;
d. Kecamatan Morotai Selatan;
e. Kecamatan Morotai Selatan Barat; dan
f. Kecamatan Pulau Rao.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang

Pasal 5
Mewujudkan penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu pada
sektor pertanian, industri pengolahan hasil pertanian, kehutanan,
-7-

pariwisata serta mewujudkan pertahanan dan keamanan negara secara


berkelanjutan dan berkeadilan.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 6
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 maka disusun kebijakan penataan ruang.
(2) Kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Pengembangan sistem perkotaan yang terintegrasi antara Pusat
Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), pusat kegiatan lokal (PKL),
pusat pelayanan kawasan (PPK) dan pusat pelayanan
lingkungan (PPL) secara berjenjang dan merata di seluruh
wilayah kabupaten;
b. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana, trasportasi, telekomunikasi, energi, sumber daya air
dan jaringan pelayanan sosial ekonomi yang merata di seluruh
wilayah kabupaten;
c. Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
meningbulkan kerusakan ekologi wilayah;
d. Pengembangan kegiatan berbasiskan agrobisnis pertanian,
perikanan dan pariwisata serta pemanfaatan ruangnya secara
optimal pada setiap kawasan budidaya;
e. Pelestarian dan peningkatan kawasan lindung;
f. Pelestarian dan peningkatan sosial budaya lokal; dan
g. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan
Negara.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang

Pasal 7
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 maka disusun kebijakan penataan ruang.
(2) Strategi pengembangan sistem perkotaan yang terintegrasi antara
Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), pusat kegiatan lokal
(PKL), pusat pelayanan kawasan (PPK) dan pusat pelayanan
lingkungan (PPL) secara berjenjang dan merata diseluruh wilayah
kabupaten, meliputi:
-8-

a. mengembangkan Daruba sebagai pusat kegiatan strategis


nasional (PKSN) yang mendorong pengembangan kawasan
perbatasan negara;
b. mengembangkan Sopi sebagai pusat kegiatan lokal (PKL) untuk
mendorong kawasan pada bagian utara;
c. mengembangkan Wayabula sebagai pusat kegiatan lokal (PKL)
untuk mendorong kawasan pada bagian barat;
d. mengembangkan Leo-leo Rao sebagai pusat pelayanan kawasan
(PPK) yang mendorong kawasan sekitarnya;.
e. mengembangkan Sangowo sebagai Pusat Pelayanan Kawasan
(PPK) yang mendorong kawasan bagian timur; dan
f. mengembangkan Bere-Bere sebagai pusat pelayanan kawasan
(PPK) yang mendorong kawasan bagian utara.
(3) Strategi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana, trasportasi, telekomunikasi, energi, sumber daya air dan
jaringan pelayanan sosial ekonomi yang merata di seluruh wilayah
kabupaten, meliputi:
a. Mengembangkan sistem jaringan jalan baru sebagai alternatif
akses dan konektifitas antar kawasan;
b. Mengembangkan dan meningkatan kualitas jalan lingkar Pulau
Rao;
c. Mengembangankan jaringan transportasi laut meliputi jalur
pelayaran;
d. Meningkatkan jaringan transportasi udara meliputi jalur
penerbangan udara;
e. Mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama
di kawasan terisolir;
f. Mengembangkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi
secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem
penyediaan tenaga listrik; dan
g. Mengembangkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan
ketersediaan sistem jaringan sumber daya air untuk air bersih
dan irigasi.
(4) Strategi Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
meningbulkan kerusakan ekologi wilayah, meliputi:
a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
sistem ekologi wilayah;
b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh
suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup menyerap zat, energi,
dan/atau komponen lain yang dibuang kedalamnya;
-9-

d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau


tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan
yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam
menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini
maupun generasi masa depan;
f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana, termasuk revitalisasi fungsi
ekologi lokal serta pembangunan sumber daya baru untuk
penghasilan dan pelestarian lingkungan; dan
g. mengelola sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin
kesinambungan ketersediaan dan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
(5) Strategi pengembangan kegiatan berbasiskan agrobisnis, perikanan,
perikanan dan pariwisata serta pemanfaatan ruangnya secara
optimal pada setiap kawasan budidaya, meliputi:
a. menetapkan zona-zona dengan fungsi utamanya pada kawasan
budidaya;
b. mengembangkan kegiatan budidaya uggulan pada setiap zona-
zona dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan
berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian
kawasan;
c. mengembangkan fungsi-sungsi kawasan budidaya lainnya;
d. mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya
pertanian, perikanan untuk mewujudkan ketahan pangan
kabupaten;
e. mengembangkan dan menyediakan infrastruktur pendukung
pada kawasan-kawasan agrobisnis, pertanian, perikanan dan
pariwisata;
f. meningkatkan fungsi dan kualitas pelayanan prasarana dan
sarana pada setiap kawasan budidaya;
g. mengembangkan sistem jaringan jalan usaha tani yang
terkoneksi dari lahan pertanian, tempat pengolahan hasil
pertanian dan tempat pemasaran;
h. memelihara dan meningkatkan jaringan irigasi teknis, irigasi
semi teknis, irigasi sederhana dan irigasi desa untuk
mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian lahan
basah;
i. menetapkan dan meningkatkan perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan (LP2B);
j. membangun kegiatan perikanan dengan pengembangan Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI);
-10-

k. membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan


perkotaan besar untuk mempertahankan fungsi kawasan
perdesaan dan sekitarnya; dan
l. mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan yang didukung sarana dan prasarana industri pada
sentra IKM mapuun di luar sentra IKM.
(6) Strategi pelestarian dan peningkatan kawasan lindung, meliputi:
a. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dengan luas paling
sedikit 30% dari luas wilayah tersebut dengan kondisi
ekosistemnya atas dasar kriteria kawasan-kawasan yang
berfungsi lindung;
b. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung
yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya,
dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan
ekosistem wilayah;
c. mengurangi tingkat dampat negatif terhadap pengembangan
kawasan budidaya pada lingkungan sekitarnya;
d. meningkatkan fungsi pada kawasan hutan produksi sebagai
kawasan penyangga bagi kawasan lindung;
e. melakukan pemantauan dan pengawasan secara periodik
terhadap kegiatan-kegiatan budidaya yang berpotensi
mengganggu fungsi lindung;
f. memanfaatkan kawasan lindung sebagai fungsi hidrologis,
melindungi kawasan setempat, melindungi habitat flora dan
fauna, serta melindung kawasan rawan bencana alam;
g. mengembangkan kebijakan tata guna tanah/lahan, tata guna
air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam yang
ramah lingkungan;
h. mengembangkan kebijakan pengembangan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan yang
berkesinambungan;
i. melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan
keseimbangan ekosistemnya;
j. meningkatkan kepariwisataan; dan
k. menjaga kualitas, keasrian dan kelestarian ekosistem sistem
ekologi wilayah.
(7) Strategi pelestarian dan peningkatan sosial budaya lokal, meliputi;
a. meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap nilai budaya
lokal dan mencerminkan jadi diri komunitas lokal yang berbudi
luhur;
b. mengembangkan penerapan ragam nilai budaya lokal dalam
kehidupan masyarakat; dan
-11-

c. melestarikan situs warisan budaya komunitas lokal yang


beragam.
(8) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan
keamanan Negara, meliputi:
a. mendukung penetapan kawasan pertahanan dan keamanan
pada kawasan strategis nasional;
b. mengembangkan kawasan budidaya secara selektif di dalam dan
di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan Negara untuk
menjaga fungsi pertahanan dan keamanan;
c. mengembangkan kawasan lindung da/atau kawasan budidaya
tidak terbangun di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan
dengan kawasan budidaya terbangun; dan
d. turut serta menjaga dan memelihara asset-aset pertahanan/TNI.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Pulau Morotai
meliputi:
a. sistem perkotaan; dan
b. sistem jaringan prasarana.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana pada Lampiran I dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Bagian Kedua
sistem perkotaan

Pasal 9
(1) Sistem perkotaan yang ada di Kabupaten Pulau Marotai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pusat kegiatan strategis nasional (PKSN);
b. pusat Kkegiatan lokal (PKL); dan
c. pusat pelayanan kawasan (PPK).
(2) PKSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu kawasan
Daruba.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu kawasan
Wayabula dan Sopi.
-12-

(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu kawasan
Bere-Bere, kawasan Sangowo dan kawasan Leo-Leo Rao.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana

Pasal 10
Rencana sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf b meliputi:
a. sistem jaringan transportasi;
b. sistem jaringan energi;
c. sistem jaringan telekomunikasi;
d. sistem jaringan sumber daya air; dan
e. sistem jaringan prasarana lainnya.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 11
Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10
huruf a meliputi:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan ransportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara.

Pasal 12
Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 huruf a meliputi:
a. sistem jaringan jalan; dan
b. sistem jaringan penyeberangan.

Pasal 13
(1) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a meliputi:
a. jaringan jalan nasional yang ada di wilayah Kabupaten;
b. jaringan jalan yang menjadi kewenangan Kabupaten; dan
c. terminal penumpang.
(2) Jaringan jalan nasional yang ada di wilayah Kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu jaringan jalan
dengan fungsi jalan kolektor primer satu (JKP-1), terdiri dari:
a. ruas jalan Bts. Kota Daruba –Sangowo;
b. Jln. Trans Darame (Daruba);
c. Jln. KH. Achmad Syukur (Daruba);
-13-

d. Jl. Tugu Pancasila (Daruba);


e. Jln. Merdeka (Daruba);
f. Jln. Dermaga Ferry (Daruba);
g. Jalan Raya Daruba (Daruba);
h. ruas jalan Daeo/Sangowo – Bere Bere;
i. ruas jalan Bere Bere – Sofi; dan
j. ruas jalan Wayabula – Daruba.
(3) Jaringan jalan yang menjadi kewenangan Kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu jaringan jalan
dengan fungsi jalan lokal primer, terdiri dari:
1. ruas jalan TPA;
2. ruas jalan Trans Aha;
3. ruas jalan Kota Mandiri Terpadu (KTM);
4. ruas jalan Coldstorages - Rumah Sakit Bergerak ;
5. ruas jalan Motorpool – Totodoku;
6. ruas jalan Motorpool - SP 3;
7. ruas jalan Kawasan Kong Kong;
8. ruas jalan Ir. Soekarno Hatta;
9. ruas jalan Tanah Tinggi;
10. ruas jalan Mc Arthur;
11. ruas jalan Kawasan Daruba Pantai;
12. ruas jalan Kawasan Muhajirin;
13. ruas jalan Siswa (Kawasan Darame);
14. ruas jalan Tirtonade;
15. ruas jalan Imam Lastory;
16. ruas jalan Kawasan Desa Yayasan;
17. ruas jalan Armydog - Pelabuhan Ferry;
18. ruas jalan Kawasan desa Pandanga;
19. ruas jalan Kawasan Desa Juanga;
20. ruas jalan Desa Wawama;
21. ruas jalan Desa Jou Bela;
22. ruas jalan Kawasan desa Totodoku;
23. ruas jalan Kawasan Desa Mandiri;
24. ruas jalan Kawasan Desa Momojiu;
25. ruas jalan Kawasan Desa Sabatai Baru;
26. ruas jalan Kawasan Desa Sabatai Tua;
27. ruas jalan Kawasan Pulau Koloray;
28. ruas jalan Kawasan Desa Daeo;
29. ruas jalan Wisata Tanjung Pinang;
30. ruas jalan Kawasan Desa Sambiki Baru;
31. ruas jalan Kawasan Desa Sambiki Tua;
32. ruas jalan Kawasan Desa Sangowo;
33. ruas jalan Kawasan Desa Rahmat;
-14-

34. ruas jalan Kawasan Desa Wewemo;


35. ruas jalan Kawasan Desa Buho Buho;
36. ruas jalan Kawasan Desa Lifao;
37. ruas jalan Kawasan Desa Trans Bido;
38. ruas jalan Kawasan Desa Sakita;
39. ruas jalan Kawasan Desa Kanari;
40. ruas jalan Kawasan Desa Bere Bere;
41. ruas jalan Trans Bere Bere - Kanari – Sakita;
42. ruas jalan Kawasan Desa Gurua;
43. ruas jalan Kawasan Desa Korago;
44. ruas jalan Kawasan Desa Lusuo.
45. ruas jalan Kawasan Desa Toara;
46. ruas jalan Kawasan Desa Pangeo;
47. ruas jalan Kawasan Desa Aru;
48. ruas jalan Kawasan Desa Cendana;
49. ruas jalan Kawa Jl. Kawasan Desa Tutuhu;
50. ruas jalan Kawasan Desa Wayabula;
51. ruas jalan Keliling Pulau Rao;
52. ruas jalan Kawasan Desa Posi Posi;
53. ruas jalan Kawasan Desa Aru Burung;
54. ruas jalan Kawasan Desa Lomadoro;
55. ruas jalan Kawasan Desa Leo Leo;
56. ruas jalan Kawasan Pulau Saminyamau;
57. ruas jalan Kawasan Desa Raja;
58. ruas jalan Kawasan Desa Tiley;
59. ruas jalan Kawasan Desa Usbar;
60. ruas jalan Kawasan Desa Cucumare;
61. ruas jalan Kawasan Desa Aru Irian;
62. ruas jalan Kawasan Desa Waringin;
63. ruas jalan Kawasan Desa Pilowo;
64. ruas jalan Kawasan Pulau Galo Galo - Desa Sopi;
65. ruas jalan Aha – Bere-Bere;
66. ruas jalan Bere-Bere – Sopi II; dan
67. ruas jalan Wayabula – Sangowo.
(4) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c berupa terminal penumpang tipe C pada pusat-pusat kawasan
di Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morortai Selatan Barat,
Kecamatan Morotai Jaya, Kecamatan Morotai Utara dan
Kecamatan Morortai Timur.

Pasal 14
(1) Sistem jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf b meliputi:
-15-

a. lintas penyeberangan; dan


b. pelabuhan penyeberangan.
(2) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf a meliputi:
a. lintas peyeberangan antar provinsi;
b. lintas penyeberangan antar kabupaten/kota; dan
c. lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota.
(3) Lintas penyeberangan antar provinsi sebagaimana dimaksud ayat
(2) huruf a yang menghubungkan Daruba (Provinsi Maluku
Utara) – Sorong (Provinsi Papua Barat).
(4) Lintas penyeberangan antar kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud ayat (2) huruf b meliputi:
a. Daruba (Morotai) – Ternate;
b. Daruba (morotai) – Dama; dan
c. Daruba (Morotai) – Tobelo.
(5) Lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud ayat (2) huruf c meliputi:
a. Aru – Wayabula;
b. Wayabula – Posi-Posi;
c. Wayabula – Sopi;
d. Sopi- Bere-Bere;
e. Bere-Bere – Sangowo; dan
f. Sangowo – Aru.
(6) Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf
b meliputi:
a. pelabuhan penyeberangan kelas II yaitu Pelabuhan Daruba;
dan
b. pelabuhan penyeberangan kelas III, terdiri dari:
1. Pelabuhan Wayabula;
2. Pelabuhan Sangowo;
3. Pelabuhan Bere-Bere;
4. Pelabuhan Sopi;
5. Pelabuhan Posi-Posi; dan
6. Pelabuhan Aru.

Pasal 15
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada
Pasal 11 huruf b meliputi:
a. pelabuhan laut; dan
b. alur pelayaran.
(2) Pelabuhan laut yang berada di Kabupaten Pulau Morotai
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi:
a. pelabuhan pengumpan regional yaitu pelabuhan Daruba;
-16-

b. pelabuhan pengumpan lokal terdiri dari:


1. Pelabuhan Wayabula;
2. Pelabuhan Sangowo;
3. Pelabuhan Bere-Bere;
4. Pelabuhan Sopi;
5. Pelabuhan Posi-Posi; dan
6. Pelabuhan Aru.
c. pelabuhan umum terdiri dari:
1. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tiley di Kecamatan
Morotai Barat; dan
2. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Daeo Majiko di
Kecamatan Morotai Timur.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b meliputi:
a. alur pelayaran internasional terdiri dari:
1. Pelabuhan Daruba, Pelabuhan Sopi dan Pelabuhan
Wayabula ke ALKI III di Laut Maluku; dan
2. Pelabuhan Bere-Bere ke Samudera Pasifik.
b. Alur pelayaran nasional yaitu Pelabuhan Daruba, Pelabuhan
Sopi, Pelabuhan Wayabula, Pelabuhan Bere-Bere ke
Pelabuhan lainnya.

Pasal 16
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf c meliputi:
a. tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.
(2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Pulau Morotai
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a berupa bandar udara
pengumpan yaitu bandar udara Pitu di Kecamatan Morotai
Selatan.
(3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b diatur lebih lanjut dalam rencana induk bandar udara.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Energi

Pasal 17
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10
huruf b berupa jaringan infrastruktur ketenagalistrikan meliputi:
a. infrastruktur pembangkit tenaga istrik dan sarana
pendukungnya; dan
b. infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya.
-17-

(2) Infrastruktur pembangkit tenaga listrik dan sarana


pendukungnya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi:
a. pembangkit listrik tenaga mikro gas (PLTMG) Morotai di
Kecamatan Morotai Selatan;
b. pembangkit listrik tenaga hybrid (PLTH) di Kecamatan Morotai
Selatan;
c. pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), di seluruh kecamatan;
dan
d. pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), di seluruh kecamatan.
(3) Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukungnya
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b berupa rencana
pembangunan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) yang
tersebar di seluruh kecamatan.
(4) Pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup juga rencana infrastruktur pembangkitan
tenaga listrik dan infrastruktur penyaluran tenaga listrik lainnya
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 18
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf c meliputi:
a. jaringan tetap; dan
b. jaringan bergerak.
(2) Jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa sistem jaringan kabel di setiap kecamatan di Kabupaten
Pulau Morotai.
(3) Jaringan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berupa jaringan bergerak seluler pengembangan BTS di setiap
kecamatan.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 19
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf d, meliputi:
a. sistem jaringan sumber daya air strategis nasional; dan
b. sistem jaringan sumber daya air kabupaten.
(2) Sistem jaringan sumber daya air strategis nasional yang berada di
wilayah Kabupaten Pulau Morotai sebagaimana dimaksud pada
-18-

ayat (1) huruf a berupa sumber air pada Wilayah Sungai


Halmahera Utara terdiri dari:
a. DAS Aha;
b. DAS Aru;
c. DAS Berebere Kecil;
d. DAS Bobo;
e. DAS Cao;
f. DAS Cio;
g. DAS Daeo;
h. DAS Gosomamaluku;
i. DAS Hapo;
j. DAS Kocago;
k. DAS Libano;
l. DAS Lifao;
m. DAS Lusuo;
n. DAS Mira;
o. DAS Moleo;
p. DAS Morotai;
q. DAS Ngisio;
r. DAS Pengeo;
s. DAS Raja;
t. DAS Sabala;
u. DAS Sabatai;
v. DAS Sabatai Tua;
w. DAS Sakita;
x. DAS Sangowo;
y. DAS Sangowo Kecil;
z. DAS Sopi;
aa. DAS Tatamo;
bb. DAS Tutuhu;
cc. DAS Wayabula; dan
dd. DAS Yao.
(3) Sistem jaringan sumber daya air kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. sumber air, terdiri dari:
1. sumber air permukaan pada sungai dan mata air yang ada
di seluruh wilayah kabupaten; dan
2. sumber air tanah pada Cekungan Air Tanah (CAT) di
Kabupaten Pulau Morotai yaitu CAT Daruba - Bere-Bere.
b. prasarana sumber daya air, terdiri dari:
1. sistem jaringan irigasi pada Daerah Irigasi (DI) Aha dan
Daerah Irigasi (DI) Dago; dan
-19-

2. sistem pengendali banjir berupa normalisasi sungai,


rehabilitasi tanggul banjir, rehabilitasi bronjong penguat
tebing yang dilaksanakan sebagai upaya penanganan
banjir pada sungai yang berada pada kawasan rawan
banjir secara terpadu dengan sistem pengembangan
drainase dan upaya konservasi daerah hulu aliran sungai
terutama pada kawasan rawan banjir.

Paragraf 5
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 20
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf e, meliputi:
a. sistem penyediaan air minum (SPAM);
b. sistem pengelolaan air limbah (SPAL);
c. sistem jaringan persampahan wilayah; dan
d. sistem jaringan evakuasi bencana.
(2) Sistem penyediaan air minum (SPAM) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan perpipaan yang berada di kecamatan Morortai
Selatan, kecamatan Morortai Utara, kecamatan Morotai Barat,
kecamatan Morotai Jaya dan kecamatan Morotai Selatan
Barat; dan
b. bukan jaringan perpipaan berupa terminal air dan bangunan
penangkap mata air yang berada di kecamatan Morortai
Selatan, kecamatan Morortai Utara, kecamatan Morotai Barat,
kecamatan Morotai Jaya dan kecamatan Morotai Selatan
Barat.
(3) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. sistem pembuangan air limbah (sewage) berupa instalasi
pengelolaan air limbah (IPAL) yang berada di Kecamatan
Morotai Selatan; dan
b. sistem pembuangan air limbah rumah tangga (sawerage)
tersebar di seluruh kecamatan.
(4) Sistem jaringan persampahan wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) di kecamatan
Morortai Selatan; dan
b. Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) di seluruh
wilayah kecamatan.
-20-

(5) Sistem jaringan evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf d, meliputi:
a. jalur evakuasi bencana pada ruas jalan dalam kawasan
perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan pariwisata,
menuju ruang-ruang evakuasi bencana; dan
b. ruang evakuasi bencana seperti taman, lapangan olahraga,
dan halaman sarana pelayanan umum dimasing-masing desa
atau kecamatan.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 21
(1) Rencana pola ruang wilayah, meliputi:
a. kawasan peruntukan lindung; dan
b. kawasan peruntukan budidaya.
(2) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan pada peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 pada
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Peruntukan Lindung

Pasal 22
Kawasan peruntukan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat; dan
c. kawasan konservasi.

Paragraf 1
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan
Bawahannya

Pasal 23
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a yaitu
berupa kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 93.174
-21-

(Sembilan puluh tiga ribu seratus tujuh puluh empat) hektar yang
tersebar di seluruh kecamatan.
(2) Pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdapat usulan perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi bukan kawasan hutan yang digambarkan dalam bentuk
outline di atas pola ruang yaitu kawasan hutan lindung menjadi
kawasan peruntukan permukiman seluas kurang lebih 3 (tiga)
hektar berada di Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai
Selatan Barat dan Kecamatan Morotai Utara.
(3) Pemanfaatan ruang pada kawasan outline sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
dari Menteri yang membidangi urusan kehutanan.

Paragraf 2
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 24
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf b seluas kurang lebih 4.337 (empat ribu tiga ratus
tiga puluh tujuh) hektar, meliputi:
a. kawasan sempadan pantai;
b. kawasan sempadan sungai; dan
c. kawasan sekitar danau atau waduk.
(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditetapkan di sepanjang pesisir dengan ketentuan:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter
dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik
pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional
terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
(3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditetapkan pada semua sungai yang berada di wilayah
Kabupaten, dengan ketentuan :
a. garis sempadan pada sungai tidak bertanggul didalam
kawasan perkotaan, meliputi:
1. garis sempadan pada sungai dengan kedalaman kurang
dari atau sama dengan 3 (tiga) meter ditentukan paling
sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai;
2. garis sempadan pada sungai dengan kedalaman lebih dari
3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter
ditentukan paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter
-22-

dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur


sungai; dan
3. garis sempadan pada sungai dengan kedalaman lebih dari
20 (dua puluh) meter ditentukan paling sedikit berjarak 30
(tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai.
b. garis sempadan pada sungai tidak bertanggul diluar kawasan
perkotaan, meliputi:
1. garis sempadan pada sungai besar dengan luas daerah
aliran sungai lebih besar dari 500 (lima ratus) kilometer
persegi ditentukan paling sedikit berjarak 100 (seratus)
meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang
alur sungai; dan
2. garis sempadan pada sungai kecil dengan luas daerah
aliran sungai kurang dari atau sama dengan 500 (lima
ratus) kilometer persegi ditentukan paling sedikit berjarak
50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai.
c. garis sempadan pada sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan, ditentukan paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter
dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
d. garis sempadan sungai pada sungai bertanggul di luar
kawasan perkotaan, ditentukan paling sedikit berjarak 5 (lima)
meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
(4) Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Morotai Selatan Barat dan
Kecamatan Morotai Utara sejauh 50 (lima puluh) meter diukur
dari muka air pasang tertinggi.

Paragraf 3
Kawasan Konservasi

Pasal 25
(1) Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf
c, meliputi:
a. kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
dan
b. kawasan rawan bencana.
(2) Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa kawasan
konservasi perairan, terdiri dari:
a. Kawasan Konservasi Perairan Tanjung Dehegila-Teluk Pitu;
dan
-23-

b. Kawasan konservasi Perairan Pulau Rao.


(3) Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berupa rawan bencana yang digambarkan dalam bentuk
penampalan di atas pola ruang, terdiri dari:
a. bahaya bencana banjir tinggi berada di Kecamatan Morotai
Selatan, Kecamatan Morotai Selatan Barat, Kecamatan Morotai
Timur dan Kecamatan Morotai Utara;
b. bahaya bencana tanah longsor tinggi di Kecamatan Morotai
Jaya, Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Selatan
Barat, Kecamatan Morotai Timur dan Kecamatan Morotai
Utara; dan
c. bahaya bencana tsunami tinggi tersebar di seluruh kecamatan.
(4) Pada kawasan-kawasan yang tertampal kawasan rawan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan upaya-upaya
pengurangan risiko bencana yang diatur lebih lanjut dalam
ketentuan umum peraturan zonasi.
(5) Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digambarkan pada peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 pada
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Kawasan Peruntukan Budidaya

Pasal 26
Kawasan peruntukan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan pertambangan dan energi;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman;
g. kawasan pertahanan dan keamanan; dan
h. kawasan peruntukan lain.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Produksi

Pasal 27
(1) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf a seluas kurang lebih 99.145 (sembilan puluh Sembilan
ribu seratus empat puluh lima) hektar, meliputi:
-24-

a. kawasan hutan produksi terbatas; dan


b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, berada di Kecamatan Morotai Jaya, Kecamatan
Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Selatan Barat, Kecamatan
Morotai Timur dan Kecamatan Morotai Utara.
(3) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di seluruh kecamatan.
(4) Pada kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdapat usulan perubahan peruntukan kawasan
hutan menjadi bukan kawasan hutan yang digambarkan dalam
bentuk outline di atas pola ruang yaitu kawasan hutan produksi
terbatas menjadi kawasan peruntukan pertanian seluas kurang
lebih 543 (lima ratus empat puluh tiga) hektar berada di
Kecamatan Morotai Jaya dan Kecamatan Morotai Utara.
(5) Pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat usulan perubahan
peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan
seluas kurang lebih 1.889 (seribu delapan ratus delapan puluh
sembilan) hektar yang digambarkan dalam bentuk outline di atas
pola ruang, meliputi:
a. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi
kawasan peruntukan pertanian seluas kurang lebih 1.843
(seribu delapan ratus empat puluh tiga) hektar berada di
Kecamatan Morotai Jaya, Kecamatan Morotai Utara dan
Kecamatan Morotai Timur; dan
b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi
kawasan peruntukan permukiman seluas kurang lebih 46
(empat puluh enam) hektar berada di Kecamatan Morotai
Jaya, Kecamatan Morotai Utara, Kecamatan Morotai Selatan
dan Kecamatan Pulau Rao.
(6) Pemanfaatan ruang pada kawasan outline sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan dari Menteri yang membidangi urusan kehutanan.

Paragraf 2
Kawasan Pertanian

Pasal 28
(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf
b seluas kurang lebih 31.700 (tiga puluh satu ribu tujuh ratus)
hektar, meliputi:
a. kawasan tanaman pangan; dan
-25-

b. kawasan perkebunan.
(2) Kawasan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdapat di Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan
Morotai Selatan Barat, Kecamatan Morotai Timur dan Kecamatan
Morotai Utara.
(3) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, terdapat di seluruh kecamatan.
(4) Pada kawasan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

Paragraf 3
Kawasan Perikanan

Pasal 29
Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c
berupa kawasan perikanan tangkap yang tersebar di seluruh perairan
Kabupaten Pulau Morotai, terdiri dari:
a. perikanan pelagis, meliputi:
1. perairan Teluk Galela-Tobelo-Selat Morotai;
2. perairan Pulau Morotai-Selat Morotai-Laut Maluku; dan
3. perairan Morotai Jaya-Morotai Utara-Morotai Timur-Teluk Pitu-
Samudera Pasifik.
b. perikanan demersal, meliputi:
1. perairan Buho Buho-Wawemo-Mira-Rahmat Morotai Timur;
2. perairan Tanjung Bobor-Morotai Utara, Perairan Sakira Morotai
Utara, Perairan Pulau Tabailenge Morotai Utara, Perairan
Lusuo-Tanjung Gorango Morotai Utara; dan
3. Perairan Teluk Sopi-Tanjung Sopi Morotai Jaya.
c. perikanan pelagis dan demersal, meliputi:
1. perairan Joubela-Mamdiri Morotai Selatan;
2. perairan Tutuhu-Tanjung Tahu Morotai Selatan Barat;
3. Perairan Ciogerong-Tanjung Moloku Morotai Selatan;
4. Perairan Morotai Timur;
5. Perairan Tawakali-Yao Morotai Utara;
6. Perairan Bere-Bere-Pulau Tabailange Morotai Utara; dan
7. Perairan Tanjung Padange-Teluk Sopi-Tanjung Sopi-Tanjung
Gorango-Tanjung Ngisio.

Paragraf 4
Kawasan Pertambangan Dan Energi
-26-

Pasal 30
(1) Kawasan pertambangan dan energi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 huruf d, adalah kawasan pertambangan mineral logam
berupa pasir besi berada di Kecamatan Morotai Jaya, Utara dan
Morotai Selatan Barat.
(2) Kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam bentuk penampalan di atas pola ruang.
(3) Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 5
Kawasan Pariwisata

Pasal 31
(1) Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf
e, meliputi:
a. kawasan pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil;
b. kawasan pariwisata sejarah; dan
c. kawasan pariwisata olahraga air.
(2) Kawasan pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, berada di seluruh kecamatan.
(3) Kawasan pariwisata sejarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, berupa wisata sejarah bawah laut berada di Tanjung
Totodoko dan Tanjung Sabati.
(4) Kawasan pariwisata olahraga air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, berupa wisata olahraga air untuk jetski dan
mincing berada di Tanjung Sopi Kecamatan Morotai Jaya.

Paragraf 6
Kawasan Permukiman

Pasal 32
(1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf f seluas kurang lebih 3.933 (tiga ribu Sembilan ratus tiga
puluh tiga) hektar, meliputi:
a. kawasan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan permukiman perdesaan.
(2) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, terdapat di seluruh kecamatan.
(3) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, tersebar di seluruh kecamatan.
-27-

Paragraf 7
Kawasan Pertahanan Dan Keamanan

Pasal 33
Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 huruf g, terdiri dari:
a. Bandara militer TNI angkatan udara di Kecamatan Morotai Selatan;
b. Pangkalan angkatan laut di Kecamatan Morotai Selatan;
c. Kepolisian resort (Polres) di Daruba Kecamatan Morotai Selatan;
dan
d. Kepolisian sektor (Polsek) yang tersebar di seluruh kecamatan.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lain

Pasal 34
(1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 dapat
dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan yang
bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan
Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah
mendapat rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya
mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 35
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Pulau Morotai, meliputi:
a. kawasan strategis nasional; dan
b. kawasan strategis kabupaten.
(2) kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal 36
Kawasan strategis nasional yang ada di Kabupaten Pulau Morotai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a berupa
kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertahanan dan
keamanan negara.
-28-

Pasal 37

Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35


ayat (1) huruf b berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan
ekonomi, terdiri dari:
a. kawasan perkotaan Daruba;
b. kawasan perkotaan Wayabula; dan
c. kawasan perkotaan Sopi.

Pasal 38
(1) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
disusun Rencana Rinci Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Kabupaten dan Rencana Detail Tata Ruang
Kabupaten.
(2) Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG

Pasal 39
(1) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten berpedoman pada rencana
struktur ruang dan pola ruang.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui
penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang
beserta perkiraan pendanaannya.
(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (3) disusun berdasarkan indikasi program utama lima
tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, investasi swasta dan kerjasama pendanaan.
(3) Kerjasama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Waktu dan tahapan pelaksanaan pemanfaatan ruang terdiri atas
4 (empat) tahapan, meliputi:
-29-

a. Tahap pertama pada periode tahun 2020 - 2024;


b. Tahap kedua pada periode tahun 2025 - 2029;
c. Tahap ketiga pada periode tahun 2030 - 2034; dan
d. Tahap keempat pada periode tahun 2035 – 2040;
(5) Waktu dan tahapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) sebagai acuan bagi instansi pelaksana dalam menetapkan
prioritas pembangunan pada wilayah Kabupaten Pulau Morotai.

BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian kesatu
Umum

Pasal 41
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang, terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 42
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman dalam
menyusun peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya;
dan
c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar
jaringan prasarana.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi dijabarkan lebih lanjut
didalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan
-30-

Pasal 43
(1) Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang
berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan
rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah ini.
(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 44
(1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten
Pulau Morotai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, meliputi:
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT); dan
d. izin mendirikan bangunan.
(2) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 45
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah
daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan
umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu
dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 46
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah
kepada masyarakat.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh
instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.
-31-

Pasal 47
(1) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2),
merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata
ruang, meliputi:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang,
imbalan, sewa ruang, dan kurun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau
pemerintah daerah.
(2) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), yang
merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan,
atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata
ruang, meliputi:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak
yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan
kompensasi, dan penalti.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif
diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 48
Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf d
merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pengenaan sanksi
kepada pelanggar pemanfaatan ruang.

Pasal 49
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
(2) Indikasi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang dapat diketahui melalui:
a. laporan masyarakat; atau
b. temuan oleh petugas.
(3) Laporan masyarakat atau temuan oleh petugas ditindaklanjuti
dengan evaluasi terhadap dugaan pelanggaran di bidang penataan
ruang;
-32-

(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam


rangka:
a. menganalisis penyebab terjadinya dugaan pelanggaran di
bidang penataan ruang yang timbul;
b. memperkirakan besaran dampak atau kerugian akibat dugaan
pelanggaran di bidang penataan ruang yang timbul; dan
c. menganalisis dan merumuskan tindakan dan tindak lanjut
yang diperlukan dalam pengenaan/penerapan sanksi apabila
pelanggaran di bidang penataan ruang memenuhi unsur
pelanggaran di bidang penataan ruang.
(5) Evaluasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menghasilkan Berita Acara hasil evaluasi untuk dilampirkan
dalam surat peringatan;
(6) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi pidana.
(7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
(8) Unsur pelanggaran penataan ruang yang dapat dikenai sanksi
adminstratif, meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang dan ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah ini;
b. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah
kabupaten;
c. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang yang diterbitkan berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten;
d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan rencana
tata ruang wilayah kabupaten;
e. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
f. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh melalui
prosedur yang tidak benar.

Paragraf 1
Sanksi Administratif
-33-

Pasal 50
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6)
huruf a dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.

Pasal 51
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf
a, dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari
pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang;
(2) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memuat:
a. peringatan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang
beserta bentuk pelanggarannya;
b. peringatan untuk segera melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan dalam rangka penyesuaian pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang; dan
c. batas waktu maksimum yang diberikan melakukan
penyesuaian pemanfaatan ruang.
(3) Surat peringatan tertulis diberikan paling banyak 3 (tiga) kali
dengan jangka waktu penerbitan masing-masing paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender;
(4) Pengenaan sanksi peringatan tertulis dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pelanggar mengabaikan peringatan pertama, pejabat yang
berwenang melakukan penertiban kedua yang memuat
penegasan terhadap hal-hal sebagaimana dimuat dalam surat
peringatan pertama;
b. pelanggar mengabaikan peringatan kedua, pejabat yang
berwenang melakukan penertiban ketiga yang memuat
penegasan terhadap hal-hal sebagaimana dimuat dalam surat
peringatan pertama dan kedua; dan
c. pelanggar mengabaikan peringatan pertama, peringatan
kedua, dan peringatan ketiga, pejabat yang berwenang
melakukan penerbitan surat keputusan pengenaan sanksi
-34-

yang dapat berupa penghentian sementara kegiatan,


penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi;
d. pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan,
pemulihan fungsi ruang, dan/atau denda administrative;
e. surat peringatan tertulis ketiga dapat disertai dengan
pemasangan papan/stiker/spanduk peringatan; dan
f. pemasangan papan/stiker/spanduk peringatan sebagaimana
dimaksud pada huruf d dilakukan sampai dengan orang yang
melakukan pelanggaran memenuhi kewajibannya untuk
menyesuaikan kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana
tata ruang dan ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam
pemanfaatan ruang.

Pasal 52
(1) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 huruf b dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Penghentian Sementara Kegiatan
pemanfaatan ruang dan/atau surat penyegelan;
c. dalam hal pelanggar mengabaikan perintah penghentian
kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian
Sementara Secara Paksa terhadap kegiatan pemanfaatan
ruang;
d. berdasarkan Surat Keputusan Penghentian Sementara Secara
Paksa, pejabat yang berwenang memberitahukan kepada
pelanggar bahwa akan segera dilakukan tindakan penertiban
oleh aparat penertiban;
e. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang
berwenang melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan
ruang secara paksa; dan
f. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan
pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali
sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk
menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata
ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang.
(2) Surat keputusan penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat:
-35-

a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan


ruang beserta bentuk pelanggarannya;
b. peringatan kepada pelanggar untuk menghentikan kegiatan
sementara sampai dengan pelanggar memenuhi kewajiban
untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan dalam
rangka penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang;
c. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar
dengan kesadaran sendiri melakukan penghentian sementara
kegiatan dan melakukan penyesuaian pemanfaatan ruang;
dan
d. konsekuensi akan dilakukannya penghentian kegiatan
sementara secara paksa apabila pelanggar mengabaikan surat
keputusan.

Pasal 53
(1) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 huruf c dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang dengan menerbitan Surat Peringatan
Tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Penghentian Sementara Pelayanan Umum;
c. berdasarkan Surat Keputusan Penghentian Sementara
Pelayanan Umum, pejabat yang berwenang menyampaikan
perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk
menghentikan sementara pelayanan kepada orang yang
melakukan pelanggaran, disertai penjelasan secukupnya;
d. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan
kepada pelanggar; dan
e. setelah pelayanan umum dihentikan kepada orang yang
melakukan pelanggaran, perangkat daerah bidang penataan
ruang melakukan pengawasan untuk memastikan tidak
terdapat pelayanan umum kepada orang yang melakukan
pelanggaran tersebut sampai dengan terpenuhinya kewajiban.
(2) Surat keputusan penghentian sementara pelayanan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan
ruang beserta bentuk pelanggarannya;
b. rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
-36-

c. peringatan kepada pelanggar untuk mengambil tindakan-


tindakan yang diperlukan dalam rangka penyesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang dan/atau
ketentuan teknis pemanfaatan ruang;
d. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar
dengan kesadaran sendiri melakukan penyesuaian
pemanfaatan ruang; dan
e. konsekuensi akan dilakukannya penghentian sementara
pelayanan umum apabila pelanggar mengabaikan surat
keputusan.

Pasal 54
(1) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Penutupan Lokasi;
c. berdasarkan Surat Keputusan Penutupan Lokasi, pejabat
yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai
penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan;
d. pejabat yang berwenang melakukan penertiban melakukan
penutupan lokasi secara paksa; dan
e. setelah penutupan lokasi dilakukan, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan untuk memastikan lokasi yang
ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar
memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan
ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis
pemanfaatan ruang.
(2) Surat Pemberitahuan Penutupan Lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b memuat:
a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan
ruang beserta bentuk pelanggarannya yang dirisalahkan dari
berita acara evaluasi;
b. peringatan kepada pelanggar untuk mengambil tindakan-
tindakan yang diperlukan dalam rangka penyesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang dan/atau
ketentuan teknis pemanfaatan ruang;
c. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar
untuk dengan kesadaran sendiri melakukan penyesuaian
pemanfaatan ruang; dan
-37-

d. konsekuensi akan dilakukannya penutupan lokasi secara


paksa apabila pelanggar mengabaikan surat peringatan.

Pasal 55
(1) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Pencabutan Izin;
c. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang
melakukan pelanggaran mengenai status izin yang telah
dicabut sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan ruang yang telah dicabut izinnya;
d. pejabat yang berwenang mengajukan permohonan pencabutan
izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pencabutan izin;
e. penerbitan keputusan pencabutan izin oleh pejabat yang
memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin;
f. pemberitahuan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin
yang telah dicabut sekaligus perintah untuk secara permanen
menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang yang telah dicabut
izinnya;
g. dalam hal pelanggar mengabaikan perintah untuk
menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang maka pejabat
yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai
dengan ketetentuan peraturan perundang-undangan.
h. dalam melakukan tindakan penertiban sebagaimana
dimaksud pada huruf g perangkat daerah bidang penataan
ruang dapat meminta bantuan Satpol PP.
(2) Surat Keputusan Pencabutan Izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b memuat:
a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan
ruang beserta bentuk pelanggarannya yang dirisalahkan dari
berita acara evaluasi;
b. peringatan kepada pelanggar untuk dengan kesadarannya
sendiri mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan dalam
rangka penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang;
-38-

c. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar


untuk dengan kesadaran sendiri melakukan penyesuaian
pemanfaatan ruang; dan
d. konsekuensi akan dilakukannya pencabutan izin apabila
pelanggar mengabaikan surat peringatan.

Pasal 56
(1) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf f
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, kepala perangkat daerah yang
membidangi penataan ruang memberikan rekomendasi
kepada gubernur atau bupati/walikota untuk menerbitkan
Surat Keputusan Pembatalan Izin;
c. pemberitahuan kepada pihak yang memanfaatkan ruang
perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan
dapat mengambil langkah-langkah diperlukan untuk
mengantisipasi hal-hal yang diakibatkan oleh pembatalan izin;
d. penerbitan Surat Keputusan Pembatalan Izin oleh pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang; dan
e. Berdasarkan Surat Keputusan Pembatalan izin, pejabat yang
berwenang memberitahukan kepada orang yang melakukan
pelanggaran mengenai status izin yang telah dibatalkan
sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan
ruang yang telah dibatalkan izinnya.
(2) Surat Keputusan Pembatalan Izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d memuat:
a. dasar pengenaan sanksi;
b. hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemanfaat
ruang hingga pembatalan izin dinyatakan secara resmi oleh
pejabat yang berwenang melakukan pembatalan izin; dan
c. hak pemegang izin untuk mengajukan penggantian yang layak
atas pembatalan izin, sejauh dapat membuktikan bahwa izin
yang dibatalkan telah diperoleh dengan itikad baik.

Pasal 57
(1) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
huruf g dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
-39-

a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran


pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Pembongkaran Bangunan;
c. berdasarkan Surat Keputusan Pembongkaran Bangunan
sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d. dalam melakukan tindakan penertiban sebagaimana
dimaksud pada huruf c, pejabat yang berwenang dapat
meminta bantuan Satpol PP.
(2) Surat Keputusan Pembongkaran Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat:
a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan
ruang beserta bentuk pelanggarannya yang dirisalahkan dari
berita acara evaluasi;
b. peringatan kepada pelanggar untuk mengambil tindakan-
tindakan yang diperlukan dalam rangka penyesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang dan/atau
ketentuan teknis pemanfaatan ruang;
c. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar
untuk dengan kesadaran sendiri melakukan penyesuaian
pemanfaatan ruang; dan
d. konsekuensi akan dilakukannya pembongkaran bangunan
secara paksa apabila pelanggar mengabaikan surat
peringatan.

Pasal 58
(1) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
huruf h dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan Surat Peringatan Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
b. dalam hal Surat Peringatan Tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a diabaikan, kepala perangkat daerah bidang
penataan ruang menerbitkan Surat Keputusan Pemulihan
Fungsi Ruang;
c. berdasarkan Surat Keputusan Pemulihan Fungsi Ruang
sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang
memberitahukan kepada orang yang melakukan pelanggaran
mengenai ketentuan pemulihan fungsi ruang dan cara
-40-

pemulihan fungsi ruang yang harus dilakukan dalam jangka


waktu tertentu;
d. dalam hal pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang
disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan
pemulihan fungsi ruang secara paksa;
e. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan
kegiatan pemulihan fungsi ruang; dan
f. dalam hal orang yang melakukan pelanggaran dinilai tidak
mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang,
pemerintah daerah dapat mengajukan penetapan pengadilan
agar pemulihan fungsi ruang dilakukan oleh pemerintah
daerah atas beban orang yang melakukan pelanggaran
tersebut di kemudian hari.
(2) Surat Keputusan Pemulihan Fungsi Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat:
a. pemberitahuan tentang terjadinya pelanggaran pemanfaatan
ruang beserta bentuk pelanggarannya yang dirisalahkan dari
berita acara evaluasi;
b. peringatan kepada pelanggar untuk dengan kesadaran sendiri
pemulihan fungsi ruang agar sesuai dengan ketentuan
pemulihan fungsi ruang yang telah ditetapkan;
c. batas waktu maksimum yang diberikan kepada pelanggar
untuk dengan kesadaran sendiri melakukan pemulihan fungsi
ruang; dan
d. konsekuensi yang diterima pelanggar apabila mengabaikan
surat peringatan.

Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf i akan diatur lebih lanjut melalui
Peraturan Bupati dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Paragraf 2
Sanksi Pidana

Pasal 60
Pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6) huruf b dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
-41-

BAB VIII
KELEMBAGAAN

Pasal 61
(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan
ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan
ruang, dibentuk Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja tim koordinasi penataan
ruang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
Keputusan Bupati.

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 62
Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat
berhak:
a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah;
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang
sebagai akibat dari penataan ruang;
d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya
sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai
dengan rencana tata ruang;
e. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di
wilayahnya;
f. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang;
g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
h. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata
ruang.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
-42-

Pasal 63
Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah meliputi:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan
Peraturan Perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 64
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dilaksanakan dengan
mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan
aturanaturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan
masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang
memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika
lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 65
(1) Peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi:
a. peran masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang; dan
b. peran masyarakat dalam pengawasaan penataan ruang.
(2) Peran masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang dilakukan
pada tahap:
a. proses perencanaan tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan penataan ruang dilakukan
secara terus menerus selama masa berlakunya Rencana Tata
Ruang.
(4) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pelaksanaan
penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
-43-

(5) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengawasan


penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan melalui:
a. keikutsertaan memantau pelaksanaan penyelenggaraan
penataan ruang;
b. keikutsertaan mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan
penataan ruang; dan
c. pemberian laporan terhadap ketidaksesuaian terhadap
penyelenggaraan penataan ruang.
(6) Peran masyarakat dibidang penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara lisan dan/atau
tertulis.
(7) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat
disampaikan kepada Bupati.
(8) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga
dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh
Bupati.

Paragraf 1
Peran Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang

Pasal 66
(1) Bentuk peran masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a dapat
berupa:
a. masukan, meliputi:
1) persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2) penentuan arah pengembangan kota;
3) pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan;
4) perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan
5) penetapan rencana tata ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan rencana tata
ruang; dan
c. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur
masyarakat.
(2) Kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang; dan
(3) Masyarakat dapat menyampaikan masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui forum pertemuan yang
difasilitasi oleh pemerintah daerah.
-44-

Paragraf 2
Peran Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang

Pasal 67
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b dapat berupa:
a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan
kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana
dalam pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam
pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di
dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah daerah, dan/atau dan pihak
lainnya secara bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan
penataan ruang;
f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA);
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan
h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain
apabila kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan.

Paragraf 3
Peran Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pasal 68
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf c dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan,
pemberian insentif, dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan
pemanfaatan ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan
pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal
menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana
tata ruang yang telah ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar
pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat
dalam penyelenggaraan penataan ruang;
-45-

d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang


dipandang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
instansi yang berwenang.

Pasal 69
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah
dapat membangun strategi pengembangan kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Pasal 70
Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Bupati.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 71
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar
sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.

Pasal 72
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau
Morotai adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan
dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas
teritorial wilayah yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-
undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau
Morotai dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(3) Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Pulau Morotai Tahun 2020 – 2040 dilengkapi dengan
-46-

rencana dan album peta yang merupakan bagian tidak


terpisahkan dari Peraturan daerah ini.
(4) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan terhadap bagian
wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati
pada saat Peraturan daerah ini ditetapkan, rencana dan album
peta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan
peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan
Menteri yang menangani urusan pemerintahan bidang
kehutanan.
(5) Dalam hal terdapat rencana pemanfaatan ruang kawasan hutan
untuk kegiatan non kehutanan, area yang telah digambarkan
dengan outline pada peta rencana pola ruang RTRW Kabupaten
Pulau Morotai Tahun 2020 – 2040 merupakan dasar pengajuan
permohonan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau pihak ketiga
lainnya.
(6) Rencana pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) dapat dilaksanakan setelah adanya keputusan
Menteri yang menangani urusan pemerintahan bidang kehutanan.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, semua
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan penataan ruang kabupaten tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah
sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku
sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku
ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin
tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya,
dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan
ketentuan Perundang-undangan; dan
-47-

3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan


tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini,
izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap
kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin
tersebut dapat diberikan penggantian yang layak.
c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai
dengan Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian
berdasarkan Peraturan Daerah ini;
d. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin
ditentukan sebagai berikut:
1. yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini, pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan
disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
2. yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini,
dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 74
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Pulau Morotai.

Ditetapkan di Daruba
Pada tanggal, .... Bulan .....
BUPATI PULAU MOROTAI,

_________________________
Diundangkan di ...
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PULAU MOROTAI,

___________________________

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PULAU MOROTAI TAHUN …..


NOMOR …..

Anda mungkin juga menyukai