Anda di halaman 1dari 5

Perubahan peran menjadi suami dan istri hanyalah satu dari sekian peran yang bertambah

saat seseorang memasuki dunia pernikahan. Selain menjadi suami dan istri, disaat yang
bersamaan pernikahan juga membuat seseorang menjadi menantu, ipar, dan anggota
masyarakat yang mulai diundang untuk ikut arisan RT atau perkumpulan Dasa Wisma di
lingkungannya. Dalam waktu yang biasanya tak lama, seseorang bertambah peran lagi
menjadi orang tua.

Jika aku pikirkan kembali, persiapan pranikah pada dasarnya adalah persiapan untuk
menjalani perubahan dan penambahan peran itu. Selain mempersiapkan diri menjadi
seorang istri dan suami, seseorang sebenarnya juga perlu mempersiapkan diri untuk
menjadi orang tua, menjadi bagian dari keluarga pasangan, dan menjadi anggota
masyarakat.

Kebanyakan calon pengantin hanya terfokus pada bagaimana menjalani peran sebagai
suami dan istri, hanya sedikit yang benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi orang
tua, dan lebih sedikit lagi yang menyadari betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk
menjadi bagian dari keluarga pasangan. Padahal, kesiapan untuk menjadi bagian dari
pasangan juga akan mempengaruhi kesejahteraan mental pribadi dan pasangan selama
menjalani pernikahan nanti.

Salah satu hal unik dalam pernikahan adalah pernikahan terkadang menempatkan kita
dalam lingkungan keluarga yang asing, namun disaat yang sama kita diminta untuk bersikap
seperti dalam keluarga sendiri. Merasa asing sekaligus familiar adalah beban berat yang
ditanggung oleh banyak pasangan muda yang baru bergabung dengan keluarga
pasangannya. Aku masih ingat pada waktu awal-awal menikah betapa aku merasa sangat
enggan untuk keluar kamar setiap kali berada di rumah mertua. Kamar seolah-olah menjadi
satu-satunya tempat aman yang ada di rumah itu. Aku memiliki begitu banyak kecemasan
apakah hal-hal yang kulakukan di rumah itu akan dilihat sebagai suatu kesalahan. Dan, di
saat yang bersamaan, juga banyak hal yang ada di rumah itu terlihat salah di mataku.
Setelah menikah, keluarga pasangan anggapannya adalah keluarga kita juga, tapi faktanya
keluarga baru itu tetaplah lingkungan asing yang pada mulanya selalu kita takar dengan
nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga asal kita sendiri.

Aku termasuk yang meyakini bahwa setiap orang punya kemampuan alami untuk
beradaptasi dalam lingkungan yang tidak familiar baginya. Aku selalu percaya setiap orang
akan belajar dan terus belajar untuk menyesuaikan perilaku di lingkungan barunya.
Sekalipun pada awalnya seseorang cenderung menilai keluarga barunya dengan nilai-nilai
yang berlaku dari keluarga asal, proses belajar dan adaptasi perlahan-lahan akan membuat
seseorang mampu melihat makna dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang
keluarga barunya. Perlahan-lahan, kita akan semakin sadar bahwa bukan kita saja yang
punya dunia, tapi pasangan kita juga punya dunianya sendiri dengan keluarganya. Kita akan
menyadari bahwa ada dunia lain yang memiliki kebenarannya sendiri dan tak perlu
memaksa untuk mengevaluasi dengan standar nilai yang kita yakini selama ini. Dan, cara
terbaik untuk memahami hal tersebut memang dengan cara melihatnya dari dekat, jika perlu
ikut terlibat.

Meski secara teori tampak mudah dan indah, tetap saja tidak semua orang bisa melaluinya
dengan mudah. Sejujurnya, proses adaptasi itu bahkan tidak mudah sama sekali. Ada
kalanya kita merasa jengkel, putus asa, tidak habis pikir, dan merasa marah dengan
perbedaan-perbedaan pilihan sikap dan cara hidup. Tak semua orang bisa sampai pada
insight bahwa perbedaan dan konflik itu musti diterima, sebagian yang lain menarik diri dan
berkesimpulan bahwa relasi dirinya dengan keluarga pasangan memang tak akan pernah
berhasil.

Aku tidak ingin mengatakan bahwa hubungan-hubungan yang berhasil antara seseorang
dengan keluarga pasangannya, khususnya dalam konteks menantu dan mertua, adalah
orang-orang yang lebih baik daripada orang-orang yang tak pernah bisa akur dengan
keluarga pasangannya. Hubungan-hubungan yang terjalin antar manusia begitu kompleks
dan sulit melihatnya sebagai hitam-putih. Pun hubungan-hubungan yang berhasil biasanya
diusahakan oleh kedua belah pihak. Sekeras apapun seorang menantu berusaha
beradaptasi, jika tidak ada penerimaan dari mertua tentu tak ada harapan hubungan
tersebut bisa berjalan dengan baik, dan demikian pula sebaliknya. Namun, untuk
meminimalisir ketidaknyamanan seperti itu, aku pikir ada beberapa hal yang perlu
didiskusikan oleh calon pengantin sebelum mereka menikah.

Hal pertama dan terpenting yang perlu didiskusikan oleh calon pengantin adalah perspektif
apa yang akan mereka gunakan dalam memelihara relasi dengan orang tua setelah mereka
menikah. Setelah menikah, hubungan anak dengan orang tuanya tidak akan bisa persis
sama seperti sebelumnya. Anak yang sudah menikah meskipun tetap anak bagi orang
tuanya, tapi juga bagian dari unit keluarga yang terpisah dari keluarga asalnya. Setelah
menikah, relasi orang tua dan dan anak tidak lagi eksklusif sebagai anak dan orang tua, tapi
juga hubungan antar dua keluarga (ya, anak yang telah menikah itu kemudian memiliki
pasangan dan anak-anaknya sendiri). Persoalannya, pasangan suami istri dan orang tua
mereka bisa punya pemaknaan yang berbeda-beda terkait pola relasi pasca pernikahan itu.
Bahkan, ada yang tidak menyadari adanya perubahan konteks hubungan itu.

Ada beberapa isu yang biasanya muncul terkait pola relasi orang tua dan anak yang sudah
menikah. Pada fase awal pernikahan anak, ada banyak orang tua yang gagal memandang
keluarga anaknya sebagai unit keluarga yang terpisah dari keluarganya sendiri. Sebagian
orang tua memandang bahwa keluarga anaknya adalah anggota baru yang masuk dalam
sistem keluarga mereka. Pasangan-pasangan yang masih tinggal bersama orang tua adalah
pasangan-pasangan yang paling rentan untuk diperlakukan seperti ini. Dengan segala
konsekuensinya, tentu kondisi ini sama sekali bukan masalah apabila semua pihak bisa
menerima pola yang ada. Namun, jika pasangan atau salah satu dari pasangan ingin
memiliki keleluasaan untuk lebih mandiri, perlakuan orang tua yang memandang anaknya
sebatas keluarga baru di dalam keluarga akan dipandang sebagai orang tua yang sangat
menyebalkan dan mencampuri.

Penting bagi pasangan untuk mendiskusikan dan menyepakati bagaimana mereka


memandang keluarga baru mereka nantinya. Apakah mereka melihat diri mereka sebagai
keluarga yang mandiri dan terpisah dari keluarga asal atau mereka adalah keluarga baru
yang tergabung dan ikut dalam sistem salah satu keluarga asal. Kesepakatan yang dibuat
oleh calon pengantin akan menentukan posisi tawar dan bagaimana mereka bernegosiasi
dengan keluarga asal masing-masing nantinya. Tanpa menyepakati perspektif relasi mereka
dengan orang tua, besar kemungkinan antar pasangan sendiri akan berkonflik tentang
bagaimana mereka mengelola hubungan dengan orang tua.
Apabila pasangan telah berhasil menyepakati perspektif apa yang akan mereka gunakan
saat berelasi dengan orang tua, maka pasangan akan lebih mudah untuk menyepakati
batasan-batasan (boundaries) hubungan mereka dengan keluarga asal. Tidak jelasnya
batasan relasi seringkali memicu konflik antara keluarga baru dengan keluarga asalnya,
terutama dalam konteks menantu dan mertua. Di ruang konseling, ada banyak orang yang
berkeberatan dengan tindak-tanduk keluarga pasangan. Ada orang yang keberatan mertua
memaksa memberi nama anaknya, terlalu mendominasi cucunya, memberikan banyak kritik
kepada menantu, hingga tuntutan orang tua agar anak yang telah menikah membiayai
pendidikan adik-adiknya. Batasan yang jelas dan disepakati di awal akan membantu
pasangan untuk mengelola konflik-konflik semacam itu. Kejelasan batasan akan
meminimalisir pasangan untuk berada dalam situasi yang tidak mampu mereka tangani.

Pertanyaan selanjutnya, batasan-batasan seperti apa yang perlu dibicarakan dan disepakati
bersama pasangan sebelum menikah?

Sejujurnya, menurutku tidak ada batasan-batasan baku yang berlaku untuk semua keluarga.
Batasan yang diperlukan oleh keluarga satu, belum tentu diperlukan oleh keluarga lain.
Artinya, penetapan batasan sangat tergantung dengan kondisi keluarga tersebut dan tidak
one size fit for all. Meskipun begitu, ada beberapa batasan dasar yang layak untuk
didiskusikan oleh pasangan.

Pertama, batasan dalam pengambilan keputusan. Anak yang telah menikah perlu
mengembangkan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Namun, pada kenyataannya
hal ini tak selalu berjalan sesuai dengan yang digambarkan. Pada keluarga-keluarga yang
baru terbentuk, pengambilan keputusan acap kali masih dipengaruhi oleh orang tua, mulai
dari pekerjaan, tempat tinggal, pola pengasuhan anak, dan seterusnya. Bagaimanapun,
keluarga baru sudah semestinya mengembangkan sikap otonom. Meskipun memang ada
hal-hal yang butuh pertimbangan dari orang tua, tapi sepakati keputusan-keputusan apa
saja yang diharapkan bebas dari intervensi. Setelah menikah, alangkah baiknya pasangan
bekerjasama untuk mengembangkan kemandirian. Bukankah kemandirian adalah salah satu
pilar penting dalam berkeluarga?

Kedua, batasan terkait keuangan. Pasangan yang berniat untuk menikah perlu memperjelas
batasan kontribusi materi mereka terhadap keluarga asal masing-masing. Mengingat kondisi
masing-masing keluarga asal bisa berbeda-beda, maka makna dan ekspektasi atas
kontribusi materi ini juga pasti berbeda-beda. Seseorang yang bukan bagian dari sandwich
generation mungkin tak memikirkan kontribusi finansial bagi keluarganya, tapi bagi
seseorang yang menjadi harapan keluarga biasanya memiliki pos pengeluaran tersendiri
untuk mendukung kehidupan keluarga asalnya. Maka dari itu, penting untuk memahami
posisi diri sendiri dan pasangan dalam keluarga masing-masing. Jika memang masing-
masing pihak ingin atau bahkan perlu untuk mendukung keluarga secara finansial, bicarakan
sejauh apa dukungan keuangan itu akan diberikan. Sebaliknya, jika kondisinya orang tua
kita mampu dan justru kita lah yang berada dalam kondisi pas-pasan, sejauh apa kita boleh
menerima pertolongan?

Ketiga, batasan dalam pengasuhan anak. Salah satu konflik yang cukup sering mencuat
dalam relasi menantu dan mertua adalah konflik terkait pengasuhan anak. Tak dapat
dipungkiri, perbedaan generasi mempengaruhi perbedaan pengasuhan generasi dulu dan
kini. Ada informasi-informasi baru terkait pengasuhan yang kurang familiar bagi generasi
sebelumnya. Sebaliknya, generasi sebelumnya merasa lebih tahu tentang bagaimana
sebaiknya merawat dan mengasuh anak. Sangat tidak menyenangkan ketika melihat orang
tua atau mertua melakukan sesuatu yang kita anggap salah kepada anak kita, tapi kita
merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Dulu sekali, aku pernah hanya bisa menahan
geram karena mertua membalurkan minyak telon dan memberi banyak bedak di
selangkangan bayiku, padahal aku baru saja membaca sebuah buku yang ditulis seorang
dokter bahwa minyak telon dan bedak bayi itu sama sekali tidak berguna. Karena
pengalaman itu, aku berpikir bahwa batasan terkait perawatan dan pengasuhan anak
menjadi salah satu yang perlu dibahas bersama.

Batasan-batasan yang perlu didiskusikan oleh pasangan tentu tidak terbatas pada apa yang
sudah disebutkan di atas. Pasangan suami istri bisa jadi membutuhkan batasan-batasan
berbeda yang sesuai dengan kondisi mereka. Penetapan batasan-batasan ini bukan berarti
untuk mengalienasi atau mengisolasi diri dari keluarga, tapi agar bisa saling menjaga dan
saling menghormati antara anak, menantu, orang tua, dan mertua.

Menurut pendapatku, penetapan batasan semakin diperlukan ketika pasangan yang baru
menikah memilih tinggal di rumah orang tua salah satunya. Tapi di saat yang bersamaan,
hal ini juga menjadi PR besar yang sangat tidak mudah. Mengomunikasikan batasan
rasanya belum menjadi hal yang lazim untuk dibicarakan dengan orang tua. Pada
umumnya, pendatang baru dalam sebuah keluarga diharapkan menerima dan beradaptasi
dengan apapun yang ada pada keluarga yang didatanginya. Namun, apabila tidak ada
diskusi mengenai batasan-batasan ini, sangat mungkin sebuah keluarga akan memendam
konflik dalam diam.

Ketika memutuskan untuk tinggal bersama keluarga asal, pasangan yang berasal dari
keluarga tersebut musti menyadari bahwa ia akan berperan sebagai jembatan. Jembatan
berarti penghubung dan penghubung adalah orang yang mampu bijak memahami perspektif
pasangan dan orang tua. Bukan tugas yang mudah, namun hal ini merupakan konsekuensi
yang perlu dihadapi selama masih hidup bersama. Setidaknya, peran ini masih amat
diperlukan hingga masing-masing pihak mampu beradaptasi dan mampu untuk saling
terbuka.

Dibicarakan maupun tidak dibicarakan, masing-masing keluarga sebenarnya memiliki


batasannya sendiri. Namun, menyadari dan mengomunikasikannya akan mengurangi
prasangka dan memudahkan dalam pengelolaan konflik. Meskipun telah membuat batasan,
terkadang pada praktiknya ada kondisi-kondisi yang membuat pasangan perlu berkompromi
dengan kebutuhan orang tua atau keluarganya. Maka, di sini pasangan perlu pula untuk
menyepakati toleransi-toleransi apa yang bisa mereka lakukan dalam situasi tersebut.
Menyepakati toleransi tak selalu bisa dibicarakan di awal karena terkadang kita sulit
membayangkan situasi-situasi apa yang mungkin kita alami nanti. Tapi, berprinsip fleksibel
penting dalam mengelola hubungan dengan keluarga asal. Maka, jika suatu saat
menghadapi situasi yang menuntut untuk berkompromi, pasangan bisa menyepakati
toleransi-toleransi ini di kemudian hari.
Menentukan perspektif, membuat batasan yang jelas, memberikan toleransi atau bersikap
fleksibel dalam mengelola hubungan dengan keluarga asal adalah hal-hal yang sangat perlu
dibicarakan oleh pasangan calon pengantin sebelum mereka menikah.

Anda mungkin juga menyukai