Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang terus berubah, karena manusia merupakan
makhluk yang memiliki pikiran dan dengan itu dapat melahirkan berbagai
perkembangan baru baik dari segi ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, politik
serta peradaban mansusia.
Lalu bagaimana dengan pembaharuan dalam Islam?. Berkenaan dengan itu
perlu dilihat esensi dari ajaran agama Islam yang terbagi atas dua macam yaitu
bersifat qath’i (jelas dan tegas) dan zhanni (memerlukan interpretasi). Setelah
melalui periode kemunduran Islam setelah abad 13-18 M yang menjadi faktor
yang sanagat berpengaruh membuat umat Islam lemah sehingga meninggalkan
pendidikan intelektual dan tertutupnya pintu ijtihad, namun pada tahun 1798
M masyarakat Mesir mulai menyadari ketertinggalam mereka dalam ilpu
pengetahuan ketika Napoleon Bonaparte membawa pasukannya ke sana
Dalam keadaan krisis tersebut, Napoleon mewujudkan ekspedisi ilmiah
dengan membentuk lembaga ilmiah yang akhirnya membawa umat Islam
mengalami kontak dengan peradaban Eropa yang telah maju.
B. Rumusan Masalah
Dari latarbelakang diatas dapat dibatasi permasalahan yang akan dikaji
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana gambaran umum pendidikan Islam di Mesir?
b. Bagaimana Mesir menuju sistem pendidikan modern?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pendidikan Islam di Mesir
Mesir adalah salah satu wilayah subur yang menjadi rebutan para
penguasa pada zaman itu. Letak geografis Mesir yang strategis tepatnya di
daerah bulan sabit, yang menjadi daerah perlintasan jalur perdagangan Hindi
dan Eropamelalui Laut Merah, lintas dagang ke Italia melalui Laut Tengah
yang berdekatan dengan Bizantium. Bila ditinjau dari peta politik, Mesir
merupakan daerah strategis yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ternama
sebagai pusat pemerintahan Raja-raja (Khalifah) seperti Kota Syam, Palestina,
Hijaz, dan berdekatan dengan Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad.
Kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa
Eropa dalam berbagai bidang kehidupan, telah timbul mi\ulai dari abad 17 M
dengan kekalahan-kekalahan yang diderita kerajaan Turki Utsmani dalam
memerangi Eropa. Atas kekalahan tersebut, mendorong para pemuka dan raja
menyelidiki rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan
kemajuan yang dicapai Eropa terutama Perancis
Mengatasi stagnasi kaum muslimin, pada masa pemerintahan al-Hakim
(996-1021 M) di Kairo, dalam bidang pendidikan, ia mulai didirikan Bait al-
Hikmah yang terinspirasi oleh lembaga yang didirikan oleh al-Ma’mun di
Baghdad. Di dalam lembaga ini banyak terdapat koleksi-koleksi buku, tempat
ini juga diadakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran
Islam yang berfokus pada Syi’ah.1
Hingga pada abad ke-18, institusi yang berupa Kuttab, masjid dan
madrasah berjalan dan masih merupakan lembaga pendidikan utama di Mesir
dan kawasan Timur Tengah. Berlanjutnya masa membuat institusi tersebut
berkembang menjadi sekolah-sekolah modern. Kuttab pada dasarnya memiliki
arti anak yang belajar kitab, kemudian dipahami secara populer dengan arti
maktab yaitu tempat belajar kitab dan al-Qur’an. Kuttab di Mesir pada
umumnya berada di bawah pengawasan Badan Waqaf.
1
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), hlm. 178

2
Kemudian pendidikan juga dilaksanakan di mesjid-mesjid semenjak ‘Amr
bin Ash mendirikan masjid pertama di Fusthath. Misi masjid dijadikan sebagai
tempat berlangsungnya pendidikan masih berlangsung hingga saat ini, namun
tidak semua mesjid yang digunakan sebagai institusi pendidikan terorganisir
dengan baik, yang sempat berkembang yaitu masjid al-Azhar. Kemudian
madrasah sebagai lanjutan dari pendidikan yang awalnya dilaksanakan di
mesjid.
Tujuan perkembangan di Mesir erat hubungannya dengan perang
pemikiran untuk menghapus mazhab Syi’ah yang mulai berkembang sejak
didirikan masjid al-Azhar, karena para ulama mengatakan tidak layak
mengadakan perdebatan mengenai sesuatu di dalam masjid sehingga
didirikanlah madrasah al-Hafizhiyah dan madrasah asy-Syafi’iyah yang
merupakan madrasah pertama di Mesir.2
Perkembangan sekolah yang semakin pesat, dimulai dengan membuka
pusat pelatihan yang diberi nama Dar-al-Ulum, ditujukan untuk mendidik para
guru sehingga menciptakan guru yang berkualitas. Lembaga ini mendidik guru
untuk bidang studi fisika, geometri, ilmu bumi, sejarah dan Khat (Kaligrafi).
Juga mengajarkan guru-guru untuk bidang studi yang diajarkan di al-Azhar
seperti al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh dan bahasa Arab. Dar al-Ulum berusaha
menggabungkan bidang studi agama dengan bidang studi umum
Bertepatan dengan masa perkembangan ini, banyak para tokoh-tokoh
muslim berusaha melakukan pembaharuan dalam pendidikan ke Mesir, seperti
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Adbuh. Melihat pendidikan yang
terbagi menjadi tiga yaitu pendidikan rakyat (kuttab), pendidikan untuk
keluarga penguasa (sekolah modern) dan pendidikan ulama (seperti al-Azhar),
Muhammad Abduh mengakui adanya kesenjangan pada pendidikan rakyat
yang mulai terabaikan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan pendidikan
rakyat beliau membangun al-Jami’ah al-Khairiyyah pada tahun 1892 M.
Tokoh yang mencoba melakukan upaya pembaruan dalam bidang
pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh.
2
Muhammad Ihsan, Pendidikan Islam dan Modernitas di Timur Tengah: Studi Kasus Mesir,
(Jurnal Hunafa Vol. 4, No 2, Juni 2007: 129-142), hlm. 133

3
1. Muhammad Ali Pasya
Dia disebut juga pelopor pembaharuan dan Bapak Pembangunan
Mesir Modern. Walaupun ia tidak pandai dalam tulis baca, ia sangat
menyadari arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan
suatu bangsa. Dalam pemerintahannya, ia mendirikan kementrian
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan, membuka Sekolah Teknik
(1836), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah
Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian (1836), dan Sekolah
Penerjemahan (1836).
Dalam upaya pembaharuan pendidikan, Ali Pasya mengirim siswa-
siswa untuk belajar ke Italia, Prancis, Inggris dan Austria. Pada tahun 1824
dan 1844, 311 pelajar dikirim ke Eropa untuk belajar.3
Berbagai terobosan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya di Mesir
telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan Islam.
Gerakan pembaharuan ini telah memperkenalkan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat kepada umat Islam. Hal ini dapat
membangkitkan kembali pola pikir dan sikap keagamaan umat sehingga
munculnya tokoh-tokoh muslim seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi dan Hasan al-Banna.4
Dalam hal ini dapat ditanggapi bahwa pendidikan di Mesir masih
bersifat tradisional, maka tahun 1833 M, dipelopori oleh Muhammad Ali
Pasya, memerintahkan untuk membangun sepuluh buah sekolah dasar,
sehingga pada masa ia menjadi penguasa tunggal Mesir, mulai berjalan
dua sistem pendidikan yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern
yang sekuler. Akibatnya, lulusan sekolah ini juga terbagi dua, alumni
sekolah agama dan alumni sekolah modern. Ia mengirim para pelajar
Mesir ke Perancis untuk tugas belajar, sementara di dalam negri pun ia
mendirikan sekolah mulai dari militer, teknik, kedokteran, apoteker,
pertambangan, pertanian dan sekolah penerjemahan. Produk dari gerakan
ini adalah Syekh al-Tahtawi, seorang ulama al-Azhar yang mendapat
3
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: MacMillan Press & Co. Ltd, 1974), hlm. 724
4
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 172

4
pendidikan Barat. Sekembalinya ke Mesir, ia banyak memperkenalkan
ilmu-ilmu modern kepada masyarakat Mesir.
2. Muhammad Abduh
Setelah lahirnya suasana pendidikan Islam yang dinamis oleh
Muhammad Ali Pasya, ternyata membuat pendidikan madrasah hanya bisa
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman sehingga lulusan madrasah hanya
paham akan ilmu keislamannya saja. Hal ini tentu membawa para lulusan
berpikiran sempit. Sosok Muhammad Abduh telah merasakan adanya
dualisme ini, dan hal ini apabila diteruskan akan membawa madrasah
tidak diminati serta tidak dapat mencetak para lulusan yang handal.
Oleh karena itu, Muhammad Abduh mencoba berupaya melakukan
pembaruan pendidikan di al-Azhar, karena al-Azhar perlu dimasukkan
ilmu-ilmu modern agar para ulama Islam juga mengerti kebudayaan
modern agar dapat mencari penyelesaian yang baik terhadap persoalan
yang timbul di zaman modern. Abduh berpendapat bahwa pendidikan
yang diamatinya cenderung menghasilkan para lulusan dan masyarakat
yang jumud, statis, tidak transparan. Oleh karena itu umat Islam tidak
menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan.
Cara Abduh mengatasinya adalah dengan mengadakan Komite
Perbaikan Administrasi al-Azhar pada tahun 1895. Namun usahanya
dalam mengembangkan kurikulum al-Azhar mendapat perlawanan dari
para ulama karena ditakutkan ia ingin menghidupkan kembali pemikiran-
pemikiran Mu’tazilah. Kondisi seperti itu ia hadapi dengan sabar dan
sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Para pemimpin al-Azhar tergerak
untuk menata kembali metode-metode belajarnya serta mengajarkan
sejarah, geografi dan beberapa cabang ilmu kealaman.5

B. Mesir Menuju Sistem Pendidikan Modern


Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di
Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte tahun 1798 M, hal ini

5
Suwito, Sejarah Sosial..., hlm. 175

5
merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan. 6 Ekspedisi Napoleon
disamping membawa pasukan tentara yang kuat, juga membawa pasukan
ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah yang tujuannya adalah untuk
mengadakan penelitian di Mesir. Konon, kedatangan Napoleon selain
membawa pasukan perang, ia membawa 160 orang pakar ilmuan, dua set
percetakan huruf Latin, Arab, Yunani; peralatan eksperimen seperti teleskop,
mikroskop, kamera; serta seribu orang sipil. Ia pun mendirikan lembaga riset
bernama D’Egype yang terdiri dari empat departemen yaitu ilmu alam, ilmu
pasti, ekonomi dan politik serta ilmu sastra dan kesenian.7
Inilai yang membuka mata kaum muslimin, sehingga timbul berbagai
macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan untuk mengejar
ketertinggalan dan keterbelakangan mereka termasuk usaha-usaha mereka
dalam bidang pendidikan.
Tahun 1952 telah memberi warna baru kepada Mesir, dimana bangkitnya
revolusi dan rejim baru membawanya menuju perubahan masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern. Masyarakat modern merupakan visi
dari presiden Jamal Abdul Naser, seorang karismatik yang mengatur
transformasi masyarakat Mesir maupun dalam arena Internasional pada masa
itu. Misi Naser adalah memperkuat posisi kekuasaannya dengan cara
menghapus sistem monarki dan diganti dengan organisasi politik,
mengasingkan asosiasi baik dari bidang agama maupun sosial sehingga
kedudukannya menjadi tersentralisasi.
Naser membagi tiga tahap untuk mewujudkan modernisasinya:
Pertama, tahun 1925-1956 mengadakan konsolidasi kekuatan secara
revolusioner dan membentuk partai liberal untuk mendukungnya. Selain itu
juga memanfaatkan kaum agamawan untuk mendapatkan legitimasi
kelanggengan posisinya.

6
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 117
7
Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Kajian dari
Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan) , (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), hlm. 159

6
Kedua, tahun 1956-1961, Naser melakukan upaya pembangunan yang
lebih menekaknkan aspek ekonomi dan reorganisasi sosial. Pada masa ini
terjadi konflik dengan isu kebijakan luar negri disertai krisis Suez (perang
sinai), pada saat itu Naser tampil sebagai aktor yang memimpin Nasionalis
Arab.
Ketiga, tahun 1961 menerapkan ideologi baru dalam rangka transformasi
sosial yang menekankan pada bidang ekonomi dan industrialisasi.
Kebijakan politik di atas berdampak pada penyelenggaraan pendidikan
Islam, karena pemerintah berusaha membangun kembali sistem pendidikan
dengan menyesuaikan pergerakan politik dan sosial yang berkembang dan
tujuan pembangunan ekonomi yang ingin dicapai.
Beberapa kebijakan yang dilakukan pada aspek pendidikan pada masa
awal adalah dengan diterbitkan beberapa Undang-Undang:
1. Undang-undang No. 210 Tahun 1953 yang bertujuan menasionalisasikan
semua pendidikan persiapan (prepatory education) terjadi tiga tingkatan,
tingkat pertama ditempuh oleh anak didik usia enam sampai duabelas
tahun, lulusan tingkat dasar ini dapat melanjutkan pelajaran ke tingkat
SLTA tiga tahun.
2. Undang-Undang No. 213 Tahun 1956 yaitu untuk penghapusan biaya
sekolah pada setiap pendidikan negeri, melarang ujian promosi tingkat
atau kelas tanpa batas-batas tahun yang telah ditentukan.
3. Undang-undang No. 160 Tahun 1958 yang melarang semua sekolah asing,
dan menyerahkannya kepada pihak swasta atau negeri, kurikulum sekolah
berada pada pengawasan Departemen Pendidikan.
Jadi, terjadinya revolusioner pada tahun 1952, sebagaimana disampaikan
diatas, sebenarnya pemerintah mengambil jalan yang sama dengan pemikiran
Muhammad Ali Pasya mengenai peranan agama dalam kehidupan beragama
dalam negara. Namun ketika kursi penguasa diduduki rezim Jamal Abdul
Naser, agama di ikut campurkan dalam permainan politiknya, negara membuat
kompromi dengan agama. Ia menyatakan Islam sebagai agama negara tetapi
hukum Islam ditafsirkan dalam bentuk sekuler. Dengan kata lain rezim ini

7
hendak menjerumuskan agama dalam arah yang sesuai untuk kepentingan
politiknya.
Walaupun sebenarnya Universitas al-Azhar tidak banyak berpengaruh
dalam kehidupan politik, al-Azhar merupakan lembaga yang dihormati oleh
masyarakat Mesir karena lembaga ini merupakan tempat strategis untuk
melakukan ide-ide pembaharuan dan karena juga merupakann pusat studi
Islam yang terkenal. Melanjutkan modernisasi pendidikan di Universitas al-
Azhar, pada tanggal 18 Juli 1961, Presiden Jamal Abdul Naser menetapkan
administrasi al-Azhar berada di bawah kekuasaannya dengan tujuan
mengubah sistem, perencanaan dan program-program studi di al-Azhar. Ia
mengikuti program Thaha Husein yaitu:
a. Menambah fakultas-fakultas sekuler pada Universitas al-Azhar seperti
Fakultas Pendidikan, Kedokteran, Perdagangan dan Manajemen, Sains dan
Industri, Pertanian, Farmasi dan fakultas Ilmu Alam.
b. Menambah muatan kurikulum agar sekolah-sekolah modern dibuka,
Kurikulum al-Azhar dilengkapi dengan ilmu pengetahuan modern yang
lebih ditujukan agar para ulama dapat menemukan solusi bagi persoalan
kontemporer
Muatan kurikulum al-Azhar lebih fokus dalam pengembangan bahasa-
bahasa asing seperti Inggris, Prancis dan Italia. Alasannya adalah:
 Bahwa dalam menimba ilmu pengetahuan dituntut untuk bisa
menguasai beberapa bahasa asing yang dapat menunjang
perkembangan ilmu.
 Ilmu pengetahuan dan keunggulan IPTEK dan seni tidak hanya
dimiliki oleh satu bangsa melainkan harus dimiliki oleh semua bangsa.
c. Perbanyak pengiriman duta-duta ilmu pengetahuan ke negara Barat.
Mengingat Barat dulu belajar ke Timur Tengah, namun segalanya berubah
di saat orang Barat menuju modernisasi umat Islam justru mengalami
stagnasi pemikiran. Maka semestinya sekarang orang-orang muslim
belajar dari kemajuan yang telah diperoleh Barat.

8
d. Menghapus uang sekolah untuk tingkat menengah dan memperbanyak
fasilitas ruang belajar sehingga tercipta kondisi yang ideal antara jumlah
kelas dengan jumlah siswa. Usaha ini berhasil dengan membangun ruang
belajar sebanyak 2600 buah.
Tidak diragukan lagi, ini merupakan perkembangan yang sangat penting
dadari sudut pandang agama akan mempunyai efek yang jauh dari jaringan
kehidupan sosial di Mesir. Seperti telah dibuka guru wanita di sekolah-sekolah
dan runtuhnya dinding pemisah antara laki-laki dan perempuan dalam
pergaulan sosial. Tahun 1962 juga telah dibuka akademi wanita dalam
komplek al-Azhar yang kemudian menjadi universitas dengan fakultas
kedokteran tersendiri. Dengan demikian secara sosiologis tentu merupakan
perubahan-perubahan yang sangat mengejutkan.
Menurut Harun Nasution, tujuan memperjuangkan pendidikan bagi wanita
pada Islam modern dikatakan al-Tahtawi agar wanita dapat menjadi istri yang
baik dan menjadi teman suami dalam kehidupan intelek dan sosial, karena
wanita dalam Islam sebenarnya mempunyai kedudukan yang tinggi, tetapi
adat istiadat yang berasal dari liar Islam mengubahnya sehingga wanita Islam
berada dalam kedudukan rendah dalam masyarakat.
C. Struktur dan Jenis Pendidikan di Mesir
1. Sistem Pendidikan Formal
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem pendidikan Mesir
mempunyai dua struktur paralel yaitu struktur sekuler dan struktur
keagamaan al-Azhar. Struktur sekuler diatur oleh Kementrian Pendidikan
sedangkan struktur al-Azhar dilaksanakan oleh kementrian Agama di
negara-negara lain. Data statistik tahun 1988, hanya 92% anak-anak pada
umur tertentu yang masuk sekolah dan hanya 62% anak-anak kelompok
umur sekolah menengah yang masuk ke sekolah menengah. Tetapi dari
92% anak-anak yang masuk sekolah, 3,6% diantaranya masuk jalur al-
Azhar.
2. Sistem Sekolah Sekuler

9
Pendidikan wajib dilaksanakan sampai grade 8 yang dikenal sebagai
pendidikan dasar. Sebelum menduduki bangku sekolah dasar, ada
pendidikan taman kanak-kanak dan play group yang kebanyakan berada di
kota-kota. Pendidikan dasar dibagi menjadi dua jenjang: jenjang pertama
yang dikenal dengan sekolah dasar mulai dari grade 1 sampai grade 5,
kedua yang dikenal dengan sekolah persiapan, mulai dari grade 6 sampai
grade 8. Tahun 1984 sekolah persiapan diganti menjadi pendidikan wajib.
Setelah mengikuti pendidikan selama delapan tahun, para murid
mempunyai empat pilihan: tidak sekolah lagi, memasuki sekolah
menengah, memasuki sekolah teknik menengah tiga tahun atau memasuki
sekolah teknik lima tahun. Semenjak tahun 1951, pada level pendidikan
tinggi, struktur sekuler mempunyai 220 fakultas dan institusi pendidikan
lainnya dengan 16.000 staf pengajar dan 695.736 mahasiswa.
3. Sistem Sekolah al-Azhar
Sistem sekolah ini hampir sama dengan sistem sekolah sekuler yang
ada tingkatan sekolah dasar. Perbedaannya adalah bahwa pendidikan
agama Islam lebih ditekankan dan untuk mata pelajaran kurikulumnya
sama seperti pada sistem sekolah sekuler. Pada level universitas fakultas-
fakultasnya, sama dengan yang ada di pendidikan sekuler tetapi
kurikulumnya lebih menekankan kepada keagamaan. Pendidikan
keagamaan hanya diselenggarakan dalam lingkungan sistem al-Azhar.
Sekolah-sekolah al-Azhar lebih sedikit muridnya dibandingkan dengan
jumlah murid sekolah sistem sekuler.
Dalam tahun 1988, persentase murid pada sekolah al-Azhar hanya
3,6% dari seluruh murid dalam sistem sekuler, sedangkat tingkat
pendidikan tinggi, jumlah murid pada sekolah al-Azhar hanya 14,3% dari
jumalh mahasiswa.
4. Pendidikan Vokasional dan Teknik
Pendidikan keterampilan (vokasional) dan pendidikan teknik dimulai
pada tahun 1950. Jumlah sekolah vokasional dan teknik meningkat dari
134 unit pada tahun 1952 menjadi 456 unit pada tahun 1960. Jumlah

10
peserta didik pada sekolah-sekolah ini melampaui jumlah sekolah
menengah umum, pada tahun 1988 jumlah pesdik vokasional 759.700
orang sedangkan sekolah menengah umum 564.688 orang. Sekolah
keterampilan banyak diminati peserta didik wanita yang tiap tahun
semakin meningkat 12% dari tahun sebelumnya.
5. Pendidikan Nonformal
Pendidikan Nonformal merupakan serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan di luar sistem pendidikan, fungsinya adalah untuk melayani
kebutuhan pendidikan bagi orang-orang tertentu. Berdasarkan hasil sesus
tahun 1960, di Mesir 70% di atas usia 10 tahun adalah buta huruf, tahun
1976 Mesir mencatat ada 13,6 juta orang dewasa dia atas usia 15 tahun
yang mengalami buta huruf, 77,6% wanita dewasa dan 46,4% pria dewasa.
Tingkat iliterasi wanita lebih tinggi dari pria. Namun pada tahun 1986
mengalami penurunan menjadi 61,8% wanita dan 37,8% pria.8

8
Muchamad Suradji, http://msuradji.blogspot.co.id/2010/09/mesir-menuju-pendidikan-modern-
dalam.html, diunggah pada tanggal 06 April 2018, pukul 20.09 wib.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Azhar,
walaupun pada awalnya merupakan sebuah masjid namun pada
perkembangannya berubah menjadi sebuah universitas tertua di dunia,
yaitu pada akhir masa al-Mu’idz Lidinillah al-Fatimi pada bulan Shafar
tahun 365 H/ 975 M. Hal ini merupakan bukti historis sebagai produk
kemajuan peradaban Islam di Mesir.
2. Berjalannya waktu perkembangan al-Azhar mengalami pasang surut, hal
ini dikarenakan pleh pengaruh rektor yang menjabat pada masanya karena
bukan hanya sekedar jabatan akademis namun juga berpengaruh dalam
menentukan arah kebijakan politiknya.
3. Diantara tokoh-tokoh yang bekerjasama mereformasi sistem pendidikan
al-Azhar adalah Muhammad Ali, al-Tahtawi, Syeikh Hasan al-‘Athar dan
Muhammad Abduh. Merekalah yang meruntuhkan kejumudan wawasan
berfikir yang telah lama membeku dalam kediaman umat muslim pasca
kemunduran serta mendobrak dikotomi ilmu pengetahuan.
B. Saran
Sebagai bagian dari umat muslim, seharusnya bersyukur dengan pengaruh
besar dari para Syaikh dan ulama intelek refolusioner muslim, karena berkat
kecerdasan dan pergerakan pembaharuan beliau dalam pendidikan kita dapat
rasakan berbagai cabang ilmu-ilmu pengetahuan dan kesejahteraan bagi kita
semua dengan mudah mencapai ilmu yang lebih tinggi seperti saat ini. Mudah-
mudahan pembahasan ini menjadi ibrah untuk calon penerus pemikir dan
intelek muslim dan saling menghormati hasil besar berbuah emas yang
dihasilkan pejuang muslim terdahulu sehingga kita dapat terhindar dari
kejumudan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, Muhammad, Pendidikan Islam dan Modernitas di Timur Tengah: Studi


Kasus Mesir, Jurnal Hunafa Vol. 4, No 2, Juni 2007

K. Hitti, Philip , 1974, History of The Arabs, London: MacMillan Press & Co.
Ltd,

Nata, Abuddin, 2012, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi


Pendidikannya, Jakarta: Rajawali Pers.

Putra Daulay, Haidar & Pasa, Nurgaya, 2013, Pendidikan Islam Dalam Lintasan
Sejarah (Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan) ,Jakarta:
Prenada Media Group

Suradji, Muchamad, http://msuradji.blogspot.co.id/2010/09/mesir-menuju-


pendidikan-modern-dalam.html, diunggah pada tanggal 06 April 2018,
pukul 20.09 wib.

Suwito, 2005, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media

Zuhairini, 2013, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

13

Anda mungkin juga menyukai