Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

SOSIOLOGI & POLITIK

TEORI KEKUASAAN
KONFLIK
(Dosen Pengampuh: Dr. Khuzaini,MM )

Di Susun Oleh :

Siti Khairunisa (2203010217)

2c pagi Banjarmasin

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN


UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2023
A. Kekuasaan dalam pandangan konflik
1. Pengertian kekuasaan dalam konflik
Kekuasaan dalam pandangan konflik merupakan dua hal yang akan selalu
ditemukan dalam kehidupan sosial. Apabila orang menghendaki keberhasilan
dalam organisasi, maka organisasi perlu mengembangkan nilai-nilai positif
kekuasaan, dan mengindari nilai-nilai negatif kekuasaan. Kekuasaan dapat
menjadi sumber munculnya konflik, tetapi juga dapat dijadikan sarana untuk
menyelesaikan konflik. Organisasi yang berhasil, adalah organisasi yang dapat
mengelola setiap konflik yang ada. Kekuasaan dalam kehidupan politik memiliki
peran dalam sebagian besar terjadinya konflik.
2. Pengertian kekuasaan konflik menurut para ahli
Coleman (1974) menemukan empat perspektif tentang kekuasaan :

Pertama, “kekuasaan atas (power over) adalah kemampuan untuk memaksa


seseorang melakukan sesuatu”. Pandangan ini menunjukkan pandangan
kekuasaan sebagai koersif dan kompetitif. Coleman berpendapat bahwa
pemahaman utama tentang kekuasaan adalah pandangan kompetitif “kekuasaan
atas”. Dengan pemahaman ini, konflik kekuasaan kemudian dipandang sebagai
kompetisi menang-kalah, sehingga merusak peluang mereka untuk mendapatkan
penyelesaian yang memuaskan. Dibutuhkan lebih banyak penekanan pada
kekuatan kooperatif, bergantung dan mandiri.

Kedua, “kekuatan dengan” (power with) yang menekankan keefektifan tindakan


bersama atau kooperatif. Konflik kerja sama, sebenarnya membangkitkan
kekuasaan, yang dipahami sebagai

“kekuasaan dengan”. Konsepsi kekuasaan membentuk strategi yang digunakan


dalam konflik. Ini merupakan pemahaman yang lebih luas tentang kekuasaan akan
menawarkan alternatif-alternatif dari strategi bersaing.

Ketiga, “ketidakberdayaan dan ketergantungan”. Ketika mengevaluasi


keseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak yang berkonflik, penting

“Jika kita ingin orang bebas, kita harus selalu mengizinkan kemungkinan munculnya
konflik dan ... menyediakan arena di mana perbedaan dapat dikonfrontasi”
(Chantal Mouffe)

untuk dicatat bahwa kekuatan beberapa pihak mungkin tidak relevan atau tidak
berguna dalam situasi tertentu. Penilaian kekuasaan relatif harus berfokus pada
kekuasaan yang relevan. Demikian pula, para pihak harus merefleksikan dengan
hati-hati tujuan mereka dalam suatu konflik, dan bertanya pada diri sendiri jenis
kekuasaan mana yang bisa efektif, dan mana yang merugikan, dalam mencapai
tujuan tersebut.

Keempat, ”pemberdayaan dan kemandirian” (empowerment and independence).


Para ahli teori pemberdayaan menggunakan gagasan
“kekuasaan untuk” (power for), seperti halnya kekuasaan untuk bertindak secara
efektif tanpa kendala atau cacat. Kelompok strong power cenderung menyukai
kekuasaan, menggunakannya, membenarkan memilikinya, dan berusaha
mempertahankannya. Mereka kurang memperhatikan orang-orang yang
powerless (Coleman, 1974: 124-125). Kelompok strong power cenderung
mengasingkan kelompok powerless, dan sehingga pada gilirannya memicu
perlawanan dari kaum lemah tersebut. Sebaliknya, kelompok powerless
cenderung berpandangan sempit dan tidak puas.

Coleman (1974: 113) mendefinisikan kekuasaan sebagai interaksi timbal balik


antara karakteristik seseorang dan karakteristik situasi, di mana orang tersebut
memiliki akses ke sumber daya yang berharga dan menggunakannya untuk
mencapai tujuan pribadi, relasional, atau lingkungan. Untuk mendapatkan
kekuasaan diantaranya melalui penggunaan strategi pengaruh. Kekuasaan
dipahami dalam konteks relasional.

Coleman (1974) berusaha juga mengkaji relevansi faktor pribadi orang dan
kekuasaan. Faktor pribadi dimaksud meliputi orientasi kognitif, motivasi diri, dan
orientasi moral terhadap kekuasaan. Dalam hal motivasi diri, sebagian orang
memiliki orientasi otoriter yang menekankan pada ketaatan pada otoritas. Orang
mungkin termotivasi untuk mengejar kekuasaan pribadi, atau kekuasaan untuk
kelompok mereka. Orientasi moral seseorang terhadap kekuasaan bervariasi
sejalan dengan tingkat perkembangan moral mereka masing-masing.
tingkat sentimen egaliter, dan persepsinya tentang keadilan.

Sebagai kesimpulan, Coleman memberikan saran untuk pelatihan dalam resolusi


konflik, dan menawarkan contoh latihan yang bermanfaat. Peserta harus
merefleksikan konsepsinya tentang kekuasaan, dan reaksi khas mereka sendiri
untuk menjadi kuat tanpa daya. Mereka harus menyadari sumber tructural dari
keistimewaan atau kerugian. Peserta harus dapat mengidentifikasi berbagai jenis
kekuasaan, orientasi pribadi terhadap kekuasaan, sumber dan strategi kekuasaan
yang tersedia dalam pengaturan konflik tertentu.
3. Pespektif Konflik Ralph Dahrendorf
Oleh karena itu, otoritas bisa digunakan oleh individu atau kelompok untuk
merealisasikan tujuan-tujuan tertentu. Kekuasaan merupakan hubungan faktual
semata-mata, sementara itu wewenang merupakan hubungan dominasi dan
penundukan yang sah. Tetapi, dalam dominasi juga terdapat unsur kekuasaan,
sebab pengertian dominasi adalah hak untuk mengeluarkan perintah yang
memaksa. Seorang orator ketika bisa memengaruhi banyak orang sesungguhnya
merupakan bentuk kekuasaan pada rakyat, sedangkan pengendalian pejabat
pada bawahannya, manager pada buruhnya, pegawai negri terhadap orang yang
dilayani merupakan bentuk wewenang.

Mendasarkan pada pembedaan lain, Dahrendorf membuat semacam referensi


model, yakni :
1)Pembagian wewenang dalam perserikatan adalah penyebab utama
terbentuknya kelompok-kelompok yang bertentangan.
2) Dikotomi dalam setiap perserikatan adalah penyebab terbentunya dua,
kelompok yang bertentangan. Sebuah kelompok bisa dikatakan perserikatan
sepanjang mengikuti atau tunduk kepada hubungan kewenangan.

Secara lebih detail, gambaran struktur kewenangan yang dimaksudkan


Dahrendorf sebagai berikut :
1) Hubungan wewenang adalah selalu berbentuk hubungan antara supra-dan
subordinasi atau bersifat atas bawah.
2) Dimana terdapat hubungan wewenang, disitulah unsur atas (superordina)
secara sosial diperkirakan dengan perintah, komando, pengertian, dan
larangan-larangan, yang mengendalikan perilaku unsur bawah (subordinat).
3) Perkiraan demikian secara relatif lebih dilekatkan pada posisi sosial daripada
kepribadian individual.
4) Hubungan kewenangan selalu meliputi spesifikasi orangorang yang harus
tunduk pada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang-bidang yang mana
pengendalian itu diperbolehkan. Berbeda dengan kekuasaan, wewenang
tidak pernah menjadi suatu hubungan pengendalian yang digeneralisasikan
terhadap orang lain yang tidak termasuk ke dalam hubungan pengendalian
tersebut.
5) Wewenang adalah sebuah hubungan yang sah, dan tidak tunduk kepada
perintah 33 orang yang berwenang dapat dikenai sanksi tertentu; wewenang
sebenarnya merupakan salah satu fungsi sistem hukum yang (dan tentu saja
fungsi dari kebiasaan hukum semu dan norma-norma) guna mendukung
efektivitasnya pelaksanaan wewenang yang sah.

Dahrendorf menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan ini, penting


digunakan konsep Weber yang menyatakan kategori perserikatan yang
dikoordinasi secara memaksa. Perserikatan yang dimaksud dahrendorf
adalah sejumlah peranan yang diatur dengan dominasi dan penundukan
(Dahrendorf: 205).
Oleh karena itu, yang termasuk dalam pengertian perserikatan adalah
Negara, gereja, perusahaan, partai politik, serikat buruh dan klub catur.
Dalam semua perserikatan tersebut, pastilah terdapat hubungan wewenang.
Karena itu, analisis pertentangan bisa digunakan. Penjelasan ini tidak dilihat
dari segi integrasi, melainkan bagaimana struktur penggunaan kekuasaan
digunakan dan paksaan yang terkoordinasi dimanfaatkan. Ia bukanlah sistem
yang rapi, bergantung timbal balik, yang bersifat teratur.
Hubungan wewenang ada dimana saja terdapat orang-orang yang perilaku
mereka ditundukkan kepada ketentuan-ketentuan yang sah dan mempunyai
sanksi yang berasal dari luar diri mereka sendiri tetapi didalam struktur sosial
(Dahrendorf: 205). Kemudian, hal yang sangat penting adalah bahwa tidak
mungkin individu memiliki wewenang dalam semua organisasi sosial yang
dimasuki. Pada satu perserikatan tertentu, ia memiliki dominasi, tetapi pada
perserikatan yang lain tidak memiliki dominasi. Seorang menteri ekonomi
sangat besar wewenangnya ketika memutuskan harga BBM naik atau tetap,
dan ia dapat berbuat pada siapa pun warga masyarakat. Tetapi ia tidak
memiliki wewenang ketika shalat jumat di masjid pada suatu pemukiman.
Ketika didalam masjid sang menteri harus mengikuti seremonial dan urutan-
urutan yang dipimpin oleh ustad atau kiai. Setiap individu masuk pada lebih
dari satu perserikatan, sehingga pada struktur otoritas, pada satu
kesempatan, ia berada pada posisi dibawah, tetapi pada kesempatan lain, ia
berada di posisi atas. Demikian pula yang terjadi pada pertentangan yang
juga akan bersifat tumpang tindih pada satu dengan yang lain.

Kekuasaan tidak secara intrinsic dikaitkan dengan pencapaian kepentingan-


kepentingan golongan tertentu. Dalam konsepsi ini penggunaan kekuasaan
memberi karakter tidak saja pada satu jenis perbuatan, namun pada seluruh
tindakan. Dengan demikian, kekuasaan bukanlah sumberdaya (merupakan
sifat sistem sosial yang terstruktur yang ditimbulkan dan direproduksi oleh
agen-agen). Sumberdaya merupakan media untuk melaksanakan kekuasaan.
Kekuasaan dalam sistem sosial yang menikmati kontinyuitas sepanjang waktu
dan ruang mengandaikan adanya hubungan-hubungan otonomi dan
ketergantungan yang teratur antara aktor atau kolektivitas dalam konteks
interaksi sosial.
Namun semua ketergantungan menawarkan beberapa sumberdaya dimana
mereka yang menjadi bawahan bisa mempengaruhi aktivitas atasannya.
Inilah yang kemudian disebut sebagai dialektika kendali (dialectic of control)
dalam sistem sosial.
Guna memfokuskan klarifikasi mengenai agensi, perlulah sekiranya dibuat
batasan mengenai agensi manusia; pertama, Agensi manusia menekankan
hubungan antara aktor dan kekuasaan. Tindakan bergantung pada
kemampuan individu untuk membuat sebuah perbedaan dari kondisi
peristiwa atau tingkatan tingkatan kejadian sebelumnya. Seorang agen akan
berhenti menjadi agen jika ia kehilangan kemampuan untuk membuat
sebuah perbedaan dalam beberapa jenis kekuasaan.
4. Teori Kekuasaan Menurut Max Weber
Max Weber adalah seorang ahli hukum yang merupakan profesor di Freiburg,
Heildelberg, dan Munich dan aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu
seperti sejarah agraria kuno, kondisi-kondisi populasi pedesaan di Prussia,
metodologi ilmu-ilmu sosial 8 10 Untuk itu penulis akan menjabarkan
pikirannya tentang kekuasaan, sebab penulis merasa teori kekuasaan ini juga
dapat menjawab penelitian penulis.
Max Weber berpendapat bahwa setiap individu atau kelompok yang terlibat
dalam sebuah konflik pastilah akan menggunakan kekuasaan sebab
kekuasaan dalam proses konflik sosial bagaikan oksigen bagi proses biologis
tubuh kita betapa pun perbedaan masalah dan perasaan dari mereka.
Kekuasaan tersebut digunakan untuk saling menaklukan (pertarungan
curang) ataupun untuk saling bekerjasama (pertarungan jujur).
Demikian juga dalam proses konflik gereja semua oknum yang terlibat pasti
menggunakan kekuasaannya.11 Berbicara tentang kekuasaan penulis rasa
penting untuk sedikit mengulas tentang teori kekuasaan yang dijabarkan oleh
Max Weber dalam bukunya yang berjudul Economy and society, menurutnya
konsep kekuasaan adalah secara sosiologis tak berbentuk. Setiap orang dalam
situasi tertentu dimana terdapat peluang dan juga adanya kualitas tertentu
dalam diri seseorang serta kemungkinan kombinasi-kombinasi dari keadaan-
keadaan sekitar, dapat menempatkan seseorang itu dalam satu posisi untuk
memaksakan kehendaknya.
B. KESIMPULAN
Teori Kekuasaan Peter M. Blau Kekuasaan di definisikan oleh Blau sebagai, kemampuan
orang-orang atau kelompok-kelompok untuk memaksakan kemauan mereka pada pihak
lain, sekalipun terdapat perlawanan, melalui beberapa penolakan baik dalam bentuk
menahan imbalan yang diberikan atau dalam bentuk hukuman meskipun kedua bentuk
tersebut pada hakikatnya merupakan sanksi negatif. Dapat kita lihat bahwa kekuasaan
yang dijelaskan Blau tidak lepas dari pertukaran sosial. Dari sini terlihat bahwa Blau
menyatakan kontrol atas ketidakpastian merupakan sumber penting dari kekuasaan
dalam organisasi.
Hal yang masih berhubungan dengan kekuasaan, kalau seorang pemimpin muncul maka
terdapat stabilisasi struktur 51 kepemimpinan. Proses-proses ini sesungguhnya
merupakan perkembangan norma-norma dan nilai-nilai bersama yang memberikan
legitimasi pada struktur kepemimpinan itu. Hasilnya, pemimpin tidak dilihat
memperjuangkan kekuasaan, tetapi cenderung memiliki hak untuk mengatur. Ideologi
yang disosialisasikan pemimpin tidak akan menggambarkan secara langsung bagaimana
reward harus diberikan.
Teori Konflik Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, dan
menganggap teori ini merupakan perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisa
fenomena sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik
dan sisi kerjasama (kemudian ia menyempurnakan sisi ini dengan menyatakan bahwa
segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dapat pula
dianalisa dengan teori konflik dengan lebih baik).
Mengutip Weber, Dahrendorf menyatakan bahwa untuk menggambarkan setiap
keteraturan tidak didasarkan pada kebebasan personal, tetapi kesepakatan bebas dari
semua yang terlibat karena dipaksa, seperti didasarkan pada otoritas dan subordinasi.
Sejak hanya pertarungan khayalan, dari analisis sosiologi memiliki dua konsep yang
berdampingan, yakni norma dan sanksi, keduanya masuk sebagai kekuasaan
terlembaga.

Anda mungkin juga menyukai