Mahatma Gandhi, seorang tokoh kemerdekaan India, pernah berniat pergi ke
gereja untuk ikut beribadah. Gandhi telah banyak membaca Alkitab, khususnya kitab Injil Matius. Dia ingin sekali berkenalan dengan Yesus yang diakui sebagai Tuhan oleh orang Kristen. Malangnya, saat itu ia hidup dan bekerja di Afrika Selatan dan pemerintah negara itu mempraktikkan politik apartheid. Artinya, politik diskriminasi rasial. Orang kulit berwarna dilarang bergaul dengan orang kulit putih. Mereka dilarang memasuki gedung-gedung atau tempat-tempat yang khusus disediakan untuk orang-orang kulit putih. Mereka pun dilarang menikah dengan orang kulit putih. Orang yang berani melanggar aturan-aturan ini akan dihukum dan dijebloskan ke dalam penjara. Banyak orang Kristen dan gereja yang menjadi batu sandungan bagi orang lain. Misalnya, Mahatma Gandhi pernah ditolak ketika ia ingin ikut beribadah di sebuah gereja di Afrika Selatan. Saat itu Afrika Selatan memberlakukan politik apartheid yaitu memisah-misahkan masyarakat menurut kelompok-kelompok ras dan warna kulit mereka. Gandhi sangat kecewa. Karena pengalaman itu, ia menyatakan, ”I like your Christ. I do not like your Christians. Your Christians are so unlike your Christ.” Artinya, ”Aku suka akan Kristusmu. Tapi aku tidak suka orang-orang Kristenmu. Orang-orang Kristen sangat berbeda dengan Kristusmu.” Apa yang dikatakan oleh Gandhi sungguh sebuah kritik yang tajam bagi kita orang Kristen, karena kita sering kali gagal mencerminkan siapa Yesus Kristus yang sesungguhnya yang kita kenal dan sembah itu. Dalam cara apa lagi gereja dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain? ketika gereja dan orang Kristen hidup tidak peduli terhadap orang lain, khususnya mereka yang menderita kemiskinan. Sebagai contoh di negara Pantai Gading, Afrika, berdiri Basilika Notre Dame de la Paix de Yamoussoukro atau Basilika Maria Ratu Perdamaian Yamoussoukro. Gereja ini adalah gereja Kristen terbesar di seluruh dunia yang dibangun oleh Presiden Félix Houphouët-Boigny (baca: Feliks Ufwet Bwanyi) di desa tempat kelahirannya dengan harapan bahwa desa itu akan menjadi ibu kota negaranya. Basilika ini dibangun antara 1985–1990 dengan biaya $300 juta (sekitar Rp3.050.000.000.000,00 atau 3 triliun lebih). Basilika ini dapat menampung 7.000 tamu yang duduk dan 11.000 tamu yang berdiri. Keseluruhannya dibangun dengan marmer yang diimpor dari Italia, dan dihiasi dengan lukisan dari kaca seluas 7.000m2 yang diimpor dari Prancis