Anda di halaman 1dari 7

Nama : Putri Rachel Cecilia Tumbol

Nim : 202041282
Mata Kuliah : Sejarah Gereja Asia (Senin 17:00-18:45)
Biografi dari tokoh-tokoh gereja/apologet awal
1. Basilius Agung
Basil dari Kaisarea (bahasa Yunani: Άγιος Βασίλειος ο
Μέγας), juga dijuluki Santo Basilius Agung, adalah
seorang teolog, Bapa Gereja sekaligus Doktor Gereja pada
abad ke-4. Salah satu sumbangan darinya adalah
melakukan integrasi kebudayaan klasik ke dalam
agama Kristen.
Basil dilahirkan di Kaisarea, Kapadokia dalam sebuah
keluarga yang kaya dan saleh pada tahun 329.[1] Ia adalah
anak sulung dalam keluarga dan memiliki kondisi fisik yang
lemah.[1] Seluruh keluarganya giat dalam bidang kegerejaan.
[1]
 Bahkan, ia dan dua saudara laki-lakinya, yakni Gregorius
dari Nyssa dan Petrus dari Sebaste menjadi uskup.[1]
Basil menerima pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri
karena ayahnya adalah seorang guru retorika.[1] Kemudian,
ia pergi ke Konstantinopel dan belajar pada Libanus,
seorang guru retorika yang terkemuka pada masa itu.
[1]
 Setelah itu, ia pergi ke Athena untuk
mempelajari retorika, matematika, dan filsafat.[1] Ia belajar
filsafat pada kelompok Sofis, yakni
[1]
kepada Himerius dan Proaeresius.  Setelah itu, ia kembali
ke Kappadokia dan mengajar retorika selama beberapa
waktu.[1][3]
Karena kecerdasannya sebagai guru retorika, ia
menjadi sombong.[1] Setelah saudara perempuannya
mengingatkan dia mengenai kesombongannya, ia bertobat
dan dibaptiskan.[1]
Demikianlah kutipan pernyataan spiritualitasnya dalam
sebuah surat:
“ Aku telah menyia-nyiakan banyak waktu pada
kebodohan dan menghabiskan hampir semua
tenaga kerja muda saya pada kesia-siaan, dan
pengabdian kepada kearifan yang telah dibuat
bodoh oleh Allah. Tiba-tiba, aku terbangun dari
tidur nyenyak. Aku melihat cahaya indah dari
kebenaran Injil, dan aku mengenali kehampaan
kebijaksanaan para pangeran di dunia ini. [4] ”

Setelah itu, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru


retorika dan melakukan perjalanan
ke Mesir, Siria dan Palestina untuk belajar kehidupan
[1]
bertapa.  Kemudian, ia kembali ke negerinya dan membagi-
bagikan kekayaannya pada orang miskin karena merasa
tertarik dengan kehidupan para pertapa. Ia lalu pergi ke
tempat yang sunyi di Pontus dan mengajar di sana. Dalam
khotbah-khotbahnya, ia selalu menegaskan prinsip-prinsip
sosial. Ia berpendapat bahwa semua orang
diciptakan Allah dan dikasihi Allah.[1] Oleh karena itu, semua
orang pada dasarnya sama dan memiliki martabat yang
sama.[1]
Pada tahun 364, ia diangkat menjadi
[1]
seorang presbiter di Kaisarea  dan ditahbiskan
menjadi uskup di tempat yang sama pada tahun 370. Pada
masa ini, Basil terus berjuang untuk
melawan Arianisme yang mencoba mengambil alih
Kappadokia sebagai salah satu dari wilayah mereka. [1]
Kondisi fisiknya yang kurang baik diperparah dengan cara
hidup asketis yang keras. Makanannya hanyalah roti, garam,
dan sayuran.[1] Dalam hidup asketisnya, ia menekankan
keseimbangan antara bekerja dan berdoa. Selain itu, ia juga
memberikan perhatian yang sangat besar bagi orang miskin
dan menderita.[1][3] Salah satu bentuk perhatiannya adalah
dengan membangun sebuah rumah sakit besar yang
ditujukan untuk merawat orang-orang yang sakit kusta.[1]
Ia meninggal pada tahun 379.[1] Salah satu peninggalannya
bagi Gereja Timur adalah liturgi yang masih dipergunakan
oleh Krisostomus.
2. Gregorius Dri Nyssa
Gregorius dari Nyssa adalah adik dari Basilius Agung. Ia
dilahirkan di Kaisarea pada tahun 335.[2] Sama seperti
Basilius, pada awalnya Gregorius mempelajari dan
menekuni retorika.[1] Akan tetapi, ia kemudian meninggalkan
pekerjaan itu dan hidup sebagai seorang pertapa dengan
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.[1] Ia menaruh
perhatian pada teologi mistik dan kontemplasi. [3] Pada tahun
372, Gregorius dipanggil menjadi uskup di sebuah kota di
Kapadokia, yaitu Nyssa.[1] Itulah sebabnya ia dikenal dengan
nama Gregorius dari Nyssa.[1] Sebelum menjadi Uskup
Nyssa, ia pernah menikah dan sempat menjalani kehidpan
dalam sebuah biara.[3] Ia menghadiri Konsili
Konstantinopel dan memainkan peranan penting dalam
konsili ini.[1] Gregorius dari Nyssa meninggal tahun 395. [1]

PEMIKIRAN
Tentang Allah Tritunggal
Sebagai salah satu dari Bapa-bapa Kapadokia, Gregorius
dari Nyssa kerap kali dituding penganut triteis (percaya
kepada tiga Allah).[2] Dalam usahanya menjawab tudingan ini
maka ia membuat sebuah tulisan berjudul Quod Non Sint
Tres Dii (Bahwa Tidak Ada Tiga Allah).[2] Ia menguraikan
pemikirannya tentang keesaan Allah:[2]

“ Kita tidak pernah mendengar bahwa Sang


Bapa berbuat sesuatu sendiri tanpa Sang
Anak. Demikian juga Sang Anak tidak pernah
bertindak sendiri tanpa Roh Kudus. Setiap
tindakan yang ditujukan untuk keselamatan
alam semesta berasal dari Sang Bapa melalui
Sang Anak, diteruskan dan diselesaikan oleh
Roh Kudus. ”
Tentang Pendamaian
Gregorius mengemukakan sebuah variasi dari salah satu
teori pendamaian salib yaitu Kristus sebagai pemenang
(Christus Victor).[4] Menurut Gregorius, peristiwa
kemenangan Yesus di kayu salib adalah sebuah tipuan
(trick).[4] Yesus menjadi umpan bagi setan yang mengira
telah memenangkan peperangan dengan Allah. [4] Ketika
menangkap umpan kemanusiaan Yesus, tanpa disadari saat
itu juga setan memakan keilahian Yesus.[4] Dengan
demikian, Allah menang sedangkan setan berhasil ditipu dan
dikalahkan.[4]
Tentang Eskatologi
Gregorius dari Nyssa mengemukakan ajaran yang serupa
dengan Origenes bahwa segala sesuatu akan mengalami
pemulihan (apokatastasis).[5] Baginya, semua manusia baik
yang telah dibaptis ataupun tidak tetapi kemudian berdosa
lagi, akan mengalami pemurnian setelah mati. [5] Dengan
cara itu, semua ciptaan akan mengalami pemulihan dari
segala kejahtan.[5] Gregorius tidak memahami
adanya neraka sebagai tempat manusia dihukum
[5]
selamanya.  Walaupun Gregorius adalah murid Origenes,
tetapi dalam beberapa hal ia memiliki pandangan yang
berbeda dari gurunya itu.[5] Misalnya, Gregorius tidak
sependapat bahwa pemulihan segala sesuatu hanyalah
akhir dari satu periode dunia dan nantinya akan ada dunia-
dunia yang lain.[5] Menurut Gregorius, ketika pemulihan itu
terjadi maka tibalah dunia pada akhir zaman yang terjadi
hanya satu kali untuk selamanya.[5]
3. Yohanes Krisostomus
Yohanes Krisostomus (bahasa Yunani Ιωάννης ο
Χρυσόστομος, Ioannes Chrysostomos), 347-407,
adalah Uskup Agung Konstantinopel. Dia tersohor karena
kefasihannya dalam berkhotbah dan berpidato di muka
umum, penentangannya terhadap penyalahgunaan
wewenang baik oleh para pemimpin gereja maupun para
pemimpin politik, Liturgi Santo Yohanes Krisostomus, dan
sensibilitas asketiknya. Sesudah kematiannya, dia diberi
julukan Chrysostomos, kata Yunani yang berarti "Si Mulut
Emas", ditransliterasi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi
Krisostomus.[1][2]
Gereja Ortodoks dan Gereja-Gereja Katolik
Timur menghormatinya sebagai seorang santo (hari
peringatan, 13 November) dan menempatkannya sebagai
salah satu dari Tiga Hierark Kudus (hari peringatan, 30
Januari), bersama Santo Basil Agung dan Santo Gregorius
sang Teolog. Dia diakui oleh Gereja Katolik Roma sebagai
seorang santo dan Doktor Gereja. Gereja-Gereja Barat,
termasuk Gereja Katolik Roma, Gereja Inggris, dan Gereja
Lutheran memperingatinya tiap tanggal 13 September.
Relikui Yohanes Krisostomus diambil dari Konstantinopel
oleh para prajurit Perang Salib IV pada tahun 1204 dan
dibawa ke Roma, namun dikembalikan pada tanggal 27
November 2004 oleh Paus Yohanes Paulus II.[3]
Krisostomus dikenal dalam Kekristenan terutama sebagai
seorang pengkhotbah dan pakar liturgi, khususnya
dalam Gereja Ortodoks Timur. Di luar tradisi Kristiani,
Krisostomus dikenal karena delapan khotbahnya yang cukup
berperan dalam sejarah Antisemitisme Kristiani, dan
digunakan secara ekstensif oleh Nazi dalam kampanye
ideologis mereka menentang kaum Yahudi.[4][5]
Dia kadang kala disebut Yohanes dari Antiokhia, akan tetapi
nama itu lebih tepat digunakan untuk
menyebut uskup Antiokhia yang bernama Yohanes (429-
441), yang memimpin sekelompok uskup Timur moderat
dalam kontroversi Nestorianisme. Yohanes Krisostomus
juga secara keliru dikira adalah orang yang sama
dengan Dio Chrysostom.
4. Yohanes dari Damasyik
Santo Yohanes hidup pada abad ketujuh dan kedelapan. Ia
lahir di kota Damsyik dari keluarga Kristiani. Ketika ayahnya
meninggal, ia menjadi Gubernur kota Damsyik. Pada saat
ini, Kaisar mengeluarkan larangan bagi orang Kristiani
memiliki patung atau gambar Tuhan, Bunda Maria, Para
Kudus. Namun Yohanes tidak setuju dengan perintah Kaisar
dan akhirnya bergabung dengan sekelompok orang untuk
membela praktik ini.

Paus sendiri meminta Yohanes memberi tahu umat bahwa


sangatlah baik memiliki patung dan gambar para kudus.
Benda-benda itu mengingatkan kita akan Tuhan, Maria dan
para kudus lainnya. Namun, Kaisar tidak menyerah, ia terus
melarang orang memasang patung di tempat umum. Santo
Yohanes dengan berani menulis tiga surat untuk
menjelaskan praktik itu kepada kaisar. Kaisar menjadi begitu
marah dan ingin membalas dendam. Yohanes pun
memutuskan diri untuk mengundurkan diri dari jabatan
sebagai Gubernur. Ia membagikan semua uangnya kepada
kaum miskin dan menjadi pertapa. Ia tetap menulis buku-
buku bagus untuk mempertahankan Agama Katolik. Pada
saat yang sama, ia juga mengerjakan karya sederhana di
biara. Suatu hari, ia bahkan menjual keranjang di jalanan
kota Damsyik dan tidak sedikit orang yang
mentertawakannya. Inilah orang yang pernah menjabat
sebagai Gubernur hebat kota ini, dan kini menjadi penjual
keranjang. Namun, Yohanes tahu bahwa uang yang di
terima akan di gunakan dengan baik di biara. Santo
Yohanes meninggal dengan damai dan bahagia pada tahun
749.
5. Efrem orang Siriah
Efrem orang Siria adalah seorang teolog sekaligus
sastrawan dan orator.[1] Ia berasal dari Gereja Purba di
Siria.[1] Ia terutama dihormati dalam Gereja Ortodoks Siria,
dan terhitung sebagai Venerable Father ("Bapa Yang
Dimuliakan", yaitu seorang biarawan yang dihormati sebagai
orang kudus) dalam Gereja Ortodoks Timur. Hari
peringatannya adalah tanggal 28 Januari dan pada hari
Sabtu Venerable Fathers. Ia dinyatakan sebagai seorang
Doktor Gereja dalam Gereja Katolik Roma pada tahun 1920.
Efrem menulis berbagai jenis himne, sajak, dan kotbah
dalam bentuk puisi maupun eksegesis Alkitab dalam bentuk
prosa. Karya-karya ini bersifat teologi praktis untuk
pembinaan gereja Kristen pada masa kesusuahan. Begitu
populer karya-karyanya, sehingga berabad-abad setelah
kematiannya, banyak pengarang menulis ratusan karya
pseudepigrafi menggunakan namanya. Ia disebut sebagai
bapa gereja paling penting dalam tradisi gereja berbahasa
Suryani.

Anda mungkin juga menyukai