Anda di halaman 1dari 10

c 

   
  
  

›?  : "wongsony" <wongsony@xxxxxxxxxxx>


›? à : 9 Feb 2006 03:07:31 -0800

National Integration Movement

Diskusi mahasiswa, Sabtu, Januari 2006


Pukul : 19.00 - 21.00 Wita
Notulen Oleh : Nengah Hardita.

"Revitalisasi Budaya Bali Dalam Menyongsong Indonesia Baru"


Pembicara tunggal : Putu Setia
Latar belakang : Tokoh Intelektual Hindu
Mantan (masih) Wartawan Senior

majalah Tempo
Pemimpin Redaksi Majalah
Raditya
Moderator : Putu Kusuma

· Putu Setia : Profesi wartawan tidak pernah mengenal


kata
pensiun. Secara fisik 3 bulan lagi akan pensiun secara resmi dari
majalah
Tempo. Masih rutin menulis kolom di Tempo yang berisi catatan ringan
yang
isinya melebar ke mana-mana. Kesibukan utama sekarang adalah merehab
Asram
Manikgeni di desa Pujungan, Tabanan. Sudah di upacarai secara niskala.
Dari
dulu bercita-cita jadi Pendeta Hindu. Sekarang sedang menuju ke arah
sana.

Bali sekarang dalam benturan. Pergerakan dari kehidupan agraris


menuju
pariwisata (industri tanpa asap) telah menimbulkan gegar budaya. Jaman
bertani dulu, kehidupan di desa berjalan komunal, guyub dan penuh rasa
kegotong royongan. Hampir semua sektor pekerjaan di bidang pertanian,
perkebunan dan ritual dilakukan secara bergotong royong tanpa mengenal
upah. Karena bidang kerjanya homogen sehingga rakyat, terutama di
pedesaan
masih mempunyai banyak waktu luang, sehingga ikatan rasa kekeluargaan
di
antara warga terasa erat. Semua saling tolong menolong.

Sejak berkembangnya industri pariwisata, telah menyebabkan banyaknya

terjadi urbanisasi, karena kota banyak memerlukan pekerja di segala


bidang
yang belum pernah dibayangkan. Di tahun 60-an dan 70-an, tenaga cuci
piring
di Hotel Bali Beach sangat di kagumi karena cerita tentang bangunan
berlantai 10 dan uangnya yang banyak. Sehingga makin banyak anak-anak
muda
di desa yang tertarik merantau ke kota. Nilai-nilai kegotong royongan
di
desa mulai melemah, dan mulai dilupakan dengan banyak alasan. Kalaupun
masih di lakukan, itu biasanya karena ketakutan akan kutukan dari Tuhan

(seolah-olah Tuhan itu maha pemarah). Tapi yang paling ditakuti di desa

adat adalah sanksinya apabila tidak ikut ngayah (pekerjaan sukarela


yang
biasanya berhubungan dengan adat, budaya dan agama). Mulai dari tidak
di
ajak bicara sampai yang terberat adalah di-kasepekang (dikucilkan).
Kalau
sampai demikian, bahkan saat matipun akan sengsara, karena alamat
mayatnya
tidak akan bisa dikubur/diaben. Hal ini bisa
terjadi karena kuburan di Bali adalah milik desa adat, yang otonom
dan
bahkan pemerintah-pun tidak/sulit untuk turut campur. Berbeda dengan
warga
Hindu yang tinggal di Jakarta, yang dengan uang ratusan ribu bisa
menyewa
krematorium dan urusanpun selesai. Tentu akan timbul pertanyaan apakah
dengan kondisi dan situasi saat ini semangat gotong royong masih dapat
di
kembangkan sesuai dengan tuntutan jaman ?

Kelihatannya remeh. Padahal founding father kita, Soekarno, di salah

satu pidatonya pernah berkata bahwa apabila Pancasila itu di peras


menjadi
Trisila, lalu di peras lagi menjadi Ekasila, maka hasilnya adalah
gotong
royong. Bahkan putrinya, Megawati menamai kumpulan menteri bawahannya
dengan sebutan Kabinet Gotong Royong. Putu Setia masih percaya bahwa
gotong
royong di jaman ini, apabila dengan tujuan yang pasti dan demi tujuan
kebaikan, tentu masih relevan. AKU BISA MELAKUKANNYA. Di mulai dari
lingkungan terkecil. Vibrasinya tentu lama-lama akan terasa ke
mana-mana.

Di Indonesia saat ini ada keterpurukan. Dulu ada Bhinneka Tunggal


Ika.
Sekarang setelah kita bersatu, yang ditonjolkan adalah perbedaan. Kamu
Islam, kamu Hindu, jadi kita berbeda. Padahal sebenarnya ada kesamaan
yang
dapat di cari. Contohnya saat adzan Subuh yang Hindu bisa melakukan
Surya
Sewana (memuja Tuhan seiring terbitnya matahari, meditasi), saat adzan
Magrib kita yang Hindu diingatkan untuk melakukan Trisandya sore hari.
Di
Bali akhir-akhir ini sedang marak berdiri warung muslim. Malah katanya
ada
orang yang menghitung dari Gilimanuk sampai Denpasar ada 147 warung
muslim.
Sekarang malah ada tandingannya, yaitu warung Krama Bali, Warung Hindu.

Padahal sebenarnya tidak usah ada sekat-sekat tersebut.

Fanatik buta pada ajaran agama itu tidak baik. Sampai-sampai ada
orang
Islam yang tidak mau makan ayam di rumah warga Hindu, alasannya haram
karena saat memotongnya tidak membaca doa Islam. Seolah-olah Tuhan itu
banyak. Ada Tuhan Islam, Tuhan Hindu, Tuhan Kristen dan lain-lain.
Menurut
Nurcholis Madjid (Cak Nur), kehidupan beragama di Indonesia saat ini
sedang
mengalami puber. Anak-anak sekolah tertentu sejak kecil telah di
ajarkan
untuk tidak mengucapkan selamat hari raya pada orang yang beragama
berbeda.
Hindu di anggap sebagai agama yang memuja batu, padahal orang Islam
juga
berkiblat ke Kakbah yang terbuat dari batu, bahkan memuliakan Hajjar
Aswad.
Kalau ini terus di pertentangkan, tentu tidak akan ada habis-habisnya.
Kita
harus bisa mencari persamaan dan jangan terlalu menonjolkan perbedaan.
Kita
harus mendewasakan diri dalam beragama.

Orang Hindu pindah agama, masuk Islam langsung masuk infotainment


dan
tabloid. Ketika majalah Hindu Raditya memuat berita sebaliknya, malah
orangnya di teror. Di bilang murtadlah, dan lain-lain. Pemerintah masih

belum adil dalam mengayomi agama yang ada di Indonesia. Contohnya


adalah
membangun Pura di luar Bali, ijinnya di persulit dan mengurusnya susah
sekali. Padahal di daerah tersebut banyak penduduk beragama Hindu. Tapi

pembangunan Mesjid dan Gereja di Bali sangat mudah. Tapi biarlah yang
sudah
terjadi. Kita harus mencari sebanyak mungkin persamaan dan jangan
menonjolkan perbedaan yang ada di permukaan. Contoh yang ada di Anand
Krishna Center adalah adanya Doa bergilir, bukan doa bersama. Hal ini
co***
dengan semangat Komunitas Utan Kayu, binaan majalah Tempo. Kita harus
pintar bergaul, dan sering melakukan instrospeksi. Orang Hindu di Bali
juga
ada yang sedang memasuki masa puber dalam beragama. Contohnya orang
bikin
film belum jadi sudah di protes. Tulisan/gambar Omkara di
sampul novel di larang. Kadang munafik juga. Ketika Raditya membuat
kaos
bergambar Omkara, malah tidak ada yang protes. Padahal apa bedanya ?

Sangat suka bergaul dengan orang-orang lintas agama. Pernah berguru


di
Pesantren Pabelan milik Cak Nur. Di sana mempelajari agama Islam yang
damai, yang penuh kasih, selama 3 bulan padahal sampai sekarang masih
beragama Hindu. Kitab-kitab suci agama harus di baca secara utuh, dan
jangan di baca/dikutip sepotong-sepotong. Kita juga umumnya terlalu
banyak
mengkritik orang lain, sebelum mengkritik diri sendiri. Padahal saat
menunjuk orang lain, ketiga jari yang lain menuding ke diri kita. Untuk

membicarakan hal ini secara lebih mendalam, AKC di undang untuk datang
ke
Asram Manikgeni di desa Pujungan, Pupuan, Tabanan. Asram di sana memang

khusus untuk Hindu, tapi nuansanya adalah lintas agama. Saat


peresmiannya
di hadiri oleh teman-teman dari berbagai lintas agama, dan mereka turut

menyumbang kursi, buku, dana dan lain-lain. Diresmikan tahun 1995 saat

sedang musim ikatan-ikatan cendikiawan agama.

· Moderator : Ternyata pak Putu Setia menganut falsafah


de
ngaden awak bisa (jangan sombong, seperti ilmu padi). Di Bali ternyata
sudah mengalami pergeseran. Kebudayaannya perlu di revitalisasi lagi.
Sekarang adalah sesi tanya jawab.

· Ode : Sebagai praktisi pariwisata (yang dianggap


penggempur
dan pendistorsi budaya Bali), merasa gamang, apakah pariwisata
pendistorsi
atau pembangun budaya Bali ? Buktinya seiring dengan majunya
pariwisata,
pembangunan di Bali pun semakin pesat, walaupun ada juga sikap mental
penduduk yang berubah menuju arah negatif. Siapakah yang bertanggung
jawab
dalam hal ini ? Apakah salah investor atau karena tidak adanya
rambu-rambu
yang jelas dari pemerintah tentang kebijakan pengembangan pariwisata di

Bali ? Merasa skeptis dengan gotong royong. Apakah masih bisa di


terapkan
dalam jaman industrialisasi saat ini ?

· Mahasiswa : Bertanya tentang susahnya nikah lintas kasta


di
Bali, karena banyaknya dogma-dogma yang berbau tahyul. Ditanyakan juga
mengenai banyaknya kasus-kasus perkelahian antar banjar/desa adat di
Bali
karena warga yang mengaku-ngaku sebagai kasta tinggi, sehingga menuntut

fasilitas dan penghormatan dari warga yang lain. Bagaimana menghadapi


realita semacam ini, yang semakin marak di Bali ?

· Mahardika : Ingin bertanya tentang ajeg Bali yang


gencar di
promosikan oleh salah satu kelompok media di Bali. Saran apa yang dapat

diberikan oleh pak Putu Setia untuk gerakan NIM lebih lanjut.
· Putu Setia : Pariwisata akan di anggap sebagai
pendistorsi atau pembangun budaya Bali tergantung orang Bali sendiri
dalam
menyikapinya. Eksesnya contoh di Gianyar yang penduduknya kaya-raya
setelah
industri pariwisata berkembang pesat. Pariwisata telah memajukan seni
budaya Bali, baik seni ukir, lukisan, tari dan lain-lain. Tapi kita
juga
harus mewaspadai ekses negatifnya. Sekarang seharusnya kita kembali ke
pariwisata budaya (ide awalnya dari Pak Ida Bagus Mantra). Investor di
Bali
tidak usah membangun obyek wisata, karena semua sudah ada. Investor
hanya
tinggal membangun prasarana seperti hotel dan jalan ke obyek wisata.
Yang
ada sekarang adalah ketidak adilan dalam pembagian uang antar
kabupaten.
Kabupaten Badung yang sudah kaya karena pajak hotel dan restorannya,
enggan
membagi secara adil keuntungannya dengan kabupaten lain yang kaya obyek

wisata, tapi tidak punya hotel. Sehingga di jaman otonomi daerah di


kabupaten saat ini, setiap daerah Tingkat II
berlomba-lomba mencari uang dengan segala cara. Diantaranya dengan
mengundang investor untuk membangun hotel di daerahnya dan melakukan
berbagai pungutan di obyek-obyek wisata. Hal ini mengakibatkan tanah
pertanian di Bali semakin menyusut. Contoh nyata adalah pembangunan
hotel
dan lapangan golf di Tanah Lot (BNR), dan pembangunan vila-vila di
tebing-tebing di Gianyar (terutama Ubud) yang merusak lingkungan. Kalau

sudah demikian, tidak usahlah koar-koar kembali ke pertanian, karena


hal
demikian adalah hil yang mustahal (meniru pelawak Asmuni). Kita harus
introspeksi diri. Kembalilah ke pariwisata budaya. Perketat peraturan
tentang pariwisata. Obyek budaya harus dipelihara, jangan dirusak. Pura

jangan dipugar sembarangan dan jangan terlalu di komersialkan. Subak


tidak
perlu dibangun museumnya, seperti di Tabanan kalau tidak bisa
merawatnya.
Lebih baik lestarikan subak di tempat asalnya, yaitu di daerah
pertanian.
Jangan sampai merusak yang sudah ada. Bakri Nirwana Resort sudah
dibangun, biarkan saja. Jadikan pengalaman di masa mendatang supaya
tidak
terulang. Jangan sampai membangun kios di sebelah Pura. Kalau begitu
apa
bedanya kita dengan mereka, yang kita tuding merusak Bali. Pura Besakih

jangan di komersialkan.

Dengan adanya bom Bali, kita seharusnya merenung. Secara ilmiah bom
Bali
memang pekerjaan Amrozi dan teman-temannya. Dari sisi religius bom Bali

adalah peringatan, yang menuntut kita untuk melakukan introspeksi. Kita

malah menjadikannya sebagai proyek upacara-upacara ritual Karipubaya,


dan
lain-lain. Seharusnya yang kita pikirkan adalah pantaskah Kuta
dijadikan
pariwisata sex ? Kita tidak usah munafik dengan menganggap di Bali
tidak
ada hal-hal yang begitu. Padahal kebudayaan di Kuta sudah bagus.
Keluarga
di Bali sudah mulai rusak akibat pengaruh globalisasi modern. Sekarang
mana
ada orang menonton wayang di kampung apabila saat yang bersamaan ada
sinetron Bajaj Bajuri ? Dalang Cenk Blong pun (dalang wayang yang lagi
ngetop di Bali sekarang) humornya lebih banyak daripada pendidikan
moralnya, dan condong ke arah yang vulgar. Memang sekarang susah menata

pariwisata yang mengarah ke budaya kalau menterinya adalah praktisi


pariwisata tapi tidak tahu budaya. Di undang ke TIM saja tidak
pernah datang.

Mengenai kasta di Bali tidak usah di bicarakan lagi, supaya tidak


jadi
masalah. Perlu revolusi, pendobrakan jaman ini, yang dapat di mulai
dari
generasi muda Bali. Bersikaplah biasa saja. Toleran dengan orang yang
mengaku kasta tinggi boleh saja, tapi jangan sampai kebablasan. Kalau
mereka berbahasa kasar, kita pakai bahasa biasa. Kalau mereka pakai
bahasa
halus, kita juga harus menghormatinya. Memang di Bali masih ada orang
yang
berjiwa feodal dan mengagung-agungkan kasta. Biarkan saja mereka, tidak

usah kita ikut-ikutan. Di Denpasar malah catatan sipilnya turut campur


dalam pemberian nama penduduknya, terutama nama anak-anak yang ada
embel-embel 'kasta tinggi'. Tidak boleh memberi nama begini kalau
nama
orangtuanya begitu dan sebagainya. Padahal kalau orang non Hindu di
Bali
tidak di larang pakai nama gusti, contohnya Gusti Randa. Lembaga yang
aneh,
nama orang saja di atur-atur. Sebenarnya di agama Hindu kasta tidak di
atur. Kasta adalah warisan dari jaman kerajaan, dan di anggap
warisan budaya. Yang ada di kitab suci Hindu adalah warna, semacam
pembagian kerja secara profesional jaman sekarang, dan tidak berlaku
secara
turun temurun. Bapaknya bupati belum tentu anaknya bupati. Bapaknya
Pendeta, anaknya tidak usah di hormati secara berlebihan. Biasa saja.
Lebih
baik kita membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) saja yang lebih sesuai
dengan jaman. Urusan kasta lebih baik jadi urusan orang-orang tua saja.

Mengenai ajeg Bali tidak jelas, tidak tahu persis apa maknanya. Yang
ada
dan abadi adalah perubahan, dari jaman dulu. Ajeg Bali itu startnya
dari
mana. Daripada ajeg Bali, lebih setuju Ajeg Hindu sekalian. Padahal
sebenarnya tidak usah ada ajeg-ajeg itu. Nanti keterusan ada ajeg
Islam,
ajeg Kristen dan lain-lain. Tujuan kita seharusnya menjadikan pulau
Bali
yang dapat terus mempertahankan budaya adiluhung sebatas kemampuan dan
perlu ada kesepakatan sejak awal. Lestarikan budaya yang luhur dan
tinggalkan budaya yang tidak sesuai dengan jaman sekarang.

NIM di anggap kurang vokal. Siapa yang menguasai komunikasi dan


media
dia akan menang. Walaupun NIM banyak melakukan kegiatan, apabila tidak
di
sertai penulisan artikel atau pemberitaan di media massa, tentu tidak
akan
terkenal. Paling tidak kirimkanlah artikel atau puisi ke majalah
Raditya.
NIM harus berani unjuk gigi. Pertama mulailah dengan menampilkan budaya

Tourchbearers di televisi lokal. Kalau perlu nanti Putu Setia akan


membuat
saluran televisi sendiri.

Mengenai gotong royong di jaman sekarang. Kita bisa bergotong royong


antar LSM dan ornop (organisasi non pemerintah) lain. Sekarang
tergantung
tujuan kita. Asal kita berniat baik, kita pasti bisa melakukannya. Bisa

saja satu organisasi menyumbang dana, LSM yang lain menyumbang tenaga,
dan
lain-lain. Yang penting ada kerjasama yang baik.

· Aryana : Pemahaman. Kita mencoba menggali nilai-nilai

luhur yang tertanam di Bali. Contoh gotong royong. Ini bukan hanya
sekedar
membangun rumah, ngayah, ke sawah dan lain-lain. Padahal inti gotong
royong
sangat dalam. Contohnya teman-teman yang berkumpul disini, di AK center

ini. Semua tanpa modal, tapi dengan gotong royong yang baik, akhirnya
bisa
berdiri bangunan yang seperti sekarang. Gotong royong bisa di
aktualisasikan dalam jaman sekarang. Ini adalah nilai yang luhur
sekali.
Intinya sangat dalam, tetapi saat ini kita hanya terjebak di permukaan,

karena kita hanya menerima warisan yang kolot. Gali lagi dan selami
intinya, kembangkan kreasi, sesuaikan dengan jaman sekarang. Menuju
Indonesia Baru, jati diri kita harus diperluas. Jati diri kita adalah
Bhinneka Tunggal Ika. Renungkan lagi dan terapkan dalam kehidupan
sehari-hari, di keluarga, lingkungan, masyarakat dan negara.

· Moderator : Gotong royong (yang disebut Bung Karno


sebagai
Ekasila) adalah nilai kebersamaan yang akan mengantar kita ke Indonesia

yang baru. Kita jangan sampai keluar dari semangat tersebut. Kita bisa
mulai dari lingkungan terkecil kita, yaitu kita dan keluarga kita. Kita

harus selalu bertanya apa yang dapat kita lakukan saat ini. Budaya
adiluhung harus selalu dipertahankan. Lepaskan tradisi yang tidak
sesuai
dengan jaman. Merevitalisasi budaya Bali harus dimulai dari lingkungan
yang
terkecil. Yang mencintai kesatuan Indonesia harus terus mengumandangkan
hal
tersebut. SAATNYA KITA BERSUARA.
Acara dilanjutkan dengan lagu2 kebangsaan yang dibawakan oleh The
Torchbearers dan ditutup sebuah role play yang bertemakan kebangsaan
yang
mengundang tawa teman2 yang hadir pada saat itu.

Namaste
Hardita

Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/anandkrishna/

›? Prev by Date: c    


  
›? Next by Date: c !

  " !#$
 $

% 
›? Previous by thread:  
›? Next by thread: c !

  " !#$

 $
% 
›? Index(es):
Ô? 
Ô? & 

Anda mungkin juga menyukai