Anda di halaman 1dari 9

KONDISI FAKTUAL & KONTROVENSIONAL

MULTIKULTURAL DI INDONESIA
KELOMPOK 3
UAJ 180 MULTIKULTURALISME
SEKSI J

OLEH :

Gilbert Moniaga 2015-070-116


Kennedy Chris Sulianto 2015-070-118
Lidwina 2015-070-130
Mohammad Faiz Amanullah M. 2015-070-131
Dwi Surya Jaya Prajogo 2015-070-137
Catherine Anggraeni 2015-070-146
Yoas Agung Purnaputra 2015-070-260
Rayendra Timotius 2015-070-279
Faustina Merryl Adeboi 2015-070-280
Beby Chaesara Anadilla 2015-070-281

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


SEMESTER GANJIL 2015/2016

Indonesia adalah sebuah negara yang sangat kaya akan keberagaman. Kaya akan suku,
budaya, ras dan juga agama. Inilah yang membuat Indonesia begitu dikenal oleh negara lain
sebagai negara yang multikultur dan juga plural.
Di Indonesia kita memiliki sebuah semboyan berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan ini memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu. Semboyan ini dibuat atas kesadaran
para pahlawan kita untuk menyatukan Indonesia yang berbeda-beda ini menjadi sebuah
kekuatan. Mereka sadar bahwa jika kita mendahulukan perbedaannya maka kita tidak akan
bisa menang melawan penjajah.
Namun apakah kita mampu mempertahankan semboyan kita ini sekarang? Sepertinya
tidak begitu. Masih banyak pergolakkan-pergolakkan sosial yang disebabkan oleh isu agama
dan juga budaya. Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa mengaplikasikan
semboyan ini pada kehidupan sehari-hari kita. Sehingga tidak jarang terjadi pergesekkan
antar umat beragama dan juga antar suku yang didasari atas fanatisme atau kurangnya
komunikasi yang terjalin satu sama lain.
Atas dasar inilah, kami mencoba untuk mengangkat fakta kehidupan beragama dan
berbudaya di negara Indonesia baik dari segi positif dan juga negatif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dalam sila
pertama pancasila yang menjadi landasan negara Indonesia, sudah jelas tertuliskan sebuah
butir yang berbunyi KeTuhanan yang Maha esa. Butir ini sering sekali kita bacakan pada
saat upacara bendera.
Namun apakah kita sudah mengerti makna daripada butir tersebut? Banyak yang
membacakannya hanya sekedar formalitas kebangsaan semata. Sila pertama dalam pancasila
mengajarkan kita untuk bertaqwa dan yakin atas agama yang kita anut sesuai asas keadilan
yang beradab. Sila ini mengajarkan kita untuk bisa saling toleransi kepada sesama umat
beragama. Kita harus memiliki toleransi yang tinggi kepada agam lain agar terciptanya
sebuah lingkungan yang harmonis. Banyak yang menyalah artikan kata Esa pada sila
pertama ini sebagai sesuatu yang sifatnya monteis atau satu agama saja. Namun arti kata Esa

disini merupakan arti ke-Esaan bagi masing-masing kepercayaan yang kita yakini yang mana
menjadi hak setiap manusia di Indonesia bahkan dunia.
Bila kita memahami dan mendalami setiap butir pancasila ini, seharusnya kerukunan
beragama kita akan menjadi sangat baik. Namun apakah kenyataannya demikian? Tidak
sepenuhnya. Banyak masyarakat Indonesia yang terkadang terlalu bersifat fanatik terhadap
agamanya masing-masing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) Fanatik adalah teramat kuat
kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dsb). Sesuatu yang berlebihan akan
berdapamak buruk bagi dirinya sendiri. Dalam kasus fanatisme agama, hal ini bisa
menciptakan sebuah ketegangan atau rasa ketidaknyamanan yang dirasakan oleh satu pihak
yang merasa mengalami penekanan secara mental atau jasmani.
Seperti kita lihat bahwa terkadang masyarakat mayoritas akan berpotensi untuk
menakan minoritas. Di beberapa tempat di Indonesia, memang terjadi hal-hal yang demikian,
dimana terkadang sebuah tempat dengan mayoritas akan menekan warga yang minoritas yang
mana hal itu tidak baik. Namun pada nyatanya, hal tersebut benar adanya dan terjadi di depan
mata kita. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di beberapa tempat di
luar negeri hal ini kerap kali terjadi.
Belakangan disebuah tanah di Timur Indonesia yaitu Papua, terjadi sebuah pergesekkan
sosial yang dilatar belakangi agama. Di sebuah tempat bernama Tolikara, peristiwa yang
cukup mengagetkan ini terjadi. 17 Juli 2015, tepatnya pada saat Hari Raya Idul Fitri, hari
besarnya agama Islam, sekelompok orang-orang yang mengatasnamakan dirinya berasal dari
GIDI atau Gereja Injil Di Indonesia menyerang jamaah masjid yang sedang ingin
melaksanakan sholat Idul Fitri. Karena ketakuatan, jamaah masjid langsung berlari ke
Koramil terdekat dan berlindung. Sempat terjadi adu mulut yang berujung pada pembakaran
masjid oleh jamaah GIDI. Mereka melakukan ini karena mereka beranggapan prosesi Sholat
Idul Fitri mengganggu seminar internasional yang sedang mereka laksanakan.
Hal ini juga semakin runyam ketika ada isu beredar bahwa GIDI menyebarkan surat
berisi pelarangan semua agama termasuk islam dan agama kristen dengan denominasi lain
untuk membangun tempat ibadah di daerah Tolikara. Terlebih lagi pelarangan
menyelenggarakan kegiatan keagamaannya. Sebuah gereja Kristen Advent di distrik Paido
terpaksa tutup dan dipaksa bergabung dengan GIDI.

Hal seperti ini tidak kita harapkan untuk terjadi, namun pada nyatanya masih saja orang
yang berpikiran sempit dan mendalami ajaran agamanya dengan cara yang salah. Tidak hanya
di Tolikara, namun kasus lain seperti ancaman bom saat perayaan Natal, lalu bentrok antar
umat beragama juga kerap kali terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri,
hal itu memang benar terjadi. Namun selayaknya makhluk sosial, semestinya kita mampu
mengelola diri kita dan lingkungan kita dengan harapan mampu menciptakan suasana
harmonis di sekitar kita.
Masyarakat Indonesia juga memiliki beranekaragam budaya yang sangat kompleks.
Masyarakat

dengan

beranekaragam

budaya

biasa

dikenal

dengan

masyarakat

multikulturalisme. Namun Indonesia kerap kali direpresentasikan sebagai suatu mosaik


budaya. Mosaik budaya terdiri dari potongan-potongan budaya yang ada, yang direkatkan
menjadi suatu lukisan yang indah dan diasumsikan dengan Kebudayaan Nasional.
Pada dasarnya, multikulturalisme di Indonesia ini terbentuk karena adanya berbagai
macam faktor, seperti kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya, sosial-religions,
moral, dan geografi yang beranekaragam dan luas. Dari berbagai macam faktor tersebut
dibentuklah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang banyak dan beranekaragam. Setiap
daerah memiliki corak dan budaya yang mencerminkan ke-khasan masing-masing daerah.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam bentuk kegiatan sehari-hari seperti upacara
ritual, pakaian adat, kesenian, bahasa, dan tradisi lainnya. Dengan adanya ciri khas tersebut
membuat setiap daerah memiliki etnis yang berbeda-beda pula.
Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berdaulat, telah memiliki sejarah budaya yang
cukup panjang dan membanggakan, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia dikenal di masyarakat dunia sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan
budaya luhur. Dan dalam konsep multikulturalisme ini terdapat kaitan yang erat bagi
pembentukan masyarakat yang berlandaskan pada Bhinneka Tunggal Ika, dimana yang
dimaksud adalah walaupun berbeda-beda suku dan bangsa tetapi tetap satu.
Berikut ini kami kami angkat sebuah catatan kelam Indonesia mengenai pergesekkan
antar suku. Peristiwa ini diberi nama Tragedi Sampit. Tragedi Sampit adalah salah satu
contoh pelanggaran SARA yang paling besar dan membuat gempar Negara Indonesia pada
tahun 2001-an. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas keseluruh
provinsi, termasuk ibukota Palangka Raya.

Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga imigran Madura dari Pulau
Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang
oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan
lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyakwarga Madura yang juga
ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Latar belakang tragedy ini cukup sepele ada yang mengatakan karena adanya
sengketa perjudian dan saling ejek atau menghina antara murid yang bersuku Dayak dengan
yang bersuku Madura. Tragedi ini membuktikan bahwa tak selamanya Pancasila bias menjadi
pemersatu segala suku, ras, dan etnis di Indonesia. Pada dasarnya, setiap suku, ras dan etnis
memiliki pandangan, pemikiran serta kebudayaan yang berbeda tentang bagaimana mereka
melakukan kegiatan sehari-harinya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
kesalahpahaman atau masalah antar etnis kita harus saling menghormati dan menghargai
perbedaan itu. Jika kita tidak biasa menghormati dan menghargai perbedaan tersebut
mungkin hal seperti ini akan terulang setiap harinya.
Walaupun pemerintah Indonesia telah mengatur dan memberikan hak penuh kepada
setiap warga Indonesia mengenai multikulralisme seperti yang tertulis pada Pasal 32 ayat 1
dan 2 UUD 1945 Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Dan pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaan itu. Tetap akan sangat sulit untuk mempertahankan dan
memelihara perbedaan tersebut jika kita tidak bisa saling menghormati dan menghargai, dan
yang terpenting toleransi.
Dengan berbagai kebudayaan ini menjadikan ciri bangsa Indonesia yang majemuk
(pluralistik) yang terdiri dari berbagai macam budaya membuat suatu budaya menjadi ada
yang dominan dan ada yang kurang dominan. Walaupun kelompok dengan keberagaman
etnis dan agama ini hidup dalam wilayah sosio-politik yang sama dan berbaur dalam wilayah
publik yang sama tetapi tetap hidup dalam sekat budaya nya masing-masing. Hal tersebut
membuat suatu kelompok tertentu dengan berbagai macam keberagaman budaya dan agama
menjadi berbeda-beda pendapat yang kerap kali menimbulkan berbagai macam argument dan
konflik.

Mengapa masih saja sering terjadi konflik? Hal tersebut dikarenakan konflik-konflik
terjadi bukan karena perbedaan saja, melainkan adanya faktor-faktor lain yang membuat
perbedaan itu menjadi suatu alat untuk menimbulkan konflik kekerasan, padahal perbedaan
itu tidak selalu menimbulkan konflik kekerasan. Namun salah pengertian dan upaya
penyeragaman antar budaya dan agama masing-masing inilah yang perlu diperhatikan.
Ada berbagai macam fakta dan fenomena mengenai pengertian dan penyeragaman
kehidupan beragama dan berbudaya di negara Indonesia yang berbeda-beda baik dari segi
positif dan juga negatif. Salah satu fenomena yang bisa diambil adalah Kerusuhan Mei 98,
dimana ketika Indonesia yang sedang mengalami krisis moneter yang menyebabkan negara
tidak stabil. Dimana percobaan penggulingan pemerintahan, penjarahan, dll. Indonesia di saat
itu benar benar berada pada situasi genting. Di kala itu masalah etnis sangat parah. Dimana
sebagian rakyat Indonesia mengambil keuntungan dari krisis negara. Penjarahan terjadi
dimana-mana. Tetapi di sini masalah utama adalah korban nya. Semua korbannya adalah
orang di luar agama Islam. Di sini konflik agama dan etnis menjadi alasan mereka melakukan
penjarahan. Mereka menganggap orang di luar agama Islam itu yang menyebabkan masalah
di Indonesia. Dimana pada jaman itu memang ekonomi di Indonesia dikuasai oleh etnis
Tionghua. Sehingga mereka menganggap etnis Tionghua lah penyebab inflasi di Indonesia. di
sini yang di tekankan adalah kurangnya sosialisasi penyuluhan di Indonesia. Karena rata-rata
yang melakukan penjarahan adalah rakyat menengah ke bawah. Di asumsikan juga ada
dalang di balik provokasi tersebut.
Dengan berbagai macam fakta dan fenomena yang ada, kita tidak bisa hanya melihat
dengan sebelah mata saja fenomena keberagaman budaya dan agama di Indonesia yang
bersifat negatif. Tidak sedikit juga orang-orang di beberapa daerah yang mampu
mengaplikasikan nilai Bhinneka Tunggal Ika, dengan membuat suasana yang harmonis di
lingkungan mereka pada khususnya. Hal ini bisa kita jadikan sebuah sarana pembelajaran
atas indahnya keberagaman dan keharmonisan.
Di Bali, lebih tepatnya di Nusa Dua, ada sebuah komplek tempat peribadatan yang
berisikan 5 bangunan ibadah. Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja katolik Paroki Maria
Bunda segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Dua, dan
Pura Jagatnatha. Sungguh indah dan damainya pemandangan kompleks pusat peribadatan ini.
Mereka bisa saling bertoleransi mengenai ritual peribadatan masing-masing agama. Bahkan
mereka rela dan senang untuk saling membantu saat salah satu agama sedang merayakan hari

besarnya. Mereka yang tidak merayakan tidak segan untuk bergotong royong dan membantu
agar acaranya berjalan lancar. Sungguh bukan pemandangan yang sering kita lihat
dikebanyakan tempat.
Di kota lain didekat Pulau Sumatera yaitu Bangka Belitung, lebih spesifiknya adalah
di kampung Tanjung, kecamatan Muntok, Bangka Belitung. Disana terdapat 2 buah bangunan
ibadah yang telah berdiri selama 130 tahun yaitu Masjid Jami dan Klenteng Kong Fuk Miau.
"Kami tidak perlu membuktikan apa-apa, kehidupan bersama yang harmonis secara natural
selama 133 tahun adalah bukti sejarah betapa toleransi beragama bukan sekedar basa-basi,"
kata So Chin Siong (Antarnews.com, 26 Desember 2012).
Hal yang sangat mereka perhatikan adalah waktu peribadatan masing-masing agama.
Terkadang jadwal yang bertabrakan adalah sholat Jumat, dimana pada saat itu klenteng
sedang melakukan latihan barongsai. Namun saat ibadah dimulai tentunya mereka rehat
sebentar sembari menunggu ibadah selesai. Toleransi, adalah kata yang cukup
menggambarkan kesatuan dan juga kedamaian yang mereka jalani selama 130 tahun.
Kedua cerita diatas merupakan bukti bahwa tidaklah semua keragaman di Indonesia
berujung pada sesuatu yang jelek atau konflik. Sebagai buktinya, mereka berasal dari agama
yang berbeda dan tidak menutup kemungkinan mereka berasal dari etnis atau suku yang
berbeda pula. Namun mereka bisa hidup berdampingan dengan aman, nyaman, dan tentram.
Apakah semuanya bisa seperti mereka? tentu saja bisa. Semua hanya soal hati kita
yang dan pikiran kita yang mau terbuka dengan perbedaan. Kita memang berbeda, tapi
janganlah perbedaan ini menjadi sebuah tembok pembatas kita untuk saling merangkul dan
bergandengan tangan sebagai sebuah negara yang bersatu.
Kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan. Gus
Dur( profilpedia.com)
Inilah ucapan yang dikatakan oleh presiden keempat kita, Alm. Bapak Abdurrahman
Wahid. Beliau percaya bahwa siapapun kita dan darimanapun suku, etnis, dan agama kita,
kita berhak untuk bisa bersatu di negara Indonesia ini. Beliau menghimbau seluruh
masyarakat untuk bisa menerima perbedaan dan menjadikannya sebuah kekuatan. Semangat
inilah yang harusnya kita bawa hingga sekarang. Pandangan dan perspektif beliau mengenai
multikultural di Indonesia patut dicontoh dan diterapkan.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh.
Menurut kami inilah Indonesia, kita semua bagaikan sapu lidi yang mana bila diikat secara
banyak akan mengahasilkan kekuatan yang besar dan sulit untuk dipatahkan. Namun apabila
kita tercerai berai, maka kita akan mudah dipatahkan satu persatu.
HIDUP INDONESIA DAN JAYALAH NEGERIKU !

Daftar Pustaka
http://www.academia.edu/1153090/Jatidiri_Budaya_dalam_Masyarakat_Multikultur
Molan, Benyamin, dkk. 2015. Multikulturalisme. Jakarta: Indeks.
ishttp://www.kompasiana.com/kajok/menjadi-saksi-tragedi-sampit-18-februari-

2001_5520c6e0813311f77319fb52
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/07/17/nrmwpw-dmiimbau-umat-islam-tak-terprovokasi-pembakaran-masjid-di-papua

Anda mungkin juga menyukai