Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fly Ash Batubara

Pada Saat ini penggunaan batubara di kalangan industri semakin meningkat

volumenya, karena harga nya yang relatif murah dibandingkan dengan harga bahan

bakar minyak untuk industri. Penggunaan batubara sebagai sumber energi pengganti

BBM, di satu sisi sangat menguntungkan, namun di sisi lain dapat menimbulkan

masalah. Masalah utama dari penggunaan batubara ialah abu batubara yang

merupakan dari hasil sampingan pembakaran batubara. Sekitar 2-10 % akan

menghasilkan abu terbang dalam penggunaan batubara. Pada saat ini, pengelolaan

limbah abu batubara hanya terbatas pada penimbunan di areal pabrik (ash disposal).

Partikel yang halus amorf merupakan bagian abu batubara yang dihasilkan dari

pembakaran batubara. Proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler)

akan membentuk dua jenis abu, yakni abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom

ash). Di dalam abu batubara tedapat abu dasar 10-20% dan abu terbang 80-90%. Alat

electric precipitator ialah untuk menangkap abu terbang yang dari proses

pembakaran batubara sebelum dibuang ke udara melalui cerobong. (Mira Setiawati

2018).
Gambar 2.1 Abu Terbang (Fly Ash Batubara)

Selama sejauh ini, berbagai macam pemanfaatan dari fly ash dengan

mengetahui unsur dan mineralnya adalah sebagai bahan mentah (raw material) untuk

produksi semen dan bahan konstruksi. Salah satu manfaat dari limbah fly ash

batubara adalah dengan dibuatnya menjadi adsorben. Fly ash sebagai adsorben

memiliki keuntungan dengan harga yang sangat ekonomis dan juga baik digunakan

dalam pengelolaan limbah gas maupun cair, dan dapat menyerap logam-logam berat

yang terkandung di dalam limbah. Proses aktivasi fisis dan aktivasi kimia dilakukan

untuk mengelolah kembali fly ash sebagai bahan baku. Proses pembakaran pada suhu

tinggi merupakan aktivasi fisik kemudian pencampuran antara fly ash dengan larutan

asam maupun basa merupakan aktivasi kimia.(Marisa Nuafa, 2018)

Pada pembakaran batubara juga dapat menghasilkan gas-gas oksida

belerang (SOx), oksida nitrogen (NOx), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO)

dan karbon dioksida (CO2). Fly ash batubara akan ditangkap dengan electrostatic

precipitator (ESP) sebelum dibuang ke udara melalui cerobong (Firdaushanif, 2019).

Di dalam fly ash memiliki komponen batubara meliputi silika (SiO2),

alumina (Al2O3), serta besi oksida (Fe2O3). Sisanya adalah karbon, kalsium, dan
magnesium. Rumus empiris abu terbang (fly ash) batubara ialah Si1.0 Al0.45 Ca0.51

Na0.047 Fe0.039 Mg0.020 K0.013 Ti0.011. Fly ash batubara mempunyai komponen fasa amorf

seperti silica (SiO2), alumina (Al2O3) dan komponen fasa kristalin seperti α-quart

(SiO2) dan mullit (2SiO2.3AlO3), hematite (α-FeO3) dan magnetit (Fe3O4). (Yuliani

Tri Lestari, 2019).

Pozolanik ialah bahan yang mengandung silica atau alumino silica secara

sendiri, tidak atau sedikit mempunyai sifat yang mengikat seperti semen, akan tetapi

dalam bentuknya yang sangat halus dengan adanya air, maka senyawa tersebut akan

bereaksi secara kimia dengan hidroksa-hidroksa alkali maupun alkali tanah

temperatur ruang yang membentuk atau membantu terbentuknya senyawa-senyawa

yang mempunyai sifat seperti semen (Zahrul Mufrodi, dkk 2018)

Fly ash batubara juga mempunyai sifat-sifat yang sangat menguntungkan di

dalam menunjang pemanfaatannya yaitu sebagai berikut : (Yuliani Tri Lestari, 2019)

1. Sifat fisik, yakni warnanya yang abu-abu keputihan dan ukurannya sangat halus

yaitu sebesar 88%.

2. Sifat Kimia, mengandung unsur kimia sntara lain silika, alumina, fero oksida dan

kalsium oksida

Menurut penelitian Chemical Engineering Alliance and Innovation (ChAIN)

Center di tahun 2006, abu terbang memiliki karakteristik yang mirip dengan karbon

aktif. Penelitian tersebut menyatakan abu terbang atau fly ash membanjiri syarat

layak dapat digunakan sebagai adsorben karena luas permukaan dan pori-porinya

yang potensial. Sedikit melakukan campur tangan dengan memperbesar luas


permukaan dalam aktivasi kimia dengan penambahan asam pori-porinya akan

semakin membesar. Dengan demikian, penggunaan pelarut H2SO4 diupayakan untuk

memperbesar pori-pori abu terbang fly ash batubara. Abu terbang memiliki potensi

yang cukup besar sebagai absorben yang sangat ramah lingkungan dan nilai yang

ekonomis. Fly ash batubara dapat menjadi pengganti karbon aktif dan juga zeolit.

Hingga kini, abu terbang dimanfaatkan dalam skala kecil karena kapasitas adsorpsi

yang masih rendah. Modifikasi sifat fisik maupun kimia dapat meningkatkan

kapasitas adsorpsi abu terbang. (Zahrul Mufodi, 2018)

2.2 Adsorben

Adsorben ialah zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari suatu

fase cair. Di dalam adsorben terjadi adsorpsi di dinding pori-pori yang terletak

didalam partikel tertentu, karena mempunyai pori-pori sangat kecil dan luas

permukaan nya yang ada didalam di bagi menjadi beberapa orde besaran lebih besar

dari pada permukaan luar dan bisa mencapai 2000m2/gr. Permisahan ini terjadi

karena perbedaan bobot molekul karena perbedaan polaritaslah menyebabkan

sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat dari pada molekul

lainnya (Tri Widyanto dkk 2017)

1. Adsorben Polar, atau disebut juga hydrophilic. Jenis adsorben yang

termasuk ke dalam kelompok ini ialah silika gel, alumina aktif, zeolit, dsb.

2. Adsorben non Polar, atau disebut juga hydrophobic merupakan polimer

adsorben dan karbon aktif.


Adsorben dari tumbuhan yang ramah lingkungan dan bahan hasil limbah

industri merupakan jenis adsorben yang baik untuk digunakan. Syarat adsorben antara

lain memiliki luas permukaan yang besar, volume internal yang besar yang

ditunjukkan dengan porositas (Herry Purnama, 2018)

Beberapa adsorben yang umumnya dapat diigunakan dalam pengolahan

limbah cair industri adalah (Herry Purnama, 2018) :

1. Alumina

2. Silica gel

3. Karbon aktif

4. Zeolit

2.2.1 Abu Terbang (Fly Ash) Batubara Sebagai Adsorben

Pada PLTU PT. Bukit Asam (Persero) dibangun untuk pemenuhan energi

listrik di tambang PT Bukit Asam, misalnya seperti tambang air laya yang banyak

menggunakan energi listrik untuk operasionalnya. Penanganan fly ash yakni dikirim

menggunakan udara bertekanan ke tempat pembuangan fly ash yang ada di luar

ruangan yang hanya dibatasi dengan pagar yang menjulang tinggi disetiap sisinya.

Jumlah fly ash tersebut demikian banyaknya sehingga menjadi masalah dalam

pembuangannya. Adapun komposisi fly ash batubara yang terdapat pada PLTU PT.

Bukit Asam adalah sebagai berikut:


Tabel 2.1 Komposisi abu terbang (Fly Ash) Batubara PLTU PT. Bukit Asam
(Persero), Tbk

Parameter Analisis Satuan Hasil Analisis

Silika (SiO2) %wt 50,00 – 75,00

Iron (Fe2O3) %wt 3,00 – 7,00

Aluminium Oksida (Al2O3) %wt 10,00 – 33,00

Calcium Oksida (CaO) %wt 1,00 – 3,00

Magnesium Oksida (MgO) %wt 0,50 – 1,50

Natrium Oksida (Na2O) %wt 0,60 – 3,50

Kalsium Oksida (K2O) %wt 0,20 – 0,70

(Sumber : Data Analisis Abu Batubara PLTU PT. Bukit Asam (Persero) 2018)

Saat ini umumnya fly ash digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu

bahan campuran pembuat beton karena nilai nya yang ekonomis dan baik nya ialah

mengurangi dampak buruk pada lingkungan. (Yuliani Tri Lestari 2019).

Abu terbang dikonversi menjadi adsorben adalah contoh pemanfaatan

efektif dari fly ash. Keuntungan adsorben berbahan baku fly ash batubara ialah

biayanya yang sangat murah dan ekonomis. Adsorben banyak sekali manfaat nya

antara lain penyisihan logam berat, limbah zat warna berbahaya, dan senyawa organik

pada pengolahan limbah. Adsorben Fly ash dapat dipakai secara langsung atau dapat

juga dilakukan aktivasi kimia atau fisika terlebih dahulu. (Yuliani Tri Lestari 2019)
2.2.2 Aktivasi Fly Ash Batubara dengan Larutan H2SO4

Tabel 2.2 Sifat Fisika Asam Sulfat

Rumus Molekul H2SO4

Berat Molekul 98,08 g/gmol

Warna Tidak Berwarna

Bentuk Cair

Densitad Standar 45 oC 2,046 gr/cm3

Titik leleh 10,31oC

Titik didih 336,85oC

(Sumber : Sander, 2017)

Asam sulfat merupakan salah satu senyawa korosif dan berbentuk cairan

kental yang banyak digunakan dalam industri. Sebelum proses adsorpsi terlebih dulu

aktivasikan fly ash batubara dengan asam sulfat. Dalam penelitian ini asam sulfat

akan digunakan sebagai aktivator karena memiliki jumlah ion H+ yang lebih banyak

dari asam-asam lainnya, serta mempunyai sifat higroskopis yang dapat menyerap

kandungan air yang terdapat pada fly ash. (Yuliani Tri Lestari 2019)

2.3 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan peristiwa kesetimbangan kimia dikarenakan kadar zat

yang teradsorpsi atau adsorbat berkurang oleh material pengadsorpsi atau adsorben

maka terjadi secara kesetimbangan lalu secara teoritis tidak terjadi penyerapan yang
sempurna adsorbat oleh adsorben. Bahan yang diserap dapat disebut adsorbat atau

solute, sedangkan bahan penyerapnya disebut adsorben. Menurut Atkins (2018)

adsorpsi dibagi menjadi dua, yaitu : (Yuliani Tri Lestari 2019)

1. Adsorpsi fisika, sifatnya yang reversibel, terjadi pada temperatur rendah.

Terkait akan dengan gayanya van der Waals, jika gaya tarik antara zat

terlarut dan juga pelarut lebih besar daripada gaya tarik antara zat terlarut

dengan pelarut, maka zat terlarut akan teradsorpsi pada permukaan

adsorben. Proses adsorpsi ini sangat mirip dengan kondensasi dan biasanya

terjadi pada suhu rendah. Selama proses ini, gaya yang menahan molekul

fluida ke permukaan padat relatif lemah, setara gaya kohesif (gaya van der

Waals) molekul dalam fase cair, dan setara dengan panas zat cair.

kondensasi dari gas menjadi cair. (Adamson, 2018).

2. Adsorpsi kimia, adsorpsi kimia bersifat ireversibel, berlangsung pada

temperatur tinggi dan tergantung pada energi aktivasi. Karena adanya ikatan

kimia, lapisan akan terbentuk pada permukaan adsorben, dan pembentukan

lapisan ini akan menghambat proses adsorpsi lebih lanjut dari adsorben,

sehingga akan mengurangi efek adsorpsi. (Adamson, 2018).

Pemilihan proses adsorpsi yang digunakan untuk pemisahan tergantung pada

kondisi agregasi campuran yang akan dipisahkan (padat, cair, gas), konsentrasi zat

yang akan dipisahkan dan adsorben yang paling sesuai. Ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi proses adsorpsi, diantaranya: (Herry Purnama 2018)


a. Ukuran adsorpsi

b. Ukuran batubara. Semakin kecil adsorben, semakin tinggi tingkat

adsorpsi.

c. Konsentrasi adsorbat (bahan teradsorpsi)

d. Suhu. Pada suhu tinggi, laju adsorpsi meningkat

e. pH, keasaman yang baik bervariasi antara 8 dan 9.

f. Waktu kontak Semakin lama waktunya, semakin baik pengaruhnya

terhadap pewarna.

2.3.1 Kinetika Adsorpsi

Adsorpsi terjadi pada permukaan padatan karena gaya tarik menarik atau

molekul pada permukaan padatan. Molekul pada permukaan zat padat atau cair

mengerahkan daya tarik internal karena tidak dapat diseimbangkan. Adanya gaya-

gaya tersebut menimbulkan gaya adsorpsi pada zat padat maupun cair. Kinetika

adsorpsi dapat diartikan sebagai laju penyerapan cairan oleh adsorben selama periode

waktu tertentu dan dapat ditentukan dengan mengukur perubahan konsentrasi zat

yang teradsorpsi dan menganalisis nilai k. Laju adsorpsi mempengaruhi kinetika

adsorpsi.

Laju atau besarnya adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa hal yang dapat

mempengaruhi adsorpsi, yaitu sebagai berikut:


1. Jenis adsorben

Contoh adsorben yang umum digunakan adalah karbon aktif.

2. Jenis zat yang diserap (adsorbat)

3. Permukaan adsorben

Semakin besar luas permukaan adsorben, semakin cepat kemampuan

efektifnya menyerap kontaminan, sehingga larutan menjadi, dan

cenderung, lebih bersih dari kontaminan tersebut.

4. Konsentrasi zat yang diserap (adsorbate)

Hasil terbaik adalah semakin tinggi konsentrasi, semakin banyak ion yang

terbentuk.

5. Suhu

Semakin tinggi suhunya, semakin sulit untuk merekam.

6. Kecepatan rotasi

Semakin tinggi kecepatan putaran, semakin cepat larutan bersih

2.3.2 Mekanisme Adsorpsi

Mekanisme adsorpsi terdiri dari empat langkah:

1. Kirim molekul adsorbat ke lapisan membran yang mengelilingi adsorben.

2. Transmisi penyerapan melalui lapisan membran;

3. Transmisi bahan penyerap melalui pori-pori bahan penyerap;

4. Adsorpsi adsorbat pada permukaan adsorben.


2.3.3 Hukum Lambert-Beer

Bunyi hukum Lambert-Beer, yaitu: "' Seberkas cahaya monokromatik Po

menembus medium setebal b cm dan konsentrasi c. Energi cahaya i direduksi menjadi

Pt melalui interaksi antara foton dan materi. Energi yang direduksi adalah energi yang

diserap (A) sehubungan dengan konsentrasi. " Dengan rumus berikut:

Eλ = log10 ( I0/I1) = ελ . c . d

I0 : Intensitas cahaya yang masuk (satuan : W.m-2)

I1 : Intensitas cahaya yang ditransmigrasikan (satuan : W.m-2)

c : Konsentrasi sbstansi yang mengasorpsi didalam larutan (satuan : mol.I-1)

Eλ : Koefisien atenuasi molar untuk panjang gelombang λ

d : ketebalan lapisan yang diintansi cahaya (satuan : m)

2.4 Limbah Cair

Limbah cair adalah air bekas dari berbagai proses pemakaian yang telah

mengandung pengotor berupa senyawa organik dan anorganik. Secara umum, limbah

atau limbah cair memiliki volume yang lebih besar daripada jenis limbah lainnya dan

memiliki kisaran konsentrasi polutan yang lebih bervariasi, termasuk: minyak,

alkohol, fenol, pewarna sintetis, dan logam berat. Secara umum, air yang dibutuhkan

harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain bebas dari bahan pencemar berbahaya

dan mengandung sekurang-kurangnya bahan pencemar yang tidak diinginkan dengan


ambang batas minimum yang sesuai dengan nilai baku mutu yang digunakan oleh

peraturan pemerintah atau lembaga terkait lainnya. (Sri Martini dkk., 2020)

2.4.1 Karakteristik Limbah Cair

Untuk mengetahui karakteristik limbah cair, harus diketahui 3 (tiga)

karakteristik, yaitu: (Hasminar Rachman Fidiastuti dkk., 2018)

1) Ciri fisik

a. Total Padatan (TS)

Total padatan adalah padatan dalam air yang terdiri dari bahan

organik terlarut, mengendap atau tersuspensi dalam air.

b. Total padatan tersuspensi (TSS)

TSS adalah berat total lumpur kering dalam efluen setelah

disaring melalui membran 0,45 µm, dalam satuan mg/L (Sugiharto,

1987). TSS, atau padatan tersuspensi, adalah zat padat yang

menyebabkan kekeruhan air, tidak larut atau segera mengendap, dan

terdiri dari partikel yang ukuran atau beratnya lebih kecil dari

sedimen.

c. Warna

Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, namun seiring

berjalannya waktu dan dengan meningkatnya kondisi anaerobik, warna

limbah dapat berubah dari abu-abu menjadi hitam. Warna air

disebabkan oleh ion logam besi dan mangan (alami), humus,


fitoplankton, air dan limbah industri. Cat air terbagi menjadi dua jenis,

yaitu:

1) Warna sejati (true color) yang disebabkan oleh bahan terlarut.

2) Warna semu akibat bahan tersuspensi, termasuk bahan koloid.

d. Kekeruhan

Salah satu penyebab kekeruhan adalah bahan tersuspensi

organik dan anorganik yang mengapung di air dan terurai. Kekeruhan

menunjukkan sifat optik air yang menyebabkan cahaya dibiaskan di

dalam air. Kekeruhan membatasi penetrasi cahaya ke dalam air.

e. Suhu

Suhu merupakan parameter yang sangat penting karena

mempengaruhi reaksi kimia, laju reaksi, kehidupan akuatik dan

penggunaan air dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Suhu air atau

peningkatan suhu dapat memiliki konsekuensi sebagai berikut:

1. Jumlah oksigen terlarut dalam air berkurang.

2. Meningkatkan kecepatan reaksi kimia.

3. Gangguan kehidupan organisme akuatik.

d. Bau

Penyebab bau adalah udara yang tercipta saat zat membusuk

atau zat ditambahkan ke limbah. Bau khas limbah disebabkan oleh

penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah dan

pelepasan gas yang menimbulkan bau tidak sedap, seperti sulfida


atau amonia. Hal ini disebabkan pencampuran nitrogen, belerang dan

fosfor sebagai hasil degradasi protein dalam limbah. Pengendalian

bau sangat penting karena berkaitan dengan aspek estetika.

e. Minyak dan lemak

Minyak dan lemak adalah zat organik yang persisten dan sulit

dihancurkan oleh bakteri. Karena minyak memiliki berat jenis yang

lebih rendah daripada air, ia membentuk lapisan tipis di permukaan

air dan menutupi permukaan, sehingga membatasi akses oksigen ke

air.

2) Sifat Kimia

a. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

BOD dapat diartikan sebagai jumlah oksigen terlarut yang

dibutuhkan oleh organisme hidup untuk mengurai atau mengoksidasi

bahan-bahan buangan di dalam air.

b. Chemical Oqygen Demand (COD)

COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam air untuk

proses reaksi kimia untuk memecah polutan yang ada. Angka COD

adalah ukuran pencemaran air yang disebabkan oleh zat anorganik.

c. Keasaman (pH)

Keasaman air diukur dengan pH meter. Keasaman ditentukan

oleh tinggi atau rendahnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. pH

dapat mempengaruhi kehidupan biologis di dalam air. Jika terlalu


rendah atau terlalu tinggi, dapat mematikan kehidupan

mikroorganisme. PH normal untuk organisme air adalah 6-8.

d. Dissolved Oxygen (DO)

DO adalah tingkat oksigen terlarut yang diperlukan untuk

respirasi mikroba aerobik. Oksigen terlarut dalam air sangat tergantung

pada suhu dan salinitas. Keadaan DO adalah kebalikan dari keadaan

BSB. Semakin tinggi BOD, semakin rendah DO. Kadar oksigen

terlarut dalam air dapat menjadi indikasi adanya organisme akuatik.

Kadar oksigen terlarut yang tinggi menunjukkan kualitas air yang lebih

baik.

e. logam berat

Air sering terkontaminasi dengan berbagai komponen

anorganik, termasuk berbagai logam berat yang sangat berbahaya.

Ketika konsentrasi logam berat melebihi baku mutu, terjadi

keracunan. Oleh karena itu, deteksi dan pengolahan limbah yang

mengandung logam berat sangat penting. Logam berat berbahaya dan

sering mencemari lingkungan terutama merkuri (Hg), timbal (Pb),

arsenik (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), kromium (Cr) dan nikel

(Ni). Logam-logam ini diketahui terakumulasi dalam organisme dan

bertahan di dalam tubuh sebagai racun kumulatif untuk jangka waktu

yang lama.
3. Sifat biologis

Digunakan untuk mengukur kualitas air, khususnya kualitas air yang

kita gunakan baik air minum maupun air bersih.

2.4.2 Limbah Cair Tekstil

Salah satu industri terbesar di dunia adalah industri tekstil. Proses dalam

industri tekstil banyak menggunakan air, pewarna, dan bahan kimia yang digunakan

dalam pembuatan produk tekstil. Karena Menggunakan bahan-bahan ini memastikan

bahwa hasil akhir dari proses ini melimpah Sampah yang tidak dapat digunakan

kembali. Industri Penghasil limbah ini adalah industri tekstil. (Zairinayati dkk., 2022)

Kain Jumuta merupakan salah satu Kerajinan Tekstil yang ada di Kota

Palembang, Kecamatan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu 1 Kertapati,

Palembang. Industri ini termasuk industri yang harus dikembangkan terlebih dahulu

karena berperan penting dalam perekonomian Palembang. Salah satu tahapan dalam

pembuatan kain Hybutan adalah proses pencelupan, dimana kain direndam dalam

pewarna yang berbeda. (Lisa Nopilda 2019)

(Sumber : Saka,2018)

Gambar 2.2 Proses Pencelupan Kain Jumputan


Proses ini biasanya masih dilakukan secara manual dan selebihnya dari hasil

Pewarna tersebut biasanya langsung mengalir ke sungai dan menjadi limbah.

(Sumber : Saka, 2018)

Gambar 2.3 Limbah Tekstil

Limbah cair dari kain jumputan mengandung zat-zat yang sangat berbahaya

bagi lingkungan, karena sebagian besar bahan yang terkandung dalam limbah ini

adalah zat pewarna sintetik.

Menurut Nopilda (2019), dalam proses industri, kain jumputan banyak

mengandung zat warna logam antara lain Pb (timah) dan Cd (kadmium). Limbah cair

yang dihasilkan kerajinan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan jika tidak

diolah dengan baik. (Lisa Nopilda, 2019)

Keputusan No. 08 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri, Hotel, Rumah

Sakit, Rumah Tangga, dan Operasi Batubara yang dikeluarkan oleh Gubernur

Sumatera Selatan pada tahun 2012 antara lain sebagai berikut:


Tabel 2.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil Kerajinan Khas Palembang
berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 08 Tahun 2012

No Parameter Baku Mutu Bahan pencemaran air


(Pencelupan)
1 pH 6,0-9,0

2 COD 150 mg/L 3,0

3 BOD 60 mg/L 1,2

4 TSS 50 mg/L 0,75

1.4.3 Kandungan dan Karakteristik Limbah Cair Tekstil

Limbah tekstil mengandung banyak zat yang sangat berbahaya jika masuk

ke lingkungan, terutama air. Saat ini terdapat beberapa zat warna sintetik,

penggunaan zat warna, daya tahan warna yang diinginkan dan faktor teknis dan

ekonomis lainnya. Pewarna yang biasa digunakan pada proses pencelupan biasanya

tidak meresap sempurna ke dalam bahan tekstil, sehingga masih terdapat residu

pewarna pada air limbah. Akibatnya, air limbah tekstil menjadi polutan yang

berwarna-warni dan mudah dikenali ketika dibuang langsung ke saluran air umum.

Masalah lingkungan terbesar dalam industri tekstil adalah limbah yang dihasilkan

selama pencelupan. Pewarna, logam berat, dan konsentrasi garam yang tinggi

mencemari air. (Haryono, dkk 2018)


1.4.4 Kualitas Limbah

Sampah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia beraneka ragam dan masing-

masing memiliki karakteristik tersendiri. Properti dikenal dengan parameter. Saat

sampah masuk ke lingkungan, ternyata lingkungan mampu menetralisirnya.

Kandungan bahan yang terkandung dalam limbah dapat diabaikan karena ukurannya

yang kecil. Ada beberapa parameter pencemaran yang menyebabkan perubahan

kualitas lingkungan tetapi tidak menimbulkan pencemaran. Definisi baku mutu

limbah harus dikaitkan dengan kualitas lingkungan. Perubahan konsentrasi limbah

menyebabkan perubahan kondisi lingkungan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas sampah. Faktor yang

mempengaruhi kualitas sampah adalah jumlah sampah, konsentrasi pencemar dan

frekuensi pembuangan sampah. (Haryono, dkk 2018)

1. Banyaknya sampah, salah satu yang dapat mempengaruhi kualitas sampah

adalah jumlah sampah. Limbah berbahaya ketika sejumlah besar limbah hadir

di lingkungan. Begitu pula sebaliknya, jumlah limbahnya sedikit, sehingga

limbahnya tidak berbahaya.

2. Konsentrasi polutan mempengaruhi konsentrasi polutan dan kualitas limbah.

Limbah tergolong berbahaya jika mengandung polutan berbahaya seperti

logam berat. Jika limbah tersebut tidak mengandung bahan pencemar

berbahaya, berarti limbah tersebut tidak berbahaya.

3. Frekuensi pembuangan limbah, jika frekuensi pengolahan limbah

menimbulkan masalah. Jika rendah, limbahnya tidak berbahaya. Ketika terlalu


banyak polutan yang masuk ke lingkungan sehingga lingkungan tidak dapat

lagi menetralisirnya. Dengan membatasi konsentrasi dan intensitas

pembuangan limbah, lingkungan dapat menahannya setiap saat. Toleransi ini

menunjukkan kemampuan lingkungan untuk menetralkan atau menghilangkan

kontaminan untuk mencegah perubahan kualitas yang negatif.

2.5 COD (Chemical Oxygen Demand)

COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan

untuk mengurai semua bahan organik di dalam air, karena bahan organik dipecah

secara kimiawi secara selektif dengan oksidan kuat kalium dikromat dalam kondisi

asam atau panas menggunakan katalis perak sulfat. Sehingga semua jenis bahan

organik baik yang mudah terurai maupun yang kompleks dan sulit terurai teroksidasi.

Hasil penentuan COD sering digunakan untuk mengukur beban pencemaran

limbah domestik dan industri. Berdasarkan penentuan COD, zat organik dapat

dioksidasi oleh oksidator kuat dalam kondisi asam. Ada dua metode untuk

menentukan COD:

1. permanganat, sangat bervariasi

2. Dikromat, yang paling umum digunakan karena menghasilkan tingkat

oksidasi yang lebih tinggi

Oleh karena itu, perbedaan nilai antara COD dan BOD memberikan

informasi tentang jumlah bahan organik yang sulit terurai di dalam air. Misalnya nilai

BOD dan COD sama, tetapi BOD tidak boleh lebih besar dari COD. Dalam hal ini,
gambaran COD adalah jumlah total bahan organik yang ada. (Hutami Dinar

Estikarini dkk. 2016)

Bahan sampah organik dioksidasi oleh kalium bikromat menjadi CO2 dan

H2O serta beberapa ion kromium. Larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) digunakan

sebagai sumber oksigen (zat pengoksidasi). Oksidasi bahan organik mengikuti reaksi

berikut: (Hutami Dinar Estikarini dkk, 2019)

CaHbOc + Cr2O7 + H+ Katalis CO2 + H2O + Cr3+

Dalam kasus kalium dikromat klorida, dapat menimbulkan efek yang

mengganggu karena juga teroksidasi. Reaksinya adalah:

6Cl- + Cr2O7 + 14H+ 3Cl2 + 7H2O + 2Cr3+

Jika ada klorida dalam larutan air limbah, oksigen yang dibutuhkan dalam

reaksi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Untuk mengikat klorin menjadi

merkuri klorida, merkuri sulfat harus ditambahkan menurut reaksi berikut:

Hg2+ + 2Cl- HgCl2

Bahan organik sepenuhnya teroksidasi, sehingga zat pengoksidasi K2Cr2O7

adalah reagen tambahan. Jadi, setelah dipanaskan, yang tersisa adalah K2Cr2O7 yang

dapat digunakan untuk menentukan berapa banyak oksigen yang dikonsumsi.

Kelebihan K2Cr2O7 ditentukan dengan titrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2 atau FAS

(ferrous ammonium sulfate), reaksi berlangsung sebagai berikut:

6Fe2+ + Cr2O72- + 14H+ 6Fe3+ + 7H2O + 2Cr3+


Metode standar yang saat ini digunakan untuk menentukan konsumsi

oksigen kimia (COD) adalah metode yang menggunakan oksidator kuat, kalium

dikromat, asam sulfat pekat dan perak sulfat sebagai katalis.

2.6 BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah analisis empiris yang

digunakan untuk mengukur proses biologis, khususnya aktivitas mikroorganisme

dalam air. Permintaan Oksigen Biologis (BOD) didefinisikan sebagai jumlah oksigen

yang dibutuhkan organisme untuk memecah bahan organik dalam kondisi aerobik.

Degradasi bahan organik didefinisikan sebagai organisme yang menggunakan bahan

organik tersebut sebagai bahan makanan dan memperoleh energinya dari proses

oksidasi (Berliani Indah Yuniarti et al, 2021).

Diketahui bahwa parameter uji BOD banyak digunakan untuk mengetahui

tingkat pencemaran air limbah. Faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah zat

organik yang dapat terurai, ketersediaan mikroorganisme aerob dan ketersediaan

oksigen yang diperlukan untuk proses dekomposisi (Berliani Indah Yuniarti et al,

2021).

Selama pengujian BOD, sampel yang akan diperiksa harus bebas dari udara

luar untuk menghindari pencemaran oksigen di udara luar, karena kelarutan oksigen

dalam air pada suhu 20°C dibatasi hanya ± 9 ppm.

Reaksi oksidasi dalam penelitian BOD merupakan hasil dari aktivitas

biologis. Ukuran partikel dan suhu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju
reaksi. Pada uji laboratorium berlangsung selama 5 hari dengan persentase respon

BOD yang cukup tinggi. Dalam lima hari, BOD adalah 70-80% dari total BOD

(SAWYER & MC CARTY, 1978).

Boyd (1990) menegaskan bahwa bahan organik yang terurai dalam BOD

adalah bahan organik yang siap terurai (bahan organik yang mudah terurai). Mays

(1996) mendefinisikan BOD sebagai ukuran jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh

populasi mikroba dalam air. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa

nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen di dalam air. Ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi hasil tes BOD, yaitu sebagai berikut:

 BOD kit digunakan

 Nilai pH pada saat analisis

 Suhu sampel

 Kontaminasi sampel

 Masa inkubasi

Dalam lima hari inkubasi, ada kesepakatan umum tentang penentuan BOD.

Saat mengukur BOD sampel air pada suhu 20 °C sebagai fungsi waktu, diperoleh

kurva yang hampir eksponensial, tetapi setelah kira-kira 15 hari kurva meningkat

tajam, mengurangi stabilitas indeks BOD. Karena waktu yang lama dan kurva yang

tidak rata, dapat disimpulkan bahwa insinyur lingkungan umumnya melakukan

pengujian standar selama 5 hari untuk metode BOD.


2.7 (TSS) Total Suspended Solid

Padatan tersuspensi total, sering disebut sebagai padatan tersuspensi total

(TSS), adalah total sisa padatan yang tertahan oleh filter dengan ukuran partikel

maksimum 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. TSS meliputi lumpur,

tanah liat, oksida logam, sulfida, ganggang, bakteri, dan jamur. (Agil Lestari dkk.,

2021)

Perbedaan antara total padatan tersuspensi (TSS) dan total padatan terlarut

(TDS) didasarkan pada proses penyaringan. Padatan selalu diukur sebagai berat

kering dan prosedur pengeringan harus diikuti untuk menghindari kesalahan karena

sisa kelembaban atau kehilangan bahan melalui penguapan atau oksidasi. (Agil

Lestari dkk., 2021)

Prinsip pengoperasian analisis TSS adalah: Sampel yang homogen disaring

menggunakan kertas saring berbobot. Residu yang tersisa pada filter dikeringkan

pada suhu 103-105°C hingga berat konstan. Peningkatan berat filter menunjukkan

padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menyumbat filter dan

menunda filtrasi, diameter filter perlu ditingkatkan atau volume sampel dikurangi.

Untuk mendapatkan estimasi TSS, selisih antara padatan terlarut dan total padatan

dihitung. (Agil Lestari et al, 2021)

TSS (mg/L) = (A-B) X 1000/V

Dengan pengertian: A = berat kertas saring + residu kering (mg)

B = berat kertas saring (mg)

V = volume sampel (mL)


2.8 pH

pH adalah keasaman, yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu

larutan. Ada tiga jenis parameter saat mengukur skala pH, yaitu pH asam, netral, dan

basa. (Petra Yohana Sitanggang, 2017)

Suatu larutan dikatakan bersifat asam bila jumlah ion H+ lebih banyak dari

pada ion OH–. Asam memiliki pH 7

Perhatikan gambar skala pH berikut.

Gambar 2.4 Ilustri skala pH

Semakin rendah pH, semakin asam larutan tersebut. Sebaliknya, semakin

tinggi pH, semakin basa larutan tersebut. pH netral Air netral memiliki pH 7,

mengapa demikian? Air berada dalam kesetimbangan antara molekul dan ion:

H2O ⇌ H ++ OH-

Untuk mengetahui perbedaan fisika antara larutan asam, basa, atau netral,

kita dapat menggunakan indikator. Indikator pH membantu menentukan pH

berdasarkan perubahan warna pada tingkat pH tertentu. Indikator yang umum

digunakan di laboratorium adalah indikator umum dengan perubahan warna yang


halus pada skala 1-14. Indikator universal jenis ini tersedia dalam bentuk padat dalam

bentuk kertas slide atau dalam bentuk cair. Indikator pH lain yang umum digunakan

adalah pengukur pH elektronik, yang menampilkan pH secara digital. Selain itu, ada

juga beberapa indikator alami yang dapat digunakan untuk menentukan larutan asam,

basa, dan netral.


1.9 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Pembeda Hasil penelitian


1 Avielia Pemanfaatan Fly Aktivasi Fly Pengaruh konsentrasi larutan NaOH
Putri Ash Batubara Ash dengan sebagai aktivasi kimia mampu
Wardani, Sebagai NaOH 1 M, 2 menurunkan kandungan Fe. Semakin
Safirda Material M, & 3 M. pekat konsentrasi larutan NaOH pada
Dwi Adsorben Untuk Variabel suhu penelitian ini 3 M maka semakin luas
Maulidz, Menurunkan 100o, 120o, struktur pori-pori pada abu terbang
Anang Kandungan 140o & 160o sehingga semakin banyak penyerapan
Takwant Logam FE Pada selama 1 jam terhadap logam Fe. Pengaruh suhu
o, Erwan Limbah Cair Di pada aktivasi fisika mampu
Yulianto Unit Waste menurunkan kandungan logam Fe.
(2021) Water Treatmen Semakin tinggi suhu aktivasi fisika
Plant PT POMI yaitu 160o pada abu terbang maka
semakin besar pori-pori yang terbuka
sehingga kemampuan dalam
menyerap kandungan logam Fe
semakin banyak. Hasilnya penurunan
kandungan logam Fe terbaik pada
NaOH 3 M dengan suhu 160o
didapatkan penurunan logam Fe
sebesar 4,459 ppm dengan
konsentrasi logam Fe sangat kecil
sebesar 0,001ppm.
2 Zahrul Adsorpsi Zat Waktu Adsorpsi zat warna tekstil oleh abu
Mufrodi, Warna Tekstil pengadukan : terbang menggunakan variasi massa
Nur Dengan 15 Menit fly ash dan suhu operasi dengan
Widiastu Menggunakan Massa Fly interval waktu pengadukan 15 menit.
ti, Ranny Abu Terbang Ash Batubara Adsorpsi di ukur dengan
Cintia (Fly Ash) Untuk : 1,5 gram membandingkan nilai absorbansi
Kardika Variasi Massa larutan zat warna sebelum dan setelah
(2018) Adsorben Dan proses pencampuran fly ash. Data
Suhu Operasi percobaan adsorpsi menunjukkan
adanya penurunan konsentrasi zat
warna dari 0,55816 g/ml menjadi
0,232535 g/ml dengan persentasi
sebesar 32,5625% dengan nilai
optimum untuk massa fly ash terlarut
1,5 g dan suhu optimum 60 0C.
3. Nur Studi Volume Berdasarkan studi literatur mengenai
Rezky Pemanfaatan Limbah Zat hasil uji XRF untuk mengetahui
Arifatun Limbah Bottom Warna karakteristik bottom ash, didapatkan
nis, Ash Sebagai sebanyak 150 bahwa
Prismita Adsorben Zat mL dan bottom ash memiliki komposisi
Nursetyo Warna Pada waktu kandungan Si, Al, Fe, dan Ca yang
wt, Dyah Industri Tekstil pemanasan 1 lebih besar dibandingkan dengan
Margani (Studi Kasus jam komposisi senyawa lainnya
ngrum PT. TCI Variasi pH : Pembakaran 1000C memiliki
(2022) Kabupaten 2,3,4,5,6,7,8, penyerapan kapasitas adsorpsi yang
Bandung) 9 waktu lebih besar yaitu 34,694%
kontak : dibandingkan dengan pembakaran
15,30,45,60,9 500C sebesar 15,508%
0,120,180
Suhu : 50oC
dan 100oC

4 Kartika Pembuatan Volume Hasil persen (%) penurunan


Pratiwi, Membran Silika limbah cair : intensitas warna dari limbah cair
Bohari, Dari Fly Ash 25 mL industri sarung Samarinda
Rahmat Batubara Untuk menggunakan membran silika dari
Gunawa Penurunan fly ash batubara diperoleh sebesar
n (2018) Intensitas 52,68%. Pada membran sebelum
Warna Dari proses penurunan warna
Limbah Cair memperlihatkan hasil morfologi yang
Industri Sarung mana terdapat distribusi pori-pori
Samarinda yang tidak teratur dan bulatan-
bulatan serta kristalkristal berbagai
bentuk. Pada membran setelah proses
penurunan warna memperlihatkan
hasil morfologi mengalami
perubahan distribusi pori-pori yang
sudah tertutupi oleh partikel-partikel
baru, sehingga terlihat perubahan
pada membran sebelum dan setelah
penurunan intensitas warna dari
limbah cair.
5. Marisa Aktivasi Aktivasi fly Adsorben Fly ash mampu
Naufa & Adsorben Fly ash batubara menurunkan warna CPO dengan
Azwardi Ash Batubara dengan asam mendekati zeolite komersial,
(2018) Pemanfaatannya oksalat adsorben fly ash mencapai 90,4%
Sebagai sedangkan Zeolit komersial 93,6%.
Pemucat Crude
Palm Oil (CPO)
6 Bachrun Modifikasi Waktu : 10, Hasil sintesis abu layang menjadi
Sutrisno, Limbah Abu 20, 30, 40, material mirip zeolite telah berhasil
Arif Layang menjadi 50, 60 & 70 dilakukan, hal ini terlihat dengan
Hidayat Adsorben untuk mnt adanya peningkatan sifat
& Zahrul Mengurangi persentase fisikokimiawi mineral abu layang
Mufrodi Limbah Zat teradsorpsi : hasil karakteristik abu layang pada uji
(2014) Warna pada 0%, 20%, coba terlihat mempunyai kemampuan
Industri Tekstil 40%, 60%, adsorpsi dalam mengurangi
80%, 100% konsentrasi zat warna tekstil.
& 120%
7 Nur Selulosa Kulit Massa : 7,5 Dari ketiga varian adsorben yang
Atika202 Jagung Sebagai gr berbeda dan empat parameter uji
2) Adsrben COD, Kec. Putar : didapat perbandingan persen
BOD, Minyak & 150 rpm penurunan paling tinggi 25,9% untuk
Lemak pH Pada Waktu : 90 COD, 23,8% untuk BOD, 42,24%
Limbah Cair Menit untuk Minyak & Lemak serta
Kelapa Sawit Besar kulit peningkatan nilai pH sebesar 8,4%
jsgung : 50,
80, 100 mesh

8 Farrah Studi Metode Silika dalam coal fly ash memiliki


Fadhillah Pemanfaatan ekstrasi silika potensi yang tinggi untuk
Hanum dan Metode dengan dimanfaatkan dalam berbagai
dan Pemisahan NaOH keperluan. Pada umumnya
Aster Silika Dari Coal pemanfaatan silika sampai saat ini
Rahayu Fly Ash masih berfokus pada sintesis zeolite
(2022) untuk pengolahan limbah dan
pembuatan nanosilika untuk dapat
dibuat menjadi katalis, fiber, dan
bahan pendukungnya. Potensi
pemanfaatan silika di bidang
pertanian merupakan arah penelitian
yang berpotensi untuk dikembangkan
juga kedepannya. Sehingga perlu
dikembangkan terus metode eskraksi
silika yang efektif sesuai dengan
peruntukan dari silika tersebut
nantinya.
9 Dhony Efektivitas Biosorben Penggunaan biosorben hasil
suwazan Kombinasi yang kombinasi dari kitosan dan karbon
& Nisa Kitosan dan digunakan aktif ampas teh sebanyak 1,4 gram
Nur Ampas Teh campuran mampu untuk
hidayanti Sebagai antara kitosan menurunkan konsentrasi logam
(2022) Adsorben dan karbon timbal sebesar 90,6% pada limbah
Alami dalam aktif dari cair industry PT PXI, sehingga
Menurunkan ampas the memenuhi
Konsentrasi standar baku mutu Menteri LHK
Timbal Pada tahun 2020.
Limbah Cair PT
PXI

10 Efektivitas Waktu retensi Efektifitas Sequencing Batch Reactor


Penambahan hidrolik yang terbaik dalam mengolah air
Serabut Kelapa 12,24, dan 36 limbah domestik adalah dengan
Dan Kulit jam serta laju penambahan media
Buah Siwalan aerasi 14 lekat serabut kelapa dengan
Sebagai L/menit persentase penurunan COD, TSS, dan
Adsorben Dan Total N sebesar
Media Lekat 92,86%, 98,15% dan 84,30%. Waktu
Biofilm Pada retensi hidrolik (HRT) terbaik dalam
Pengolahan menurunkan parameter pencemar
Limbah pada penelitian ini adalah pada HRT
Domestik 36 jam untuk setiap reaktor SBR.
Menggunaka-n Dimana setiap reaktor mencapai
Sequencing persentase penurunan parameter
Batch Reactor COD dan Total N tertinggi
pada HRT 36 jam, kecuali pada
parameter TSS. Dari penelitian yang
dilakukan terdapat
mikroorganisme yanag berperan
dalam proses pengolahan
menggunakan SBR yaitu
mikroorganisme Pseudomonas
aeruginosa dan Bacillus sp.

Anda mungkin juga menyukai