Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penggunaan pelapisan logam (elektroplating) semakin berkembang pesat
seiring dengan kebutuhan masayarakat meningkat. Elektroplating diaplikasikan
dalam industri elektronika, konstruksi pabrik peralatan rumah tangga, otomotif dan
lain-lain. Proses elektroplating bertujuan untuk memberikan perlindungan dari karat
dan memberikan dan memberikan efek mengkilap pada besi dan baja. Limbah
elektropalting adalah limbah yang berasal dari aktivitas pelapisan logam dengan cara
mengendapkan logam pelapis pada plastik atau logam yang dilakukan secara
elektrolitik. Salah satu logam berat yang dapat mencemari perairan adalah tembaga
(Cu2+) (Subekti, 2015).
Logam Cu merupakan salah satu logam berat yang bersifat toksik terhadap
organisme air dan manusia pada batas konsentrasi tertentu. Logam ini berbahaya
karena cenderung untuk berakumulasi dalam jaringan tubuh manusia dan
menimbulkan keracunan (Bath dkk, 2012). Kandungan dalam limbah pelapisan
logam tergantung dari pelapisan logam yang dilakukan, misalnya untuk pelapisan
logam Tembaga (Cu2+). Adapun batas kadar maksimum yang ditetapkan menutut
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah yang menetapkan kadar maksimum Cu2+ dalam limbah yang diperbolehkan
adalah 0,5 mg/L. Sebelum limbah dibuang ke lingkungan, perlu dilakukan
penanganan terlebih dahulu, sehingga kadar logam Cu2+ tidak melebihi ambang batas.
Beberapa metode yang telah dilakukan untuk menghilangkan Cu2+ didalam air,
diantaranya adalah koagulasi, elektrolisis, pertukaran ion, pemisahan membran,
elektrokoagulasi, dan adsorpsi (Suprihatin dan Nastiti, 2010). Beberapa metode yang
dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, tetapi metode Adsorpsi yang
dianggap lebih menguntungkan dibandingkan metode-metode lainnya kerena
ekonomis, sangat efesien, dan mudah diaplikasikan (Mourabet dkk, 2012). Adsorpsi
didefiniskan sebagai proses akumulasi adsorbat pada permukaan adsorben yang

7
disebabkan oleh gaya tarik menarik antar molekul adsorbat dengan permukaan
adsorben (Nurhasni dkk, 2014).
Mekanisme proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul
meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben secara kimia dan
fisika. Material yang diketahui dapat dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat
yaitu alumina, zeolite, karbon aktif, biomassa, polimer dan silika gel (Triphati dan
Ranjan , 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain luas
permukaan adsorben, konsentrasi adsorbat, suhu, pH, waktu kontak, dan kecepatan
pengadukan (Syauqia dkk, 2011).
Perkembangan area kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Tercatat
pada tahun 2018 luas area perkebunan kelapa sawit sebesar 12,79 juta Ha. Provinsi
Riau merupakan salah satu yang banyak dijumpai area perkebunan kelapa sawit
dengan luas area perkebunan sebesar 2,4 juta Ha dengan jumlah produksi kelapa
sawit sebanyak 7,8 juta Ha (BPS, 2018). Peningkatan lahan sawit dan produksi
kelapa sawit akan menyebabkan peningkatan Crude Palm Oil (CPO). Dalam
meningkatkan mutu minyak dilakukan proses pemurnian CPO antara lain
penghilangan gum (degumming), penghilangan asam lemak bebas (netralisasi),
pemucatan warna (bleaching) serta penghilangan bau (deodorisasi) (Damayanti,
2019).
Spent bleaching earth (SBE) adalah limbah padat yang dihasilkan dari industri
pemucatan minyak sawit (CPO). SBE termasuk dalam golongan material berpori
dalam kategori lempung bentonit. Lempung bentonit sangat berguna untuk adsorpsi
pigmen warna dan ion logam. SBE merupakan produk samping hasil pertanian
nonkonvensional dan limbah alami yang berasal dari geomaterial yang mudah
didapat. Zat yang diadsopsi bersifat reversibel relatif mudah dilepaskan dari
permukaan adsorben dengan cara melakukan reaktivasi menggunakan asam mineral
seperti HCl, H2SO4, dan HNO3 (Bath dkk, 2012).

8
Beberapa peneliti telah melakukan pemanfaatn SBE sebagai adsorben pada
proses adsorpsi logam Cu2+. Aulia dkk (2013) melakukan penelitian menggunakan
SBE yang telah diaktivasi pada proses Adsorpsi logam Cu 2+, pada hasil penelitian
menunjukkan kemampuan SBE dapat mengadsorpsi logam Cu 2+ sebesar 2,002 mg
Cu/ g RSBE.
Pada penelitian ini dilakukan percobaan adsorpsi dengan menggunakan SBE
yang telah teraktivasi sebagai adsoben untuk mengetahui kemampuan penyerapan dan
efesiensi penyisihan logam Cu2+.
1.2 Rumusan masalah
Beberapa penelitian telah melakukan pengolahan logam berat dengan metode
adsorpsi. Astandana dkk (2016) telah meneliti kesetimbangan adsorpsi logam Cu
menggunakan karbon aktif dari ampas tebu sebagai adsorben. Sebanyak 1,5 gram
karbon aktif ditambahkan ke Erlenmeyer dengan volume larutan Cu 500 mL dengan
variasi waktu adsorpsi (30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit, 180
menit, 210 menit, 240 menit, 270 menit, dan 300 menit) pada kecepatan pengadukan
200 rpm dan variasi konsentrasi (20 ppm, 30 ppm dan 40 ppm). Pada. Hasil
penelitian menunjukkan penyerapan karbon aktif terbesar adalah 97,1 % , waktu
kontak selama 150 menit pada konsentrasi logam Cu pada 20 ppm.
Raditya (2016) telah meneliti pemanfaatan kulit durian sebagai adsorben logam
berat Pb pada limbah cair elektroplating. Proses adsorpsi kulit durian dilakukan
dengan variasi ukuran yaitu 50, 100, 150, dan 200 (mesh). Adsorben sebanyak 5
gram kedalam 250 ml sampel dengan variasi waktu kontak 5, 10, 15, 20, dan 25
menit dan kecepatan pengadukan sebesar 200 rpm. Hasil penelitian menunjukan
penyisihan terbaik dengan menggunakan adsorben karbon aktif kulit durian didapat
pada nilai pH 5 dengan ukuran 200 mesh, dan waktu kontak 25 menit, menghasilkan
efisiensi adsorpsi sebesar 68,46%.
Imawati dkk (2015) telah meneliti kemampuan adsorpsi ion Timbal Pb 2+
dengan ampas kopi teraktivasi HCl dan H3PO4 dengan variasi pH (2, 4, 6, 8 dan 10).
Variasi waktu kontak selama (30, 60, 90, dan 120) menit. Variasi kecepatan

9
pengadukan sebesar (60, 120, 150, 180, dan 240) rpm. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kondisi optimum adsorpsi terjadi pada pH 4, waktu kontak 30 menit, dan
kecepatan pengadukan 60 rpm. Kapasitas adsorpsi maksimum arang aktif ampas kopi
teraktivasi HCl dan H3PO4 berturut-turut sebesar 3,3255 mg/g dan 2,609 mg/g.
Dewi dkk (2015) telah meneliti Adsorpsi ion logam Pb2+ dan Cu2+ dengan
bentonit teraktivasi basa (NaOH). Proses adsorpsi dilakukan dengan variasi pH 1- 6
dengan pengaturan menggunakan HNO3 0,1 M dan NaOH 0,1 M dan variasi waktu
kontak 5 – 60 menit. Hasil penelitian diperoleh kondisi optimal proses adsorpsi
logam Pb2+ pada waktu kontak 5 menit dan pH 3, untuk adsorpsi logam Cu 2+ pada
waktu kontak 5 menit dan pH 4. Dengan kapasitas adsropsi bentonite teraktivasi
untuk logam Pb2+ dan logam Cu2+ adalah 185,5 mg/g dan 30 mg/g.
Aulia dkk (2013) telah melakukan penelitian terhadap Spent Bleaching Earth
(SBE) yang diregenerasi untuk menyerap ion Cu2+ . Proses adsorpsi dilakukan dengan
mengontakkan RSBE sebanyak 1 gr dengan larutan Cu2+ dengan konsentrasi 20 mg/l
sebanyak 100 ml. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa daya adsorpsi
sebesar 2,002 mg Cu / g RSBE.
Andi dkk (2015) telah melakukan penelitian terhadap Spent Bleaching Earth
(SBE) untuk menentukan kemampuan adsorpsi pada ion Cu2+. Pada penelitian ini
SBE dilakukan dengan beberapa tahap yaitu proses screening dengan ukuran partikel
100 mesh. Larutan Cu2+ dengan konsentrasi (10, 15, 20, 25, 30) ppm dengan volume
100 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan masing-
masing SBE sebanyak 1 gram. Kemudian diatur dengan kecepatan 280 rpm dengan
variasi (30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, dan 300) menit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adsorpsi RSBE mencapai kesetimbangan setelah waktu kontak
30 menit pada konsentrasi 30 ppm dan daya Adsorpsi sebesar 7,41 mg Cu / g RSBE.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti akan memanfatkan Spent Bleaching
Earth (SBE) sebagai adsorben dalam proses adsorpsi logam Cu2+ . Penelitian
dilakukan dengan memvariasikan pH 3, 4, 5, 6 dan 7. Waktu kontak selama 15
menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit, dengan kecepatan pengadukan

10
sebesar 30 rpm, 60 rpm, 90rpm, 120 rpm dan 150 rpm dan variasi konsentrasi larutan
CuSO4 sebesar 10 mg/L, 20 mg/L, 30 mg/L dan 40 mg/L. Berdasarkan variasi ini
diharapkan dapat mengetahui kondisi optimum adsorpsi pada setiap variabel dan
mengatahui kapasitas adsoprsi maksimum dalam menyerap ion logam.
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagi berikut :
1. Menghitung efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi penyerapan logam
Cu2+ terhadap variasi pH, waktu kontak, kecepatan pengadukan dan
konsentrasi larutan.
2. Melakukan uji SEM-EDX untuk mengatahui unsur-unsur yang terkandung
dalam adsorben, mengetahui struktur permukaan adsorben sebelum dan
sesudah adsorpsi.
3. Menentukan model kesetimbangan isotherm Freundlich dan model
isotherm Langmuir.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kembali limbah B3 yang dihasilkan dari proses produksi
Crude Palm Oil (CPO) menjadi adsorben.
2. Sebagai alternatif penanggulangan pencemaran logam tembaga (Cu).
3. Menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Spent Bleaching Earth (SBE) yang digunakan merupakan limbah padat yang
dihasilkan dari unit bleaching di industri refinery minyak sawit Crude Palm Oil
(CPO) yang berasal dari PT. X yang terletak di jalan Datuk Laksamana area
pelabuhan Kecamatan Dumai Timur, Dumai. Limbah yang digunakan berupa
limbah artivisial Cu2+.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN

11
Berisikan uraian tentang latar belakang masalah yang mendasari
pentingnya diadakan penelitian, perumusan masalah, masalah yang
akan diteliti, tujuan dan manfaat dilakukan penelitian serta sistematika
penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan tentang uraian teori logam berat industri elektroplating,
proses adsorpsi, faktor-faktor adsorpsi, adsorben, dan teori mengenai
Spent Bleaching Earth (SBE).
BAB III METODOLOGI
Berisikan mengenai metode yang digunakan dalam penulisan usulan
penelitian, seperti alat dan bahan penelitian, variabel penelitian,
prosedur penelitian dan skema penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Elektroplating (Pelaspisan Logam)


Elektroplating atau penyepuhan merupakan salah satu proses pelapisan bahan
padat dengan lapisan logam menggunakan arus listrik searah melalui suatu larutan
elektrolit. Elektroplating ditujukan untuk berbagai keperluan, baik untuk skala
industri maupun rumah tangga . Proses elektroplating atau yang lebih dikenal dengan
pelapisan logam ini banyak dilandasi oleh elektrokimia, bidang yang mengkaji
perubahan energi listrik ke energi kimia (elektrolisa). Elektroplating memberikan
perlindungan pada logam yang diinginkan dengan memanfaatkan logam-logam
tertentu sebagai lapisan pelindung, misalnya tembaga, nikel, krom, perak, dan
sebagainya (Subekti, 2015)..
Pelapisan logam merupakan pengendapan satu lapisan tipis pada suatu
permukaan logam atau plastik yang biasanya dilakukan secara elektrolit, tetap dapat
juga hanya menggunakan reaksi kimia di mana diharapkan benda tersebut akan
mengalami perbaikan baik dalam hal struktur mikro maupun ketahanannya, dan tidak
menutup kemungkinan pula terjadi perbaikan terhadap sifat fisiknya (Purwanto dan
Syamsul, 2005). Penggunaan logam berat dan bahan kimia berkadar tinggi dan
kurangnya kepedulian pelaku usaha sehingga menimbulkan dampak pencemaran di
sekitar lokasi.
Tabel 2.1 Karakteristik Awal Limbah Cair Elektroplating
No Jenis Hasil Analisa Standar Baku Mutu Status
Logam (mg/l) (mg/l)
1 Cr (Total) 25,69 0,5 Melewati
6+
2 Cr 24,78 0,1 Melewati
3 Cu 1,043 0,5 Melewati
4 Cd 0,028 0,05 Tidak Melewati
5 Pb 0,1 0,1 Tidak Melewati

13
6 Ni 1,0 1,0 Tidak Melewati
7 Zn 0,2897 1,0 Tidak Melewati
8 pH 3,1 6–9 Melewati
Sumber : UPT Pengujian Material Dinas Bina Marga Riau, 2019

14
Berikut ini adalah bagan tahapan proses pelapisan logam pada kegiatan
elektroplating dan limbah cair yang dihasilkan pada tiap tahapan prosesnya terdapat
pada Gambar 2.1 :

Penghilangan lapisan cat Limbah cair : lapisan cat


dan air hasil pembilasan

Limbah cair : HCl dan air


Penghilangan lapisan karat hasil pembilasan

Penghalusan dan
pemberataan permukaan
bahan

Pembersihan dan Limbah cair : Metal cleaner,


penghilangan minyak dan detergen, dan air hasil
lemak pada permukaan pembilasan
bahan
Limbah cair : ion logam
tembaga, cairan elektrolit
Pelapisan Tembaga
dan air hasil pembilasan

Limbah cair : ion logam


Pelapisan Nikel nikel, cairan elektrolit dan
air hasil pembilasan

Limbah cair : ion logam


Pelapisan Kromium
kromium, cairan elektrolit
dan air hasil pembilasan

Proses akhir

Gambar 2.1 Tahapan proses produksi limbah yang dihasilkan pada produksi
elektoplating.
(Sumber: Ratnasari, 2017)
2.2 Logam Berat
Kontaminasi logam berat pada lingkungan perairan merupakan masalah besar
dunia saat ini. Persoalan spesifik logam berat di lingkungan terutama karena

15
akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta
meningkatnya sejumlah logam berat yang menyebabkan keracunan terhadap tanah,
udara dan air meningkat sehingga dapat berakibat buruk bagi kehidupan makhluk
hidup, termasuk manusia. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi toksisitas
setiap jenis logam berat, antara lain: bentuk senyawa, daya kelarutan logam didalam
cairan, ukuran partikel dan beberapa sifat kimia dan fisika lainnya (Darmono, 2001).
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999, berdasarkan
toksisitasnya logam berat dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu:
1. Bersifat toksik tinggi
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn.
2. Bersifat toksik menengah
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Cr, Ni dan Co.
3. Bersifat toksik sangat rendah
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah unsur Mn dan Fe.
2.2.1 Tembaga (Cu)
Tembaga dengan nama kimia cupprum dilambangkan dengan Cu. Unsur
logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Dalam tabel periodik unsur-
unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom 29 dan mempunyai
bobot atau massa rumus relatif 63,546. Unsur tembaga di alam dapat ditemukan
dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk
persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral (Prihatiningsih,
2007).
Logam tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik,
pelapisan logam maupun paduan logam. Kawat tembaga dan paduan tembaga
digunakan dalam pembuatan motor listrik, generator, kabel transmisi, instalasi listrik
rumah tangga, konduktor listrik, kabel, saklar, bidang telekomunikasi, dan bidang-
bidang yang membutuhkan sifat konduktivitas listrik dan panas yang tinggi (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, 2005).

16
Tembaga juga dapat mengakibatkan keracunan apabila terakumulasi dalam
tubuh makhluk hidup serta dapat menyebabkan kematian bila terjadi secara kontinu
dan dalam waktu yang relatif lama. Salah satu penyakit yang ditimbulkan akibat
keracunan tembaga pada manusia adalah penyakit Wilson dan Kinsky. Gejala
penyakit ini antara lain kerusakan otak, penurunan kerja ginjal, dan pengendapan
tembaga dalam kornea mata (Palar, 2004).
2.2.2 Kromuim (Cr)
Logam Kromium (Cr) berwarna perak, berkiau dan wujudnya sangat keras.
Adanya krom menandakan adanya pencemaran limbah industri karena senyawa
logam tidak terdapat di air yang ada dialam (Mukono, 2006). Logam krom
merupakan logam yang tahan terhadap korosi dan bersifat mengkilap sehingga
digunakan sebagai pelapis pada berbagai peralatan termasuk kendaraan. Oleh karena
itu, unsur ini sering dipakai dalam proses elektroplating bersama dengan nikel untuk
lebih menambah sifat anti korosif dan dekoratif
Kromium merupakan salah satu logam berat berwarna abu-abu dan sulit
dioksidasi pada suhu tinggi. Dalam lingkungan hidup kromium dapat ditemukan
dalam bentuk kromium logam, bivalen, trivalent, dan heksavalen. Kromium
heksavalen memiliki sifat toksik dibanding dengan bentuk trivalent. Kromium
heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, pendarahan didalam tubuh,
dermatitis, kerusakan saluran pernafasan, dan kanker paru-paru (Bramandhita, 2009).
Bahaya kesehatan yang berkaitan dengan kromium bergantung pada keadaan
oksidasinya. Krom yang mempunyai valensi 3 memiliki tingkat toksisitas yang
rendah, sedangkan krom yang hexavalent memiliki tingkat toksisitas yang tinggi
sehingga bisa dikatakan beracun. Menurut Darmono (2001), logam masuk kedalam
jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu melalui saluran
pernafasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Toksisitas kromium bersifat
karsinogenik, dikarenakan ion Cr6+ dalam proses metabolisme tubuh akan
menghalangi dan menghambat kerja dari enzim bizopire hidroksilase.).
2.3 Proses Pemurnian CPO

17
Prinsip pemurnian minyak adalah menghilangkan komponen pengotor yang terdapat
dalam CPO melalui serangkaian tahap proses yaitu degumming, bleaching, dan
deodorizing sehingga menghasilkan produk Refined Bleached Deodorized Palm Oil
(RBDPO). Pemurnian CPO dapat dilakukan dengan dua metode yaitu pemurnian
fisik dan pemurnian kimia. Metode pemurnian fisik merupakan metode pemurnian
yang paling popular karena efektif dan efisien. Metode pemurnian CPO secara fisik
dapat menghasilkan yield yang lebih banyak, mengurangi penggunaan bahan kimia,
mengurangi penggunaan air serta dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap
lingkungan (Basiron, 2005). Zat warna yang terdapat dalam CPO terdiri dari zat
warna alamiah dan zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna
alamiah seperti ά dan β-karoten, xanthofil, khlorofil, gossyfil, dan anthocyanin yang
menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning coklat, kehijau-hijauan dan kemerah-
merahan. Sedangkan zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah biasanya
menyebabkan CPO berwarna gelap (Yusnimar, 2012).Tahap proses pemurnian CPO
secara fisik yaitu sebagai berikut:

2.3.1 Degumming
Tahap ini merupakan tahap awal pada proses pemurnian dengan tujuan untuk
memisahkan seluruh fosfolipid (gum) yang terdapat dalam minyak. Fosfolipid yang
dibiarkan mengendap selama masa penyimpanan dapat menyebabkan off-flavor dan
dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada minyak (Lin and Koseoglu,
2005). Degumming dilakukan dengan melakukan penambahan asam fosfat kepada
minyak, lalu akan diberi perlakuan panas dengan suhu 90-100℃ dalam waktu 15-30
menit (Basiron, 2005).

2.3.2 Bleaching
Proses bleaching merupakan proses mereduksi pigmen warna dengan
melakukan penambahan tanah pemucat atau bleaching earth (BE) (Taylor, 2005).
Proses bleaching dilakukan dengan menggunakan suhu 100-130℃ dalam waktu 30
menit. Tujuan dari penambahan BE adalah untuk menyerap pengotor yang masih

18
terdapat di dalam minyak, seperti karotenoid, logam, air, asam lemak bebas, dan
sebagian pengotor lainnya (Ketaren, 2008). Selain penghilangan zat warna, proses
bleaching juga dapat mengurangi komponen-komponen lain yang tidak diinginkan
seperti logam-logam transisi. Proses bleaching juga akan menyerap sebagian
suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak seperti peroksida
(Damayanti, 2019).

2.3.3 Deodorizing
Proses deodorizing merupakan tahap proses pemurnian minyak yang
bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Pada
dasarnyadeodorisasi merupakan suatu proses destilasi dengan suhu tinggi dalam
keadaan vakum. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang meninggalkan bau
dari minyak mudah diuapkan, kemudian melalui aliran uap komponen-komponen
tersebut dipisahkan dari minyak. Komponen-komponen yang dapat menimbulkan
rasa dan bau dari minyak antara lain aldehida, keton, hidrokarbon yang jumlahnya
sekitar 0,1% dari berat minyak (Damayanti, 2019).

2.4 Tanah Pemucat (Bleaching Earth)


Pemucatan atau bleaching merupakan suatu tahap proses pemurnian minyak
untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini
dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah
serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay), arang aktif, atau dapat juga
dengan menggun3akan bleaching earth (BE) (Taylor, 2005). Tujuan dari
penambahan BE adalah untuk menyerap pengotor yang masih terdapat di dalam
minyak, seperti karotenoid, logam, air, asam lemak bebas, dan sebagian pengotor
lainnya (Ketaren, 2008).
Penambahan BE juga memiliki beberapa tujuan lainnya, yaitu untuk
mereduksi hasil produk oksidasi dan untuk menghilangkan asam fosfat berlebih yang
masih terdapat di dalam minyak. Selain penghilangan zat warna, proses pemucatan
juga dapat mengurangi komponen-komponen lain yang tidak diinginkan. Selanjutnya

19
BE akan dihilangkan pada tahap filtrasi yang dinamakan Spent Bleaching Earth
(SBE). Hasil dari tahap bleaching ini akan menghasilkan minyak yang lebih cerah
(Basiron, 2005).
Proses penyisihan warna sebenarnya tidak hanya terjadi pada proses
pemucatan. Pada proses deodorizing dan degumming juga terjadi penyisihan warna
dari CPO. Pada proses pemucatanpenyisihan warna CPO hanya sekitar 50%
sedangkan total penyisihan warna untuk keseluruhan proses refining sekitar 75-90%
(Wahyudi, 2000).
Menurut Wahyudi (2000), bleaching earth telah lama digunakan untuk proses
adsorpsi komponen warna dalam minyak nabati. Pada awalnya bleaching earth
digunakan dalam bentuk bentonit alami tanpa proses aktivasi. Bleaching earth dalam
bentuk alami pada umumnya hanya mampu menyerap ion-ion bermuatan positif, baik
ion anorganik maupun organik. Hal ini terjadi karena mineral montmorillonit yang
terdapat dalam bentonit mempunyai lapisan silikat yang bermuatan negatif dengan
lingkungan permukaan mineral yang bersifat hidrofilik. Bentonit merupakan istilah
dalam dunia perdagangan yang tergolong dalam kelompok besar tanah lempung yang
mengandung komponen utama mineral montmorillonit. Untuk meningkatkan
kemampuan bentonit dalam menyerap senyawa-senyawa organik, terutama yang
bersifat nonpolar, seperti senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik, maka bentonit
tersebut perlu diaktivasi terlebih dahulu. Ada dua cara aktivasi untuk meningkatkan
daya serap bentonit:
1. Aktivasi dengan pemanasan
Pengaktifan dengan pemanasan bertujuan agar air yang terikat dicelah-celah
molekul dapat teruap, sehingga porositasnya meningkat
2. Aktivasi dengan pengasaman.
Pengaktifan dengan pengasaman dapat menaikkan angka perbandingan
antara SiO2 : Al2O3. Proses ini dilakukan dengan cara melarutkan bentonit ke
dalam asam (HCl atau H2SO4) pada konsentrasi tertentu dengan waktu
perendaman tertentu pula.

20
2.5 Spent Bleaching Earth
Tanah pemucat bekas atau spent bleaching earth (SBE) adalah limbah padat
yang dihasilkan dalam tahapan proses pemurnian minyak dalam industri minyak
goreng. SBE yang berasal dari pemurnian crude palm oil (CPO) merupakan
campuran antara bleaching earth dan senyawa organik yang berasal dari CPO
(Wahyudi, 2010)
Berdasarkan Lampiran I Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014, SBE
termasuk dalam daftar limbah B3 dari sumber spesifik khusus, jenis limbah B3 yang
bersumber dari proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani
atau nabati dengan kategori bahaya 2. Karena SBE dapat menimbulkan polusi pada
tanah, air maupun udara, serta dapat juga menimbulkan reaksi pembakaran akibat
jenuh dengan minyak yang tertahan (Kucharz, 1994 dalam kurniawan, 2015).

Gambar 2.2 Spent Bleaching Earth


Sumber: Damayanti (2019)
SBE hasil samping proses pemurnian minyak sawit digunakan dalam tahap
pemucatan warna dan kotoran dalam minyak sawit. SBE jenis ini masih mengandung
minyak nabati sebesar 20-30% (Kheang et al., 2006). Bleaching Earth merupakan
sejenis merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2,
Al2O3, air terikat serta ion Ca2+, MgO dan Fe2O3. Daya pemucat bleaching earth
disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel terjerap sehingga dapat
mengadsorpsi zat warna (Kateren, 1986 dalam Damayanti, 2019). Tanah pemucat
merupakan salah satu jenis tanah lempun yang mengandung mineral montmorillonite

21
sekitar 85% dan fragmen sisanya terdiri dari campuran mineral kuarsa, gipsum,
kolinit, dan lain-lain (Supeno, 2008).

Tabel 2.2 Komponen Spent Bleaching Earth (SBE)


Komponen Satuan Jumlah
Karbon, C1 86,29
Magnesium Oksida, MgO1 0,33
Alumina, Al2O31 2,38
Silika Dioksida, SiO21 7,24
Fosfor Pentaoksida, P2O51 % berat 1,67
Sulfit, SO31 0,89
Kalsium Oksida, CaO1 0,42
Besi (II) Oksida, FeO1 0,77
Minyak2 1,82
Sumber : 1 Hasil Analisa EDX Laboratorium UNDIP, 2019
2
Hasil Analisa Laboratorium Kimia FT UR, 2019

2.6 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan terjerapnya suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan
adsorben. Mekanisme penjerapan tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu, jerapan
secara fisika (fisiosorpsi) dan jerapan secara kimia (kemisorpsi). Pada proses
fisiosorpsi gaya yang mengikat adsorbat oleh adsorben adalah gaya-gaya van der
waals. Molekul terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika
relatif rendah sekitar 20 kj/mol (Castellan 1982). Proses adsorpsi kimia merupakan
interaksi adsorbat dengan adsorben melalui pembentuk-an ikatan kimia. Adsorbsi
menggunakan istilah adsorbat dan adsorben, dimana adsorbat adalah substansi yang
terjerap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan adsorben
merupakan suatu media penyerap yang dalam hal ini berupa senyawa karbon.
Proses adsorpsi pada suatu adsorben terjadi pada pori-pori kecilnya
(micropore) yang berperan sebagai tempat transfer adsorbat dari permukaan luar
micropore. Pada adsorpsi, interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi

22
pada permukaan adsorben. Adsorpsi adalah gejala pada permukaan, sehingga makin
besar luas permukaan, maka makin banyak zat yang teradsorpsi. Walaupun demikian,
adsorpsi masih bergantung pada sifat zat pengadsorpsi (Herlendien, 2013).
2.6.1 Jenis-jenis Adsorpsi
Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi
dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia (Pitriani,
2010):
1. Adsopsi Fisika (Physisorption)
Adsopsi fisika merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya
Van der Waals, yakni gaya tarik menarik yang relatif lemah antara
adsorbat
dengan permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak
terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak
dari suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan
yang
ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya.
Adsorpsi fisika umumnya terjadi pada temperatur yang rendah dan
jumlah zat yang teradsorpsi akan semakin kecil dengan naiknya suhu.
Banyaknya zat yang teradsorpsi dapat beberapa lapisan monomolekuler,
demikian juga kondisi kesetimbangan tercapai segera setelah adsorben
bersentuhan dengan adsorbat. Hal ini dikarenakan dalam fisika tidak
melibatkan energi aktivasi.
2. Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk
antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat
berupa ikatan kovalen atau ion. Ikatan yang terbentuk sangat kuat
sehingga spesi aslinya tidak dapat ditemukan. Karena kuatnya ikatan
kimia yang terbentuk, maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi
kimia ini diawali dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat ke

23
permukaan adsoben melalui gaya Van der Waals atau ikatan hidrogen
kemudian diikuti oleh adsorpsi kimia. Pada adsorpsi kimia, adsorbat
melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasanya
merupakan ikatan kovalen
Pada umumnya, dalam adsorpsi kimia jumlah (kapasitas) adsorpsi
bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang teradsorpsi
membentuk satu lapisan monomolekuler dan relatif lambat tercapai
kesetimbangan karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi
Adsorpsi ini bersifat irreversibel, hanya dapat membentuk lapisan tunggal
(monolayer) dan diperlukan energi yang banyak untuk melepaskan
kembali adsorbat (dalam proses adsorpsi).
2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi
Beberapa faktor dalam hal ini yang mempengaruhi daya serap adsorpsi
(Masthura, 2013), yaitu:
1. Sifat adsorben
Karbon aktif yang bersifat non polar yang padatannya sebagian besar
terdiri dari unsur karbon bebas dan berikatan secara kovalen. Struktur pori
berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil por-pori karbon aktif
mengakibatkan semakin besar luas permukaannya maka semakin
bertambah kecepatan adsorpsinya
2. Sifat serapan
Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh karbon aktif, tetapi
kemampuannya untuk mengadsorpsi berbda untuk masing-masing
senyawa. Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya
ukuran molekul serapan dari struktur yang sama
3. Temperatur
Dalam pemakain karbon aktif dianjurkan untuk mengamati temperatur
pada saat berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi termperatur
proses adsorpsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan.

24
Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapa, seperti
terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan
pada titik didihnya
4. pH
pH mempunyai pengaruh dalam proses adsorpsi. pH lingkungan sangat
mempengaruhi sifat gugus aktif dari adsorben dan adsorbatnya. Secara umum
pH adsorbat mempengaruhi kelarutan ion logam, aktivitas gugus fungsi pada
biosorben dalam proses adsorpsi (Ahayla dkk, 2003). Pada pH asam maka
proses pengionan makin besar , sedangkan pada sifat basa maka
pengendapannya makin besar. Melihat kecenderungan ini seharusnya adsorpsi
yang baik itu terjadi pada kisaran pH asam, namun pada umumnya proses
adsorpsi lebih baik pada kisaran pH dimana suatu senyawa prganik bermuatan
netral (pH 5-6).

pH

Gambar 2.3 Hubungan antara pH terhadap persensate adsorpsi Pb


Sumber : Imawati dkk (2015)

5. Waktu pengadukan
waktu pengadukan yang cuku di perlukan untuk mencapai kesetimbangan
adsorpsi. Pada fasa cair yang berisi adsorben diam, maka difusi adsorbat
melalui permukaan adsorben lambat. Waktu pengadukan untuk mencapai
keadaan setimbang pada proses serapan logam oleh adsorben berkisar antar
beberapa menit (Bernasconi dkk, 1995).

25
Gambar 2.4 Hubungan antara waktu pengadukan dengan logam terserap
Sumber : Kristiyani (2012)

6. Kecepatan Pengadukan
Pengadukan yang lambat menyebabkan proses adsorpsi akan berlangsung
lambat, akan tetapi bila pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur
adsorben cepat rusak sehingga proses adsorpsi kurang optimal (Syauqia,
2011).

Kecepatan pengadukan (rpm)


Gambar 2.5 Hubungan antara kecepatan pengadukan dengan logam terserap
Sumber : Syauqiah (2011)
2.7 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap pada
padatan terhadap konsentrasi larutan. Persamaan yang dapat digunakan untuk
menjelaskan data percobaan isoterm dikaji oleh Freundlich dan Langmuir. Tipe
isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanise adsorpsi adsorpsi fase

26
cair-padat pada umumnya menganut tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins,
1999). Adsorben yang baik memiliki kapasitas adsorpsi dan presentase penyerapan
yang tinggi.
Kapasitas adsorspsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Q= ( C 1−C
m
2
)× V
Sedangkan presentase adsorpsi (efisiensi adsorpsi) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

%E= ( Cawal−Cakhir
Cawal ) ×100 %

Keterangan :
Q = Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g)
C1 = Konsentrasi awal larutan (mg/L)
C2 = Konsentrasi akhir larutan (mg/L)
m = Massa adsorben (g)
V = Volume larutan (mL)
%E = Efisiensi adsorps
2.7.1 Isoterm Langmuir
Tipe isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung secara
kimisorpsi satu lapisan. Kimisorpsi adalah adsorpsi yang terjadi melalui ikatan kimia
yang sangat kuat antara sisi aktif permukaan dengan molekul adsorbat dan
dipengaruhi oleh densitas elektron. Pada teori isoterm langmuir, diasumsikan bahwa
adsorben memiliki permukaan yang homogen dan dapat mengadsorpsi suatu molekul
adsorbat dan tidak ada interaksi antar molekul-molekul yang terjerap. Adsorpsinya
berbentuk monolayer, persamaan umum isoterm langmuir yaitu :
QoKCe 1 1 1 1
Qe= atau, = +
1+ KCe Qe QoK Ce Qo

27
Kurva antara 1/Qe vs 1/Ce, merupakan persamaan garis lurus dengan slope =
1/Qo K, dan intercept = 1/Qo. Konstanta langmuir (K) adalah rasio intercept/slope.

2.7.2 Isoterm Freundlich


Isoterm Freundlich menganggap bahwa disetiap benda padat yang berpori-
pori mempunyai potensi sebagai adsorben, dan adsorben tersebut mengadsorpsi
molekul/adsorbat dalam bentuk monolayer dan peristiwa adsorpsinya adalah adsorpsi
fisika. Persamaan isoterm Freundlich sebagai berikut :
1
Qe=Kce 1/ n atau, log Qe=log K + log Ce
n
Kurva log Qe terhadap log Ce, menunjukkan persamaan garis lurus dengan
slope = 1/n dan intercept = K, dan K merupakan konstanta Freundlich.

2.8 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)


AAS adalah suatu metoda analisis untuk menentukan kadar unsur logam
berdasarkan absorpsi radiasi oleh atom bebas unsur tersebut. Penggunaan AAS
memiliki beberapa kelebihan yaitu spesifik, memiliki batas deteksi yang rendah,
output data yang dapatdibaca langsung, serta pengukuran dapat langsung dilakukan
terhadap larutan sampel. AAS dilengkapi dengan lampu yang dapat memancarkan
sunar dengan panjang gelombang tertentu. Sinar tersebut dilewatkan pada sampel
yang akan dianalisis. Karena unsur yang akan dianalisis memiliki sifat spesifik maka
AAS hanya akan menyerap sinar dengan panjang gelombang tertentu. Semakin
banyak jumlah atom dari unsur yang terkandung dalam sampel, jumlah energi yang
diserap juga makin banyak. Pada AAS penyerapan emisi dilakukan oleh atom, oleh
karena itu sampel harus dirubah dalam bentuk atom bebas dalam fase gas.
Peralatan AAS harus memenuhi kriteria sebagai berikut ; dapat membuat
atom bebas dari unsur yang terlarut, atom-atom bebas yang terjadi dapat menyerap
radiasi, resonansi besarnya absorpsi sebanding dengan jumlah atom bebas yang
terjadi, jumlah atom yang terjadi sebanding dengan konsentrasi unsur dalam larutan

28
tersebut dan efisiensi dalam menggunakan sedikit sampel untuk menghasilkan atom
bebas sebanyak mungkin.
Sebelum melakukan analisis sampel, perlu dipersiapkan satu set larutan
standar yang konsentrasi unsurnya sudah diketahui. Larutan standar dengan beberapa
macam konsentrasi ini selanjutnya ditentukan absorbansinya dengan menggunakan
AAS untuk membuat kurva kalibrasi, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan
antara absorbansi terhadap konsentrasi larutan standar.
2.9 Scanning Electron Microcope- Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX)
Scanning electron microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop
elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk
permukaan dari sampel yang dianalisis. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi
daripada optical microscope (OM). Prinsip kerja dari SEM adalah dengan
menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang
dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena
berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron atau dinamakan berkas
elektron sekunder ke segala arah SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada
OM. Resolusi yang mampu dihasilkan OM hanya 200 nm, sedangkan resolusi yang
dapat dihasilkan SEM mencapai 0.1 – 0.2 nm. Untuk mengetahui komposisi kimia
pada permukaan sampel, sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan
energy dispersive x-ray (EDX). EDX dihasilkan dari sinar-X, yaitu dengan
menembakkan sinar-X pada posisi yang ingin diketahui komposisinya. Setelah
ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak – puncak
tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung. Dengan EDX juga bisa
membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna
berbeda – beda dari masing – masing elemen di permukaan sampel. EDX bisa
digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif dari persentase masing – masing
elemen. SEM-EDX dapat memberikan informasi tentang topografi, morfologi,
komposisi dari sampel yang dianalisis.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Persiapan Alat dan Bahan


3.1.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, cawan, corong,
erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, gelas piala, jartest, kertas saring, oven, pH
meter, pengayak 100 mesh, satu unit alat soklet, timbangan analitik.
3.1.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah adsorben dari Spent
Bleaching Earth (SBE) yang telah diaktivasi, larutan CuSO4, larutan HCL, larutan
HNO3, larutan NaOH dan aquadest sebagai pencuci dan pelarut.
3.2 Instrumentasi
Instrumentasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi instrumen AAS,
dan SEM-EDX.

30
3.3 Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel tetap
1. Volume larutan Cu2+ yang digunakan 500 ml (Astandana, 2016)
2. Berat SBE sebanyak 5 gram (Raditya, 2016)
3. Pengaturan pH dengan HNO3 0,1 M dan NaOH 0,1 M (Dewi, 2015)
b. Variabel bebas
1. Variasi pH: 3 ; 4 ; 5 ; 6 dan 7
2. Variasi waktu kontak: 15 ; 30 ; 60 ; 90 dan120 menit
3. Variasi kecepatan pengadukan: 30 ; 60 ; 90 ; 120 dan 150 rpm
4. Varisi konsentrasi larutan CuSO4: 10 ; 20 ; 30 dan 40 mg/l

3.4 Prosedur Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan melalui beberapa tahan yaitu studi literatur,
uji karakteristik spent bleaching earth, persiapan bahan baku, pembuatan larutan
logam tembaga (Cu), proses adsorpsi, dan pengolahan data.

31
Mulai

Studi literatur

Persiapan alat dan


bahan

Persiapan bahan Pembuatan larutan


baku SBE artifisial Cu

Uji karakteristik

Penetian Utama
 Variasi pH : 3 ; 4 ; 5 ; 6 dan 7
 Variasi waktu : 15 ; 30 ; 60 ; 90 dan 120 menit
 Variasi kecepatan pengadukan : 30 ; 60 ; 90 ;
120 dan 150 rpm
 Variasi konsentrasi larutan : 10 ; 20 ; 30 dan 40
mg/L

Setiap perlakuaan
Uji SEM-EDX dilakukan uji AAS

Pengolahan data

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir prosedur penelitian


3.4.1 Studi Literatur
Studi literatur memiliki tujuan untuk memberikan informasi berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Referensi yang mencakup penelitian ini adalah
limbah cair elektropalting, adsorpsi dan mekanismenya, faktor yang mempengaruhi
adsorpsi, Spent Bleaching Earth (SBE), dan bahaya logam berat.
3.4.2 Uji Awal Spent Bleaching Earth

32
Sebelum proses pembuatan adsorben dilaksanakan, bahan dasar diuji
karaktersistik awalnya terlebih dahulu. Karakteristik ini diuji menggunakan SEM-
EDX terhadap Spent Bleaching Earth (SBE) yang bertujuan untuk mengetahui unsur-
unsur yang terkandung dalam adsorben, serta mengetahui struktur permukaan
adsorben sebelum diadsorpsi.
3.4.3 Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah Spent Bleaching Earth yang berasal dari
proses pemucatan CPO dalam industri minyak goreng. Persiapan diawali dengan SBE
digerus menggunakan lumpang kemudian diayak agar diperoleh ukuran partikel 100
mesh. Ekstraksi minyak dilakukan dengan menggunakan metode sokletasi. Tabung
soklet diisi dengan SBE sebanyak 50 gram dan pelarut heksana sampai terisi 500 ml,
proses sokletasi dilakukan pada suhu 72oC selama 8 jam. Pada tahap pencucian
digunakan HCl 3% selama 60 menit sambil diaduk selama 30 menit, kemudian dicuci
menggunakan aquades sampai pH netral lalu disaring untuk memisahkan SBE dan
aquades. Selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu 300 oC selama 2 jam.

33
Spent Bleahing Earth (SBE)

Pengayakan dengan ayakan


100 mesh

Ekstraksi minyak dengan sokletasi pada


suhu 72oC selama 8 jam

Aktivasi SBE menggunakan HCl 4%


selama 60 menit

Pemanasan SBE pada suhu 300oC selama


2 jam

Adsorben SBE

Gambar 3.2 Diagram Alir Persiapan Bahan Baku


3.4.4 Pembuatan Larutan Logam Tembaga (Cu2+)
Tembaga Sulfat (CuSO4.5H2O) ditimbang sebanyak 3,929 gram dilarutkan
dengan aquades dalam beaker glass, lalu dimasukkan kedalam labu ukur 1000 ml
dengan konsentrasi yaitu 1000 mg/l. Larutan diencerkan terlebih dahulu dengan
konsentrasi 100 mg/l. Larutan dengan konsentrasi 100 mg/l diencerkan lagi menjadi
10 mg/l, 20 mg/l, 30 mg/l, dan 40 mg/l dalam labu ukur 500 ml dengan
menambahkan aquades samapai tepat tanda batas.
3.4.5 Proses Adsorpsi
1. Penentuan pH Optimum Adsorpsi Logam Cu2+

34
Prosedur pada tahap proses Adsorpsi merujuk pada penelitian Imawati dan
Adhitiyawarman, (2015). Pada penelitian ini dilakukam percobaan pada massa SBE
sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam Larutan Cu2+ 500 ml dengan konsentrasi 20
mg/L, dimana pH larutan divariasikan dengan variasi 2, 3, 4, 5, dan 6 . pengaturan pH
menggunakan larutan HNO3 0,1 M dan larutan NaOH 0,1 M. Selanjutnya diaduk
dengan jar test dengan kecepatan 60 rpm selama 30 menit . Larutan didiamkan
selama 15 menit dan disaring. Filtrat diukur dengan spektrofotometer serapan atom
(SSA). Semua perlakuan dilakukan secara duplo.
Tabel 3.1 Penentuan pH optimum Adsorpsi logam Cu2+
Logam yang diserap Variasi pH Ket
3
4
Q adsorpsi
Tembaga Cu2+ 5
% Removal
6
7
Hasil Didapatkan pH terbaik

2. Penentuan Waktu Kontak Optimum Adsorpsi Logam Cu2+


Massa SBE sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam Larutan Cu2+ 500 ml
dengan konsentrasi 20 mg/L, kemudian diaduk dengan jar test dengan kecepatan 60
rpm pada pH optimum. Variasi waktu kontak yang digunakan adalah 15 menit, 30
menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15
menit dan disaring. Filtrat diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA).
Semua perlakuan dilakukan secara duplo.
Tabel 3.2 Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi logam Cu2+
Variasi waktu
Logam yang diserap Ket
kontak (menit)
15 menit
30 menit
Q adsorpsi
Tembaga Cu2+ 60 menit
% Removal
90 menit
120 menit
Hasil Didapatkan waktu kontak terbaik

35
3. Penentuan Kecepatan Pengadukan Optimum Adsorpsi Logam Cu2+
Massa SBE sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam Larutan Cu2+ 500 ml
dengan konsentrasi 20 mg/L, larutan diaduk menggunakan jar test dengan variasi
kecepatan pengadukan sebesar 30 rpm, 60 rpm, 90 rpm, 120 rpm, dan 150 rpm pada
waktu kontak dan pH optimum. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15 menit dan
disaring. Filtrat diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA). Semua
perlakuan dilakukan secara duplo.

Tabel 3.3 Penentuan kecepatan pengadukan optimum adsorpsi logam Cu2+


Variasi kecepatan
Logam yang diserap Ket
pengadukan (rpm)
30 rpm
60 rpm
Q adsorpsi
Tembaga Cu2+ 90 rpm
% Removal
120 rpm
150 rpm
Hasil Didapatkan pH terbaik

4. Penentuan Konsentrasi Larutan terhadap Adsorpsi Logam Cu2+


Massa SBE sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam Larutan Cu2+ 500 ml
dengan varisi kosentrasi larutan 10 mg/L, 20 mg/L, 30 mg/L dan 40 mg/L . Larutan
diaduk menggunakan jartest pada kecepatan pengadukan, waktu kontak dan pH yang
telah optimum pada percobaan sebelumnya. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15
menit dan disaring. Filtrat diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA).
Semua perlakuan dilakukan secara duplo.

Tabel 3.4 Penentuan konsentrasi larutan terhadap adsorpsi logam Cu2+


Logam yang diserap Variasi konsentrasi Ket
larutan (mg/L)
Tembaga Cu2+ 10 mg/L Q adsorpsi
20 mg/L % Removal

36
30 mg/L
40 mg/L
Hasil Didapatkan Konsentrasi terbaik

Pengenceran sampel Larutan Cu2+ dapat dihitung dengan persamaan :


V1 x N1 = V2 x N2
Keterangan :
V1 = adalah volume yang diperlukan
V2 = adalah volume yang akan dibuat
N1 = adalah konsentrasi awal
N2 = adalah konsentrasi yang ingin dibuat

3.5 Analisis dan Pengolahan Data


1. Untuk menentukan efesiensi penyisihan logam Cu2+ dalam penelitian ini dapat
diketahui dengan perhitungan persentase dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Cin−Cef
Efesiensi (%) = x 100%
Cin
Dimana:
Cin : Konsentrasi Influen Cu2+ (mg/L)
Cef : Konsentrasi Efluen Cu2+ (mg/L)
Data yang diperoleh pada penelitian ini akan diplot ke dalam bentuk grafik
hubungan antara daya adsorpsi (Q) dan massa adsorben.
2. Menghitung Kapasitas Adsorpsi
Analisa kapasitas adsorpsi merupakan analisa pengukuran banyaknya ion
logam yang diserap pada setiap unit berat adsorben. Kapasitas penyerapan
dinyatakan dalam mg/g adsorben (Afrianita dkk, 2014). Besarnya kapasitas
penyerapan atau kapasitas adsorpsi dapat dihitung berdasarkan persamaan
berikut:

37
Co−Ct x V
qt =
m
Dimana:
qt : Kapasitas adsorpsi dalam waktu t (mg/g)
Co : Konsentrasi awal larutan (mg/l)
Ct : Konsentrasi akhir larutan (mg/l)
V : Volume sampel (L)
m : Massa adsorben yang digunakan (g)
3. Menentukan Jenis Isoterm Adsorpsi
Isoterm yang akan ditentukan yaitu isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich.
A. Isoterm Langmuir
qe = QoKCe/(1+KCe)
Dimana:
qe : Jumlah zat teradsorpsi per satuan massa adsorben (mg/g)
K : Konstantan langmuir (L/mg)
Qo : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/g)
Ce : Konsentrasi sisa (mg/L)
B. Isoterm Freundlich
qe = KfCe1/n
Dimana:
qe : Jumlah zat teradsorpsi per satuan massa adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi akhir ion logam saat kesetimbangan (mg/L)
Kf : Konstantan percobaan yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi
n : Konstanta percobaan yang mempengaruhi afinitas

3.6 Jadwal Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian dan Pencemaran
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Riau selama 3 bulan, terhitung dari bulan
Januari - Maret 2020. Jadwal pelaksanaan penelitian secara rinci dapat dilihat pada
tabel 3.5

38
Tabel 3.5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan Ke-
No. Jenis Kegiatan
1 2 3
1 Studi Literatur

2. Persiapan alat dan bahan penelitian        


             
3. Uji karakteristik SBE                      
Penelitian utama dan pengolahan
4.        
data              
5. Penulisan laporan                      

39
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Offset: Yogyakarta.


Afrinita, R., Anita, S., dan Hanifa, T. A. 2014. Potensi Fly Ash Sebagai Adsorben
dalam Menyisihkan Logam Berat Cromium (Cr) pada Limbah Cair Industri.
Jurnal Teknik Universitas Andalas. Vol.11 (1), hal. 67-73.
Andi, M. S., Yusnimar, S., dan Sri, H. 2015. Penentuan Kesetimbangan Adsorpsi
Regenerasi Spent Bleaching Earth (RSBE) terhadap ion Cu (II). Skripsi.
Fakultas Teknik Universitas Riau
Aulia, B., Yusnimar, S., dan Ida, Z. 2013. Regenerasi Spent Bleaching Earth (SBE)
dan Aplikasinya pada Adsorpsi Ion Cu (II). Skripsi. Fakultas Teknik
Universitas Riau.
Astandana, Y., Chairul., dan Silvia, R. Y. 2016. Kesetimbangan Adsorpsi Logam Cu
Menggunakan Karbon Aktif dari Ampas Tebu sebagai Adsorben. Skripsi.
Fakultas Teknik Universitas Riau
Bath, D. S., Siregar, J. M., dan Lubis, M. T. 2012 Penggunaan Tanah Bentonit
Sebagai Adsorben Logam Cu. Jurnal Teknik Kimia USU. Vol. 1 (1), hal. 1-4.
Basiron, Y. 2005. Palm Oil In Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 6th ed. A
John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
Bramandhita, A. 2009. Pengendapan Kromium Heksavalen dalam Limbah Industri
Tekstil dengan Serbuk Besi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Damayanti, C. 2019. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam terhadap Proses
Reaktivasi Spent Bleaching Earth (SBE) Hasil Samping Produksi Biosolar.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan
Toksikologi senyawa logam. UI-Press: Jakarta.
Dewi, P. A. I., Putu, S., dan James, S. 2015. Adsorpsi Ion Logam Pb 2+ dan Cu2+ oleh
Bentonit Teraktivasi Basa (NaOH). Jurnal Kimia. Vol 9 (2), hal 235-242.
Djatmiko, B., dan Widjaja, A. P. 1985. Teknologi Minyak dan Lemak I. Agro Industri
Press: Bogor.
Hartomo, A. J., dan Tomijiro, K. 1992. Mengenal Pelapisan Logam (Elektroplating).
Andi Offset: Yogyakarta.
Imawati, A., dan Adhitiyawarman. 2015. Kapasitas Adsorpsi Maksimum Ion Pb(II)
Oleh Arang Aktif Ampas Kopi Teraktivasi HCl dan H3PO4. Jurnal FMIPA.
Universitas Tanjungpura. Vol 4 (2), hal 50-61.

40
Jauhar. 2007. Produksi Isopropil Alkohol Murni untuk Aditif Bensin yang Ramah
Lingkungan sebagai Wujud Pemanfaaran Produk Samping pada Industri Gas
Alam. Karya Tulis Ilmiah, ITB. Bandung.
Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.
Krisyanti, S., dan Sukandar. 2011. Recovery Minyak dari Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun Spent Bleaching Earth (SBE) dengan Metode Ekstraksi Pelarut.
Jurnal Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB. Vol
17 (1), hal 35-46.
Lin, L., dan Koseoglu, S. 2005. Membrane Processing of Fats and Oils In Bailey’s
Industrial Oil and Fat Products. 6th ed. A John Wiley & Sons, Inc: New
Jersey.
Mourabet, M., El-Rhilassi, A., El-Boujiaddy, H., Ziatni, M., B., El-Hamri, R., dan
Taitai, A., 2012. Removal of Fluoride from Aqueous Solution By
Adsorption On Aparite Tricalcium Phosphate Using Box-Behnken Design
And Desirability Function, Applied Surface Science. Vol.258, hal. 4402-
4410.
Nurhasni., Hendrawati., dan Nubzah, S. 2014. Sekam Padi untuk Menyerap Ion
Logam Tembaga danTimbal dalam Air Limbah. Jurnal Ilmiah. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Vol.4 (1), hal. 36-44.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Rineka cipta: Jakarta
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
Baku Mutu Air Limbah. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999. Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun. Sekretariat Bapedal: Jakarta.
Prihatiningsih, W. K. 2007. Penetapan Kadar Tembaga (Cu) pada Sampel Air dengan
Metode Spektrofotometri di Laboratorium PDAM Tertinadi Medan. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Purwanto., dan Syamsul H. 2005. Teknologi Industri Elektroplating. Badan Penerbit
UNDIP: Semarang.
Purba, A, S. 2017. Pengaruh waktu Kontak dan Kecepatan Pengadukan pada Proses
Penurunan Kadar Campuran Logam Pb dan Cu Menggunakan Karbon Aktif
dari Batang Pisang Kepok (Musa Paradisiaca Forma Typical). Skripsi.
Universitas Sumatera Utara. Medan
Raditya, B. S., dan Okik, H. C. 2016. Pemanfaatan Kulit Durian Sebagai Adsorben
Logam Berat Pb Pada Limbah Cair Elektroplating. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. Universitas Pembangunan Veteran. Jawa Timur. Vol.8 (1).
Ratnasari, N. D. 2017. Penurunan Kadar Tembaga (Cu) pada Limbah Cair Industri
Elektroplatng Menggunakan Cangkang Telur Ayam Potong Teraktivasi
Termal. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Jember.
Said, N. I. 2010. Metoda Penghilangan Logam Berat (As, Cd, Cr, Ag, Cu, Pb, Ni,
Dan Zn) di dalam Limbah Industri. Jurnal Agronomi Indonesia. Vol 6 (2)

41
Subekti, K. 2015. Metode Elektroplating pada Subtrat Tembaga (Cu) dengan Pelapis
Perak (Ag) untuk Meningkatkan Keindahan Dekoratif dan Ketahanan Korosi
Logam. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Suprihatin., dan Nastiti, S, I. 2010. Penyisihan Logam Berat dari Limbah Cair
Laboratorium dengan Metode Presipitasi dan Adsorpsi. Makara Sains,
Vol.14 (1). hal.44-50.
Suryani, A., Gustan, P., dan Amelia, A. 2015. Proses Reaktivasi Tanah Pemucat
Bekas Sebagai Adsorben untuk Pemurnian Minyak Sawit Kasar dan
Biodiesel. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol.25 (1), hal. 52-67.
Syauqiah, I., Mayang, A., dan Hetty, A, K. 2011. Analisis Variasi Waktu dan
Kecepatan Pengaduk pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat dengan
Arang Aktif. Jurnal Teknik. Vol.12 (1)
Tripathi, A., dan Ranjan, M.R., 2015. Heavy Metal Removal from Wastewater Using
Low CostAdsorbents, Journal of Bioremediation & Biodegradation. Vol 6,
hal. 6.
Tsai, W, T., Chen, H, P., Hsieh, M, F., Sun, H, F., dan Chien, S, F. 2002.
Regeneration Of Spent Bleaching Earth By Pyrolysis In A Rotary Furnace.
Journal Analytical and Applied Pyrolis. Vol.63. hal.157-170.
Taylor, D. R. 2005. Bleaching In Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 6th ed. A
John Wiley & Sons, Inc: New Jersey.
Wahyudi M Y. 2000. Studi Penggunaan Kembali Bleaching Earth Bekas sebagai
Adsorben dalam Proses Refining CPO. Tesis Magister. Program Studi
Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung, ITB. Bandung.
Wambu, E.W., Shiundu, P. M., Thiongo, K. J., dan Muthakia, G. K. 2011. Kinetics
and Thermodynamics of Aqueous Cu(II) Adsorption on Heat Regenerated
Spent Bleaching Earth. Jurnal Scientific Researh. Vol 25 (2), hal 181-190.
Yusnimar., Zahrina, I., dan Heltina, D. 2012. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian
Strategis Nasional: Sumber Bahan Bakar Alternatif Dari Spent Bleaching
Earth Asal Industri Refinery Minyak Sawit. Fakultas Teknik Universitas Riau

42
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN PEMBUATAN LARUTAN
A.1 Pembuatan Larutan Induk
Satuan ppm (Part per Million) adalah satuan konsentrasi yang dinyatakan
dalam satuan mg/kg. Untuk larutan maka dapat dinyatakan dalam satuan mg/L. untuk
pembuatan larutan induk Cu2+ dengan konsentrasi 1000 ppm dengan rumus:
Mr CuSO 4.5 H 2O
1000 ppm = x massa
Ar Cu
249 ,69 g/mol
1000 ppm = x massa
63 ,546 g /mol
Massa = 3,929 gr
CuSO4.5H2O ditimbang sebanyak 3,929 gr kemudian dimasukkan dalam labu
ukur 1000 ml, kemudian ditambahkan aquades sampai batas gasris labu ukur 1000
ml. Sehingga didapat larutan induk dengan konsentrasi 1000 mg/L.
Untuk pembuatan larutan dengan konsentrasi 100 ppm dengan rumus:
V1.N1 = V2.N2
V1.1000 ppm = 500 mL x 100 ppm
V1 = 50 mL
A.2 Pembuatan larutan Sampel CuSO4.5H2O
a. Pembuatan larutan sampel dengan konsentrasi 10 ppm dengan rumus:
V1.N1 = V2.N2
V1.100 ppm = 500 mL x 10 ppm
V1 = 50 mL
b. Pembuatan larutan sampel dengan konsentrasi 20 ppm dengan rumus:
V1.N1 = V2.N2
V1.100 ppm = 500 mL x 20 ppm

43
V1 = 100 mL
c. Pembuatan larutan sampel dengan konsentrasi 30 ppm dengan rumus:
V1.N1 = V2.N2
V1.100 ppm = 500 mL x 30 ppm
V1 = 150 mL
d. Pembuatan larutan sampel dengan konsentrasi 40 ppm dengan rumus:
V1.N1 = V2.N2
V1.100 ppm = 500 mL x 40 ppm
V1 = 200 mL
LAMPIRAN B
PROSEDUR ANALISIS TEMBAGA (Cu)
Sumber: SNI 06-6989.6-2004

B.1 Prinsip
Penambahan asam nitrat bertujuan untuk melarutkan analit logam dan
menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah
dengan bantuan pemanas listrik, kemudian diukur dengan SSA menggunakan gas
asetilen, C2H2.

B.2 Alat
a) SSA;
b) lampu holow katoda Cu;
c) gelas piala 250 mL;
d) pipet ukur 5 mL; 10 mL; 20 mL; 30 mL; dan 40 mL;
e) labu ukur 100 mL;
f) corong gelas;
g) pemanas listrik;
h) kertas saring whatman 40, dengan ukuran pori θ 0.42 µm;
i) labu semprot.

B.3 Bahan
a) air suling;

44
b) asam nitrat, HNO3;
c) larutan standar logam tembaga, Cu;
d) gas asetilen, C2H2.

B.4 Persiapan dan Pengawetan Contoh Uji


Bila contoh uji tidak dapat segera dianalisa, maka contoh uji diawetkan
dengan penambahan HNO3 sampai pH kurang dari 2 dengan waktu penyimpanan
maksimal 6 bulan.

B.5 Persiapan Contoh Uji


a) Masukkan 100 mL contoh uji yang sudah dikocok sampai homogen ke
dalam gelas piala.
b) Tambahkan 5 mL asam nitrat.
c) Panaskan di pemanas listrik sampai larutan contoh uji hampir kering. d)
Ditambahkan 50 mL air suling, masukan ke dalam labu ukur 100 mL
melalui kertas saring dan ditepatkan 100 mL dengan air suling.

B.6 Pembuatan Larutan Baku Logam Tembaga Cu 100 mg/L


a) Pipet 10 mL larutan induk logam tembaga, Cu 1000 mg/L ke dalam labu
ukur 100 mL.
b) Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera.

B.7 Prosedur dan pembuatan kurva kalibrasi


a) Optimalkan alat SSA sesuai petunjuk penggunaan alat.
b) Ukur masing-masing larutan kerja yang telah dibuat pada panjang
gelombang 324,8 nm.
c) Buat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresi.
d) Lanjutkan dengan pengukuran contoh uji yang sudah di persiapkan.

45
46
LAMPIRAN C
PROSEDUR ANALISA SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) dan
ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (EDX)
Nama Alat : JEOL JSM 6510LA
Sumber : Laboratorium SEM Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung
C.1 Menyalakan Alat SEM
1. Temperatur ruangan diatur 15-25°C, Humidity < 60
2. Level oil tidak dibawah limit terendah
3. Nyalakan cooling water/water chiller (Flow rate; 2.0 L/min)
4. Nyalakan tombol power
5. Nyalakan Main Breaker
6. Set kunci Main Power ke ON
7. Nyalakan CPU, Monitor, printer, dan EDS
8. Klik Start di Windows desktop
9. Klik SEM MAIN MENU (tunggu 20-30 menit)
10. HT BLUE (ready)
C.2 Inisialisasi
Sampel dapt dimasukkan ke dalam chamber hanya jika posisi awal sampel
pada posisi yang benar. Periksa tahap sampel pada parameter awal:
R rotasi tahap = 0°
T sudut kemiringan = 0°
X = 0.000 mm
Y = 0.000 mm
Posisi y = 500
SEM hanya akan dikalibrasi jika jarak WD (jarak antara sampel dan detektor)
adalah baik di 10 atau 48 mm. WD dapat disesuaikan dengan menggunakan tombol
besar diatas tombol x-y.
Sebelum alat SEM digunakan, harus dilakukan dahulu penyesuaian aperture,
alignment dan filament centering. Sebaiknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-

47
benar memahami prosedur ini, penyesuaian tidak harus dilakukan setiap kali alat
SEM digunakan, kecuali fokus dari image bermasalah.
C. 3 Pertukaran Sampel
1. Sampel selesai dikerjakan di dalam Chamber
2. Klik HT ON ke OFF
3. Klik [Sampel Setting], kemudian klik Removing the Specimen, kemudian
klik VENT
4. Buka chamber untuk mengeluarkan sampel dari alat SEM
5. Masukkan sampel berikutnya
6. Setting posisi sampel
7. Tutup Chamber, klik [EVAC]
8. HT OFF (Biru) klik ON
9. Sampel siap dikarakterisasi
C.4 Pengambilan Image
Setelah sampel dimasukkan ke chamber dan HT ON (sudah siap), maka:
1. Atur vakum yang akan digunakan High Vacuum atau Low Vacum
2. Atur detektor uang akan digunakan, SEI, BEI
3. WD diatur disaat inisialisasi
4. Atur maginifikasi dari magnifikasi kecil terlebih dahulu
5. Jika bagian sampel sudah sesuai dengan keinginan, perbesar magnifikasi
sesuai magnifikasi yang dibutuhkan, atur fokus
6. Pengaturan fokus bisa menggunakan [SCAN 1] atau [SCAN 2] setelah
mengatur tombol fokus, atur stigma X stigma Y untuk memperhalus
image
7. Jangan lupa simpan hasil image
8. Jika akan menggunakan EDS, klik tombol EDS setelah di dapat image
yang akan dilihat unsurnya, maskimal perbesar untuk EDS adalah 3000x
dengan WD 10 mm
9. Jangan lupa simpan hasil image

48
LAMPIRAN D
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH
BAKU MUTU LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI
PELAPISAN LOGAM DAN GALVANIS
Parameter Kadar Paling Bahan Paling Kadar Paling Beban Paling
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Pelapisan Pelapisan Galvanisasi Galvanisasi
Logam Logam (mg/L) (gr/m2)
(mg/L) (gr/m2)
TSS 20 0,4 20 0,04
Cu 0,5 0,01 0,5 0,001
Zn 1,0 0,02 1,0 0,0005
Cr6+ 0,1 0,002 - -
Cr 0,5 0,01 - -
Cd 0,05 0,001 0,05 0,0001
Pb 0,1 0,002 0,1 0,0002
Ni 1,0 0,02 1,0 0,002
CN 0,2 0,004 0,2 0,0004
Ag 0,5 0,01 0,5 0,001
pH 6-9 6-9
Kuantitas air 20 L per m2 produk pelapisan 20 L per m2 produk pelapisan
limbah paling logam logam
tinggi

49
LAMPIRAN E
PERTURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. 101 TAHUN 2014
TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN (B3)
LIMBAH B3 DARI SUMBER SPESIFIK KHUSUS
KODE JENIS SUMBER LIMBAH KATEGORI
LIMBAH LIMBAH B3 BAHAYA
B413 Spent Proses industri 2
Bleaching oleochemical dan/atau
Earth pengolahan minyak
hewani atau nabati

50

Anda mungkin juga menyukai