Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA


“COMBUSTION”

DOSEN:
ARYO SASMITA ST, M.T

Disusun oleh:
KELOMPOK 3
DICKY MARTIN : 1507113162
DINI RISKIANA PUTRI : 150711
MUHAMMAD REZKI : 150711

TEKNIK LINGKUNGAN S1
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teknik Pembakaran adalah salah satu cabang ilmu termofluida terapan yang digunakan
untuk menyelidiki, menganalisis serta mempelajari tentang proses pembakaran (combustion),
bahan bakar (fuel), serta sifat dan kelakuan nyala api (flame). Bahan bakar yang ditelaah dalam
tinjauan pembakaran dapat merupakan bahan bakar gas, cair atau padat. Terdapat banyak definisi
terkait dengan pembakaran. Secara umum pembakaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang
melibatkan reaksi kimia antara material mampu bakar (combustible) dan oksigen yang teradung
di dalamnya [Drysdale, 2004].
Definisi lain mengatakan bahwa pembakaran adalah suatu transisi dari bentuk tidak
reaktif ke bentuk reaktif dimana stimuli eksternal menyebabkan terjadinya suatu proses
thermochemical yang diikuti oleh transisi sangat cepat ke pembakaran yang stabil. Stimuli dari
pembakaran sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu energi termal, kimia dan mekanis. Namun
demikian, semua definisi dari pembakaran mengarah pada penekanan akan pentingnya reaksi
kimia yang terjadi, dimana pembakaran mengubah energi yang tersimpan dalam ikatan kimia
menjadi panas (heat) yang dapat digunakan dalam berbagai macam aplikasi. Sehingga terdapat
dua variabel penting dalam proses pembakaran, yaitu reaksi kimia antara bahan bakar dan
oxidizer, serta adanya pelepasan energi panas (reaksi bersifat eksotermis) (Muhammad Andira,
2013).
Pembakaran spontan adalah pembakaran dimana bahan mengalami oksidasi
perlahanlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak dilepaskan, akan tetapi dipakai untuk
menaikkan suhu bahan secara pelan-pelan sampai mencapai suhu nyala. Pembakaran sempurna
adalah pembakaran dimana semua konstituen yang dapat terbakar di dalam bahan bakar
membentuk gas CO2, air (= H2O), dan gas SO2, sehingga tak ada lagi bahan yang dapat terbakar
tersisa. Bagian ini memberikan gambaran singkat tentang keistimewaan utama bahan bakar.
Energi dari matahari diubah menjadi energi kimia dengan fotosintesa. Namun, sebagaimana kita
ketahui, bila kita membakar tanaman atau kayu kering, menghasilkan energi dalam bentuk panas
dan cahaya, kita melepaskan energi matahari yang sesungguhnya tersimpan dalam tanaman atau
kayu melalui fotosintesa. Kita tahu bahwa hampir kebanyakan di dunia pada saat ini kayu bukan
merupakan sumber utama bahan bakar. Kita umumnya menggunakan gas alam atau minyak
bakar di rumah kita, dan kita menggunakan terutama minyak bakar dan batubara untuk
memanaskan air menghasilkan steam untuk menggerakan turbin untuk sistim pembangkitan
tenaga yang sangat besar. Bahan bakar tersebut – batubara, minyak bakar, dan gas alam –sering
disebut sebagai bahan bakar fosil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembakaran
1. Definisi Pembakaran
Pembakaran adalah proses oksidasi yang sangat cepat antara bahan bakar dan oksidator
dengan menimbulkan nyala dan panas. Bahan bakar merupakan substansi yang melepaskan
panas ketika dioksidasi dan secara umum mengandung karbon, hidrogen, oksigen dan sulfur.
Sementara oksidator adalah segala substansi yang mengandung oksigen yang akan yang bereaksi
dengan bahan bakar (Mahandri, 2010).

2. Macam – macam Pembakaran


a. Complete Combustion
Pada pembakaran sempurna, reaktan akan terbakar dengan oksigen, menghasilkan
sejumlah produk yang terbatas. Pembakaran komplit terjadi jika keseluruhan karbon
menjadi CO₂, hidrogen menjadi H₂O dan sulfur menjadi SO₂. Jika output masih
mengandung bahan C, H₂ dan CO, maka proses pembakaran tersebut adalah tidak
komplit (Sihana, 2010).
b. Incomplete Combustion
Pembakaran tidak sempurna umumnya terjadi ketika tidak tersedianya oksigen dalam
jumlah yang cukup untuk membakar bahan bakar sehingga dihasilkannya karbon
dioksida dan air. Pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan zat-zat seperti
karbon dioksida, karbon monoksida, uap air dan karbon. Pembakaran yang tidak
sempurna sangat sering terjadi, walaupun tidak diinginkan, karena karbon monoksida
merupakan zat yang sangat berbahaya bagi manusia. Kualitas pembakaran dapat
ditingkatkan dengan perancangan media pembakaran yang lebih baik dan optimisasi
proses (Anonim, 2010).
c. Smouldering Combustion
Smouldering combution merupakan bentuk pembakaran tanpa api, berasal dari
oksidasi yang terjadi pada permukaan bahan bakar yang padat. Contoh umum adalah
inisiasi kebakaran di furnitur berlapis oleh sumber panas yang lemah (misalnya
rokok, kawat hubung pendek), kebakaran hutan akibat musim panas berkepanjangan
(Rein, 2006).
d. Rapid Combustion
Rapid combustion merupakan pembakaran yang melibatkan energi dalam jumlah
yang banyak dan menghasilkan pula energi cahaya dalam jumlah yang besar. Jika
dihasilkan volume gas yang besar dalam pembakaran ini dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan yang signifikan, sehingga terjadi ledakan (Anonim, 2010).
e. Turbulent Combustion
Pembakaran yang menghasilkan api yang turbulen sangat banyak digunakan untuk
aplikasi industri, misalnya mesin berbahan bakar bensin, turbin gas dan sebagainya,
karena turbulensi membantu proses pencampuran antara bahan bakar dan pengoksida
(Anonim, 2010).
f. Slow Combustion
Pembakaran yang terjadi pada temperatur yang rendah. Contoh pembakaran ini
adalah respirasi seluler (Anonim, 2010).

3. Fase Pembakaran
a. Pre-Ignition
Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai terjadi pirolisis yaitu
pelepasan uap air, karbon dioksida dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk
methane, methanol dan hydrogren. Sekali terbakar, api akan terus bergerak secara
kontinyu dan melakukan dua proses termal yang bersambungan yaitu pyrolisis dan
pembakaran (Thoha, 2008).
b. Flaming Combution
Flaming combustion adalah fase pembakaran yang paling efisien, yang menghasilkan
paling sedikit jumlah asap per unit bahan bakar yang dikonsumsi. Fase ini merupakan
fase transisi dari proses pembakaran yang endotermik menjadi proses pembakaran
yang eksotermik. Pada umumnya, fase ini terjadi pada saat temperatur mencapai
300°C. Energi yang digunakan untuk mempertahankan api dan 13 mempertahankan
reaksi berantai dari pembakaran dikenal dengan panas pembakaran. Temperatur yang
dicapai di dalam fase ini bervariasi, bergantung pada jenis bahan bakar (Anonim,
2010).
c. Smoldering Combustion
Fase smoldering biasanya mengikuti flaming combustion. Fase ini berjalan lambat <3
cm/jam, dimana pembakaran yang kurang penyalaan menjadi proses pembakaran
dominan dalam fase ini. Partikel hasil emisi selama fase ini lebih besar dari pada fase
flaming. Smoldering biasanya terjadi pada fuel bed dengan bahan bakar yang tersusun
dengan baik dan aliran oksigen terbatas seperti kayu yang membusuk dan tanah
gambut (Thoha, 2008).
d. Glowing Combustion
Glowing combustion adalah fase pembakaran, dimana hanya bara dari bahan bakar
yang dapat diamati. Glowing cobustion menandakan proses oksidasi bahan padat
hasil pembakaran yang terbentuk pada fase sebelumnya Fase pembakaran ini terjadi
ketika tidak lagi tersedia energi yang cukup untuk menghasilkan asap pembakaran
yang merupakan karakteristik dari fasa pembakaran sebelumnya, sehingga tidak
dihasilkan lagi tar atau bahan volatil dari bahan bakar. Produk utama yang dihasilkan
dari fase pembakaran ini adalah gas-gas tak tampak, seperti gas karbon monoksida
dan gas karbon dioksida (Anonim, 2010).
e. Extinction
Extinction merupakan proses pemadaman api ketika reaksi pembakaran tidak lagi
berlangsung dan segitiga api telah terputus. Segitiga api mengilustrasikan hubungan
antara tiga elemen dasar yang diperlukan untuk membangkitkan api. Tiga eleman
dasar yang dibutuhkan untuk membangkitkan api adalah senyawa oksigen, bahan
bakar yang dapat terbakar dan mengandung energi, serta sumber api atau sumber
panas. Extinction merupakan proses dimana kebakaran akhirya berhenti setelah
semua bahan bakar telah dikonsumsi, atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi
yang baik dalam fase smoldering maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan
uap air yang dibutuhkan (Thoha, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN

STUDI KASUS
PENGOLAHAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
DENGAN INSINERATOR TIPE RECIPROCATING GRATE INCINERATOR

1. Metode
Penelitian ini dilakukan di PT X di Mojokerto Jawa Timur yang bergerak dalam bidang
pengolahan limbah B3. Objek dari penelitian ini adalah limbah B3.
2. Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini adalah berat limbah B3 yang dibakar, yaitu pada saat
kosong (0 kg), normal (150 kg), overload (300 kg) dengan komposisi limbah yaitu sludge
Waste Water Treatment Plan (WWTP), majun terkontaminasi, dan limbah medis dengan
perbandingan 3:2:1. Variabel terikat pada penelitian adalah efisiensi pembakaran (kadar
CO2 dan CO di exhaust). Variabel kontrol pada penelitian adalah jenis limbah B3 yang
dibakar dan lama pembakaran.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah limbah B3. Sampel yang diteliti merupakan limbah
B3 yang terdiri dari sludge waste water treatment (WWT) industri makanan, dan limbah
medical yang berupa kasa, perban, labu, obat kadaluarsa dan sampel laboratorium, botol
plastik/kaca dan jaringan tubuh.
4. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah gas Analyzer Bacarach PCA3, apex isocinetic, incinerator
tipe Reciprocating grate incinerator (first chamber, second chamber, wet scrubber,
cyclon, burner, dan blower), dan timbangan. Bahan yang digunakan yaitu majun, sarung
tangan kain dan karet, kertas dan plastic terkontaminasi B3, sludge waste water treatment
(WWT) industri makanan, dan limbah medical yaitu kasa, perban, labu, obat kadaluarsa
dan sampel laboratorium, botol plastik/kaca dan jaringan tubuh.
5. Langkah Penelitian
1. Menyiapkan sampel limbah B3 yang diperoleh dari beberapa industri dan rumah sakit
yaitu sludge WWTP, majun dan sarung tangan terkontaminasi, dan limbah medis.
2. Menimbang berat limbah B3 sesuai dengan variabel penelitian yaitu tanpa beban atau
sebesar 0 kg (limbah B3 0%), normal atau sebesar 150 kg (limbah B3 50%), dan
maksimum atau sebesar 300 kg (limbah B3 100%). Perbandingan berat limbah sludge
WWTP, majun dan sarung tangan terkontaminasi, dan limbah medis yaitu 3:2:1.
Limbah B3 yang sudah ditimbang dimasukkan plastic.
3. Membakar limbah yang sudah dimasukkan kantong plastik dengan incinerator tipe
Reciprocating grate incinerator selama 1 jam dengan suhu antara (600-800) oC.
4. Mengukur kadar kadar CO dan CO2 selama proses pembakaran limbah B3
menggunakan alat gas analyzer. Pembacaan hasil akhir kadar CO dan CO2 pada saat
angka pada alat tersebut menunjukkan nilai yang stabil.
5. Pengukuran kadar CO dan CO2 dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
6. Metode Analisis Data
Data hasil penelitian yang berupa kadar CO dan CO2 kemudian dihitung efisiensi
pembakarnnya dengan menggunakan rumus.
𝑐2
EP = 𝑥100%
𝑐2+𝑐1
Keterangan:
EP = Efisiensi Pembakaran (%)
CO2 = Konsentrasi emisi CO2 di exhaust (mg/NM3)
CO = Konsentrasi emisi CO di exhaust (mg/NM3)
Data kadar CO dan CO2 dan efisiensi pembakaran dianalisis dengan pendekata grafik.
7. Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Berat Limbah B3 Terhadap Kadar CO dan Kadar CO2
Kadar CO dan CO2 dari pembakaran limbah B3 dengan menggunakan insenerator tipe
reciprocating grate incinerator disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Kadar CO dan CO2 Pembakaran Limbah B3 Menggunakan
Insenerator Tipe Reciprocating Grate Incinerator

Pengaruh berat limbah B3 terhadap kadar CO pada pembakaran limbah B3 dengan


insenerator tipe reciprocating grate incinerator dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh Berat Limbah B3 Terhadap Kadar CO

Pengaruh berat limbah B3 terhadap kadar CO2 pada pembakaran limah B3 menggunakan
insenerator tipe reciprocating grate incinerator dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar
2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi berat limbah B3 yang dibakar, maka semakin tinggi
kadar CO2 yang dihasilkan.
Dari gambar 1menunjukan hasil bahwa kadar rata-rata CO pada berat limbah B3 0 kg
sampai 300 kg mengalami penurunan dibawah nilai ambang batas baku mutu Kep-03/
Bapedal/09/1995 yaitu 100 mg/Nm3. Dengan demikian pembakaran limbah B3 dengan
berat 0 kg, 150 kg, dan 300 kg dengan insinerator reciprocating grate incinerator
menghasilkan kualitas emisi gas buang CO yang seusia dengan Kep-03/Bapedal/
09/1995. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar berat limbah B3 sampai kapasitas
maksimum, maka pembakarannya semakin sempurna dan semakin baik. Dari hasil
pembacaan pada gambar 1 dan gambar 2 dapat dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
berat limbah B3 yang dibakar sampai kapasitas maksimum, yaitu 300 kg didapatkan
kadar CO yang semakin menurun sedangkan kadar CO2 semakin meningkat. besarnya
kadar CO2 berbanding terbalik dengan kadar CO. dibutuhkan bahan bakar yang bersih
atau murni (tidak ada pengotor) sehingga tidak menghasilkan jelaga dan CO yang tinggi.
Faktor pertimbangan ketiga adalah komposisi oksigen yaitu sebesar 40%-90% sesuai
stokiometri.
Gambar 3. Pengaruh Berat Limbah B3 Terhadap Kadar CO2

Pengaruh Berat Limbah B3 Terhadap Efisiensi Pembakaran


Kadar CO dan CO2 yang diperoleh dapat mempengaruhi nilai efisiensi pembakaran
insinerator tersebut dalam mengolah limbah B3. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa
pembakaran limbah B3 dengan menggunakan incinerator tipe reciprocating grate
incinerator dengan variasi berat limbah B3 yaitu : 0 kg, 150 kg, dan 300 kg semua
menghasilkan efisiensi pembakaran (EP) sebesar 99,99%, denga demikian pembakaran
limbah B3 insinerator tipe reciprocating grate incinerator incinerator tipe reciprocating
grate incinerator sudah sesuai dengan peraturan Kep-03/ Bapedal/ 09/1995. Di dalam
pembakaran Limbah B3 ini terdapat 2 (dua) kondisi yang berbeda antara insinerator
dengan limbah kosong (0 kg) dan yang memiliki berat (150 kg dan 300 kg). Pada
keadaan insinerator kosong kondisi yang diharapkan adalah tidak terdapat kebocoran agar
suhu bakar yang dikehendaki pada ruang bakar I yaitu 800oC dan pada ruang bakar 2
yaitu 12000C, sehingga suhu yang dikehendaki cukup atau mampu untuk mengubah CO
menjadi CO2. Pertimbangan kondisi yang kedua adalah pada bahan bakar untuk
menunjang terjadinya pembakaran yang sempurna. Supaya pembakaran yang terjadi
sempuran maka Hal ini ditujukan agar oksigen mampu mengoksidasi atau membakar CO
menjadi CO2. Faktor keempat yang mempengaruhi kualitas pembakaran ini adalah pada
waktu tinggal gas pada ruang bakar II, yaitu minimal 2 s/d 6 detik. Waktu tinggal
dipengaruhi oleh desain insinerator, hal ini dikarenakan volume insinerator dengan debit
udara berbanding lurus untuk mendapatkan waktu tinggal yang sesuai, besaran waktu
tinggal 2 s/d 6 detik telah sesuai dengan Kep-03/ Bapedal/ 09/1995 (Sutardi, 2011) Selain
itu 4 (empat) faktor di atas, efisiensi pembakaran juga dipengaruhi oleh berat limbah B3
yang dibakar. Limbah B3 tersebut memiliki nilai kalor tertentu yang dapat meningkatkan
suhu pembakaran, semakin banyak limbah B3 maka semakin tinggi nilai kalornya hal ini
berdampak pada meningkatnya suhu pembakaran yang lebih tinggi dan dapat membantu
proses pembakaran lebih sempurna. Hal ini berbanding lurus dengan suhu yang ingin
dicapai, karena semakin besar berat limbah B3 yang dibakar maka akan semakin kecil
volume ruang bakar yang tersedia sehingga akan mempercepat peningkatan suhu. Dari
peningkatan suhu di ruang bakar ini maka dapat mempercepat proses oksidasi atau
pembakaran CO menjadi CO2 sehingga pembakarannya dapat dikatakan lebih sempurna
(Sutardi, 2011).
8. Kesimpulan
Dari penelitian ini tentang pembakaran limbah B3 menggunakan insenerator tipe
reciprocating grate incinerator disimpulkan bahwa: (1) Kadar CO hasil pembakaran
limbah B3 mulai dari 0 kg, 150 kg dan 300 kg masih dibawah nilai ambang batas sesuai
Kep-03/ Bapedal/ 09/1995 yaitu 100 mg/Nm3. (2) Pembakaran limbah B3 dengan variasi
berat limbah B3 yaitu : 0 kg, 150 kg, dan 300 kg semua menghasilkan efisiensi
pembakaran (EP) sebesar 99,99%, dengan demikian EP sudah sesuai dengan peraturan
Kep-03/ Bapedal/ 09/ 1995. (3) Kadar CO dan CO2 dipengaruhi oleh berat limbah B3,
semaki besar berat limbah B3 sampai kapasitas maksimum yang dibakar, kadar CO
semakin menurun sedangkan kadar CO2 semakin meningkat. (4) Efisiensi
pembakarannya tidak dipengaruhi oleh variasi berat limbah B3 yang dibakar, berat
limbah B3 (0 kg, 50 kg, dan 100 kg) yang dibakar semua menghasilkan EP yang sama
yaitu 99,99%. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh komposisi limbah, jenis
limbah dan berat limbah yang dibakar yang melebihi kapasitas incinerator dan juga perlu
dilakukan analisis untuk parameter yang lain, seperti: kadar debu, efisiensi pembakaran
secara fisik
DAFTAR PUSTAKA

Girsang, V.E 2013. Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat B3 Hasil Insinerasi di RSUD Dr
Soetomo Surabaya. Jurnal Teknik POMITS, 02(02), 46-50.

Gusdini, Ninin. 2012. Pengelolaan Limbah B3. Fakultas Teknik. Jakarta: Universitas Sahid
Jakarta.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep. 187/Men/1999 Tentang Pengendalian Bahan
Kimia Berbahaya di Tempat Kerja

Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 03/Bapedalda/09/1995


Tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Nurhayati, I. & Triastuti, S.A. 2011. Pengolahan Sampah Medis Jarum RS. DR. Sutomo
Surabaya dengan Incenerator Modifikasi. Jurnal Teknik WAKTU 09 (01), 25-33.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun.

Sutardi, T. 2011. Combustion Technique & Gaseous Emission Monitoring. Bogor.

Unites States Enviromental Protection Agency, 2006. Method 10 – determination of Carbon


Monoxide Emission from Stationary Source.

Zulhijjah, J. 2014. Efektifitas Pemusnahan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Secara
Thermal (Insinerasi). Skripsi. Jakarta : Universitas Sahid Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai