Anda di halaman 1dari 16

1

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN




11.1 Pengertian dan Prinsip Segitiga Api
Dalam bab kebakaran hutan dan lahan materi mengacu pada buku Dr. Lailan
Syaufina tentang kebakaran hutan dan lahan di indonesia : perilaku api, penyebab dan
dampak kebakaran terbit tahun 2008. Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang
terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi yang terkait dengan proses-
proses kimiawi, fisika, dan mekanika fluida. Sejumlah ekosistem tertentu, seperti
formasi vegetasi di hutan musim Asia untuk jenis jati (Tectona grandis L. f.), Shorea
robusta di daratan India, dan Pinus merkusii di Sumatra Utara, bahkan telah beradaptasi
dengan api secara alami.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap
bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara
bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan nonhutan.
Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan dan areal
nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan
menuju kawasan nonhutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan
menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia.
Prinsip segitiga api merupakan prinsip dimana proses pembakaran terjadi apabila
ada tiga unsur yang bersatu, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas. Dalam prinsip
segitiga api, jika salah satu dari ketiganya tidak ada maka proses pembakaran tidak akan
terjadi. Prinsip tersebut dikenal dengan Prinsip Segitiga Api (Gambar 1.1) yang menjadi
kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan sekaligus dalam upaya
pengendalian kebakaran.


Gambar 11.1. Prinsip Segitiga Api
Bahan bakar dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan merupakan hasil dari
proses fotosintesis, yaitu suatu proses kimia di mana karbondioksida, air, dan energi
matahari bersatu menghasilkan selulosa, lignin, dan komponen kimia lainnya. Proses
dekomposisi dan pembakaran membalikkan proses tersebut. Dekomposisi merupakan
proses yang berjalan lambat dan melepaskan panas yang sulit terlihat dalam periode
2

waktu yang lama. Sementara itu, kebakaran melepaskan energi panas yang disimpan
melalui proses fotosintesis tersebut dengan cepat. Secara sederhana hubungan antara
proses fotosintesis dengan pembakaran dapat digambarkan sebagai berikut.

Fotosintesis:
CO
2
+ H
2
0 + energi matahari C
6
H
n
0
6
+ 0
2

Pembakaran:
C
6
H
12
0
6
+ 0
2
+ suhu penyalaan CO
2
+ H
2
0 + panas

Pada proses fotosintesis, energi matahari terpusat secara perlahan-lahan,
sedangkan pada proses pembakaran, energi berupa panas dilepaskan dengan cepat.
Selain panas, proses pembakaran (combustion) juga menghasilkan beberapa jenis gas,
terutama karbondioksida, uap air, dan partikel-partikel. Sering kali kita berpendapat
bahwa nyala api (flame) adalah api atau kebakaran (fire) itu sendiri sebagai aspek keba-
karan yang menarik perhatian. Sebagaimana yang diterangkan oleh Pyne et al. (1996),
sebenarnya kebakaran (api) merupakan wujud dari reaksi kimia, sedangkan nyala api
adalah suatu fenomena fase gas sebagai salah satu bagian saja dari proses kebakaran.
Bahan bakar hutan merupakan seluruh bahan vegetatif yang dapat ditemukan di
dalam hutan yang terdiri atas susunan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta
kandungan komponen ekstraktif dan mineral. Selulosa (C
6
H
10
0
6
) merupakan komponen
utama dalam jaringan tanaman berupa karbohidrat dengan struktur rantai glukosa yang
panjang sekitar 15.000 sampai 20.000 unit dengan berat molekul antara 300.000 sampai
dengan 500.000 Dalton. Panas pembakaran dari selulosa dan hemiselulosa sekitar 3850
kalori per gram, lebih rendah daripada lignin dan zat ekstraktif tumbuhan. Berat molekul
lignin berkisar antara 400 hingga 960 Dalton dengan panas pembakaran kurang lebih
5860 kalori per gram. Pada tanaman hidup, lignin merupakan 15% hingga 35% dari
berat kering tanaman. Adapun pada kayu yang sudah membusuk, kandungan ligninnya
dapat mencapai 75%. Sementara itu, kandungan komponen ekstraktif bervariasi dari 0,2
hingga 15% dengan panas pembakaran sekitar 7720 kalori per gram dan berbeda-beda
untuk setiap spesies tanaman. Menurut Chandler et al. (1983a), dua kelompok ekstraktif
yang penting dalam kebakaran adalah terpenes dan resin. Kandungan bahan bakar hutan
lainnya adalah mineral sekitar 5 sampai 10%.
Dalam kebakaran hutan, kandungan mineral memegang peranan penting sebagai
penghambat penjalaran api. Lebih jauh Artsybashev (1983) menyatakan bahwa kayu
mengandung sekitar 42% oksigen dari kandungan totalnya sehingga kayu termasuk
bahan yang teroksidasi. Oleh karena itu, kayu tidak dapat melepaskan panas dalam
jumlah besar selama oksidasi akhirnya dalam proses pembakaran sebagaimana halnya
batu bara dan minyak. Meskipun demikian, oksidasi awal menyebabkan molekul
hidrokarbon menjadi sangat tidak stabil. Molekul tersebut dapat terdekomposisi pada
saat prapenyalaan yang rendah. Dalam proses dekomposisi tersebut, sebagian gas akan
dilepaskan (gas volatil) akan bercampur dengan udara dan mulai terbakar dengan nyala
api. Oleh karena itulah, kayu merupakan bahan yang mudah terbakar.



3

11.2. Proses Pembakaran
Berdasarkan tahapannya, DeBano et al., (1998) menggolongkan proses
pembakaran ke dalam lima fase, yaitu pre-ignition (prapenyalaan) yang me1iputi
dehidrasi dan pirolisis, flaming (penyalaan), smoldering (pembaraan), glowing (pe-
mijaran), dan extinction (padam). Semua tahapan tersebut berjalan secara
berkesinambungan.
a) Pre-ignition (prapenyalaan)
Dehidrasi, distilasi, dan pirolisis merupakan proses-proses yang dominan dalam
fase pra penyalaan. Oleh karena bahan bakar yang berada di depan nyala api terpanaskan
oleh radiasi dan konveksi hingga mencapai suhu > 100C maka uap air, bahan organik
yang be1um terbakar, dan zat ekstraktif yang volatil akan mendidih pada permukaan
bahan bakar dan mengalir ke udara (Ryan dan McMahon 1976 dalam Chandler et at.
1983a). Radiasi dan konveksi dapat memindahkan panas yang berguna untuk pirolisis
pada permukaan bahan bakar tetapi perpindahan panas ke bagian dalam terjadi melalui
konduksi.
Distilasi bahan bakar halus (seperti dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada
suhu di atas 100C menghasilkan emisi dari uap air dan zat ekstraktif yang volatil.
Pemanasan dari 200 sampai 280C pada pirolisis bahan-bahan berkayu mulai
menghasilkan uap air, CO
2
, asam format dan asam asetat, glyoxal, dan CO (Browne
19S8 dalam DeBano et at. 1998). Gas-gas yang mudah terbakar serta uap air (seperti
methana, ethana, prop ana, formaldehida, asam format, asam asetat, methanol, CO, dan
hidrogen) akan dilepaskan dengan cepat dari bahan berkayu pada suhu 280 sampai
SOOC (Fritschen et al. 1970 dalam DeBano et at. 1998). Di samping itu, aliran uap air
dan C0
2
juga membawa ter dan membentuk asap. Di atas 5OOC, CO
2
dan air bereaksi
dengan arang pada permukaan bahan bakar untuk menghasilkan CO, H
2
, formaldehida,
dan lain-lain. Pada kondisi kekurangan 0
2
kondensasi bahan organik yang mendidih
menjadi ter dan senyawa lainnya akan terjadi. Laju penjalaran yang lambat akan
mendorong produksi arang dan mengurangi produksi gas-gas yang mudah menyala dan
ter. Sebaliknya, laju pembakaran yang cepat akan memproduksi gas-gas yang mudah
terbakar dan ter.
Setelah fase pre-ignition, Pyne et al. (1996) meletakkan fase ignition (penyalaan)
sebelum fase flaming. Dijelaskan pula bahwa fase ignition merupakan fase transisi
antara fase pre-ignition dan fase flaming, yakni fase yang cepat dengan reaksi
eksotermik. Suhu yang diperlukan untuk terjadinya penyalaan pada kebakaran hutan
umumnya sekitar 32SC. Penjalaran api merupakan kelanjutan dari fase penyalaan.
Kemungkinan terjadinya penyalaan spontan (spontaneous ignition) juga dibahas
oleh Pyne et al. (1996) dan Artsybashev (1983). Penyalaan spontan biasa terjadi pada
tumpukan jerami yang banyak serta tumpukan serbuk gergaji dan serpihan kayu yang
biasa terdapat di dekat pabrik pemrosesan kayu pada kondisi daerah subtropis yang
biasanya memiliki kelembaban udara yang rendah. Menurut Brown dan Davis (1973),
penyalaan spontan umum terjadi di kawasan industri dan permukiman tetapi jarang
terjadi pada kawasan hutan. Meskipun demikian, Frandsen (1993) menemukan
penyalaan spontan di dalam hutan setelah dilakukan pembalakan di mana terjadi
4

penumpukan sisa-sisa pembalakan dengan kadar air yang rendah. Bahan vegetasi dapat
menyala secara spontan sebagai hasil pemanasan di dalam tumpukan bila terjadi proses
eksotermis yang melepaskan panas lebih cepat daripada yang hilang ke lingkungan
sekitar. Dua faktor utama yang diperlukan untuk terjadinya penyalaan spontan adalah
bahan bakar harus cukup berongga agar oksigen dapat leluasa masuk dan harus
menghasilkan arang ketika terjadi dekomposisi thermal. Menurut Artsybashev (1983),
penyalaan spontan bergantung pada konsentrasi dari bahan bakar, kepadatannya,
porositasnya, kelembaban, tekanan, dan lain-lain. Kejadian penyalaan spontan tidak
terlepas dari aktivitas mikroba yang dapat meningkatkan suhu di dalam tumpukan bahan
bakar hingga OC (Pyne et at. 1996). Selanjutnya, oksidasi kimiawi dapat mengambil
alih proses tersebut. Dalam hal ini, kadar air me me gang peran yang penting. Tahap
awal pemanasan memerlukan kadar air relatif tinggi bagi pertumbuhan bakteri (sekitar
63-92%) di mana respirasi terjadi sebagai proses oksidasi yang melepaskan karbon
dioksida, air, dan panas. Lebih jauh dikatakan bahwa tumpukan bahan bakar yang kecil
dan memiliki ruang udara yang lebih baik kemungkinannya kecil untuk menyala secara
spontan. Oleh karena ruang udara akan meningkatkan pengeringan dalam tumpukan
bahan bakar yang akan menghambat lingkungan yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme.
b) Flaming (Penyalaan)
Fase ini merupakan reaksi eksotermis yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300-
500C sampai 1400C (Ryan and McMahon 1976 dalam DeBano et at. 1998). Suhu
maksimum yang dapat dicapai dalam kebakaran hutan adalah 1900 sampai 2200 C
dengan campuran antara gas dan udara yang ideal (Pyne et al. 1996). Akan tetapi, suhu
nyala api pada umumnya adalah sekitar 700 sampai 980C. Pirolisis mempercepat
proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang
mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan 02
dan terbakar selama fase flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming
mempercepat laju pirolisis dan melepaskan sejumlah besar gas yang mudah terbakar.
Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase tersebut
dihasilkan beberapa produk pembakaran, seperti air CO
2
, sulfur oksida, gas nitrogen,
dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kondensasi debu dan tetesan ter membentuk asap
(smoke) sebagai proses yang penting dari fase flaming ini (DeBano et al. 1998). Hasil
penelitian Syaufina et al. (2003) mengenai emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut
di Pontianak, Kalimantan Barat menunjukkan bahwa fase flaming menghasilkan gas-gas
rumah kaca (C0
2
, CO dan NOx) yang tertinggi dengan total emisi 296.32 ppm.
c) Smoldering (Pembaraan)
Fase ini biasanya mengikuti fase penyalaan. Proses pembakaran dalam fase ini
didominasi oleh laju penjalaran yang lambat (< 3 cm/jam pada kebakaran bawah) dan
tanpa nyala api. Perlu dicatat bahwa tidak semua bahan bakar mengalami pembakaran
flaming, seperti yang terjadi pada lapisan bahan organik, kayu busuk, dan tanah organik
(gambut) apabila bahan bakar relatif kompak dan suplai oksigen terbatas. Smoldering
merupakan fase pembakaran utama untuk jenis-jenis bahan bakar ini. Di sini, laju
penjalaran api akan menurun karena bahan bakar tidak mampu menghasilkan gas-gas
yang mudah terbakar pada konsentrasi dan laju yang diperlukan untuk mendukung
5

pembakaran yang sempurna. Akibatnya, panas yang dilepaskan dan suhu yang dieapai
akan menurun. Dengan demikian, sejumlah besar gas akan terkondensasi menjadi asap.
Asap akan banyak terkonsentrasi dekat permukaan dan emisi atmosfer menjadi dua kali
atau tiga kali lebih besar daripada fase flaming.
Selanjutnya, emisi partikel hasil pembakaran dari fase smoldering jauh lebih besar
daripada fase flaming. Pada fase smoldering, gas-gas volatil dan uap air yang dihasilkan
sebagai ciri pirolisis untuk fase pre-ignition dan flaming tidak dapat berkembang.
Akibatnya, emisi partikel dapat meningkat menjadi sepuluh kali lipat. Arang akan
terbentuk di permukaan bahan bakar kayu pada saat smoldering. Emisi partikel ini dapat
dilihat pada nilai Faktor Emisi (FE) sebagai istilah dalam kebakaran hutan yang
menunjukkan jumlah partikel atau gas yang dilepaskan oleh suatu kebakaran ke
atmosfer dengan satuan kg/Mg dari bahan bakar yang terbakar. Tabel 1.1 menunjukkan
emisi partikel dari beberapa jenis bahan bakar sebagai fungsi dari fase pembakaran dan
tingkat smoldering. Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa emisi partikel pada fase
smoldering jauh lebih tinggi daripada yang dihasilkan pada fase flaming, bahkan sampai
sepuluh kali lipat.
Berbeda dari emisi partikel, emisi gas-gas rumah kaca dari fase smoldering ternyata
lebih rendah daripada fase flaming karena fase flaming merupakan fase pembakaran
yang sempurna sehingga sebagian besar gas yang mudah terbakar dilepaskan ke
atmosfer. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian pembakaran vegetasi bawah di lahan
gambut di Pontianak, Kalimantan Barat yang menghasilkan total emisi gas rumah kaca
pada fase flaming sebesar 296.33 ppm lebih besar daripada fase smoldering sebesar
257.32 ppm (Syaufina et al. 2003).

Tabel 11.1. Faktor Emisi (FE) partikel untuk beberapa jenis bahan bakar sebagai fungsi
dari fase pembakaran dan tingkat smoldering (Johansen et al. 1985 dalam DeBano et al.
1998).

Jenis Bahan Bakar Fase
Pembakaran
Tingkat
Smoldering
Faktor Emisi Partikel
(kg/Mg)
Rumput flaming Tidak ada 7.5
Tumbuhan bawah dan
serasah
flaming Rendah 12.5
flaming Sedang 25.0
flaming sedang 37.5
Sisa tebangan yang tersebar flaming Tidak ada 10.0
flaming sedang 20.0
Sisa tebangan yang
bertumpuk
flaming Tidak ada 12.5
flaming sedang 25.0
flaming berat 37.5
Bahan bakar semak flaming Tidak ada 12.5
flaming sedang 25.0
Semua bahan bakar smoldering sempurna 75.0

6

d) Fase Glowing (pemijaran)
Fase ini merupakan bagian akhir dari fase smoldering, namun glowing tidak sama
dengan smoldering. Pada waktu api mencapai fase glowing, kebanyakan dari gas volatil
sudah dilepaskan dan oksigen kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang
sudah menjadi arang. Bahan bakar akan teroksidasi dan terbakar tanpa nyala sampai
suhu menurun dan pembakaran tidak terjadi lagi atau sampai bahan bakar berubah
menjadi abu yang tidak terbakar lagi. Bahan bakar yang tersisa terbakar dengan warna
kuning. Suhu puncak dari bahan bakar yang terbakar berada pada kisaran suhu 300
hingga 600C. Selama proses glowing, hanya sedikit atau bahkan tidak ada asap yang
dihasilkan. Hasil dari fase glowing ini, terutama adalah CO, CO
2
, dan abu. Fase ini
merupakan fase yang paling efisien karena laju pembakaran yang rendah, suplai oksigen
yang baik dan volume yang rendah dari gas volatil yang mudah terbakar.

e) Fase Extinction (padam)
Kebakaran akhirnya akan berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis
atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup
untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh
air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah
mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran sehingga
mempercepat terjadinya proses extinction (padamnya kebakaran).
Fenomena dalam fase-fase pembakaran dalam proses pembakaran vegetasi bawah
di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat menunjukkan paku-pakuan yang sudah
ditebas dan dikeringkan sebelum dilakukan pembakaran. Biasanya, para petani lahan
gambut di daerah tersebut juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu menebas,
mengeringkan, dan membakar untuk kemudian menanami lahan dengan komoditas
pertanian, seperti lidah buaya, sayuran, dan nanas.

11.3. Pola Penjalaran Kebakaran Hutan Dan Tipe Kebakaran Hutan
Pola penjalaran api diterangkan dengan baik oleh Chandler et al. (1983a). Pada
awalnya, api menjalar karena adanya kontak langsung antara permukaan bahan bakar
dengan nyala api yang berada di belakangnya atau di atasnya. Bila kondisinya
memungkinkan, maka api akan menjalar dan bergerak secara bebas karena oleh faktor-
faktor yang dapat memengaruhi perilaku api. Gambar 2.2 menunjukkan tahap awal dari
perkembangan api pada kondisi tenang di bawah tegakan hut an. Tidak lama setelah
penyalaan mulai terjadi, nyala api bergerak menuju ke arah pusat daerah penyalaan (a).
Sete1ah 10 hingga 15 menit, api membentuk seperti kue donat dan nyala api
membengkok ke arah dalam (b).
Pada kondisi berangin atau lahan yang berlereng miring, penjalaran api akan
mengalami perubahan, seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Chandler et al. 1983a). Tidak
lama sete1ah proses penyalaan dimulai, nyala api akan membengkok ke arah atas lereng
atau arah angin (a). Sete1ah bagian tengah terbakar, maka nyala api bagian belakang
akan menjalar secara perlahan melawan arah angin dengan tinggi nyala yang rendah,
sedangkan bagian depan akan menjalar sesuai dengan kecepatan angin.
Di bawah pengaruh angin yang kuat, penjalaran api akan berbeda dari kedua
7

kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada situasi tersebut, nyala api hanya akan
bergerak searah dengan arah angin (Chandler et al. 1983a). Proses pemanasan dan
pembakaran bahan bakar di sekitarnya didukung oleh berbagai proses perpindahan
panas, seperti konveksi, radiasi, dan perpindahan massa bahan bakar padat.

a


b
Gambar 11.2 lahap Awal Perkembangan Api pada Kondisi tenang
(Chandler et at. 1983a)


a

b
Gambar 11.3 Tahap Awal Perkembangan Api pada Kondisi Berangin dan
Berlereng (Chandler et al., 1983a)

11.4. Tipe Kebakaran Hutan
Sejalan dengan pola penjalaran api, kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe, yaitu kebakaran bawah, kebakaran permukaan, dan kebakaran tajuk.
Pengelompokkan tersebut terutama didasarkan pada bahan bakar yang mendominasi
proses kebakaran.
a. Kebakaran bawah (Ground fire)
Api membakar bahan organik di bawah permukaan seresah yang pada umumnya
berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak
dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala sehingga sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Dilihat
dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan.
Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998
merupakan contoh nyata dari kebakaran hutan yang didominasi oleh kebakaran gambut
(bawah). Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering dan biasanya berdalam
jangka waktu cukup lama dengan keeepatan penjalaran sekitar 1.5 g/m
2
/jam atau 0.025
cm/jam.
Pola penjalaran secara terperinci dapat dilihat pada gambar 11.4. Menurut
8

Arstybashev (1983), kebakaran gambut dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) kelas yaitu ;
Rendah : bila kedalaman pembakaran < 25 cm
Sedang : bila kedalaman pembakaran 25 - 50 cm
Tinggi : bila kedalaman pembakaran > 50 em




Gambar 11.4. Pola Penjalaran Api pada Kebakaran Gambut (DeBano et al. 1998)

b. Kebakaran permukaan (Surface fire)
Pada kebakaran ini, api membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah
pembalakan, dan bahan bakar lain yang terdapat di lantai hutan. Energi kebakaran bisa
rendah atau tinggi. Dalam penjalarannya, api dipengaruhi oleh angin permukaan
sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowning
out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua
tegkan hutan.
c. Kebakaran tajuk (Crown fire)
Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan
kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin sehingga api menjalar dengan
sangat cepat dan sulit dikendalikan. Kebakaran ini biasanya terjadi pada tegakan konifer
dan api berasal dari kebakaran permukaan. Di samping itu, kebakaran tipe ini juga dapat
menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar
terbawa angin dan menimbulkan kebakaran bam di tempat lain.


9

11.5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi \ Perilaku Api
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perilaku api digaruhi oleh unsur-unsur
dalam segitiga lingkungan api yaitu bahan bakar, cuaca, dan topografi. Oleh karena itu,
perilaku api selalu berubah menurut waktu, ruang, atau keduanya berhubungan dengan
perubahan unsur-unsur lingkungan tersebut. Secara ringkas dapat diterangkan dalam
Tabel 11.2 (Pyene et al. 1996).

Tabel 11.2. Unsur-Unsur Lingkungan yang Memengaruhi Perilaku Api
Unsur Lingkungan Pengaruh
Muatan bahan bakar Menentukan ketersediaan energy maksimum untuk
terbakar
Susunanya menentukan aerasi, penjalaran api secara
vertikal dan horisontal
Distribusi ukuran dapat mempengaruhi kemudahan
penyalaan awal
Kandungan kimia dapat meningkatkan (seperti resin,
minyak) atau menurunkan (kandungan mineral)
kemampuan untuk terbakar (flamabilitas)
Iklim Menentukan produktivitas vegetative sehingga laju
akumulasi bahan bakar
Presipitasi-
Kelembaban
Meningkatkan kadar air bahan bakar, bersama dengan
kelembaban relative yang tinggi, menurunkan kemudahan
penyalaan dan laju pembakaran dan penjalaran api
Angin Menyebabkan pengeringan bahan bakar
Meningkatkan ketersediaan oksigen untuk pembakaran
Prapemanasan dan menyalakan bahan bakar sebelum
terjadinya kepala api dan dapat menghasilkan penyalaan
di depan kepala api
Topografi Menyebabkan variasi dalam iklim lokal
Dapat menyediakan sekat bakar alami
Menentukan sebagian distribusi komunitas vegetasi yang
flamabilitasnya beragam
Sumber: Whelan (1995) dalam DeBano et at. (1998)

11.6. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia
Dilihat dari kelompok faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,
faktor alam tampaknya hanya memegang peranan yang sangat kecil, sedangkan faktor
manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran hutan dan lahan, baik
sengaja maupun tidak sengaja.
a) Faktor Alam
Kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar.
Di negara-negara subtropis, faktor alam memegang peranan penting dalam
10

menyebabkan kebakaran. Hal itu didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar
hutan yang memungkinkan untuk terbakar, misalnya kelembaban yang rendah.
Petir merupakan faktor penyebab kebakaran yang penting di negara-negara
subtropis. Di Kanada misalnya, petir menjadi penyebab hampir 42% kebakaran yang
terjadi. Di Amerika Serikat, dalam kurun waktu 50 tahun, 9% kebakaran disebabkan
oleh petir. Bahkan di daerah Rocky Mountain, kebakaran yang disebabkan oleh petir
mencapai 64% dan di wilayah Pasifik mencapai 31 % (Pyne et al. 1996).
Berbeda dari kondisi di negara subtropis, Indonesia yang berada di negara tropis
jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Kejadian petir
di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan kebakaran karena selalu bersamaan
dengan terjadinya hujan. Hasilnya, percikan api dari petir yang mengenai bahan bakar
tidak dapat berkembang dan menjalar ke bagian yang lebih luas. Beberapa daerah yang
berdekatan dengan gunung berapi yang masih aktif memiliki risiko terhadap bahaya
kebakaran karena udara yang dihasilkan dapat mengeringkan bahan bakar yang ada
sehingga kemampuan bahan bakar untuk terbakar (flammabilitas) menjadi meningkat.
Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya
kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada
kondisi cuaca kering, akan terjadi penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang
berada di atasnya. Fenomena tersebut banyak terjadi di lokasi-lokasi di Kalimantan,
terutama Kalimantan Timur.
b) Faktor Manusia
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia banyak
disebabkan oleh ulah manusia. Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998
menguak misteri yang menyelimuti latar belakang atau penyebab peristiwa tersebut.
Berbagai studi dan analisis telah dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten, baik
lembaga pemerintahan, maupun organisasi-organisasi nasional atau internasional.
Hampir seratus persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh
perbuatan manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Tampaknya,
kesengajaanlah yang lebih banyak menyebabkan terjadinya kebakaran. Terdapat bebe-
rapa faktor yang melatarbelakangi kejadian kebakaran di Indonesia yang sebagian besar
terkait akar permasalahan sosial ekonomi. Hal itu diperjelas oleh hasil penelitian
CIFOR/ICRAF mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia yang mengambil studi
kasus kebakaran tahun 1997/ 1998 dimana ditemukan bahwa faktor sosial ekonomilah
yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Penelitian CIFOR/ICRAF di sepuluh lokasi penelitian di enam provinsi, Sumatra dan
Kalimantan yang terdiri atas Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia adalah (a) api digunakan dalam pembukaan lahan; (b) api
digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; (c) api menyebar secara
tidak sengaja; dan (d) api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam.
Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi (a)
penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disinsentif ekonomi; (d)
degradasi hutan dan lahan; (e) dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan
(f) lemahnya kapasitas kelembagaan.
11

i. Penyiapan Lahan
Dari penjelasan berbagai studi yang telah dilakukan sangat jelas bahwa penyebab
utama dari kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah ulah manusia dalam
kegiatan penyiapan lahan, baik yang dilakukan oleh masyarakat tradisional maupun oleh
pengelola HTI dan perkebunan. Konversi lahan hutan menjadi lahan nonhutan, baik
untuk kepentingan pertanian, perladangan, maupun perkebunan biasanya disertai
kegiatan pembakaran. Kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam kegiatan penyiapan
lahan di Sumatra maupun Kalimantan sebagai wilayah yang rawan kebakaran.
Pada beberapa dekade terakhir, tampak kecenderungan terjadinya kebakaran hutan
dan lahan di areal-areal konversi hutan. Perubahan penggunaan lahan terjadi sedemikian
pesat, terutama perubahan penutupan hutan yang dari waktu ke waktu semakin
berkurang. Kecenderungan itu terjadi di setiap daerah, terutama di luar Pulau Jawa.
Berdasarkan fungsinya, Departemen Kehutanan (2006a) mengelompokkan hutan di
Indonesia dalam beberapa tipe hutan meliputi hutan lindung (29.1 juta ha), hutan
produksi (43.95 juta ha), hutan konservasi (28.17 juta ha), dan hutan konversi (13.67
juta ha). Di sekitar kawasan hutan tersebut terdapat lebih kurang 10,2 juta masyarakat
miskin yang bertempat tinggal di dekat hutan, di mana enam juta di antaranya hanya
menggantungkan hidupnya hanya pada hasil hutan.
Saat ini, kondisi hutan di Indonesia sangat memprihatinkan. Laju kerusakan atau
deforestasi hutan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1950, Indonesia masih
memiliki hutan tropika basah yang sangat luas. Lima puluh tahun kemudian, 40% dari
luas total hutan Indonesia mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Penutupan lahan
hutan berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju deforestasi mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada era 1980-an, laju deforestasi di Indonesia sekitar
1 juta ha dan kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha di awal tahun 1990an. Sejak
tahun 1996, laju deforestasi tahunan Indonesia mengalami peningkatan menjadi 2 juta ha
(FWI/GFW 2001). Bahkan menurut catatan Departemen Kehutanan (2006a), pada awal
tahun 2000-an laju deforestasi telah meningkat menjadi 2,83 juta ha/tahun atau sekitar 3-
5 ha/menit atau se1uas 3-5 kali luas lapangan sepak bola per menit sehingga kawasan
hutan yang terdegradasi hingga tahun 2006 seluas 59,7 juta ha.
Menurut hasil penelitian Departemen Kehutanan (2006b), penyebab laju
deforestasi yang demikian tinggi dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu penyebab
internal dan eksternal. Faktor penyebab internal, antara lain kesenjangan antara
pasokan dengan permintaan kayu, menurunnya pengusahaan hutan, produktivitas dan
pembangunan hutan tanaman yang rendah, adanya konflik lahan, ilegal logging, dan
kebakaran hutan. Sementara itu, penyebab eksternal antara lain kegiatan
pengembangan wilayah, adanya kegiatan pertambangan di kawasan hutan, kenaikan
harga BBM, tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas pendidikan.
Di daerah Bengkalis, Riau sebagai salah satu contoh fenomena konversi hutan
saat ini. Berdasarkan interpretasi citra satelit dapat dilihat bahwa luas hutan di daerah
tersebut telah berkurang sebesar 54% dalam kurun waktu dua tahun (2002-2004).
Perubahan terjadi pada adanya peningkatan lahan perkebunan (54%), permukiman
(257%), dan lahan terbuka (1287%). Bahwa daerah Bengkalis pada tahun 2002
didominasi oleh areal hutan. Hanya dalam waktu dua tahun telah terjadi perubahan
12

drastis. Terjadi alih fungsi hutan yang sedemikian besar menjadi areal lain, seperti
kebun, bekas tebangan, pemukiman, rawa, areal semak belukar, dan tanah terbuka.
Peningkatan luas areal perkebunan banyak didorong oleh alasan sosial ekonomi. Adanya
kebijakan yang terkait denganpemberian insentif pada bidang usaha di sektor
perkebunan menyebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan, terutama perkebunan
kelapa sawit meningkat drastis di hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya Sumatra
dan Kalimantan. Pembukaan lahan tidak hanya dilakukan oleh pengusaha komersial tapi
juga oleh masyarakat. Pembukaan lahan tersebut, sering kali menggunakan api dengan
alasan murah, cepat, dan mudah.
Peningkatan lahan terbuka juga terlihat tinggi, demikian juga areal bekas
tebangan (Logged over area/LOA). Kedua tipe areal tersebut sangat rentan terhadap
bahaya kebakaran. Pasalnya, kedua tipe lahan tersebut memiliki muatan bahan bakar
yang berlimpah, terutama bahan bakar permukaan. Selain itu, permukaan lahan akan
banyak terekspos terhadap sinar matahari sehingga terjadi intensifikasi proses
pengeringan bahan bakar. Akibatnya, apabila ada api yang tersulut maka kebakaran akan
mudah terjadi dan api akan menjalar secara tidak terkendali dan sering kali membakar
areal lain di dekatnya.
Salah satu parameter kejadian kebakaran adalah adanya hotspot (titik panas)
yang hingga saat ini masih merupakan satu parameter yang mudah diperoleh dan dapat
dipercaya sebagai indikator terjadinya kebakaran. Kecenderungan yang sarna terjadi di
daerah lain, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Berdasarkan penggunaan lahan di
Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2001 sampai dengan 2005, hotspot yang terdeteksi
tertinggi terjadi pada tahun 2005 (1703 hotspot) dan terendah terjadi pada tahun 2003
(303 hotspot). Jika dilihat dari tipe areal yang terbakar, hotspot rata-rata tertinggi
ditemukan pada areal perkebunan (264) diikuti pada areal HPH (259), areal penggunaan
lain (157), dan HTI (103) (Hendriana 2006). Pada umumnya, penyiapan lahan untuk
konversi lahan tersebut dilakukan dengan menggunakan api. Api sering kali berkembang
menjadi besar dan tidak terkendali. Dampak kebakaran akan bertambah parah jika
terjadi di lahan gambut yang akan menghasilkan kabut asap yang tebal.
Pembukaan ladang dengan pembakaran merupakan cara yang dianggap mudah dan cepat
serta tidak memerlukan modal yang besar dan tenaga yang banyak. Teknologi
pembukaan lahan dengan pembakaran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat
dalam skala kecil, namun juga dilakukan oleh perusahaan perkebunan atau HTI dalam
skala besar. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1998) dalam Hendriana (2006)
menyatakan bahwa biasanya perusahaan melakukan kegiatan pembukaan lahan dengan
cara cincang, rumpuk, bakar.
Biaya pembukaan lahan dengan membakar hanya seperempat dari biaya
pembukaan lahan tanpa bakar. Artinya, tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan
untuk melaksanakan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pem-
bakaran hanya membutuhkan waktu 28 HOK (hari orang kerja), sementara pembukaan
lahan secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK ditambah 12 jam kerja
traktor. Untuk hutan sekunder diperlukan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor.
Angka-angka tersebut memiliki implikasi terhadap biaya dan investasi (Anonimous,
1998 dalam Hendriana, 2006).
13

Terjadinya kebakaran di Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Rokan Hilir, tidak
hanya memberi dampak terhadap lingkungan lokal, tetapi juga sampai ke negara
tetangga, Malaysia dan Singapura. Hal itu terjaru karena lokasi geografis dari Kabupaten
Rokan Hilir berada dekat dengan Selat Malaka. Hasilnya, kabut asap yang ditimbulkan
oleh kebakaran akan menyebar dengan mudah ke negara tetangga tersebut.
Sementara itu, di daerah lain seperti Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan
Barat juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada periode tahun 2001-2004,
konversi hutan alam menjadi areal penggunaan lain mencapai 45,6%, termasuk menjadi
kategori nonhutan alam dan tanah terbuka. Hal itu mengakibatkan bertambahnya luasan
lahan nonhutan alam yang relatif besar, yaitu seluas 125.175,95 hektar atau sekitar 43,21
% dari luas lahan nonhutan alam pada tahun 2001. Lahan nonhutan alam tersebut
mencakup areal perkebunan, pertanian, semak belukar, areal HPH, HTI, dan sebagainya.
Tanah terbuka dapat diartikan sebagai areal tanpa penutupan vegetasi atau sangat sedikit
tertutup oleh vegetasi. Hasil penelitian Sukmawati (2006) menunjukkan bahwa luas
tanah terbuka di Kabupaten Pontianak mengalami penurunan sebesar 32.055,83 hektar
atau sekitar 29,92%. Penurunan luas areal terbuka itu disebabkan oleh perubahan
penggunaannya untuk perkebunan. Luasan badan air yang meliputi sungai, danau,
waduk, dan parit mengalami kenaikan sebesar 16.232,53 hektar atau sekitar 74,64%. Hal
itu disebabkan oleh semakin menurunnya penutupan lahan berupa hutan alam yang
didominasi oleh vegetasi pohon dengan penutupan tajuk yang berat sehingga badan air
yang tadinya tertutup oleh tajuk pepohonan menjadi jelas terlihat saat dilakukan potret
udara.
Sementara menurut hasil overlay, sebaran hotspot di Kabupaten Pontianak
selama periode tahun 2003-2005 dengan peta pemitupan lahan Kabupaten Pontianak
tahun 2004, jumlah deteksi hotspot tertinggi terjadi pada tipe penutupan lahan berupa
areal nonhutan alam, di mana jumlah hotspot yang terdeteksi pada areal ini mencakup
55,7% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak pada periode
tahun 2003-2005. Pada tipe penutupan lahan berupa tanah terbuka, jumlah deteksi
hotspot mencakup 20,95% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten
Pontianak pada periode tahun 2003-2005. Sementara itu, pada tipe penggunaan lahan
untuk hutan alam dan badan air, jumlah deteksi hotspot masing-masing mencakup
12,38% dan 10,5% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak
pada periode tahun 2003-2005. Terdeteksinya hotspot di sekitar badan air
mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan di sekitar badan air, terutama di sekitar
aliran sungai. Penurunan persentase jumlah deteksi hotspot pada tanah terbuka
disebabkan oleh perubahan tipe penutupan lahan dari tanah terbuka menjadi areal
nonhutan alam (Sukmawati 2006).
ii. Puntung Rokok
Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan
sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian
kebakaran. Apakah benar puntung rokok dapat menyebabkan kebakaran? Hingga saat ini
belum ada bukti terdokumentasi yang menggambarkan hal tersebut. Namun beberapa
penelitian di perguruan tinggi membuktikan bahwa puntung rokok tidak dapat
menyebabkan kebakaran.
14

Hasil observasi lapangan Apriansyah (2004) yang melakukan percobaan
pembakaran dengan puntung rokok di bawah tegakan HTI Acacia Mangium di daerah
Sumatra Selatan membuktikan hal itu. Potensi kebakaran di daerah tersebut cukup tinggi
dengan banyaknya penumpukkan bahan bakar di lantai hutan. Percobaan dilakukan
dengan menggunakan puntung rokok hingga lima batang yang disulutkan pada
tumpukan bahan bakar di beberapa waktu pembakaran berbeda. Hasil percobaan tersebut
menunjukkan bahwa pun tung rokok tidak dapat menyebabkan kebakaran hutan dan
lahan karena bara puntung rokok tidak cukup panas untuk memanaskan bahan bakar
sampai titik nyala. Setelah dilakukan studi lebih lanjut, faktor-faktor penyebab
kebakaran di daerah tersebut lebih mengarah pada ulah manusia, bukan disebabkan oleh
bara puntung rokok. Kegiatan-kegiatan yang berhasil diidentifikasi sebagai penyebab
terjadinya kebakaran yaitu:
pembakaran untuk pembukaan kebun
loncatan api dari kebun/hutan
orang memancing ikan at au pencari kodok
sabotase
membakar hutan karena ada kasus/dendam dengan perusahaan
membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak
ketidaksengajaan pekerja HTI
Sementara itu, penelitian lain (Widyanto 2005) juga dilakukan di areal HTI
Acacia crassicarpa di lahan gambut di Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa percobaan pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber
panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah dan alang-
alang yang terdapat di atasnya. Hal itu terjadi karena panas dari puntung rokok tidak
cukup untuk mengakibatkan terjadinya kebakaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
keadaan suhu dan kelembaban yang memicu terjadinya kebakaran ternyata tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap puntung rokok. Kecepatan angin yang tinggi
ternyata hanya mempercepat proses pembakaran pada bahan bakar yang terdapat pada
puntung rokok bahkan dapat menyebabkan puntung rokok padam.
Sementara itu, pengaruh jenis rokok juga tidak berdampak secara signifikan
terhadap proses pembakaran. Jenis rokok yang sulit habis dan memerlukan waktu cukup
lama dalam menghabiskan bahan bakarnya sendiri adalah rokok jenis kretek tanpa filter.
Alasannya, karena bentuk dan ukurannya yang padat dan cukup besar, sedangkan untuk
jenis kretek dengan filter dan rokok putih memerlukan waktu tidak lama untuk
menghabiskan bahan bakarnya karena ukuran dan kemasannya yang tidak padat dan
cenderung lebih kecil. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan di lapangan,
puntung rokok tidak terbukti dapat menyebabkan terjadinya kebakaran (Widyanto
2005).
Hasil studi dan analisis ASEAN dan ADB (2001) mengelompokkan penyebab
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 yang menghancurkan
lebih dari 9 juta hektar hutan dan lahan ke dalam beberapa faktor, yaitu penyebab
langsung, faktor pendukung, dan faktor tidak langsung.
1. Penyebab Langsung
Menurut studi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI (1998),
15

kebakaran dan asap yang terjadi pada tahun 1982-1983, 1987, 1994, 1997, dan 1998
disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
a. Kurangnya komitmen institusi di tingkat regional, nasional, provinsi, dan lokal dalam
melakukan investasi pada pencegahan kebakaran.
b. Meningkatnya kerentanan lahan hutan terhadap kebakaran karena manajemen lahan
hutan yang tidak berkelanjutan dan praktik pembalakan.
c. Konflik dalam peranan dan tanggung-jawab di antara institusi-institusi yang terkait
dengan pengelolaan hutan dan lahan serta kebakaran hutan, terutama dalam hal
mandat, wewenang, sumber keuangan, dan akuntabilitas.
d. Ketidakpedulian institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengelola lahan
hutan dan kebakaran hutan terhadap siklus alami kebakaran dan asap di daerahnya
dan pengabaian terhadap pengumuman peringatan dini kedatangan El-Nino.
e. Kurangnya informasi dan sistem komunikasi, termasuk kurang efektifnya sistem terse
but.
f. Kepentingan terselubung yang membatasi isu-isu yang terkait dengan kebakaran dan
asap untuk kepentingan sektor, badan usaha, atau individu tertentu.
g. Kurangnya insentif untuk memajukan teknik-teknik penebangan kayu yang mengarah
pada hasil produksi hutan yang berkelanjutan dan pembukaan lahan secara mekanis.
h. Kurangnya penelitian tentang pemanfaatan sisa-sisa kayu sebagai input produktif dan
tentang pengembangan produk-produk perkayuan.
1. Ketidakpedulian sektor swasta (industri, pertanian skala besar, dan petani kecil)
terhadap konsekuensi kebakaran skala besar terhadap lingkungan hidup.
J. Hak-hak properti tidak dispesifikasikan dengan baik sehingga menyebabkan konflik
di antara ke1as-ke1as yang mengklaim lahan (penduduk setempat, pemerintah,
transmigran, industri).
k. Ketidakpedulian pemerintah dan pengusaha terhadap hak-hak ulayat, strategi
penghidupan, dan tradisi yang mengikis hukum adat, kepaduan sosial di antara
ke1ompok pribumi, dan pengetahuan tradisional mengenai pencegahan dan
pengendalian kebakaran.
1. Kurangnya pengetahuan tentang pencegahan kebakaran dan teknik-teknik mitigasi
yang diperburuk oleh kurangnya prosedur operasi dan pengaturan kelembagaan yang
memadai untuk mengoordinasikan kegiatan mitigasi di tingkat nasional, regional, dan
internasional.
m. Kurangnya kapasitas pencegahan dan mitigasi, misalnya personel yang terlatih,
peralatan, dan fasilitas di tingkat regional, nasional, dan lokal.
n. Kurangnya atau tidak adanya komitmen bagi pendanaan kegiatan pencegahan dan
mitigasi di tingkat regional, nasional, provinsi, dan lokal.

2. Faktor Pendukung
Beberapa faktor pendukung berdasarkan hasil kajian tersebut meliputi faktor
politik, ekonomi, fisiografis, sosiokultural, dan institusi di mana yang terpenting adalah
kebijakan dan institusi. Ketidaklengkapan kebijakan dan konflik dalam penggunaan
tanah, kepastian masa kelola, dan pembangunan ekonomi memperbesar tingkat bahaya
kebakaran.
16

3. Faktor Tidak Langsung
Variasi iklim dinyatakan sebagai faktor tidak langsung pada kejadian kebakaran
hutan dan lahan. Iklim merupakan faktor pengendali yang menentukan kejadian dan
frekuensi kebakaran. Fenomena iklim yang berhubungan erat dengan kebakaran adalah
El Nino yang terjadi secara periodik dan mengganggu cuaca global. El Nino merupakan
fenomena oceanografis yang menimbulkan pemanasan yang tinggi dan meluas di lautan
tropis Pasifik timur bagian utara yang menyebabkan semua mekanisme cuaca terganggu.
Dampaknya adalah curah hujan tertunda, tanaman terkena dampak buruknya, dan badai
terjadi di daerah yang tidak semestinya (ASEAN dan ADB 2001). Salah satu dampak
dari El Nino adalah musim kemarau panjang yang menyebabkan bahan bakar hutan dan
lahan mengering dan mudah terbakar.

Anda mungkin juga menyukai